You are on page 1of 4

DEUTEROKANONIKA

Tuesday, 28 April 2009 19:44

Disadur oleh Ansel Mungkin tidak semua dari kita menyadari bahwa Alkitab yang menjadi pegangan umat Katolik dengan Alkitab yang menjadi pegangan umat Kristen Protestan memiliki sedikit perbedaan dari segi jumlah kitab-kitab yang ada di dalam Alkitab secara keseluruhan. Alkitab (bible) yang menjadi pegangan umat Katolik memiliki kelebihan dari segi isi, yaitu adanya kitab-kitab yang disebut Deuterokanonika, yang kemudian menjadi ciri dari Kitab Suci pegangan umat Katolik. Istilah Deuterokanonika dipakai untuk menyebut tujuh kitab dan tiga tulisan tambahan yang tidak terdapat dalam daftar Kitab Suci Ibrani, tetapi terdapat dalam daftar Kitab Suci Yunani (Septuaginta), yakni: Tobit, Yudit, Barukh, 1-2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Surat Nabi Yeremia (Barukh 6), Tambahan pada Kitab Ester (Est. 10:4-16:24), dan Tambahan pada Kitab Daniel (Dan. 13-14). Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para rabi Yahudi mengadakan Konsili Jamnia (90-100). Di situ mereka menetapkan kitab-kitab mana saja yang mereka anggap sebagai Kitab Suci mereka. Pada masa itu, masih terdapat kontroversi atas Kitab Deuterokanonika meskipun kitab-kitab tersebut tetap dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM). Sebagian dari alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab tersebut merupakan tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam bahasa Yunani, bukan bahasa Ibrani; sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya - Kitab-kitab Protokanonik - lebih tua umurnya dan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Gereja-gereja reformasi (Kristen Protestan) menyebut kitab-kitab Deuterokanonika sebagai tulisan-tulisan apokrif dan tidak menerimanya sebagai bagian dari Kitab Suci mereka. Kata apokrifa berasal dari bahasa Yunani yang artinya tersembunyi, terselubung, rahasia. Yang dimaksud sebagai kitab-kitab apokrif adalah kitab-kitab yang ditulis dan beredar, tetapi tidak diterima sebagai tulisan yang terinspirasi dari roh kudus dan tidak termasuk dalam kanon. Sedangkan Gereja Katolik dan Gereja Yunani Ortodoks menerimanya sebagai bagian dari Kitab Suci. Dalam sejarah terbentuknya kanon, kitab-kitab ini pernah disangsikan apakah termasuk dalam Kitab Suci atau tidak, sampai akhirnya Konsili Trente (1546) menetapkan dan menerimanya sebagai bagian dari Kitab Suci. Istilah Deuterokanonika (artinya: kanon kedua) dikenakan pada bagian kitab-kitab yang pernah disangsikan oleh jemaat-jemaat tertentu itu. Sedangkan kitab-kitab yang tidak pernah diragukan kedudukannya sebagai bagian dari Kitab Suci disebut Protokanonik (artinya: kanon pertama). Bagaimana sejarahnya? Ada yang menuduh orang Katolik telah menambahkan jumlah Kitab Suci. Tetapi tuduhan ini sama sekali tidak benar. Bahkan tuduhan seperti itu menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan hal tersebut tidak mengetahui sejarah terbentuknya Kitab Suci. Perbedaan ini sebenarnya memiliki latar belakang dalam sejarah agama Yahudi.

