You are on page 1of 3

SAUDAGAR MINANG DAN DAKWAH

Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin

Menjadi saudagar, bagi orang Minang, dalam adaik basandi syarak, dan syarak
basandi Kitabullah, adalah suatu pekerjaan mulia.

Saudagar Minang, yang umumnya beragama Islam, mengambil contoh kepada kehidupan
Nabi Muhammad SAW, yang diutus menjadi Rasul, sejak usia muda sudah berkecimpung
di bidang perdagangan, berjualan, dan merantau jauh melintas batas negerinya.

Adat budaya Minang, menyebutkan, ka ratau madang di hulu, babuah babungo balun,
marantau buyuang dahulu, di rumah paguno balun. Badagang bagi orang Minang sudah
dikenal sejak lama.

Bagi orang Minang, badagang adalah suatu kebaikan dan idaman. Dalam kaedah hidup
di Ranah Minang mengadatkan, ”Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai,
Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuek
mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja.”

Nilai utama yang dituntut berpendir ian teguh dengan sifat-sifat mulia,lembut
hati, penyabar, penyayang sesama, dan teguh iman melaksanakan suruhan Allah.

Di Minangkabau kata-kata “dagang” menyimpan banyak makna. Terkandung fasafah hidup


yang luas.

Dalam suasana badagang itu, “iyu beli, belanak beli, ikan panjang beli dahulu. Ibu
dicari, dunsanak dicari, induk semang cari dahulu”. Ada nilai yang wajib dijaga,
yakni kekerabatan dan jiwa wiraswasta. Artinya pandai menghormati orang-tua di
mana saja.

SENTENG BABILAI, SINGKEK BA-ULEH, BATUKA BA-ANJAK, BARUBAH BASAPO. Sama-sama


bekerja mencapai tujuan, bekerja sama mengangkat beban, saling mau perbaikan jika
terlihat satu kesilapan.

Lebih dari itu, induk semang yang erat kaitan dengan badagang jo manggaleh, perlu
dicari lebih dahulu. ANGGANG JO KEKEK CARI MAKAN, TABANG KA-PANTAI KADUO-NYO,
PANJANG JO SINGKEK PA-ULEH-KAN, MAKO-NYO SAMPAI NAN DI CITO.

Semua potensi yang ada, digali dan dipertemukan, untuk mencapai sukses, dengan
menjaga persaudaraan, dan menghargai existensi bermasyarakat dalam kaedah-kaedah
pergaulan yang nyaman, seperti ADAIK HIDUIK TOLONG MANOLONG, ADAIK MATI JANGUAK
MANJANGUAK, ADAIK LAI BARI MAMBARI, ADAIK TIDAK SALING MANYALANG
(BA-SELANG-TENGGANG).

Di ranah Minang, anak dagang tidak dianggap orang buangan. Penilaian orang Minang
terhadap anak dagang, tergantung kepada baik perilaku di ranah, serta hasil
karyanya, dan kemudian didudukkan sama rendah tegak sama tinggi dalam ikatan andan
pasumandan, dan dipercaya memikul tugas-tugas di dalam “negeri”.

Dari ungkapan ini, tergambar betapa eratnya hubungan antara saudagar dengan
dakwah.

Orang Minang suka badagang, di antara pekerjaan itu adalah berniaga, dagang
babelok, berkedai, berjual beli, tukar-menukar, bertoko, dan manggaleh yang
terkait dengan seluruh transaksi yang mencakup “rugi-laba”, dan selalu bermodal
kehati-hatian.
INGEK SABALUN KANAI, KALIMEK SABALUN ABIH, INGEK-INGEK NAN KA-PAI, AGAK-AGAK NAN
KATINGGA.

Jeli dan jelimet dengan perhitungan matang tentang manfaat dan mudharat, dengan
sebuah kompas yang jarumnya diarahkan “DIMA BUMI DIPIJAK, DI SINAN LANGIK
DIJUNJUNG”, artinya penyesuaian, situasional dan kondi sional. Karena ini, mereka
maju dan berkiprah di segala bidang.

Sebuah mental-climate yang benar-benar indah, sesuai dengan “agama” dan adatnya.
Syara’ mamutuih, adat mangato.

