Professional Documents
Culture Documents
Perkembangan
Ilmu Manthiq
JIM and ZAM
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU MANTHIQ
Mengulas masalah sejarah manthiq, maka tidak akan terlepas dari sejarah
perkembangan logika. Dan berbicara tentang sejarah logika, maka tidak dapat
dipisahkan dari para filosof. Menelusuri para filosof maka tidak lepas dari
keberadaan Yunani. Dan salah satu yang dianggap berperan dalam
mengembangkan logika di Yunani adalah Aristoteles. Karena itulah, maka untuk
mengetahui secara paripurna mengenai perkembangan ilmu manthiq dari akarnya,
mau tidak mau kita harus menjelajahi alam pemikiran Yunani.
Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum- hukum berpikir secara
benar harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli
mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan
sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada
koherensi2 logis adalah benar, karena kekuatan pikiran kita sebatas kebenaran yang
kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki
kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala
kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan „ke-independensian‟ logika,
apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai „kacung‟ ilmu
pengetahuan? Stoikisme3 mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu
metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih
cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat, berbeda dengan Ibnu
Sina dalam bukunya al- Isyarat wa al- Tanbiihaat yang memisahkan logika sebagai
ilmu independen sekaligus sebagai pengantar.4 Dalam hal ini Al-Farabi lebih
mengekor pernyataan Ibnu Sina bahwa Mantik sekali lagi adalah Khaadimul „Ulum
yang independen. Keterpengaruhan Mantik Arab dengan neo-platonisme dan
Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu
sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.5
1 Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Maktab al- Usrah, Kairo,
2006, hal. 916-917
2 Koherensi sebagai teori untuk menguji kebenaran, dengan menekankan konsistensi antara segala
meresapi alam semesta, dan orang- orang yang bijaksana harus melakukan disiplin terhadap dirinya
dalam menerima nasibnya.
4 DR. Muhammad Mahran, Tathawwur al- Mantiq al- „Arabi, Dar al- Ma‟arif, Kairo, 1964, hal 18-19
5 Ibid, hal 20
Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi
pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.
Pengklasifikasian ilmu menurut Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua hal, yaitu
« ulum maqsuudah bi al- dzaat » termasuk di dalamnya ketetapan hukum-hukum
syari‟at yang diambil dari penafsiran al-Qur‟an, al-Sunnah, Fiqh dan Kalam,
kemudian Metafisika dan Ketuhanan yang diambil dari Filsafat. Kedua adalah ilmu
yang dijadikan sebagai alat dan pengantar ilmu itu sendiri seperti Bahasa Arab dan
Mantik yang digunakan untuk mendalami Filsafat.6 Maka ketika melakukan
pembacaan terhadap ilmu sebagai pengantar dianjurkan untuk menelaah hanya
sebatas kapasitasnya saja sebagai sebuah alat, karena akan keluar dari arah tujuan
awal dan bisa menghambat tercapainya ilmu yang dimaksud. Hal itulah yang
banyak dilakukan oleh ulama modern dalam pembahasan Nahwu, Mantik dan
Ushul Fiqh yang semakin tidak terarahkan7. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa
dikatakan tujuan sebenarnya logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir
melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.8
Dalam dunia ilmiah dikenal adanya argumen sebagai penguat alasan. Dan
setiap argumentasi dapat diuji kebenarannya dengan logika. Maka, untuk
menguasai argumen dengan baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam
pembacaan kalimat tersebut, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan
logika yang dicuatkan Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan
dan penjelasan baru yang berupa dialektis atau logis. Karena, korelasi sebuah
pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan
tersebut. Kesalahan penyimpulan didapati ketika tidak menggunakan hukum,
prinsip dan metode berpikir.9 Berangkat dari pencarian peta pembenaran tersebut
II dari Macedonia. Dia banyak menyebarkan pengaruh budaya Yunani ke Timur Tengah sehingga
terjadi penukaran budaya terhebat sepanjang zaman. Selama dan sesudah karier Alexander
kebudayaan Yunani begitu cepat tersebar ke Iran, Mesopotamia, Suriah, Yudea, Mesir.
