You are on page 1of 8

Fenomena Kekeringan Makna pada Media Massa Lokal di Kota Pekalongan Oleh Ribut Achwandi

Bergantinya rezim Orde Baru yang melahirkan rezim baru dengan sistem yang menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan informasi disambut dengan gegap gempita oleh pelaku-pelaku media lokal. Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya media-media lokal yang bertebaran di beberapa daerah, tidak terkecuali di kota Pekalongan. Sebagai kota dagang, kota Pekalongan memiliki karakter budaya yang dinamis. Tidak pelak lagi kondisi semacam ini membuat kebutuhan masyarakat akan informasi menduduki posisi penting dalam perikehidupan masyarakat kota penghasil batik ini. Mendasarkan pada persoalan itulah kemudian berbagai media tampil di tengah-tengah masyarakat perdagangan itu dengan beragam jargon dan slogan. Penampilan media di kota Pekalongan ini kontan disambut baik pula oleh khalayak. Sayangnya, penampilan media di kota Pekalongan masih kering makna. Hal itu disebabkan oleh konstruksi media yang dibangun oleh pemilik modal masih sebatas pada wilayah peran media sebagai penyampai informasi dan hiburan semata, bukan sebagai ladang ideologi yang membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut berperan dalam dialog-dialog budaya dan menggali ide-ide kreatif masyarakatnya. Dialog yang lebih bersifat kontempelatif. Ketiadaan wilayah dialog inilah yang pada akhirnya membuat media lokal di kota Pekalongan mengalami kematian kaidah estetika. Dalam hal ini, estetika tidak hanya diterjemahkan secara kaku dengan lebih mementingkan tampilan atau desain media melainkan pula pada esensi estetika itu sendiri. Hingga pada gilirannya media lokal kota Pekalongan mengalami kekeringan makna. Keringnya kebermaknaan media ini utamanya terlihat manakala masih sedikitnya media lokal di kota Pekalongan yang mencoba menyajikan rubrik khusus tentang budaya dan seni, lebih-lebih berkaitan dengan sastra. Padahal, sebagaimana diyakini bersama bahwa sastra dalam beberapa bingkai teori dikatakan sebagai salah satu alat untuk membelajarkan masyarakat tentang nilai-nilai hidup. Namun, berpulang pada kenyataan tersebut, apakah bingkai-bingkai teori yang mengemukakan sastra sebagai alat belajar masyarakat tentang nilai kehidupan itu masih cukup relevan pada saat sekarang ini? Bilapun kemudian dikatakan masih relevan, mengapa kehadiran sastra di media lokal, khususnya di kota Pekalongan seolah tidak diinginkan? Lalu, bagaimana harus menyikapi persoalan tersebut? Berbekal pada tiga pertanyaan tersebut, tulisan ini berusaha menyusun serpihan budaya yang terberai oleh zaman. Sehingga tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan permenungan untuk sebuah upaya mencari jalan keluar atas persoalan tersebut. Secara spesifik, ada tiga hal yang pada gilirannya akan menjadi bahasan dalam tulisan ini. Pertama, berkaitan dengan kegiatan kesusastraan masyarakat kota Pekalongan. Kedua, berhubungan dengan pelaku-pelaku sastra dalam menggagas kehidupan sastra di

kota Batik. Ketiga, peran media dalam memberikan dukungan terhadap perkembangan kegiatan sastra di kota Pekalongan. Kegiatan Kesusastraan Masyarakat Kota Pekalongan di Era Kekinian Sastra sebagaimana dinyatakan Ratna (2007) tidak hanya dapat diartikan sebagai aktivitas estetika melalui intensitas penggunaan bahasa melainkan pula dapat diterjemahkan sebagai aktivitas kebudayaan yang dikelola dan dihidupkan oleh masyarakat. Selain memiliki fungsi estetik, sastra juga memiliki peranan besar dalam perkembangan kebudayaan di sebuah masyarakat. Bahkan, Ratna menegaskan sastra tidak hanya sebatas berada di wilayah kebudayaan melainkan