Professional Documents
Culture Documents
m
: koefisien jepit pelat
n : jumlah tepi pelat
( ) 9 36
1500
8 , 0
+
,
`
.
|
+
fy
Ln
h
36
1500
8 , 0
,
`
.
|
+
fy
Ln
h
'
'
]
]
]
+ +
,
`
.
|
+
1
1 12 , 0 5 36
1500
8 , 0
m
fy
Ln
h
: Ln memanjang (cm)
Ln melintang (cm)
Pada SK SNI T 15 1991 03 pasal 3.6.6 mengijinkan untuk menentukan distribusi gaya dengan
menggunakan koefisiensi momen yang dapat dilakukan dengan mudah. Untuk menentukan momen lentur
maksimumnya dapat mempergunakan tabel 14 SK SNI T 15 1991 03. Setelah menentukan syarat-
syarat batas, bentang dan tabel pelat kemudian beban-beban dapat dihitung. Untuk pelat sederhana
berlaku rumus :
Wu = 1,2 Wd + 1,6 Wl
Menurut SK SNI T 15 1991 03 tebel 3.2.5 (b), batas lendutan maksimum adalah
bentang. Lendutan yang terjadi akibat beban merata (Timoshenko dkk, 1998) adalah :
dimana :
= lendutan yang terjadi
= koefisien lendutan
Wu = beton ultimate (kg/cm
2
)
= nilai poison rasio
D = momen akibat lentur untuk pelat (kg.cm)
480
D
b Wu
4
( )
2
3
1 12
H Ec
D
384
5
4
Tebal selimut
No. Kondisi Beton minimum
(mm)
1 Beton dicor langsung diatas tanah dan selalu berhubungan langsung dengan tanah 75
2 Beton yang berhubungan dengan tanah atau berhubungan dengan cuaca
> Batang D-19 hingga D-56.. 50
> Batang D-16 jaringan kawat polos P16 atau kawat ulir D-16 dan yang lebih
kecil...... 40
3 Beton yang tidak berhubungan langsung dengan cuaca ateu beton tidak lansung
berhubungan dengan tanah :
> Pelat,dinding, pelat berusuk :
Batang D-44 dan D-56.. 40
Batang D-36 dan yang lebih kecil.... 20
> Balok, kolom :
Tulang utama, pengikat, sengkang, lilitan spiral 40
> Komponen struktur cangkang, pelat lipat :
Batang D-19 dan yang lebih besar.. 20
Batang D-16 jaring kawat polos P-16 atau ulir D-16 dan yang lebih kecil 15
Dalam merencanakan penulangan balok harus dapat memenuhi persyaratan dibawah ini :
1. > 0.3
2. b
min
> 25 cm
3.
min
maks
Menentukan tulangan tekan
< 1
Koefisien balok dengan pelat,
m
merupakan nilai rata-rata untuk semua balok. Untuk mencari lebar
efektif balok dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
2.4 Kolom
Kolom merupakan batang tekan vertikal dari suatu rangka struktur yang memikul beban dari
balok. Kolom merupakan suatu elemen struktur tekan yang sangat memegang peranan penting dalam
suatu struktur. Keruntuhan kolom merupakan lokasi kritis yang dapat menyebabkan runtuhnya lantai yang
bersangkutan dan juga dapat terjadi keruntuhan total dalam seluruh struktur. Menurut SNI 03-1726-2002
pada pasal 10.8 mengatakan bahwa kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang
H
B
' As
As
2 1
2
1
2
1
L L bw b
eff
+ +
hf hf bw b
eff
8 8 + +
8
L
b
eff
bekerja pada semua lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada satu
bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan rasio
maksimum dari momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan.
Syarat-syarat dalam mendesain kolom antara lain :
1. Kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang bekerja pada semua
lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada satu bentang terdekat dari
lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi pembebanan yang mengahasilkan rasio maksimum dari
momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan.
2. Pada konstruksi rangka atau struktur menerus, pengaruh dari adanya beban yang tak
seimbang pada lantai atau atap terhadap kolom luar ataupun dalam harus diperhitungkan.
Demikian pula pengaruh dari beban eksentrisitas karena sebab lainnyajuga harus diperhitungkan.
3. Dalam menghitung momen akibat bebabn gravitasi yang bekerja pada kolom, ujung-ujung
terjauh kolom dapat dianggap terjepit, selama ujung-ujung tersebut menyatu (monolit) dengan
komponen struktur lainnya.
4. Momen-momen yang bekerja pada setiap level lantai atau atap harus didistribusikan pada
kolom diatas atau dibawah lantai tersebut berdasarkan kekakuan relatif kolom dengan juga
memperhatikan kondisi kekangan pada ujung kolom.
Fungsi kolom adalah sebagai penerus beban seluruh bangunan ke pondasi. Kolom berfungsi sangat
penting, agar bangunan tidak runtuh. Beban bangunan dimulai dari atap dan akan diteruskan ke kolom.
Keruntuhan kolom merupakan hal yang perlu dihindari dalam perncanaan struktur bangunan.
Perencanaan kolom harus memperhatikan keadaan batas tegangan (kekuatan) dan kekakuan untuk
menghindari deformasi berlebihan dan tekuk. Daktail tulangan yang benar dan penutup beton yang cukup
adalah hal yang penting. Perbandingan dari kolom tidak boleh dari 0,4
Syarat untuk menetukan dimensi kolom (Kusuma dan Andriono, 1996) yaitu :
h
b
dimana :
N
u
= W
u
= beban ultimate yang dipikul kolom (kg)
A
gross
= luas kolom yang dibutuhkan (cm
2
)
Fc = mutu beton (Mpa)
Untuk batang-batang eksentrisitas yang sangat besar atau yang sangat kecil, pedoman mengatur
ketentuan-ketentuan keamanan tambahan, yang akan dikemukakan dibawah ini.
Gambar 2.9 Diagram interaksi untuk tekan dengan lentur P
n
dan M
n
' 2 , 0 fc
A
N
gross
u
' 2 , 0 fc
N
A
u
gross
Compression failure = keruntuhan tekan
Tension failure = keruntuhan tarik
Balanced failure = keruntuhan seimbang
2.5 Kelengkungan Pada Struktur
Pada desain struktur berbentuk oval ini, kelengkungan pada struktur luar (fasade) perlu
diperhatikan. Hal ini dikarenakan finishing bentuk luar dari bangunan menggunakan material dari kaca
yang rentan terhadap pemuaian. Kelengkungan pada fasade struktur juga mempunyai rentan yang tinggi
akibat getaran yang dapat menyebabkan elemen pecah atau patah.
Kelengkungan bentuk luar (fasade) merupakan diambil dari busur lingkaran dengan jari-jari
setengah dari diameter gedung yaitu sepanjang 22m, dan dengan titik pusat lingkaran berada pada lantai 5
struktur gedung. Dengan panjang oversteek pada tiap-tiap lantai mengikuti pendekatan .
2.6 Baja Tulangan
Beton yang digunakan sebagai bahan utama dalam struktur sangat kuat menahan tekan, namun
tidak kuat dalam menahan tarik. Maka dari itu beton menggunakan tulangan baja dalam mengatasi
masalah itu. Baja yang terdapat pada beton berfungsi untuk memikul tegangan tarik pada struktur. Agar
penggunaan tulangan dapat berjalan dengan efektif, harus diusahakan agar tulangan dan beton dapat
mengalami deformasi bersama-sama, yang bertujuan untuk agar ikat-ikatan yang cukup kuat diantara
kedua material tersebut untuk memastikan tidak terjadinya gerakan relatif (slip) dari tulangan dengan
beton yang terdapat disekelilingnya. Menurut peraturan SNI 03-2847-2002 pada pasal 5.5 mengatakan
baja tulangan yang digunakan harus tulangan ulir, kecuali baja polos diperkenankan untuk tulangan spiral
atau tendon.
Dalam perencanaan, sering digunakan tulangan yang bersifat balance reinforced atau tulangan yang
berimbang, artinya tulangan leleh pada saat bersamaan dengan hancurnya beton. Perbedaan Over
Reinforced dan Under Reinforced adalah :
Tabel 2.5 Perbedaan Over reonforced dan Under reinforced
Dari dua kondisi tersebut, dalam perancangan beton bertulang tidak disarankan dalam kondisi over
reinforced, perancangan didesain harus dalam kondisi keruntuhan under reinforced.
Banyaknya tulangan ditunjukan oleh luas penampang tulangan (As)
dimana :
= angka tulangan (tanpa dimensi)
As = luas tulangan
b
= angka tulangan dalam keadaan seimbang (balance)
>
b
= over reinforced
d b
As
Over Reinforced Under Reinforced
Tulangan banyak Tulangan sedikit
Momen nominal (Mn) besar Momen nominal (Mn) kecil
Garis netral besar Garis netral kecil
Tulangan belum leleh saat beton hancur Tulangan sudah hancur saat beton hancur
Keruntuhan tekan Keruntuhan tarik
Keruntuhan bersifat tiba-tiba
Keruntuhan bersifat perlahan
(didahului retak-retak)
Brittle failure Dactile failure
>
b
= under reinforced
dalam perancangan : < 0,75
b
Kapasitas momen akan meningkat dengan semakin banyaknya tulangan, tetapi tulangan yang
semakin banyak juga akan menyebabkan penampang semakin besar yang akan menyebabkan over
reinforced. Dalam perancangan, penampang dengan kapasitas besar akan tetapi tetap mengalami under
reinforced. Cara terbaik untuk mengatasinya dengan menggunakan tulangan rangkap, tulangan atas
(tekan) dan tulangan bawah (tarik).
2.7 Dasar-dasar Perencanaan Gedung Bertingkat Banyak
Metode yang digunakan dalam menganalisa perencanaan bangunan pada Tugas Akhir ini yaitu,
Analisis beban statik ekuivalen dan Analisis dinamis. Umumnya untuk bangunan sederhana, simetris dan
beraturan, metode statik ekuivalen cukup efektif digunakan.
2.7.1 Perbedaan Antara Beban Statik dan Beban Dinamik
1. Analisis Beban Statik Ekuivalen
Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisa statik struktur, dimana
pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban-beban statik horizontal untuk menirukan
pengaruh gempa yang sesungguhnya akibat pergerakan tanah. Analisis beban gempa statik ekuivalen
( ) 6000
1 ' 85 , 0
+
fy
fc
b
pada struktur gedung beraturan yaitu suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau
beban-beban gempa statik ekuivalen, sehubungan dengan sifat struktur gedung beraturan yang
praktis berperilaku sebagai struktur 2 dimensi, sehingga respon dinamiknya praktis hanya
ditentukan oleh respon ragamnya yang pertama dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari
beban gempa statik ekuivalen.
Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser
dasar akibat gempa dalam arah-arah yang ditentukan.
Gaya lateral direncanakan dan dilaksanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban
geser dasar akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan. Besarnya beban lateral menurut
peraturan SNI-03-1726-2002 dapat dinyatakan sebagai berikut :
dimana :
V = Gaya geser horizontal total akibat gempa
R = Faktor reduksi gempa
C
1
= Faktor respon gempa
1 = Faktor keutamaan
W
t
= Berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai
Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-
beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai-1 menurut
persamaan :
t
W
R
C
V
1
1
V
Z W
Z W
F
n
l i
i i
i i
i
dimana :
Wi = Berat lantai tingkat-1
Zi = Ketinggian lantai
2. Analisis Beban Gempa Dinamik
Analisa dinamik adalah untuk menetukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan
tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisa ragam spectrum respon atau dengan cara
analisa respon riwayat waktu.
Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode dan pola getar alami,
yang menghasilkan frekuensi dan periode.
Analisa dinamik harus dilakukan untuk struktur gedung-gedung berikut :
1. Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 m
2. Gedung-gedung yang memiliki lebih dari 10 lantai
3. Gedung-gedung yang strukturnya tidak beraturan
4. Gedung-gedung yang bentuk, ukuran, dan peraturannya tidak umum
5. Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata
Analisa dinamik yang ditentukan didasarkan atas prilaku struktur yang bersifat elastik penuh dengan
meninjau gerakan gempa dalam satu arah. Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode
dan pola getar alami. Dalam hal ini dapat dilakukan analisis modal untuk mode getaran dengan
menggunakan eigenvector. Struktur dengan jumlah bentang dan kolom tersebar dapat diidealisasikan
hubungan massa dan periode, sehingga dapat dianggap:
1. Massa terpusat pada bidang lantai
2. Balok pada lantai, kaku tak hingga dibandingkan kolom
3. Deformasi struktur tak dipengaruhi gaya aksial yang terjadi pada struktur
2.8 Faktor Beban Ultimit
Ketentuan desain gempa SNI 2847 memakai dasar desain kekuatan terbatas dan bukan desain
tingkat layan (elastis)
Menurut SNI beton 2002 pasal 11.2 secara umum ada 6 macam kombinasi beban yang harus
dipertimbangkan,
1. 1.4 D
2. 1.2 D + 1.6 L
3. 1.2 D + 1.0 L 1.0 (Ex 0.3 Ey)
4. 1.2 D + 1.0 L 1.0 (0.3 Ex Ey)
5. 0.9 D 1.0 (Ex 0.3 Ey)
6. 0.9 D 1.0 (0.3 Ex Ey)
Beban gempa nominal E adalah kombinasi beban pada SNI 2847 ini, memakai beban
terfaktor = 1,0 karena E adalah beban Ultimate.
2.9 Analisis Struktur
Struktur dengan menggunakan beton bertulang berlantai banyak merupakan kombinasi dari balok,
kolom, pelat dan dinding yang dihubungkan satu sama lain untuk membentuk suatu kerangka monolitis.
Setiap bagian harus mampu menahan gaya yang bekerja padanya.
Analisis dimulai dengan menghitung seluruh beban yang dipikul oleh konstruksi, termasuk berat
sendiri konstruksi. Selanjutnya parameter-parameter penampang seperti luas dan momen inersia dihitung.
Gaya-gaya dapat dihitung dengan berbagai metode analisin struktur statis tak tentu, baik secara manual
maupun software komputer. Pada Tugas Akhir ini digunakan program komputer ETABS.
Beban yang terima struktur direncanakan sebagai pembebanan vertikal gravitasi dan pembebanan
leteral gempa. Pembebanan vertikal gravitasi terdiri atas beban mati dan beban hidup.
BAB III
METODELOGI PERENCANAAN
3.1 Langkah Kerja
Dalam melakukan perencanaan struktur dengan menggunakan balok-balok kantilever dibuat
langkah kerja dalam bentuk flow chart atau bagan alur seperti dibawah ini :
MULAI
PENGUMPULAN DATA
DESAIN GAMBAR
PERENCANAAN AWAL :
Pelat
Balok
Kolom
SELESAI
DESAINTULANGANLENTUR & GESER :
Pelat
Balok
Kolom
PERIKSA TULANGAN
Tulangan perlu < Tulangan terpasang
GAMBAR TULANGAN :
Pelat
Balok
Kolom
PERHITUNGAN BEBAN MANUAL :
Beban Mati
Beban Hidup
Beban Gempa
ANALISA STRUKTUR DENGAN ETABS :
Beban Mati
Beban Hidup
Beban Gempa
Tidak
Tidak
Gambar 3.1 Bagan Alur Perencanaan
3.2 Metodologi Analisis
3.2.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang akan diolah dalam
perhitungan, data-data tersebut akan menjadi acuan dalam melakukan perencanaan struktur. Data-data
yang dibutuhkan seperti kegunaan dari bangunan itu sendiri, lokasi struktur, jumlah lantai, tinggi lantai,
tingkat daktalitas struktur, kuat tekan beton yang digunakan, tinggi leleh baja tulangan yang digunakan,
modulus elastisitas, dan gambar struktur dari desain.
3.2.2 Desain Gambar
Desain gambar bertujuan untuk mengetahui model dari desain struktur yang akan direncanakan.
Dalam tugas akhir ini penulis merencanakan denah gambar dengan permodelan gedung berbentuk oval
(tube).
Pemilihan bentuk tersebut dikarenakan karena penulis ingin mengamati perilaku dari stabilitas
struktur terhadap gempa. Karena desain bentuk struktur yang mengecil dibagian bawah dan atas serta
melebar dibagian tengahnya.
3.2.3 Desain Pendahuluan (Preeliminary Design)
Perhitungan prarencana bertujuan untuk menghitung dimensi rencana seperti pelat, balok, dan
kolom agar memperoleh suatu nilai yang optimal.
3.2.4 Menghitung Beban
Dalam perhitungan beban, digunakan dua metode. Metode manual dan metode dengan
menggunakan software ETABS. Penggunaan dua metode ini dimaksudkan agar mendapatkan perhitungan
beban yang lebih akurat dan teliti dalam perencanaan. Metode manual menggunakan cara konvensional
dengan menerapkan rumus-rumus yang ada. Sedangkan metode dengan menggunakan software
menggunakan permodelan struktur ETABS yang dihitung secara otomatis menurut beban-beban yang kita
masukan.
3.2.5 Desain Tulangan Lentur dan Geser
1. Desain Balok Terhadap Lentur
Jika balok dibebani secara bertahap mulai dari beban yang ringan sampai qu sebagai beban batas,
penampang balok mengalami keadaan lentur. Proses peningkatan beban berakibat terjadinya korosi
tegangan dan regangan yang berbeda pada tahapan pembebanan.
Gambar 3.2 Hubungan Tegangan dan Regangan Pada Beton
Desain tulangan lentur ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan besar tulangan yang optimal
dalam menahan gaya lentur. Sifat tulangan terlebih dahulu mencapai titik leleh sebelum kehancuran beton
inilah yang dikehendaki dalam desain dan disebut perencanaan tulangan lemah penampang. Sebaliknya
perencanaan tulang kuat didefinisikan bila terlebih dahulu beton mencapai tegangan batas sebelum
terjadinya kelelehan baja tulangan. Desain dengan tulangan yang kuat sedapat mungkin dihindari dalam
perencanaan, karena akan terjadi keruntuhan secara mendadak yang sifatnya destruktif dan berakibat fatal
bagi pengguna.
Jenis-jenis keruntuhan lentur
Dengan data-data penampang yang didapat, mutu beton, dan tulangan yang digunakan, terdapat 3
kemungkinan keruntuhan yang akan terjadi
1. Keruntuhan tarik (under reinforced)
Pada keruntuhan ini tulangan mencapai tegangan lelehnya terlebih dahulu, setelah itu beton baru
mencapai regangan batasnya, kemudian struktur runtuh.
2. Keruntuhan tekan (over reinforced)
Keruntuhan tekan diakibatkan karena penggunaan tulangan yang terlalu banyak, sehingga beton
akan hancur terlebih dahulu. Keruntuhan ini harus dihindari dalam perencanaan karena
keruntuhan ini bersifat tiba-tiba.
3. Keruntuhan seimbang (ballance)
Pada keruntuhan ini, tulangan baja dan beton secara bersama-sama mencapai regangan batasnya.
Jenis keruntuhan ini juga harus dihindari dalam perencanaan karena bersifat tiba-tiba.
2. Desain Balok Terhadap Geser dan Torsi
Kekuatan tarik beton jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan tekannya, maka dari itu
desain terhadap geser merupakan hal yang sangat penting dalam struktur beton. Perilaku balok pada
keadaan runtuh karena geser sangat berbeda dengan keruntuhan lentur. Balok yang terkena keruntuhan
geser akan langsung runtuh tanpa adanya peringatan terlebih dahulu, selain itu retak diagonalnya lebih
besar dibandingkan dengan retak lenturnya. Oleh sebab itu desain balok tehadap gaya geser harus
diperhitungkan secara teliti. Gaya geser dirancang berdasarkan momen ekstrim dan gaya lintang pada
balok yang mengalami pembebanan yang paling ekstrim.
Balok selain menerima gaya geser juga menerima beban torsi yang didalam sistem struktur dapat
digolongkan atas dua tipe yaitu torsi statis tertentu dan torsi statis tak tentu. Statis tertentu jika jumlah dari
torsi yang harus dipikul bisa memenuhi persyaratan statika dan bebas dari kekakuan unsur. Sedangkan
torsi tak tentu terjadi dalam keadaan dimana tidak akan ada torsi kalau ketidaktentuan statika dihilangkan.
Perencanaan Balok Terhadap Geser
Perencanaan penampang akibat geser harus didasarkan pada :
V
u
V
n
Dimana V
u
adalah gaya geser terfaktor pada penampang yang ditinjau dan V
n
adalah kuat geser
nominal yang dihitung dari :
V
n
= V
c
+ V
s
V
c
= kuat geser nominal yang disumbangkan beton
V
s
= kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser
Hal yang harus dipenuhi dalam menetukan kuat geser :
1. Untuk kuat geser V
n
harus memperhitungkan pengaruh setiap bukaan pada komponen
struktur.
2. Untuk kuat geser V
u
dimana berlaku pengaruh regangan aksial tarik yang disebabkan oleh
rangkak dan susut pada komponen struktur yang terkekang, maka harus diperhitungkan
pengaruh tarik tersebut pada pengurangan kuat geser.
