You are on page 1of 6

HUKUM SYARA'

H ukum Syara' adalah khithab

Syari' (seruan Allah sebagai


pembuat hukum) yang berkaitan
dengan amal perbuatan hamba (manusia), baik itu
berupa ketetapan yang sumbernya pasti dan tidak
diragukan lagi (qath'i tsubut) seperti Al-Quran dan
Hadits mutawatir, maupun berupa ketetapan yang
yang sumbernya belum pasti dan masih berupa
sangkaan (zhanni tsubut) seperti hadits yang
bukan tergolong mutawatir. Apabila ketetapannya
pasti, maka perlu pengkajian lebih lanjut; yaitu bila
penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath'iud
dilalah), maka hukum yang dikandungnya adalah
pasti pula, misalnya jumlah rakaat shalat fardlu
yang kesemuanya bersumber dari hadits
mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya
riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid

Hukum Syara'127
bagi pezina. Semua itu merupakan hukum-hukum
yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai
kebenaran di dalamnya merupakan suatu
ketetapan. Tidak ada ketetapan lain yang
ditunjukkannya kecuali hanya satu ketetapan pasti.
Akan tetapi apabila seruan Syari' itu
ketetapannya bersifat pasti sedangkan penunjukan
dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang
terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya
ayat tentang jizyah, uang yang dipungut negara
dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk
Islam, tetapi bersedia hidup dalam masyarakat
Islam. Dilihat dari segi ketetapannya bersifat qath'i,
tetapi bila ditinjau dari perincian-perincian
hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah
zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan
penggunaan istilah (jizyah); dan ketika
memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi
pembayarnya. Sedangkan mazhab Syafi'i tidak
mensyaratkan hal ini, bahkan membenarkan
mengambilnya dengan sebutan zakat mudla'afah,
zakat berlipat ganda, serta tidak perlu
menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk
saja terhadap hukum-hukum Islam.
Adapun seruan Syari' yang ketetapannya
bersifat zhanni tsubut seperti hadits yang bukan
mutawatir, maka hukum yang terkandung di
dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa
dilalahnya qath'i seperti puasa enam hari pada
bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun
yang dilalahnya zhanni seperti larangan
menyewakan tanah lahan pertanian yang
ditetapkan oleh sunah pula.

128 Hukum Syara'


Dengan seruan Syari', kita dapat memahami
hukum syara' melalui proses ijtihad yang benar.
Berdasarkan hal ini, maka ijtihad para mujtahid
itulah yang memunculkan hukum syara'. Oleh
karena itu, hukum Allah bagi setiap mujtahid
adalah apa-apa yang dihasilkan melalui proses
ijtihad setelah mentarjihkan dan menduga kuat
kebenaran hukum tersebut.
Seorang mukallaf yang telah mencapai
derajat ahli ijtihad dengan sempurna dalam
masalah tertentu, apabila dia melakukan ijtihad
kemudian dengan hasil ijtihadnya itu mendapatkan
hukum tentang masalah tersebut, maka di sini
terdapat kesepakatan ulama bahwasanya seorang
mujtahid tidak diperkenankan bertaklid kepada
mujtahid lain yang pendapatnya berlawanan
dengan hasil ijtihadnya yang diduga kuat
kebenarannya. Dia tidak boleh meninggalkan
pemahamannya/ijtihadnya (walaupun berbentuk
zhanni) kecuali jika Khalifah telah memilih dan
menetapkan salah satu hukum syara'. Dalam hal
ini sikap yang diambil oleh mujtahid, adalah harus
melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh
Khalifah. Sebab, status hukum yang telah
dihasilkan oleh mujtahid melalui proses ijtihad
yang diduga kuat kebenarannya merupakan hukum
Allah baginya dalam masalah tersebut sekaligus ia
merupakan hukum syara'. Selain itu, perintah
Imam/Khalifah akan dapat mengatasi perselisihan
(antara para mujtahiddin). Tetapi apabila
seseorang mujtahid yang telah mencapai derajat
mujtahid kemudian tidak berijtihad (dalam masalah
tertentu), maka boleh saja dia bertaqlid kepada

