You are on page 1of 2

Kisah kondom dari Senayan

Apakah anda melihat liputan Trans 7 pada hari sabtu (31 Mei 2008) pukul 16.30? kalo
iya, barangkali anda akan sama dongkolnya dengan saya. Terus terang saya katakan, saya
sudah muak melihat tingkah anggota DPR/MPR, bagi saya, melihat tingkah anggota
dewan kita cuma membuat tensi darah saya naik. Dalam reportase kontroversi itu
diceritakan bagaimana sebagian anggota parlemen kita menghabiskan uang lima juta
rupiah hanya untuk kencan dengan para PSK selama kurang dari dua jam, itu belum
dihitung biaya hotel dan makan, pertanyaannya: apa anggota DPR/MPR kita itu terlalu
amoral atau justru kelewat bego sehingga kasus begituan aja ko bisa bocor ke publik?

Tentu saja ini bukan kasus yang kali pertama terjadi di DPR/MPR, saya masih ingat betul
kasus yang melibatkan penyanyi dangdut Maria Eva, bahkan digosipkan bahwa Maria
Eva sampe aborsi segala. Saya dari dahulu meyakini, bahwa anggota DPR/MPR bukan
lah orang yang terbaik yang ada di Indonesia. Sebagai anggota DPR/MPR, anda harus
mengakui bahwa anda tidak lebih dari saya, bahkan saya yakin bahwa saya lebih baik
dari anda. Jika saya melakukan tindakan prostitusi maka yang dirugikan hanya lah nama
baik saya, dan karena saya bukan orang penting, orang paling cuma berjengit dan berkata
“Umam who?”, tapi bayangkan seorang anggota DPR/MPR tampil di koran lokal dan
nasional dengan pose yang kelewat berani. Saya berani bertaruh, bahwa otak anggota
DPR/MPR yang terlibat kasus itu tidak lebih besar dari otak udang. Siapa pun harusnya
menyadari bahwa bukti berupa gambar adalah bukti yang paling jelas terlihat, terlepas
apakah gambar tersebut asli atau palsu, rasanya pakar Roy Suryo akan memberikan
justifikasi apakah gambar itu asli atau palsu, dan tergantung apakah Roy Suryo akan
memberikan jawaban yang benar atau salah.

Rasanya saya sudah mulai bosan berbicara soal angggota DPR/MPR, salah satu kerabat
saya adalah anggota DPRD kabupaten, ia berkata bahwa tidak semua anggota parlemen
itu buruk, hanya sebagian kecil saja, istilahnya ‘cuma oknum’. Namun saya tahu lebih
baik dari itu. Pepatah lama mengatakan ibarat nila setitik rusak susu sebelanga,
permasalahannya, sudah berapa kali nila setitik itu tumpah? Bukan kah susu tersebut
tidak lagi layak di konsumsi? Saya pernah dicela orang karena mengatakan bahwa saya
tidak akan lagi ikut pemilu, kalau saatnya mencoblos, saya lebih baik ke luar kota dengan
alasan apapun, yang penting ga milih. Kenapa? Sebab saya merasa bersalah bahwa orang
yang pilih ternyata justru memperburuk nasib rakyat umum. Ah barangkali saya terlalu
mendramatisir, tapi itu adalah prinsip saya terserah anda suka atau tidak. Bagi saya,
apalah artinya kehilangan satu suara, toh dalam banyak pemilu orang yang golput
jumlahnya selalu banyak, dan selama ini saya sudah cukup banyak memberikan suara
saya. Dalam satu kesempatan saya pernah berkata “Umam mo pragmatis aja ah, siapa
yang bayar paling banyak itu yang mam pilih”, dan tentu saja orang tua saya terpingkal-
pingkal mendengar ucapan saya, mereka berkata “Siapa yang mo bayar?”