Perencanaan Balok Terhadap Torsi
Kuat momen torsi dalam merencanakan penampang terhadap torsi harus didasarkan kepada :
Tu Tn
Dimana Tu merupakan torsi terfaktor pada penampang yang ditinjau, sedangkan Tn adalah kuat
momen torsi nominal yang harus dihitung dengan :
Tn = Tc + Ts
Ts = kuat momen torsi nominal yang disumbangkan oleh beton.
Dalam menentukan penulangan pada balok dapat dibedakan menjadi dua bagian diantaranya :
1. Tulangan dipasang simetris pada dua sisi penampang kolom.
2. Tulangan dipasang sama rata pada sisi-sisi penampang kolom.
1. Desain Kolom Terhadap Aksial dan Lentur
Perencanaan suatu kolom terutama didasarkan pada kekuatan dan kekakuan penampang
lintangnya terhadap beban aksial dan momen lentur. Kolom tersebut harus memiliki kekakuan yang
sedemikian rupa, sehingga kekuatan dalam kombinasi beban aksial dan lentur ini harus memenuhi
persamaan keserasian tegangan dan regangan. Serta berdasarkan beban kombinasi yang paling ekstrim
yang terjadi pada kolom.
Pada situasi pembebanan lentur dengan gaya aksial harus terjadi kesetimbangan H = 0, sehingga
didapat persamaan :
P = (Cc + Cs Ts)
= koefisien reduksi
(fc 30 Mpa = 0,85)
(30 Mpa fc 58 Mpa = 0.85 0.05/7 (fc 30)
(fc 58 Mpa = 0,65)
P = (0.81 fc a b + As Es s fy As)
Sesuai dengan syarat kesetimbangan momen M=0, maka didapat persamaan :
M = (Cc + Cs Ts)
M = {Cc(0.5 0.5a) + Cs(0.5h d) Ts (0.5h ds)}
M = {[0.81 fcab(0.5h 0.5a)] + [AsEss(0.5h-d)] [fyAs(0.5h ds)]
Pada SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.14.4 menetapkan batasan untuk gaya yang bekerja pada beban yang
mengalami beban lentur dan aksial. Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa komponen struktur rangka
yang mengalami beban aksial dan lentur harus :
1. Untuk penampang yang berdimensi pendek yang telah diukur pada satu garis lurus melalui titik
berat penampang tidak boleh kurang dari 300 mm.
2. Perbandingan rasio dimensi penampang terpendek terhadap dimensi yang tegak lurus
terhadapnya tidak boleh kurang dari 0,4.
3. Untuk rasio tinggi kolom terhadap dimensi penampang kolom yang terpendek tidak boleh lebih
besar dari 25. Nila pada kolom tersebut mengalami momen yang dapat berbalik tanda, rasionya
tidak boleh lebih besar dari 16. Sedangkan pada kolom kantilever rasionya tidak boleh lebih dari
10.
Penggunaan grafik pada grafik 6.2 CUR 4 (terdapat pada lampiran) dapat juga dilakukan dalam
membantu perhitungan desain maupun analisa, terutama pada saat penulangan isi kolom, dimana dari
grafik tersebut didapat perbandingan antara luas total penampang dengan luas tulangan.
4. Penulangan Pada Pelat
Perhitungan penulangan pada pelat dimodelkan seperti perhitungan tulangan pada balok,
diasumsikan lebar balok dianggap 1 meter. Dengan menggunakan perbandingan antara sisi panjang dan
sisi pendek pada pelat.
Mlx = 0,001 Wu Lx
2
x
Mly = 0,001 Wu Lx
2
x
Mtx = -0,001 Wu Lx
2
x
Lx
Ly
Mty = 0,001 Wu Lx
2
x
Diambil Momen terbesar (Mmax) = Mu
Mn =
Tebal pelat minimum (h
min
) = (didapat h)
Penutup beton tebalnya ditentukan berdasarkan Tabel 3 CUR
mis. untuk < 16 mm, tebal pelat = 40 mm
gunakan
Tentukan nilai berdasarkan grafik dan tabel perencanaan beton bertulang
(CUR.4) tabel 5.2
As = b d 10
6
didapatkan tulangan (As terpasang = ...... mm
2
)
Cek :
Terhadap rasio tulangan max dan min
= min max (ok!!!)
Terhadap lendutan
Lendutan yang terjadi harus lebih kecil dari lendutan ijin (L/240)
Mu
L
20
1
2
d b
Mn
d b
As
22675,
84
2610,
09
5902,
08
578,0
12 2023,06
35908,
56
8670,
21
56962,
61
Tabel 4.5 Tabel Beban Statis
Total waktu getar (T)
Tx=Ty = 0,06 H34 = 0,06 (40)34 = 0,95 detik
Faktor Keutamaan
I=I1 I2
I = 1,0 1,0 = 1,0
Koefisien dasar gempa (C) untuk struktur wilayah gempa 5
C= 0,76T = 0,760,95=0,8
Dari grafik 2.3 wilayah gempa 5 didapat C = 0,85 (Lengkung)
Faktor Reduksi Gempa (R)
1,6 R= fi Rm
Dimana :
R = Faktor Reduksi Gempa
= Faktor Daktilitas Untuk Struktur Gedung (= 5,3 daktail penuh)
fi = Faktor Kuat Lebih Beban Beton dan Bahan (fi=1,6)
R = fi = 5,3 1,6 = 8,48
Maka, data yang didapat adalah =5,3 dan R=8,48
Gaya Geser Horizontal Terhadap Gempa (V) sepanjang gedung
Vx= Vy= C1IRWt
= 0,85 18,4856962,61 KN=5709,7 KN
Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, untuk pembagian sepanjang tinggi struktur
gedung menjadi beban gempa nominal statik ekivalen Fi yang menangkap pada pusat massa
lantai yaitu:
Fi= Wi Zin=1nWi Zi V
Distribusi gaya geser horizontal total akibat gempa sepanjang tinggi gedung :
HA= 4044=0,91
HB= 4044=0,91
Elastisitas Kolom (E) = 4700fc'=470025=23.500.000 Mpa
= 2.350.000 kgcm2
Ik pinggir= 11275753=2636718,75 cm4
Ik tengah = 11270703=2000833,33 cm4
Ib = 11225523=292933,33 cm4
Lant
ai
Wd Wl Wu V Z Fix,y
1 3647,4 784,5 5632,1 5709,6 4 106,37
3 16 96 33
2
3872,6
72
851,1
3
6009,0
14
5709,6
96 8
226,98
36
3
4014,5
32
895,7
4
6250,6
22
5709,6
96 12
354,16
51
4
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
5709,6
96 16
459,35
74
5
3830,8
12
994,2
7
6187,8
06
5709,6
96 20
584,34
31
6
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
5709,6
96 24
689,03
61
7
3679,0
12
895,7
4
5847,9
98
5709,6
96 28
773,15
48
8
3279,3
92
851,1
3
5297,0
78
5709,6
96 32
800,36
41
9
3054,1
5 784,5
4920,1
8
5709,6
96 36
836,34
35
10
2899,6
9 735,9
4657,0
68
5709,6
96 40
879,57
68
35908,
56
8670,
21
56962,
61 40
5709,6
98
Tabel 4.6 Tabel Beban Gempa Horizontal
Menentukan Kekakuan
Kb 1 Kb 2
Kc
6 0 0 c m 6 0 0 c m
4 0 0 c m
Arah x
K1= 4EIL= 4 2.350.000 292933,33600=457988836,7 kg.cm
Arah y
K2= 4EIL= 4 2.350.000 292933,33600=457988836,7 kg.cm
Kcp= 4EIKpL= 4 2.350.000 2636718,75600=41308593750 kg.cm
Kct= 4EIKtL= 4 2.350.000 2000833,33600=31346388890 kg.cm
Kx1=K1Kcp= 457988836,741308593750=0,011
Kx=0,026
Kx2=K1Kct= 457988836,731346388890=0,015
Ky1=K2Kcp= 457988836,741308593750=0,011
Ky=0,026
Ky2=K2Kct= 457988836,731346388890=0,015
Kekakuan = Kx+ Ky2= 0,026+0,0262=0,026
Rasio Titik Balok Kolom Untuk K = 1,05 s.d 5
Lanta
i
Rasio Tinggi
Titik Balok
10 0,45
9 0,5
8 0,5
7 0,5
6 0,5
5 0,5
4 0,5
3 0,5
2 0,5
1 0,55
Tabel 4.7 Tabel Rasio Balok Kolom
B ME B
4 0 0 c m
A
ME A
0 , 5 5 x 4
Pemeriksaan Rasio Luas Tulangan () kolom
Untuk Kolom 75/75
Pu = 0,1 fc Agr
= 0,1 250 75 75
= 140625 kg = 140,625 ton
Pu = 140,625 ton Pu = 364,65 ton
Faktor Reduksi () = 0,8
MEA=Ft tinggi lantai-rasio tinggi lantaitinggi lantai
= 36,57 (4 (0,55 4)) = 65,83 t.m
MEB=Ft rasio tinggi lantaitinggi lantai
= 36,57 (0,55 4) = 80,45 t.m
ME=nilai terbesar dari MEA dan MEB = 80,45 t.m
Mu = 1,054180,45= 337,9 t.m
e=MuPu=337,9364,65=0,92 m=92 cm
eh=9240=2,3
d'h=440=0,1
Menentukan dengan grafik
a. Bidang Datar
= PuAgr 0,81 fc'eh
= 364,65 103o,875750,812502,3=0,09
b. Bidang Tegak
=Pu(Agr0,81fc')=364,65103(0,875750,81250)=0,04
Dari gambar 6.2.d (Vis dan Kusuma, 1997), didapatkan data sebagai berikut :
r = 0,014
= 1,0
= 0,014 1,0 = 0,014 = 1,4%
0,01 0,014 0,06
Kolom 75/75 masih dalam keadaan aman.
Kesimpulan dan Pengambilan Dimensi Struktur
Dalam pengambilan dimensi struktur, dimensi dirubah dari perhitungan pra rencana. Hal ini
terjadi karena adanya perbesaran kolom dalam sistem perkakuannya. Maka dari itu, penulis
mencoba untuk mengurangi dimensi struktur dari perhitungan pra rencana.
1. Dimensi Pelat (hp) : 120 mm
2. Dimensi Balok
a. Balok Umum : 350/700
b. Balok Umum 2 : 450/700
c. Balok Kantilever As.2 : 450/800
Balok umum 2 digunakan pada bagian-bagian dari balok umum yang pada saat di start
check concrete design masih merah, dengan hanya mendesain kembali balok-balok yang
merah saja tanpa merubah ukuran-ukuran balok lainnya yang sudah ok.
