You are on page 1of 14

Tugas Terstruktur Sosiologi Kesehatan

Partisipasi Pria Dalam KB Merupakan Manifestasi Kesetaraan Gender

Oleh : Taufan Herwindo Dewangga K1A004076

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2006

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan Kesehatan Reproduksi sangat berpengaruh pada keberhasilan program. Sebagian besar masyarakat dan provider serta penentu kebijakan masih mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan perempuan. Oleh karena itu, peserta KB pria di Indonesia masih sangat rendah yaitu masih dibawah 2 persen, disamping masih relatif rendahnya kepedulian pria terhadap proses reproduksi keluarganya terutama dalam hal kehamilan dan kelahiran. Dimasa lalu, persoalan pengaturan kelahiran lebih banyak difokuskan kepada perempuan, sehingga terkesan bahwa keluarga berencana adalah urusan perempuan saja. Data berbagai survai menunjukkan bahwa prevalensi pengguna kontrasepsi pria masih dibawah 2 persen. Meskipun rendahnya rendahnya pengguna kontrasepsi berkaitan dengan pula dengan keterbatasan teknik kontrasepsi yang tersedia bagi pria, angka ini menunjukkan bahwa kepedulian pria terhadap keluarga berencana masih rendah. Mengingat upaya pengarus utamaan gender (gender mainstreaming) menjadi pendekatan umum pada setiap pembangunan nasional dan global, maka kesetaraan gender dalam mengatur kelahiran adalah menjadi ciri pembaharuan program keluarga berencana. Sejak kesepakatan ICPD, 1994 di Kairo, kesetaraan dan keadilan dalam keluarga berencana telah menjadi salah satu strategi utama dalam pelaksanaan program nasional. Dengan diadopsinya Millennium Development Goals (MDGs) sebagai tujuan pembangunan global, masalah kesetaraan dan keadilan gender memperoleh prioritas yang lebih tinggi karena menjadi salah satu sasaran dalam MDGs tersebut. Walaupun secara programmatis kesetaraan dan keadilan gender merupakan strategi utama dalam program keluarga berencana, namun faktanya bahwa untuk meningkatkan kesertaan pria ber KB saat ini masih belum sesuai yang diharapkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20042009 salah satu indikator keberhasilan BKKBN adalah tercapainya kesertaan KB pria sebesar 4,5 persen pada tahun 2009.

