You are on page 1of 4

Cerpen

Buku Wisudawan
Oleh I Wayan Artika Pada masa itu, hanya orang miskin yang masuk ke fakultas keguruan. Aku adalah yang dikecualikan karena hasil panen kopi ayahku yang bertumpuk dari tahun ke tahun cukup mengantarkan aku tamat di fakultas kedokteran bahkan hingga aku mengambil spesialis. Putu, batalkan saja kuliahmu di fakultas kedokteran. Rasanya desa kita ini kelak memerlukan guru yang menuntun anak-anak desa ke masa depan. Kata ayahku. Dokter juga dibutuhkann agar penduduk selamat dari ancaman wabah, Pak? Aku berargumen karena jadi guru atau dokter sama saja. Benar Putu, tetapi kamu akan meminta orang desa membayar segala ongkos jasamu? Mata ayahku menatapku tajam; tatapan ini menusuk hatiku. Dokter tidak seperti balian di desa kita ini, kan, dibayar murah dan sukarela. Balian di desa kita tidak hidup dari kerja selaku balian karena ia murni pengabdian. Apakah kelak Putu mau demikian? Pak Tunggu dulu. Ayah memotong kata-kataku. Desa kita lebih membutuhkan guru dan sekolah. Putu tahu kan? Untuk masuk SD anak-anak harus pergi ke desa tetangga. Melewati sawah dan kebun kopi serta sungai. Singkat cerita, aku pergi ke Singaraja, meninggalkan kampus fakultas kedokteran di kota Denpasar. Di Singaraja, sejarah pendidikan Indonesia dimulai sejak 1955, melalui satu kampus

Page1

dari gedung pinjaman pemerintah setempat.

Teman-temanku di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia umumnya terpaksa kuliah di jurusan ini. Mereka rata-rata tidak diterima di fakultas ekonomi, teknik, kedokteran, dan lain-lain, pokoknya selain fakultas keguruan. Aku heran, mengapa mereka bisa bertahan dalam paksaan? Putu, apakah benar kamu pindahan dari fakultas kedokteran? Tanya Made Manon, yang gagal diterima di perpajakan padahal telah dicoba dua kali. Pertanyaan yang sama datang dari sebgian besar temanku di kelas ini atau di kelas lainnya. Bahkan dosen-dosenku juga heran. Hanya Ngurah Predita yang tidak tertarik kasusku: meninggalkan fakultas bergengsi lalu masuk ke fakultas tempat orang-orang buangan berkumpul. Sebaliknya, terhadap Ngurah Predita, akulah yang heran dan bertanya-tanya, Rah, kenapa kuliah di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia? Ngurah menutup sampul buku yang sedag ia baca. Putu, aku memang sejak semula ingin kuliah di jurusan ini. Aku ingin. Aku tidak sabar menunggu kata-katanya, Jadi guru? Tidak! Ada jeda cukup lama. Aku tidak sabar, mau jadi apa Ngurah? Lalu? Aku ingin jadi penulis karya sastra. Apa itu? Aku tidak mengerti Ngurah. Tanyaku heran. Aku hanya tahu cerita Bali atau kisah-kisah mistik dari desaku. Biasanya yang menuturkan adalah bapak atau kompyang. Aku tahu proses di perkebunan kopi secara rinci. Aku tahu aneka jenis jamur yang bisa dimakan dan yang beracun. Tapi aku tidak tahu karya sastra. O ya, aku tahu juga berbagai jenis laba-laba. Ngurah menunjukkan satu buku, Ini.

Page1

Aku membaca sampul buku di hadapanku, Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisyahbana. Bulan-bulan selanjutnya, persahabatan kami semakin akrab dengan Ngurah. Dia sahabat sejatiku di kampus tua dan di kota ini. Aku pun pada akhirnya tahu, alasan lain Ngurah memilih jurusan pendidikan bahasa dan sastra: di satu sisi ia memiliki idealisme dan di bangku universitas ia akan memperjuangkannya agar mimpinya jadi kenyataan; di sisi lain Ngurah datang dari keluarga tidak mampu. Musim panen kopi di Pupuan bertepatan dengan liburan semester. Ngurah kuajak pulang hanya untuk mengisi liburan. Putu, aku tidak bisa ikut selama tiga minggu liburan di Pupuan. Mungkin hanya tiga atau empat hari saja. Aku harus kerja di Kuta ikut orang-orang desa, sebagai buruh bangunan karena kerja ini tidak mengikat. Waktu delapan belas hari kerja akan memberiku upah yang aku kira cukup untuk bekal tiga bulan di Singaraja pada semester depan. Aku berguman dalam hati, sesulit itukah? Ngurah, lantas bagaimana dengan uang SPP? Uang SPP diberi oleh orang tua. Jika di desaku Ngurah bisa kerja, apakah mau ikut? Begitulah, kami bersama menghabiskan setiap liburan semester di Pupuan. Ayahku menghargai perjuangan kawanku yang satu ini. Sejak saat itu, Ngurah adalah bagian keluarga kami dan hampir seluruh biaya kuliah ditanggung oleh ayahku. Putu, sebentar lagi kita akan tamat. Tapi aku belum juga jadi penulis karya sastra. Aku tertawa, Ngurah hanya baca karya sastra dan beli buku sastra tetapi tidak pernah menulis, mana mungkinlah jadi pengarang, apalagi pengarang sastra? Tapi aku berharap dari dosen-dosen kita.

Page1

Mereka bukan pengarang. Kataku tegas dan agak ngotot. Coba lihat toko buku di Denpasar, di perpustakaan, mana ada nama dosen-dosen kita sebagai pengarang buku? Mereka kan ahli-ahli teori. Jadi aku salah? Mungkin salah tapi tidak fatal. Teman-teman kita semua di jurusan ini kuliah karena pelarian saja kecuali kita berdua karena itu kita tidak salah fatal. Mereka yang salah fatal. Kami diwisuda pada bulan September. Ngurah tidak memberi tahu keluarganya. Katanya kepada ayahku, Bapak, saya menitipkan diri saya pada Bapak di acara wisuda nanti sehingga saya tidak malu dengan teman-teman karena saya tidak didampingi keluarga. Tanpa pikir panjang ayahku mengiyakan dan menyambut gembira, Bapak akan katakan bahwa Bapak memiliki dua sarjana pendidikan sekaligus. Dan Kata Ngurah Ragu. Ada apa Nak? Tanya ayahku. Di buku wisudawan izinkan saya mencantumkan nama Bapak sebagai orang tua saya? Bagaimana dengan orang tua Ngurah? Ayahku menangis, memeluk kami berdua. Di Pupuan, Senja menjemput semak-semak dan mengabari burung-burung kembali ke hangatnya sarang. (bersambung)

Page1

You might also like