Professional Documents
Culture Documents
MENDOBRAK
KEBIASAAN
pembangunan di Rawa Bunga
UT
PERT
PROGRAM STUDI
AN
INSTIT
BO
G OR
PPS INSTITUT PERTANIAN BOGOR
komunikasi pembangunan
JAYA R AYA
KREDIT
PROSIDING Komunikasi Pembangunan Berbasis Komunitas
KEGIATAN
SAMBUTAN Cara-cara Perencanaan Kegiatan Perbaikan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Hidup
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik di tingkat lokal maupun re-
gional pada masa sekarang telah banyak mengalami perubahan-perubahan.
Umpamanya cara pendekatan perencanaan dengan pendekatan cetak-biru (blue
print approach) melalui pendekatan top-down mengasumsikan bahwa para
perencana mempunyai suatu pemahaman dan overview terhadap persoalan-
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat secara akurat. Namun dengan cara-
cara ini selain telah menunjukkan hasil-hasil yang tidak efektif dalam mencapai
sasaran-sasaran yang dituju, tetapi juga tidak efisien dalam arti terlalu banyak
sumberdaya dan dana yang mubazir. Karena asumsi tersebut tidaklah realistik,
terutama dalam menghadapi persoalan sosial ekonomi dan lingkungan yang semakin
kompleks yang bersifat dinamis. Oleh karena itu dalam menghadapi sistem yang
kompleks dan dinamis itu sekarang metodenya telah diganti dengan melalui berupa
pemberdayaan masyarakat guna mendorong pertisipasi mereka secara interaktif
melalui proses dialog-dialog antara perencana dan masyarakat sehingga sama-
sama mengalami learning by doing untuk menggali dan mengenal beberapa persoalan
pokok yang dihadapi oleh masyarakat serta merumuskan solusi-solusi
pemecahannya atas dasar kesepakatan bersama.
Demikianlah bahwa landasan pemikiran singkat diatas didasarkan kepada hasil
pengalaman-pengalaman dalam tiga dekade terakhir ini dimana telah terjadi proses
pergeseran paradigma dalam pendekatan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada
laju pertumbuhan ekonomi secara fisikal (investasi dalam man-made capital) dengan
basis peningkatan investasi dan teknologi yang didatangkan dari luar semata
lingkungan masyarakatnya telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang
menekankan pada kemampuan masyarakat (human dan social capital) untuk diajak
serta dalam mengarahkan dan mengendalikan keadaan kehidupan sosial, ekonomi
dan lingkungannya. Pengalaman empiric menunjukkan bahwa ketidak-seimbangan
dalam investaasi keempat capital (natural, physical, human dan social capital) dapat
menimbulkan kesenjangan tingkat kehidupan dalam masyarakat yang pada gilirannya
akan menjadi sumber dari krisis ekonomi, sosial dan lingkungan yang satu kepada
krisis lainnya. Oleh karena itu paradigma baru yang berkembang ini lebih
menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and
collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi penguasaan,
pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.
Oleh karena itu kini telah banyak disadari bahwa pengalaman dalam membangun
kehidupan masyarakat selama ini telah banyak menimbulkan dampak permasalahan
pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan
sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin besar,
maka beban dan ketergantungan pada pihak luar (pemerintah pusat, bahkan luar
negeri) yang semakin berat adalah merupakan bukti-bukti nyata atas kegagalan
praktek pelaksanaan pembangunan selama ini. Atas dasar realitas tersebut, maka
pengalaman tersebut telah mendorong kearah terjadinya perubahan pemikiran
dan konsepsi pembangunan yang perlu dicermati.
komunikasi pembangunan i
mendobrak kebiasaan
Paradigma baru pengembangan lokal dan wilayah pada saat ini adalah didasarkan
kepada prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek berikut :
(1) Mengedepankan peran-serta (partisipasi) masyarakat dan memprioritaskan
untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah sebaiknya lebih
berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai inisiator dan
pelaksana.
(2) Menekankan aspek “proses” dibandingkan pendekatan-pendekatan yang
menghasilkan “produk-produk” perencanaan berupa masterplan dan
sejenisnya.
Salah satu bentuk dari apa yang disebut government failure di masa lalu adalah
terjadinya kegagalan menciptakan keterpaduan intersektoral yang sinergis, baik
dalam pengertian keterpaduan intern-horizontal (antar instansi pemerintahan
sederajat), intern-vertikal (antara instansi pemerintah pusat, regional hingga lokal),
hubungan-hubungan antara pelaku (pemerintah-masyarakat-swasta), hingga sinergi
antara kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Struktur insentif yang
dikembangkan sejauh ini cenderung tidak mendorong bahkan menghambat para
pejabat pelaksana pembangunan untuk menciptakan keterpaduan-keterpaduan
yang diinginkan. Sebagai akibatnya, pemerintahan daerah dan lokal gagal menangkap
kompleksitas pembangunan di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak
mendapat tempat. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antar
lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi antar sektor
yang berbeda. Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh keterkaitan
antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang
dan jasa antar sektor secara dinamis dan efisien.
Dalam paradigma baru pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus
semakin dibatasi yang hanya menyediakan pada bidang “public good”, dan bidang
dimana pihak swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya.
Sebenarnya pergeseran paradigma pembangunan tersebut telah berlangsung
secara terus menerus dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan hasil pergeseran
tersebut secara terus menerus dapat disimpulkan bahwa penekanan hakiki tujuan
pembangunan adalah tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency),
dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru
pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamen-
tal ekonomi kesejahteraan (The second fundamental of welfare economics), dimana
dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target
pemerataan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang diinginkan, melalui cara
transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi selebihnya dapat
diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan demikian, penterjemahan dari dalil
tersebut kepada paradigma baru pembangunan sejalan dengan diberlakukannya
otonomi daerah.
Dengan diberlakukannya UU 22/1999 mengenai Otonomi Daerah berimplikasi
luas dalam sistem perencanaan pembangunan diwilayah-wilayah. Kebijaksanaan
desentralisasi melalui otonomi daerah sebenarnya mengisyaratkan tentang
pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan masyarakat lokal
komunikasi pembangunan ii
mendobrak kebiasaan
Latar belakang tersebut mendorong PPS-PWD IPB dan Badan Pemberdayaan Masyarakat
(BPM) DKI-Jakarta berinisiatif untuk membuat sebuah kegiatan yang ‘baik’ dan ‘benar’, bertajuk
“Komunikasi Pembangunan Berbasis Komunitas”. Kegiatan ini sendiri merupakan sebuah
exercise untuk melakukan sebuah komunikasi diantara para stakeholder pembangunan, dalam
sebuah bentuk komunikasi yang emansipatoris. Dimana setiap ‘pihak’ duduk setara dan
berusaha membuat sebuah konsensus bersama.
Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: [1] Adanya sebuah dokumentasi proses yang
dapat menjadi ‘manual book’ sebuah proses perencanaan yang partisipatoris yang kemudian
dapat direplikasikan secara kontekstual; [2] Menjadi media belajar bagi seluruh pihak yang
terlibat dalam kegiatan; [3] Menjadi salah satu acuan bagi warga Rawa Bunga untuk kegiatan
pembangunan mereka.
Kegiatan ini berlangsung selama sebulan penuh (Mei 2002) di kelurahan Rawa Bunga,
Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Alasan pemilihan Kelurahan Rawa Bunga
karena wilayah ini secara kasat mata mempunyai permasalahan tipikal kota besar. Kegiatan
ini dimulai dengan melakukan identifikasi wilayah, identifikasi stakeholder, dan identifikasi
pendekatan untuk membangun kekerabatan. Tahap ini biasa disebut penilaian perkotaan secara
cepat (rapid urban appraisal/RUA).
Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan yang dibagi menjadi dua kegiatan. Pertama adalah
sumbang saran di tingkat RW. Pada tahap ini dilakukan pencarian isu-isu strategis,
mengidentifikasikan kemampuan/potensi yang ada, dan memotivasi warga untuk terus terlibat
pada proses berikutnya. Metode yang digunakan adalah penilaian perkotaan secara partisipatif
(participatory urban appraisal/PUA), dan pendekatan kerangka logis (logical framework analysis/
LFA). Kedua adalah kegiatan sumbang saran tingkat kelurahan yang melakukan pemetaan
masalah sekaligus saling mengkonfirmasi hasil-hasil pada proses sebelumnya. Pada tahap ini
digunakan pendekatan diskusi kelompok tematis (focus group discussion) dengan partisipan
dari berbagai RW dan pihak eksternal. Pelibatan stakeholder diharapkan terjadinya pengayaan
perspektif pemikiran dan setiap keputusan yang dibuat memiliki legitimasi yang kuat.
Proses PUA menghasilkan 10 isu pokok, yaitu (1). Keamanan yang tidak kondusif; (2).
Kebersihan lingkungan kurang terpelihara; (3). Kemiskinan; (4). Sarana publik kurang; (5).
Kelembagaan kepemudaan tidak berjalan; (6). Kelembagaan RW tidak berfungsi optimal; (7).
Rendahnya manajemen SDM; (8). PKK kurang berfungsi dan kurang diperhatikan; (9).
Kerjasama dengan pihak luar tidak berjalan; (10). Sosialisasi program kurang efektif.
Untuk menganalisa masalah dilakukan LFA yang menunjukkan bahwa dua penyebab utama
munculnya berbagai masalah yaitu : (1) Kelembagaan RT/RW yang tidak berfungsi; dan (2)
Terjadinya tumpang tindih program dari luar. Pengerucutan lebih tajam lagi menunjukkan
bahwa akar masalahnya adalah ketidakmengertian para pihak tentang perencanaan
wilayah berbasis warga.
komunikasi pembangunan v
mendobrak kebiasaan
pengkondisian seperti itu. Sebagian menjadi speechless, tidak mampu menyuarakan apa yang
mereka inginkan. Bermimpi pun menjadi hal yang tidak mungkin. Mereka terkungkung di
dalam ‘wilayah’ budaya kemiskinan yang sengaja atau tidak tercipta dari sebuah proses
pembangunan yang meminggirkan mereka. Kenyataan inilah yang kemudian ‘terungkap’.
Sedangkan isu sosialisasi program kurang efektif terjadi selama ini karena pola
pembangunan yang top down dan tersentralisasi menjadi sebab mengapa setiap program
pemerintah menjadi ‘mandul’. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan apapun atas
program ‘dari atas’ tersebut, sehingga program tersebut menjadi tidak efektif (making nothing
form something).
Kerjasama dengan pihak luarpun menjadi kurang berjalan, dikarenakan selama ini
potensi lokal tidak teridentifikasi secara baik, para pihak yang ada di masyarakat tidak dapat
mensinergikan kekuatan yang ada padanya. Kerjasama yang sesungguhnya dapat meningkatkan
taraf hidup akhirnya tidak dapat dikelola.
Lebih jauh lagi dilakukan analisa keterkaitan masalah yang menunjukkan bahwa setiap isu
tidak berdiri sendiri, sehingga didapatkan keterkaitan antara 10 isu dengan tiap masalah.
Empat isu memiliki keterkaitan kuat, yaitu [1] Lemahnya kelembagaan RT/RW, [2] Kurang
efektifnya sosialisasi program pembangunan, [3] Kurangnya kerjasama dengan pihak luar, dan
[4] Kemiskinan.
Keterkaitan antar keempat masalah tersebut sangat erat. Kemiskinan yang ada
sesungguhnya disebabkan oleh lemahnya pengorganisasian di antara warga. Kemiskinan
menjadi awet ketika warga tidak mendapatkan akses untuk membuat keputusan bagi
kepentingan mereka sendiri. Mereka terisolasi dari setiap proses pengambilan keputusan
baik ditingkat RT/RW maupun ditingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan jumlah permasalahan yang ada di kelurahan Rawa Bunga yaitu 31 buah dengan
tingkat kemunculan permasalahan di tingkat RW menunjukkan bahwa RW 01 mempunyai
tingkat keragaman permasalah tertinggi yaitu 20 buah masalah, sedangkan yang mempunyai
tingkat keragaman masalah terendah adalah RW 09 dengan tingkat keragaman 10 buah
masalah.
Beberapa hasil pembelajaran terpenting pada proses ini adalah [1] Peningkatan kapasitas
kelembagaan di tingkat RT/RW dan tingkat kelurahan (ini melibatkan organisasi RT/RW,
organisasi LPM/Dewan kelurahan dan pemerintahan kelurahan, serta lembaga swadaya
masyarakat lokal). [2] Mendorong koordinasi antar lembaga yang ada ditingkat kelurahan
untuk dapat mensinergikan berbagai kegiatannya terutama dalam perbaikan taraf hidup
kelompok miskin. [3] Mendorong pemerintah untuk terus mempromosikan perencanaan
berbasis warga sebagai sebuah langkah awal untuk pembentukan masyarakat sipil yang cerdas
dan beradab. [4] Merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninjau kembali segala
produk yang berhubungan dengan kelembagaan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan
proses perencanaan pembangunan (khususnya untuk tingkat kelurahan). [5] Secara jujur dan
cerdas bersama-sama melakukan reorientasi konsep pemberdayaan dan meng-exercise konsep
tersebut dalam perencanaan pembangunan berikutnya.