1. Dimensi Kolom
a. Kolom Lantai 10 s.d 8 : Kolom Tengah : 400/400
Kolom Pinggir : 450/450
b. Kolom Lantai 7 s.d 4 : Kolom Tengah : 700/700
Kolom Pinggir : 600/600
c. Kolom Lantai 3 s.d 1 : Kolom Tengah : 700/700
Kolom Pinggir : 750/750
Dimensi pembesaran kolom direncanakan menggunakan dimensi
Kolom Besar 1 (Lantai 1-5) : 900/900
Kolom besar 2 (Lantai 6-10) : 700/700
Namun, pada saat dianalisis struktur dengan menggunakan program ETABS, dimensi
kolom dapat berubah bervariasi seperti yang telah dituliskan dalam pengambilan dimensi
struktur diatas. Penulis menentukan dimensi pada kolom dengan cara trial and error, dan
mendesainnya seefisien mungkin tanpa mengurangi kekuatan dari struktur.
4.3 Analisis Struktur
P e r b e s a r a n K o l o m
A
7
B C D E F G I
6
5
4
3
2
1
H
8
9
Gambar 4.13 Denah Lantai dan Asnya
A
7
B C D E F G I
6
5
4
3
2
1
H
8
9
6 m
6 m
4 m 6 m 6 m 6 m 6 m 6 m 4 m
4 m
6 m
6 m
6 m
6 m
6 m
4 m
Gambar 4.14 Denah Gedung Dengan Beban Trap Lantai 5
Pembebanan dengan beban trap merupakan penyebaran beban yang bekerja pada setiap
lantai. Lantai yang diambil adalah pada lantai 5 dikarenakan luas area terbesar berada dilantai 5.
Semua didesain dengan menggunakan beban terbesar dari struktur bangunan.
4.3.1 Data Beban Untuk Input ETABS
Pada ETABS perhitungan beban mati pada bagian balok tengah diabaikan, karena sudah
otomatis masuk dalam perhitungan berat sendiri, kecuali pada pembebanan balok-balok
kantilever yang ditambahkan beban kaca dan pembebanan pada lantai atap yang ditambahkan
dengan aspal.
Bagian Pinggir (Kantilever)
Beban Mati
Berat Kaca : Bj.kaca (tinggi lantai-tinggi balok)= 0,31KN/m2
Beban Hidup = 2,5 KN/m2
Beban Mati
Bagian Atap Tengah
Aspal : Bj. Aspal tebal = 0,98 KN/m2
Bagian Kantilever
Aspal : Bj. Aspal tebal = 0,98 KN/m2
Kaca : Bj. Kaca (tnggi lntai- tinggi blk) = 0,31 KN/m2
+
= 1,29 KN/m2
Beban Hidup : Air Hujan : 1 0,3 0,05 =4,707 KN/m2
Atap :Koef. Reduksi qL = 0,3 1 =0,3 KN/m2
+
=5,007 KN/m2
4.3.2 Besar Pembebanan Trap
Bagian Segi Tiga
6 m
b b
b = 0,5 = 6 0,5 = 3 m
Pembebanannya:
Beban Mati Atap Tengah
Jarak 0 3 3 6
Beba
n 0 0,98 0,98 0
Beban Hidup Atap Tengah
Beban Hidup Lantai 1 s.d 9
Bagian Trapesium
Jarak 0 3 3 6
Beba
n 0 3,045 3,045 0
Jarak 0 3 3 6
Beba
n 0 2,5 2,5 0
4 m
a b
b = 4 13=1.33 m
Pembebanannya:
Beban Mati Atap Kantilever
Jarak 0 1,33 2,66 4
Beba
n 0 0,645 1,29 1,29
Beban Mati Lantai 1 s.d 9 Kantilever
Jarak 0 1,33 2,66 4
Beba
n 0 0,155 0,31 0,31
Beban Hidup Atap Kantilever
Beban Hidup Lantai 1 s.d 9 Kantilever
Jarak 0 1,33 2,66 4
Beba
n 0 2,504 5,007 5,007
Jarak 0 1,33 2,66 4
Beba
n 0 1,25 2,5 2,5
4.3.3 Perhitungan Gaya Geser Akibat Gempa
Luas Setiap Lantai
Luas Lantai
1 1046
Luas Lantai
2
1134
,83
Luas Lantai
3
1194
,32
Luas Lantai
4
1251
,52
Luas Lantai
5
1288
,82
Luas Lantai
6
1251
,52
Luas Lantai
7
1194
,32
Luas Lantai
8
1134
,83
Luas Lantai
9 1046
Luas Lantai
10
981,
2
Tabel 4.8 Tabel Luas
Menentukan Berat Ultimit Bangunan
Lantai 1
(Beban mati)
Pelat = hp bj.beton Luas area lantai 1
= 0,1224((33,0420)+(2,18)+(10,48)+
= (31,2 8) + (8,9 4) ` =2259,36 KN
Balok Umum = b (h- hp) bj.beton jml balok
= 0,25 (0,52 0,09) 24 68 = 175,44 KN
Balok KAS3 = 0,375 (0,61 0,09) 24 16 =74,88 KN
Kolom = - Kolom Tengah=(b h) 12tnggi lntai atas+tnggi lntai bwh
bj.btnjml)
= (0,7 0,7) 12 4+424 20 =470,4 KN
Kolom Pinggir = (0,75 0,75) 124+416= 432 KN
Plafond = Luas Area Lt. 1 bj. Plafond
= (33,04 20) + (2,1 8) + (10,4 8) +(31,2 8)
+ (8,9 4) 0,05 = 52,3 KN
Penutup Lantai = Luas Area Lt. 1 bj
= (33,04 20) + (2,1 8) + (10,4 8) +(31,2 8) +
(8,9 4) 0,175
=183,05 KN
+
Total (Wd1) =3647,43 KN
(Beban Hidup)
Menurut peraturan SNI
Beban hidup untuk atap = 1 KNm2
Beban hidup untuk lantai (perkantoran) = 2,5 KNm2
Koefisien reduksi beban hidup terhadap gempa sebesar 0,3 (perkantoran)
Lantai 10 (Atap)
Atap = Koef. Reduksi Luas Area qL
= 0,3 313,8 1 =94,14 KN
Air Hujan = L. Areabj.airkoef. Reduksi0,05
= 313,8 1 0,3 0,05 = 4,707 KN
+
Total (Wlatap)= 98,85 KN
Lantai 1 (Perkantoran)
Perkantoran = Luas Area qL koef. Reduksi
= (33,0420)+(2,18)+(10,48) +
(31,2 8) + (8,9 4) 2,5 0,3 =784,5 KN
Beban Ultimit
Wu1 = 1,2 (Wd1) + 1,6 (Wl1)
= 1,2 (3644,43) + 1,6 (78,45)
= 4502,436 KN
Dengan menggunakan cara yang sama didapatkan
Lanta
i
Berat
Wd Wl Wu
Pelat Balok
Kolo
m
Plafo
n
Penutup
Lantai
1
2259,3
6
250,3
2 902,4 52,3 183,05
3647,4
3 784,5
5632,1
16
2
2451,2
5
263,6
8 902,4
56,74
2 198,6
3872,6
72
851,1
3
6009,0
14
3
2579,7
3
263,6
8 902,4
59,71
6 209,006
4014,5
32
895,7
4
6250,6
22
4
2703,2
8
263,6
8
566,8
8
62,57
6 219,02
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
5 2688,6
277,0
5
566,8
8
66,28
4 231,998
3830,8
12
994,2
7
6187,8
06
6
2703,2
8
263,6
8
566,8
8
62,57
6 219,02
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
7
2579,7
3
263,6
8
566,8
8
59,71
6 209,006
3679,0
12
895,7
4
5847,9
98
8 2451,2 263,6 309,1 56,74 198,6 3279,3 851,1 5297,0
5 8 2 2 92 3 78
9
2259,3
6
250,3
2
309,1
2 52,3 183,05
3054,1
5 784,5
4920,1
8
10
2119,
48
250,3
2
309,1
2 49,06 -
2723,9
8 735,9
4446,2
2
22675,
84
2610,
09
5902,
08
578,0
12 1851,35
35732,
85
8670,
21
56751,
76
Tabel 4.9 Tabel Beban Ultimit
Total waktu getar Bangunan (T)
Tx=Ty = 0,06 H34 = 0,06 (40)34 = 0,95 detik
Faktor Keutamaan
I=I1 I2
I = 1,0 1,0 = 1,0
Koefisien dasar gempa (C) untuk struktur wilayah gempa 5
C= 0,76T = 0,760,95=0,8
Dari grafik 2.3 wilayah gempa 5 didapat C = 0,85 (Lengkung)
Faktor Reduksi Gempa (R)
1,6 R= fi Rm
Dimana :
R = Faktor Reduksi Gempa
= Faktor Daktilitas Untuk Struktur Gedung (= 5,3 daktail penuh)
fi = Faktor Kuat Lebih Beban Beton dan Bahan (fi=1,6)
R = fi = 5,3 1,6 = 8,48
Maka, data yang didapat adalah =5,3 dan R=8,48
Gaya Geser Horizontal Terhadap Gempa (V) sepanjang gedung
Vx= Vy= C1IRWt
= 0,85 18,4856751,76 KN=5688,56 KN
Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, untuk pembagian sepanjang tinggi struktur
gedung menjadi beban gempa nominal statik ekivalen Fi yang menangkap pada pusat massa
lantai yaitu:
Fi= Wi Zin=1nWi Zi V
Distribusi gaya geser horizontal total akibat gempa sepanjang tinggi gedung :
HA= 4044=0,91
HB= 4044=0,91
Elastisitas Kolom (E) = 4700fc'=470025=23.500.000 Mpa
= 2.350.000 kgcm2
Wd Wl Wu V Z Fix,y
Untuk Tiap
Portal (KN)
1/10
Fix,y
1/3
Fix,y
3647,4
3 784,5
5632,1
16
5688,5
61 4
105,97
96
10,5979
6 35,327
3872,6
72
851,1
3
6009,0
14
5709,6
96 8
226,98
36
22,6983
6
75,661
2
4014,5
32
895,7
4
6250,6
22
5709,6
96 12
354,16
51
35,4165
1
118,05
5
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
5709,6
96 16
459,35
74
45,9357
4
153,11
9
3830,8
12
994,2
7
6187,8
06
5709,6
96 20
584,34
31
58,4343
1 194,78
3815,4
36
938,6
5
6080,3
63
5709,6
96 24
689,03
61
68,9036
1 229,68
3679,0
12
895,7
4
5847,9
98
5709,6
96 28
773,15
48
77,3154
8
257,71
8
3279,3
92
851,1
3
5297,0
78
5709,6
96 32
800,36
41
80,0364
1
266,78
8
3054,1
5 784,5
4920,1
8
5709,6
96 36
836,34
35
83,6343
5
278,78
1
2723,9
8 735,9
4446,2
16
5709,6
96 40
839,75
34
83,9753
4 279,92
35732
,85
8670,
21
56751
,76 40
5669,
481
566,94
8
1889,8
3
Tabel 4.10 Tabel Distribusi Beban Gempa Horizontal Gempa Statis Arah X,Y
4.3.4 Permodelan Pembebanan Struktur
1. Beban Mati dan Beban Hidup
Permodelan struktur yang penulis pakai menggunakan program ETABS. Pada software
ini dalam memberikan beban tidak memperhitungkan dari beban elemen struktur sendiri, karena
seluruh berat elemen struktur secara otomatis telah dimasukkan sebagai beban mati.