Hukum Syara'129
mujtahid-mujtahid lain. Sebab, Ijma' shahabat telah
menetapkan bahwa boleh bagi seorang mujtahid
untuk meninggalkan ijtihadnya dan bertaqlid
kepada mujtahid yang lain.
Adapun orang yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan berijtihad dinamakan muqallid.
Muqallid itu terbagi dua, yaitu muqallid muttabi'
dan muqallid 'ammi. Muqallid muttabi' adalah
orang yang belum menguasai berbagai cabang
ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, sehingga
harus bertaqlid kepada seorang mujtahid; tetapi
setelah ia mengetahui dalilnya. Hukum Allah
baginya adalah pendapat mujtahid yang diikutinya.
Sedangkan muqallid 'ammi adalah orang yang
belum menguasai berbagai cabang ilmu yang
diperlukan dalam berijtihad, sehingga harus
bertaqlid kepada seorang mujtahid; tetapi ia tidak
mempedulikan dalilnya. Berdasakan hal ini,
muqallid 'ammi harus mengikuti ucapan atau
pendapat para mujtahid serta menerima hukum-
hukum yang mereka istinbath-kan. Baginya hukum
syara' adalah hukum yang di-istinbath-kan oleh
mujtahid yang diikutinya. Berdasarkan hal ini,
maka hukum syara' adalah hukum yang di-
istinbath-kan oleh seorang mujtahid yang memiliki
kemampuan berijtihad. Baginya hukum adalah
hukum Allah yang tidak boleh diingkari, dan atau
mengikuti pendapat lain secara mutlak. Bagi
orang-orang yang bertaqlid kepadanya, maka
hukum tersebut telah dianggap sebagai hukum
Allah yang tidak boleh diingkarinya.
Seorang muqallid apabila bertaqlid kepada
sebagian mujtahid dalam suatu masalah dari

130 Hukum Syara'


berbagai masalah dan bertindak sesuai dengan
pendapat mujtahid dalam masalah tersebut, maka
tidak dibolehkan meninggalkan mujtahid itu dalam
masalah hukum tersebut, tetapi boleh mengikuti
mujtahid lain dalam masalah lain secara mutlak.
Apabila ia ingin mengikuti mujtahid yang lain
dalam masalah lain yang berbeda, maka hal
tersebut dibolehkan sebagaimana ketetapan dari
Ijma' shahabat. Karena itu, dalam hal ini, seorang
muqallid dibolehkan meminta fatwa kepada orang
alim dalam masalah tertentu. Adapun jika seorang
muqallid menentukan satu mazhab, misalnya
mazhab Syafi'i dan berkata "Saya bermazhab
kepadanya dan terikat kepadanya", maka dalam
hal ini ada keterangan lain. Yaitu, bila setiap
persoalan yang diambil dari mazhab yang
diikutinya berkaitan dengan apa yang ia lakukan,
maka secara mutlak ia tidak diperkenankan
bertaqlid kepada selain mazhab yang telah
dipilihnya dalam suatu masalah. Lain halnya jika
amal perbuatannya itu tidak tergantung kepada
masalah yang telah ditentukan oleh satu mazhab
yang dianutnya. Dalam masalah ini, maka tidak
ada larangan baginya untuk mengikuti selain
mazhab yang dipilihnya.
Bagi seorang mujtahid yang dalam ijtihadnya
sampai kepada suatu kesimpulan hukum tertentu,
maka baginya diperkenankan untuk meninggalkan
apa yang telah dicapainya (dalam ijtihadnya)
dalam masalah tersebut untuk kemudian bertaqlid
kepada yang lain jika ia mempunyai maksud untuk
menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat.
Inilah yang telah terjadi pada saat pem-bai'at-an

Hukum Syara'131
Utsman bin Affan.

132 Hukum Syara'

You might also like