Sebagai sebuah exercise kegiatan ini tentu memiliki banyak kekurangan, namun kekurangan
tersebut sesungguhnya menjadi sebuah ‘pekerjaan rumah’ untuk dievaluasi dan dimodifikasi
sehingga pendekatan yang digunakan sesuai dengan keadaan riil masyarakat.
komunikasi pembangunan vi
mendobrak kebiasaan
DAFTAR ISI
Halaman
SAMBUTAN
Ketua PS-PWD IPB i
Kepala BPM Prop. DKI Jakarta iv
RINGKASAN v
Halaman
DAFTAR PUSTAKA 40
DAFTAR LAMPIRAN
Profil RW 01 42
Profil RW 02 45
Profil RW 03 48
Profil RW 04 51
Profil RW 05 54
Profil RW 06 57
Profil RW 07 60
Profil RW 08 63
Profil RW 09 66
TERIMA KASIH 69
AWALNYA
DARI SINI
komunikasi pembangunan 1
mendobrak kebiasaan
PENGANTAR
MENDOBRAK KEBIASAAN
Proses Komunikasi Pembangunan Berbasis Komunitas
Merujuk pada kata pembangunan, pikiran kebanyakan langsung pada kekayaan
yang akan menumpuk, tentunya hasil dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini
biasa terjadi karena selama ini pembangunan sering menjadi sarana ‘basah’ untuk
memperkaya diri, sekaligus visi pembangunan bukanlah untuk manusia tetapi
pembangunan untuk pembangunan itu sendiri. Manusia menjadi mahluk yang tidak
pernah dianggap mempunyai pikiran dan hati, hanya sebagai obyek yang hanya
mendapatkan tempatnya ketika proses pembangunan sudah selesai dilakukan.
Kata orang ‘pembangunan sebenarnya identik dengan sebuah rumah manusia’.
Selama ini pembangunan dibuat oleh para teknokrat dengan teori yang dibawa
dari ‘dunia antah berantah’ yang tidak pernah berakar pada tanahnya sendiri.
Tidak pernah ditanyakan apa pendapat pemilik rumahnya. Para filsuf ‘kampungan’
dari berbagai pelosok kampung di Indonesia sangat sadar dan mengerti artinya
rumah. Dikatakannya bahwa rumah adalah raga kedua yang harus mampu
mencirikan hati, perilaku, pikiran, dan mimpi penghuninya. Kasihan memang.
Buku ini mencoba mengikuti ajaran para filsuf sepuh kita yang ‘kampungan’ dengan
mencoba melakukan tata krama pembangunan kepada para penghuni rumah
sebelum melakukan renovasi atas rumah yang memang sudah hancur akibat
pendekatan para teknokrat sebelumnya. Betapa warga sebagai pemilik rumah
merasa senang dan merasa sangat dihargai. Seorang warga berujar ‘kenapa cara
ini tidak dilakukan sejak dahulu’. Jelaslah bahwa tata krama memang budaya kita.
Kenapa harus dicabut.
Berbagai pihak sangat mendukung upaya renovasi ini, warga yang datang dengan
berbagai harapan, ada yang ingin perubahan, ada yang ingin dapat makan minum
gratis, yang lainnya supaya disebut masyarakat yang sosial, bahkan ada yang
mengharapkan amplop karena memang sebelumnya pertemuan seperti ini selalu
mendapatkan amplop. Pertemuan-pertemuan tidak hanya didominasi kaum Bapak,
kaum Ibu-pun antusias, pemuda dan pemudi juga terlibat penuh. Kakek-nenek
juga hadir walaupun dengan suara yang kurang jelas. Suara-suara penuh optimis
bersahut-sahutan, terkadang berbagai kata seronok muncul. Maklum inilah Jakarta.
Kita sebagai pelaksana mengalami sebulan penuh ketakutan, karena baru turun ke
masyarakat sebenarnya, dimana selama ini bicara masyarakat sering dilakukan
hanya di belakang meja, di hotel, dalam berbagai seminar, dan lokakarya. Senyum
lebar kita mulai muncul setelah warga bisa menerima kehadiran kita, kejujuran
menunjukkan siapa sebenarnya kita adalah rahasianya. Warga memang begitu.
Kita jujur, merekapun akan begitu. Tekanan pekerjaan yang penuh dengan kejutan-
kejutan karena berhadapan dengan berbagai manusia memberikan impuls yang
menyenangkan. Betapa kelelahan dan kepenatan yang seharusnya muncul, sama
sekali tidak terasa. Walaupun ada beberapa yang muntah, mencret, dan pusing.
Panji Koming. Kompas. 14 Februari 1982
Itu biasa kalau kita mulai dengan hal-hal yang baru.
komunikasi pembangunan 2
mendobrak kebiasaan
Proses ini tidak mungkin terlaksana tanpa kerjasama berbagai pihak. Program
Pasca Sarjana PWD-IPB yang penuh antusias mendukung program ini karena
berharap mendapatkan pengayaan pengetahuan. Teman-teman Pasca Sarjana yang
penuh percaya diri dan penuh kepenasaran serta kesabaran mengikuti proses.
Teman-teman KomBeT (Komunitas BeTe) dari Tegal Gundil yang mendukung dalam
tahap-tahap akhir. Pak Lurah dan jajarannya yang menyediakan tempatnya untuk
kotor-kotoran. Pemda DKI yang memang punya keinginan untuk berubah dalam
cara merenovasi ‘rumah’. Terakhir tentunya Pengurus RW dan jajarannya serta
warga yang sangat ‘welcome’ dalam menyambut dan membangun proses diskusi,
Salam, sehingga berlangsungnya diskusi jadi tidak begitu ‘garing’ tapi bisa dilakukan sambil
terbahak, bersama dengan celetukan ‘goyang dombret mang’.
Buku ini hanyalah sebuah buku yang bisa hilang karena dimakan rayap jika hanya
TIM PENYUSUN disimpan di sudut rak buku yang lembab. Buku ini juga bisa menjadi inspirasi bagi
Widhyanto M. Ahmad berbagai pihak yang memang berniat memperbaiki cara merenovasi ‘rumah’.
Ahmad Baehaqie Semoga anda termasuk yang berniat itu. Kami percaya bahwa anda melihat ‘rumah’
Abdul Rahman Andit sebagai ‘rumah’.
komunikasi pembangunan 3
mendobrak kebiasaan
Jakarta dan penduduknya tidak dapat dipisahkan. Kini penduduk Jakarta berjumlah
sekitar 8 juta jiwa di malam hari dan lebih dari 10 juta jiwa di siang hari. Jakarta
sangat dipengaruhi oleh perilaku penduduknya. Kaum migran tidak serta merta
membuang tradisi mereka, ini dibuktikan dengan aktivitas ekonomi dan sosial
mereka. Banyaknya perkumpulan dan berdasarkan etnisitas membuktikan bahwa
Jakarta merupakan ‘kumpulan kampung migran’ (yang setiap tahun hampir
setengahnya ‘mudik’ di waktu Lebaran).
Orientasi kaum migran merupakan orientasi kedesaan. Keberhasilan mereka dalam
mengumpulkan uang tidak serta merta mengubah cara hidup mereka. Berkumuh-
kumuh di Jakarta, memiliki ‘rumah gedong’ di desa. Dunia mereka merupakan
dunia desanya (Abdul Hamid dan Iman Ahmad, Prisma, LP3ES, 1992). Lepas
dari perdebatan tentang teori dualisme ekonomi (formal-informal/firma dan ba-
zaar) ternyata Jakarta merupakan magnet bagi siapa saja (entah dosen, peneliti,
seniman, gembel, pelacur atau pejabat daerah sekalipun) yang memimpikan hidup
yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi.
Jakarta juga menjadi tempat berbagai dualisme-kontradiksi. Perkampungan kumuh
disebelah real estate (yang dipagar tinggi), permukiman padat disela gedung
pencakar langit (yang siap digusur), kaum yuppies (young urban professionals) yang
senang makan di emper kaki lima (kaki limanya dikejar-kejar tidak boleh
berdagang), riuhnya café ditabuhi oleh alunan dzikir di Kemang, goyang dangdut
yang menjadi ikon kaum marjinal dan kampungan memassal disetiap stasiun televisi
(yang menjadi supremasi pembentuk imaji dan proses imitasi) diskotik dan taman
umum. Semuanya mengalir. Menjadi, menjadi, menjadi. Bertentangan atau saling
melengkapi. Kacau atau harmoni. Anomali atau kenormalan. Di Jakarta semuanya
terjadi dan menjadi.
Jakarta tempat segala sesuatu yang norak menjadi sebuah kelaziman. Dimana
bangunannya gagah, menantang langit, dengan arsitektur yang ‘terinspirasi’ dari
tempat-tempat yang jauh, namun membuat gagap para penghuninya, menyeramkan
bagi ‘orang luar’. Jakarta merupakan tempat orang melakukan pencitraan yang
terus menerus terhadap dirinya, sebagai manusia modern? Namun kesehariannya
tetap sebagai orang yang sama seperti sebelumnya. Jakarta tempat ‘kemasan’
lebih dihargai dari ‘isi’. Seperti anekdot yang mengisahkan orang yang dipacari
kemudian hamil, sang pacar kemudian berkilah isi diluar tanggungan percetakan.
Jakarta tempat para migran dipupur, didesain ulang, dihamili dan melahirkan
berbagai persoalan.
Bappeda-Jakarta. Jakarta Membangun. 2002
komunikasi pembangunan 5
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 6
mendobrak kebiasaan
SUPERMAN BISA Permasalahan sumber daya manusia (SDM) sebenarnya merupakan sebuah
LAHIR DI SINI kekuatan jika kemampuan tiap manusia bisa disatukan dengan benar, ibarat
potongan-potongan puzzle yang disatukan. Superman sebenarnya bisa dilahirkan
dengan cara tersebut di Rawa Bunga. Kelurahan Rawa Bunga memiliki modal
SDM yang cukup besar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan kualitas SDM
yang cukup, Rawa Bunga sesungguhnya mampu melakukan perencanaan partisipatif
sendiri dan menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Di beberapa tempat masih terdapat sanggar-sanggar kesenian RW (04 dan 08),
perguruan Silat dan tempat-tempat ‘belajar’ lain, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan
Kekuatan kebersamaan dalam menyelesaikan
masalah hidup dan kehidupan bisa oleh para remaja dan pemuda yang ada disana.
menyelesaikan masalah bersama antar warga.
komunikasi pembangunan 7
mendobrak kebiasaan
LOKASI YANG Padatnya pemukiman menyebabkan hampir seluruh lahan tersedia digunakan
STRATEGIS seketat mungkin untuk kebutuhan pemukiman, bahkan tempat yang seharusnya
menjadi sarana publik menjadi pemukiman. Keberadaan sungai dan aliran air alami
sama sekali tidak mempunyai arti apapun kecuali menjadi tempat sampah dan
sebagai pembuangan kotoran manusia. Daerah pinggiran sungai yang seharusnya
digunakan sebagai daerah sempadan sungai juga tidak luput dari serangan
pemukiman.
Konturnya yang rendah karena asalnya merupakan rawa (terutama RW 05 dan
06), menyebabkan daerah ini tidak dapat lepas dari banjir tahunan. Bahkan jika
terjadi hujan kecilpun daerah ini bisa tergenang, daerah resapan air hampir dikatakan
tidak ada. Praktis Rawa Bunga hanya mengandalkan kekuatan lokasi strategisnya
yang berada di jantung ekonomi Jakarta, sehingga aktivitas terdepan adalah jasa
dan perdagangan.
Kelurahan Rawa Bunga terletak di dekat terminal Kampong Melayu yang menjadi
terminal transit ke daerah Pasar Minggu, Kramat Jati, Senen, Cililitan dan
Pulogadung yang ‘hidup’ 24 jam sehari. Disini juga terdapat Stasiun Kereta Api
Jatinegara yang juga hidup selama 24 jam sehari mengalirkan kaum urban dan
para komuter.
SEMUA Keberadaan lokasinya yang strategis secara langsung telah mendorong dibangunnya
sarana dan prasarana yang berorientasi pada kegiatan ekonomi warga Rawa Bunga.
TERSEDIA DI SINI
Ketersediaan fasilitas dua buah pasar regional dan satu mal/plaza, ditambah pasar
spesifik seperti pasar burung dan pasar batu permata maka warga Rawa Bunga
sangat terbantu dengan fasilitas tersebut. Sarana lain seperti sarana pendidikan,
jalan dan jembatan sudah memadai bagi warga Rawa Bunga.
Jaringan jalan sudah sangat mencukupi mulai dari jalan propinsi yang memotong
RW 01 dengan RW lainnya, sampai jalan tikus antar gang. Jaringan telepon sudah
menyebar sampai ke pelosok, termasuk ketersediaan telepon umum. Jaringan
PAM (Perusahaan Air Minum) sudah dapat dinikmati warga. Namun keberadaan
hampir semua sarana dan prasarana tersebut tidak mendapatkan pemeliharaan
yang cukup. Warga malah cenderung untuk merusaknya. Pemerintah sering tidak
memberikan pelayanan yang baik terutama dalam urusan PAM. Kerusakan sarana
lainnya yang terjadi secara alami yaitu terhadap jalan yang selalu tergenang.
Orientasi pengadaan sarana ekonomi sama sekali tidak diimbangi dengan upaya
mendorong sarana untuk membangun modal sosial. Sarana yang masih dianggap
kurang oleh warga adalah sarana bermain anak, taman/ruang terbuka hijau, sarana
olah raga, dan sarana kesehatan di RW 01 (yang dari segi jarak, jauh dari RW lain
dan puskesmas kelurahan-sementara klinik murah juga tidak ada). Padahal sarana
tersebut sangat berpotensi untuk mendorong semakin kuatnya kekerabatan antar
warga yang sebenarnya merupakan salah satu modal dalam pembangunan.
