Professional Documents
Culture Documents
di Indonesia
Disusun Oleh:
Abdul Hapiz Hilman
200646500088
DKV IIIA
Fakultas Bahasa & Seni
Fotografi 1
Univ. Indraprasta PGRI
2008
akusukahany
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………... 1
BAB 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………... 2
B. Tujuan Pembahasan …...……………………………………………... 3
C. Pembatasan Masalah …...………………………………………...…... 4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah Awal Mula Fotografi Dunia ………………………………... 5
B. Sejarah Fotografi Indonesia Bagian 1………………………………... 9
C. Sejarah Fotografi Indonesia Bagian 2………………………………..10
D. Sejarah Fotografi Indonesia Bagian 3………………………………..13
E. Sejarah Fotografi Indonesia Bagian 4………………………………..17
F. Sejarah Fotografi Indonesia Bagian 5………………………………..20
BAB 3
Penutup ..………………………………………………………….............21
Salam Hangat,
B.Tujuan Pembahasan
Oleh karena itu, saya ingin mencoba membuka kembali semangat dan kecintaan
kita akan hal mempelajari sejarah serta perkembangan apapun juga, khususnya
perkembangan fotografi, saya akan memberikan gambaran sejarah perkembangan
itu semua secara lebih jelas mengenai hal ini, semoga bermanfaat untuk kita
semua khususnya bagi kita Mahasiswa yang masuk jurusan Desain Komunikasi
Visual atau yang ingin mempelajari seluk-beluk perkembangan fotografi di
Indonesia.
Semoga dengan adanya makalah ini sedikit banyaknya dapat membuka wawasan
kita tentang perkembangan fotografi di Indonesia dari masa ke masa, serta tak
lupa pula tokoh-tokoh apa saja yang ada di balik perkembangan dunia fotografi di
Indonesia.
SIAPA yang tidak mengenal kamera? Anak kecil zaman sekarang pun sudah
terbiasa memegang dan bergaya di hadapan kamera. Yang perlu dilakukan
hanyalah menekan satu tombol, momen yang ingin disimpan dapat tertangkap
oleh kamera. Pada hakikatnya, fotografi merupakan teknik untuk menghasilkan
gambar yang tahan lama melalui suatu reaksi kimia yang terjadi, ketika cahaya
menyentuh permukaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Sejarah fotografi saat ini, berhutang banyak pada beberapa nama yang
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan fotografi sampai
era digital sekarang. Kita mencatat nama Al Hazen, seorang pelajar
berkebangsaan Arab yang menulis bahwa citra dapat dibentuk dari cahaya yang
melewati sebuah lubang kecil pada tahun 1000 M. Kurang lebih 400 tahun
kemudian, Leonardo da Vinci, juga menulis mengenai fenomena yang sama.
Namun, Battista Delta Porta, juga menulis hal tersebut, sehingga dia yang
dianggap sebagai penemu prinsip kerja kamera melalui bukunya, Camera
Obscura.
Awal abad 17, Ilmuwan Italia, Angelo Sala menemukan bahwa bila serbuk perak
nitrat dikenai cahaya, warnanya akan berubah menjadi hitam. Bahkan saat itu,
dengan komponen kimia tersebut, ia telah berhasil merekam gambar-gambar yang
tak bertahan lama. Hanya saja masalah yang dihadapinya adalah menyelesaikan
proses kimia setelah gambar-gambar itu terekam sehingga permanen.
Tahun 1824, setelah melalui berbagai proses penyempurnaan oleh berbagai orang
dengan berbagai jenis pekerjaan dari berbagai negara. Akhirnya Joseph
Nieephore Niepee, seorang lithograf berhasil membuat gambar permanen
pertama yang dapat disebut "FOTO" dengan tidak menggunakan kamera, melalui
proses yang disebutnya Heliogravure atau proses kerjanya mirip lithograf dengan
menggunakan sejenis aspal yang disebutnya Bitumen of judea, sebagai bahan
kimia dasarnya. Kemudian dicobanya menggunakan kamera, namun ada sumber
yang menyebutkan Niepee sebagai orang pertama yang menggunakan lensa pada
camera obscura. Pada masa itu lazimnya camera obscura hanya berlubang kecil,
juga bahan kimia lainnya, tapi hasilnya tidak memuaskan.
