You are on page 1of 8

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI BALI

Made Antara Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Jalan P.B. Sudirman, Denpasar, 80232. (Bali) ABSTRACT Balis economic development was focused on agriculture, tourism and industry as first priority. This policy has been the Balis economy different with the other province economy, even with national economy, it is growth high relative before crisis. Disparity analysis of income distribution was based on the Bali 1996 Social Accounting Matrix (SAM), constructed by 55 accounts. It is assumed that this 1996 SAM could represent the present situation of Balis economy. The analysis of factors shares indicated that contribution of capital factor more than labor factor, this mean that production process in Bali economy was capital intensive. The distribution of institutions income, particularly interhousehold groups, is relatively light inequality; which was true for distribution of income across districts. Key word: Disparity, Social Accounting Matrices (SAM), Distribution of Income. PENDAHULUAN Pembangunan di Propinsi Bali diarahkan pada bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian dalam arti luas, pengembangan sektor pariwisata dengan karakter kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, serta sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian dan pariwisata (Anonim, 1989). Kebijakan prioritas tiga sektor ini menurut Nurkse, 1953 (lihat Yotopoulus dan Nugent, 1976) dapat digolongkan ke dalam model pertumbuhan seimbang, yakni ada keterkaitan penawaran dan permintaan antara satu seklor dengan sektor lainnya, atau pengembangan sektor-sektor itu dapat menciptakan permintaan mereka sendiri. Pertumbuhan dan distribusi atau pemerataan dalam suatu pembangunan ekonomi bagaikan dua muka dari satu keping mata uang, di mana muka yang satu tidak dapat dipisahkan dengan muka lainnya. Artinya, kalau membicarakan pertumbuhan ekonomi, maka dalam waktu bersamaan harus pula membicarakan pemerataan. Pada kabinet persatuan nasional ini, dimensi pemerataan atau distribusi dalam pembangunan ekonomi tampak kembali memperoleh perhatian, setelah sempat terlantar karena terpaku mengutamakan dimensi pertumbuhan selama rezim Orde Baru. Para teknokrat dan arsitek pembangunan ekonomi rezim Orde Baru terlalu yakin bahwa pemerataan secara otomatis akan tercapai melalui pertumbuhan sekelompok pengusaha besar (konglomerat). Krisis moneter yang memicu krisis ekonomi telah menyadarkan kita bahwa mengandalkan tercapainya pemerataan dari sekelompok konglomerat adalah sangat naif. Buktinya, begitu badai moneter mengguncang perekonomian Indonesia, penduduk miskin bertambah banyak, pendapatan masyarakat merosot dan kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar.

-------------------------------------------------------------------------------------------------Tulisan ini sebagian kecil data Disertasi penulis yang berjudul Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan Terhadap Kinerja Perekonomian Bali: Pendekatan Social Accounting Matrix, yang dipertahankan dihadapan Senat Guru Besar IPB, Bogor, 22 Februari 1999.

Namun, perekonomian Bali yang bertumpu pada kekuatan usaha-usaha kecil yang bergerak pada tiga sektor utama yaitu, pertanian dalam arti luas, industri kecil/kerajinan rumahtangga dan jasa-jasa pariwisata, sebelum krisis ekonomi mencapai pertumbuhan yang relatif tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada pertumbuhan perekonomian nasional. Apakah pertumbuhan yang tinggi diikuti oleh distribusi pendapatan yang merata ?. Pertanyaan inilah yang ingin dicari jawabannya oleh kajian ini. METODOLOGI Lokasi Penelitian Kajian mengambil wilayah di propinsi Bali yang didasarkan atas pertimbangan bahwa perekonomian Bali memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dibandingkan propinsi lainnya, Di samping itu, pertumbuhan ekonomi Bali yang relatif tinggi sebelum krisis ekonomi, apakah juga disertai dengan pemerataan hasilhasilnya. Oleh karenanya, Bali pantas dan menarik menjadi sebuah objek kajian ekonomi makro regional. Sumber Data Sumber data menggunakan Tabel Social Accounting Matrix Bali 1996, yang penulis susun, berukuran matrix 55x55. Untuk keperluan kajian ini hanya diambil sebagian kecil dari data tersebut, khususnya neraca faktor produksi dan neraca institusi rumahtangga. Analisis Data Analisis kontribusi faktor (factor share) digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan faktorial (antar faktor produksi). Dalam proses produksi suatu sektor atau industri, diasumsikan hanya menggunakan dua faktor produksi yaitu, modal (capital, K) dan tenagakerja (Labor, L) untuk menghasilkan produk (Q), maka analisis distribusi faktorial atau kontribusi faktor dapat dilakukan. Bila diformulasikan mengikuti model fungsi produksi Cobb Douglas, C-D (lihat Beattie and Taylor, 1985; Debertin, 1986) sebagai berikut: Q = AK L , di mana + = 1 Manipulasi matematik dari fungsi produksi C-D di atas, menghasilkan dua persamaan produk marjinal modal ( Q/ K) dan produk marjinal tenagakerja ( Q/ L), AK L ---------- = K AK L ---------- = Q ----K Q -----