Di kelurahan Rawa Bunga juga terdapat komplek perpustakaan umum. Gedungnya
yang nyaman, suasana yang santai sesungguhnya bisa menjadi modal Rawa Bunga
dalam membangun masyarakatnya terutama generasi barunya.
komunikasi pembangunan 8
mendobrak kebiasaan
DENGAN JUJUR
DEKATILAH
komunikasi pembangunan 9
mendobrak kebiasaan
LATAR BELAKANG
Paradigma baru perencanaan pembangunan dari bawah/masyarakat (bottom up)
yang sesuai dengan subtansi otonomi daerah membutuhkan pembelajaran (exer-
cise/learning by doing) bagi semua pihak (stakeholder). Hal ini diperlukan karena
secara teknis pelaksanaan dalam membumikan paradigma tersebut belum banyak
dikuasai. Partisipasi seluruh stakeholder dalam perencanaan pembangunan akan
memberikan pengayaan pemikiran kepada pemerintah tentang kebutuhan,
prioritas, dan mekanisme kerja yang sesuai untuk diaplikasikan di lapangan. Sekaligus
memberikan keyakinan bahwa masyarakat bisa melakukan perencanaan yang
memang sesuai dengan kebutuhannya selama difasilitasi dengan baik dan benar.
Atas dasar itu, maka maksud dari perencanaan pembangunan berbasis komunitas
ini adalah untuk mensinergikan program kerja Pemda DKI Jakarta dengan kondisi
riil masyarakat dan keterlibatan publik yang lebih luas dalam suatu model
komunikasi pembangunan yang berbasis pada komunitas (warga). Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan yang mengacu pada proses yang partisipatoris.
Dengan pendekatan ini diharapkan informasi dan data yang digali lebih akurat dan
sampai pada akar masalah.
HASIL YANG * Terbitnya sebuah dokumentasi berupa buku manual proses perencanaan
DIHARAPKAN partisipatoris yang dapat direplikasikan secara kontekstual;
* Menjadi media belajar bagi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan;
* Menjadi salah satu bahan acuan perencanaan pembangunan di wilayah
kelurahan.
Beberapa definisi yang digunakan dalam tulisan ini antara lain; perencanaan yang
dimaksud mengacu pada perencanaan pembangunan yang memiliki siklus tahunan
yang dahulu dikenal sebagai sarasehan pembangunan. Komunitas yang dimakud
adalah komunitas masyarakat dalam sebuah wilayah yang bernama kelurahan.
METODOLOGI
Tahap persiapan Pada tahap ini dilakukan penilaian atas wilayah dengan menggunakan metode rapid
urban appraisal-RUA. Hasil dari RUA tersebut adalah:
* Peta wilayah;
* Peta permasalahan;
* Peta para stakeholder dan terbangunnya saling percaya pada warga;
* Identifikasi pendekatan/metode dialog yang akan digunakan.
komunikasi pembangunan 10
mendobrak kebiasaan
Tahap pelaksanaan Sumbang Saran Per RW. Tahap ini merupakan diskusi pertama (briefing work-
dialog perencanaan shop) dalam kegiatan komunikasi pembangunan berbasis komunitas. Tujuan utama
dari sumbang saran per RW adalah membangun agenda dan mensosialisasikan
program. Pada tahap ini digunakan metode diskusi dengan pendekatan participa-
tory urban appraisal – PUA.
Pada tahap ini dilanjutkan dengan proses pemetaan masalahdengan menggunakan
pendekatan kerangka logis (logical framework analisys/LFA). Kegunaan dari
pendekatan ini adalah:
* Memperkenalkan maksud dari program/proyek;
* Mencari isu-isu strategis di tingkat komunitas;
* Memotivasi warga untuk terlibat dalam proyek/program;
* Mengidentifikasikan kemampuan/potensi sumber daya lokal.
Data historis
Temuan Lapang Opini Publik
!
DIALOG PUBLIK
Undangan
Poster
Pembuatan Proposal
Feed
insiasi Tingkat RT/RW
back
Display Komentar
Keputusan Opini
1. Identifikasi wilayah
2. Identifikasi
Program Kerja
stakeholder
Tingkat Prioritas Kegiatan
3. Identifikasi metode Evaluasi
Kelurahan Siapa Melakukan Apa
Pendekatan logis untuk mencapai tujuan dalam dialog
‘Komunikasi Pembangunan Berbasis Komunitas’
komunikasi pembangunan 11
mendobrak kebiasaan
MEREKAM KEJADIAN
SUMBANG SARAN Dalam melakukan proses PUA di tingkat RW tentunya diperlukan kehadiran warga
PER RW RW bersangkutan. Pihak-pihak yang diundang harus mewakili berbagai elemen,
biasanya meliputi Ketua RW, Ketua RT, tokoh pemuda, ibu-ibu, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan tokoh suku/etnis. Pelaksanaan yang dilakukan paling tidak meliputi
beberapa hal seperti :
komunikasi pembangunan 12
mendobrak kebiasaan
Pengisian kartu
* Masing-masing peserta mengisi kartu sesuai dengan
warnanya (untuk memudahkan pengelompokkan);
* Pastikan bahwa satu kartu hanya berisi satu isu/masalah;
* Tulisan sebaiknya hanya mencantumkan kata-kata kunci
dalam huruf kapital yang mudah dibaca peserta lainnya.
* Contoh salah yang sering sulit dalam membuat
pengelompokkan hubungan sebab-akibat, jika dalam
satu karton tertulis hubungan sebab-akibat, misalnya
‘saat musim hujan selalu terjadi banjir di berbagai tempat
karena got-got macet, akibatnya jalanan rusak’.
* Contoh benar tiap masalah hanya dalam satu karton,
misalnya : BANJIR atau GOT MACET atau JALAN RUSAK
yang terdapat dalam tiga (3) karton terpisah;
Pengelompokkan
Pengelompokkan diperlukan untuk menampung semua
permasalahan yang ada di warga dengan cara menyatukan
seluruh karton yang mempunyai tulisan/arti yang sama.
* Usahakan agar pengelompokkan dilakukan secara
partisipatif (oleh peserta);
* Jika terdapat tulisan yang kurang dimengerti, langsung
ditanyakan kepada warga yang menulisnya sehingga
tidak ada kesalahan pengartian;
* Lakukan pengelompokkan dengan penggunaan istilah
yang dimengerti oleh semua warga (Define Your Own
Acronyms-DFA).
komunikasi pembangunan 13
Analisa masalah Setelah dilakukan identifikasi masalah, kemudian dilakukan proses analisa masalah,
sehingga akhirnya didapatkan akar masalah. Untuk melakukan analisa masalah
diperlukan beberapa tindakan, yaitu :
Logical Framework Approach (LFA)
LFA yaitu sebuah Pendekatan Kerangka Logis yang berupaya untuk
menunjukkan hubungan sebab-akibat, caranya sebagai berikut:
* Fasilitator bertugas mempertanyakan hubungan kausalitas
yang mereka bangun (sesuai dengan logika umum atau tidak);
* Lakukan konstruksi kerangka logis dengan ‘jalan’ pikiran
partisipan;
* Lakukan proses konfirmasi/afirmasi kepada peserta lain
terhadap ‘logika pikir’ peserta lainnya;
* Jika sudah selesai menjadi sebuah kerangka pikir logis,
kemudian diceritakan kembali cerita sebab-akibat tersebut
sampai peserta mengertti dan menyepakatinya.
Pemetaan
Dilakukan untuk memberikan gambaran secara utuh tentang
penyebaran permasalahan dalam bentuk yang lebih mudah
dicerna. Peta lokasi merupakan sarana yang sangat memudahkan
peserta dalam melihat penyebaran masalah dan beratnya masalah
yang dihadapi.
* Siapkan peta yang sudah jadi dalam skala yang cukup besar
sehingga warga bisa mengenali tanda-tanda khas yang ada
di lokasi (misalnya mesjid, sekolah, nama jalan);
* Jika tidak tersedia peta, maka warga diharapkan membuat
peta sketsa yang berisi tanda-tanda khas yang ada di lokasi;
* Pemetaan masalah sepenuhnya dilakukan oleh partisipan;
* Gunakan simbol dan warna yang berlainan untuk tiap masalah yang berbeda.
Misalnya warna merah bentuk kotak untuk narkoba, warna merah bentuk
bulat untuk got macet, warna merah bentuk segitiga untuk jalan rusak,
warna biru kotak untuk pemukiman kumuh, dst-nya; (jangan lupa warna
tersebut digunakan sebagai legenda peta).
Analisis Pelaku
Dalam melakukan perencanaan diperlukan pihak-pihak yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaannya, untuk itu dilakukan analisa pelaku dengan cara :
* Tanyakan kepada peserta para pihak yang seharusnya
bertanggung jawab pada setiap permasalahan yang muncul,
baik pelaku setempat maupun dari luar;
* Gunakan sesi analisis pelaku untuk menggali/identifikasi
potensi lokal sebanyak mungkin;
* Dorong peserta untuk menyatakan bahwa mereka dapat
menyelesaikan persolan mereka dengan kemampuan
sumber daya setempat;
* Tanyakan dan tentukan perwakilan dari tingkat RW yang
akan hadir dalam pertemuan tingkat kelurahan.
komunikasi pembangunan 14
PEMBELAJARAN Sumbang saran per RW merupakan diskusi pertama (briefing workshop) dalam
kegiatan komunikasi pembangunan berbasis komunitas. Tujuan utama dari sumbang
saran per RW adalah membangun agenda dan mensosialisasikan program. Pada
tahap ini digunakan pendekatan kerangka logis (logical framework analisys).
Kegunaan dari pendekatan ini adalah:
* Memperkenalkan maksud dari program/proyek;
* Mencari isu-isu strategis di tingkat komunitas;
* Memotivasi warga untuk terlibat dalam proyek/program;
* Mengidentifikasikan kemampuan/potensi sumber daya lokal;
* Merumuskan rencana tindak lanjut.
Alur proses * Pengantar. Kegunaan dari dialog dijelaskan oleh fasilitator. Setiap orang
(partisipan) mengenalkan diri mereka sendiri dan menjelaskan keinginan
dan kepentingan mereka. (20 menit);
* Sumbang saran (Individual Brainstorming). Sumbang saran (brainstorm-
ing) dilakukan secara individual dengan menggunakan kartu metaplan. Dengan
tiga warna berbeda yang akan menggambarkan respon mereka terhadap
permasalahan; apa yang salah; apa yang menjadi harapan; apa yang dapat
dilakukan. (15 menit). Setiap kartu diharapkan berisi satu tanggapan/isu
dengan kalimat pendek (contoh; WC gantung di RT 10 rusak);
* Kategorisasi. Mengkategorisasikan permasalahan yang muncul dan. (20
menit). Usahakan agar warga yang mendefinisikan kelompok isu tersebut;
* Pohon masalah. Setiap isu akan dibuatkan skenario sebab akibat, analisis
tujuan/harapan dan analisis peran (kerangka logis/LFA). (20 menit);
* Diskusi. Hasil analisis LFA didiskusikan bersama. Hasil ini diharapkan
merupakan sebuah rekomendasi rencana aksi yang harus dilakukan sesuai
dengan skala prioritas. Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 2 jam.
Aturan main * Aturan main ditawarkan kepada peserta sebelum brainstorming dimulai;
* Setiap orang memiliki posisi yang setara dalam sumbang saran ini;
* Fasilitator tidak boleh bersikap menggurui, merasa lebih tahu daripada
partisipan atau mendominasi forum;
* Ada petugas penjaga waktu (time keeper) yang ditunjuk dari partisipan supaya
tidak ada yang mendominasi pembicaraan di forum;
Saran * Peserta kadang memiliki kesulitan dalam menuliskan masalah, fasilitator dapat
mengatakan,’tulis saja apa yang ada di pikiran seluruh masalah, baik itu
masalah besar atau kecil’;
* Faslitator jika perlu dapat berkeliling sambil menanyakan apakah partisipan
ada yang mengalami kesulitan sambil membangun keakraban;
* Fasilitator harus bisa mengarahkan siapa yang harus berbicara supaya
peserta pasif berbicara dan menghentikan dominasi peserta lainnya;
* Setiap kartu harus terdokumentasi secara baik. Hal-hal yang kurang jelas
dapat ditanyakan langsung kepada penulis kartu.
komunikasi pembangunan 16
mendobrak kebiasaan
SUMBANG SARAN Setelah dilakukan pertemuan tingkat RW, selanjutnya, untuk melihat gambaran
SE-KELURAHAN secara utuh maka dilakukan pertemuan tingkat kelurahan yang dihadiri oleh
perwakilan RW yang ditunjuk pada pertemuan di tingkat RW sebelumnya.
Paparan Temuan * Gunakan foto atau gambar guna memberikan kesan yang mendalam bagi
peserta. Foto dan gambar juga akan membantu paparan sebagai fakta yang
dihadirkan untuk pengantar diskusi;
* Jelaskan secara naratif sambil menggoda peserta untuk mengomentari
tampilan titik/isu yang dipresentasikan. Paparan juga dapat digunakan untuk
mengklarifikasi hasil-hasil temuan dan menetapkan berbagai isu yang
sebenarnya ada dan harus diangkat dalam pertemuan di tingkat kelurahan.