I.2. Perumusan Masalah Istilah gender sering disalah artikan sebagai seks atau jenis kelamin. Walaupun mengandung komponen yang sama, namun seks lebih menonjolkan pada aspek biologis yang dibawa seseorang sejak lahir sehingga membedakan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan gender merupakan hasil kontruksi sosial yang berperan membentuk tingkah laku dan karakteristik laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender sebenarnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidaksetaraan gender. Yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang termanifestasi dalam berbagai bentuk misalnya kekerasan, subordinasi, beban kerja lebih banyak, maupun ketidakseimbangan menyangkut pelayanan kesehatan. Pada lingkup keluarga, perlakuan diskriminatif dalam kehidupan sosial antara lain terlihat pada budaya distribusi makanan yang selalu berpihak pada laki-laki. Tak heran jika angka prevalensi kekurangan gizi pada perempuan tetap saja tinggi. Data menunjukan kejadian anemia gizi pada ibu hamil sebanyak 57 persen setelah terjadi krisis ekonomi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan sebab secara makro akan menyebabkan rendahnya mutu sumber daya keluarga Indonesia. Pada program Keluarga Berencana (KB), masalah paling menonjolkan dalam kaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender adalah hak-hak perempuan yang belum mendapatkan penghormatan yang sepantasnya. Kaum perempuan belum mandapatkan akses dan peluang yang layak dalam memperoleh hak-hak reproduksinya. Hal ini terindikasi oleh lebih dari 95 persen peserta KB adalah perempuan. Kita mungkin terkesima manakala menyimak data kesertaan pria dalam KB Indonesia bila dibandingkan dengan kesertaan pria dalam program KB di sejumlah negara. Malaysia 16 persen, Iran 13 persen, Bangladesh 14 persen, Amerika 35 persen, bahkan Jepang 80 persen, sedangkan Indonesia 1,1 persen. Hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian sebab kesertaan pria dalam KB akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pengendalian pertumbuhan penduduk dan penanganan masalah kesehatan reproduksi, termasuk penurunan angka kematian ibu dan bayi, yang pada giliranya akan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Rendahnya partisipasi pria dalam menggunakan alat kontrasepsi disebabkan karena terbatasnya alat kontrasepsi yang bisa digunakan pria (hanya vasektomi dan kondom), adanya rumor bahwa vasektomi dapat menurunkan kemampuan seksual, kekhawatiran para istri bahwa vasektomi meningkatkan peluang penyelewengan, adanya stigma (prasangka negatif) yang melekat pada penggunaan kondom, serta adanya hambatan cultural dan psikologis. Alasan pertama termasuk masalah teknis. Selama ini upaya-upaya penelitian dan pengembangan metode kontrasepsi bagi pria sering mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan pengendalian kemampuan reproduksi pria secara biologis lebih sulit dilaksanakan sebab pria selalu dalam kondisi subur karena banyaknya sperma yang dihasilkan (+100 juta/ml). Pada akhirnya penelitian dan pengembangan alat kontrasepsi lebih banyak dialokasikan pada metode kontrasepsi untuk perempuan. Alasan kedua dan seterusnya lebih disebabkan karena mitos-mitos yang berkembang cenderung menjadikan perempuan sebagai sasaran dalam masalah reproduksi. Anggapan bahwa karena yang hamil dan melahirkan adalah perempuan, maka perempuanlah yang harus mempergunakan alat kontrasepsi agar tidak hamil. Tentunya ini terasa kontradiktif karena perempuan yang mengalami masa hamil, persalinan dan menyusui masih harus menggunakan alat kontrasepsi yang kadangkala tidak cocok baginya. Sedangkan suami yang ikut andil dalam proses reproduksi tidak ikut berbagi peran, misalnya dengan menggunakan kontrasepsi pria. II. PEMBAHASAN Keterlibatan suami dalam mewujudkan hak-hak reproduksi dalam keluarga menjadi sangat penting karena; Pertama, pria adalah partner dalam reproduksi dan seksual, sehingga sangat beralasan apabila laki-laki dan perempuan berbagi tanggung jawab dan peran secara seimbang dalam kesehatan reproduksi; Kedua, pria bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi, sehingga keteribatan pria dalam pengambilan keputusan untuk menentukan jumlah anak ideal dan jarak kelahiran akan memperkuat ikatan batin yang lebih kuat antara suami istri dalam kehidupan berkeluarga; Ketiga, pria secara nyata terlibat dalam fertilitas dan mereka mempunyai peran penting dalam

memutuskan kontrasepsi yang akan digunakan oleh istrinya; Keempat, partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi diharapkan mampu mengubah pandangan bahwa KB hanya hak dan tugas perempuan saja, melainkan merupakan hak bersama laki-laki dan perempuan. Kenyataan lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya temuan yang diperoleh melalui focus Group Discussion (FGD) oleh Saparinah Sadli (1997) yang menyebutkan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) yang terdiri dari para suami merasa bahwa mereka tidak diikut sertakan dalam program KB, dan memperoleh pengetahuan tentang KB dari membaca artikel di majalah, televisi dan cerita istri bukan dari petugas. Temuan ini mengindikasikan bahwa Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) sebagai petugas penyampai informasi pada masyarakat masih terjebak dalam pelayanan yang bias gender. Sebenarnya keinginan untuk meningkatkan pelayanan KB yang berwawasan gender sudah ditekankan melalui Undang-undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam bab penjelasan tertulis hal-hal sebagai berikut : suami dan istri harus sepakat mengenai pengaturan kelahiran dan cara yang akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik . Dalam Undang-undang tersebut juga disebutkan kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga bahwa apabila istri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kehamilan, misalnya karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat, dan cara yang diperuntukan bagi laki-laki . Upaya menyeimbangkan pelayanan KB berwawasan gender semakin menguat dengan disepakatinya International Conference on Population Development (ICPD) tahun 1994 yang lebih memperhatikan hak-hak reproduksi, kesetaraan gender, dan masalah tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi. Berdasarkan kesepakatan ini diketahui bahwa pria dan kaum perempuan memiliki akses yang setara dalam pemenuhan kebutuhan tentang kesehatan reproduksi. Sesuai dengan berubahnya visi dan misi program KB yang disesuaikan dengan GBHN 1998 maka kebijakan operasional program KB yang ditempuh adalah berupaya mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015 melalui promosi, perlindungan dan bantuan untuk mewujudkan hak-hak reproduksi, serta memaksimalkan akses dan kualitas

