You are on page 1of 36

MAKALAH STUDI KASUS MAYOR ORAL MEDICINE LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (Systemic Lupus Eritemathosus)

Disusun oleh: Hapsari Dyah Paramita (1601-1210-0023) Nikita Puspita I. E. (1601-1210-0040)

Pembimbing: Nanan Nuraeny, drg

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI 2011

BAB I PENDAHULUAN

Lupus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi akut dan kronis dari berbagai jaringan tubuh. Lesi-lesi LE bersifat kronis dengan periode kekambuhan dan remisi. Lesi yang masak menunjukan 3 daerah; suatu pusat atrofik yang dibatasi oleh daerah tengah hiperkeratotik yang dikelilingi oleh suatu eritematosus di perifernya. Seringkali ada hipopigmentasi dari lesi akibat kerusakan melanostik di pertemuan epidermal-dermal. Telangiektasia, blackhead dan sisik halus merupakan pertemuan dermal yang umum. Lesi-lesi tersebut biasanya berbatas pada bagian atas dari tubuh, terutama kepala dan leher. SLE merupakan penyakit autoimun prototipik yang dikarakterisasi oleh produksi antibodi ke komponen nukelus sel dalam hubungannya dengan deretan manifestasi klinis yang berbeda. Gambaran klinis primer pada penderita SLE adalah inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun dan vaskulopati. Etiologi pasti dari SLE belum diketahui. SLE menunjukkan agregasi familial yang kuat, dengan frekuensi yang cukup lebih tinggi diantara keluarga pasien. Selebihnya, pada lingkup keluarga besar, SLE dapat muncul bersamaan dengan penyakit autoimun organ spesifik lain seperti anemia hemolisis, purpura trombositopeni imun, dan tiroiditis. Insidensi penyakit pada kembar identik tepatnya 2550% dan pada kembar dizigot sekitar 5 %. Hal ini menunjukkan faktor genetik berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Bagaimanapun juga, kebanyakan kasus SLE merupakan sporadis tanpa faktor predisposisi genetik yang teridentifikasi, menyarankan bahwa beberapa lingkungan atau faktor-faktor lain yang mungkin bertanggung jawab. Etiologi spesifik dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun

immunokompleks, autoantibodi, faktor genetik, infeksi, lingkungan dan endokrin memiliki peranan penting.

SLE merupakan penyakit dengan kerusakan multiorgan. Deposisi kompleks imun menyebabkan vaskulitis pembuluh darah kecil, yang kemudian menyebabkan kerusakan pada ginjal, jantung, hematologi, mukokutan, dan sistem saraf pusat. Manifestasi oral dari lupus eritomatosus sulit dibedakan dengan lesi lichen planus. Namun pada LE lesi lebih sering terlihat pada daerah palatum. Biopsi mukosa pada SLE dan DLE akan menunjukkan gambaran yang tipikal yaitu hyperkeratosis dengan keratin folikuler plugging, akantosis, penebalan dari membran basalis serta degradasi lapisan basal epidermis. Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala lupus yang khas. Lupus eritomatosus bermanifestasi dan memiliki symptom pada banyak organ di dalam tubuh sehingga membutuhkan pengobatan serta perawatan secara sistemik. Pasien dengan SLE biasanya mengalami berbagai penyakit orofasial termasuk karakteristik lesi oral, ulserasi non spesifik, penyakit kelenjar ludah, dan penyakit TMJ. Terdapat penelitian yang mengatakan insidensi lesi oral sebanyak 50 %, mencakup ulserasi, cheilosis angular, mukositis, dan glositis. Lesi oral pada SLE disebabkan oleh vaskulitis dan muncul sebagai ulserasi yang jelas atau inflamasi mukosa. Autoantibodi pada pasien SLE dapat menjadi agen patogen terhadap

kerusakan jaringan.

BAB II LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN STUDI KASUS Tanggal pemeriksaan : 19 Agustus 2011 Nomor rekam medis : 00008286xx Nama pasien Nama orang tua : Ny. Y : -

Tempat tanggal lahir : 1974 Status perkawinan Jenis Kelamin Golongan Darah Pendidikan Pekerjaan Alamat Rumah : Menikah : Perempuan : : : Ibu rumah tangga : Pasar Sindanglaya Bandung

ANAMNESIS Keluhan utama : Perut membesar Anamnesa khusus : Sejak 2 bulan SMRS OS merasa perut semakin membesar, tidak nyeri, sehingga OS sulit bernafas bila tidur telentang. Bengkai tungkai (+), bengkak wajah (+), mata kuning (-). Buang air kecil dirasakan menjadi sedikit. Buag air besar sulit, terakhir satu hari yang lalu. Sesak nafas (+) dirasakan bila penderita berjalan ke kamar mandi. O(S tidur dengan 3 bantal. Batuk (-), mual (+), muntah (=) isi sisa makanan, cepat kenyang (+). Lemah badan (+), mata berkunang-kunang (-), perdarahan (-), muntah darah (-), BAB hitam (-). Riwayat keluhan serupa (+) 3 bulan yang lalu. Saat itu OS dirawat 1 minggu di ruang melati, dikatakan sakit ginjal. Setelah pulang OS tidak pernah kontrol ke poli. Saat pulang mendapat obat yang menyebabkan buang air kecil banyak. Riwayat cuci darah (-), TBC (-), berobat TB (3

). Keluahan kemerahan di wajah bila terkena matahari (-), sariawan yang tidak nyeri (-), bengkak dan kemerahan di sendi-sendi (-), rambut rontok (+).

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat keluarga serupa pada keluarga (-). OS punya 3 orang anak, tertua 17 tahun, paling kecil 6 tahun. Melahirkan dibantu peraji, riwayat keguguran (-). Menstruasi tidak teratur, OS belum menstruasi sejak 2 bulan yang lalu.