Diskusi Kelas * Lihat jumlah peserta yang ikut serta dalam tiap kelas, jumlah ideal 15-24
orang/kelas. Diskusi kelas dilakukan sesuai dengan jumlah isu yang dibahas;
* Sebelum diskusi kelas dimulai perlu dilakukan perkenalan sebelumnya, minta
peserta menjelaskan mengapa mereka hadir sekarang dan apa harapan
mereka setelah ada proses sumbang saran di tingkat RW;
* Perkenalan dapat digunakan sebagai proses ‘penyetaraan’ antar peserta,
mengingat peserta di forum ini adalah para stakeholder yang mungkin belum
saling kenal satu dengan lain, berbeda status sosial, atau peran dan fungsinya.
komunikasi pembangunan 17
mendobrak kebiasaan
PEMBELAJARAN Sumbang saran tingkat kelurahan merupakan diskusi lanjutan (action planning work-
shop) dalam kegiatan komunikasi pembangunan berbasis komunitas. Tujuan utama
dari sumbang saran tingkat kelurahan adalah membuat rencana kerja dan
mengidentifikasikan para stakeholder yang akan terlibat dan mempengaruhi proses
aksi/kerja bersama. Pada tahap ini digunakan pendekatan kerangka logis (logical
framework analisys) dan focus group discussion (FGD). Kegunaan dari pendekatan
ini adalah:
* Melakukan proses konfirmasi-afirmasi isu-isu strategis di tingkat komunitas;
* Isu yang teridentifikasi sebelumnya, dapat ditelusuri secara mendalam (in
dep th) ;
* Mengidentifikasikan kemampuan/potensi sumber daya lokal (tingkat
kelurahan);
* Mengidentifikasikan stakeholder lain (kerjasama antar wilayah RW atau pihak
lain yang wewenangnya diatas pejabat RW);
* Memotivasi warga untuk melakukan proses pencarian solusi atas
kemampuannya sendiri;
* Merumuskan rencana tindak lanjut aksi bersama (sebaiknya sampai ke tahap
pengganggaran).
Alur proses * Pengantar. Kegunaan dari dialog dijelaskan oleh fasilitator. Dijelaskan pula
bahwa dialog ini merupakan kelanjutan dari dialog-dialog sebelumnya
ditingkat RW;
* Display interaktif. Presentasi hasil per RW untuk mengingatkan proses
sebelumnya dan peta permasalahan skala kelurahan. Sebaiknya dalam
paparan interaktif gunakan pula bahasa gambar (foto/video) untuk meyakinkan
partisipan bahwa kejadian/masalah tersebut terjadi kini dan disini.
* Workshop. Peserta dipisah menjadi beberapa kelompok (sesuai dengan
isu yang teridentifikasi sebelumnya. Masing-masing kelompok membahas
sebuah topik/isu tertentu.
- Pastikan dalam pembagian kelompok partisipan terbagi secara proposional (representasi
dari RW dan dari pihak terkait).
- Karena sudah lintas RW dan stakeholder yang terlibat lebih luas, sebaiknya dilakukan
perkenalan.
- Jika dibutuhkan dapat melakukan teknik metaplan (lihat proses sumbang saran RW)
* Forum terbuka/pleno. Forum dibuka dengan fasilitator membahas hasil
yang didapat dari diskusi kelompok (workshop) peserta diharapkan dapat
memberikan konfirmasi/afirmasi terhadap hasil diskusi kelompok;
* Jejaring. Memberikan rekomendasi dan rencana aksi yang perlu dilakukan.
Disini dilakukan rencana kerja bersama dan identifikasi stakeholder yang
akan terlibat dalam kerja bersama. Sebaiknya pada proses ini dilakukan skala
prioritas mengingat anggaran untuk satu kelurahan terbatas.
Aturan main * Setiap orang ketika diskusi kelompok diharapkan tidak hadir sebagai ‘wakil
RW’ tetapi sebagai orang yang peduli terhadap pembahasan isu yang sedang
diikutinya;
* Pihak yang terlibat (diluar komunitas) tidak berlaku sebagai ‘narasumber’
tetapi sebagai ‘partisipan’ yang ‘butuh’ penyelesaian konsensual;
* Lihat aturan main di tingkat sumbang saran.
komunikasi pembangunan 18
mendobrak kebiasaan
Al at * Kartu metaplan
* Kertas plano
* Whiteboard
* Spidol
* Blue-Tack/Selotip
* Paku payung
* Stryofoam
* Alat perekam (tape recorder/kamera/handycam)
* OHP/proyektor atau infocus
* Tenda/besar aula
* Sound system
komunikasi pembangunan 19
mendobrak kebiasaan
PENDEKATAN
INILAH HASIL
komunikasi pembangunan 20
mendobrak kebiasaan
PERUMUSAN MASALAH
IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Keamanan yang Permasalahan keamanan merupakan permasalahan dominan yang ada di setiap
tidak kondusif RW. Isu keamanan dijadikan isu pokok yang berakibat pada berbagai bentuk tindak
kriminal, seperti menjamurnya perjudian, masalah penanggulangan narkotika dan
zat aditif (NAZA), tawuran dan kenakalan remaja, berkembangnya warung remang-
remang dan prostitusi, dan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Isu keamanan ini tentu tidak serta merta menjadi sebab dari segala bentuk tindak
kriminal di atas, namun dari hasil diskusi warga ternyata isu keamanan dimaknai
sebagai kurangnya ketegasan dari pihak yang berwenang dalam menegakkan aturan
secara konsisten dan adil. Ketidaktegasan, ketidakadilan, dan inkonsistensi dari
pihak yang berwenang inilah yang menyebabkan tidak pernah selesainya
permasalahan keamanan di atas.
Dilihat dari sisi keswadayaan masyarakat, isu keamanan terkait erat dengan fungsi
pertahanan sipil (hansip) dan kesejahteraannya. Insentif hansip sangat kecil jika
dibandingkan dengan tanggung jawab yang dibebankan masyarakat kepadanya.
Jumlah petugas hansip juga kurang dilihat dari luas area RW yang harus diawasi.
Sementara sistem keamanan lingkungan (siskamling/ronda) sudah kurang berjalan
di masyarakat.
3. Kemiskinan Masalah kemiskinan juga mengemuka dalam diskusi. Masalah kemiskinan dianggap
(persepsi) warga sebagai faktor eksternal (penyebabnya). Hasil diskusi menunjukan
bahwa faktor urbanisasi yang tinggi, keterbatasan lahan di perkotaan, krisis
ekonomi, dan pembinaan terhadap ekonomi masyarakat kelas bawah sebagai
faktor yang mengawetkan kemiskinan.
Dilihat dari sisi internal permasalahan pendidikan yang rendah, ketrampilan dalam
pengelolaan usaha yang kurang dan terbatasnya modal kerja menjadi faktor yang
dominan dalam isu kemiskinan.
komunikasi pembangunan 21
mendobrak kebiasaan
4. Sarana publik Terbatasnya ruang publik di wilayah Rawa Bunga menyebabkan munculnya
kurang kebutuhan untuk mengoptimalkan lahan milik Pemda untuk dijadikan sekretariat
RW/Pos Kamling, Taman Bermain Anak, Ruang Terbuka Hijau, Sarana Olah Raga,
Lokasi Pembuangan Sampah Sementara, MCK, Ruang Serbaguna (Balai Warga),
Posyandu dan PKK serta kebutuhan akan fasilitas umum/sosial lainnya.
Sarana publik juga diidentifikasikan warga sebagai perbaikan sarana yang telah
ada. Beberapa sarana yang secara swadaya terlalu besar jika dibebankan kepada
warga seperti perbaikan gorong-gorong, pengerukan saluran utama, perbaikan
Lokasi pos RW 03 yang terletak di atas trotoar jalan, lambat direspon pemerintah.
Hal lain yang banyak disinggung berkenaan dengan fasilitas umum adalah adanya
kecerobohan dalam penyelesaian proyek yang berkaitan dengan utilitas (PAM,
PLN, Telkom). Proyek-proyek tersebut menyebabkan kerusakan pada sarana
publik seperti jalan, taman dan trotoar. Diharapkan setiap proyek yang berkaitan
dengan sarana umum dikoordiansikan dengan RW sehingga kerja kontraktor proyek
dapat diawasi warga.
5. Kelembagaan Kelembagaan pemuda yang tidak berjalan banyak menyebabkan terjadinya berbagai
kepemudaan perilaku negatif generasi muda. ‘Salah gaul’ istilah anak muda terhadap perilaku
tidak berjalan. negatif tersebut terjadi karena kurangnya media/sarana dalam mengekspresikan
minat, bakat dan kemampuan remaja/pemuda.
Salah satu tawaran warga dalam upaya memerangi NAZA adalah mengaktifkan
kembali kegiatan kepemudaan di masing-masing RW. Pada dasarnya potensi in-
ternal didalam kelurahan sangat besar, namun proses komunikasi tidak berjalan
baik sehingga potensi tersebut masih belum dikenali oleh mereka sendiri.
6. Kelembagaan RW Isu yang menjadi ‘akar masalah’ ini sesungguhnya isu yang tersirat dan secara
tidak berfungsi eksplisit mengemuka di beberapa RW. Selama ini ternyata kelembagaan RT/RW
optimal. oleh masyarakat banyak lebih dipandang sebagai fungsi administratif belaka.
Beberapa sebab yang melatar belakangi kurang berperannya RT/RW tersebut
disebabkan oleh pertama, inkosistensi pemerintah dalam pembinaan wilayah
(baik RT/RW maupun sampai wilayah kelurahan).
Tower di RW 03
Peraturan yang dibuat pemerintah menyebabkan tumpang tindihnya fungsi-fungsi
yang memicu
konflik antar
kelembagaan yang ada di masyarakat; kedua, kurangnya pembinaan dari aparat
warga karena pemerintah kepada ketua RT/RW mengenai tugas dan tanggung jawab yang
Ketua RW
dianggap tidak diembannya; ketiga fungsi RT/RW yang tidak memiliki sistem insentif dan
membawa
kepentingan disinsentif yang jelas (apa indikator keberhasilan tugas RT/RW dan bagaimana
warga.
cara pemerintah mengapresiasikannya).
7. Rendahnya Pengelolaan sumber daya yang ada di RT/RW juga sangat rendah. Kualitas
manajemen SDM manajemen ini ternyata mempengaruhi kinerja kelembagaan RT/RW. Selama ini
pengelolaan RT/RW menjadi macet disebabkan pengelolaanya tidak optimal.
Dengan kualitas pengelola yang kurang maka permasalahan yang muncul tidak
terselesaikan dengan benar dan cepat.
komunikasi pembangunan 22
mendobrak kebiasaan
8. PKK kurang Kader PKK sebenarnya berperan dalam pengelolaan RT/RW. Banyak kegiatan yang
berfungsi dan kurang dilakukan oleh kader PKK berkenaan dengan upaya peningkatan taraf hidup
diperhatikan. keluarga. Dalam banyak kegiatan/’proyek’ peran perempuan khususnya penggiat
PKK sangat besar dalam membuka pintu masuk ke warga.
Beberapa permasalahan yang dialami oleh kegiatan PKK ini antara lain kurangnya
penyuluhan tentang manfaat kegiatan PKK kepada warga, disiplin waktu yang kurang
dari para penggiat PKK sehingga para ibu sukar untuk meluangkan waktunya untuk
kegiatan PKK.
9. Kerjasama dengan Yang dimaksud dengan kerjasama dengan pihak luar tidak berjalan adalah
pihak luar tidak kemampuan pengurus RT/RW dalam melakukan hubungan/kerjasama dengan pihak
berjalan. lain diluar institusi kelurahan. Padahal dalam wilayah RW banyak institusi lain (publik
dan swasta) yang turut berperan sebagai penyebab (negatif) ataupun pemberi
manfaat (positif) bagi lingkungan RT/RW tersebut.
Kerjasama dengan pihak luar juga mengisyaratkan proses pengambilan keputusan
yang sebenarnya ‘milik’ warga Rawa Bunga tetapi diputuskan oleh ‘pihak lain’
sehingga warga sekadar mengkonsumsi hal-hal yang diberikan orang lain kepada
dirinya. Beberapa RW di Rawa Bunga bahkan cenderung mengharapkan ‘bantuan’
dari luar, sehingga ‘kemiskinan’ menjadi ‘betah’, ‘proyekpun’ lancar mengalir.
10. Sosialisasi Sosialisasi program pemerintah kurang efektif ternyata lebih banyak disebabkan
program kurang oleh kurangnya partisipasi warga dalam perencanaan program tersebut. Kurangnya
efektif. partisipasi warga tersebut menimbulkannya ketidak sesuaian antara program
dengan kebutuhan riil masyarakat yang bermuara pada ketidakpedulian warga
terhadap program yang akan dilaksanakan. Hal lain yang menyebabkan tidak
efektifnya sosialisasi program adalah kurang dimengertinya bahasa proyek dan
petunjuk pelaksanaan program.
Kemiskinan
Kelembagaan
RW tidak jalan
Kepemudaan
tidak berfungsi Rendahnya SDM
dan Manajemen
SDM
Keamanan
tidak baik
Pendekatan kerangka logis yang menunjukkan Tidak adanya
hubungan sebab-akibat permasalahan di Sarana Publik (OR)
kelurahan Rawa Bunga.
komunikasi pembangunan 23
mendobrak kebiasaan
ANALISIS Dari identifikasi masalah, kemudian dilakukan pengelompokkan dalam isu besar
MASALAH dengan pendekatan kerangka logis (LFA), ternyata hasilnya adalah terdapat dua
penyebab utama munculnya berbagai masalah diatas yaitu :
Kelembagaan RT/RW Masalah kelembagaan RT/RW merupakan isu yang paling banyak muncul dalam
yang tidak berfungsi diskusi, baik di tingkat RW maupun ditingkat kelurahan. Selain disebabkan oleh
ketidakmengertian pengurus mengenai tugas dan wewenang yang diberikan
kepadanya, masalah lainnya adalah kondisi kultural masyarakat perkotaan yang
tidak lagi peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Keadaan ini berakibat pada
lemahnya peran yang bisa diberikan oleh RT/RW dalam penyelesaian permasalahan
yang ada di lingkungannya.
