You are on page 1of 2

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Sebelum membahas Hukum perjanjian Syariah secara devinitif, ada baiknya jika definisi Hukum Perjanjian secara umum dibahas terlebih dahulu. Dalam literatur ilmu Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai selain hukum perjanjian, yaitu hukum kontrak dan hukum perikatan.mayoritas ahli hukum sepakat bahwa ketiga istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan lainnya . Perjanjian menurut Prof. Subekti, SH., adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis, orang sering menyebutnya sebagai hukum kontrak. Sebagian Ahli Hukum yang membedakan ketiga istilah tersebut berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (KUHPer/B.W), maka terminologi Perikatan memilki pengertian yang lebih luas dari pada perjanjian. Hal ini ditunjukkan dengan isi pasal 1234 KUHPer, yang berbunyi; Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Memahami pengertian Hukum Perjanjian Syariah, akan lebih baik jika dicari dahulu dalam terminolog bahasa arab, karena paradigma Hukum Perjanjian Syariah adalah fiqh muamalah yang bersumber dari al-quran dan hadits.Dalam bahasa Arab, kata janji mempunyai beberapa macam, yaitu aqd, wad, dan ahd. Aqd adalah perjanjian yang membutuhkan persetujuan dari dua atau beberapa pihak yang melakukan perjanjian. Wad adalah perjanjian yang tidak membutuhkan persetujuan dari pihak yang diberi janji. Sedangkan ahd adalah perjanjian antar kelompok atau Negara. Melihat berbagi terjemahan kata janji dalam bahasa Arab diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kata Perjanjian dalam istilah Hukum Perjanjian Syariah sebenarnya merupakan terjemahan dari kata aqd. Oleh karena itu, maka pengistilahan Hukum Perikatan Syariah, Hukum Perjanjian Syariah, ataupun Hukum Kontrak Syariah sebenarnya satu makna. Istilah perikatan dalam bahasa Arab, ternyata terjemahannya adalah kata aqdun (isim mashdar) atau aqada (fiil madly). Kata aqdun inilah yang selanjutnya berlaku dalam terminologi perikatan bisnis islam dalam literatur fiqh klasik . Disamping itu, kontrak yang dalam perikatan konvensional merupakan perikatan yang harus tertulis, dalam fiqh muamalah juga termasuk dalam kategori aqd, karena memang makna aqd memiliki cakupan yang cukup luas, bisa tertulis maupun tidak. Lebih dari itu, kata kontrak sebenarnya berasal dari bahasa inggris, yaitu contract yang berarti perjanjian Jadi, membedakan ketiga istilah tersebut, dengan merujuk kepada istilah Hukum Perjanjian, Hukum Perikatan, ataupun Hukum Kontrak umum (konvensional) adalah kurang tepat untuk memahami istilah Hukum Perjanjian Syariah. Intinya, baik istilah Hukum Kontrak Syariah, Hukum Perikatan Syariah, maupun Hukum Perjanjian Syariah, semua itu dimaksudkan untuk membahas hukum yang berkaitan dengan bisnis secara islami. Untuk memudahkan pembacaan dalam isi makalah ini, sekaligus menyesuaikan dengan mata kuliah Hukum Perjanjian Syariah, maka selanjutnya kami akan menggunakan satu istilah saja, yakni Hukum Perjanjian Syariah. Akan tetapi, jika terdapat istilah perikatann maupun kontrak, hal itu hanya dimaksudkan untuk penyelarasan isi referensi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA I. Pengertian Hukum Perjanjian Syariah. Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH, adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari al-quran, as-sunnah, arrayu (ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi. Kaidahkaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum perikatan islam ini adalah yang bersumber dari al-Quran dan Hadits, sedangkan kaidah-kaidah fiqh berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama madzhab) yang merupakan bentuk dari ijtihad. Hukum Kontrak Syariah adalah Suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan Hukum Perjanjian Syariah yang dimaksud disini, adalah sebagian dari hukum islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia didalam menjalankan hubungan ekonominya. Hukum Perikatan (perjanjian-Pen.) Syariah sebagai bagian dari hukum islam di bidang muamalah, juga meiliki sifat terbuka yang berarti segala sesuatu di bidang Muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti Perkemabangan zamannya. II. Dasar Hukum dan Tujuan berlakunya Hukum Perjanjian Syariah. Sebagai bentuk implementatif dari aturan syara, maka hukum perjanjian syariah tidak akan lepas dari sumber hukum islam, yaitu Quran, Hadits, Ijma,, dan Qiyas. Namun, apabila Hukum Perjanjian Syariah dipraktekkan secara seksama dalam sebuah Negara, maka dasar hukum secara yuridis juga harus ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipilah dua dasar hukum perjanjian syariah, yaitu; Dasar Nash dan Dasar Yuridis atau Undang-Undang. 1. Dasar Nash. Al-Quran, sebagai salah satu hukum Islam yang Utama dalam Hukum Perjanjian Islam, sebagian besar hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat alquan berikut ini:. a. Al-Maidah ayat 1 tentang kewajiban memenuhi berbagai macam perjanjian, yang artinya.

You might also like