Pada program ETABS, penulis mencoba mengubah dimensi struktur dari yang telah
diperhitungkan pada perhitungan prarencana. Hal ini dikarenakan, penulis ingin mendesain
dimensinya dengan seefisien mungkin tanpa mengurangi kekakuan atau kekuatan dari struktur.
Dalam permodelan struktur ini juga, penulis mencoba membesarkan dimensi balok yang berada
pada lantai paling atas (lantai 10). Dengan menggunakan perbesaran dimensi kolom dan balok
diharapkan dapat mengurangi dimensi-dimensi yang telah ada.
2. Beban Gempa
Dalam perencanaan beban gempa pada bangunan ini cukup hanya dilakukan analisa
beban statis saja. Dikarenakan tinggi total dari struktur tidak lebih dari 40 m.
A
7
B C D E F G I
6
5
4
3
2
1
H
8
9
V i e w 5
Gambar 4.15 Denah Lantai
Elevation View 5
4 0 m
3 6 m
3 2 m
2 8 m
2 4 m
2 0 m
1 6 m
1 2 m
8 m
4 m
1 0 5 , 9 8 K N
2 2 6 , 3 8 K N
3 5 4 , 1 7 K N
4 5 9 , 3 6 K N
5 8 4 , 3 4 K N
6 8 9 , 0 4 K N
7 7 3 , 1 6 K N
8 0 0 , 3 6 K N
8 3 6 , 3 4 K N
8 3 9 , 7 5 K N
4 4 m
Gambar 4.16 Permodelan Beban Gempa Arah X
3. Permodelan Struktur
Seperti yang telah dijelaskan pada BAB I, permodelan struktur dibuat menggunakan
program ETABS. Permodelan struktur ini dimulai dengan menyusun titik-titik kumpul atau
joint. Masing-masing titik kumpul ini merupakan pembatas antar elemen yang digunakan
untuk menyusun model struktur. Model struktur berbentuk portal dengan 3 (tiga) dimensi,
yaitu arah X,Y,Z. Struktur terdiri dari lantai dasar sampai dengan lantai 10, seperti yang telah
direncanakan. Tinggi masing-masing dari lantai adalah 4 m, dengan tinggi total sebesar 40 m.
Bangunan ini memiliki denah lantai berbentuk lingkaran, dengan diameter terbesar lantai
adalah 44 m, luas berbeda-berbeda pada setiap lantai. Dengan luas terbesar berada pada lantai
5.
Gambar 4.17 Model Struktur 3D
Dalam proses permodelan struktur dengan menggunakan program ETABS, penulis
mencoba berkali-kali model dimensi yang cocok sehingga memenuhi kelayakan dengan
menggunakan metode trial and error. Pada awalnya penulis memasukan dimensi-dimensi yang
telah dihitung pada pra rencana, tapi pada saat dianalisis struktur memiliki deformasi yang lebih
dari 2% tinggi seluruh gedung atau melebihi dari ketentuan yang berlaku. Lalu penulis mencoba
membesarkan dimensi-dimensi yang ada. Pada saat di check structure concrete design, ternyata
masih terdapat elemen-element struktur yang belum kuat yang ditandai dengan berwarna
merahnya elemen struktur yang belum kuat. Penulis kembali mencoba membesarkan elemen dari
struktur, kali ini penulis mencoba membesarkan hanya pada bagian elemen kolom yang berada
pada sudut-sudutnya saja dan pada dimensi balok yang berada dilantai 9. Terjadi perubahan pada
kekuatan struktur bangunan. Maka dari itu, penulis mencoba berulang kali merubah kolom-
kolom yang berada pada bagian sudut sampai sesuai dengan kekuatan bangunan. Yang terakhir,
penulis mencoba untuk memperkecil elemen-elemen yang berada pada bagian tengah agar
menjadi lebih efisien.
Kol om Yang Dibesarkan
A
7
B C D E F G I
6
5
4
3
2
1
H
8
9
Gambar 4.18 Denah Letak Kolom Yang Diperbesar
Ba l ok y a n g di pe rb es a r
Kol om y a ng d ip e rbe s ar
D en a h La n ta i 9
Gambar 4.19 Denah Lantai 9 Letak Balok Yang Diperbesar
1. Pembebanan Struktur
Beban Mati
Pada pembebanan untuk beban mati, pembebanan meratanya ada yang berbentuk
segitiga, ada pula yang berbentuk trapesium. Beban merata berbentuk segitiga kebanyakan
berada pada balok bagian tengah, sedangkan trapesium berada pada bagian pinggir atau
kantilever. Beban mati pada bagian tengah sudah termasuk dalam perhitungan berat sendiri yang
tidak perlu ditambahkan lagi, akan tetapi pada bagian balok pinggir beban mati ditambahkan
pembebanan kaca dan pada lantai atap ditambahkan pembebanan aspal.
A
7
B C D E F G I
6
5
4
3
2
1
H
8
9
4.20 Denah Lantai
4.21 Pembebanan Beban Mati As. B
4.22 Pembebanan Beban Mati As. C
4.23 Pembebanan Beban Mati As. D
4.24 Pembebanan Beban Mati As. E
4.25 Pembebanan Beban Mati As. F
4.26 Pembebanan Beban Mati As. G
4.27 Pembebanan Beban Mati As. H
Mayoritas dari pola pembebanan berbentuk segitiga, hanya pada bagian pinggir atau
kantilevernya yang berbentuk trapesium. Pada bagian kantilever berbentuk trapesium terbuka, pada salah
satu ujungnya, dikarenakan hanya pada satu bagian saja yang tertumpu oleh kolom.
Gambar 4.28 Deformasi Akibat Beban Mati Pada As. C
Deformas
i
Atap Lantai 9 Lantai 1
(m) (m) (m)
Tepi -3,6E-03 -3,4E-03 -6,1E-04
Tengah
-3,43E-
03 -3,3E-03 -4,94E-04
Tabel 4.11 Tabel Deformasi Akibat Beban Mati
Gambar 4.29 Gaya
NormalUntuk Beban
Mati
Tabel 4.12 Tabel Gaya Normal Akibat Beban Mati
Dari tabel 4.15 dapat dilihat bahwa gaya normal maksimum terdapat pada kolom tepi dan
berada pada lantai 1. Hal ini dikarenakan kolom tepi merupakan kolom yang mengalami
N Atap (m)
Lantai 1
(m)
Kolom Tepi -198,01 -2873,18
Kolom Tengah -126,84 -1452,30
perbesaran, jadi gaya normal yang diserap lebih besar dari pada kolom tengah. Secara tidak
langsung, merupakan yang menjadi penopang beban utama dari struktur.
Gambar 4.30 Gaya Geser Untuk Beban Mati As. C
D
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 18,09 63,91 4,98
Kolom
Tengah 0,82 3,63 -0,61
Balok
Tengah -42,34 -32,94 -20,16
Balok
Kantilever -33,82 -70,12 -52,85
Tabel 4.13 Tabel Gaya Geser (D) Akibat Beban Mati
Seperti yang dilihat pada gambar 4.37, gaya geser pada balok sebelah kanan dan kiri
lebih besar dari pada balok yang berada pada bagian tengah. Hal ini dikarenakan kolom yang
berada pada as ini merupakan kolom perkakuan. Gaya yang bekerja lebih banyak terserap oleh
kolom yang mengalami perkakuan. Besar gaya geser pada balok kantilever terbesar didapatkan
pada lantai 6 mengingat panjangnya yang mempengaruhi dari gaya geser yang terjadi
Gambar 4.31 Gaya Momen Untuk Beban Mati As. C
M
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -4,49 -38,79 -15,67
Kolom
Tengah -1,04 -4,70 -2,01
Balok
Tengah -141,45 -140,182 -49,106
Balok
Kantilever -62,783 -217,06 -49,11
Tabel 4.14 Momen Akibat Beban Mati
Pada Tabel 4.17 dapat terlihat momen terbesar berada pada balok kantilever lantai 6, hal
ini dikarenakan balok kantilever menanggung momen yang paling besar, sehingga momen yang
bekerja pada balok kantilever menjadi besar pula. Momen yang bekerja pada kolom tidak sebesar
yang bekerja pada balok, karena yang ditinjau adalah beban mati
Beban Hidup
Pembebanan beban hidup yang bekerja berbentuk segitiga dan trapesium. Pada beban
merata berbentuk segitiga kebanyakan berada pada balok bagian tengah, sedangkan trapesium
berada pada bagian pinggir atau kantilever. Beban hidup ini berupa beban beban atap dan air
hujan untuk lantai atap dan beban hidup perkantoran untuk lantai 1 sampai dengan 9.
Gambar 4.32 Pembebanan Beban Hidup As. B
Gambar 4.33 Pembebanan Beban Hidup As. C
Gambar 4.34 Pembebanan Beban Hidup As. D
Gambar 4.35 Pembebanan Beban Hidup As. E
Gambar 4.36 Pembebanan Beban Hidup As. F
Gambar 4.37 Pembebanan Beban Hidup As. G
Gambar 4.38 Pembebanan Beban Hidup As. H
Gambar 4.39 Deformasi Akibat Beban Hidup
Nilai deformasi akibat beban hidup lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai deformasi
beban mati. Hal ini dikarenakan nilai beban hidup yang bekerja lebih kecil dibandingkan dengan
nilai beban mati yang bekerja pada struktur. Besarnya nilai inilah yang mempengaruhi nilai dari
deformasi.
Deformas
i
Atap Lantai 9 Lantai 1
(m) (m) (m)
Tepi
-1,23E-
03
-1,12E-
06 -2,21E-04
Tengah
-1,12E-
03
-1,15E-
03 -1,83E-04
Tabel 4.15 Deformasi Akibat Beban Hidup
Gambar 4.40 Gaya Normal (N) Akibat Beban Hidup As. C
N Atap (m)
Lantai 1
(m)
Kolom Tepi -44,81 -1052,74
Kolom Tengah -47,8 -527,39
Tabel 4.16 Gaya Normal Akibat Beban Hidup
Seperti deformasi, gaya normal akibat beban hidup yang bekerja pada struktur relatif lebih
kecil dibanding gaya normal yang bekerja akibat beban mati. Hal ini disebabkan nilai dari
beban hidup tidak sebsar nilai beban mati yang bekerja pada struktur. Hal ini juga
disebabkan karena yang mempengaruhi gaya normal adalah gaya yang sejajar dengan
elemen baik kolom maupun balok. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gaya terbesar
berada pada lantai 1 kolom yang mengalami perkakuan.
