You are on page 1of 9

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan Secara kronologis dapat dikemukakan bahwa dengan semakin gencarnya gelombang reformasi di seluruh aspek kehidupan, masyarakat Indonesia sedang berupaya untuk membangun masyarakat yang bersifat demokratis. Untuk menyiapkan masyarakat Indonesia baru ke arah kehidupan yang lebih demokratis maka pendidikan sebagai salah satu saluran utama proses transformasi budaya suatu komunitas keudayaan, menempati posisi yang sangat strategis ( Persell,1987 ). Melalui fungsi inkulturatif, akulturatif, dan transformatifnya, institusi pendidikan memiliki tugas untuk mengembangkan nilai-nilai baru dalam suatu masyarakat baru yang modern dan demokratis. 2.2 Masyarakat Indonesia dan Filsafat Pendidikan Demokratis Indonesia dapat dilihat sebagai bangsa dan negara yang bersifat multi-agama dan multikultural. Karakteristik multi-agama dan multikultural itu dapat ditemui dalam keanekaragaman agama yang dipeluk, kebhinekaan budaya etnik, kebiasaan, gaya hidup, dan penggunaan ragam bahasa ( Hanurawan & Waterworth, 1997 ). Secara umum pada era reformasi terdapat harapan dan tuntutan bagi perbaikan di segala bidang kehidupan, termasuk kehidupan sosial politik dan kebudayaan yang lebih demokratis. Secara rasional, dengan melihat kemajemukan yang menyusun kebangsaan Indonesia dan Negara Indonesia, maka untuk menjamin hidup yang damai diantara berbagai kelompok masyarakat maka masyarakat Indonesia membutuhkan pilar-pilar demokrasi sebagai cara hidup bersosial politik untuk menyatukan kemajemukan itu. Kebudayaan Indonesia dibangun dari kemajemukan budaya yang didasari oleh sejarah nasional melawan penjajahan, dan bahasa nasional. Perkembangan terakhir menunjukan bangsa Indonesia sedang menjadi negara demokrasi. Indikasi itu ditandai

dengan maraknya perkembangan ide-ide yang berhubungan dengan demokratisasi, keterbukaan, dan reformasi di banyak bidang kehidupan. Untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai nilai demokrasi maka sistem pendidikan di Indonesia harus diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada filsafat pendidikan demokratis. Filsafat pendidikan demokratis dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat universal maupun lokal. Filsafat pendidikan demokratis yang bersifat universal dan lokal itu diharapkan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap hidup ( survival ) dalam kehidupan global sekaligus untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaannya sendiri. Konteks universal berarti bahwa nilain nilai demokrasi yang ada dan diakui oleh sebagian penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan transformasi dengan kebudayaan asli Indonesia. Konteks lokal berarti terdapat nilai nilai demokrasi khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan untuk menetapkan identitas kebangsaanya sendiri. 2.3 Studi Kritis terhadap Filsafat Pendidikan Progresivisme 1. Asumsi Dasar Studi Kritis Aliran filsafat pendidikan progresivisme sangat memberi penekanan pada ide demokrasi sebagai landasan sekaligus tujuan dalam praktek praktek pendidikan, baik yang bersifat formal maupun non formal. Paham filsafat pendidikan progresivisme digambarkan sebagai suatu model pendidikan demokratis yang berkembang dengan ide ide demokratis yang bersifat global. 2. Filsafat Pendidikan Progresivisme sebagai Filsafat Pendidikan Demokratis a. Tujuan dan Tugas Pendidikan Demokratis Secara filosofis, aliran progresivisme memberi definisi pendidikan sebagai saluran utama yang memberikan fasilitas bagi upaya-upaya manusia sebagai subyek kebudayaan untuk melestarikan, merekonstruksi, dan mengembangkan nilai-nilai ideal suatu kelompok kebudayaan. Nilai-nilai kebudayaan yang