Ketidakmengertian pengurus dalam pengelolaan wilayah RT/RW juga menyebabkan
terjadinya kecenderungan penyalahgunaan prosedur administratif, terutama yang
menyangkut masalah kependudukan. Dampaknya adalah permasalahan
kekumuhan, perumahan dan fasilitas permukiman yang layak bagi kaum urban,
kebersihan dan kesehatan lingkungan dan berbagai permasalahan perangkap
kemiskinan lainnya yang berawal dari masalah kependudukan.
Terjadinya tumpang Permasalahan tumpang tindihnya program pemerintah, minim koordinasi antar
tindih program dari lembaga menjadi ‘sebab’ kedua. Permasalahan ini berdampak pada kurang
luar efektifnya program-program yang dijalankan oleh berbagai pihak.
Rawa Bunga dikenal juga sebagai ‘daerah proyek’. Banyak Lembaga Swadaya
Masyarakat yang memiliki program pemberdayaan masyarakat di kelurahan ini.
Namun sedikit sekali catatan tentang adanya hubungan yang sinergis antar pro-
gram pemberdayaan satu dengan lainnya. Juga proyek-proyek yang diinisiasikan
oleh pemerintah tidak luput dari gejala ‘tumpang tindih’, baik program maupun
sasarannya.
Dampak dari tumpang tindihnya program pemerintah pada komunitas RT/RW
(lokal) di kelurahan Rawa Bunga adalah ketergantungan masyarakat pada bantuan
dari luar dan lebih lanjut justru menghilangkan keberdayaan masyarakat dalam
melakukan perencanaan bagi keberlanjutan hidup mereka kearah yang lebih baik.
AKAR MASALAH Kata kunci dari berbagai masalah dan ‘sebab utama’ adalah ketidakmengertian
para pihak tentang perencanaan wilayah berbasis warga (komunitas). Hal
ini terungkap dari kurangnya pemahaman para stakeholder dalam diskusi di wilayah
RW ataupun diskusi lanjutan di tingkat kelurahan.
Pemahaman tentang proses yang partisipatoris baik pada tataran metodologi,
ataupun pada tataran keterampilan praktis (how to) tidak dipahami secara benar
dan kontekstual oleh berbagai pihak (pemerintah desa/daerah/RT/RW) maupun
oleh para pihak yang merepresentasikan kepentingan masyarakat (LSM/Dewan
Kelurahan).
komunikasi pembangunan 24
mendobrak kebiasaan
PENYEBARAN Setelah seluruh kegiatan identifikasi masalah, pemetaan masalah, dan pendekatan
MASALAH kerangka logis (Logical Frame Approach) di tiap RW dilakukan selama sebulan,
sejak awal bulan Mei 2002, yang diakhiri dengan pertemuan warga di tingkat
kelurahan pada tanggal 25 Mei 2002. Maka didapatkan beberapa hasil perumusan
baik hasil di tingkat RW maupun di tingkat kelurahan.
Jumlah permasalahan yang ada di kelurahan Rawa Bunga yaitu 31 buah dengan
tingkat kemunculan permasalahan di tingkat RW menunjukkan bahwa RW 01
RW
mempunyai tingkat keragaman permasalah
No Penyebaran Masalah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Σ tertinggi yaitu 20 buah masalah, sedangkan yang
1 Apotik hidup 1 1 1 1 4 mempunyai tingkat keragaman masalah terendah
2 Banjir 1 1 2
3 Dana Macet/modal 1 1 1 1 1 5 adalah RW 09 dengan tingkat keragaman 10 buah
4 Gizi Balita: 1 1 1 3 masalah.
5 Gorong-gorong 1 1 2
6 Gotong Royong: 1 1 1 1 4
7 Jalan Rusak 1 1 1 1 1 5
Masalah yang tersebar merata di seluruh RW
8 Kantor RW 1 1 2 adalah lemahnya kegiatan Dewan Kelurahan,
9 Kegiatan Dewan Kelurahan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
10 Kenakalan Remaja 1 1 1 1 1 1 6
maraknya narkoba, tingginya angka pengangguran,
11 Kesehatan 1 1 1 1 1 5 perjudian yang meraja lela, saluran got yang
12 Lahan bermain 1 1 mampet, dan tidak terkendalinya masalah sampah.
13 Lampu Jalan Umum 1 1
14 Lansia 1 1
15 MCK 1 1 1 1 4 Sementara masalah yang paling sedikit muncul
16 Narkoba 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 dengan hanya ditunjukkan sekali kemunculan di RW
17 Pedagang Kakilima 1 1 1 1 1 5
18 Pelayanan Masyarakat 1 1 1 1 4
adalah adalah ketiadaan lahan bermain, rusaknya
19 Pelayanan Puskesmas 1 1 lampu jalan umum, tidak terjaminnya kenyamanan
20 Pembangunan Tower 1 1
21 Pembinaan Keagamaan 1 1 2
lansia, rendahnya tingkat pelayanan Puskesmas,
22 Pemukiman kumuh 1 1 1 1 1 1 1 7 terjadi konflik pembangunan tower, mahalnya biaya
23 Pendidikan 1 1 2 perkuburan/pemakaman, ketiadaan sumber daya
24 Pengangguran 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
25 Perjudian 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 (dana) untuk pembiayaan RT/RW, dan ketakutan
26 Perkuburan/pemakaman 1 1 akan rubuhnya tembok Perumka.
27 Saluran Got 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
28 Sampah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
29 Sumber daya 1 1
30 Tembok Perumka mau rubuh 1 1
31 WTS 1 1 2
Jumlah Masalah Per RW 20 13 13 15 16 13 12 14 10 126
Tabel Penyebaran masalah per RW 10
komunikasi pembangunan 25
mendobrak kebiasaan
KETERKAITAN Dari hasil yang didapatkan ternyata ditemukan bahwa setiap isu tidak berdiri
MASALAH sendiri tetapi mempunyai keterkaitan dengan beberapa masalah lainnya, sehingga
didapatkan keterkaitan antara 10 isu dengan tiap masalah.
1. Keamanan tidak baik, Kenakalan Remaja, WTS, Pedagang Kakilima, Narkoba,
Pemukiman kumuh, Perjudian, Pengangguran.
2. Kebersihan lingkungan tidak baik, Pedagang Kakilima, Pemukiman kumuh,
Banjir, Utilitas, Gorong-gorong, Saluran Got, MCK, Sampah, Kesehatan.
3. Sosialisasi program kurang efektif, Narkoba, Pemukiman kumuh, Dana
Macet/modal, Gizi Balita, Kegiatan Dewan Kelurahan, Perkuburan/
pemakaman.
4. Kelembagaan RW tidak jalan, WTS, Pedagang Kakilima, Narkoba,
Pemukiman kumuh, Banjir, Dana Macet/modal, Utilitas, Saluran Got, Gizi
Balita, Gorong-gorong, Jalan Rusak, Kantor RW, Kegiatan Dewan Kelurahan,
Lahan bermain, Lansia, Pembangunan Tower, Perkuburan/pemakaman,
Gotong Royong:, Sampah, Tembok Perumka mau rubuh, Perjudian, Sumber
daya.
5. Kemiskinan, Pedagang Kakilima, Pemukiman kumuh, Dana Macet/modal,
Gizi Balita, Lansia, Pembangunan Tower, Pendidikan, Perkuburan/
pemakaman, Perjudian, Pengangguran.
6. Kepemudaan tidak berfungsi, Kenakalan Remaja, Narkoba, Kantor RW,
Pengangguran.
7. Kerjasama pihak luar tidak berjalan, WTS, Pedagang Kakilima, Narkoba,
Pemukiman kumuh, Banjir, Utilitas, Gizi Balita, Gorong-gorong, Jalan Rusak,
Lahan bermain, Lampu Jalan Umum, Pelayanan Masyarakat, Pelayanan
Puskesmas, Perkuburan/pemakaman, Pendidikan, Perjudian, Tembok
Perumka mau rubuh, Sumber daya.
8. Rendahnya SDM dan Manajemen SDM, Narkoba, Dana Macet/modal,
Kantor RW, Pelayanan Masyarakat, Pembinaan Keagamaan, Pendidikan,
Pengangguran, Sumber daya.
9. Tidak diperhatikannya PKK, Apotik hidup, Gizi Balita, Lansia.
10 . Tidak adanya Sarana Publik, Kenakalan Remaja, Narkoba, Pemukiman
kumuh, Banjir, Utilitas, Kantor RW, MCK, Pengangguran, Sampah.
Tabel Keterkaitan masalah
Dari tabel di samping menunjukkan bahwa
8. Rendahnya SDM dan Manajemen SDM
KETERKAITAN
kemiskinan, dan (3) tidak berjalannya kerjasama
1. Keamanan tidak baik
M ASALAH
dengan pihak luar. Sedangkan yang paling tidak
berkaitan dengan isu lainnya hanya ‘tidak
5. Kemiskinan
komunikasi pembangunan 26
mendobrak kebiasaan
KETERLIBATAN Hasil lain yang didapatkan dalam pengamatan ini adalah penentuan pihak-pihak
PARA PIHAK yang terlibat dalam setiap permasalahan. Ternyata setiap permasalahan berkaitan
erat dengan pihak yang ‘seharusnya terlibat’, dengan kata lain ‘pihak yang
bertanggung jawab’. Dari analisa hasil didapat besarnya keterkaitan dengan
pengaruh terhadap munculnya masalah.
* Besarnya nilai keterkaitan (1 s/d 5) artinya kurang berpengaruh terhadap
terjadi proses perubahan, yaitu pihak LSM Puspa Indah, Bappeko Jaktim,
BPM Kodya, Sudin Pariwisata, Indosat (Pendiri Tower), Perumka, PT. PAM,
PT. PLN, PT. Telkom , LSM MER-C, Sudin P & P, Sudin Pemakaman, Sudin
Pertanian , LPM, UPGK, Jasa Marga (Jalan Tol), PD Pasar Jaya, P2KP, BLH,
Sudin Penerangan Jalan Umum, Sudin Tenaga Kerja , Klinik Yayasan RS Karya
Bakti, Posyandu, Tokoh Agama, Biro Perekonomian, Sudin Pertamanan.,
Kecamatan, Dept. Kimpraswil, Sudin Kebersihan, Sudin Kesehatan, Sudin
Pemuda dan Olahraga, Puskesmas, Karang Taruna, Orang Tua.
* Besarnya nilai keterkaitan (6 s/d 9) artinya cukup berpengaruh terhadap
terjadi proses perubahan, yaitu pihak Sudin Perumahan, Trantib Tingkat
Kota, Hansip, Tokoh Masyarakat, Biro Hukum, Ibu-ibu PKK, Sudin PU,
Sudin Sosial, Dewan Kelurahan, Pemilik Tempat, Kepolisian, Sudin Tata Kota,
BINMAS.
* Besarnya nilai keterkaitan (13 s/d 17) artinya berpengaruh terhadap terjadi
proses perubahan, yaitu pihak Swasta, Forum RW, Kelurahan
* Besarnya nilai keterkaitan (22 sd/ 26) artinya sangat berpengaruh terhadap
terjadi proses perubahan, yaitu pihak Pengurus RT, Pengurus RW, Warga.
Keterlibatan
para pihak dalam pertemuan di Kelurahan yang
membahas permasalahan warga
komunikasi pembangunan 27
mendobrak kebiasaan
140
120
100
80
60
40
20
0
Tingkat
Nasional Pemerintah kota Tingkat kelurahan Swasta Kelembagaan RW
kecamatan
Grafik Tingkat keterlibatan
para pihak dengan tiap permasalahan Jenjang 'Para pihak' 8 85 4 43 36 125
komunikasi pembangunan 28
mendobrak kebiasaan
PERUMUSAN TUJUAN
MISI Mendorong pengertian para pihak tentang perencanaan wilayah berbasis warga
(komunitas).
Meningkatnya
Lakukan efektifitas
kerjasama dengan sosialisasi
pihak luar program
PKK
mendapatkan
perhatian
Perbaikan Kebersihan
Lingkungan
Kepemudaan Kelembagaan
Berfungsi RW Berjalan Berkurangnya
Kemiskinan
komunikasi pembangunan 29
mendobrak kebiasaan
PERUMUSAN TINDAKAN
Untuk mencapai misi yang diemban, maka diperlukan tindakan-tindakan strategis
untuk setiap tujuan.
komunikasi pembangunan 30
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 31
mendobrak kebiasaan
TINGKAT Pada tingkat kecamatan tidak banyak solusi permasalahan dialamatkan. Ini mungkin
KECAMATAN disebabkan oleh 1. Kecamatan tidak langsung memberikan pelayanan langsung ke
masyarakat, kecuali untuk permasalahan tertentu (misalnya pertanahan, kegiatan
Suku Dinas); 2. Masyarakat umum tidak mengetahui secara pasti, apa saja fungsi
dan tugas kecamatan.
TINGKAT Kinerja aparat kelurahan dalam memberikan pelayanan yang cepat dan benar
KELURAHAN kepada seluruh lapisan masyarakat menjadi agenda utama untuk perbaikan peran
pemerintah kelurahan. Tanggapan warga atas pelayanan yang ada di tingkat
kelurahan masih banyak yang negatif seperti lambatnya BINMAS, kurang
tersosialisasikannya UPGD, dan Puskesmas yang sering buka ‘siang’.
Dewan Kelurahan Dewan Kelurahan selama ini diharapkan sebagai langkah awal dalam mengubah
paradigma pembangunan. Namun sejauh ini opini yang berkembang menyiratkan
bahwa Dewan Kelurahan masih dipandang sebagai ‘percobaan’ pemerintah untuk
mengubah citranya dalam melaksanakan pembangunan secara bottom up.
Masyarakat mengharap banyak kepada Dewan Kelurahan untuk menjadi mitra
yang kritis dan cerdas sehingga mampu menyelesaikan permasalahan dan menjadi
pengawas terhadap implementasi perencanaan pembangunan yang direncanakan
mereka. Dari hasil diskusi terlihat jelas banyak tanggung jawab yang diamanatkan
masyarakat kepada Dewan Kelurahan.
