You are on page 1of 2

BERANI MENJADI INDONESIA Agustus 9, 2011 Oleh YUDI L ATIF globalfirepower.

com Keterpurukan bangsa ini bermula dari ketidakberanian para pemimpin politik untuk menjadi Indonesia. Kemajuan kerap didefinisikan sebagai pencarian keluar. Berbeda dengan pernyataan sastrawan Meksiko, Octavio Paz, yang mendefinisikan modernitas sebagai pencarian ke dalam. Jawaban tidaklah hadir dari pergulatan mendalam atas kenyataan yang hidup di Tanah Air sendiri, tetapi sekadar memungut resep dari luar yang diterapkan paksa tanpa penyesuaian dengan sistem pencernaan sosialbudaya. Akibatnya, kemajuan berarti peminggiran jati diri bangsa sendiri. Suatu proses alienasi yang melahirkan mentalitas pecundang. Urgensi menjadi Indonesia lewat penggalian ke dalam ini telah diingatkan oleh Bung Karno dalam pidato monumentalnya tentang Pancasila. Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu leitstar (bintang pemimpin) dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Selanjutnya Bung Karno mengingatkan, Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa menghikmati satu-dua, seratus-dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah kepribadian. Para penyelenggara negara hendaknya memancangkan semangat untuk memahami alam kejiwaan dan kepribadian bangsa ini. Jika tidak, hanya akan membawa serangkaian perubahan untuk ketersesatan dan kelumpuhan bangsa. Seperti diingatkan oleh Soepomo, Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan, itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Peringatan tersebut penting diungkap ketika wacana politik di ruang publik mulai dihangatkan oleh gairah para petaruh yang memperebutkan kursi kepresidenan untuk pemilu mendatang. Sejumlah nama telah dielus para pendukungnya, tetapi tak satu pun yang sungguh-sungguh memenuhi prasyarat untuk menjawab akar masalah keindonesiaan. Seorang nama dijagokan karena alasan penerimaan dunia internasional. Di sini, luar dijadikan ukuran kenapa kita harus memilih. Padahal, akar terdalam dari keterpurukan kita justru karena bangsa kita tidak pernah sanggup menjadi diri sendiri. Nama lain diajukan karena ketebalan pundi keuangannya sebagai seorang pengusaha, tanpa menyadari kemungkinan dikte kepentingan perseorangan ke dalam urusan umum (res publica). Seseorang yang

sukses memimpin perusahaan tidak menjamin bisa sukses memimpin negara. Dalam memimpin perusahaan, kesuksesan diukur dari maksimalisasi keuntungan. Dalam memimpin negara, kesuksesan justru diukur dari minimalisasi keuntungan (pribadi) demi keadilan sosial dan keberhasilan operasi demokrasi. Selain itu, ada nama yang digadang-gadang karena dianggap bisa menghadirkan kepemimpinan yang kuat. Padahal, ada beda antara pemimpin yang kuat dalam konteks pemerintahan tirani dan pemimpin yang kuat dalam konteks pemerintahan demokratis. Kekuatan yang pertama bertumpu pada instrumen-instrumen otoritarian represif, sedangkan kekuatan kedua bertumpu pada kesanggupan menegakkan hukum dan peraturan tanpa pandang bulu. Ada pula nama yang dimajukan karena alasan usia mudanya. Padahal, isu utamanya bukanlah usia muda, melainkan jiwa muda, jiwa progresif yang bisa menjebol kelembangan berbagai status quo. Percuma berusia muda jika sikap kejiwaannya tua, mengembangkan mentalitas menerabas tanpa menghiraukan etika politik. Sejauh nama-nama yang telah beredar di pasar, ada warna dasar yang sama, mereka tidak memiliki karakter keindonesiaan yang kuat. Mereka seperti makhluk dari luar angkasa yang terdampar di sebuah negeri tak bertuan bernama Indonesia. Hal ini dengan mudah bisa diidentifikasi dari referensi kemajuan yang mereka idealkan, kutipan-kutipan frase dalam pidato mereka, serta cara mereka memasarkan diri. Jika pemimpin tidak menjiwai Indonesia, bagaimana bisa memimpin Indonesia. Franz Fanon pernah menyindir kehadiran elite destruktif Afrika dalam ungkapan black skin white masks. Semoga di sini tidak terlahir para pemimpin yang berjejak di Tanah Air, tetapi dengan mentalitas dan idealisasi asing. Seperti kearifan tradisional kita mengingatkan, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Bumi dan langit keindonesiaan adalah Pancasila. Tidak ada keselamatan bagi negara ini di luar Pancasila. Titik keseimbangan Indonesia yang memberi alasan dan tujuan menegara. Penting sekali bagi para kandidat pemimpin Republik untuk menjiwai dan menjalankan Pancasila agar mereka sanggup membawa kesejahteraan dan kedamaian di langit dan di bumi. Yudi Latif Pemikir Kenegaraan

You might also like