Professional Documents
Culture Documents
Seni Telanjang
Pernyataan bahwa adegan dan gambar telanjang
mengandung nilai-nilai estetika tinggi adalah berasal dari paham
humanisme Yunani kuno. Menurut Ali Syariati paham ini
berangkat dari sebuah mitologi yang menganggap bahwa antara
langit dan bumi, antara alam dewa dan manusia terdapat
pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul
kedengkian dan kebencian di antara keduanya. Para dewa
dianggap sebagai kekuatan yang memusuhi manusia. Segala
perbuatan dan usahanya ditegakkan diatas kekuasaan yang
dzolim terhadap manusia. Siapa yang tidak patuh dianggap
pembangkang dan dihukum berat.
Di sisi lain, manusia selalu berusaha menyelamatkan diri
dari belenggu dan keangkara-murkaan tersebut. Untuk bisa
bebas dan merdeka, manusia harus mampu merebut kekuasaan
dewa, dan menggusur tahta kekuasaan mereka atas alam
semesta. Hubungan yang bercorak permusuhan seperti itu, tentu
saja logis dan wajar. Sebab, dalam mitologi Yunani kuno, dewa
adalah penguasa segala bentuk dan manifestasi dari kekuatan
fisik yang terdapat dalam alam semesta; laut, sungai, gempa,
penyakit, kelaparan, panas, hujan dan lain-lain.
Berdasarkan hal itu, maka pertarungan antara dewa dan
manusia, pada dasarnya adalah pertarungan antara manusia
melawan penguasa alam yang berlaku atas kehidupan, kehendak
dan nasib manusia. Manusia sendiri, dengan segala kekuatan,
kecerdasan dan kesadarannya yang meningkat, mencoba
membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut; agar
mampu menentukan urusannya sendiri dan menjadi kekuatan
yang berkuasa atas alam semesta.
Dari mitos tersebut, paham humanisme Yunani akhirnya
mengambil bentuk sebagai penentangan terhadap kekuatan
dewa, kekuatan tuhan-tuhan sesembahan mereka. Humanisme
Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh
kebenciannya kepada tuhan. Bahkan, mereka akhirnya
mengingkari-Nya dan hanya memperhatikan dirinya sendiri.
Manusia dianggap sebagai puncak segalanya; penentu benar
salahnya suatu perbuatan, dan potensi segala keindahan.
Karena itu, dalam estetika Yunani, tubuh manusia menjadi
perhatian utama. Karya-karya besar mereka, baik berupa
bangunan, seni lukis atau patung, selalu mengambil manusia
sebagai objek, dan menggambarkannya dalam bentuk telanjang.
Sebab, lekuk-lekuk tubuh --umumnya wanita-- telajang dianggap
sebagai puncak karya seni dan puncak keindahan, sesuai dengan
paham humanisme mereka yang sangat mengagungkan dan
memusatkan pada diri dan tubuh manusia.
Humanisme Sejati
Manusia diciptakan dari tanah. Namun, hal itu bukan
berarti ia mahluk rendah. Manusia masih mempunyai dimensi
lain yang bukan tanah. Ia memiliki "fitrah" atau "ruh" yang
langsung diberikan Tuhan (al-Hijir, 19); yang membuatnya
menjadi mahluk paling mulia, lebih unggul dari binantang
bahkan malaikat.
Manusia adalah mahluk yang sadar (berpikir), baik tentang
dirinya sendiri maupun lingkungannya. Tentang dirinya,
maksudnya, manusia memiliki pengetahuan budaya dalam
nisbatnya dengan dirinya; hal mana yang memungkinkan
manusia mempelajari dirinya sebagai objek yang terpisahkan;
menarik hubungan sebab akibat, menganalisa, mendefinisikan,
menilai dan akhirnya mengubah dirinya sendiri. Sadar
lingkungan, maksudnya, manusia mampu memahami alam luar,
menemukan berbagai hal yang tersembunyi dari indera dan
mampu menganalisa serta mencari sebab-sebab dalam setiap
fakta, tanpa terpaku pada hal-hal yang bersifat inderawi.