Lembaga Lembaga yang dulu bernama LKMD ini masih menjadi sorotan masyarakat. Masih
Pemberdayaan banyak ‘hutang’ kegiatan yang belum dilaksanakan oleh LPM. Kondisi LPM
Masyarakat (LPM) sepertinya mati segan hidup tak mau, padahal banyak yang bisa dikerjakan oleh
LPM jika saja lembaga ini dapat memberikan kembali kepercayaan kepada
masyarakat.
Lembaga/institusi Termasuk didalamnya lembaga swadaya masyarakat juga memainkan peranan yang
swasta penting dalam perencanaan wilayah berbasis komunitas. Sinergi antara pihak
eksternal dengan komunitas merupakan hal yang penting bagi keberlanjutan pro-
gram pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat.
Institusi swasta lain seperti perusahaan/lembaga bisnis juga berperan terhadap
perencanaan wilayah berbasis komunitas. Terutama bagi perusahaan yang
memberikan dampak ekternalitas negatif bagi komunitas dan lingkungan sekitar
(contoh; kasus kontainer sampah di RW 02, kasus pendirian relay tower Pro XL
yang berlarut-larut di RW 03, kandang burung merpati aduan di RW 08 atau
kasus penggalian utilita yang selalu menimbulkan ketidaknyamanan di warga).
komunikasi pembangunan 33
mendobrak kebiasaan
TINGKAT RT/RW
Pengurus RT/RW Pengurus RT/RW merupakan pintu masuk pertama dalam perencanaan
pembangunan berbasis komunitas. Walau secara hirarki RT/RW merupakan tingkat
terbawah dalam pengelolaan wilayah, namun wilayah RT/RW sesungguhnya
merupakan awal dari keseluruhan proses perencanaan pembangunan di kelurahan.
Pengaruh kelembagaan RT/RW menentukan bagi suksesnya perencanaan dan
implementasi pembangunan secara keseluruhan.
Dalam diskusi hal yang menarik adalah sulitnya mencari pengurus RT/RW karena
kurangnya apresiasi warga terhadap lembaga ini. Hal ini disebabkan oleh persepsi
warga mengenai RT/RW sebagai penyalur aspirasi pemerintah daerah dibandingkan
penyalur aspirasi warga. Perencanaan yang diawali dengan pertemuan di tingkat
RT/RW akan mengubah persepsi yang demikian.
Sulitnya mencari pengurus RT/RW juga disebabkan tidak adanya insentif materi
terhadap pengurus RT/RW untuk operasional kelembagaan RT/RW. Pengurus RT/
RW bahkan harus membiayai pelayanan umum terhadap warganya. Walaupun di
beberapa tempat di wilayah RW kelurahan Rawa Bunga, warganya dapat mencukupi
kebutuhan operasional RT/RW. Solusi lain adalah RT/RW juga mendapatkan fasilitas
untuk memenuhi kebutuhan administrasinya.
Hal menarik yang juga terungkap dalam diskusi adalah isu transparansi yang harus
sampai pada tingkat RT/RW. Segala pendapatan dan pengeluaran serta cara-cara
yang dipakai dalam menggalang dana masyarakat juga menjadi perhatian warga.
Disini jelas peran RT/RW menjadi ujung tombak pembangunan berbasis warga,
kepercayaan masyarakat dibangun dari RT/RW.
Warga Peran warga dalam perencanaan berbasis komunitas merupakan faktor yang
menentukan dalam keberhasilan pembangunan. Beberapa sikap yang diekspresikan
warga terhadap berbagai perencanaan pembangunan, seperti sikap apatis, pesimis
atau optimis harus dimaknai sebagai kesadaran warga atas kekuatan/kekuasaan
yang melingkupinya. Sikap apatis atau pesimis sebagian warga atas kegiatan
perencanaan pembangunan merupakan akumulasi dari pengalaman atas pelaksanaan
pembangunan selama ini. Menumbuhkan kesadaran baru pada dasarnya adalah
menumbuhkan kepercayaan baru warga terhadap pemerintah daerah/desa. Dalam
hal ini peran warga pada akhirnya menjadi sentral untuk keseluruhan model
pembangunan yang partisipatif.
Dalam diskusi yang terjadi, masyarakat juga melakukan intropeksi ke dalam,
mengingat begitu banyak permasalahan yang disebabkan oleh sikap masa bodoh,
mau enak sendiri dan kurang memperhatikan lingkungan bertetangga sehingga
masalah menjadi semakin dalam dan berlarut. Memberlakukan aturan main di
antara warga menjadi solusi atas berbagai persoalan di tingkat RT/RW (contoh;
sistem insentif dan disinsentif untuk permasalahan kebersihan lingkungan dan
pengelolaan/pembuangan sampah). Dengan aturan main dan perencanaan yang
mereka buat sendiri diharapkan warga ‘disadarkan’ oleh lingkungannya sendiri.
komunikasi pembangunan 34
mendobrak kebiasaan
BELAJARLAH
AGAR TIDAK
GAGAL LAGI
komunikasi pembangunan 35
mendobrak kebiasaan
Pekerjaan yang memakan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran ini telah menghasilkan
banyak sekali pelajaran yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk menghindari
kegagalan pembangunan. Paradigma partisipasi dalam kontek pembangunan
berbasis warga tidak hanya bisa diucapkan tanpa pernah turun ke lapangan.
Lapangan akan memberikan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan,
sehingga menjadi benar dengan pendapat bahwa ‘pelajaran yang paling baik adalah
langsung turun ke lapangan, dibandingkan hanya membaca buku atau mendengarkan
dari pihak yang telah melakukannya’.
PEMBELAJARAN
Proses Pada kegiatan ini ada beberapa rencana kerja yang terpotong atau tidak optimal
dalam pelaksanaannya. Pada tahapan penilaian wilayah, rapid urban appraisal tidak
dilakukan secara benar, sehingga data dan informasi yang terkumpul tidak
mencukupi untuk dijadikan referensi bagi fasilitator, serta tidak terbangunnya
kekerabatan antara fasilitator dengan warga. Hal ini disebabkan karena rentang
waktu dan sumber daya yang kurang tersedia.
Pada proses participatory urban appraisal para fasilitator tidak mempunyai skema
yang sama dalam melakukan proses dan hasil yang seharusnya muncul, sehingga
hasilnya beragam akhirnya sulit sekali dilakukan pengambilan kesimpulan. Bahkan
LFA tidak dilakukan di seluruh RW, sehingga di kemudian hari dilakukan pendugaan
hubungan sebab-akibat dengan beberapa orang dari RW.
Pada tahap display interaktif/wawancara acak yang dimaksudkan untuk menjaring
usulan ataupun bantahan terhadap isu yang muncul di tingkat RW atau prioritas
yang diinginkan warga juga tidak dilakukan. Dampaknya adalah kurangnya
pembobotan terhadap masalah dan solusi alternatif terhadap isu-isu yang ada.
Partisipan/Undangan Tingkat RW. Sebagian besar undangan yang pendistribusiannya diserahkan kepada
pengurus RT/RW ternyata tidak mewakili kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat. Bahkan di beberapa RW undangan dianggap tidak prioritas sehingga
yang hadir sedikit, selain itu dalam undangan tidak dijelaskan maksud dan tujuannya
sehingga para peserta datang dengan ketidak tahuan.
Tingkat Kelurahan. Banyak undangan yang diharapkan hadir, terutama wakil
dari pemerintah tidak datang sehingga warga tidak dapat melakukan klarifikasi
atas permasalahan yang mereka hadapi. Para undangan terutama dari warga masih
kurang representatif untuk mewakili berbagai kelompok yang ada di masyarakat.
Hal ini terjadi karena terlambatnya undangan formal dan bertabrakan dengan acara
warga yaitu Maulid Nabi. Artinya bahwa para perencana harus menyesuaikan
kegiatannya dengan kepentingan warga dan menganggap warga adalah prioritas.
Hasil Sebenarnya hasil kegiatan ini bisa dirumuskan menjadi sebuah cetak biru
perencanaan kelurahan. Hasil diskusi bisa dioptimalkan sampai pada tahap skedul
kerja (pembagian waktu dan tanggung jawab) bahkan sampai kepada proyeksi
anggaran. Namun untuk mencegah ‘kebingungan’ warga, maka hasil tersebut cuma
sampai pada pemetaan masalah dan siapa yang paling bertanggung jawab
menyelesaikannya, tidak sampai kepada action planning.
komunikasi pembangunan 36
mendobrak kebiasaan
TERJADI SAAT INI Era otonomi daerah yang ditandai dengan gencarnya motto ‘perlunya perencanaan
pembangunan berbasis warga’ telah merubah pendekatan pemerintah secara
drastis dari pola semua ditentukan pusat menjadi semua ditentukan bawah.
Sayangnya dalam proses membumikan motto tersebut terjadi kebuntuan teknis
pihak pelaksana, sehingga tetap saja motto hanya tinggal motto. Alur proses saat
ini yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan ternyata cuma menyisakan
dokumen perencanaan. Deskripsi karikaturis Panji Koming di depan secara ‘jujur’
menyatakan bagaimana masyarakat mempersepsi sebuah perencanaan
pembangunan. Sebuah forum perencanaan untuk merencanakan forum
perencanaan berikutnya.
Partisipasi masyarakat dalam desain pembangunan selama ini cuma
direpresentasikan oleh ‘daftar isian kebutuhan warga’. Daftar tersebut disebarkan
ke kelurahan untuk diedarkan di masyarakat melalui lembaga RT/RW. Sebuah daftar
panjang yang memuat usulan (lebih tepat keluhan) warga. Sedangkan pemberdayaan
dianggap telah berjalan ketika ‘daftar usulan tersebut’ menjelma menjadi ‘proyek’.
Desain perencanaan saat ini memiliki sedikitnya dua kelemahan. Pertama, terjadi
lagi ‘pengatasnamaan’ kebutuhan warga. Kedua, proses tersebut meniadakan
kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi ‘masyarakat belajar (learning so-
ciety)’. Sebuah masyarakat mampu mengorganisir dirinya, terus belajar untuk
mengenali dirinya dan belajar dari kesalahan masa lalu. Artinya proses seperti ini
justru ‘menyesatkan’ arah yang sudah diberikan oleh Pemda sendiri. Jika arah
sudah tidak dapat dilihat, jejak sudah sulit ditelusuri, bagaimana tujuan bisa dicapai?.
- Aparat Kelurahan
- Para Ketua RW
- Dewan Kelurahan - Unit Kecamatan
- Tokoh Masyarakat - Unit Kelurahan
Forum Konsolidasi
Kelurahan Kecamatan
- Block Grant
(PPMK + Sektor)
Skema Proses Penyusunan APBD di Tingkat
Kelurahan. (Bappeda. 2002) - Swadaya Masyarakat
komunikasi pembangunan 37
mendobrak kebiasaan
REKOMENDASI Gambaran kekumuhan Rawa Bunga bukanlah sesuatu yang khas dalam
PERUBAHAN pembangunan kota besar khususnya di Indonesia (dan Dunia Ketiga pada
umumnya). Permasalahan yang ada seperti permasalahan perjudian, pelacuran,
perkelahian, narkotika, permukiman kumuh merupakan ciri ‘masyarakat miskin
kota’. Oscar Lewis menyebutnya ‘budaya kemiskinan’.
Mereka tidak bisa keluar dari lingkungan seperti itu karena seperti itulah budaya
mereka, mereka baru dapat keluar dari ‘budaya’ tersebut jika ada ‘kesadaran
kritis’ dari dalam diri mereka sendiri. Namun seringkali ‘kesadaran kritis’ tersebut
tidak muncul/dimandulkan oleh ‘struktur kekuasaan’ yang diejawantahkan melalui
perencanaan pembangunan yang top down dan tersentralisasi.
Kesadaran kritis tersebut oleh struktur kekuasaan dimentahkan dengan dominasi
(represi atas dasar kekerasan/paksaan/kekuatan), atau dengan hegemoni
(penaklukan dengan legitimasi moral atau ideologi melalui tokoh masyarakat/tokoh
agama). Kasus hilangnya kepercayaan warga atas sebagian besar lembaga ‘bikinan
pemerintah’ yang berada di tingkat akar rumput dengan banyak ‘tokoh’ didalamnya
merupakan kasus tindakan hegemonik negara.
Dari 10 isu yang dominan di kelurahan ini, terlihat bahwa isu strategis makro
hanya tiga (sosialisasi program pemerintah, penyediaan sarana publik dan kerjasama
dengan pihak luar). Sedangkan isu mikro ada tujuh (keamanan, kebersihan,
kelembagaan RW, kemiskinan, kepemudaan, rendahnya SDM dan manajemen SDM
dan PKK). Dan ternyata jalinan paling kuat antar isu adalah [1] tidak berjalannya
kelembagaan RW, [2] kemiskinan, [3] serta kerjasama dengan pihak luar.
Tidak berjalannya kelembagaan RW (organisasi) dan kemiskinan (kondisi) serta
kerjasama dengan pihak luar (pengambilan keputusan) menunjukkan bahwa
persoalan ‘kemiskinan’ sesungguhnya harus diselesaikan ‘sendiri’, namun demikian
‘kemiskinan’ sangat dipengaruhi ‘pengambilan keputusan/struktur politik’ makro.
Jadi aksesibilitas pada pengambilan keputusan baik skala lokal (mikro) maupun
skala makro (diluar kelurahan) akan menentukan ‘perubahan’ kondisi kemiskinan.
