You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

Inflamatory Bowel diseases (IB) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu kolitis ulsertif, penyakit Crohn dan bila sulit dibedakan kedua hal tersebut, maka dimasukan dalam kategori indeterminate colitis2. Crohns disease adalah penyakit inflamasi idiopatik yang mengenai bagian luminal saluran cerna dari mulut sampai ke anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon. Penyakit ini sering terjadi pada dewasa muda prevalensinya terus meningkat dengan etiologi yang tidak diketahui 3,5. Crohns disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 5. Secara umum Crohns disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara 5. Menurut jenis kelamin, insidens Crohns disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 1,8 : 17. Etiologi dari Crohns disease masih belum diketahui 2,4,5,7. Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohns disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial 4,5,6,7.

BAB II CROHNS DISEASE 2.1. DEFINISICROHNS DISEASE Crohns disease merupakan penyakit inflamasi idiopatik yang mengenai bagian luminal saluran cerna dari mulut sampai ke anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon. Penyakit ini sering terjadi pada dewasa muda prevalensinya terus meningkat dengan etiologi yang tidak diketahui
3,5

.Penyakit

ini ditandai dengan discontinuous transmural ulceration, fistulation and spontaneous abscess formation dan merupakan penyakit usus halus primer tersering di negara Barat3. 2.2. ASPEK SEJARAH CROHNS DISEASE Kasus Crohns disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna.Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 5. Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama Crohns disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 19597. Saat ini, diagnosis Crohns disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi 7. 2

2.3. EPIDEMIOLOGICROHNS DISEASE Secara umum Crohns disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara 5. Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohns disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 40 kasus per 100.000 populasi 7. Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohns disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an 4. Menurut jenis kelamin, insidens Crohns disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohns disease 7. Crohns disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui 4,7. Meskipun Crohns disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus Crohns disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal 5. 2.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKOCROHNS DISEASE Etiologi dari Crohns disease masih belum diketahui 2,4,5,7. Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohns disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis,

dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial 4,5,6,7.

2.4.1. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab potensial Crohns disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik penyebab perhatian yaitu mycobacteria,
5

khususnya Mycobacterium adalah Chlamydia, Listeria

paratuberculosisdan virus measles . Infeksi lain yang diperkirakan menjadi Crohns disease monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus 4.

2.4.2. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohns disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohns disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohns disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit 5.

2.4.3. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohns disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohns disease 5. Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohns disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama 7. Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohns disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5 7.

2.4.4. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohns disease 4. Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohns disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan 7. 2.5. PATOLOGICROHNS DISEASE Stadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus 4,6. Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum 6. 2.6. DIAGNOSISCROHNS DISEASE 2.6.1. Anamnesis Gambaran klinis umum pada Crohns disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. 5

Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen 4,6,7.

2.6.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED 7. Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus 7. Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini 4,7.

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysisdengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis Crohns disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit. Pemeriksaan radiologi pada Crohns disease akan dibahas lebih lanjut pada Bab III.

2.7. DIAGNOSIS BANDING CROHNS DISEASE Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohns disease antara lain 7: Cholangitis Colitis iskemik Colitis pseudomembranosa Diverticulitis colon Tuberculosis gastrointestinalis Colitis ulserativa Enteritis infeksiosa Colitis infeksiosa

2.8. PENATALAKSANAANCROHNS DISEASE 2.8.1. Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medikamentosa Crohns disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena 7. Obat-obatan yang digunakan dalam terapi Crohns disease mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator 4. Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau

metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid 4,7. Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. 7

Berbagai obat telah digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal 4,7. Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid 4,7. Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas 4,7. Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T4,7.

2.8.2. Terapi Bedah Antara 70 80% pasien dengan Crohns disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohns disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit perianal 2,5. Terapi bedah pada pasien dengan Crohns disease harus ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja

yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome 5. Anak-anak penderita Crohns disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohns disease bukan merupakan indikasi utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus 5. Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohns disease. Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohns disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit 4. 2.9. KOMPLIKASICROHNS DISEASE Manifestasi ekstraintestinal Crohns disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 69

mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer 4,5,6,7.

2.9.1. Abses Abses terbentuk pada sekitar 15 20% pasien dengan Crohns disease sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohns disease7.

2.9.2. Obstruksi Obstruksi terjadi pada 20 30% pasien dengan Crohns disease. Pada awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik 7.

2.9.3. Fistula Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohns disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan Crohns disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 2% pasien 7.

10

2.9.4. Keganasan Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohns disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohns disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohns disease 7. 2.10. PROGNOSISCROHNS DISEASE Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohns disease yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran anastomosis 4,5. Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohns disease. Sekitar pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang pertama 4,5.