Objek, lighting, dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan masak saat
pemotretan. Pencetakan fotonya pun sangat brilian, sehingga hasil fotonya
menjadi indah menawan bagaikan lukisan-foto piktorial. Perbedaan yang dapat
dilihat dengan jelas adalah sebagian besar foto terekam beku. Jika memotret
manusia, maka si model diwajibkan diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi
karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, body kamera berukuran besar,
sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan rol), bahkan bahan
dasarnya kaca atau seluloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah. Mekanis
pada lensa juga sangat sederhana, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu
bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga
pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa.
Selain itu, ada pula Ansel Adam seorang "fine art photographer" Amerika
terbesar dari abad ke-20. Ansel Adam tidak hanya dihargai dari karya foto-
fotonya saja, juga dari dedikasinya dalam dunia pendidikan fotografi. Ansel
bersama Fred Archer pada 1940-an memperkenalkan suatu metode yang dikenal
dengan nama zone system (ZS).
Metode temuan Ansel ini secara umum adalah proses terencana dalam pembuatan
foto, mulai dari pra-visualisasi kemudian mengkalkulasi pencahayaan secara
tepat, sampai memproses film secara akurat. Hasil akhirnya adalah negatif foto
yang prima sebagai pondasi utama membuat cetakan foto yang berkualitas juga
maksimal. Metode ZS, bila dipahami secara benar, akan sangat membantu
fotografer menghasilkan foto semaksimal mungkin sehingga tidak lagi
mengharapkan suatu keberuntungan semata dalam menentukan perhitungan
pencahayaan. Segalanya telah diprediksi dan direncanakan dengan baik.
PADA waktu mendapat warisan sebuah kamera tua dari Isman, ayahnya, yang
meninggal dunia tahun 1975, Koen Soelistijo (kini pensiunan karyawan swasta)
merasa mendapat durian runtuh. Kamera dengan merek Tropen Deckrullo itu
bukan saja menjadi kenangan yang sangat berharga bagi dirinya, tetapi ternyata
juga meninggalkan banyak jejak keluarganya secara visual, yaitu negatif-negatif
foto tua yang masih baik keadaannya.
Ada sekitar 20 negatif kaca berukuran 9 x 12 sentimeter yang ada bersama kamera
Tropen itu. Ternyata, foto-foto lama itu tidak saja bersejarah bagi keluarga Koen
Soelistijo saja. Bagi sejarah fotografi Indonesia, kamera tua Tropen itu jadi
bersejarah pula.
Dari kamera itu kita tahu bahwa pribumi Indonesia sudah ada yang membeli
kamera (yang sangat mahal saat itu) pada tahun 1921. Memang perlu data lebih
banyak untuk tahu siapa pribumi pertama Indonesia yang memiliki kamera. Kalau
fotografer pribumi pertama yang dikenal sampai saat ini adalah Kassian Cephas
yang sudah memotret sejak akhir abad ke-19.
Ayah Koen Soelistijo, yaitu Isman, membeli kamera itu pada tanggal 10
Februari 1921 saat masih menjadi siswa Kweekschool Djetis, Yogyakarta,
yang saat itu adalah sekolah calon guru.
Isman (almarhum) rupanya orang yang sangat teliti dalam segala hal. Kuitansi
asli pembelian kamera itu masih tersimpan dengan baik.
Harga kamera Tropen itu dengan peralatannya saat dibeli adalah 475 gulden.
Sulit dicari padanannya dengan harga emas atau beras saat itu karena tidak ada
data lain yang bisa didapat.
Menurut Koen, ayahnya selalu memproses sendiri hasil potretannya. Dari kuitansi
pembelian, jelas terlihat bahwa Isman membeli aneka aksesoris lain termasuk
sebuah tripod dari kayu.
Kamera Tropen itu memang kamera langka karena merek itu pun sudah tidak
terdengar lagi kini. Format film yang dipakai pun aneh, yaitu 9 x 12 sentimeter.
Biasanya untuk kamera format besar seperti Tropen itu, format yang dipakai
bahkan sampai saat ini adalah 4 x 5 inci (10 x 12,5 sentimeter) atau 8 x 10 inci,
atau 16 x 20 inci.
Akan tetapi, ini bisa dimaklumi karena kamera Tropen buatan Belanda. Pada
zaman itu, Eropa dan Amerika punya standar masing-masing dalam kamera.
Standar dunia yang dipakai saat ini untuk kamera format besar memang standar
Amerika yang memakai inci.
Kamera Tropen itu menghasilkan gambar yang sangat baik, tajam, dan
kontrasnya bagus sekali. Maklum, lensa yang dipakainya adalah Carl Zeiss yang
memang sangat terkenal sampai sekarang.
Sejarah yang ditorehkan kamera Tropen itu bisa juga kita nikmati bersama.
