You are on page 1of 4

THE ARABIC RAMBO

"yahya, fein tadzhab?" teriak gadis yang baru menyempurnakan setengah dari agamanya itu dengan mata yang berkaca-kaca yang tak ingin adik bungsunya meneruskan tekad yang tak selayaknya diemban oleh anak seumuran dia. Rasa kasihan, tak rela dan khawatir bercampur jadi satu memenuhi lubuk hati kecil wanita ke 3 dari 4 bersaudara itu, tapi teriakan-teriakan dari bibir mungil wanita cantik yang tak lain adalah kakaknya itu tak sedikitpun ia hiraukan, bak angin berhembus yang tak meninggalkan bekas, teriakan yang semakin histeris tak membuat pemuda belia itu ragu atau khawatir, langkahnya semakin pasti dengan hati yang dipenuhi oleh ketidakterimaan atas perlakuan sang pemimpin daulah dimana ia dilahirkan ke dunia. Gerbang telah jauh dibelakangnya, ia terus melaju menyusuri jalan penuh dengan sejarah tragis menuju gedung besar ditengah kota itu, pistol panjang peninggalan sang ayah yang telah pulang ke rahmat Tuhan ada ditangan kirinya, keringat mengalir pada pelipisnya karena hawa panas yang menyengat juga dipicu oleh hati yang tak kalah panasnya, tapi itu semua seakan cuma hiasan, langkah kakinya sudah tak terhentikan lagi, melaju dan terus maju, tapi tekad itu terlalu dini untuk pemuda seperti yahya, 18 tahun bukanlah umur yang cukup untuk menumpahkan darah membela ribuan hak-hak manusia, hanya tekad dan keberanian serta niat yang bulatlah yang menuntun kakinya terus maju tanpa pandang kedepan apa yang akan terjadi,entah mengantar nyawa atau menjemput kematian, itu tak menjadi penghalang niatnya, meski I'tikad itu telah merasuk ke setiap lubuk penghuni Mesrata. Kerumunan puluhan ribu kepala telah memenuhi padang panas di center kota itu, semenjak beberapa minggu yang lalu, setelah meninggalnya puluhan penuntut HAM. Rasa panas tak mampu menghentikan tetesan-tetesan keringat yang penuh dengan ambisi untuk meruntuhkan penguasa murka yang telah berkepala empat dalam menghuni kursi kekuasaan. "yahya dzi?" "aiwa" "yahya, istanna, khotir"

"yahya qif!!" teriakan-teriakan kanan-kiri dari saudara-saudara seperjuangannya bagaikan angin belaka, tak sedikitpun membuat langkahnya berhenti, hatinyapun tak bergeming sedikitpun dari tekadnya, bahkan itu malah menjadi api penyemangat langkahnya. Yahya terus maju menerobos ribuan orang didepannya yang sudah lebih dulu memenuhi tempat panas itu, yahya terus merangsek kedalam dan terus kedepan menuju suara senapan yang telah merobek baju bahkan kulit-kulit halus manusia yang menuntut akan hak mereka, suara dentuman senapan-senapan berapi semakin dekat mengiang ditelinganya, ia coba mengangkat kepalanya sedikit jinjit untuk melihat lebih jelas kedepan, kepal saudara-saudaranya menghalangi pandangannya, ia terus menerobos barisan kokoh didepannya, terdengar lebih dekat lagi, tapi langkahnya terhenti kala ia lihat tangan-tangan bergandengan yang tak lain adalah tangan dari para insan setujuan dengannya. "afwan, a'thiny thoriq?" teriak yahya kepada seseorang berbadan dempal dengan kepala berbalut serban merah, tapi tak sedikitpun menoleh pada yahya, perlahan barisan kokoh itu bergeser mundur, langlahnya berhenti sejenak, tapi tetap ia berusaha menerobos barisan itu, sulit, rapet, terlalu kokoh, ia menunduk mencari celah untuk ia bisa masuk, tapi sia-sia, jarak kaki dan kaki terlalu dempet, ia coba geser kesamping, sesak, seakan tak ada jalan lagi untuk ia lebih kedepan. "a'thiny thoriq?" teriaknya pada orang berjenggot tebal didepanya. Ya, ia menoleh, tampak rasa kaget pada muka orang paruh baya tersebut. "fein tadzhab ya yahya?" "a'thiny thoriq ya 'amm??" lelaki itupun membukakan sedikit jalan buat yahya. Raut muka tak rela dan tak percaya akan keberadaan anak seumuran yahya ada ditempat berlumuran darah itu. "syukron yaa 'amm". Yahya terus maju tanpa menghiraukan orang yang telah memberinya jalan yang dipenuhi dengan rasa khawatir dan cemas oleh anak bau kencur yang baru saja lewat. "yahya qif!! Ihmil dziy?!" langkah yahya terhenti sejenak, ia menoleh kearah suara yang tak lain adalah dari oran yang berjasa padanya tadi, ia dapati dua buah pistol disodorkan padanya, agak ragu, tapi yakin untuk mengambilnya setelah melihat akan dukungan dari raut muka pemegang senapan itu. Ia maju