Q/ K =

AK

-1

L =

Q/ L =

AK L

-1

Eulers Theorem mengatakan, dalam sebuah fungsi produksi berderajat satu (K=1), maka output akan dihabiskan untuk membayar faktor-faktor sesuai dengan produk marjinalnya. Bila menggunakan dua faktor K dan L, maka PQ = rK + wL. Dari persamaan ini dapat diturunkan produk marjinal modal dan tenagakerja masingmasing, Q/ K = r/P dan Q/ L = w/P. Persamaan ini juga berarti bahwa dalam pasar bersaing sempurna, produsen akan beroperasi sampai titik di mana produk marjinal masing-masing faktor sama dengan rasio harga faktor dan produk. Dengan mensubstitusikan masing-masing produk marjinal ini ke dalam persamaan produk marjinal yang berhubungan sebelumnya diperoleh: Q r ----- = ------ K P Q w ----- = ------ L P rK = -----PQ wL = -----PQ

di mana: Q = produk, K = modal, L = tenagakerja, dan P = harga produk, r dan w masing-masing harga modal dan tenagakerja, dan masing-masing dugaan parameter (elastisitas) faktor modal dan tenagakerja. Dalam format PDRB, rK = nilai tambah modal (surplus usaha dan penyusutan), wL = nilai tambah tenagakerja (upah dan gaji), dan PQ = Y = pendapatan (nilai tambah) sektor-sektor ekonomi. Dari persamaan terakhir dapat didefinisikan bahwa elastisitas faktor produksi dari fungsi C-D merupakan kontribusi faktor (factor share) terhadap produksi. Atau secara matematis, kontribusi faktor modal, = rK/PQ; kontribusi faktor tenagakerja, = wL/PQ, dan kontribusi relatif (AFRlk) = wL/rK (lihat Srivastava dan Heady, 1973: dan Nadiri, 1970). Namun perlu diingat bahwa kondisi ini hanya terpenuhi apabila produsen berhasil mengalokasikan faktor produksi secara optimal, sebagai respon produsen terhadap faktor-faktor eksternal harga faktor dan produk. Elastisitas faktor dapat berubah bilamana terjadi perubahan-perubahan penggunaan faktor produksi, produk marjinal, dan produktivitas, atau ketiga-tiganya berubah. Analisis untuk distribusi pendapatan institusional (antar kelompok masyarakat) menggunakan rasio gini (Gini Ratio, GR), sedangkan untuk distribusi pendapatan regional (antar kabupaten) menggunakan rasio pemerataan Bank Dunia. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Distribusi Pendapatan Faktorial Hasil perhitungan distribusi pendapatan faktorial dengan analisis kontribusi faktor (factor share) yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa elastisitas faktor modal ( ) sebesar 0,65 adalah lebih besar dari pada elastisitas faktor tenagakerja ( ) sebesar 0,35. Ini berarti bahwa secara umum proses produksi dalam perekonomian Bali bersifat padat modal (capital intensive). Oleh karena itu, jika

penggunaan modal dalam proses produksi ditingkatkan 100 persen, maka perekonomian Bali mampu meningkatkan nilai tambah sebesar 65 persen. Namun bila penggunaan tenagakerja ditingkatkan 100 persen, maka perekonomian Bali hanya mampu meningkatkan nilai tambah sebesar 35 persen.

