You are on page 1of 2

ANTARA YANG SUBSTANTIF DAN SIMBOLIK Kita sering menyaksikan fenomena sosial-keagamaan di masyarakat yang cenderung kontradiksi: antara

simbol-keagamaan yang bercorak sekunder di satu sisi, dengan substansi-keagamaan yang bercorak primer di sisi lain. Ada kesan kuat di kalangan masyarakat awam bahwa seseorang yang dalam dirinya melekat atribut-keagamaan secara kuat, maka penghayatan keagamaan orang tersebut juga kuat. Atau dengan bahasa yang agak teknis; seseorang yang menggunakan pakaian-keagamaan ala kyai, ustadz, atau muballigh (seperti kopyah, surban, sarung, dan lainnya), dianggap lebih agamis daripada seseorang yang menggunakan pakaian modern seperti celana jin, kaos oblong, dan lainnya. Pencitraan simbolis seperti itu, masih kuat tertanam di kalangan masyarakat muslim awam sehingga pada batasan tertentu, mereka mengabaikan nilai-nilai substantifkeagamaan yang seharusnya melekat pada seseorang, seperti: kejujuran, kesederhanaan, keadilan, cinta-kasih, dan lainnya. Untuk memperjelas permasalahan ini, marilah kita cermati beberapa contoh berikut. Contoh pertama: seorang saudagar kaya melaksanakan ibadah haji berulang-kali (sudah 4 kali ke tanah suci Makkah) sehingga dengan bangganya dia mendapat gelar Pak Haji. Sebagian besar orang atau tetangga sekitar kagum dan bangga serta menaruh hormat karena kekayaannya dan keberhasilannya melaksanakan ibadah haji. Namun sangat disayangkan, orang-orang miskin dan anak-anak yatim di sekitar kampungnya masih banyak terlantar dan tidak ditangani secara lebih produktif. Namun, si kaya tadi merasa cukup dengan memberi mereka zakat fitrah dan zakat mal sebagai tanda bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban ibadah zakat. Padahal, seandainya uang puluhan yang digunakan untuk ibadah haji itu (sebanyak 3 kali), dibuat modal atau dipijamkan dengan bunga 0% pada kaum miskin, dan diberi modal kerja agar mereka tidak jatuh dalam garis kemiskinan absolut, tentu akan lebih baik dan bijak daripada bolak-balik melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Dari kasus ini, simbol berhaji secara kuantitatif menjadi ukuran keshalehan seseorang, bukan pada bagaimana kualitas berhaji dan pemberdayaan harta bagi pengentasan kemiskinan!!! Contoh kedua: seorang kaya korup yang tinggal di kota sedang mudik ke kampung halamannya. Di sana, dia menyumbangkan 1 ekor sapi untuk kurban yang kebetulan bertepatan dengan HR Idul Adha, juga menyumbang uang sebesar 5 juta untuk pembangunan masjid. Secara umum, masyarakat Indonesia akan kagum melihat kedermawanan si kaya itu tanpa mempertanyakan apakah harta yang disumbangkan dari hasil korupsi atau tidak. Sementara orang yang menyumbang untuk pembangunan masjid dengan jumlah yang sangat sedikit, meski dari hasil keringat yang halal, biasanya tidak mendapat perhatian khusus dari masyarakat, bahkan dari pengurus masjid dan tokoh agama sekalipun. Sungguh sebuah pemahaman dan penilaian yang ironis di kalangan masyarakat kita. Banyaknya sumbangan uang atau materi lainnya menjadi parameter keshalehan seseorang! Contoh ketiga: pemimpin keagamaan (kyai, ustadz, muballigh) yang tenar dan mungkin sering masuk dan tampil di televisi, sering menjadi ukuran hebat-tidaknya seorang ulama. Orang-orang seperti A.A. Gym, Ustadz Jufri al-Bukhari, Ustadz Yusuf Manshur,

dan lainnya, dianggap sebagai tokoh agama (ulama) yang hebat, mengagumkan, dan penuh keanggunan. Padahal, kita belum mengetahui apa di balik kemasyhuran itu, misalnya siapa tahu (semoga tidak benar) di dalam diri mereka terselubung upaya melakukan komersialisasi agama dengan menetapkan tarif tertentu untuk mengisi ceramah dengan pertimbangan bahwa mereka (para kyai, ustadz, atau muballigh itu) bisa dianggap juga seperti artis. Sebenarnya sah-sah saja menerima bayaran dengan target tertentu, setidaknya karena Rasulullah Saw. membolehkan para sahabat untuk menerima upah dari mengajari al-Qur`an. Namun yang menjadi masalah adalah ketika keikhlasan mengajarkan ilmu atau berdakwah diukur dengan besar-kecilnya bayaran/upah yang harus diterima. Ini merupakan fenomena tragis di mana masyarakat kita lebih memilih popularitas sebagai parameter simbolik-artifisial daripada penghayatan dan pengamalankeagamaan itu sendiri yang substantif-otentik. Ketiga contoh di atas merupakan fenomena sosial-keagamaan yang perlu dicermati lebih proporsional, bijak, dan kritis agar umat Islam Indonesia tidak terjebak pada simbolkeagamaan dan terhindar dari proses pengelabuan nilai-nilai luhur agama yang semakin tergerus oleh hingar-bingar materialisme, konsumerisme, dan pragmatisme. Semoga!!!

You might also like