11

BAB III PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA CROHNS DISEASE

3.1. X-FOTO Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohns disease adalah terbatas.Dua keunggulan utama x-foto polos adalah 1. Untuk memastikan adanya obstruksi usus 2. Untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohns disease5,7.

Gambar 3. 1. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan sejumlah ulkus aptosa3.

12

Pemeriksaan

barium

enema

kontras

ganda

bermanfaat

dalam

mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohns disease dengan colitis ulcerativa, khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohns disease tahap dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions 6,7.

Gambar 3. 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon kanan3. 13

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan mesenterium.Gambaran ini patognomonik dari Crohns disease. Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras terlihat gambaran pola-pola cobblestone atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen 6,7.

Gambar 3. 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk cobblestone appearance3. 14

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai string sign 1,3.

Gambar 3. 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan gambaran string sign3.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 50% pasien dengan Crohns disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 20% kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara Crohns disease dengan colitis ulserativa 7.

15

Gambar 3. 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan gambaran string sign3.

3.2. CT-SCAN Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohns disease telah diterima secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT pada Crohns disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 15 mm 6,7. 16

Gambar 3. 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohns disease, tampak penebalan dinding ileum dan inflamasi mesenterium3.

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses 6,7.

Gambar 3. 7. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan inflamasi dan adenopati pada mesenterium3. 17

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut hazy fat pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi mesenterium 3,6,7. Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas 3,7.

Gambar 3. 8. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan3. 18

Gambar 3. 9. CT scan pada Crohns disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang memisahkan colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut creeping fat3.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasienpasien dengan gejala-gejala akut Crohns disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus, organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohns disease. CT Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohns disease adalah sekitar 71% 7. CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan 7. 19

3.3. MRI Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak.Dengan adanya peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien.Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal.Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi 7. Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal Crohns disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spinecho,dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio anorectal 6,7. Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya.Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya pada fossa ischioanal 7. Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based.Selama fase inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai berlapis-lapis dan spesifik untuk Crohns disease 7.

20

Gambar

3. 10. Pencitraan

MRI

pada

pasien

dengan

Crohns

disease

menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak intramural3.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 89%, spesifisitas sekitar 96 94%, dan akurasi sekitar 94 91% untuk mendeteksi penyakit akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 52%, spesifisitas sekitar 98 96%, dan akurasi sekitar 83 84%.Hasil positif palsu paling sering terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal 7.

21

3.4. USG Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus. USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohns disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini dikenal sebagai the gut signature. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm 7.

Gambar 3. 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohns disease, terlihat adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya gut signature, dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus3. Pada kasus Crohns disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan

22

penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra 7. USG dapat mencitrakan adanya ballooning dari segmen-segmen yang tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal.Hasil pemeriksaan ini merefleksikan skip lesions pada Crohns disease.Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau terinflamasi selama fase aktif penyakit 7. Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau bahkan hypoechoic7.

3.5. RADIONUKLIR Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease.Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99mTc HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus 7. Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99mTc HMPAO pada Crohns disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi 7.

23

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit (misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak spesifik untuk Crohns disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses infeksius atau inflamasi usus 7.

24

BAB IV KESIMPULAN

Penyakit Crohn yang juga dikenal sebagai granulomatous colitis adalah penyakit inflamasi usus halus yang dapat berpengaruh pada seluruh saluran gastrointestinal, mulai dari anus sampai mulut, dengan gejala yang luas dan bervariasi. Pada mulanya, terlihat dengan gejala nyeri perut, diare, vomiting, atau kehilangan berat badan, tetapi dapat menyebabkan komplikasi di luar saluran gastrointestinal. Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersamasama menimbulkan Crohns disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. Diagnosis Crohns disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis, dan pemeriksaan darah(meliputi kultur spesimen dan identifikasi spesies mikroba). Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi. Penatalaksanaan untuk crohns disease meliputi terapi medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa pada Crohns disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan.Obat-obatan yang digunakan dalam terapi Crohns disease mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator. Antara 70 80% pasien dengan Crohns disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohns disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula atau 25

abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit perianal.

26

DAFTAR PUSTAKA 1. Eure ME. CrohnsDisease. 2005. Available online http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm 2. Djojoninggrat D. Inflamatory Bowel Diseases : Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hal 386-90. 3. Haligan, Steve. The Small Bowel and Peritoneal Cavity. Dalam Textbook of Radiology and Imaging Volume 1 seventh edition. Churchill Livingstone. London. 2003. hal: 615-34. 4. Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus. Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill.Singapore. pp 1318 28. 5. Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia.2002. pp 888 95. 6. Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CDROM. Lippincott-Raven. Philadelphia-Pennsylvania. 1994. 7. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2004. Available online http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm

27

You might also like