Tabel 1. Distribusi Pendapatan Faktorial di Bali, 1996 Sektor Padi Jagung Tan. Umbi-Umbian Sayur-Sayuran Buah-Buahan Kacang Tanah Kacang Kedele Tan. Pangan lainnya Total Tan. Pangan Kelapa Tembakau Kopi Tan. Perkeb. Lainnya Total Tan. Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian Pertambgn. & Penggln. Mak., Min., dan Temb. Tekstil dan Kulit Industri Kayu Industri Kertas Industri Kimia Industri Barang Logam Listrik, Gas dan Air Bangunan dan Konstruksi Perd., Hotel dan Postel. Keuangan & Perbankan Perse.Bangn./Pem./Jasa Bukan Pertanian Total (Perekonomian Bali) Rk (Rp juta) 331029 55946 38682 231012 222541 31578 40330 2908 954026 17651 26201 22164 33934 99970 376878 158 123406 1554438 38378 102011 116901 117805 7393 32820 14923 48018 193112 1448673 757074 285556 681536 3897867 5452305 wL (Rp juta) 26737 1687 3849 38682 13778 2105 5876 409 93123 2906 9687 1669 4858 19120 82590 55 73057 267945 31587 43935 67863 54572 3078 26569 7589 24591 209954 844434 291294 32664 921076 2559206 2827151 PQ (Rp juta) 357766 57633 42531 269694 236319 33683 46206 3317 1047149 20557 35888 23853 38792 119090 459468 213 196463 1822383 69965 145946 184764 172377 10471 59389 22512 72609 403066 2293107 1048368 318220 1602612 6457073 8279456

0,92 0,97 0,90 0,85 0,94 0,93 0,87 0,87 0,91 0,85 0,73 0,93 0,87 0,83 0,82 0,74 0,62 0,85 0,54 0,69 0,63 0,68 0,70 0,55 0,66 0,66 0,47 0,63 0,72 0,89 0,42 0,60 0,65

0,08 0,03 0,10 0,15 0,08 0,07 0,13 0,13 0,09 0,15 0,27 0,07 0,13 0,17 0,18 0,26 0,38 0,15 0,46 0,31 0,37 0,32 0,30 0,45 0,34 0,34 0,53 0,37 0,28 0,11 0,58 0,40 0,35

Catatan: Diolah dari Tabel Social Accounting Matrix (SAM) Bali 1996. = elastisitas faktor modal = kontribusi modal = elastisitas faktor tenagakerja = kontribusi tenagakerja

Implikasi temuan ini yakni bila ingin meningkatkan nilai tambah pendapatan regional Bali lebih tinggi, maka diperlukan investasi padat modal. Temuan ini tampaknya berhubungan dengan arus kemajuan teknologi mekanisasi, elektrifikasi, dan transportasi, serta meningkatnya pengetahuan, keterampilan dan sikap angkatan kerja. Angkatan kerja yang semakin terdidik dan terampil, cenderung semakin menjauhi jenis pekerjaan yang mengandalkan tenagakerja fisik (otot). Distribusi Pendapatan Institusional Distribusi pendapatan institusional (antar kelompok masyarakat) merupakan suatu keadaan yang menunjukkan bagaimana total pendapatan masyarakat terbagi di antara satu-satuan masyarakat, baik satuan individu, satuan rumahtangga, atau golongan-golongan penduduk tertentu. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Rasio Gini (Gini Ratio, GR) terhadap pendapatan total golongan-golongan rumahtangga pada Tabel SAM Bali 1996, diperoleh GR sebesar 0,36 (Tabel 2). Jika dihubungkan dengan kriteria ketimpangan rasio gini, maka distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga di Bali tahun 1996 berada pada ketimpangan relatif ringan. Hasil ini tampaknya logis, karena pendapatan tertinggi sebesar 28,60 persen diterima oleh penduduk terbanyak sebesar 52,39 persen dari total rumahtangga, 25,89 persen dari total pendapatan diterima oleh 28,46 persen total penduduk, dan pendapatan terendah sebanyak 1,29 persen hanya diterima oleh persentase penduduk terendah sebanyak 3,57 persen.
Tabel 2. Distribusi Pendapatan Institusional di Bali, 1996 Jumlah Yi Pi Yi Pi Yi-1 Pi-1 Ruta. Kumu Kumu Kumu Kumu (Pi) latif latif latif latif (Unit) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

Gol. Peng. Ruta.