PEMERIKSAAN FISIK Tanda-tanda Vital Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Denyut nadi Pernapasan Suhu : sakit sedang : Compos Mentis : 160/100 mmHg : 112 x/menit : 28 x/menit : 37,9 C

Kepala

: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), Hipertropi gusi (-), papil lidah atrofi (-), SPO (-), PCH (-)

Leher Thorax

: JVP 5+0 cmH2O, KGB tidak teraba : bentuk dan gerak simetris, BPH (Batas Paru Hepar intercostal) space V peranjakan 2 cm,

COR

: Letus cordis tidak terlihat, teraba di intercostal space V linea midclavicula tidak kuat angkat. Batas kanan LSD, kiri LMSC, batas atas intercostal space III kiri. Bunyi jantung SI-2 normal, S3 (-), S4 (-), murmur (-)

Pulmo

: Vokal fremitus kiri kanan normal, sonor kiri kanan normal, VBS kiri kanan normal, VR kiri kanan normal, ronchi -/-, wheezing -/-, 4

Abdomen

: cembung, BU : N, lembut, NT epigastrikum (+). Hepar dan Lien tidak teraba, Ps (-), PP (-)

Ekstremitas

: Edema +/+, sianosis -/-, clubbing -/-

Ekstra Oral Bibir TMJ Kelenjar Limfe Wajah : kering pecah-pecah. :: TAK : -

Intra Oral Oral hygiene Mukosa labial Mukosa bukal Frenulum Palatum Lidah : Buruk : TAK : terdapat eritema pada mukosa bukal kanan : TAK : terdapat bercak merah pada palatum keras : depapilasi pada dorsum lateral lidah, selaput putih yang

dapat dikerok pada dorsum lidah Dasar mulut Tonsil Gingiva Gigi-geligi : TAK : T1-T1 : oedem di seluruh regio rahang atas dan bawah : 1. Decay 2. Missing 3. Filling 4. Radiks 5. Mobility : 18,16,25, 47 : 12,15,22 :: 36 :-

Gambar sudut mulut pasien

Gambar dasar mulut pasien

Gambar lidah

Gambar palatum pada pasien

Gambar gingiva pada pasien

PEMERIKSAAN PELENGKAP Rontgen Foto : Kardiomegali tanpa bendungan paru Tidak tampak TB paru USG : Nephrolithiasis dextra Curiga ascites Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan Hematologi

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

No 1.

Pemeriksaan HEMATOLOGI Fibrinogen D-Dimer Kuantitatif Darah Lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit Index eritrosit MCV MCH MCHC Hitung Jenis Leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit PT-INR Masa Prothrombin (PT) INR APTT Coombs Test

Hasil

Nilai Rujukan

355,7 3.9

200-400 <0.3

9,5 25 3,28 6.400 123.000

12-16 g/ dL 35-47 % 3.6-5.8 4.400-11.300 /mm3 150.000-450.000 /mm3 80-100 26-34 32-36

77,4 29 37,4

0 0 1 89 9 1

0-1 1-6 3-5 40-70 30-45 2-10

13,1 1,08 24,2

10,6-14,6 0,81-12 21,9-41,9

Direk/Indirek Coomb Test Direk Coomb Test Indirek 2. KIMIA KLINIK Albumin Protein total Ureum Kreatinin Natrium (Na) Kalium (K) Glukosa darah sewaktu 1,1 4,5 138 4,71 131 5,6 51 3,5-5 g/dl 6,6-8,7 g/dl 15-50 mg/dl 0,5-0,9 mg/dl 135 145 mEq/dl 3,6 5,5 mEq/dl <140 POS 1 (-) (-) (-)

No 1.

Pemeriksaan IMMUNOSEROLOGI HbsAg Kromatografi ANTI HCV

Hasil

Nilai Rujukan

Non reaktif Non reaktif

Non reaktif Non reaktif : Index <0.9 Grayzone : Index >=0.9<1.0 Reaktif : Index >=1.0

2.

URINE/FESES URINE RUTIN Makroskopis Urine Warna urine Kejernihan urine KIMIA URINE Blood urine Berat Jenis Urine pH Urine Nitrit Urine 250 1,010 7,0 (-) negatif 1,003-1,029 5-8 (-) cokelat keruh kuning jernih

Protein Urine Glukosa Urine Keton Urine Urobilinogen Urine Bilirubin Mikroskopis Urine Eritrosit Leukosit Sel Epitel Bakteri Kristal Silinder

500/+++ (-) (-) <1 (-)

(-) mg/dL (-) mg/dL (-) mg/dL < 1 mg/dL (-)

banyak 6 2 (+) (-) Granular cast (+)

< 1 / lpb < 6 /lpb / lpk

(-) / lpk (-) / lpk (-) / lpk

Esbach urin

<0,5

No

Pemeriksaan Cairan Tubuh Hitung Jernih PMN MN Warna

Hasil

Nilai Rujukan

78 22 Tidak berwarna

40-90 70-100

Kejernihan Lain-lain LDH C. Acites Glukosa C. Acites Albumin C. Acites Jumlah sel

Jernih

64 213 100 40

10

Rivalta Protein C. Acites

(-) 440

(-) <2500

DIAGNOSIS Sistemik Lupus Eritematous disertai kelainan renal, hematologi, poliserositis (acitis) CKD ec glomerulopati sekunder

DIAGNOSA INTRA ORAL 1. Ptechiae a/r palatum durum 2. Depapilasi pada lateral dorsal lidah 3. Xerostomia 4. Coated tongue pada dorsum lidah 5. Angular Cheilitis 6. Gingivitis Marginalis Kronis Generalisata