pula menduduki posisi yang lebih tinggi dari kebudayaan itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh peranan sastra dalam membentuk peradaban di tengah-tengah masyarakatnya. Mendasarkan pada persoalan tersebut maka dapat dikatakan bahwa anggapan Teuw (1988: 23) mengenai definisi sastra sebagai alat pengajaran atau sarana untuk mendidik masyarakat sangatlah tepat. Sebab, selain mengedepankan estetika, sastra juga menawarkan nilai-nilai. Terlepas dari pengagungan sastra baik yang diajukan Ratna maupun Teuw, nampaknya patut pula untuk menengok aktivitas kesusastraan lebih dekat lagi. Utamanya kegiatan kesusastraan di daerah dalam bingkai sastra mutakhir. Hal ini dipandang perlu mengingat perkembangan sastra Indonesia mutakhir tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan peran sastra di daerah. Perlu diingat, selama ini aktivitas kesusastraan Indonesia dikesankan bertumpu pada sejumlah kota-kota besar. Dominasi Jakarta misalnya, sebagai pusat segala kegiatan masyarakat ternyata memiliki andil besar dalam menentukan arah perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Akibatnya, hampir seluruh kota kecil, lebih-lebih yang berada di luar Jawa terasa asing bagi masyarakat Indonesia. Meski sebenarnya kota-kota tersebut memiliki potensi besar untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan sastra Indonesia. Di kota Pekalongan, aktivitas kesusastraan hampir-hampir dapat dikatakan mati suri. Meski sebenarnya, kota produsen Batik ini memiliki potensi besar untuk ikut menyemarakkan kegiatan kesusastraan. Mati surinya kegiatan sastra di kota Pekalongan oleh beberapa hal. Pertama, anomali sastra dari realitas sosial. Panganomalian terhadap sastra di tengah-tengah masyarakat kota Pekalongan ini sebenarnya merupakan sebuah ekses dari kondisi kultur masyarakat Pekalongan. Dalam hal ini, terdapat pemahaman yang dangkal terhadap keberadaan dan fungsi sastra. Sastra dipandang sebagai dunia asing yang diasumsikan sebagai kumpulan imajinasi tentang kehidupan. Sehingga kegiatan sastra bukan menjadi sebuah kebutuhan melainkan terupakan sebagai ingar-bingar belaka. Kedua, kegiatan sastra gagal menemukan bentuk, model, dan metode pengajarannya di masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas kesusastraan di dunia pendidikan kota Pekalongan yang rupanya masih belum mampu menggeliatkan kegiatan kesusastraan. Menjadi sebuah catatan khusus bahwa sekarang ini, dunia pendidikan kota Pekalongan terus berkembang. Kemunculan perguruan tinggi baru ataupun program-program studi baru di sejumlah perguruan

tinggi di kota Pekalongan rupanya masih belum diimbangi pula pada pola-pola penyadaran masyarakat akan kebutuhan batin. Memang, hal tersebut menjadi fenomena umum yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. Bahwa dunia pendidikan yang dikembangkan dan ditumbuhkan oleh perangkat kebijakan pemerintah hanya merupakan sebuah upaya untuk menjawab persoalan-persoalan pragmatis. Sehingga keinginan untuk membangun peradaban menjadi terabaikan. Ketiga, berkaitan dengan pelaku sastra sebagai penggerak kegiatan sastra di kota Pekalongan. Dalam kaitan ini, pelaku sastra kota Pekalongan rupanya masih memiliki kecenderungan untuk berada dalam lingkaran komunitasnya sendiri. Sehingga membuat sastra terus berada dalam cangkangnya sendiri. Sastra terus terpenjara di atas menara gading. Sementara keempat, media di kota Pekalongan masih belum mendudukkan sastra pada posisi penting. Dua hal terkahir akan dibahas lebih rinci lagi pada bagian berikutnya. Ejakulasi Dini Para Pelaku Sastra di Kota Pekalongan Para pelaku sastra di kota Batik, dengan diam-diam memasuki