Pendapatan Disposibel (Yi) (Rp Juta)

Yi+ Yi-1

PiPi-1

(Yi+Yi1) x(Pi-Pi1) 4,61 1633,52 2437,88 1175,40 1076,61 6358,02

1 50869,06 24688 1,29 3,57 1,29 3,57 0,00 0,00 1,29 3,57 2 1126618,18 362081 28,60 52,39 29,89 55,96 1,29 3,57 31,18 52,39 3 1019417,31 196689 25,89 28,46 55,78 84,42 29,89 55,96 85,66 28,46 4 595458,50 64154 15,12 9,28 70,90 93,70 55.78 84,42 126,66 9,28 5 1146528,79 43463 29,10 6,30 100 100 70,90 93,70 170,89 6,30 Total 3938891,85 691075 100 100 Catatan : Institusi Rumahtangga Digolongan Berdasarkan Pengeluaran Rumahtangga (lihat Susenas, 1996) yaitu: 1 = Rp 100000; 2 = Rp 100000-299999; 3 = Rp 300000-499999; 4 = Rp 500000-749999; 5 = 750000 (Pi Pi-1)(Yi + Yi-1) -------------------------- = 1 (6358,02/10.000) = 1 0,64 = 0,36 10.000

GR = 1 -

Bila dibandingkan dengan GR nasional hasil perhitungan BPS tahun 1996 tampak tidak ada perbedaan yang juga ditemukan sebesar 0,36 (lihat Publikasi BPS: Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia per Propinsi 1996: Buku 1 hal. 27 atau Buku 3 hal. 25), yang akhirnya membawa pada kesimpulan yang sama yakni, ketimpangan distribusi pendapatan (dari sisi pengeluaran) termasuk dalam kategori ringan. Namun hasil perhitungan menjadi berbeda, bila GR hasil perhitungan penelitian ini dibandingkan dengan GR Bali hasil perhitungan BPS (lihat Publikasi BPS yang sama) yang menggunakan pendekatan pengeluaran tanpa memasukkan
5

tabungan (GR=0,309). Hal ini disebabkan oleh metode perhitungan BPS cenderung under estimate. Namun perbedaan ini masih berada pada kisaran yang sama, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama. Distribusi Pendapatan Regional Dari hasil analisis distribusi pendapatan regional (antar kabupaten) dengan menggunakan rasio pemerataan Bank Dunia ditemukan bahwa 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima 33,20 persen dari total pendapatan di Bali (Tabel 3). Bila hasil perhitungan ini dihubungkan dengan kriteria Bank Dunia, maka tingkat ketimpangan distribusi pendapatan regional atau antar kabupaten di Bali tahun 1996 relatif ringan.
Tabel 3. Distribusi Pendapatan Regional di Bal;I, 1996 PDRB PDRB Penduduk Penduduk ( Rp Juta ) (%) (Jiwa) (%) 1 Klungkung 346358,67 4,80 151785,00 5,14 2 Bangli 347423,75 4,82 181377,00 6,14 3 Jembrana 489831,79 6,79 220536,00 7,47 4 Karangasem 510924,43 7,08 353314,00 11,96 5 Tabanan 700769,19 9,71 352037,00 11,92 Total (1-5) 2395307,83 33,20 1259049,00 42,62 (40 % I) 6 Gianyar 806938,03 11,19 347638,00 11,77 7 Buleleng 874868,22 12,13 559810,00 18,95 Total (6-7) 1681806,25 23,32 907448,00 30,72 (40 % II) 8 Denpasar 1406049,30 19,49 492050,00 16,66 9 Badung 1730519,32 23,99 295170,00 9,99 Total (8-9) 3136568,62 43,48 787220,00 26,65 (20 % III) Total (1-9) 7213682,70 100,00 2953717,00 100,00 Catatan : Diolah dari PDRB Kabupaten di Bali 1996 No. Kabupaten