PERAWATAN Terapi Awal : Bad rest O2 2 lt/m Diet lunak 1500 kkal/hari protein 0.8gr/kgBB/hari KH Periksa PPD 5 TU. LED R/OAT 1+B6 Amlodipin 1x10 mg Calos 3x1 Bicnat 3x1 Fa 1x5 mg PO USG ginjal, VU, ureter Pungsi ascites pro diagnostik Monitor T, N, R, S, I, O Terapi yang telah dilakukan sampai tanggal 19 Agustus 2011: 11

a. Furosemide 1x60 gr iv b. Ca glukonas 4 gr dalam 5L c. Autrapid 10 V gtt/menit

PROGNOSA a. Quo ad vitam : dubia ad malam b. Quo ad functionam : dubia ad malam

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSIS 2.1 Definisi Lupus Eritematous (LE) ada dalam 3 bentuk : lupus eritematosus diskoid kronis (CDLE), yang hanya mengenai kulit; lupus eritematous sistemik (SLE), yang mengenai banyak sistem organ; dan lupus eritematosus kutan sub akut, yaitu suatu varian kutan dengan gejala-gejala sistemis ringan. Penyebab dari ketiga tipe tersebut tidak diketahui. CDLE, bentuk jinak dari penyakit tersebut adalah murni kelainan mukokutan. Dapat timbul pada setiap usia, tetapi terutama pada wanita-wanita diatas usia 40 tahun. CDLE secara klasik ditandai oleh suatu bercak seperti kupu-kupu, merah, simetris yang melintang batang hidung. Daerah-daerah wajah yang sangat fotosensitif lainnya, termasuk pipi, daerah malar, dahi, kulit kepala, dan telinga dapat juga terkena. Lesi-lesi LE bersifat kronis dengan periode kekambuhan dan remisi. Lesi yang masak menunjukan 3 daerah; suatu pusat atrofik yang dibatasi oleh daerah tengah hiperkeratotik yang dikelilingi oleh suatu eritematosus di perifernya. Seringkali ada hipopigmentasi dari lesi akibat kerusakan melanostik di pertemuan epidermal-dermal. Telangiektasia, blackhead dan sisik halus merupakan pertemuan dermal yang umum. Lesi-lesi tersebut biasanya berbatas pada bagian atas dari tubuh, terutama kepala dan leher. SLE merupakan penyakit autoimun prototipik yang dikarakterisasi oleh produksi antibodi ke komponen nukelus sel dalam hubungannya dengan deretan manifestasi klinis yang berbeda. Gambaran klinis primer pada penderita SLE adalah inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun dan vaskulopati. Etiologi pasti dari SLE belum diketahui. SLE menunjukkan agregasi familial yang kuat, 13

dengan frekuensi yang cukup lebih tinggi diantara keluarga pasien. Selebihnya, pada lingkup keluarga besar, SLE dapat muncul bersamaan dengan penyakit autoimun organ spesifik lain seperti anemia hemolisis, purpura trombositopeni imun, dan tiroiditis

2.2 Etiologi dan Patogenesis Sistemik Lupus Eritematous Etiologi spesifik dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun

immunokompleks, autoantibodi,faktor genetik, infeksi, lingkungan dan endokrin memiliki peranan penting. 2.2.1 Pengaruh Genetik Insidensi SLE pada kembar identik, meningkatnya frekuensi SLE diantara keluarga, dan meningkatnya resiko perkembangan penyakit pada saudara penderita SLE menunjukkan warisan poligen penyakit ini. Pada penderita SLE memiliki insidensi yang tinggi terhadap penyakit autoantibodi, imunodefisiensi, dan penyakit jaringan ikat. Gen yang meningkatkan risiko SLE adalah human Leukocyte antigen (HLA) DR2 dan DR3. Analisis rantai gen menemukan adanya iktan SLE dengan kromosom 1. 2.2.2 Infeksi dan Faktor Lingkungan Partikel virus seperti RNA telah dideteksi terdapat pada jaringan penderita SLE dan diperkirakan dapat mengawali terjadinya respon imun abnormal. Epstein Barr virus, cytomegalovirus, varicella zoster virus, dan retrovirus endogen/exogen dilaporkan memiliki frekuensi yang tinggi pada penderita SLE. Hubungan ini merupakan hasil dari kerentanan penderita lupus secara intrinsik terhadap infeksi ini atau individu yang terinfeksi virus lebih mudah terkena penyakit lupus.

14

2.2.3 Faktor Endokrin Komponen hormonal SLE terlihat dari insidensinya yang tinggi pada wanita terutama pada masa produktif, banyak laporan mengatakan periode remisi terjadi selama kehamilan, dan terdapat peningkatan level estrogen pada penderita SLE. 2.2.4 Kompleks Imun dan Autoantibodi Kompleks imun terdiri dari sebagian besar asam nukleat dan beberapa antibodi yang terlihat dari kerusakan jaringan yang terjadi pada penderita SLE. Kompleks ini menghentikan respon imunologis yang mengaktifkan komplemen, merangsang netrofil dan makrofag. Hal ini menyebabkan terjadinya vaskulitis, fibrosis, dan nekrosis jaringan. Pasien dengan peningkatan sirkulasi kompleks imun dapat mengalami penyakit yang lebih parah, terutama pada ginjal. Kompleks imun juga dapat memperkirakan kerusakan jaringan yang terjadi pada sistem saraf pusat, kulit, dan paru-paru. Autoantibodi pada pasien SLE dapat menjadi agen patogen terhadap kerusakan jaringan. Autoantibodi ini dapat merupakan hasil dari anemia hemolitik, trombositopenia, dan limphophenia yang telihat pada pasien SLE. Pembentukan antibodi ini diperkirakan memiliki keterkaitan dengan penurunan limfosit T supresor dan hiperaktivitas limfosit B. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kedua hal ini berperan dalam terjadinya SLE. Individu dengan faktor predisposisi genetik lebih rentan terhadap berkembangnya infeksi virus kronis yang menghasilkan antigen asam nukleat. Paparan sinar matahari atau kerusakan karena agen kimiawi juga dapat menyebabkan pelepasan antigen. Penurunan fungsi limfosit T supresor dan hiperaktivitas limfosit B menyebabkan pembentukan autoantibodi dan kompleks imun sehingga menghasilkan kerusakan jaringan yang luas.

2.3 Manifestasi Klinis

15

SLE merupakan penyakit dengan kerusakan multiorgan. Deposisi kompleks imun menyebabkan vaskulitis pembuluh darah kecil, yang kemudian menyebabkan kerusakan pada ginjal, jantung, hematologi, mukokutan, dan sistem saraf pusat.