ruang kamar yang mereka sebut sebagai ruang kontempelasi itu tanpa ingin dicurigai. Mereka mengendapendap bagaikan serdadu yang menghindar dari hujaman peluru yang keluar dari ujung bedil musuh dan bersiap lari karena tahu pasukan mereka kalah di medan laga. Begitu sampai di dalam kamar, mereka lalu menuliskan derita dan tangis mereka dengan segala kata yang mengumbar kepedihan. Nyanyian-nyanyian luka yang seolah memberi gambaran tentang kepedihan mereka terhadap bencana kemanusiaan. Gambaran dramatis tersebut, bukanlah peristiwa sastra yang diinginkan oleh sastra itu sendiri. Sungguh ironis jika kemudian pemandangan semacam itu benar-benar terjadi sebab di tengah-tengah kondisi masyarakat yang haus akan nilai-nilai, pelaku sastra kota Pekalongan justru memilih untuk bersikap memunggungi realita sosial yang ada. Jika pemandangan semacam itu terjadi, maka hal itu akan sangat bertentangan asumsi-asumsi teoretis yang disampaikan oleh para ahli sastra. Wellek dan Waren misalnya, memandang kedudukan antara sastrawan dengan masyarakat sebenarnya memiliki hubungan timbal balik. Menurut Wellek dan Waren sastrawan memiliki status khusus sebagai warga masyarakat. Dalam hal ini penghargaan dan pengakuan masyarakat, serta memiliki massa adalah bagian yang penting bagi seorang sastrawan (Wellek dan Waren, 1988: 109). Melihat pokok hubungan antara sastra dengan masyarakat, Ratna (2007: 277) mengajukan tiga hal penting dalam kajian sosiologi sastra, yaitu: (1) masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya, (2) masyarakat yang terkandung dalam karya, dan (3) masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca. Menjadi menarik jika kemudian di tengah-tengah persoalan hubungan antara sastra dengan masyarakat kembali disoal. Utamanya ketika muncul pertanyaan mengenai siapa sebenarnya pelaku sastra itu sendiri. Pertanyaan itu dirasa penting untuk kembali dihadirkan di tengah-tengah kegamangan kegiatan sastra kota Pekalongan yang tengah mati suri.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua asumsi yang patut diperhitungkan. Pertama, berkaitan dengan proses produksi yang diawali oleh proses kreatif pelaku sastra. Dalam hal ini, pelaku sastra diduduki oleh para kreator sastra atau yang lazim disebut sebagai sastrawan. Kedua, berkaitan dengan penerimaan dan apresiasi yang dilakukan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka masyarakatlah sebenarnya pelaku sastra. Masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra tentunya melalui sebuah proses yang tidak secara singkat hadir dan langsung menerima karya sastra begitu saja. Tetapi, melalui tahap-tahap tertentu untuk memahami dan menafsirkan karya sastra yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas masyarakat. Ketiga, berkaitan dengan soal distribusi karya sastra. Dalam kaitan ini, distributor produk sastra memegang peran penuh bagi kesuksesan penyebaran karya sastra sebagai produk kreatifitas seorang sastrawan. Untuk alasan itu, media dalam bentuk apapun sebenarnya dapat dikategorikan sebagai subjek (pelaku sastra). Dengan mendasarkan tiga aspek tersebut, maka bukanlah sesuatu yang ayal lagi jika seluruh komponen kesusastraan adalah pelaku sastra. Sehingga amat tidak wajar jika kemudian sastrawan yang dalam pengertian dewasa ini masih dikukuhkan sebagai pelaku sastra (pegiat sastra) harus mendikotomikan dirinya ke dalam lingkaran eksklusifisme. Dan menjadi tugas para sastrawan kota Pekalongan pada khususnya, untuk kembali mengelola produksi sastra dengan menggunakan pendekatan manajerial yang lebih konkret. Dalam ungkapan lain, sastrawan bukanlah dewa-dewa di kahyangan yang hanya mengamati persoalan