kearah kerumunan drum yang ada di sebelah kiri bangunan megah didepannya, ia serobot barisan terdepan dan lari. "yahya intabih!!!" pekikan orang-orang yang ada di barisan depan itu bersamaan. Nama yahya memang tak asing lagi dikalangan umat Mesrata dan sekitarnya, 5 tahun bukan masa yang sebentar baginya menjadi abdi Allah di masjid tengah kota Mesrata, titel muadzin telah ia emban sejak umur 13 tahun yang semakin membawa namanya popular ke seantero kota panas itu. "dor dor" dua peluru dari algojo-algojo sang rahwana melayang kearah yahya yang baru saja hilang dibalik drum-drum besar, kelincahan yahya mengandaskan usaha tentara berbaju hitam tebal yang ingin menggagalkan langkah yahya. Tambakan terhenti, para algojo mengalihkan perhatian mereka kearah dimana yahya hilang, sia-sia, tak mereka dapati kecuali hannya benda mati dihadapan mereka. "sahqan, fein dzahib?" umpat tentara mesin presiden itu. "Aaaa" suara erangan dari sebelah kiri deretan tentara yang tak beda dengan robot yang tak memiliki berkehendak mengagetkan yang lain, terlihat darah segar mengalir dari kaki kiri orang berkumis tebal yang terus meringis sambil memegangi kakinya, kegeraman para tentara itu semakin menjadi, tembakan membabi buta membombardir tenpat anak ingusan yahya menghilang tadi. "Aaaa" 1,2,3 bergantian, suara erangan-erangan kesakitan histeris, membuat yang ada di dalam gedung putih itu gemetaran. Barisan kanan dari para penuntut HAM mulai masuk ke arah gerbang gedung kepresidenan, tak dihiraukan lagi oleh tentara itu, luka yang sama di kaki kiri menyita perhatian tentara yang lain, selain rasa geram, rasa takut kini mula menghinggapi para pagar hidup itu, tapi masa bodoh, barisan oposisi semakin keras meneriakkan lafal "irhal.. irhal.. irhal.." dan terus maju. Mengerikan, menakutkan didengar, tentara itu semakin kebingungan, ada yang masuk gedung, ada yang berubah haluan ikut barisan oposisi, ada yang masih tetap menikmati rasa sakit dikakinya,. "yahya" teriak seorang dari kanan barisan oposisi setelah melihat yahya masuk kedalam gedung berbintang 3 itu, barisan kokoh itu semakin lancar masuk mengikuti langkah yahya, dalam hitungan detik, penuh sudah pintu utama gedung

besar itu, jendele pun jadi jalan alternative kedua, pekikan pengusiran semakin nyaring. Terdengar dua heli bergantisn mendarat diatas gedung. "rais harab" sebuah teriakan dari salah satu oposisi yang masih diluar, semua pasang mata mengarah ke dua heli yang baru saja landas. Seketika lafal "rois harab" memenuhi lapangan menggantikan "irhal" yang telah berminggu-minggu mengeringkan tenggorokan. Kegembiraan mulai menggantikan rasa geram umat Mesrata, tapi tak seperti itu halnya pada yahya, ia sibuk dengan tali panjang sebesar jempol kaki ditangannya, senapan berapi ia kumpulkan dipojok lantai tanpa atap, yang memang itu adalah atap dimana beberapa menit yang lalu tempat rais menginjakkan kakinya yang terakhir, para mesin hidup presiden telah terikat, takluk pada seorang yahya, anak yang baru genap 18 tahun ini, darah semakin membanjir dari kaki para tentara yang sudah tak berdaya itu. "dor, dor, dor," suara tembakan diatas gedung menghentikan teriakan yang baru saja memenuhi lapangan, seketika sepi, hening, semua bola mata tanpa diperintah menuju kearah asal tembakan, terlihat seorang bocah dengan bendera Negara terikat dikepalannya, sambil menenteng pistol di tangan kanan dan kirinya, rasa kagum dan tak percaya menghinggapi ribuan mata dari umat Mesrata. Yahya, ya, bocah diatas gedung yang telah berandil besar akan kebebasan mereka adalah yahya. ia mengangkat pistol di tangan kanannya dan "Allahu akbar." ~~ end ~~

You might also like