Gambar 2.2 Manifestasi klinis pada SLE

2.3.1 Manifestasi pada ginjal Keterlibatan ginjal dengan terjadinya kerusakan glomerulus dapat dilihat pada hampir 50% dari pasien SLE. Terjadinya glomerulonefritis disebabkan oleh adanya deposisi dari komplemen dan imunocomplexes pada dasar membran dari glomerulus. Pada hampir 5-20 % pasien SLE dalam perkembangannya, dapat dilihat terjadinya penyakit ginjal yang sudah merupakan tahapan akhir sehingga membutuhkan hemodialisis atau transplanstasi ginjal. Pada sindrom nefrotik menunjukan adanya destruksi yang luas dan biasanya dapat menyebabkan pada pasien SLE.

2.3.2 Manifestasi kardiak Hal yang paling sering terjadi pada lesi kardiak untuk pasien SLE biasanya melibatkan endokardium dan dapat dideskripsikan sebagai lesi valvular verrucous. 2.3.3 Manifestasi hematologis 16

Penyakit hematologis yang paling sering terjadi pada pasien SLE antara lain adalah leukopenia, anemia, dan trombositopenia. Leukopenia (kurang dari 4000/mm3) ini sering terjadi dan biasanya timbul karena limfopenia, namun dapat juga terjadi oleh karena dilakukannya terapi imunosupresif. Anemia pada penyakit kronis muncul pada hampir semua pasien di masa periode penyakit yang masih aktif, namun dapat juga terjadi ketika dilakukan hemodialisis. Trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) terjadi oleh karena adanya peningkatan fagositosis dari autoantibodicoated platelet oleh limpa, hati, sumsum tulang dan makrofag limfa node serta dapat muncul pada hampir lebih dari 25 % penderita. 2.3.3 Manifestasi mukokutan Manifestasi pada kutan dari penyakit SLE ini antara lain photosensitive rashes, alopesia, periungual teleangiektasia, fenomena Raynauds, serta ulserasi sekunder pada kulit sehingga terjadinya vaskulitis. Malar atau butterfly rash serta discoid rush merupakan dua karakteristik rush yang paling sering terjadi pada penderita SLE. Butterfly rash ini biasanya dapat meluas oleh karena adanya sinar ultraviolet. Ruam makulopapular yang difus biasanya dapat terlihat pada daerah yang terekspos sinar matahari, juga sering terjadi pada penderita SLE.

Gambar 2.3 Butterfly rash pada wajah

17

2.3.4 Manifestasi muskuloskleletal Kelainan muskuloskeletal yang berkaitan dengan SLE yang paling sering terjadi antara lain adalah arthritis dan arthropati. Arthralgia disertai morning stiffness merupakan manifestasi awal yang paling sering terjadi pada penderita SLE. Pada lebih dari 75 % penderita SLE dapat berkembang menjadi true arthritis dimana terjadi secara simetris dan non erosif, dan biasanya terjadi pada daerah tangan, pinggang, dan lutut. 2.3.5 Manifestasi pada sistem saraf pusat Berbagai gejala dan simptom yang signifikan dari neuropsychiatric dapat ditemukan pada 10-20% penderita SLE. Keterlibatan sistem saraf pusat merupakan tanda-tanda prognosa yang buruk. 2.3.6 Manifestasi Oral Pasien dengan SLE biasanya mengalami berbagai penyakit orofasial termasuk karakteristik lesi oral, ulserasi non spesifik, penyakit kelenjar ludah, dan penyakit TMJ. Terdapat penelitian yang mengatakan insidensi lesi oral sebanyak 50 %, mencakup ulserasi, cheilosis angular, mukositis, dan glositis. Lesi oral pada SLE disebabkan oleh vaskulitis dan muncul sebagai ulserasi yang jelas atau inflamasi mukosa. Bebrapa individu dengan SLE atau Lupus Discoid mempunyai penampakan lesi berbentuk discoid. Lesi pada bibir sering mengalami atrofi sentral dan kadangkadang terdapat ulserasi dengan penampakan klinis berupa titik kecil berwarna putih dikelilingi oleh tepi berkeratin yang terdiri dari striae berwarna putih. Berbeda dengan lesi intraoral, yang memiliki epitel yang lebih tipis yaitu lesi atrofi sentral berwarna merah yang dikelilingi oleh 2-4 mm zona keratotik yang terlihat sebagai garis putih. Lesi oral pada SLE sering kali membingungkan bila dibandingkan lesi pada lichen planus.

18

Gambar 2.2 lesi palatum kronis

Gambar 2.3 lesi kronis pada dorsal lidah

Menifestasi oral lain dari SLE adalah xerostomia yang bisa berkembang menjadi sjogrens syndrome. Xerostomia dapat meningkatkan terjadinya karies gigi dan candidiasis, terutama pada pasien yang diawat dengan steroid atau obat-obatan imunosupresif lainnya. Keterlibatan TMJ dapat terjadi pada pasien SLE dan menyebabkan rasa sakit dan disfungsi pengunyahan secara mekanis. 2.4 Diagnosis Manifestasi oral dari lupus eritomatosus sulit dibedakan dengan lesi lichen planus. Namun pada LE lesi lebih sering terlihat pada daerah palatum. Biopsi mukosa pada SLE dan DLE akan menunjukkan gambaran yang tipikal yaitu hyperkeratosis dengan keratin folikuler plugging, akantosis, penebalan dari membrane basalis serta degradasi lapisan basal epidermis.

19

Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala lupus yang khas, yaitu : 1. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung) 2. Ruam pada kulit 3. Luka pada mulut (biasanya tidak menimbulkan nyeri) 4. Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya 5. Arthritis (artritis non-erosif yang melibatkan 2 atau beberapa sendi perifer, dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan) 6. Kelainan fungsi ginjal a. kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++ b. adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal 7. Fotosensitivitas (peka terhadap sinar matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit) 8. Kelainan fungsi saraf atau otak (kejang atau psikosa) 9. Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibodi antinuklear 10. Kelainan imunologis (hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda, tes antiSm, tes antibodi antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes sifilis) 11. Kelainan darah a. Anemia hemolitik atau b. Leukopenia (jumlah leukosit <4000 sel/mm) atau c. Limfopenia (jumlah limfosit < 1500 sel/mm) atau d. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm).

Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: 1. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. 2. Ruam kulit atau lesi yang khas 20

3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis 4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung 5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein 6. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah 7. Biopsi ginjal 8. Pemeriksaan saraf

2.5

Penanganan Lupus eritomatosus bermanifestasi dan memiliki symptom pada banyak organ di dalam tubuh sehingga membutuhkan pengobatan serta perawatan secara sistemik. Pilihan pertama obat yang digunakan adalah obat antimalaria hydroxichloroquin, terutama pada pasien dengan poliarthralgia dan dengan manifestasi pada kulit. Pengobatan juga dapat dikombinasikan dengan topical atau sistemik kortikosteroid. Sistemik kortikosteroid biasanya diberikan pada kasus LE yang lebih berat. Kadang-kadang methotrexate atau azathioprin juga diberikan sebagai penyeimbang dari steroid. Thalidomide memiliki efek yang baik untuk Discoid lupus eritomatosus , namun seringkali dihindari oleh karena efek teratogen serta neuropati yang dapat terjadi.

2.6

Manajemen Dental Manifestasi oral pada SLE tidak selalu hilang dengan diobati secara sistemik. Namun biasanya perlu diberi tambahan topical treatment. Oleh karena lesi oral yang disebabkan oleh LE terinfeksi oleh Candida, maka obat-obatan anti jamur juga perlu diberikan. Pengobatan ini juga perlu diberikan oleh karena dalam pengobatan secara sistemik diberikan obat imunosupresif. Setelah diberikan obat anti jamur setelah beberapa hari, harus dilanjutkan dengan pemberian obat topical. 21

Oleh karena penyakit SLE ini merupakan penyakit yang dapat melibatkan banyak sistem organ, maka manajemen dental pada penderita SLE membutuhkan pemahaman yang baik mengenai obat-obatan yang digunakan secara umum.

Lesi Bercak Putih oleh Candidiasis (Jamur) Lesi Candida dan Monilia predileksinya pada penderita anemia aplastik dan penderita yang dirawat dengan antibiotik dan kortikosteroid dalam waktu yang lama dan berspektrum luas. Penyakit yang disebabkan oleh candida dan monilia antara lain: a. Acute Pseudomembranous Candidiasis (Oral Thrush) b. Acute Atropic Candidiasis (Antibiotic Sore Mouth) c. Chronic Atropic Candidiasis (Denture Sore Mouth disertai Angular Cheilitis) d. Median Rhomboid Glossitis e. Oral Candidiasis yang berhubungan dengan lesi intra oral

A. Acute Pseudomembranous Candidiasis (Oral Thrush) Kandidiasis pseudomembranosa akut adalah suatu infeksi opportunistik yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari jamur Candida albicans superfisial. Tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti beludru yang dapat dihapus, mudah dikerok dan meninggalkan permukaan merah, kasar, atau berdarah/ ulserasi dangkal. Lokasi utama yaitu pada posterior lidah.

22

Gambar : Acute Pseudomembranous Candidiasis pada pasien yang memakai obat isap steroid

Bayi yang ibunya menderita thrush vagina pada saat melahirkan dan orang dewasa yang mengalami gangguan mikroflora normal dalam mulut akibat antibiotik, steroid, atau perubahan sistemik seperti diabetes, hipoparatiroidisme,

immunodefisiensi, atau kemoterapi, seringkali terserang penyakit ini. Pada orang dewasa sering disertai peradangan, eritema, erosi. Lesi berkaitan dengan oral higiene yang buruk khususnya pada pemakai protesa, pasien yang mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas maupun kortikosteroid, paparan radiasi, usia, penyakit diabetes melitus, displasia epitel mulut, dan defisiensi imun. Kandidiasis pseudomembranosa akut biasanya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Secara klinis, plak-plak putih tersebut tampak dalam kelompok-kelompok yang mempunyai tepi eritematosus. Gejala prodormal berupa rasa tidak enak pada mulut, tidak dapat membedakan rasa, dan rasa terbakar pada mulut. Pola yang khas dijumpai pada pasien asma yang memakai alat hisap steroid, terlihat bercak melingkar atau oval yang kemerah-merahan putih, di daerah berkontaknya aerosol dengan palatum. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan mikroskopik langsung dari kerokan jaringan. Usap sitologik dengan pewarnaan pottassium hidroksida (KOH), Gram, atau periodic acid-Schiff (PAS) akan menunjukkan organisme yang sedang berbenih dengan pseudohife yang bercabang-cabang. Diagnosis banding meliputi flek dari susu, food debris atau antasid yang menempel pada mukosa mulut khususnya pada bayi yang masih menyusui, atau pada pasien lanjut usia dengan kondisi tubuh yang lemah akibat penyakit. Pemakaian topikal dari obat-obat anti jamur selama 2 minggu biasanya memberi kesembuhan.

23

B. Acute Atropic Candidiasis (Antibiotic Sore Mouth) Etiologi kandidiasis atrofik akut adalah penggunaan antibiotik spektrum luas, terutama tetrasiklin. Infeksi jamur ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan dalam ekosistem oral antara Lactobacillus acidophilus dan Candida albicans. Antibiotik yang diterima oleh pasien mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan organisme kandida tumbuh subur. Infeksi tersebut membuat daerah-daerah mukosa permukaan mengelupas dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang tidak menimbul dari mukosa mulut yang kasar, atrofik, sakit. Sakit seperti terbakar adalah keluhan utama yang paling sering. Selain itu keluhan lainnya seperti rasa tidak enak atau sakit tenggorokan setelah perawatan dengan antibiotik spektrum luas.

