You are on page 1of 4

DOMPO DALAM LEMBAGA KEHUTANAN:

Telaah Kekuatan Hukum yang Melemahkan Kebijakan Kehutanan

Pengantar
Dalam bahasa Jawa, dompo adalah suatu kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang membuat anyaman tikar, atau barang-barang anyaman lainnya. Dompo terjadi apabila dua atau lebih lembar bahan yang disusun menjadi anyaman, telah keliru dalam menyusunnya, dan telah tertutup oleh susunan lembar anyaman berikutnya. Dompo biasanya diketahui setelah pekerjaan selesai. Maka, memperbaiki pekerjaan dompo adalah membongkar seluruh hasil pekerjaan, yang biasanya tidak akan dilakukan. Oleh karenanya, dompo menurunkan kualitas hasil kerja secara keseluruhan. Sudah sejak lama setiap keluarnya peraturan baru dalam penyelenggaraan kehutanan seringkali tidak memuaskan berbagai pihak. Kondisi demikian ini tidak dapat dikatakan bahwa pro-kontra adanya suatu peraturan baru sebagai hal yang biasa, karena dua alasan. Pertama, apabila demikian, akan cenderung terus-menerus membiarkan kondisi tersebut terjadi, tanpa ada suatu refleksi dan evaluasi yang cukup terhadap perbedaan pendapat tersebut, akibatnya perbaikan perumusakan kebijakan kehutanan tidak akan pernah dilakukan. Kedua, bisa jadi sumber pro-kontra tidak cukup jelas. Itu akibat terjadinya kondisi dompo yang tersamar dan cenderung dibiarkan. Padahal telah menurunkan kualitas setiap peraturan yang dihasilkan. Demikian pula terhadap upaya untuk memperbaiki peraturan lama. Seringkali dalam upaya seperti itu, isu-isu lebih berperanan sebagai argumen untuk mengganti atau memperbaiki peraturan. Akibatnya tidak terjadi pembaruan secara nyata, dan seringkali dikatakan bahwa peraturannya sudah menjadi lebih baik, tetapi implementasinya yang buruk. Alasan ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena hanya lari dari suatu kenyataan, yaitu peraturan lebih baikpun tidak mampu memperbaiki keadaan. Sesuai judul di atas, apabila masalah kehutanan diletakkan di dalam tubuh lembaga kehutanan yang dompo, maka tidaklah dapat memecahkan masalah kehutanan sebelum masalah-masalah dalam tubuh lembaga kehutanan dipecahkan terlebih dahulu. Naskah ini mencoba menelaah masalah-masalah kehutanan serta masalah penetapan peraturan dalam lembaga kehutanan, yang keduanya disoroti dari perspektif konsep maupun teori kebijakan.

Masalah Kehutanan dan Subyek Kehutanan


Masalah kehutanan adalah semua faktor, situasi atau kondisi yang tidak memungkinkan fungsi hutan terpelihara. Oleh karena itu, masalah kehutanan harus dikaitkan dengan subyek tertentu. Subyek yang dimaksud adalah individu, kelompok, atau organisasi/lembaga yang setiap saat menetapkan dan menjalankan keputusan. Apabila keputusan subyek ini merusak fungsi hutan, maka terdapat faktor-faktor yang dipertimbangkan dan situasi atau kondisi yang mempengaruhi subyek, sehingga bagi subyek pilihan merusak fungsi hutan lebih tepat dilakukannya.

Memecahkan masalah kehutanan, dengan demikian, adalah memahami faktor-faktor, situasi atau kondisi tersebut. Dengan kata lain, memecahkan masalah kehutanan dimulai dari pemahaman terhadap kondisi subyek dan apa yang dihadapi subyek. Memecahkan masalah kehutanan tidak dapat didasarkan hanya dari isu-isu yang berkembang, pasalpasal hukum yang mengatur, ataupun mewujudkan kelengkapan peraturan perundangan itu sendiri. Apabila kerangka kerja seperti ini tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah seperti sekarang ini. Semakin banyak peraturan, semakin tinggi biaya transaksi, sedangkan masalah kehutanan tetap tidak terpecahkan.