hidup yang dianggap rumit tersebut dari balik langit biru tanpa mewujud dalam kehidupan itu sendiri. Fenomena menarik yang muncul di kota Pekalongan ini menarik untuk disimak sebab selama ini para pegiat sastra (istilah ini terpaksa digunakan karena belum ada semacam pengukuhan dari masyarakat untuk menyebut tokoh tertentu sebagai sastrawan) terus digelisahkan dengan masalah penerimaan masyarakat terhadap kegiatan sastra. Hampir semua pegiat sastra menganggap bahwa keengganan masyarakat dalam menerima sastra sebagai sebuah realita sosial disebabkan oleh kepincangan ruang apresiasi masyarakat. Kritik yang sering mereka lontarkan kepada pemerintah kota Pekalongan sebagai pemangku kekuasaan terus digencarkan dengan mengatakan bahwa pemerintah kota Pekalongan belum mampu menyediakan ruang ekspresi kesusastraan yang memadai. Dewan Kesenian Kota Pekalongan (DKKP) sebagai sebuah institusi kesenian yang seharusnya mampu memberi payung bagi pegiat sastra pun dipandang tidak dapat melakukan manuver kesenian yang nyata. Dalam hal ini, beberapa pegiat sastra secara skeptis sempat melontarkan kritik bahwa keberadaan DKKP tidak menjadi penting lagi karena mengalami kemandulan ide. DKKP bahkan dikatakan pula tidak mampu memberi ruang bagi tumbuh kembangnya idealisme. Kritik miring juga diluncurkan bagi pelaku media di kota Pekalongan yang nampaknya kurang bisa bersinergi dengan pegiat sastra. Sehingga terdapat jurang pemisah di antara pegiat sastra dengan pelaku media. Lebih miris lagi, kritik tersebut bahkan lebih diserupakan dengan kutukan terhadap kebudayaan masyarakat kota Pekalongan. Dalam hal ini, para pegiat sastra kemudian menyatakan bahwa kebudayaan juraganisme yang berkembang di masyarakat kota Pekalongan menjadi hambatan be-

sar bagi perkembangan dunia kesenian utamanya dunia sastra. Budaya juraganisme inilah yang kerap dipandang sebagai budaya borjuasi ala kota Pekalongan. Media yang Pro Juraganisme Sebuah tuduhan kepada media sering dilontarkan oleh pegiat sastra di kota Pekalongan dengan menyatakan bahwa media lokal yang ada di kota Pekalongan tidak melek budaya. Tuduhan ini barangkali kurang tepat. Sebab pada hakikatnya, media di kota Pekalongan memiliki caranya sendiri untuk mengenali budaya masyarakatnya. Dalam hal ini, budaya juraganisme yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat kota pesisir ini terbaca oleh media. Kehadiran media di kota Pekalongan tentunya tidak dapat serta merta disalahkan hanya karena media hadir untuk menjawab kebutuhan budaya juraganisme itu. Kehadiran media pada prinsipnya ingin menyejajarkan diri dengan lingkungan budayanya. Jika tidak, maka keberlangsungan media dapat dipastikan akan tumbang. Perlu diingat, kehadiran media-media lokal di kota Pekalongan baik media cetak maupun elekronik, merupakan sebuah gejala positif bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan kehadiran media-media regional maupun nasional di kota Pekalongan selama puluhan tahun silam rupanya masih belum mampu menjamah pada ranah ikatan emosi dengan masyarakat. Dengan begitu, tentunya kehadiran media lokal di kota Pekalongan seharusnya mampu memberi manfaat lebih bagi masyarakat. Namun sayang, konstruksi bangunan media lokal di kota Pekalongan masih belum sepenuhnya menemukan bentuk yang ideal dilihat dari aspek kebudayaan dan dukungan terhadap kemajuan sastra di kota Pekalongan. Wajar jika kemudian kemunculan media-media baru terutama di dunia maya seolah menjadi alernatif bagi pegiatpegiat sastra untuk menuangkan ide dan menumpahkan semua kreatifitasnya. Meski begitu, pemanfaatan media-media yang tersedia di dunia maya sebagai media alternatif