Gambar 4.41 Gaya Geser (D) Akibat Beban Hidup As. C
D
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 6,69 46,76 2,11
Kolom
Tengah 0,5 2,48 0,45
Balok
Tengah -19,925 23 -8,14
Balok
Kantilever -12,9 -15,85 -15,79
Tabel 4.17 Gaya Geser Akibat Beban Hidup
Dari tabel 4.20 diatas dapat terlihat gaya geser kolom pada kolom tepi lebih besar
dibandingkan pada kolom yang berada di bagian tengah. Hal ini dikarenakan kolom tepi
merupakan kolom yang dibesarkan atau yang menjadi kolom perkakuan. Kolom perkakuan
mempunyai fungsi menyerap gaya-gaya geser yang bekerja pada balok. Balok kantilever
mempunyai gaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan pada balok tengah, hal
tersebut karena balok-balok kantilever hanya memiliki satu tumpuan saja.
Gambar 4.42 Gaya Momen Akibat Beban Hidup View C
M
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 0,86 -22,15 -6,76
Kolom
Tengah 0,64 -3,15 -1,5
Balok
Tengah -69,42 -80,51 -24,33
Balok
Kantilever -27,97 -65,05 -58,65
Tabel 4.18 Gaya Momen Akibat Beban Hidup
Seperti halnya pada geser, momen yang bekerja pada kolom tepi lebih besar
dibandingkan dengan momen yang bekerja pada kolom bagian tengah dan yang terbesar berada
pada lantai 6. Hal ini terjadi karena beban yang terbesar berada pada lantai 6. Jika dibandingkan
dengan beban mati, deformasi, normal, geser dan momen akibat beban hidup lebih kecil
dibandingkan dengan beban mati.
Beban Gempa Statik
Beban gempa statik merupakan pembebanan lateral yang diberikan pada struktur pada
arah X, Y. Pola pembebanan gempa arah X dan Y pada desain ini berbeda namun tidak begitu
besar, mengingat bentang X, dan Y yang sama dalam perencanaan bentuk gedung. Distribusi
beban gempa, semakin keatas semakin besar karena selain bentuk struktur yang semakin keatas
semakin besar lalu mengecil lagi, tapi karena pada saat gempa terjadi, besarnya deformasi
semakin keatas semakin besar.
E l e v a t i o n V i e w C
4 0 m
3 6 m
3 2 m
2 8 m
2 4 m
2 0 m
1 6 m
1 2 m
8 m
4 m
1 0 5 , 9 8 K N
2 2 6 , 3 8 K N
3 5 4 , 1 7 K N
4 5 9 , 3 6 K N
5 8 4 , 3 4 K N
6 8 9 , 0 4 K N
7 7 3 , 1 6 K N
8 0 0 , 3 6 K N
8 3 6 , 3 4 K N
8 3 9 , 7 5 K N
3 6 m
Gambar 4.43 Pola Pembebanan Untuk Gempa Statik Arah X
Gambar 4.44 Deformasi Untuk Gempa Statik EY As. C
Letak Titi
Kumpul
Atap
(cm)
Lantai 9
(cm)
Lantai2
(cm)
Deformasi 3,5 3,23 0,97
Tabel 4.19 Deformasi Akibat Beban Gempa Y
Deformasi akibat beban gempa EY terjadi searah sumbu X. Deformasi yang terjadi sesuai
dengan yang diharapkan, yaitu sesuai dengan arah sumbu X. Semakin keatas, deformasi yang
dihasilkan semakin besar. Dikarenakan karena gaya lateral yang semakin ke atas semakin
membesar yang membuat deformasi semakin besar.
Gambar 4.45 Gaya Normal Akibat Beban Gempa Y Pada As. C
Gaya normal akibat gempa y terjadi simetris dan sesuai dengan yang diharapkan. Karena
jika satu portal dibebani oleh beban lateral, sisi yang terbebani pertama kali akan mengalami
tekan dan salah satu sisi lainnya akan mengalami tarik. Hal itulah yang menyebabkan gaya
normal menjadi simetris.
Tabel 4.20 Gaya Normal Akibat Beban Gempa EY Pada As. C
N Atap (KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -12,45 -807,58
Kolom
Tengah 3,17 -36,08
Gambar 4.46 Gaya Geser Akibat Beban Gempa Y Pada As. C
Dari gambar diatas dapat terlihat gaya geser yang bekerja justru lebih dominan pada
balok, bukan pada kolom. Pada kasus ini gaya geser yang terjadi sama seperti gaya geser
biasanya yang semakin kebawah semakin besar, namun disini lebih besar terjadi pada balok. Hal
ini dikarenakan gaya geser yang bekerja pada kolom telah diserap oleh kolom-kolom perkakuan
sehingga memperkecil gaya yang bekerja pada kolom lainnya.
Tabel 4.21 Gaya Geser Akibat Beban Gempa EY Pada As. C
D
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 16,62 38,09 -34,95
Kolom
Tengah -0,09 0,26 0,00148
Balok
Tengah -13,67 -80,3 -176,39
Balok
Kantilever 0 2,34 0
Gambar 4.47 Gaya Momen Akibat Beban Gempa Y Pada As. C
Seperti pada geser, pada momen gaya terbesar berada pada balok dibandingkan pada
kolom. Hal ini dikarenakan momen yang bekerja pada balok lebih besar dari pada kolom.
M
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -23,97 -43 -111,84
Kolom
Tengah 0,11 -0,34 -0,0049
Balok
Tengah 63,93 272,35 591,015
Balok
Kantilever 0 11,832 0
Tabel 4.22 Gaya Momen Akibat Beban Gempa EY Pada As. C
Gambar 4.48 Deformasi Untuk Gempa Statik EX As. C
Letak Titi
Kumpul
Atap
(cm)
Lantai 9
(cm)
Lantai2
(cm)
Deformasi 3,4 3,2 0,71
Tabel 4.23 Deformasi Akibat Beban Gempa X
Jika dibandingkan dengan deformasi akibat gempa Y, deformasi akibat gempa X
mempunyai deformasi yang lebih besar. Hal ini dikarenakan, beban yang diberikan pada arah Y
sedikit lebih kecil dari pada arah X. Namun perbedaan ini tidak begitu besar mengingat tidak
begitu besar perbedaan bentang antara arah X dan Arah Y.
4.49 Gaya Normal Akibat Beban Gempa X As. C
Tabel 4.24 Gaya Normal Akibat Beban Gempa EX Pada As. C
N Atap (KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -5,12 920,86
Kolom
Tengah 23,73 41,12
4.50 Gaya Geser Akibat Beban Gempa X Pada As. C
Tabel 4.25
Gaya
Geser Akibat
Gempa X Pada As. C
Dari gambar diatas dapat terlihat gaya geser yang bekerja justru lebih dominan pada
kolom, bukan pada balok seperti akibat gempa Y. Pada kasus ini gaya geser yang terjadi sama
seperti gaya geser biasanya yang semakin kebawah semakin besar. Namun gaya yang bekerja
pada balok sangat kecil.
4.51 Gaya Momen Akibat Beban Gempa X Pada As. C
M
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -113,3 -121,72 -867,34
D
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 65,97 116,97 271,05
Kolom
Tengah 14,42 95,69 121,69
Balok
Tengah -2,21 6,62 21,15
Balok
Kantilever 0 1,54 0
Kolom
Tengah -18,87 -124,43 -401,57
Balok
Tengah 95,93 116,98 105,04
Balok
Kantilever 0 7,572 0
Kebalikan dengan gaya momen akibat gempa Y yang momen di dominasi dengan
momen pada balok, pada gaya momen akibat beban gempa X ini justru lebih di dominasi dengan
gaya yang bekerja pada kolom.
Kombinasi Pembebanan
Kombinasi pembebanan yang diberikan adalah sebagai berikut :
1. 1,4 D
2. 1,4 D + 1,2 L
3. 1 L + 1,2 D + 1 Ex + 0,3 Ey
4. 1 L + 1,2 D 1 Ex + 0,3 Ey
5. 1 L + 1,2 D + 0,3 Ex 1 Ey
6. 1 L + 1,2 D + 0,3 Ex + 1 Ey
7. 0,9 D + 1 Ex + 0,3 Ey
8. 0,9 D 1 Ex + 0,3 Ey
9. 0,9 D + 0,3 Ex + 1 Ey
10. 0,9 D + 0,3 Ex 1 Ey
11. 1,2 D + 1 L
Gambar 4.52 Deformasi Akibat Combo 6 As. C
Combo 6 mempunyai kombinasi beban 1 L + 1,2 D + 0,3 Ex + 1 Ey dan mempunyai
besar deformasi sebesar :
Tabel 4.26 Deformasi Combo 6 Pada As.C
Letak Titik
Kumpul
Atap
(cm)
Lantai 9
(cm)
Lantai2
(cm)
Tepi -0,6 -0,6 -0,2
Tengah -0,53 -0,51 -0,15
Gambar 4.53 Gaya
Normal Akibat Combo
6 Pada As. C
Tabel 4.27 Gaya Normal Akibat Combo 6 Pada As.C
N Atap (KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -252,47 -5117,18
Kolom
Tengah -189,72 -229,89
Gambar 4.54 Gaya Geser Akibat Combo 6 Pada As. C
Tabel 4.28
Gaya Geser Akibat Combo 6 Pada As. 6
D
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi 42,97 196,63 124,25
Kolom
Tengah 5,71 35,8 37,69
Balok
Tengah -69,47 -101,56 -195,81
Balok
Kantilever -52,68 -99,79 -79,21
Gambar 4.55 Gaya Momen Akibat Combo 6 Pada As. C
M
Atap
(KN)
Lantai 6
(KN)
Lantai 1
(KN)
Kolom Tepi -62,50 -175,51 -397,60
Kolom
Tengah -7,44 -46,46 -124,38
Balok
Tengah 188,83 -302,75 -575,124
Balok
Kantilever
-
103,30
9 -321,05 -225,5
Tabel 4.29 Gaya Momen Akibat Combo 6 Pada As. C
BAB V
PENULANGAN ELEMEN VERTIKAL DAN HORIZONTAL
5.1 Desain Penulangan Elemen Struktur
Pada bab V ini akan membahas tentang perhitungan tulangan yang akan
digunakan dalam perencaan struktur yang telah didesain. Seperti yang telah kita ketahui,
baja dalam struktur beton bertulang berfungsi sebagai yang memikul tegangan tarik,
sedangkan beton sendiri sebagai yang memikul tegangan tekan. Agar pemakaian tulangan
dapat berjalan secara efektif, harus dibuat agar tulangan dan beton dapat mengalami
deformasi bersama-sama, yaitu agar terdapat suatu hubungan yang cukup kuat antara kedua
material tersebut untuk memastikan tidak adanya gerakan relatif (slip) dari tulangang beton
yang berada disekelilingnya.
