You are on page 1of 10

DEHIDRASI

DEHIDRASI
PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak
dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama
(dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak dari pada air (dehidrasi
hipotonik).
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145
mmol/liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmol/liter).
Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mmol/liter) dan
osmolalitas efektif serum (270-285 mosmol/liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan
rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mmol/liter) dan osmolalitas efektif serum
(kurang dari 270 mosmol/liter.
Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan
kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi
penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Disamping
itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal,
renin, aldosteron, dan penurunan respons ginjal terhadap vasopresin.
DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama
sekali. Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, penurunan turgordan mata
cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi adalah penurunan
berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinnis obyektif lainya yang dapat membantu
mengindentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi
Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, bila ditemukan aksila lembab/basah,
suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang, berat jenis (bj) urin lebih dari atau
sama dengan 1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio blood urea
nitrogen/kreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 (tanpaadanya perdarahan aktif saluran
cerna) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 81%. Kriteria ini dapat
dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat – obat sitostatik, tidak ada perdarahan
saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongensif, sirosis hepatis dengan
hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Kadar natrium plasma darah


• Osmolaritas serum
• Ureum dan kreatinin darah
• BJ urin
• Tekanan vena sentral (central venous pressure)
TERAPI
Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) cairan yang masuk dan keluar secara
berkala sesuai kebutuhan.
Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500
ml/24 jam (30ml/kg berat badan/24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan
penggantian defisit cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu
dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda – tanda kelebihan cairan seperti ortopnea,
sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral
tergantung jenis dehidrasi.
• Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan
kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur
• Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang
mengandung sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larut isotonik yang ada
dipasaran
• Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar
sodium yang lebih tinggi
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain
pemberian cairan enternal, dapat diberikan rehidrasi parental. Jika cairan tubuh yang
hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan rumus:
Defisit cairan (litar) = cairan badan total (CBT) yang diinginkan – CBT saat ini
CBT yang diinginkan = kadar na serum X CBT saat ini
140
CBT saat ini (pria) = 50% X berat badan (kg)
CBT saat ini (perempuan) = 45% berat badan (kg)

jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau
dekstrosa 5 % dengan kecepatan 25 – 30 % dari defisit cairan total per hari. Pada
dehidrasi hipertonik cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu
pemberian cairan hipertonik.

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, sindrom delirium akut
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri
UNIT YANG MENANGANI
Devisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan
keterlibatan etiologi dehidrasi, Bidang Keperawatan
KONSTIPASI
KONSTIPASI
PENGERTIAN
Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan panyakit. Konstipasi sulit
didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat vairasi
yang berlainan antara individu. Konstipasi sering diartikan sebagi
kurangnya frekuensi buang iar besar (BAB), biasanya kurang dari 3 kali per
minggu dengan feses yang kecil – kecil dan keras, serta kadangkala disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat BAB.
Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya
sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau
timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto
polos perut.

DIAGNOSIS
Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan dibawah
ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan:
g. Konsistensi feses yang keras
h. Mengejan dengan keras saat BAB
i. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
j. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Konsistensi menurut Internasional Workshop on Constipation dapat dilihat pada tabel
berikut.

Tabel 1. Difinisi Konstipasi Menurut International Workshop on Constipation

tipe Kriteria

1. Konstipasi fungsional (akibat waktu Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling
perjalanan yang lambat dari feses) sedikit dalam 12 bulan:
• mengejan keras 25% dari BAB
• feses yang keras 25% dari BAB
• rasa tidak tuntas 25% dari BAB
• BAB kurang dari 2 kali per minggu
1. Penundaan pada muara rektum • hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
(terdapat disfungsi ano-rektal) • waktu untuk BAB lebih lama
• perlu bantuan jari – jari untuk
mengeluarkan feses
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Darah perifer lengkap
• Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah
• Fungsi tiroid
• CEA
• Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk
menemukan adalah fisura,ulkus, hemoroid, dan keganasan)
• Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konsitipasi, terutam yang terjadinya akut
untuk menditeksi adanya implaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi
kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk
memastikan tempat dan sifat sumbatan.
• Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 – 6 bulan pengobatan
konstopasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat – pusat pengelolaan konstipasi
tertentu.
 Ujian yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonskopi) atau fisiologi (waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan
elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru
terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan
berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat dengan kanker
kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
 Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama
ditemukan di rektum menunjukan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukan kelemahan yang menyeluruh.
 Sinedefecgrafi adalah pemeriksaan radiologios daerah anorektal untuk menilai evakuasi
feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi
serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip
feses, dimasukan ke dalam rektum. Kemudian pendirita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita diminta mengenjan untuk mengeluarkan
pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
• Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat
istirahat dan pada berbagai rangsangan untuk menilai fungsi anorektal.
• Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi
saraf pudendus, adkah atrofi saraf yangdibuktiikan dengan respons sfingter yang
terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun
fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi diseut sebagai non-spesifik.
TERAPI
• Aktivitas dan olahraga teratur
• Asupan cairan dan serat (25 – 30 gram/hari) yang cukup
• Latihan usus besar; penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari
untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5 – 10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB.
Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda –
tanda dan rangsangan untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk
BAB ini.
• Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya
dipakai obat – obatan golongan pencahar.
Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakan massa fesef anatara lain:
- cereal
- methy selulose
- psilium
e. Melunakan dan melincinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.contohnya antara lain:
- Minyak kastor
- golongan docusate
a. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain:
- sorbitol
- lactulose
- glycerin
a. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya
- bisakodil
- fenolptalein
• Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara – cara
tersebut diatas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak
dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan
pembedahan.
KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia, userasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus
daerah sigmoid akibat implaksi feses, serta prolaps rektum
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultasi Geriatri, dan Konsultan Gastro Entrelogi
UNIT YANG MENANGANI
Divisi / Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
Departemen Rehabilitasi Medik, bidang Keperawatan, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi

You might also like