Badagang jo Manggaleh, bagi putra-putri Minangkabau sejak dahulu, dimulai dengan


apa yang ada. Yang ada itu, ialah alam takambang jadi guru, dan potensi-manusiawi.

Sejak awal ditanamkan percaya diri, dengan modal sederhana, tulang delapan karat
dan moralitas dengan panduan agama dan adat, membentuk watak produktif, menolong
diri sendiri, kemudian berkiprah saling membantu orang keliling, sebagai kekuatan
dakwah di manapun mereka berada.

Telah dibuktikan, di manapun saudagar Minang itu berada, maka surau, mushalla dan
masjid akan berdiri dan ramai dikunjungi.

Kerjasama di antaranya terjalin rapi, dengan memungsikan semua potensi yang riil.

TUKANG NAN TIDAK MAMBUANG KAYU, NAN BUNGKUAK KA-SINGKA BAJAK, NAN LURUIH KA
TANGKAI SAPU, SATAMPOK KAPAPAN TUAI, NAN KETEK PA PASAK SUNTIANG”.

Tidak jarang, saudagar Minang sejak masa lalu itu, adalah orang-orang yang piawai
di bidangnya, seperti Muhammad Latif yang berdagang ke Aceh sambil belajar agama,
atau Syekh Gapuak saudagar sarung bugis, yang mendirikan Masjid Gantiang Padang
dan pamannya Syekh DR.Abdullah Ahmad, Rahman Tamin yang mewakafkan rumah dan
tanahnya di Kramat Raya Jakarta untuk markas Dakwah Islam sampai sekarang, dan
banyak lagi yang lainnya, seperti Djohan Djohor, Dasaat, Abdul Latif, Hasyim Ning,
Rusli Wat dan kawan-kawan lima serangkai saudagar Pasar Raya Padang yang
memelopori pembuatan Masjid Taqwa Padang, Haji Syamsuddin Pasar Mudiek, Haji Lamid
saudagar rempah di Pasar Hilir, Buya Muhammad Yatim dan Anwar Sutan Saidi yang
mendirikan abuan saudagar dan akhirnya menjadi Bank Nasional dan Inkorba di
Bukittinggi.

Dan ratusan nama lainnya, yang tak cukup kertas untuk mencatatnya. Mereka adalah
saudagar piawai, yang berdagang dan berdakwah dalam satu tarikan nafas.

Jelaslah sudah, bahwa badagang jo manggaleh bagi orang Minang, punya falsafah
mendalam, dan berurat berakar dalam memilih secara teliti penerapan kiat manaje
men yang tengah berkembang.

Akhir dari keberhasilan seorang saudagar yang badagang atau manggaleh adalah
kesediaannya membantu orang lain (kampung halaman dan karib kerabat) dengan cara
ikhlas (ihsan) tanpa memerlukan balasan apa-apa, sesuai dengan Firman Allah,
“Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah (yang menciptakan
manusia) telah memberikan segala bentuk kebaikan kepada kamu, (yakni berbuat
selfless-help, membantu tanpa mengharapkan balasan). Dan Ingatlah, jangan
sekali-kali kamu menjadi penabur bencana dipermukaan bumi; (Q.S. XXVIII
Al-Qashash, ayat 77).

Alhamdulillah, orang Minang sampai kini, masih memi liki “piala” yang belum
berpindah ke tangan orang lain, yaitu orang Minang masih “pandai hidup”, “ALAH
BAKARIH SAMPORONO, BINGKISAN RAJO MAJO-PAIK, TUAH BASARAB BAKARA NO, DEK PANDAI
BATENGGANG DI NAN RUMIK”.

Kuncinya, pertajam observasi, tingkat kan daya-fikir, dinamiskan daya-gerak,


perhalus raso pareso, perkembang daya-cipta, dan bangkitlah kembali kemauan.
“MAMUTIAH CANDO RIAK DANAU, TAMPAK NAN DARI MUKO-MUKO, BATAHUN-TAHUN DI DALAM
LUNAO, NAMUN NAN INTAN BACAYO JUO”.

Insya Allah, “Innallaha ma’ana”, Allah akan selalu menyertai kita.

Amin.

Oleh Buya Masoed Abidin, 18 Sept 2008

You might also like