pelayanan KB dengan memperhatikan secara khusus aspek kesetaraan gender melalui upaya peningkatan partisipasi pria dalam program KB untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan dukungan politis, sosial dan budaya terhadap penerimaan partisipasi pria dalam KB, meningkatnya pengetahuan dan sikap positif tentang peran suami dalam KB dan kesehatan reproduksi, meningkatnya jumlah, tempat, dan fasilitas pelayanan KB bagi pria dan meningkatnya jumlah, tempat, dan fasilitas pelayanan KB bagi pria dan meningktnya jumlah peserta KB pria. Peningkatan dukungan baik secara politis, sosial, budaya dan keluarga dapat dicapai dengan melakukan pendekatan atau kegiatan advokasi dan KIE secara intensif kepada para pengambil keputusan, TOMA/TOGA, termasuk seluruh anggota keluarga. Peningkatan pengetahuan dan sikap dilakukan melalui upaya promosi dan konseling KB dengan tema sentral Pria bertanggung jawab terhadap anggota keluarga termasuk kepada para program KB. Peningkatan kualitas kegiatan promosi dan konseling KB dilakukan dengan mengintegrasikan konsep dan kegiatan dengan komponen dan sektor terkait. Sedangkan pengembangan pelayanan KB pria dilakukan dengan mendekatkan pelayanan di tempat kerja. Pendekatan kegiatan pelayanan ditempat kerja dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi yaitu memberikan kewenangan kepada perusahaan, instansi dan LSOM dalam bentuk privatisasi atau waralaba. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya melalui motivasi dan peningkatan produktivitas pekerja serta pengusaha, dengan meningkatkan program KB dan kesehatan reproduksi. Sepanjang perjalanan sejarah program KB Nasional, masih banyak permasalahan yang ada sehingga menimbulkan persepsi bahwa program KB dan Kesehatan Reproduksi saat ini masih bias gender. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas; Tingginya angka Aborsi; Infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS; Kekerasan terhadap perempuan; masih tingginya pernikahan usia muda; Rendahnya kesertaan pria/suami dalam KB; dan masalah infertilitas. Kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan Nifas. Saat ini angka kematian Ibu sekitar 373 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan, nifas dan aborsi akibat komplikasi sangat terkait dengan adanya diskriminasi

gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya keterlantaran perempuan bukan hanya pada saat hamil dan melahirkan tetapi sejak perempuan itu masih kecil dan remaja. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya yang membedakan nilai anak lakilaki dan perempuan, termasuk dalam hal pemberian gizi. Angka aborsi di Indonesia menurut WHO diperkirakan sekitar 750.000 - 1,5 juta tindakan per tahun yang dilakukan dalam keadaan tidak aman, dan 15 persennya mengalami kematian. Aborsi pada hakekatnya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan sebagai dampak dari pergaulan bebas yang biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan diluar nikah, pasangan suami-isteri kelompok unmet need serta kegagalan dalam pemakaian alat kontrasepsi. Kesemua resiko aborsi ini (rasa malu, ketakutan, kematian) lebih berat ditanggung oleh pihak perempuan sedangkan pihak laki-laki hampir tidak mempunyai resiko sama sekali. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan istri tentang kesehatan reproduksi dan kurangnya kepedulian dan perhatian suami terhadap kesehatan isteri. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dalam berbagai kasus seperti kekerasan rumah tangga perkosaan dan pelecehan seksual yang jelas-jelas membawa penderitaan bagi kaum perempuan yang semenjak dahulu menjadi golongan subordinasi. Kesenjangan gender yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh faktor sosial budaya yang beranggapan bahwa tingkah laku dan tindak kekerasan suami dianggap hanya sementara dan wajar; juga karena Isteri dianggap adalah milik suami, sehingga isteri harus patuh dan menuruti apa yang dikehendaki suami. Infeksi saluran reproduksi PMS-HIV/ AIDS. Infeksi saluran reproduksi yang dialami oleh perempuan menjadi beban berat baginya dibanding pria/laki-laki, karena dapat mengakibatkan kemandulan, keguguran, kehamilan di luar rahim dan penyakit radang panggul. Akibat perilaku seksual yang tidak sehat yang dilakukan oleh kebanya-kan kaum pria, membawa akibat buruk yang ditanggung oleh kaum perempuan. Rendahnya kesadaran laki-laki/suami akan perilaku seksual yang sehat mengakibatkan suami tidak memperhitungkan dampak penularan PMS, dan HIV/AIDS kepada isterinya. Disamping itu adanya kecenderungan suami untuk melakukan berbagai hal yang diinginkan karena rasa superioritas laki-laki terhadap perempuan. Pada kasus HIV/AIDS, tercatat sampai

dengan 30 Juni 2001 sejumlah 1572 kasus infeksi HIV dan 578 kasus AIDS. Dari 671 kasus HIV/AIDS wanita 21% dan pria 79%. Tingginya pernikahan usia muda menggambarkan ketidak berdayaan perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Mereka dipaksa oleh orang tua karena orang tua ingin segera terbebas dari beban ekonomi, khawatir anaknya tidak dapat jodoh, segera ingin mendapat cucu dan lain sebagainya. Sementara orangtua cenderung tidak memaksakan hal ini kepada anak laki-lakinya. Akibat dari pernikahan usia muda tersebut membawa resiko tinggi bagi perempuan yang melahirkan seperti resiko kematian ibu dan bayinya. Faktor sosial budaya yang membedakan nilai anak laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan hampir tidak mempunyai peluang untuk memperoleh pendidikan dan peran dalam sektor publik. Hal ini men-dorong terjadinya pernikahan usia muda pada perempuan. Pada keluarga infertil, isteri cenderung menjadi pihak yang dipersalahan, padahal ada kemungkinan kesalahan juga ada pada pihak laki-laki. Dalam pemeriksaan medis, isteri selalu diminta untuk memeriksakan diri terlebih dahulu, dan baru diikuti oleh pemeriksaan suami apabila perempuan tidak ada indikasi infertil. Kedudukan suami yang dipandang lebih tinggi dibanding isteri oleh masyarakat pada umumnya (misalnya sebagai kepala keluarga), mengakibatkan suami cenderung tidak mau dipersalahkan dalam masalah-masalah kesehatan reproduksi termasuk dalam infertilitas. Ditinjau dari segi medis 40 persen masalah infertilitas disebabkan oleh kedua pihak yaitu suami dan istri, faktor suami 40 persen, faktor istri 45 persen. Sedangkan ditinjau dari sisi biaya, pemeriksaan awal terhadap suami jauh lebih sederhana dan murah dibandingkan pemeriksaan terhadap isteri. Kesertaan ber KB Pria rendah. Data SDKI 1997 menunjukkan bahwa jumlah peserta KB baru pria hanya 1.1% sementara peserta KB perempuan mencapai lebih dari 98%. Ketimpangan ini terjadi karena berbagai faktor seperti :

Faktor sosial budaya yang beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga pria tidak perlu berperan. Setelah terbukti bahwa isterinya tidak menggunakan alat/metode kontrasepsi yang ada, barulah suami merasa perlu menjadi peserta KB atau bahkan tidak menjadi peserta sama sekali (unmet need).