dianggap ideal untuk masyarakat Amerika Serikat yang bersifat majemuk adalah nilai-nilai demokratis. John Dewey mencoba mengembangkan suatu model filsafat pendidikan demokratis yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat demokrasi modern kontemporer. Aliran filasafat pendidikan progresivisme memandang bahwa proses pendidikan tidak seharusnya terlepas dari realitas sosial masyarakatnya. John Dewey merumuskan bahwa tujuan pendidikan yang paling bersifat umum adalah mengarahkan subyek didik, berdasar pada kecenderungan alamiah dan minat yang dimilikinya, untuk mencapai kemampuan perkembangan melalui partisipasi aktif dan reflektif dalam suatu cara hidup yang bersifat demokratis. b. Tiga Pilar Dasar Pendidikan Demokratis Dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang mendukung keberadaan dan pengembangan masyarakat demokratis, aliran filsafat pendidikan progresivisme menunjukkan reaksi yang keras terhadap teori dan praktek kependidikan yang dikemukakan oleh aliran filsafat pendidikan esensialisme yang merupakan gambaran sistem pendidikan yang bersifat tradisional, pasif, dan terlalu intelektualis. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis itu, maka aliran filsafat progresivisme mengajukan 3 pilar utama sistem pendidikan yang mendukung pengembangan masyarakat demokratis. 3 pilar utama itu adalah: Pendidikan berpusat pada anak Berkenaan dengan konsep pendidikan berpusat pada anak, aliran filsafat pendidikan progresivisme berpendapat bahwa fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan secara maksimal potensi-potensi individual seorang anak. Untuk mencapai tujuan itu maka sedapat mungkin dihindari praktekpraktek pendidikan tradisional yang bersifat otoriter dan pasif. Pengajaran yang bersifat otoriter dan pasif dapat mengakibatkan lemahnya partisipasi subyek didik dalam kehidupan bermasyarakat.

Peran pendidikan bagi rekonstruksi dan pembaharuan sosial Melalui konsep peran pendidikan bagi rekonstruksi dan pembaharuan sosial, aliran ini hendak mengemukakan bahwa dalam proses kebudayaan, pendidikan tidak hanya melaksanakan fungsi inkulturatif statis, tapi lebih jauh lagi memiliki fungsi transformatif bagi terjadinya pembaharuan sosial kebudayaan suatu kelompok masyarakat. John Dewey mengemukakan bahwa pendidikan memiliki peran sentral dalam pembaharuan sosial bagi terciptanya masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Konsep eksperimentalisme dalam pendidikan Berdasar konsep eksperimentalisme dalam pendidikan, kaum progresivisme mencoba mengembangkan pendekatan ilmiah dalam proses pendidikan demokratis. Melalui konsep ini dicoba dikembangkan dalam diri anak kemampuan rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasar pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas yang diperlukan bagi individu untuk hidup dalam alam demokrasi. 3. Evaluasi Historis Dalam perkembangan sejarah, Progresivisme sebagai aliran filsafat pendidikan yang cukup berhasil mengembangkan sendi-sendi demokrasi kontemporer pada masyarakat Amerika. Pendidikan progresivisme dipandang terlalu liberal, sehingga kurang memperhatikan aspek disiplin pada pendidikan anak. Progresivisme dinilai anti intelektualis,model progresivisme dianggap kurang memberikan devinisi yang jelas tentang gurudalam proses pendidikan. Bahkan pada era pasca perang dunia ke2 aliran ini menjadi sasaran tuduhan atas penurunan kualitas pendidikan di Amerika. Keberhasilan Uni Soviet yang menrapkan sistem pendidikan esensialisdan doktriner dalam bidang iptek telah menggugh bangsa Amerika untuk menilai kembali sistem pendidikan dan pengajaranya. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa sistem pendidikan progresivisme dijadikan sejenis kambing hitam kebudayaan bagi kemunduran perkembangan iptekyang di alami oleh bangsa Amerika.

Seiring dengan terjadinya reformasi sosial dan perubahan politik,pada tahun 1969an dan 1970an aliran filsafat progresivisme mendapatkan lagi tempat penting dalam sistem pendidikan Amerika secara umum. Secara umum para ahli filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan mengemukakan bahwa sebenarnya peran aliran filsafat progresivisme menjadi cukup besar dalam konteks suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Aliran ini mengandung ajaran teoritis maupun praktis untuk menjelaskan dan memberi arah bagi terbentuknya dasar-dasar demokrasi dan pembaharuan masyarakat. 2.4 Strategi Kebudayaan Menuju Filsafat Pendidikan Indonesia Demokratis 1. Prinsip Umum Strategi Kebudayaan Suatu kelompok masyarakat kebudayaan seharusnya mengembangkan suatu strategi kebudayaan yag mengarahkan suatu keberlangsungan hidup kebudayaanya. Menurut Van Peursen (1986) Strategi Kebudayaan adalah suatu kebijakan untuk merencanakan dan mengembangkan arah perkembangan suatu kelompok masyarakat kebudayaan.searah dangan prinsip kontinuitas kebudayaan maka penyusunan suatu strategai kebudayaan secara normatif harus berpijak pada perspektif tradisi, modernitas dan masa yang akan datang. Secara khusus perspektif tradisi menggambarkan bahwa dalam perkembangan kebudayaan tidak dapat ditinggalakan masa lalu sebagai dasar bermulanya dinamika perkembangan kebudayaan. Apabila suatu kelompok kebudayaan menafikan masa lalu maka kelompok itu akan mengalami satu keadaan krisis nilai, tercabut dari akar atau mengalami aliensi kebudayaan( Bekker,1987). Dalam konteks pengembangan kebudayaan bangsa indonesia yang sedang berusaha membangun suatu masyarakat demokratis khas indonesia, maka diperlukan strategi kebudayaan terkait dangan filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagi teori dan praktik pendidikan. Pandangan hidup iti meliputi nilai-nilai umum etika agama adat istiadat maupun ideologi kenegaraan yang diakui kebenaranya sebagai suatu kesepakatan sosial dari sebagian besar warga negara Indonesia.