13 Muhammad Hasan „Abdul Aziz, “Mafaatihul „Ulum (Khawarizmi)”, Hai‟ah al- „Ammah liqushuuri
15 Jalaaluddin al- Suyuthi, Shaunu al- Mantiq wa al- Kalam, Dar al- Kitab al- „Alamiyah, Beirut-
Libanon, 1947, hal 7
16 Ibnu al- Nadiim, Al- Fihrisat, Al- Hai‟ah Al- „Aammah Liqusuuri Al- Tsaqofah, Kairo, 2006, hal 243-
244
17 Mafaatihul „Ulum, op. cit, hal 24-25
Obversi Rasionalitas Barat
18 Abdurrahman al- Badawi, Falsafah Al- „Ushuur al- Wustha, Darul „Ulum- Beirut, 1979, hal 163
19 Ibid, hal 88-89
langkah selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles
langsung dari buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas
Aquinas dalam pembaharuan gereja.20 Disinilah awal permulaan terbaginya
Madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu Madrasah Agustine,
Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Sejatinya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena berfilsafat
harus menggunakan akal sehat tanpa subjektivitas. Sedangkan agama, yang
mendasari adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak
tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi
gereja yang menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat
mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang
menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut pautnya dengan filsafat, maka
dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda
dengan pemikiran Agustine, yang banyak menghubungkan wilayah agama dan
rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat kristen
adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan „kalimah‟ yang menyatu
dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui
otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit
menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului
iman „Ratio antecedit fidem‟ guna menjelaskan nilai- nilai kebenaran dalam akidah,
sedangkan tujuan iman mendahului akal „Credo ut intelligam‟ hukumnya wajib
agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang
merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah,
melainkan berakidah untuk berpikir.21 Hal ini sangat berlawanan dengan
pernyataan Thomas Aquinas 13 M, bahwa berpikir merupakan titik
pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas dengan agama juga
menjadi bahasan utama oleh DR. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat
dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas
„rasionalitas agama‟ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari
agama.22 Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari
penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal
terhadap agama.
33 DR. Mahmud Muhammad Ali, Al- „Alaaqoh Bayna al- Mantik wa al- Fiqh „Inda Mufakkiri al- Islam,
Publisher; Ein for Human and Social Studies, Asyut, 2000, hal 63
34 Tathawur Mantik „Arabi, op. cit, hal 224
35 DR. Mahmud Muhammad Ali, op. cit, hal 50-51
36 Ibid, hal 71
37 Menurut teori tersebut, manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam
keterpaksaan. Tetapi manusia tetap bertanggung jawab karena dia telah melakukan „kasb‟ dengan
adanya keinginan, pilihan dan keputusan yang diambil. Dan menurut Ibnu Taymiyah konsep ini
bukannya menengahi antara Jabariyah dan Qadariyah, tetapi lebih condong kepada kaum Jabari.
termasuk salah satu teori yang diyakini kaum asy‟ari, karena pengolahan
argumentasinya dinilai sangat logis.
Mu‟tazilah sebagai titisan kaum Khawarij dulunya, justru yang paling banyak
mengembangkan ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Salah satu corak
pemikiran mereka adalah rasionalitas dan paham qadariyah. Bahkan, mereka
banyak mengikuti metologi kaum jahmi yang mengingkari sifat- sifat Tuhan. Jahmi
atau Jahm Ibn Shafwan adalah seorang penalar keagamaan yang pertama kali
menggunakan unsur- unsur Yunani (Aristotelianisme) dalam keagamaan. Padahal
dia menganut konsep jabariyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, dan hanya mengenal kekuatan-
kekuatan umum (universal) tanpa mengenal kekuatan khusus (particular).