sesungguhnya belum dapat memuaskan hasrat kesusastraan dari pegiat sastra. Diakui atau tidak, hal tersebut sudah terjadi. Kebutuhan masyarakat sastra (pegiat sastra) di kota Pekalongan akan ruang ekspresi sangatlah tinggi. Oleh karenanya, butuh sebuah rumusan yang seharusnya dibahas secara bersama antara pegiat sastra dengan pelaku media di kota Pekalongan dalam memberikan ruang yang lebih terbuka untuk kebudayaan dan kesusastraan. Dalam hal ini, media lokal harus dibumikan menjadi ruang publik bukan sekadar menjadi ruang informasi. Hubungan Antara Gerakan Sastra dan Media Lokal di Kota Pekalongan Mencermati persoalan penyediaan ruang publik sastra pada media lokal, gerakan sastra di kota Pekalongan belum sepenuhnya mampu menembus sekat pemisah antara dunia sastra dan pers (media). Hal ini dikarenakan kedua jenis dunia ini (media dan pelaku sastra) belum sepenuhnya menyadari keterjalinan lintas dunia. Dengan demikian, menjadi sebuah tugas bersama yang diemban oleh pelaku media dan pelaku sastra untuk membangun kesadaran dalam pergerakan sastra sebagai pergerakan budaya. Disadari atau tidak, media massa memiliki peran besar dalam perkembangan dunia sastra. Selain sebagai salah satu wadah untuk mengaktualisasikan diri dan

mengapresiasi sastra, media memiliki peran yang kuat dalam menghegemoni masyarakat. Media massa juga memiliki kekuatan yang besar untuk mengarahkan perubahan zaman, sehingga media merupakan alat vital dalam memberdayakan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah. Namun sayangnya, pola pemberdayaan tersebut nampaknya menemui gejala yang sebaliknya. Media terus dikuasai oleh sistem sentralistik yang masih begitu kuat. Hegemoni Jakarta sebagai pusat kebudayaan dan peradaban terus dikampanyekan baik secara sadar maupun tidak sadar oleh pelaku media. Dengan begitu, Jakarta seolah menjadi mitos tentang kepahlawanan yang super. Jakarta diimajinasikan sebagai produsen kebudayaan yang handal. Bahkan, Jakarta dicitrakan sebagai penentu nasib bangsa. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang heterogen tidak lagi mampu mengenali jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Homogenitas yang diciptakan media dalam kebudayaan telah menciptakan manusia Indonesia yang gagap terhadap persoalan-persoalan budayanya sendiri. Upaya untuk meruntuhkan bangunan mitos yang sentralistis sebenarnya sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini dapat diimplementasikan dengan kesediaan media lokal memajangkan karya-karya sastra dari sastrawan Pekalongan. Yang tentunya tidak ada batasan generasi, aliran, atau bahkan ideologi. Dalam pengertian ini, saya sangat mendambakan adanya pergumulan sastra lintas generasi, lintas aliran, dan lintas idealisme yang lebih mengedepankan pada wilayah batin dan wilayah kreatif sastrawan Kota Batik sebagai katalisator pembangunan masyarakat yang tidak hanya berbudaya melainkan pula beradab. Sehingga ada sebuah ruang dialog antarbatin yang sama-sama tergelisahkan oleh perikehidupan yang dilangsungkan oleh khalayak saat ini. Sastra adalah media hidup yang hadir dan lahir dari pergumulan ide-ide kebudayaan. Ia bisa menjangkau apa saja, yang bahkan mungkin tidak terjangkau dalam akal nalar awam. Ia bisa mengejawantah menjadi sebuah karya-karya filosofis. Bahkan ia bisa pula menjadi penggerak roda kesadaran. Media Lokal sebagai Ruang Publik Kesusastraan Minimnya ruang publik bagi pengembangan kegiatan sastra di daerah sebenarnya bukanlah hal yang teramat vital. Sebab, penyediaan ruang-ruang publik sebenarnya dapat diciptakan secara swadaya oleh para pelaku sastra itu sendiri. Hanya saja, perlu daya dukung yang memadahi guna mengoptimalisasi penyediaan ruang publik tersebut. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media lokal sebagai ruang publik. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan Haberman (2007: 46) melalui kategorisasi ruang publik yang diajukannya. Habermas memberi gambaran bahwa dunia sastra memiliki dua wilayah ruang publik, yakni klub baca dan pers. Gambaran tersebut memberi penjelasan bahwa pers atau dalam hal ini adalah media massa, terutama media lokal merupakan wahana yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik kesusastraan. Dalam konteks media sebagai wahana informasi dipahami pula bahwa media lokal diasumsikan memiliki daya tahan yang kuat. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kedekatan secara emosional antara media lokal dengan masyarakat daerah. Kede-

katan emosional semacam ini merupakan peluang besar bagi upaya penumbuhan kesadaran masyarakat tidak sebatas menjadi masyarakat pembaca melainkan pula perlu didorong untuk mencapai pada titik kesadaran masyarakat dalam berperan aktif sebagai pelaku. Dalam pengertian ini, media lokal sebagai ruang publik memiliki peran penting untuk mendorong masyarakat masuk ke dalam realitas sosial yang ditawarkan oleh media. Media, dalam hal ini adalah media lokal, sudah sepatutnya tidak diposisikan sebagai realitas yang melampaui realitas itu sendiri. Atau dalam istilah yang dikemukakan Yasraf Amir Piliang disebut sebagai postrealitas. Keberadaan media lokal sebenarnya memberi keuntungan besar bagi masyarakat di daerah. Hal ini dikarenakan praktik dunia media yang dilakukan oleh mediamedia besar (media nasional) selama ini hanya menggemakan persoalan-persoalan dalam skala besar. Kenyataan ini membuat media menjadi mesin produksi realitas baru yang melampaui batas realitas itu sendiri (postrealitas). Akibatnya, masyarakat di daerah seolah-olah tidak memiliki hak untuk menentukan kebutuhan mereka melainkan hanya mengikuti pola-pola yang ditawarkan oleh media. Kondisi semacam itu, perlu disikapi oleh media lokal. Seharusnya media lokal memainkan peran sebagai filter bagi arus gerak media nasional. Dengan harapan bahwa filtrasi yang dilakukan oleh media lokal mampu meneguhkan entitas dan identitas lokal masyarakat. Lebih-lebih dalam pergerakan sastra di daerah. Hal ini tentunya akan membuat gerakan sastra di daerah memiliki tempat di masyarakat. Sastra tidak lagi dipandang sebagai dunia asing. Simpulan Mendasarkan pada persoalan tersebut, beberapa catatan penting nampaknya perlu digarisbawahi bahwa persoalan keterasingan sastra di masyarakat kota-kota kecil dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah peranan pelaku media dalam menjembatani kebutuhan masyarakat sebagai ruang publik. Dalam hal ini, media lokal sudah saatnya menempatkan diri sebagai ruang yang dapat dimanfaatkan bukan karena sebagai penyebar informasi melainkan pula sebagai wahana kegiatan masyarakat dalam berkebudayaan. Sastra merupakan salah satu sarana yang tepat untuk mendorong masyarakat berkegiatan budaya. Untuk alasan itu, media lokal perlu mengubah arus pemikiran mereka yakni selain sebagai ladang bisnis, media harus mampu menegosiasi kepentingan masyarakat sebagai lembaga budaya. Daftar Pustaka

Habermas, Jrgen. 2008. Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis (diindonesiakan Yudi Santoso).Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ratna, Nyoman Kutha. Prof. Dr. S.U. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene dan Ausin Waren. 1988. Teori Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Teeuw, A. 1998. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

You might also like