Pembahasan Perhitungan rasio gini hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan institusional atau antar golongan rumahtangga atau penduduk di Bali relatif merata, atau kalaupun disebut timpang, ketimpangannya relatif ringan. Distribusi pendapatan ini merupakan gambaran distribusi dari pertumbuhan ekonomi Bali yang relatif tinggi tahun 1996, sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah hasil interaksi dari pengeluaran pemerintah, wisatawan dan investasi swasta dalam perekonomian Bali. Kilas balik terhadap hasil perhitungan rasio gini (Gini Ratio, GR) di Bali (desa+kota) tahun-tahun sebelumnya yang dipublikasikan oleh BPS (1994) yaitu tahun 1984, 1987, 1990, 1993 berturut-turut 0,29; 0,33; 0,30; 0,32. Bila hasil perhitungan GR penelitian ini (GR=0,36) diserikan dengan GR perhitungan BPS tersebut, dapat dikatakan bahwa GR di Bali cenderung meningkat dari 0,29 (1994) menjadi 0,36 (1996). Namun, selama 12 tahun terakhir (1984-1996), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masih berada pada kisaran relatif ringan, atau dengan kata lain pemerataan pendapatan dapat dipertahankan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, ternyata juga diikuti oleh pemerataan

pendapatan antar golongan-golongan rumahtangga (growth with equity). Ini mengindikasikan bahwa pesatnya pertumbuhan sektor jasa khususnya jasa perdagangan dan pariwisata di bali, di satu pihak mampu mendorong pertumbuhan perekonomian Bali cukup tinggi, di pihak lain juga mampu menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, yang pada akhirnya menciptakan pemerataan pendapatan. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Distribusi pendapatan faktorial (antar faktor produksi) menunjukkan bahwa kontribusi faktor modal lebih besar dari pada faktor tenagakerja, yang berarti proses produksi dalam perekonomian bersifat padat modal (capital intensive). Distribusi pendapatan institusional (antar golongan rumahtangga) berada pada ketimpangan relatif ringan. Demikian pula distribusi pendapatan regional (antar kabupaten) berada pada ketimpangan relatif ringan. Jadi, pembangunan perekonomian Bali yang memprioritaskan pada tiga sektor yaitu pertanian, pariwisata dan industri kecil telah menunjukkan hasil-hasil yang relatif baik. Implikasi Kebijakan Kebijakan yang dapat diderivasi dari kajian ini adalah jika Pemda Bali ingin meningkatkan pendapatan regional lebih besar, maka sebaiknya meningkatkan investasi padat modal. Namun, konsekuensinya, kelebihan tenagakerja yang terus bertambah akan semakin memperpanjang barisan pengangguran. Namun, jika investasi padat tenagakerja (padat karya) yang dipilih, maka peningkatan pendapatan regional lebih rendah, tetapi akan mampu menampung tenagakerja lebih banyak, dan dalam jangka panjang akan dapat mengurangi pengangguran, yang berarti akan dapat meredam keresahan dan kerusuhan sosial. Sekarang tinggal pilih, investasi yang padat modal atau padat tenagakerja ? Walaupun distribsui hasil-hasil pembangunan ekonomi Bali relatif baik, usaha-usaha pemerataan harus terus diusahakan, baik ke pelosok-pelosok pedesaan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tertinggal melalui program-program pemberdayaan masyarakat tertinggal (miskin). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran pengumpulan data penelitian, terutama aparat Pemda Bali dan instansi terkait, serta para pejabat BPS Bali dan BPS Jakarta. Juga ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Luky Eko Wuryanto, MSc. Kepala Biro Industri dan Perdagangan Bappenas, atas waktu yang diluangkan sebagai narasumber selama pengolahan data dan penyusunan Disertasi. ]

DAFTAR PUSTAKA Anonin. 1989. Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1988-1993. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 9 Tahun 1988. Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Beattie, B.R. and C.B. Taylor. 1995. The Economic of Production. John Wiley & Sons., New York. BPS. 1994. Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Series 04 Nomor 3. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economic. Macmillan Publishing Company, New York, pp. 166-182 Nadiri, M.I. 1970. Some Approaches to the Theory and Measurement of Total Factor Productivity: A Survey. Journal of Economic Literature. pp. 1137-1157. Srivastava, U.K. and Heady, E.O. 1973. Technological Change and Relative Factor Share in India Agricultural: An Empirical Analysis. Am. J. Agric. Econ. pp. 509-514. Yotopoulus, P.A. and J.B. Nugent. 1976. Economics of Development Empirical Investigation. Harper & Row Publisher, New York.

You might also like