Lemahnya organisasi di tingkat RT/RW mengindikasikan bahwa warga belum
sepenuhnya sadar bahwa organisasi yang kuat, mengakar, dan mandiri merupakan
modal kuat untuk merubah kondisi mereka. Modal sosial tersebut sesungguhnya
ada dan sebagian dipraktekkan di beberapa RW (paguyuban sedaerah atau
beberapa kelompok arisan untuk membantu ekonomi keluarga). Namun jika dilihat
dari jejaring antar lembaga dan aksi kolektif yang skalanya lebih luas (diluar
kelompok) maka modal sosial tersebut masih belum digali oleh warga.
Sebagai antitesis dari organisasi bentukan pemerintah yang top down dan instant
maka ‘kelembagaan RT/RW’ atau lembaga lain di tingkat kelurahan harus mengalami
perubahan budaya insitusi. Antara lain mempergunakan proses pengambilan
keputusan yang partisipatif, mengedepankan tranparansi dan akuntabilitas serta
pembagian peran/kerja yang jelas.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah melatih keterampilan para fasilitator lokal
untuk dapat melakukan model perencanaan berbasis komunitas ini sendiri. Investasi
komunikasi pembangunan 38
mendobrak kebiasaan
Kontek Regional Proses perencanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah di Propinsi DKI Jakarta
(Kotamadya/Propinsi) pada dasarnya telah memberikan ruang yang cukup luas bagi perencanaan berbasis
Perencanaan Kota komunitas. Pemda DKI telah memiliki model perencanaan yang membagi isu makro
dan mikro. Dimana isu makro merupakan isu yang melewati batas-batas teritorial
kelurahan, lintas sektor, dan membutuhkan pendanaan proyek skala besar.
Sedangkan isu mikro merupakan isu yang bersifat lokal, dapat diselesaikan dengan
dana swadaya masyarakat, dan tidak membutuhkan ‘tangan luar’ untuk penyelesaian
masalah. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah cara Pemda dalam melakukan
perencanaan. Namun masalah ‘cara’ yang tampaknya persoalan ‘remeh’ ini berhulu
pada paradigma atau konsep berpikir, dan muaranya adalah goodwill dari pemerintah
untuk secara benar melakukan proses pemberdayaan.
Pemahaman-pemahaman tentang konsep otonomi, partisipasi, dan pemberdayaan
masih kabur dimaknai oleh Pemda DKI, sehingga pilihan perencanaan yang
berorientasi pada proses-pun acapkali menjadi slogan kosong dan dilaksanakan
untuk kebutuhan seremonial. Padahal biaya yang dikeluarkanpun sama besar jika
proses tersebut dilakukan secara baik dan ‘benar’. Disini masih terlihat orientasi
Pemda DKI terhadap perencanaan sebenarnya masih berorientasi pada hasil tanpa
menghiraukan aspek kelembagaan yang merupakan bagian terbesar dalam
pembangunan yang berorientasi pada proses yang berkelanjutan.
Dengan menyatukan konsep perencanaan pembangunan dalam penyusunan APBD
dengan konsep perencanaan berbasis warga sebenarnya pemerintah tengah
mengadakan upaya pemberdayaan masyarakat secara partisipatoris. Otonomi
daerah telah memberikan jaminan dalam perencanaan wilayah berbasis warga.
Namun proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak merupakan
prasyarat agar upaya tersebut tidak lagi terjebak menjadi slogan kosong.
Dalam beberapa diskusi dengan warga pengulangan-pengulangan model
perencanaan yang bersifat seremonial belaka menjadi kendala pada usaha
pemerintah dalam memperbaiki citra dirinya. Masyarakat tidak lagi percaya bahkan
apatis pada setiap usaha pemerintah dalam ‘melibatkan masyarakat’ dalam
perencanaan pembangunan.
Forum warga yang berbasis komunitas akan menjawab kekurangan tersebut,
mengingat untuk isu-isu yang ada ditingkat kelurahan (mikro) akan digali dengan
pendekatan yang lain (metode PRA dan FGD). Pemetaan masalah dan pembagian
kerja akan jelas terlihat. Konsensus terjadi di antara para stakeholder, mengingat
mereka sendiri yang mendesain dan merencanakan pembangunan sesuai dengan
kebutuhan dan sumber daya mereka.
komunikasi pembangunan 39
mendobrak kebiasaan
Sedangkan untuk tingkat makro para pejabat yang akan merumuskan di tingkat
kecamatan dan tingkat kotamadyapun akan diundang secara langsung dan
merencanakan pembangunan bersama warga. Sehingga pemahaman mereka akan
‘sebuah’ aspirasipun menjadi utuh, tidak multitafsir dan terjadi proses saling belajar
dan memahami diantara pemerintah kota dengan warganya.
DAFTAR PUSTAKA
Abeyaskere, Susan, Jakarta: A History, Oxford University Press, 1987
Anonim, Manual P2KP, Bappenas, 2000
Anonim, Manual Pelaksanaan Forum Perencanaan Kelurahan dan Konsolidasi
Kecamatan, Bapeda, 2002
Anonim,Jakarta Membangun, Bapeda Propinsi DKI Jakarta, 2002
Hamid, Abdul dan Ahmad, Iman, Perubahan Ekonomi dan Resistensi Budaya,
Prisma, LP3ES, 1992
Koendoro, Dwi. Panji Koming I (1979-1984). Elex Media Komputindo. 1979
Sedyawati, Edi et. all, Sejarah kota Jakarta 1950-1980, Depdikbud, 1987
Shahab, Alwi, Batavia: Queen of The East, Penerbit Republika, 2002
Rachmadi, Benny, Lagak Jakarta; Transportasi, Penerbit KPG, 1997
komunikasi pembangunan 40
mendobrak kebiasaan
LAMPIRAN
komunikasi pembangunan 41
mendobrak kebiasaan
PROFIL RW 01 Terletak di ujung utara kelurahan Rawa Bunga, disebelah Utara bertetangga dengan
Kelurahan Kayumanis dipisahkan oleh rel kereta api. Sebelah Barat dan Selatan
bertetangga dengan kelurahan Balimester dengan batas alam terusan kali
Mookevart atau kali Baru. Disebelah Timur bertetangga dengan Stasiun Kereta
Api Jatinegara. Letak RW 01 terpisah dari RW-RW lainnya. Disela oleh jalan
propinsi, Jalan Bekasi Barat Raya.
Dikelilingi oleh pasar regional Jatinegara, Plaza Jatinegara, Pertokoan Lokomotif
milik PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan Pasar Burung Jatinegara (dikenal
dengan Pasar Kemuning). Warga RW 01 sebagian besar pedagang, baik pedagang
formal maupun informal (pedagang kaki lima). Sebagian lain adalah karyawan toko
dan pegawai PT. KAI (sebagian wilayah RW 01 dikuasai oleh PT. KAI dulu
Perusahaan Jawatan Kereta Api/PJKA, diwilayah ini terdapat perumahan pegawai
PT. KAI).
Perpindahan penduduk di wilayah ini (penduduk musiman) termasuk cepat dan
cukup membuat sibuk para pengurus RT. Hal ini disebabkan oleh akses lokasi RW
01 yang sangat strategis. Para penduduk musiman ini biasanya tinggal di rumah
saudaranya yang telah menetap sebelumnya, kemudian ‘magang’ dan membuka
usaha sendiri.
Dari hasil pemetaan masalah, di RW ini ada beberapa isu strategis yang muncul.
Pertama, masalah keamanan. Masalah keamanan merupakan masalah yang
cukup mendominasi. Isu keamanan ini berhubungan dengan ketertiban pedagang
terutama para pedagang burung yang ada di jalan Kemuning, masalah pungutan
liar (pungli) kepada para pedagang, masalah Narkoba dan perjudian. Disini ada
arena sabung ayam yang cukup di kenal di Jakarta.
Kedua, masalah kemiskinan. Permasalahan akses kepada sumber daya
pembiayaan, akses kepada perumahan yang layak, akses untuk mendapatkan
pencaharian hidup yang layak merupakan karakteristik masyarakat migran kota
(baca: kaum miskin kota) yang merupakan akar kemiskinan.
Ketiga, masalah pelayanan umum/sosial. Dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan luas lahan yang terbatas serta lokasi yang terpisah dari RW lain maka
permasalahan pelayanan umum merupakan masalah yang cukup dominan. Masalah
seperti MCK helikopter, fasilitas pertemuan warga yang kurang memadai, sarana
olah raga yang kurang layak merupakan sebagian dari permasalahan fasilitas umum/
sosial.
Keempat, masalah kelembagaan RW. Masalah
pembinaan RW kepada pengurus RT menjadi
sebab mengapa banyak pengurus RT tidak
memahami fungsinya sebagai wakil rukun
tetangga. Masih dalam lingkup RW, ada persoalan
kurang aktifnya (responsif) wakil Dewan
Daerah kumuh bantaran kali dengan
menggunakanyan selain untuk bangunan, juga
Kelurahan di RW 01 dalam menjaring aspirasi
dimanfaatkan untuk melepas hajat melaluli
‘jamban helikopter’. Kali menjadi tempat
warga untuk pengambilan keputusan di tingkat
sampah dan kotoran terpanjang kelurahan.
komunikasi pembangunan 42
mendobrak kebiasaan
Kelima, masalah eksternal. Masalah eksternal yang muncul antara lain program
pemerintah yang dirasakan tumpang tindih. Banyak program yang memiliki sasaran
yang sama dengan kegiatan yang ‘hampir’ sama. Masalah eksternal lainnya adalah
hubungan dengan stakeholder lain, seperti tembok Perumka yang mau rubuh dan
membahayakan orang-orang disekitarnya, permasalahan dengan lembaga lain seperti
informasi tentang biaya pemakaman dan biaya pernikahan di Kantor Urusan Agama.
LFA Perkampungan
Kumuh Tidak Layak
IPB Perhatikan
Orang Miskin
Huni [1] [1]
Program Pemerintah
Kurang Aktifnya Dekel
Penguburan [3] Tumpang Tindih
[5]
[1]
Kegiatan TPA Al
Biaya KUA [1] Barokah Macet [1]
Tembok Perumka
Kurang
akan Rubuh [1]
Pembinaan
Penghijauan [1]
RT/RW
[1]
Sarana Olah Raga
Program Kali Bersih Dana Bergulir Kurang Memadai
[1] Macet [8] [1]
Pedagang Tidak
Tertib [2]
Pungli [2]
Masalah
Keamanan [3]
Narkoba [7]
Perjudian [2]
komunikasi pembangunan 43
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 44
mendobrak kebiasaan
PROFIL RW 02 RW 02 diapit oleh dua jalan utama. Di Utara Jalan Bekasi Barat tepat di belakang
Pasar Rawa Bening (Ramayana Departement Store dan Pasar Batu Mulia Rawa
Bening), di Timur dan Selatan disela oleh Jalan Bekasi Barat I. Di sebelah Barat
bersisian dengan kali Mookevart). Diseberangnya ada kelurahan Balimester.
RW 02 juga merupakan daerah pasar dan sebagian besar penduduknya berasal
dari etnis Cina. Daerah ini merupakan bagian dari Pecinaan yang ditata sejak jaman
Belanda. Sebagian besar warga disini adalah pedagang. Dan perumahan disini
berfungsi juga sebagai gudang. Di daerah ini terkenal sebagai tempat saudagar
lapak barang bekas, terutama kertas dan kardus bekas. Juga ‘pasar pagi’ yang
menjual aneka barang loak (daerah Jembatan Item).
Dalam dua tahun terakhir banyak gubug-gubug liar tempat tinggal pemulung
dibangun di sepanjang bantaran Kali Baru. Hal ini menjadi isu dominan dalam diskusi
warga. Isu rumah kurang layak milik beberapa warga juga menjadi masalah yang
perlu mendapat perhatian.
Permasalahan menonjol lainnya adalah komunikasi didalam Rukun Warga. Warga
dirasakan kurang kompak, sulit diminta kesediaannya dalam berpartisipasi
membangun lingkungan mereka. Padahal banyak permasalahan yang harus
ditanggulangi bersama seperti iuran untuk kesejahteraan petugas Hansip, iuran
petugas kebersihan, masalah kerja bakti/gotong royong untuk membersihkan
sampah rumah tangga mereka sendiri. Atau patungan untuk memperbaiki jalan
yang rusak berat oleh truk milik warga sendiri.
Masalah ekternal yang muncul adalah pedagang kaki lima yang mengganggu arus
lalu lintas sekitar jalan lingkungan mereka. Juga sampah yang dihasilkannya. Masalah
sampah pasar Rawa Bening juga mengganggu warga. Kontainer sampah warga
digunakan juga oleh pedagang pasar Rawa Bening untuk membuang sampah
pasarnya. Sehingga kontainer tersebut kepenuhan sehingga tumpah ke jalan dan
saluran air. Sedangkan pihak RW tidak mendapatkan kompensasi apa-apa atas
sampah pasar tersebut.