Pelaksanaan program yang lebih mengarahkan kepada kaum perempuan

Aksesibilitas pria terhadap informasi mengeani KB rendah karena masih terbatasnya informai tentang peranan pria dalam KB dan Kesehatan reproduksi. Aksesibilitas pria terhadap sarana pelayanan kontrasepsi rendah. Di-Puskesamas terdapat pelayanan KIA yang umumnya melayani Ibu dan Anak saja sehingga pria merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat pelayanan. Demikian pula terbatasnya jumlah srana pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pria serta waktu buka sarana pelayanan bersamaan dengan waktu kerja para pria/suami menyebabkan isterilah yang lebih dapat memanfaatkan sarana pelayanan tersebut.

Jenis metode kontrasepsi untuk pria sampai saat ini msih terbatas pada kondom dan vasektomi, berbeda dengan kontrasepsi bagi perempuan yang jenisnya jauh lebih beragam.

Suami dominan dalam pengambil keputusan pemakai kontrasepsi, yaitu isteri dan bahkan sampai kepada pemilihan jenis metodenya. Isteri cenderung patuh dan kalaupun berperan, biasanya hanya pada penentuan sarana pelayanannya dengan pertimbangan biaya dan jarak/lokasi.

. Suami-isteri harus berperan dan bertanggung jawab secara bersama, seimbang dan harmonis dalam KB dan kesehatan reproduksi karena :

suami-isteri merupakan pasangan dalam proses reproduksi suami-isteri bertanggung-jawab secara sosial, moral, dan ekonomi dalam membangun keluarga suami-isteri sama-sama mempunyai hak-hak reproduksi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan bersifat universal.
KB dan kesehatan reproduksi memerlukan peran dan tanggung jawab bersama suamiisteri, bukan suami atau isteri saja.

Dalam program KB dan kesehatan reproduksi masih dijumpai berbagai kesenjangan gender yang dampaknya lebih banyak menimpa dan dirasakan oleh kaum perempuan. Kesenjangan ini dijumpai pada kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan dan nifas (kesehatan maternal), infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS, pernikahan usia muda, kehamilan remaja serta dalam praktek Keluarga Berencana.

Kesetaraan dan keadilan gender dapat diwujudkan dalam bentuk peran dan tanggung jawab bersama suami dan isteri dalam menangani masalah keluarga berencana dan kesehatan reproduksi guna mewujudkan keluarga berkualitas. Kondisi ini akan dapat terwujud melalui peran dan partisipasi aktif suami sebagai bentuk nyata kepedulian dan kesertaannya dalam KB dan KR yang diimbangi dengan meningkatnya kesadaran isteri akan hak-hak reproduksi dan posisi setara dalam pengambilan keputusan mengenai KB dan Kesehatan Reproduksi. Petugas dan pengelola KB dilapangan umumnya merespon positif dan mendukung pelaksanaan peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi, namun demikian karena keterbatasan sumber dana, daya dan tenaga, program ini masih mengalami banyak hambatan yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaannya antara lain seperti: 1. pengetahuan dan sikap PUS tentang metode KB pria masih belum seimbang. Hal ini ditunjukkan bahwa pengetahuan wanita pernah kawin dan berstatus kawin tentang MOP/vasektomi sebesar 39 persen, sedangkan pengetahuan prianya hanya 31,9 persen. Pengetahuan wanita tentang kondom sebesar 76,3 persen dan prianya sebesar 82,3 persen. Dilain pihak sikap pria dan wanita pun dalam hal KB sangat bertolak belakang. Data menunjukkan bahwa 9 orang dari 10 orang suami setuju istri menggunakan kontrasepsi, namun 7 orang dari 10 istri yang tidak mendukung suaminya ikut KB. 2. Pilihan cara KB pria Cuma dua yang satu mempunyai stigma negatif (kondom), yang satunya operasi (Vasektomi), disamping itu penelitian terhadap kontrasepsi baru pria (suntik KB pria) sampai saat ini belum menunjukkan hasil. 3. dari 30 persen tempat pelayanan yang menyediakan pelayanan vasektomi ternyata hanya 4 persen saja tempat pelayanan yang mau melayani vasektomi. Dari sisi provider terlihat bahwa keberadaan dan kesiapan provider pemberi pelayanan secara teknis telah mendukung pelaksanaan pelayanan vasektomi, namun secara mental masih ada hambatan, disamping itu mutasi dokter terlatihpun sangat cepat.