5.1.1 Penulangan Pelat
Dalam mendesain penulangan pada pelat, terlebuh dahulu perlu diketahui
data pembebanan yang bekerja pada pelat.
Lantai 1-9
1. Data Pembebanan
Beban Mati
Pelat = 0,12 24 = 2,88 KN/ m
2
Penutup Lantai = 0,175 KN/ m
2
Plafond + rangka = 0,18 KN/ m
2
+
Wd = 3,235 KN/ m
2
Beban Hidup
Beban Hidup Lantai = 2,5 KN/ m
2
Wu = 1,2 qd + 1,6 ql = 1,2 (3,235) + 1,6 (2,5) = 7,882 KN/m2
2. Desain Penulangan Pelat
Data yang diperlukan untuk perhitungan adalah
a) Tebal pelat (hp) = 120 mm
b) Tebal penutup beton = 40 mm
c) Dari CUR 1 halaman 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan
fc= 25 Mpa didapat dari interpolasi
min= 0,00295 max= 0,0366
d) Diameter tulangan (tulangan) = 10 mm
e) Tinggi efektif (d) = hp d tulangan
= 120 40 10
= 75 mm
600 cm = lyly=600600=1
600 cm
Dari CUR.4 Hal. 26 didapat :
Ml
x
= 0,001 Wu l
x
2
x
= 0,001 7,882 6
2
25 = 7,0938 kNm
Ml
y
= 0,001 Wu l
x
2
x
= 0,001 7,882 6
2
25 = 7,0938 kNm
Mt
x
= -0,001 Wu l
x
2
x
= -0,001 7,882 6
2
51 = -14,47 kNm
Mt
y
= -0,001 Wu l
x
2
x
= -0,001 7,882 6
2
51 = -14,47 kNm
1. Perhitungan Tulangan
Penulangan Arah X
Tulangan Lapangan
Mu = 7,0398 kNm
Rn = Mubd2 = 7,039810,752=12,515 kN/m
2
Tulangan Tumpuan
Mu = 14,47 kNm
Rn = Mubd2 = 14,4710,752=25,724 kN/m
2
Penulangan Arah Y
Tulangan Lapangan
Mu = 7,0398 kNm
Rn = Mubd2 = 7,039810,752=12,515 kN/m
2
Tulangan Tumpuan
Mu = 14,47 kNm
Rn = Mubd2 = 14,4710,752=25,724 kN/m
2
Tulangan Lapangan Arah X
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 4 10 (As = 314 mm
2
)
Tulangan Tumpuan Arah X
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 5 10 (As = 393 mm
2
)
Tulangan Lapangan Arah Y
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 4 10 (As = 314 mm
2
)
Tulangan Tumpuan Arah Y
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 5 10 (As = 393 mm
2
)
Lantai Atap
1. Data Pembebanan
Beban Mati
Pelat = 0,12 24 = 2,88 KN/ m
2
Plafond + rangka = 0,18 KN/ m
2
+
Wd = 3,06 KN/ m
2
Beban Hidup
Beban Hidup Lantai = 2,5 KN/ m
2
Wu = 1,2 qd + 1,6 ql = 1,2 (3,06) + 1,6 (2,5) = 7,672 KN/m2
2. Desain Penulangan Pelat
Data yang diperlukan untuk perhitungan adalah
a) Tebal pelat (hp) = 120 mm
b) Tebal penutup beton = 40 mm
c) Dari CUR 1 halaman 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan
fc= 25 Mpa didapat dari interpolasi
min= 0,00295 max= 0,0366
d) Diameter tulangan (tulangan) = 10 mm
e) Tinggi efektif (d) = hp d tulangan
600 cm = 120 40 10
= 75 mm
600 cm
= lyly=600600=1
Dari CUR.4 Hal. 26 didapat :
Ml
x
= 0,001 Wu l
x
2
x
= 0,001 7,672 6
2
25 = 6,95 kNm
Ml
y
= 0,001 Wu l
x
2
x
= 0,001 7,672 6
2
25 = 6,95 kNm
Mt
x
= -0,001 Wu l
x
2
x
= -0,001 7,672 6
2
51 = -14,09 kNm
Mt
y
= -0,001 Wu l
x
2
x
= -0,001 7,672 6
2
51 = -14,09 kNm
Perhitungan Tulangan
Penulangan Arah X
Tulangan Lapangan
Mu = 6,95 kNm
Rn = Mubd2 = 6,9510,752=12,36 kN/m
2
Tulangan Tumpuan
Mu = 14,09 kNm
Rn = Mubd2 = 14,0910,752=25,05 kN/m
2
Penulangan Arah Y
Tulangan Lapangan
Mu = 6,95 kNm
Rn = Mubd2 = 6,9510,752=12,36 kN/m
2
Tulangan Tumpuan
Mu = 14,09 kNm
Rn = Mubd2 = 14,0910,752=25,05 kN/m
2
Tulangan Lapangan Arah X
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 4 10 (As = 314 mm
2
)
Tulangan Tumpuan Arah X
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 5 10 (As = 393 mm
2
)
Tulangan Lapangan Arah Y
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 4 10 (As = 314 mm
2
)
Tulangan Tumpuan Arah Y
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295 max= 0,0366
Untuk
min
< <
maks
maka As = b d
Untuk <
min
maka As =
min
b d
Dipakai
min
= 0,00295
As =
min
b d
= 0,00295 1000 75
= 221,25 mm
2
222 mm
2
Dipasang tulangan 5 10 (As = 393 mm
2
)
5.1.2 Balok
Dalam merencanakan penulangan-penulangan pada balok, sebelumnya harus diketahui
terlebih dahulu momen-momen yang telah dihasilkan dari output analisis struktur pada ETABS.
1. Balok Umum
Dimensi balok = 350/700 mm
Tebal penutup beton = 40 mm
Asumsi tulangan utama : 22 mm
Diameter tulangan sengkang : 10 mm
d = 40 + 10 + ( 22) : 61 mm
d = h d = 700 61 : 639 mm
d'h-d'= 61639=0.0978 0,1
Tulangan Lentur Pada Balok Umum
fy = 270 Mpa
fc = 25 Mpa
Dari CUR 1 Hal. 50-52 untuk fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapat dengan cara interpolasi
didapatkan :
min= 0,00295
max= 0,0366
Tulangan Lapangan
Dari output ETABS didapat momen paling besar :
Mu = 898,078 kNm
R
n
= Mubd2 = 898,0780,350,72 = 5206,67 kNm 5200 kNm
Dari Tabel CUR 4 Tabel 5.3.e halaman 63
Dengan nilai fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapatkan dengan cara interpolasi :
d'd=0,1 didapatkan = 0,0272
As = b d
As = 0,0272 350 639 = 6083,28 mm
2
As = As
= 6083,28 = 3041,64 mm
2
Menghitung jumlah tulangan
Yang didapat dari tabel 5.3.e diatas merupakan untuk tulangan tarik saja, sedangkan untuk
tulangan tekan adalah dari tulangan tarik.
Untuk tulangan tarik didapat As = 6083,28 mm
2
Dari Tabel CUR. 4 Hal. 15 didapatkan jumlah tulangan 8 dengan diameter 32
8 D 32 (As = 6434 mm
2
)
Periksa tulangan terpasang :
As aktual = 6364 mm
2
d aktual = 639 mm
aktual = Asbwd= 6364350639=0,0285
min < < max
0,00295 < 0,0285 < 0,0366
Tulangan tarik 8 D 32 pada lapangan dapat digunakan
Tulangan Tekan
Didapatkan As = 3041,64 mm
2
Dari Tabel CUR. 4 Hal. 15 didapatkan jumlah tulangan 5 dengan diameter 28
5 D 28 (As = 3079 mm
2
)
Periksa tulangan terpasang :
As aktual = 3079 mm
2
d aktual = 639 mm
aktual = Asbwd= 3079350639=0,0138
min < < max
0,00295 < 0,0138 < 0,0366
Tulangan tekan 5 D 28 pada lapangan dapat digunakan
Tulangan Tumpuan
Selimut beton = 40 mm
H = 700 mm
Asumsi :
Diameter tulangan utama = 22 mm
Diameter tulangan sengkang = 10 mm
d = 40 + 10 + ( 22) = 61 mm
h d = 700 61 = 639 mm
d'd=0,1 didapatkan = 0,0272
Dari output ETABS didapatkan Mu tumpuan paling besar
Mu = 1121,16 kNm
R
n
= Mubd2 = 1102,30,350,72 = 6417,38 kNm 6400 kNm
Dari Tabel CUR 4 Tabel 5.3.e halaman 63
Dengan nilai fy = 270 Mpa dan fc = 25 Mpa didapatkan dengan cara interpolasi :
d'd=0,1 didapatkan = 0,0302
As = b d
As = 0,0302 350 639 = 6764,014 mm
2
As = As
= 5278,14 = 3382 mm
2
Menghitung jumlah tulangan
Yang didapat dari tabel 5.3.e diatas merupakan untuk tulangan tarik saja, sedangkan untuk
tulangan tekan adalah dari tulangan tarik.