1/4

DEUTEROKANONIKA

Tuesday, 28 April 2009 19:44

Sejak zaman pembuangan Babel (abad 6 SM) tidak semua orang Yahudi tinggal di Palestina. Banyak di antara mereka yang tinggal di luar negeri Palestina, seperti di Mesir, Yunani, Roma, Babel dan sebagainya. Orang Yahudi di Palestina memiliki daftar kitab yang disebut sebagai Kitab Suci, demikian pula orang Yahudi di luar Palestina memiliki daftar mereka sendiri. Pada tahun 100 M, orang Yahudi yang tinggal di Palestina menetapkan daftar kitab-kitab yang diterima sebagai Kitab Suci. Daftar ini mulanya hanya berlaku di Palestina dan baru kemudian diterima oleh semua orang Yahudi. Daftar Kitab Suci yang dipakai oleh orang Yahudi di luar Palestina lebih luas dari yang dipakai di Palestina, karena mencakup juga kitab-kitab yang sekarang digolongkan sebagai kitab-kitab Deuterokanonika. Umat kristiani mengikuti daftar Kitab Suci yang berlaku dikalangan orang Yahudi di luar Palestina itu. Mereka tetap mengakui kitab-kitab yang tidak lagi diterima oleh orang-orang Yahudi. Gereja-gereja Protestan, yang kemudian memisahkan diri dari Gereja Katolik, menyesuaikan diri dengan daftar Kitab Suci orang Yahudi di Palestina, sehingga muncullah perbedaan antara Katolik dan Protestan mengenai daftar Kitab Suci. Walaupun tidak mengakui kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Kitab Suci, Martin Luther (pendiri Kristen Protestan) juga menerjemahkan kitab-kitab itu dan menempatkannya sebagai kumpulan tersendiri (1543). Ia menempatkan kumpulan ini di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan keterangan: Baik dan berguna untuk dibaca, tetapi tidak termasuk dalam Kitab Suci. Terjemahan-terjemahan Alkitab yang dilakukan pada zaman itu dan sesudahnya melakukan hal yang sama. Sampai pada akhirnya pada tahun 1826, British and Foreign Bible Society memutuskan untuk menolak mendistribusikan Alkitab yang memuat kitab-kitab Deuterokanonika. Sejak itu, sebagian besar terjemahan Alkitab modern yang dibuat oleh Gereja-gereja Protestan, termasuk cetak ulang dari King James Bible, mengabaikan bagian Deuterokanonika. Walaupun demikian, beberapa edisi dari Alkitab Revised Standard Version mencantumkan juga Deuterokanonika. Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat mengetahui mengapa Kitab Suci Protestan memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik. Pada tahun 1534, Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman. Ia mengelompokkan ketujuh kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama sebagai Apocrypha dengan memaklumkan, Inilah kitab-kitab yang tidak sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca. Perbedaan pandangan Sejak zaman para bapa Gereja sudah terjadi perbedaan pandangan mengenai kitab-kitab Deuterokanonika. Perbedaan pandangan antara Hieronimus dan Agustinus dapat menggambarkan hal ini. Menarik bahwa Santo Hieronimus, yang terjemahannya dalam Bahasa Latin (Vulgata) menjadi terjemahan resmi Gereja Katolik, tidak ingin memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika. Itu dapat dipahami karena Hieronimus tinggal di Palestina dan banyak berdiskusi dengan para ahli kitab Yahudi. Ia dipengaruhi oleh pandangan mereka dan tidak dapat mempergunakan kitab-kitab Deuterokanonika sebagai dasar untuk beragumentasi. Sementara itu Agustinus yang hidup pada masa yang sama berpendapat berdasarkan tradisi, bahwa kitab-kitab itu harus dimasukkan kedalam Vulgata. Setelah berbicara dengan Paus Damasus yang memberinya tugas dan menyadari bahwa sebagian besar orang berpihak pada

2/4

DEUTEROKANONIKA

Tuesday, 28 April 2009 19:44

Agustinus, Hieronimus memutuskan untuk memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika ke dalam terjemahannya. Berbagai Konsili yang diadakan sesudahnya (Konsili Roma, Hippo, dan Kartargo pada akhir abad 4) menegaskan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika termasuk dalam Kitab Suci dan diperlakukan sebagai Kitab Suci. Ketika para reformator yang dipelopori oleh Marthin Luther melancarkan reformasi, tujuan utamanya adalah memeriksa dan mengoreksi praktik dan ajaran Gereja zaman itu dalam terang Alkitab. Dalam kaitan dengan tujuan ini, disadari kebutuhan untuk menentukan kitab-kitab mana saja yang otoritantif untuk menjadi dasar ajaran Gereja dan mana yang tidak. Luther menentang ajaran Gereja tentang purgatorium (api penyucian) , serta doa dan perayaan ekaristi bagi orang mati. Ia sadar bahwa hal tersebut dinyatakan dalam 2Mak. 12:43-45. Demikian juga beberapa kitab dalam Deuterokanonika menekankan manfaat yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan baik (Tob.12:9; Sir. 3:30), padahal Marthin Luther sangat menekankan gagasan sola fide, yang berarti hanya iman yang menjadi dasar keselamatan. Hal tersebut menjadi alasan bagi Luther untuk tidak memasukan kitab-kitab Deuterokanonika ke dalam daftar Kitab Suci dan memutuskan untuk mengambil alih kanon Yahudi. Menghadapi sikap Luther, Gereja Katolik dalam Konsili Trente melihat kembali pada tradisi dan menegaskan bahwa yang diterima oleh Gereja Katolik sebagai Kitab Suci adalah kitab-kitab yang terdaftar dalam Vulgata. Dengan kata lain, konsili tersebut menegaskan kembali tradisi Gereja mengenai kanon Kitab Suci. Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan apakah suatu kitab termasuk dalam Kitab Suci atau tidak mencakup tiga hal: 1. Apakah isinya benar-benar mengungkapkan iman Gereja, dan tidak sekadar perasaan atau iman seseorang ?; 2. Apakah kitab tersebut diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja ?; 3. Apakah kitab tersebut dari awal diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja ?. Pernyataan Konsili Trente itu menunjukkan bahwa konsili mengakui bahwa kitab-kitab itu ditulis juga dengan inspirasi Roh Kudus, dan dengan demikian diterima sebagai sabda Allah yang tertulis. Sesungguhnya Luther juga mengungkapkann keraguannya atas kekanonikan kitab-kitab tertentu dari Perjanjian Baru (yakni Surat Ibrani, Yakobus, Yudas dan Wahyu), tetapi tidak menempatkannya dalam bagian terpisah. Ia hanya menempatkannya di bagian akhir Perjanjian Baru. Walaupun telah jelas alasan Luther untuk tidak memasukkan Deuterokanonika ke dalam daftar Kitab Suci, sebagian orang Protestan dimasa sesudahnya - sampai sekarang, berusaha mencari-cari penjelasan untuk membenarkan bahwa kitab-kitab itu memang tidak layak masuk dalam daftar Kitab Suci. Salah satu argumennya ialah bahwa kitab-kitab itu mengajarkan praktik amoral, seperti berbohong, bunuh diri, dan pembunuhan, sehingga tidak layak