Gambar : Acute Atropic Candidiasis yang terbatas pada daerah bukan tumpuan gigi tiruan, akibat dari menyedot steroid

Distribusi dari bercak-bercak kandidiasis atrofik akut sering kali menunjukkan penyebabnya. Lesi yang mengenai mukosa pipi, bibir, dan orofaring seringkali menunjukkan adanya pemakaian antibiotik secara sistemik, sedangkan merahnya lidah dan palatum lebih umum setelah penggunaan antibiotik isap. Jika mengenai lidah, maka permukaan yang tanpa papila-papila filiformis adalah umum ditemukan. Jarang suatu kandidiasis mengenai gusi cekat. Jika ini merupakan temuan klinis, maka supresi imun yang parah adalah kemungkinan yang paling besar. Diagnosis infeksi kandida harus dipastikan dengan adanya organisme-organisme sedang berkambang atau bentuk-bentuk hifa pada pewarnaan usap sitologik. Perawatannya dengan obat-obat anti jamur. 24

C. Chronic Atropic Candidiasis (Denture Sore Mouth disertai Angular Cheilitis) Kandidiasis atrofik kronis adalah bentuk paling umum dari kandidiasis kronis. Terdapat pada 15% sampai 65% pemakaian gigi tiruan lengkap dan sebagian, terutama wanita-wanita tua yang memakai gigi tiruannya di waktu tidur, kadangkadang juga dapat terjadi pada pasien-pasien yang mesih bergigi. Tetapi mandibula jarang terkena. Kandidiasis atrofik kronis disebabkan oleh organisme kandida yang ada di bawah dasar gigi tiruan. Ada 3 tahap perubahan mukosa. Lesi yang paling dini adalah daerah-daerah hiperemia sebesar ujung jarum, berwarna merah, dan terbatas dimuara kelenjar-kelenjar liur minor palatal. Selanjutnya akan menjadi eritema difus pada palatum keras yang kadang-kadang disertai dengan pengelupasan epitel. Tahap ketiga adalah hiperplasia papiler. Dapat menyeluruh atau terbatas pada daerah-daerah relief. Jarang tampak tahap keempat yaitu pembesaran papil-papil palatum untuk membentuk nodul-nodul merah pada atap palatum.

Gambar : Infeksi kandida pada palatum akibat prothesa yang tidak pas

Terapi yang efektif memerlukan perawatan anti jamur untuk mukosa dan dasar gigi tiruan berupa suspensi mukostatin dan obat kumur klorheksidin 2%. Peranan trauma, seperti goyangnya gigi tiruan, dapat membuat keadaan tersebut terus

25

berlanjut. Sehingga terapi lainnya yang tidak kalah penting yaitu dengan menghentikan pemakaian gigi tiruan. Angular cheilitis adalah suatu keadaan sakit kronis yang mengenai sudutsudut bibir dan disebabkan oleh Candida albicans. Etiologinya dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin, OH buruk, hipersalivasi, infeksi kandida dan enclosure dari protesa. Secara klinis, keilitis angularis tampak merah dan pecah-pecah, dengan tepi lesi yang kurang merah daripada daerah tengahnya. Keropeng dan nodul-nodul granulomatosa kecoklat-coklatan dapat menyertainya. Rasa sakit dan gejala panas terbakar biasanya terjadi pada periode eksaserbasi, akan tetapi daerah yang kasar dan merah akan menetap selama beberapa tahun, selama gigi tiruannya dipakai. Ketidaknyamanan waktu membuka mulut dapat membatasi fungsi mulut yang normal.

E. Median Rhomboid Glossitis (Atrofi Papila Sentral dari Lidah) Median Rhomboid Glossitis diperkirakan merupakan cacat pertumbuhan dari turunnya tuberkulum impar yang tidak tuntas. Sekarang teori ini tidak dipercayai lagi; sekarang dipercayai bahwa Median Rhomboid Glossitis adalah suatu akibat akhir yang tetap dari infeksi Candida albicans dalam kaitan dengan faktor-faktor lain (mungkin merokok atau perubahan dalam pH mulut). Sering mengenai pria dewasa usia pertengahan dan jarang mengenai anak-anak. Orang kulit hitam dan putih, keduanya dapat terkena. Pasien diabetik, supresi imun dan pasien yang baru saja selesai mendapat antibiotik spektrum luas mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dari keadaan ini. Median Rhomboid Glossitis adalah bercak licin, gundul, merah seperti daging tanpa papila-papila filiformis. Lama-kelamaan lesi tersebut menjadi bergranula, bulat menonjol dan keras. Lokasi yang paling umum adalah garis tengah dorsum lidah, tepat di anterior papila-papila sirkumvalata. Ukuran dan bentuk lasi bervariasi, tetapi seringkali tampak sebagai suatu oval atau belah ketupat, 1 sampai 2,5 cm, berbatas jelas dengan tepi-tepi tidak teratur, tetapi bulat. Keadaan tersebut umumnya tanpa 26

gejala. Kadang-kadang lesi kandidal eritematosa palatum dijumpai langsung diatas lesi lidah tersebut.

Gambar 11 : Median rhomboid glossitis pada midline lidah

Median Rhomboid Glossitis mudah dikenal melalui gambaran klinisnya, lokasi khasnya dan sifat tanpa gejalanya. Pengenalan dan perawatan dini dengan obat-obat anti monilia dapat menghilangkannya. Median rhomboid glossitis tahap akhir biasanya tanpa gejala, tetapi sulit sembuh dengan perawatan anti jamur. Kadang-kadang ada kemungkinan perubahan anaplastik.

B. ANEMIA APLASTIK 2.1 Definisi Anemia aplastik Teriadi karena ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah merah / penurunan produksi (patofisiologi). Secara histology memperlihatkan gambaran normositik normokhromik oleh karena gangguan sum2 tulang.

2.2 Etiologi Penyebabnya bisa kongenital (jarang), idiopatik (kemungkinan autoimun), LES, kemoterapi, radioterapi, toksin, pasca hepatitis, kehamilan dan hemoglobulinuria paroksimal nokturnal.

27

2.3 Gejala Klinis Pigmentasi coklat pada kulit dan mukosa, Hipoplasia ginjal dan limfe, mikrosefali, dan retardasi mental dan seksual.