Pertanyaan yang sangat bagus. Siapa yang begitu bodohnya sampai mau membayar saya
agar memilih dia. Siapa pula yang begitu bodohnya memberikan penawaran tinggi
kepada saya. Coba kita berhitung. Jika pada pemilihan gubernur Jawa Barat satu orang di
bayar Rp.50.000,00, dan terdapat 27.972.924 orang pemilih, ambil lah lima persen, maka
terdapat 1.398.646 pemilih, artinya dibutuhkan dana sebesar Rp.699.323.000.000,00
jumlah yang sangat besar. Tentu saja para calon gubernur pasti berpikir ulang ketika
melihat angka ini. Tapi bukan itu persoalannya, karena saya yakin bahwa jumlah tersebut
tidak lah sebanding dengan hasil yang akan mereka dapatkan ketika menjabat nanti.
Besarnya uang yang di dapat oleh para eksekutif dan legislatif memang sangat bervariasi,
namun satu yang pasti: cukup untuk menunjang kehidupan keluarganya. Dalam acara
kabar tokoh di TV1 seorang anggota DPR/MPR pernah mengakui bahwa pendapatan
aslinya hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya di Australia, tentu saja saya heran,
punya anak kuliah di Australia sedangkan dirinya masih menjabat sebagai anggota
DPR/MPR dan dia mengeluh? Agaknya dia tidak pernah membayangkan hidupnya
melarat atau tinggal di kolong jembatan. Rasanya saya ingin menculik anggota
DPR/MPR dan saya bawa untuk bermukim di pinggir rel kereta api, atau saya bawa
mereka biar ikut antri beli minyak tanah, biar mereka tahu susahnya jadi rakyat biasa.

Gaji yang besar rupanya mendorong para anggota dewan menjadi sangat konsumtif.
Kasus Al Amin misalnya, saya sampai terperangah ketika ia dikabarkan membelikan jam
tangan seharga ratusan juta rupiah untuk istrinya Kristina yang juga penyanyi dangdut.
Saya sendiri yakin, bahwa uang yang ditemukan di mobil Al Amin adalah hasil suap.
Secara pribadi, saya heran betapa anggota DPR/MPR dapat tidur dengan nyenyak di
tengah penderitaan rakyat. Teman saya pernah bersoloroh “Ya iyalah mereka bisa tidur
nyenyak, tidur di kamar dengan kasur empuk dan AC menyala plus ga ada nyamuk, setan
juga bisa tidur nyenyak”, tentu saja kalimat ini harus diperhatikan: apakah fasilitas
tersebut di dapat dari gaji mereka atau justru fasilitas tersebut di dapat dari uang rakyat
yang mereka korupsi? Saya meyakini, bahwa sebaik apapun orang sebelum menjadi
anggota DPR/MPR, maka dia (mengutip istilah yang dikemukakan mantan Jaksa Agung
Abdurrahman Saleh) ‘seperti ustaz di kampung maling’, dan tidak ada yang memberikan
jaminan bahwa di ustaz tersebut tidak berubah menjadi maling.

Kembali ke kasus kondom tadi, apakah gaji yang begitu besar diterima oleh anggota
DPR/MPR turut mendorong mereka untuk ‘jajan’ siang hari dan kembali ke istri sah pada
malam hari? Saya pernah berkata pada seorang teman mengenai perilaku anggota dewan
yang doyan jajan, dan teman saya berkata “Lo harus sadar, barangkali anggota dewan
lebih pintar dari mahasiswa”, saya tanya “Kenapa?”, dan ia menjawab “Karena kondom
bekas anggota dewan ga pernah ditemukan di gedung DPR/MPR”, lalu saya berkata “apa
iya?”, dan kembali ingatan saya ke awal reformasi. Bagaimana reformasi menjadi
tercoreng akibat ditemukannya beberapa kondom bekas yang – konon katanya –
digunakan oleh para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, dan kerabat saya
yang anggota DPRD kabupaten ketika saya ceritakan dengan gelinya berkata “Nah, tau
sendiri kan, oknum mahasiswa juga bejat”, tentu saja saya protes. Ini ibaratnya buah
simalakama, menyalahkan anggota dewan karena suka ‘jajan’ tapi ada pula ‘bukti’ bahwa
mahasiswa pun bisa ‘bersenang-senang’ ketika demonstrasi. Tapi saya berkelit “Ah itu
kan sifatnya kasuistik, jangan dipukul rata donk”, tapi saya tersadar, ah saya ko kayak
jadi anggota DPR/MPR yang menutup mata terhadap kejadian di sekeliling saya seakan-
akan hal itu tidak pernah terjadi, tapi sejarah sudah terjadi dan tidak bisa dipungkiri.

You might also like