Upaya kedepan Banyak hal yang masih perlu untuk dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi namun demikian, beberapa upaya telah dilakukan untuk ditindaklanjuti seperti: 1. Meningkatkan jaringan kemitraan dengan BP4-KUA Jaringan kemitraan ini telah lakukan sebagai upaya untuk mempromosikan kondom kepada calon pengantin yang berjumlah 2 3 juta pasangan. Menyadari posisi BP4 dan KUA yang sangat strategis baik dalam mempromosikan program KB khususnya kondom pada penataran-penataran yang dilakukan oleh KUA kepada calon pengantin. Kondom dipromosikan sebagai alat KB untuk perencanaan keluarga atau dalam menunda kehamilan anak pertama. Untuk itu calon pengantin, yang dalam waktu singkat, menjadi orang tua perlu memperoleh informasi yang lengkap tentang pentingnya perencanaan keluarga. Penggunaan kontrasepsi segera setelah kawin (satu bulan) masih sangat rendah, karena baru 1 diantara 10 pasangan pengantin baru menggunakan kontrasepsi. Dengan demikian apabila pasangan baru nikah tanpa menggunakan kontrasepsi maka sekitar 85 persen dari mereka akan segera hamil pada tahun pertama pasca menikah. Dibanding dengan negara-negara lain, angka ini relatif sangat rendah. Belum banyak penjelasan mengapa penggunaan kontrasepsi segera setelah menikah masih rendah, meskipun dapat diduga bahwa pemahaman tentang kontrasepsi pada saat sebelum nikah masih kurang. Kerjasama ini sangat strategis dan akan menjadi suatu kekuatan yang besar dalam penyelenggaraan program KB didaerah bila ditindaklanjuti didaerah-daerah. 2. Menambah akses kondom melalui vending machine Peluncuran vending machine semata-mata ditujukan untuk mengatasi salah satu kendala bagi akseptor pria dalam mendapatkan kondom. Berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan mengenai partisipasi pria dalam KB, diketahui bahwa rendahnya penggunaan kondom salah satunya karena sulitnya mendapatkan kondom. Kemudahan memperoleh kondom berpengaruh positif terhadap kesertaan pria dalam berKB. Artinya semakin mudah kondom diperoleh maka makin tinggi kemungkinan pria untuk ber-KB (LDFE UI). Masih menurut hasil-hasil studi, diketahui bahwa penggunaan kontrasepsi pria akan tergantung pada dekatnya mendapatkan alat kontrasepsi tersebut,

transportasi yang mudah dan harga yang murah. Sekitar 50% pria menyukai tempat pelayanan yang dekat dari rumah atau tempat mereka bekerja. Untuk itulah vending machine dicetuskan, dan ditempatkan di tempat-tempat strategis yang mudah dijangkau oleh pria/ suami Vending Machine tidak ditempatkan di sembarang tempat, tidak ditempatkan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau oleh anak-anak. Dari 25 vending machine yang sudah dipasang, ditempatkan di tempat kerja dan klinik-klinik KIAS. Dengan demikian penggunaan dan pembelian kondom melalui vending machine dengan sendirinya tersaring. Karena tujuan penyediaan vending machine adalah untuk mendekatkan kondom kepada para suami, sehingga pemasangan di tempat kerja dan klinik-klinik dianggap paling dekat dengan para suami. 3. Distribusi Kondom melalui Masyarakat (Community Based Distribution Condom) Upaya untuk meningkatkan kesertaan pria dalam praktek KB yang dikembangkan antara lain yaitu menggunakan peserta KB Pria yang puas atas pelayanan yang diterima untuk menjadi motivator KB khususnya untuk sasaran utama yaitu pasangan suami-isteri (pasutri). Untuk itu diupayakan pengembangan peer group sebagai distributor kondom di masyarakat atau yang biasa disebut CBD (Community Based Distribution). Kegiatan program CBD merupakan suatu upaya untuk mendistribusikan kontrasepsi kondom, promosi penggunaan kondom, dan membantu memperkuat system distribusi kondom setempat (lokal). Atas hal tersebut diperlukan suatu kegiatan untuk menjangkau sasaran yang ada dengan memperdayakan potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri. 4. Motivator Vasektomi Salah satu alasan mengapa kontrasepsi pria khususnya vasektomi kurang berkembang di dalam masyarakat terutama dikarenakan oleh pria itu sendiri, dimana keinginan atau kesadaran pria akan hal tersebut sangat rendah. Untuk itu salah satu upaya meningkatkan kesertaan pria dalam penggunaan vasektomi adalah dengan meningkatkan komunikasi melalui pengembangan saluran komunikasi personal, seperti pengembangan kelompok-kelompok (peer group) yang ada didalam masyarakat dan di tempat kerja. Kelompok ini mempunyai potensi yang besar dalam penyebarluasan KIE sebagai motivator vasektomi kepada masyarakat. Kelompok ini bisa sebagai kelompok sosial, seperti tetangga, teman, anggota keluarga dan perkumpulan yang dapat