Masalah Peraturan Kehutanan


Kinerja kehutanan sangat ditentukan antara lain oleh isi peraturan-perundangan yang berlaku. Dari analisis peraturan perundangan yang telah dilakukan terhadap 8 bidang yang berkaitan dengan pengelolaan dan usaha kehutanan bidang keuangan, perijinan, insentif hutan tanaman, industri dan tata niaga, penilaian kinerja, sangsi, kawasan hutan, serta kerangka umum pengelolaan hutan dapat ditunjukkan mengapa peraturanperundangan tersebut tidak efektif, sebagai berikut:
1. Penyusunan peraturan hanya bertumpu pada isi peraturan diatasnya serta reaktif

terhadap kasus-kasus yang terjadi. Sebaliknya tidak meninjau akar masalah yang akan dipecahkan dan melakukan terobosan solusi dan tentunya tetap sejalan peraturan di atasnya. Hal ini menyebabkan di satu bidang tertentu (misal bidang perijinan) peraturan cepat berubah, sedangkan di bidang lain (misal bidang kawasan hutan) peraturan tidak berubah.
2. Peraturan yang baik normatif, tidak berjalan akibat di satu pihak tidak

dipertimbangkan faktor-faktor, situasi atau kondisi yang dihadapi subyek yang diatur, dan di pihak lain tidak didukung oleh tata-kerja birokrasi yang efektif dan efisien.
3. Perumusan kebijakan dianggap selesai manakala telah disusun peraturan yang isinya

sudah searah dengan tujuan. Misalnya kebijakan umum tentang penetapan jatah produksi kayu secara nasional (soft landing). Padahal berjalannya kebijakan tersebut sangat tergantung situasi tata pemerintahan apakah mendukung atau tidak, serta kapasitas subyek (dalam hal ini pengusaha) yang terkena peraturan tersebut. Kedua hal yang terakhir ini tidak dipertimbangkan dalam perumusan peraturan.
4. Para penyusun peraturan masih terperangkap dalam bias kepentingan, sehingga

senantiasa menambah urusan yang harus ditanganinya. Banyaknya urusan ini telah terbukti mempunyai implikasi terbentuknya relasi birokrat-pengusaha secara personal yang mendatangkan moral hazard dalam bentuk kolusi. Yang menjadi korban kemudian adalah nama dan kredibilitas peraturan dan pemerintah di mata masyarakat. Kondisi di atas membawa implikasi antara lain bahwa peraturan sebagai produk hukum, yang harus dijalankan subyeknya, menjadi ditakuti karena lebih mengandung hambatan, dan bukan mengarahkan subyek untuk menjalankan apa yang paling mungkin dilakukan untuk mencapai tujuan. Produk hukum menjadi keharusan bagi subyek tanpa ada proses penyesuaian terhadap apa yang dapat dilakukan subyek, sehubungan berbagai faktor, situasi atau kondisi yang dihadapi subyek. Adalah suatu kenyataan, apa yang dapat dilakukan mengalahkan apa yang harus dilakukan. Tetapi kenyataan seperti itu seringkali tidak dilindungi oleh hukum.

Hukum yang semestinya menjadi landasan kepastian, telah melampaui fungsinya. Karena kepastian yang dimaksud dalam peraturan kehutanan tidak sebatas kepastian hubunganhubungan hukum antara orang dengan hutan (Pasal 2.c. ayat 4, UU Kehutanan). Cara, metoda, bahkan kerangka pikir untuk memecahkan masalah kehutanan harus dipastikan dan harus sesuai dengan peraturan. Dengan kenyataan demikian, isi peraturan telah membelenggu pengetahuan dan membatasi ruang lingkup masalah kehutanan itu sendiri. Peraturan kehutanan telah memproteksi lembaga kehutanan dalam hal ini pemerintah dan pemerintah daerah dari kemungkinan kesalahan administrasi yang dilakukannya, tetapi tidak melindungi masyarakat untuk menjalankan pengetahuan, ilmu, dan inovasi di lapangan. Bahkan juga tidak melindungi pegawai pemerintah dan pemerintah daerah dimana peraturan kehutanan dibuat, dalam mengembangkan daya nalarnya untuk memecahkan masalah-masalah kehutanan. Akibatnya, kekuatan hukum telah melemahkan kebijakan kehutanan secara keseluruhan.