Untuk tulangan tarik didapat As = 6764,014 mm
2
Dari Tabel CUR. 4 Hal. 15 didapatkan jumlah tulangan 8 dengan diameter 32
8 D 32 (As = 6434 mm
2
) + 3 D 12 (As = 339 mm
2
)
Periksa tulangan terpasang :
As aktual = 6773 mm
2
d aktual = 639 mm
aktual = Asbwd= 6773350639=0,03
min < < max
0,00295 < 0,03 < 0,0366
Tulangan tarik 8 D 32 + 3 D 12 pada tumpuan dapat digunakan
Tulangan Tekan
Didapatkan As = 3382, mm
2
Dari Tabel CUR. 4 Hal. 15 didapatkan jumlah tulangan 6 dengan diameter 28
6 D 28 (As = 3695 mm
2
)
Periksa tulangan terpasang :
As aktual = 3695 mm
2
d aktual = 639 mm
aktual = Asbwd= 3695350639=0,0167
min < < max
0,00295 < 0,0167 < 0,0366
Tulangan tekan 6 D 28 pada tumpuan dapat digunakan
Tulangan Geser Pada Balok
Dari output ETABS didapatkan besar gaya geser yang terjadi pada balok adalah
Vu = 273,43 kNm
= 27343 kg
Asumsi :
Diameter tulangan utama = 20 mm
Diameter tulangan sengkang = 10 mm As = 157 mm
Tebal selimut beton = 40 mm
d = 40 + 10 + ( 20) = 60 mm
d = h d = 700 60 = 640 mm
s = 6402=320 mm
diambil yang terkecil
h4=7004=175 mm=17,5 cm
16 D = 16 10 = 160 mm = 16 cm diambil s = 15 cm
15 cm
Nilai Vc dan Vs dapat dihitung secara manual, seperti pada rumus dibawah ini :
Periksa apakah Vu Vn
Rumus : Vc = 16fc'bwd = 1625350640
= 186666,67 N = 186,67 kN
Vu Vc
273,43 186,67
Vs = Asfyds = 157270640150=180979,2 N = 180,98 kN
Vn = Vc + Vs = 186,67 + 180,98 = 367,65 kN
Periksa dengan rumus = Vu Vn
= 273,43 0,6 367, 65
= 273,43 220,59
Dapat disimpulkan bahwa balok memerlukan tulangan geser
5.1.3 Kolom
Tulangan Lentur Pada Kolom
Data-data yang digunakan untuk menentukan tulangan lentur pada pada kolom sama
seperti data yang diperlukan untuk menentukan tulangan lentur pada balok.
fy = 270 Mpa
fc= 25 Mpa
Selimut beton = 40 mm
B = 900 mm
H = 900 mm
Asumsi
Tulangan utama : 20 mm
Diameter tulangan sengkang : 10 mm
d = 40 + 10 + ( 20) : 60 mm
d'h=0,1
= 0,8
Untuk menentukan penulangan pada kolom dapat dibedakan menjadi dua bagian,
diantaranya :
1. Tulangan dipasang simetris pada dua sisi penampang kolom
2. Tulangan dipasang sama rata pada sisi-sisi penampang kolom
Dalam penulangan struktur kolom bangunan ini yang penulis gunakan adalah kedua-duanya.
Untuk kolom persegi panjang, tulangan dipasang simetris pada dua sisi penampang kolom.
Sedangkan untuk kolom persegi, tulangan dipasang sama rata pada sisi-sisi penampang kolom.
Untuk menentukan tulangan dapat menggunakan tabel dan grafik yang terdapat pada CUR 4
Dari hasil output ETABS didapat data :
Mu =1217 kNm
Pu = 69,894 kNm
Pada sumbu vertikal (ordinat) dinyatakan :
PuAgr0,81fc'= 6918940,890900,81250=0,05
Pada sumbu horizontal dinyatakan :
PuAgr0,81fc' eth
e
t
= MnPu=121741691894=0,16
Maka,
1217410,890900,810,1690=0,04
Karena tulangan dipasang sama rata, maka pada grafik penulangan kolom didapat :
r = 0,007
= 1
menentukan harga
= r = 0,007 1 = 0,007
As = b h
= 0,007 900 900
= 5670 mm
2
Dengan penampang tulangan 5670 mm
2
didapatkan jumlah tulangan sebanyak 8 buah tulangan
dengan diameter 32, 8 D 32 (As = 6434 mm
2
)
Tulangan Geser Pada Kolom
Dari output etabs dapat diketahui
Vu = 12,644 kNm
Nu = 6796,15 kNm
Asumsi :
Diamter tulangan utama : 20 mm
Diameter tulangan sengkang : 10 mm
d = 60 mm
Jarak sengkang tidak perlu lebih dari
h4=9004=225 mm=22,5 cm
S 8D = 8 10 = 80 mm = 8 cm
10 cm
1,5 h = 1,5 900 = 1350 mm =135 cm
16bentangan= 16900=150 mm=15 cm ambil yang terkecil s = 15 cm
75 cm
Nilai Vc dan Vs dapat dihitung secara manual, seperti pada rumus dibawah ini :
Periksa apakah Vu Vn
Rumus : Vc = 16fc'bwd = 1625900900
= 675000 N = 675 kN
Vu Vc
12,644 675
Vs = Asfyds = 157270900150=254340 N = 254,34 kN
Vn = Vc + Vs = 675 + 254,34 = 929,34 kN
Periksa dengan rumus = Vu Vn
= 12,64 0,6 929,34
= 12,64 557,604
Dapat disimpulkan bahwa kolom tidak memerlukan tulangan geser
5.1.4 Diagram Interaksi
Diagram interaksi ini didapat dari hasil program ETABS, dari nilai P dan
Hasil As yang didapat pada
ETABS = 5161 mm
2
Tidak begitu jauh dari hasil
perhitungan manual
As = 5670 mm
2
Diagram Interaksi
5.1.5 Perhitungan Balok Kantilever Dengan Beton Prategang
Balok-balok kantilever pada struktur dihitung secara parsial dengan menggunakan beton
prategang, yang dimaksudkan agar balok-balok tidak mengalami retak-retak yang dikarenakan
bentangnya yang cukup panjang. Besar momen yang dipikul oleh beton prategang ini merupakan
sisa dari momen yag ditanggung oleh tulangan pasif, dengan kata lain, penggunaan prategang ini
merupakan pengganti dari tulangan yang mengalami tarik.
Perhitungan Pra Tegang Pada Balok Kantilever Lantai 5
Panjang Bentang : 4 m
Dimensi Balok : 450/800 mm
Dari output etabs didapat
Mu = 347,87 kNm
10 cm
60 cm
Pp 0,25 m = Mu
0,25 Pp = 347,87 kNm
Pp = 1391,48 kNm
Kehilangan Tegangan 20 % dari Pp
Po = 20 % Pp
= 20 % 1391,38 = 278,3 kN
Dari Tabel 1.1 Buku Desain Praktis Beton Prategang didapatkan 3 Kabel D 9,3
Dengan fy = 1860 Mpa
Tulangan Geser
Dari output ETABS didapatkan besar gaya geser yang terjadi pada balok adalah
Vu = 222,22 kNm
Asumsi :
Diameter tulangan utama = 20 mm
Diameter tulangan sengkang = 10 mm As = 157 mm
Tebal selimut beton = 40 mm
d = 40 + 10 + ( 20) = 60 mm
d = h d = 800 60 = 740 mm
s = 7402=370 mm
diambil yang terkecil
h4=8004=200 mm=20 cm
16 D = 16 10 = 160 mm = 16 cm diambil s = 10 cm
10 cm
Nilai Vc dan Vs dapat dihitung secara manual, seperti pada rumus dibawah ini :
Periksa apakah Vu Vn
Rumus : Vc = 16fc'bwd = 1625450750
= 337500 N = 337,5 kN
Vu Vc
222,22 0,6 337,5 = 202,5
Maka : Vs = Vu - Vc
Vs = 222,22 202,5 = 19,75 kN
Vs = 19,75
Vsbd=19,750,45 x 0,55=79,8 kN/m2 = vs
G = Gaya lintang sepanjang y yang harus ditanggung sengkang
= y x b x vs
= 0,75 x 0,45 x 79,8
= 26,93 kN
s = gaya sengkang sepanjang y dari n buah sengkang
= n x fy x As
1
= n x (0,6 x 24 x 158) = 2275,2 n
v = 0 maka, nilai s = G
Maka n = Gs=26,932275,2=0,01
S = yn== 751=75
Berdasarkan ketentuan jarak maksimal sengkang 30 cm sedangkan dilapangan dominan
dipakai maks = 25 cm, maka dalam kantilever ini memakai tulangan geser 10- 25 cm
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil perhitungan dan pembebanan, maka pada pengambilan dimensi kolom dipecah
atau dibagi-bagi menjadi beberapa bagian menurut lantai dan letak dari kolom tersebut.
Misalnya pada kolom pinggir, dibagi-bagi menjadi kolom pinggir untuk lantai 1-3, lantai
4-7, dan 8-10. Sedangkan pada kolom perkakuannya dibagi menjadi 2 bagian. Kolom
besar 1 untuk lantai 1-5, dan kolom besar 2 untuk lantai 6-10.
2. Pada saat permodelan struktur pada ETABS, penggunaan dimensinya sempat berbeda
dengan hasil-hasil pada perhitungan manual, hal ini dikarenakan pada perhitungan
manual diambil secara garis besar, berbeda dengan pada saat di input pada ETABS yang
secara otomatis dihitung secara mendetail.
3. Pada perhitungan penulangan dihitung dengan menggunakan dua metode, manual dan
dengan menggunakan program ETABS yang dipakai sebagai koreksi. Hasil yang didapat
melalui output ETABS dan manual tidak begitu jauh perbedaannya.
4. Dari hasil permodelan struktur pada ETABS, dapat dilihat bahwa perbedaan bentang
pada setiap lantai sangat mempengaruhi deformasi pada gedung, maka dari itu pada
bagian kantilever-kantilever yang mengalami perubahan bentang pada setiap lantai harus
mendapat perhatian yang lebih.
5. Beton prategang yang didesain hanya untuk memikul kekurangan moment pada
kantilever.
6.2 Saran
Dari Tugas Akhir yang penulis susun, penulis ingin memberikan beberapa saran yang dapat
disampaikan :
1. Perlunya studi lanjut tentang pondasi apa yang akan digunakan dalam struktur
yang penulis desain. Mengingat desain yang membesar dibagian tengah lalu
mengecil lagi pada bagian atas. Perlunya perhitungan khusus dalam mendesain
pondasi untuk bangunan seperti ini.
2. Dikarenakan tinggi total gedung dan bentang kantilever yang tidak begitu panjang,
maka perubahan bentuk tidak begitu terlihat. Penulis menyarankan, untuk
menambahkan tinggi lantai dan bentang kantilever agar perubahan perubahan
pada desain lebih terlihat, tentunya butuh perhatian yang lebih pada perhitungan
beban gempa dan pada saat penulangan pada bagian kantilever
3. Disarankan untuk dapat lebih memperkecil dimensi-dimensi lainnya bisa
menambahkan atau mencoba sistem perkakuan lain, seperti mis. menggunakan
corewall pada bagian tengah lantai.
Daftar Pustaka
Badan Standarisasi Nasional. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan
Gedung (SNI 03 1726 2002). Badan Standarisasi Nasional. 2002.
Rahmat, Purwono. Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa Sesuai Dengan SNI
1726 dan SNI-2487 Terbaru. ITS Press Surabaya. 2006.
Universitas Semarang. Struktur Beton. Badan Penerbit Universitas Semarang. 1999.
W.C Vis, Gideon Kesuma. Grafik dan Tabel Perhitungan Beton Bertulang Berdasarkan
SKSNI T - 15 - 1991 03 (CUR). Erlangga, 1997: Jakarta