mengembangkan saluran referensi dari mulut ke mulut. Klien vasektomi merupakan suatu sasaran potensial bagi penyebarluasan informasi kepada teman-temannya atau kepada sasaran khalayak, dan informasi tersebut biasanya dapat dipercaya dan mengenai sasaran. Selanjutnya klien vasektomi yang puas seringkali dapat mengajak klien baru untuk mengikuti metode kontrasepsi mantap ini. 5. Tim Mobil Kontap Salah satu kendala pelayanan vasektomi adalah terbatasnya tempat pelayanan vasektomi. Hasil baseline survei di 4 propinsi yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur (2002) dikemukakan bahwa dari 30 persen tempat pelayanan yang menyediakan pelayanan vasektomi, hanya 4 persen yang melayani vasektomi. Untuk itu diperlukan suatu pelayanan yang mobile (Tim Mobil Kontap) agar dapat menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran. Tim mobil kontap ini hendaknya dapat dibentuk disetiap propinsi, karena diketahui bahwa permintaan pelayanan vasektomi tersebar dibeberapa wilayah. Tim mobil ini diharapkan dapat mengurangi unmet need. Upaya peningkatan partisipasi pria dalam KB memerlukan dukungan semua pihak, namun demikian BKKBN harus mengambil inisitif dalam menumbuhkan dan mengembangkan jaringan informasi dan pelayanan agar pelaksanaan program KB Nasional mencapai sasaran seperti yang diamanatkan dalam RPJM 2004-2009. III. PENUTUP III.1. Kesimpulan Upaya peningkatan partisipasi pria diharapkan akan dapat mewujudkan konsep keluarga yang peduli dengan masalah kesehatan reproduksi, terutama terhadap masalah kesehatan yang dihadapi perempuan. Dengan semakin membaiknya pelayanan yang diberikan terhadap kesehatan perempuan maka akan semakin baik pula kesejahteraan keluarga yang pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan perempuan Indonesia. Dengan demikian dapat segera terwujud keluarga berkualitas seperti yang dicita-citakan.

III.2. Saran Kesetaraan dan keadilan gender dalam KB dan kesehatan reproduksi dapat diwujudkan dalam bentuk peran dan tanggung jawab bersama antara suami dan isteri. KB dan kesehatan reproduksi merupakan kepentingan dan tanggung jawab bersama, sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama dalam berperan untuk meningkatkan kualitas kesehatan reproduksinya termasuk KB, kesehatan maternal, penang-gulangan masalah kesehatan reproduksi, pengasuhan anak dan tanggung jawab dalam kesehatan reproduksi lainnya Peran aktif suami sebagai bentuk nyata kepedulian dan keikut sertaannya di dalam KB dan kesehatan reproduksi, yang didukung oleh pengetahuan dan kesadaran suami yang tinggi merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam KB. Selain itu perlunya kesadaran isteri akan hak-hak reproduksinya dan posisi yang sama dengan suami dalam pengambilan keputusan mengenai KB dan kesehatan reproduksi.

You might also like