3/4

DEUTEROKANONIKA

Tuesday, 28 April 2009 19:44

dipandang sebagai sabda Allah. Pandangan ini biasanya dikenakan pada kitab Yudit yang menceritakan bagaimana Yudit menyalahgunakan kecantikannya untuk membunuh. Seandainya benar bahwa kitab Yudit mengandung ajaran-ajaran moral yang keliru, hal ini perlu dicermati lebih lanjut. Ajaran moral yang terkandung dalam satu kitab tidak menjadi patokan apakah kitab tersebut termasuk dalam daftar Kitab Suci atau tidak. Sebab, jika hal ini memang diterapkan, bukan hanya kitab Yudit yang harus dikeluarkan dari daftar Kitab Suci. Kitab Kejadian mengisahkan bagaimana Abraham yang takut kehilangan nyawa, membiarkan istrinya diambil oleh orang lain. Dengan sengaja ia menyembunyikan kebenaran untuk kepentingan sendiri (Kej, 12:10-20). Kitab Hakim-hakim mengisahkan bagaimana seorang perempuan bernama Yael memperdaya Sisera sampai akhirnya membunuhnya dengan cara yang kejam (Hak. 4:1-24). Dalam 1Sam.15 Tuhan bahkan memerintahkan agar Israel menumpas habis seluruh bangsa Amalek. Ketika Saul ternyata membiarkan Agag, raja Amalek yang ditaklukkannya itu, tetap hidup, Samuel mempersalahkan Saul dan membunuh Agag dengan tangannya sendiri. Jika ajaran moral dalam suatu kitab menjadi patokan penentuan Kitab Suci, kitab-kitab tersebut dan kitab-kitab lain yang mengandung ajaran moral yang keliru seharusnya juga harus dicabut dari daftar Kitab Suci. Memang ada perbedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan. Namun, harus diingat bahwa Allah tidak pernah menyerahkan suatu Kitab Suci yang lengkap kepada siapa pun dan mengatakan, Ini, ambillah. Melainkan, selama berabad-abad sejarah keselamatan, Roh Kudus mengilhami penulis-penulis Kitab Suci agar menuliskan wahyu-wahyu Tuhan kepada manusia. Dengan berlalunya waktu, Gereja menyusun kitab-kitab ini menjadi suatu Kanon - suatu daftar resmi Kitab Suci - dan memaklumkannya sebagai Sabda Allah. Alkitab adalah buku utama bagi mereka yang menjadikannya sebagai topangan hidup dan tenaga hidup, kekuatan iman, makanan bagi jiwa, sumber murni dan kekal hidup rohani mereka (Bdk Dei Verbum no. 2, Konsili Vatikan II). Alkitab, sudah seharusnya menjadi buku yang utama dan pertama bagi kita, umat kristiani. Karena apa? Dari sanalah kita mengetahui sejarah penyelamatan umat manusia dari dosa. Lalu apa artinya kita menyebut diri kita sebagai pengikut Kristus tetapi tidak tahu mengapa Ia menyelamatkan kita; tidak pernah membaca surat cintanya yang berupa Alkitab. Mengapa kita tidak berusaha mengenalnya lebih baik ? Tak Kenal Maka Tak Sayang. Kitab yang telah diwariskan itu wajib dibaca, diresapi, dipahami, dan diamalkan. Dalam Alkitablah terdapat jawaban dari segala permasalahan hidup kita. Jika dalam doa, kita berbicara dan memohon pada Tuhan maka dengan membaca Alkitab, kita mendengarkan jawaban Tuhan. Sumber: www.google.com , Menelusuri Polemik Deuterokanonika.

4/4

You might also like