2.4 Manifestasi Klinis Pasien tamapak pucat, lemah, mungkin timbul demam. purpura dan perdrahan.

2.4 Manifestasi Oral Gingivitis, faringitis, dan stomatitis

2.6 Penatalaksanaan Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya, antara lain : 1. Transfusi darah 2. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. 3. Kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat. 4. Androgen seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon dan ondrolon. 5. Imunosupresif seperti siklosporin, globulin anti limosit. 6. Transplantasi sumsum tulang dan splenektomi

TERAPI DENTAL PENDERITA KELAINAN DARAH  Harus tahu tanda dan simptom masing-masing kelainan  Tanda dan simptom sudah jelas  Tanda dan simptom kurang jelas konsul periksa laboratorium

 Pasien anemia mungkin menderita juga penyakit serius lainnya  Pasien leukemia yang tidak terdeteksi masalah perdarahan yang serius 28

2.6 Pertimbangan dlm perawatan oral : ~ Infeksi & perdarahan ~ Infeksi lokal & bakteriemi yg berasal dr mulut dpt berakibat fatal ~ Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh dr gigi, periodontium, jar lunak & kel ludah ~ Perdarahan gingiva antifibrinolitik sistemik spt as aminokaproat atau as

tranexamik & hemostatik lokal ~ Dosis as tranexamik : 20 g/kg BB 4 x sehari dimulai 24 jam sebelum prosedur oral & dilanjutkan 3-4 hr setelahnya ~ Kumur2 dgn chlorhexidine 0,2 % 2 x sehari ~ Injeksi intra muskular & anestesi blok hrs dihindarkan ligament injeksi intra

29

BAB III PEMBAHASAN

Penyebab SLE dipengaruhi oleh immunokompleks, autoantibodi, faktor genetik, infeksi, lingkungan dan endokrin. Pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit SLE, sehingga etiologi terjadinya SLE mungkin dipengaruhi oleh immunokompleks dan endokrin karena pasien berada pada usia produktif yaitu 37 tahun dimana SLE seringkali terjadi pada usia 20-40 tahun. Kompleks imun terdiri dari sebagian besar asam nukleat dan beberapa antibodi yang terlihat dari kerusakan jaringan yang terjadi pada penderita SLE. Kompleks ini menghentikan respon imunologis yang mengaktifkan komplemen, merangsang netrofil dan makrofag. Hal ini menyebabkan terjadinya vaskulitis, fibrosis, dan nekrosis jaringan. Autoantibodi pada pasien SLE dapat menjadi agen patogen terhadap kerusakan jaringan. Pembentukan antibodi ini diperkirakan memiliki keterkaitan dengan penurunan limfosit T supresor dan hiperaktivitas limfosit B. Komponen hormonal SLE terlihat dari insidensinya yang tinggi pada wanita terutama pada masa produktif, banyak laporan mengatakan periode remisi terjadi selama kehamilan, dan terdapat peningkatan level estrogen pada penderita SLE. SLE merupakan penyakit dengan kerusakan multiorgan. Deposisi kompleks imun menyebabkan vaskulitis pembuluh darah kecil, yang kemudian menyebabkan kerusakan pada ginjal, jantung, hematologi, mukokutan, dan sistem saraf pusat. Penyakit hematologis yang paling sering terjadi pada pasien SLE antara lain adalah leukopenia, anemia, dan trombositopenia. Leukopenia (kurang dari 4000/mm3) ini sering terjadi dan biasanya timbul karena limfopenia, namun dapat juga terjadi oleh karena dilakukannya terapi imunosupresif. Anemia aplastik terjadi karena ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah merah / penurunan produksi (patifisiologi). 30

Penyebabnya bisa kongenital (jarang), idiopatik (kemungkinan autoimun), LES, kemoterapi, radioterapi, toksin, pasca hepatitis, kehamilan dan

hemoglobulinuria paroksimal nokturnal. Pasien tamapak pucat, lemah, mungkin timbul demam. purpura dan perdrahan. Pada kasus ini, anemia aplastik terjadi karena terapi imunosupresif yang diterima oleh pasien karena menderita SLE dan karena deposisi imun yang dapat menyebabkan kerusakan multiorgan dalam hal ini adalah sistem peredaran darah yaitu anemia aplastik dan kelainan saraf. Ini terbukti dengan terdapat nilai hematokrit dan hemoglobin, seluruh sel-sel darah yang menurun (pansitopenia). Hal ini dapat terjadi karena imunopatologis pada SLE bermanifestasi pada darah. Selain mengenai system peredaran darah, SLE pada pasien ini juga sudah mengenai system saraf. Berbagai gejala dan simptom yang signifikan dari neuropsychiatric dapat ditemukan pada 10-20% penderita SLE. Keterlibatan sistem saraf pusat merupakan tanda-tanda prognosa yang buruk. Pada pasien ini tidak diketemukan riwayat gangguan pada sistem saraf. Pasien dengan SLE biasanya mengalami berbagai penyakit orofasial termasuk karakteristik lesi oral, ulserasi non spesifik, penyakit kelenjar ludah, dan penyakit TMJ. Terdapat penelitian yang mengatakan insidensi lesi oral sebanyak 50 %, mencakup ulserasi, cheilosis angular, mukositis, dan glositis Gambaran klinis primer pada penderita SLE adalah inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun dan vaskulopati. Lesi yang masak menunjukan 3 daerah; suatu pusat atrofik yang dibatasi oleh daerah tengah hiperkeratotik yang dikelilingi oleh suatu eritematosus di perifernya. Seringkali ada hipopigmentasi dari lesi akibat kerusakan melanostik di pertemuan epidermal-dermal. Telangiektasia, blackhead dan sisik halus merupakan pertemuan dermal yang umum. Manifestasi oral dari SLE adalah lesi yang terdapat pada mukosa oral dengan bagian sentral berwarna kemerahan dikelilingi dengan pinggiran berwarna putih menonjol. Bagian pinggirannya memiliki penampilan yang khas yang menyerupai paint-brush line. Lesi ini paling sering dijumpai pada bagian palatum, bagian 31