2. Pengembangan Filsafat Pendidikan Demokrasi Berdasar Nilai-nilai Asing Pengembangan strategi kebudayaan berdasar sumbangan pemikiran filsafat pendidikan progresivisme perlu dipertimbankan secara kritis. Pertimbangan itu berdasar rasionalitas bahwa aliran filsafat pendidikan berjasa menyinambungkan budaya demokrasi masyarakat Amerika modern. Bangsa Amerika telah banyak memberi pengaruh persepsi dunia tentang isu-isu demokrasi yang brsifat global. Pertimbangan penerimaan ide-ide pendidikan progresivisme juga berpijak pada suatu kenyataan bahwa sudah lama sistem pendidikan di Imdonesia cenderung menekankan pada proses pendidikan terlalu esensialis dan behavioristik. Secara umum kecenderungan sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat pasif, mekanistik, dan tradisional perlu diubah dalam rangka persiapan menuju pembentukan masyarakat baru yang demokratis. 3. Konvergensi dengan Nilai Nilai Lokal Dalam hal ini nilai-nilai lokal adalah kepribadian dasar bangsa Indonesia yang mengacu pada pandangan bangsa Indonesia.Secara praktis, nilai-nilai progresivisme yang membawa nilai-nilai demokratis global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Sebagai contoh, untuk menghindari dampak individualisme yang berlebihan, sebagai akibayt interpretasi guru yang salah terhadap konsep pendidikan berpusat pada anak-anak, maka perlu dikonvergensikan dengan konsep Tut Wuri Handayani yang berasal dari filsuf pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Konsep progresivisme itu dapat dipertemukan dengan tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu harus mempertimbangkan hubungan erat diantara unsure-unsur kekeluargaan, sekolah, dan masyarakat (Saifullah, 1983). Dengan begitu siswa dapat mengembangkan kemampuan melek sosial politik (social and political literacy). Dapat dilihat pada partisipasi aktif siswa dalam keterlibatan dengan isu-isu sosial dan politik yang menjadi objek wacana publik (Reid, 1996).

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Pengembangan strategi kebudayaan filsafat pendidikan Indonesia yang demokratis masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tulisan ini lebih merupakan suatu pembukaan wacana yang bersifat tentatif dan eksploratif sebagai upaya memperoleh metode pengembangan strategi kebudayaan yang dianggap paling memadai. Secara umum pengembangan suatu model filsafat pendidikan yang demokratis harus memperhatikan konteks yang bersifat global sekaligus konteks lokal. Kedua konteks itu diperlukan untuk menetapkan eksistensi mandiri suatu bangsa di dalam peraturan kabudayaan dunia.

FILSAFAT PENDIDIKAN DEMOKRATIS SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN MASYARAKAT INDONESIA BARU MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Umum Yang dibina oleh Dr. Fattah Hanurawan, M.Si, M. Ed.

Oleh: 1. Bertha Fabiana S. 2. Dea Satika 3. Fitri Y. 4. Gesa Wahyu A. 5. Mohammad Imron 6. Lutfi A.A. (308112410401) (308112 410397) (308112416041) (308112416052) (308112416046 ) (308112410390)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN BIMBINGAN KONSELING DAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI Desember 2008

DAFTAR PUSTAKA
Elias, J.L. dan Merriam, S. 1984. Philosophical Foundations of Adukt Education. Malabar, Florida: Krieger Publishing Company. Hanurawan, Fattah. 2006. Pengantar Filsafat. Malang. Saifullah, A. 1983. Pendidikan sebagai Gejala Kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional. Saifullah, A. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Saifullah, A. 1985. Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Majalah Pendidikan.14, 1-27. Weber, C.O. 1960. Basic Philosophies of Education. New York: Holt Rinehart and Winston.

You might also like