You are on page 1of 3

ALNABATI

(alunan nada bambu tiup)


Pengantar Berkisar tahun 2003, aku baru tahu bahwa ada bambu yang bisa berbuah dan bisa ditanam. Buah bambu ini aku lihat di kebun belakang rumah seorang tetangga di kampung Cibentar, desa Cikadut. Buahnya berbentuk seperti buah salak namun kulitnya mulus, berwarna agak hijau keunguan. Keluarga tersebut menyebutnya sebagai bambu buta. Mereka bercerita bahwa bambu tersebut didapatkan di daerah gunung Manglayang. Diceritakan bahwa selama hampir sepuluh tahun menananm, ditemukan bambu yang tidak ada lubang di batangnya, hampir seperti rotan. Akhirnya aku meminta buah bambu tersebut dan aku tanam di kebun maupun di depan rumah. Dilihat dari besar pohonnya, bambu tersebut cocok untuk tiang bendera, karena tidak terlalu besar, cabangnya hanya di pucuk dan lurus. Bambunya sendiri termasuk tipis dan mudah pecah serta gampang dimakan hama bubuk yang memakan bambu. Di awal tahun 2011 aku iseng membuat potongan bambu buta ini, kalau ditiup bisa memberikan nada diatonis ataupun kromatis. Keisengan untuk membantu teman-teman yang berlatih paduan suara, sesuai dengan nada dasar. Lho koq bisa juga bambu ini dimanfaatkan, selain untuk tiang bendera sewaktu agustusan. Dari Albati menuju Alnabati Dari iseng-iseng, karena banyak waktu, kemudian bambu-bambu tua ini aku kumpulkan dan aku potong-potong. Alatnya hanya gergaji besi dan pisau untuk meraut, kemudian benang untuk mengikat bambu ahar sesuai dengan tangga nada. Pada awalnya aku memanfaatkan ban motor bekas untuk mengikat, setelah digunting kecil-kecil. Harus aku akui bahwa membuat nada yang standard cukup memakan waktu banyak, sewaktu meraut bambu tersebut. Mau tidak mau telapak dan jari tangan sampai sakit dan kulit menebal. Sambil ngalamun aku teringat dengan musik arumba, singkatan dari alunan rumpun bambu. Karena bambu ini ditiup bukan seperti seruling, maka yang terpikir adalah alunan bambu tiup, seperti iklan pengusaha air mineral. Kepada isteri aku katakan bahwa ini

namanya Albati (alunan bambu tiup). Isteri dan anakku tersenyum saja, dan memaklumi karena aku begitu berapi-api mencoba membuat alat musik ini. Karena tidak ada beban dan target, aku menghabiskan waktu dengan potong memotong maupun meraut bambu dan mencoba membuat nada yang pas. Bambu yang sudah tua cukup keras untuk diraut, dibandingkan yang masih muda. Demikian juga bambu segar yang baru dipotong akan lebih mudah untuk diraut. Sayangnya bambu segar yang baru dipotong masih bisa berubah bentuknya, bahkan gampang pecah. Jika terlalu muda, malahan akan berkerut sewaktu kering. Sambil melamun, aku berpikir bahwa nama yang lebih cocok adalah alunan nada bambu tiup yang dapat disingkat menjadi Alnabati. Bahan bakunya memang nabati karena tumbuh-tumbuhan, dan ternyata bambu muda yang baru tumbuh (bahasa Jawa biasa disebut rebung) bisa dimasak, menjadi sayur yang enak. Kami sekeluarga sudah pernah menikmati sayur bambu muda ini. Bambu ini juga berasal dari buahnya yang aku tanam, tumbuh dan berkembang menjadi banyak. Paling tidak bisa menjadi tanda pengingat jika ada teman atau saudara yang akan berkunjung ke rumah. Dengan alamat komplit, salah satu tandanya adalah pagar bambu hidup yang kebetulan belum ada duanya, dimana aku bertempat tinggal. Walau tanpa iklan dan hak paten, akhirnya alat musik ini aku beri nama alnabati (alunan nada bambu tiup). Aku tidak tahu apakah sudah ada yang pernah membuat alat musik seperti ini di Indonesia. Namun aku memang meyakini bahwa pasti ada model alat musik seperti ini, entah bahannya dari apa, walau bukan di Indonesia. Pada suatu hari sewaktu berkunjung ke Pondok Pesantren Sukamiskin, aku bertemu dengan Sam Bimbo, dan kebetulan aku membawa alnabati ini. Sebagai kenang-kenangan, aku memberikan alat musik ini kepada beliau. Aku tidak berpikir apapun, walaupun mungkin beliau mempunyai koleksi alat musik bermacam-macam, termasuk yang sejenis dengan alnabati ini. Yang jelas ini buatan anak negeri sendiri yang belum sempurna dan baru tingkat seadanya. Harapanku hanya satu, bahwa bambu bisa dimanfaatkan untuk alat musik yang bermacam-macam jenisnya. Aku yakin bahwa banyak orang pasti mengenal angklung, arumba, seruling yang dibuat dari bambu. Demikian juga bambu tiup sebagai pengganti gong pada alat musik cokekan, bagian dari gamelan Jawa. Di tataran tanah Sunda juga ada alat musik karinding yang dibuat dari bambu.

Jika belum ada yang membuat alat musik sejenis ini di Indonesia, paling tidak dengan cara ini sudah menambah khasanah baru. Alnabati bisa dibuat secara massal, memanfaatkan jenis bambu yang sesuai, seperti bambu untuk membuat seruling. Aku merasa yakin bahwa Alnabati bisa untuk bermain musik apapun, diiringi dengan alat musik apapun, selama dibuat sesuai standart untuk musik tersebut. Memang aku akui bahwa meniupnya lebih berat dibandingkan dengan model seruling atau rekorder, dan akan membutuhkan nafas yang lebih kuat. Bandung, Awal September 2011

Justinus Darmono jdarmono@gmail.com

You might also like