Masalah eksternal lain yang muncul adalah kurangnya perhatian Suku Dinas
Pertamanan untuk merawat pohon pelindung. Banyak pohon pelindung yang
menghalangi cahaya lampu jalan karena daunnya tidak dipangkas.
komunikasi pembangunan 45
mendobrak kebiasaan
LFA
Warganya tidak
kompak [6]
komunikasi pembangunan 46
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 47
mendobrak kebiasaan
Warga miskin
Pembangunan Tower
tanpa mustawarah [10]
Beras Miskin Tidak
Merata [1]
Penataan wilayah
Karang Taruna tidak berjalan [3] semrawut [1]
Masih banyak
KELEMBAGAAN rumah kumuh [1]
Kuang adanya
RT/RW Buruk kesadaran
Pedagang kaki lima
[17]
Tempat maksiat
kebersihan
Perjudian [4]
Narkoba [6]
(Hotel) [2]
WTS [10]
lingkungan [7]
[2]
Kurang tukang
sampah [1]
Keamanan Kurang [6]
Gorong-gorong
Pembangunan pos Got Mampet [1]
kotor dan bau [3]
RW terpadu
tertunda [4]
komunikasi pembangunan 49
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 50
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 51
mendobrak kebiasaan
Lampu Penerangan
Kurang [1]
Pembinaan Remaja
Galian Kabel [1]
Kurang [2]
Kuang adanya
Pohon Pelindung
Kesadaran kesadaran
Tidak Dipangkas [1] Pengurus RT/ kebersihan
RW Kurang lingkungan [2]
[4]
Sampah Berserakan
[12]
Nongkrong [4]
Narkoba [8]
Pemuda
Lokasi Penampungan
Banjir [1]
Sampah Sementara [1]
Keamanan Kurang [5]
Penyakit Demam
Berdarah [3]
Isu strategis Keamanan, Kepemudaan, Kebersihan, Kemiskinan, Sarana Publik (OR), Kesadaran
pengurus RW, Kerjasama pihak luar
komunikasi pembangunan 52
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 53
mendobrak kebiasaan
PROFIL RW 05 RW 05 berbatasan dengan RW 04 disebelah Utaranya disela oleh Jalan Haji Kaiman,
berbatasan dengan RW 07 disebelah Barat dan berbatasan dengan RW 06 disebelah
Selatan. Di Timur bersisian dengan Jalan Ahmad Yani (By Pass).
RW 05 secara kontour memiliki daerah yang paling rendah diantara RW-RW lain
sehingga menjadi genangan besar jika musim penghujan tiba. Banjir juga disebabkan
oleh sampah yang menumpuk di saluran air utama. Disini juga pernah terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan ratusan rumah. Daerah RW 05 merupakan
salah satu daerah yang paling padat di kelurahan Rawa Bunga. Rumahnya sepetak-
sepetak (2x3m2). Dengan kepadatan seperti ini permasalahan yang dominan adalah
penataan ruang dan perbaikan permukiman kumuh.
Kemiskinan merupakan masalah utama di wilayah ini. Banyak dari penduduk RW
05 bekerja sebagai buruh lepas atau pegawai kecil. Isu lemahnya kualitas sumber
daya manusia terlontar dalam forum. Namun yang menjadi penyebab utamanya
adalah lemahnya komunikasi dan tingkat koordinasi antar warga. Warga selama
ini bergerak sendiri-sendiri.
Yang paling menarik di wilayah ini adalah peranan ibu-ibu PKK dalam menunjang
kesejahteraan keluarga. Aktivitas kader PKK berperan dalam penyadaran warga
mengenai sampah, kesehatan lingkungan, perbaikan gizi keluarga melalui difersifikasi
pangan dan aktifitas lain yang berhubungan dengan peningkatan ekonomi rumah
tangga. Namun aktifitas ibu-ibu PKK ini perlu di dorong oleh fasilitas tempat
berkumpul yang memadai mengingat rumah merekapun terlalu sempit.
Sempitnya lahan, padatnya manusia yang menghuni RW 05 menyebabkan masalah
pembuangan limbah rumah tangga menjadi isu yang dominan. Kesadaran warga
untuk menciptakan lingkungan yang sehat dirasakan masih kurang. Hal lain adalah
kurangnya sarana pembuangan sampah (tong dan gerobak sampah). Dan
partisipasi warga dalam memberikan insentif kepada petugas kebersihan.
Sempitnya lahan dan lemahnya kualitas pengeloaan sumber daya manusia juga
menimbulkan dampak bagi kegiatan pemuda. Tidak aktifnya kelembagaan pemuda
menyebabkan timbulnya masalah narkoba di kalangan mereka.
komunikasi pembangunan 54
mendobrak kebiasaan
Pengelolaan
Kebersihan
Lingkungan
Kurang
Komunikasi
Tidak ada tempat Kurangnya
antar pembuangan kesadaran
Alat angkut sampah
Pengurus kurang
sampah masyarakat
RW
Sumberdaya manusia
Perlu kegiatan PKK Sampah
rendah
Ekonomi sulit
Gorong-gorong macet Banjir
Perjudian
Susah usaha
Rumah kumuh
Timbul Penyakit Jalan Rusak
komunikasi pembangunan 55
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 56
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 57
mendobrak kebiasaan
Kepemudaan, Keamanan,
RENDAHNYA
SDM RW 06, Kebersihan
SEHINGGA lingkungan [4]
Karang Taruna [1]
KELEMBAGAAN
TIDAK
BERJALAN Sampah Tidak
Tertampung Semua
Penyaluran Tenaga [4]
Kerja [1]
Tidak Ada Sarana
Olah Raga [2]
Saluran Air Mampet
Genangan Air [1]
[9]
Pengangguran Keterampilan
Kesehatan
Pemalakan [1] Banjir [1]
Pendidikan Anak Nakal [2]
Lingkungan [2]
Perjudian
komunikasi pembangunan 58
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
RW 05
Jl. BY Pass
(A. Yani)
RW 08
Kerupuk
Pabrik
Pemaka man Umum Rawa Bunga
komunikasi pembangunan 59
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 60
mendobrak kebiasaan
LFA
Sampah Tidak
Diangkut Setelah Got mampet [9]
Kerja Bakti [9]
KELEMBAGAAN Masalah
Sarana Bermain RW 07 Nyamuk DB [1]
Anak [1]
Karang Taruna
Kurang dana [1]
Anak Tamat
Masalah Keamanan
Sekolah Yang
Lingkungan [2]
Mengganggur [1]
Sembarangan [2]
Bantaran Kali [1]
Bengkel Ilegal
Parkir Truk
Berkeliaran [1]
Anak Sekolah
Perjudian [4]
Isu Strategis Pemuda, Keamanan, Kebersihan lingkungan, Kebijakan top down, Sarana Publik
(OR), Kelembagaan RW
komunikasi pembangunan 61
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 62
mendobrak kebiasaan
komunikasi pembangunan 63
mendobrak kebiasaan
Jalan Umum
Dipakai Kepedulian Antar Keindahan Wilayah
Untuk Menjemur Warga Kurang [4] RW 08 Kurang [4]
Pakaian [1]
Pengobatan Untuk
Para Lansia [3]
Warga Kurang
KELEMBAGAAN Pengadaan Sarana Balita Kurang Gizi Rumah Warga
Kebersihan [1] Mampu
dan Prasarana PKK [5] Sudah Lapuk [1]
RT/RW Belum [3]
Optimal Gizi Lansia [2]
[4]
Pembinaan Remaja/
Tukang Sampah Karang Taruna [2]
Tong Sampah [1]
Kurang [1]
Masalah Siswa
Keamanan Kurang Drop Out
Pengangguran [7]
[5] Anak Terlantar
Masalah Sampah [7] Anak Putus Sekolah Kurang Biaya
[1]
Kenakalan Remaja
Jalan Rusak Akibat [7]
Banjir [12]
komunikasi pembangunan 64
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 65
mendobrak kebiasaan
PROFIL RW 09 Ujung lain dari kelurahan Rawa Bunga adalah RW 09. Wilayah ini berbatasan dengan
kelurahan Cipinang Cempedak di sebelah Selatan di sela oleh Jalan Pedati Raya. Di
sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Balimester disisipi Kali Baru
(Mookevart). Di Utara berbatasan dengan Pemakaman Umum Kober dan di
Timurnya berbatasan dengan Jalan Ahmad Yani (By Pass).
RW 09 dibelah oleh Jalan Casablanca, sebuah ruas jalan yang membelah kota
Jakarta dari Timur ke arah Selatan. Ruas jalan tersebut bernama jalan Jendral Basuki
Rahmat. Sebagian besar penduduknya digusur untuk pembangunan jalan tersebut.
Secara kultur masyarakat Betawi mendominasi wilayah ini. Disini banyak terdapat
guru ngaji dan tokoh agama. Ciri lainnya adalah disini masih tersisa beberapa
peternak kambing. Biasanya para peternak membuat kandangnya di sisi Kuburan
Belanda. Kabarnya bekas Kuburan Belanda tersebut akan dijadikan alternatif lahan
terminal Kampung Melayu yang sudah tidak sanggup menampung jumlah kendaraan
umum.
Sebagian besar warga memiliki tingkat kehidupan yang baik, terutama para
penduduk asli Betawi. Para pendatang mendiami pinggiran kali Mookevart,
kebanyakan dari mereka berasal dari Jawa Tengah. Daerah ini biasa disebut
Kampung Jawa.
Disisi lain dari jalan yang membelah RW 09 terdapat komunitas tukang kasur.
Mereka berasal dari daerah Garut dan Tasikmalaya. Mereka mendiami wilayah ini
sudah puluhan tahun.
Isu dominan di wilayah ini adalah kurang berfungsinya kelembagaan RW. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya manajemen SDM. Walaupun sumberdaya manusia yang
ada sangat potensial untuk disinergikan.
Akibat dari lemahnya pengelolaan SDM ini adalah kurang diperhatikannya kegiatan
kepemudaan, sehingga muncul masalah lanjutan seperti maraknya narkoba dan
kenakalan remaja.
Masalah lain yang muncul adalah kurang diperhatikannya kesejahteraan Hansip
dan petugas kebersihan. Kesadaran warga untuk mendahulukan kesehatan dan
kebersihan lingkungan masih rendah.
Masalah ekternal yang juga muncul adalah seringnya galian kabel atau pipa ledeng.
Masalah utilitas ini sangat mengganggu kenyamanan warga. Dan masalah
pembangunan jembatan penyebrangan orang di Jalan Casablanca.
komunikasi pembangunan 66
mendobrak kebiasaan
LFA
Banyak Kecelakaan
Karena Tidak Ada Galian PAM/TLP/PLN
Parkir Truk Tanah [1]
Jembatan [1]
Manajemen SDM Lemah Penyebrangan [1]
[1]
Isu Strategis Kebersihan lingkungan, Manajemen SDM, Keamanan, Sarana Publik (OR),
Kelembagaan RW, Kerjasama pihak luar
komunikasi pembangunan 67
mendobrak kebiasaan
Pemetaan Masalah
komunikasi pembangunan 68
mendobrak kebiasaan
TERIMA KASIH Kegiatan Pembelajaran ini tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan penuh berbagai
pihak. Untuk itu ucapan terima kasih sewajibnya disampaikan kepada
Fasilitator Kelurahan Ahmad Baehaqie, Ernan Rustiadi, Budiman P, Widhyanto M. Ahmad, Dadang
Iskandar, Sulistyowati, Tarmidi, Abdul Rachman Andit, Meidiani Dwi Sabarti
Co Fasilitator Harya B. Surbakti, Nona Iriana, Laeli Sugiono, Zainal Achmad, Priyadi Priautama
Ignatius, Budi Ayu Kusuma Dewi, Eman Suherman, Maryanta, Purwanto R.
Notulis Diana Aryanti, Mimin Karmiati, Widya Indra Rosiana, Meidiani Dwi Sabarti, Prima
Shandya Dewi, Rifa Rufiadi, Suryadi, Yezua H.F.H. Abel, Zul Amri, Eko Oesman
Warga Rawa Bunga RW 01 : Rahiman, Opi, H. Ismanan, Ujang, Rohanas, Syaifulah, Karim, Agus
Suhartono, Djoyo S, Sutejo, Roelima, Budi F
RW 02 : Dudung, M. Saleh. H, Irwan, Iis, Dona, Heni N, Yusup K, Wati, Dewi,
Sarnah, Ningsih, Usman M, Suhandi, Hali N, Widyani N, Maryani, Marni, Dede
RW 03 : Farman Syah Maliki, Sariyaman, Endang Suparjo, Rudi Maulana, Saad,
Upi, Buchori, Mansyur, Wisnu, Nasrulah
RW 04 : Erna, Fanar, Rufleni, P.F. Sinaga, Maryono, Mulyadi, Rifai
RW 05 : Anis, Mardiah, Muti, Arni, Meri, Rosita, Wartini, Juju, Wiwin, A Syakur,
Udin Atmaja, Afiah, Titin, Saroh, Badriah, Ruswi, Tipah, Sumiyati, Eva, Sadikin,
Suherni, Kartini, Dhana Mihardja, Santi, Isah Isardah, Tini, B. Maulana, Salmin,
Suryaman, Acep, Muhamat
RW 06 : Hikmah, Sutris, Srijanto, Ukar, Sanusi, Lili S, D Kadin, H.M. Yoyib, E.
Muryadi, Samsudin, Aswardi, A. Sahetapy, Agus, Sudarno, Muchtar, S. Wardah,
Maria, Zuhriah Zaim, Nani H, Neneng R, M. Yusni, M. Arifin, Sarim
RW 07 : Udi Tarmudi, Jeram, Hadi W, Musalam, Sarmo, Iwan SL, Indri, Hendri,
Nyai Komariah, Nurbaeti, Nurhaini, Suryani
RW 08 : Morsiah, Jacky T, A. Salam, Taufik SM, Margono, L. Kujang, Ferdy, R.M.
Irwan, Eddy Makara, Achmad Gani, H. Darwis, Pangaluli, Rosyidi, B. Situmorang,
Ibrahim K, Adang AS
RW 09 : Sarifudin, Rudi, Nur, Iwa, Furqon, Fathudin, Imam S Arifin, Ida Farida,
Vera, Tono Fathoni, Eman Sulaeman
Komunitas BeTe Luthfi Kurnia, Hendra, Iman Taufik, Espan, Ricky Himawan, Enny, Ririn.
komunikasi pembangunan 69
mendobrak kebiasaan