bukal, serta mukosa vestibulum. Pada pasien ditemukan lesi kemerahan di bagian palatum sebagai manifestasi oral dari penyakit SLE, meskipun tidak terlalu jelas. Manifestasi lain dari SLE adalah xerostomia yang biasa berkembang menjadi sjogrens syndrome. Xerostomia dapat meningkatkan terjadinya karies gigi dan candidiasis, terutama pada pasien yang diawat dengan steroid atau obat-obatan imunosupresif lainnya. Lesi Candida dan Monilia predileksinya pada penderita anemia aplastik dan penderita yang dirawat dengan antibiotik dan kortikosteroid dalam waktu yang lama dan berspektrum luas. Pada penyakit autoimun, sistem imun merusak sel jaringan dan tubuh, limfosit migrasi ke kelenjar lakrimal dan glandula salivarius menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan., sehingga fungsi kelenjar ludah menjadi terganggu. Bibir pasien terlihat kering dan pecah-pecah, memperlihatkan tanda-tanda xerostomia. Pada pasien ini, xerostomia terjadi akibat dari obat-obatan imunosupresif dan steroid yang dikonsumsi pasien untuk mengobati penyakit SLE dan anemia aplastik. Xerostomia ini dapat meningkatkan terjadinya candidiasis karena jumlah saliva yang menurun. Candidiasis juga terjadi karena daya tahan tubuh pasien rendah sehingga lebih mudah terinfeksi. Ini relevan dengan, pernyataan bahwa candidiasis sering terjadi pada penderita SLE dan Anemia aplstik. Pada pasien ini terdapat coated tongue pada dorsal lidah. Coated tongue (lidah berselaput) atau yang disebut juga furred tongue merupakan suatu kelainan pada lidah, dimana pada keadaan ini lidah dilapisi oleh selaput atau pseudomebran. Coated tongue terjadi sebagai akibat keratin yang gagal terdeskuamasi akan digantikan dengan keratin yang baru. Hal ini akan mengakibatkan papilla filiformis mengalami hipertrofi dan elongasi sehingga lidah tampak berselaput atau berambut. Papilla filiformis tersebut akan menahan debris serta pigmen-pigmen dari bahanbahan seperti makanan, tembakau dari rokok, dan permen. Coated tongue seringkali disertai dengan terjadinya pigmentasi lidah berupa pewarnaan hitam atau kecoklatan. Etiologi coated tongue bersifat idiopatik, dengan faktor predisposisi adanya lidah yang kurang bergerak, cairan saliva kurang, individu yang memakan makanan lebih 32

lembut dan kurang abrasif seperti pada pemakai gigi tiruan, penggunaan obat-obatan antibiotik dan agen-agen pengoksida yang terdapat pada obat kumur, pasien yang mengalami dehidrasi, oral hygiene buruk, demam, lemah akibat penyakit sistemik, dan sakit parah juga sering mengalami kondisi ini. Pada anemia aplastik, gambaran klinis kondisi mukosa yaitu dengan adanya glositis, apthae rekuren, infeksi kandida, angular stomatitis dan pigmentasi berwarna kecoklatan pada mukosa. Glositis merupakan gejala yang paling pertama muncul bila terjadi defisiensi vitamin B12 dan folat. Lidah berwarna kemerahan, permukaannya licin dan papila mengalami atrofi. Angular stomatitis biasanya disebabkan oleh infeksi kandidia dan berhubungan dengan defisiensi zat besi. Pada pasien ini di temukan pigmentasi berwarna coklat pada fasial gingiva, glositis. Pigmentasi ini terjadi karena terjadi pansitopenia yaitu penurunan sel-sel darah. Glositis pada lidah terjadi karena atrofi papila lidah karena punurunan eritrosit yang menyebabkan menurunnya Hb sehingga oksigen yang diikat sedikit sehingga terjadi kekurangan nutrisi yang mengakibatkan atrofi papila.
Walapun terdapat berbagai manifestasi oral seperti Oedem pada seluruh regio rahang atas dan bawah, depapilasi pada lateral dorsal lidah, Xerostomia, coated tongue pada dorsum lidah, Ptechiae pada palatum, serta angular cheilitis pada sudut bibir namun penanganan terhadap manifestasi tersebut tidak dilakukan.

33

BAB IV KESIMPULAN

Lupus Eritematous (LE) merupakan penyakit autoimun prototipik yang dikarakterisasi oleh produksi antibodi ke komponen nukleus sel dalam hubungannya dengan deretan manifestasi klinis yang berbeda. Penyebab dari SLE tidak diketahui. Etiologi spesifik dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun immunokompleks, autoantibodi,faktor genetik, infeksi lingkungan dan endokrin memiliki peranan penting. Anemia aplastik terjadi karena ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah merah / penurunan produksi (patifisiologi). Penyebabnya bisa kongenital (jarang), idiopatik (kemungkinan autoimun), LES, radioterapi, toksin, pasca hepatitis, nokturnal. Gambaran klinis primer pada penderita SLE adalah inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun dan vaskulopati. Pada pasien anemia aplastik tamapak kemoterapi,

kehamilan dan hemoglobulinuria paroksimal

pucat, lemah, mungkin timbul demam, purpura dan perdrahan. Pada pasien ini, faktor lingkungan seperti stres dan hormonal menjadi faktor pemicu terjadinya SLE dan SLE menjadi faktor pemicu terjadinya Anemia aplastik. Jadi SLE yang di alami pasien ini sudah menyertakan kelainan hematologi yaitu anemia aplastik.

34

DAFTAR PUSTAKA

Burket LW. Oral Medicine : Diagnosis and Treatment, JB. Lippincott Co., Philadelphia 1971: 462-71 Langlais, R.P. and C.S. Miller. 1998. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Diterjemahkan oleh L. Juwono. Jakarta : Hipokrates. Laskaris, George. 2006. Pocket Atlas of Oral Disease 2nd ed. Thieme : New York

http://en.wikipedia.org/wiki/Systemic_lupus_erythematosus

http://www.merck.com/mmhe/sec05/ch068/ch068b.html

http://www.nlm.nih.gov/MEDLINEPLUS/ency/article/000435.htm

35

You might also like