Artikulasi Kebijakan
Kebijakan serupa dengan resep dokter. Resep dapat berupa obat, mencegah makan makanan tertentu, memperbaiki kondisi, bahkan hanya berupa nasehat, yang kesemuanya itu sangat tergantung apa penyakitnya. Oleh karena itu yang penting bukan hanya soal resepnya, tetapi diagnosa terhadap sumber penyakit. Berdasarkan analisis peraturan kehutanan yang telah dilakukan, setiap penggantian atau pembuatan peraturan baru, para pembuat kebijakan jarang atau bahkan tidak pernah melakukan diagnosa. Akibatnya, peraturan banyak dikeluarkan, tetapi berfungsi mengobati penyakit yang keliru. Dalam dunia nyata semua subyek hukum harus membeli resep, mahal, tetapi apabila tidak dilakukannya, mereka dapat menjadi tersangka atas tuduhan melanggar hukum. Maka kebijakan semakin hari semakin menjadi sebuah kata yang menakutkan. Seseorang pengusaha dari Kalimantan Timur dalam sebuah lokakarya baru-baru ini mengatakan bahwa kebijakan identik dengan monster. Seseorang petani dari Lampung Selatan mengatakan ketidak-mengertiannya atas apa yang dibicarakan pemerintah, mengenai produksi log, devisa, tata batas, rehabilitasi, yang semuanya, dikatannya, tidak ada subyeknya. Seseorang dari LSM mengatakan protesnya kepada rekannya sendiri yang selalu bicara kebijakan padahal diketahui kebijakan tidak banyak yang berjalan. Kebijakan serupa dengan perubahan yang sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Maka tidak mungkin membahas kebijakan tanpa membahas siapa subyeknya, karena siapa yang diharapkan berubah adalah subyek hukum dalam kebijakan yang dibicarakan. Perubahan bukan terletak pada peraturannya saja, juga, dan yang terpenting, subyek hukumnya merespon peraturan tersebut dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh subyek termasuk berbagai kendala yang dihadapi adalah pekerjaan pertama bagi pembuat kebijakan. Selanjutnya adalah mencari keselarasan antara apa yang dapat dilakukan dengan pasal-pasal yang mengaturnya. Masalah ketidak-sesuaian antara yang dapat dilakukan dengan hukum yang berlaku harus dapat dicarikan solusinya, misalnya melalui pencapaian bertahap, sehingga langkah pertama dari seluruh langkah yang harus dilalui subyek untuk mencapai tujuan kebijakan disediakan oleh dan akan sejalan dengan peraturan. Tanpa adanya skema yang demikian itu, maka peraturan dapat menjadi utopia.

Peraturan akan benar hanya sebatas kerangka pikir tertentu yang banyak didominasi oleh pembuatnya, tetapi tidak menjadi benar oleh adanya berbagai kendala yang dihadapi subyek yang akan menjalankan peraturan tersebut. Maka, untuk menghasilkan peraturan kehutanan yang diharapkan efektif dalam implementasinya perlu dirumuskan dengan masukan pengetahuan yang cukup. Untuk menjadikan kecukupan pengetahuan tersebut, tidak mungkin dalam merumuskan peraturan dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu. Setiap jenis masalah yang akan dipecahkan oleh suatu peraturan, diperlukan sumber pengetahuan dari orang yang mempunyai pengetahuan luas tentang masalah tersebut. Namun, hal yang jauh lebih penting adalah melakukan perubahan kerangka pemikiran dalam menyusun peraturan. Pembuat peraturan dalam lingkungan lembaga-lembaga kehutanan seringkali terkendala oleh waktu, yang harus serba cepat. Ini adalah pilihan. Cepat, tetapi tidak menghasilkan peraturan yang dapat diimplementasikan secara efektif, mengapa menjadi pilihan?

Dompo dalam Lembaga Kehutanan


Siapapun yang sedang memimpin lembaga kehutanan kini menghadapi situasi dompo. Maka menjual peraturan tidak banyak yang akan membelinya, karena kualitasnya tidak memadai. Sementara itu penyelenggaraan kehutanan terus berjalan, ada yang berhasil, tetapi banyak yang gagal. Kerja keras bahkan telah dilakukan berbagai pihak, tetapi kerja-kerja ini tidak membawa produktivitas yang sebenarnya diharapkan. Maka pengamatan yang teliti oleh para pemimpin lembaga kehutanan perlu dilakukan, untuk mengidentifikasi terjadinya dompo. Naskah ini secara ringkas telah menunjukkan terjadinya dompo dalam pembuatan peraturan kehutanan, yang dianggap sebagai biang rendahnya kinerja pembangunan selama ini. Diharapkan menjadi bahan untuk pengkajian lebih detail dan operasional
Hariadi Kartodihardjo Pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pasca Sarjana IPB dan UI

You might also like