Di sini, manusia bahkan mampu menembus batas-batas
indera dan merentangkan zamannya pada masa lalu dan masa
yang akan datang; dua masa yang ia sendiri tidak ada
didalamnya, serta mampu menggambarkan secara tepat, luas
dan teliti tentang lingkungannya. Sebab itu, manusia selalu
berteknologi. Ia tidak pernah menyerah atau hanya menerima
"apa yang ada", tetapi selalu berusaha mengubah menjadi
"bagaimana seharusnya". Manusia adalah satu-satunya mahluk
yang mampu mengubah lingkungan, bukan sebaliknya. Ini salah
satu cirinya yang menonjol. Pascal pernah menyatakan,
“Manusia sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu yang lain
kecuali seonggok daging yang tidak berarti. Sekadar virus kecil
saja telah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, bila semua
mahluk di bumi menyerangnya, ia ternyata lebih perkasa dari
mereka. Sebaliknya, bila alam ini diancam manusia, mereka
tidak menyadarinya. Artinya, kesadaran --manusia--adalah
essensi yang lebih tinggi ketimbang eksistensinya".
Manusia juga mahluk bermoral, sebab dalam dirinya
memang terkandung unsur lain bukan tanah. Unsur tersebut
tidak punya entitas dalam alam materi, sehingga tidak wujud
dalam indera. Ia bukan realita. Ia termasuk "kesempurnaan-
ideal" yang ada dalam diri manusia dan bersifat batiniyah, yang
berhubungan dengan salah satu fenomena, cara kerja dan
situasi yang dihadapi. Jelasnya, unsur ini berhubungan dengan
sesuatu yang dikenal dengan "nilai". Nilai memberikan kepada
manusia kemerdekaan yang disertai dengan keutamaan
essensial; kecintaan kepada sesuatu yang terbebas dari
segala tendensi.
Karena potensi itulah, manusia kemudian dipercaya
mengemban amanat sebagai khalifah Tuhan. Ia diberi kebebasan
sekaligus tanggung-jawab. Maksudnya, manusia diberi
kebebasan untuk merencanakan, mengatur dan
mengembangkan tata kehidupan di bumi sesuai dengan
kehendaknya yang "mandiri"; namun di sisi lain juga dituntut
untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi lain yang ada
dalam dirinya, sehingga menemukan jati diri manusia yang
sebenarnya. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan untuk
bertindak, tetapi pada saat yang sama, ia juga harus mampu
membuktikan bahwa dirinya benar-benar manusia, sosok mahluk
yang mengenal moral dan mempunyai kesadaran, yang
menyebabkan ia dipercaya sebagai wakil Tuhan.
Untuk mencapai hal itu, tidak ada lain kecuali manusia
harus mampu membawa dan menggunakan separoh dari dirinya
yang berasal dari tanah, untuk mengembangkan bagian dirinya
yang lain yang bersifat Ilahiyah. Manusia harus mampu
membentuk moral dan pikirannya, karena dimensi inilah yang
telah membedakan dia dari binatang. Caranya, dengan
mendekatkan dan "menyatukan diri" dengan Tuhan. Sebab,
Dialah "nilai-nilai luhur" dan "Yang Mutlak". Dialah yang telah
meniupkan fitrah dalam diri manusia. Karena itulah, mengapa
manusia kemudian harus beragama dan beribadah, berfikir,
bertindak dan berkelakuan sesuai dengan ajaran-Nya. Semua
demi kebaikannya sendiri, demi tercapainya jati diri manusia
sebagai mahluk mulia dan beradab. "Hai manusia! Taatilah Aku,
niscaya engkau akan menjadi 'serupa' dengan-Ku", firman Allah
dalam hadits qudsi-Nya.
Apakah tanpa agama manusia tidak bisa memiliki moral
yang baik? Mungkin. Namun perlu diingat bahwa semua
perbuatan, bahkan yang namanya pengorbanan diri, mempunyai
dan perlu justifikasi. Di sini, justifikasi tidak mungkin selamanya
berupa justifikasi natural dan rasional. Perlu justifikasi lain yang
yang bersifat normative. Itulah norma-norma atau ajaran yang
diberikan Sang Maha Pencipta manusia. Lagi pula, apalah artinya
manusia bila melepaskan diri dari tali Tuhan. Saat itu ia berarti
menghilangkan dimensi-dimensi ghaib yang ada dalam dirinya
yang bersifat Ilahiyah, yang dengan itu ia berarti mengingkari
dirinya sendiri.
Demikianlah, nilai kemanusiaan (humanisme) sejati tidak
bisa dipisahkan dari --norma-norma ajaran-- Tuhan. Seperti ditulis
Syariati, humanisme sebenarnya adalah ungkapan dari
sekumpulan nilai-nilai Ilahiyah yang ada dalam diri manusia,
yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral.
Sayang, ungkapan mulia itu sekarang tinggal slogan kosong,
sebab manusia banyak yang tidak lagi mengindahkan, bahkan
mengingkari ajaran-ajaran agama.
http://khudorisoleh.blogspot.com/