Simaklah foto upacara Tedak Siti (Upacara Turun Tanah) yang dilakukan kakak
Koen Soelistijo, Koentjiati, pada tahun 1930-an. Kita jadi tahu sedikit pada apa
yang dilakukan atas anak yang mulai bisa berjalan itu.
Juga kita bisa melihat bentuk mobil pada tahun 1920-an, yaitu foto keluarga
Isman di Madiun, Jawa Timur. Kita jadi tahu pula bahwa nomor mobil Madiun
sudah AE sejak dulu.
Isman yang lulusan Kweekschool Djetis, kemudian ikut mendirikan SMP 1 Solo
dan patungnya masih ada di Gedung SMP 1 Solo itu.
Pendeknya, kamera Tropen yang dimiliki Koen Soelistijo adalah sebuah bukti
jejak bersejarah tidak hanya bagi keluarga Koen. Bagi dunia fotografi Indonesia,
setidaknya kamera itu berkata, "Sebelum Sumpah Pemuda dilakukan sudah
ada pemuda Indonesia yang menjadi penggemar fotografi secara amatir."
Hasil jepretan Frans Mendur pun mau dirampas atau disita pihak tentara Jepang,
tapi Frans berdusta. Bahwa filmnya sudah tidak ada ditangannya. Fotografer lain?
Sama sekali tidak ada pada saat peristiwa bersejarah itu. Andaikata tidak ada
Frans Mendur, maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari
peristiwa proklamasi kemerdekaan
Di gedung bergaya Eropa yang dibangun pada 1930-an itulah Bung Karno dan
Bung Hatta serta para pemimpin bangsa kala itu menyiapkan naskah proklamasi
kemerdekaan RI. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada 16 Agustus tengah
malam, setelah keduanya pulang dari Rengasdenglok karena diculik para pemuda
militan. Naskah proklamasi yang kemudian pada tiap tahun peringatan detik-detik
proklamasi selalu dibacakan baru selesai disusun pada 17 Agustus 1945 pukul
04.00, bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 Hijriah.
Gedung yang pernah ditempati Kedubes Inggris itu merupakan salah satu gedung
bersejarah yang terselamatkan. Karena, gedung yang paling bersejarah di Jl
Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) No 56, tempat proklamasi kemerdekaan
dibacakan, telah dibongkar pada 1960.
Karena serba cepat dan belum rapi pengorganisasiannya, banyak pemuda yang
akan menghadiri acara tersebut datang ke lapangan Ikada (kini Monas). Di sini
kemudian disebarkan selebaran tulisan tangan agar mereka ke Pegangsaan Timur
56. Pembacaan teks proklamasi di kediaman Bung Karno dianggap lebih aman
mengingat balatentara Jepang masih berkeliaran di Jakarta. Sempat dikhawatirkan
akan terjadi bentrokan antara massa rakyat dengan tentara Jepang.
Ada Barisan Pelopor sekitar 100 orang dari Penjaringan, Jakarta Utara, yang
datang terlambat. Mereka kecewa karena tidak sempat melihat teks proklamasi
kemerdekaan dibacakan. Lalu mereka meminta agar diulang. Tapi ditolak Bung
Karno. Proklamasi kemerdekaan hanya dibaca satu kali saja tak boleh diulang dan
Jepang tahu benar, bahwa kalau gambar pembacaan proklamasi itu sampai tersiar
niscaya punya efek atau akibat psikologis yang hebat sekali kepada rakyat.
Sewaktu Jepang datang kepadanya dan minta negatifnya, Frans Mendoer
menyatakan tidak ada lagi padanya dan sudah diambil oleh Barisan Pelopor.
Padahal negatif foto-foto peristiwa pembacaan teks proklamasi itu disembunyikan
Mendoer dan ditanam di halaman kantor harian Asia Raya di bawah pohon.
Frans Mendoer banyak pula mengabadikan suasana kota Jakarta pada masa-
masa revolusi fisik, yang kini dapat kita saksikan foto-fotonya. Seperti kata-kata
Merdeka atau Mati "Freedom or Death" semboyan yang banyak terdapat di
Jakarta kala itu, termasuk di tembok-tembok dan trem listrik. Sewaktu pemerintah
RI hijrah ke Yogyakarta, tidak ketinggalan Mendoer juga ikut serta. Bukan
dengan pistol FN atau senjata bren, tapi dengan kameranya ia mengabadikan
perjuangan bangsanya yang tengah bergulat hidup dan mati melawan Belanda.
Frans Mendoer meninggal dunia pada 24 April 1971 di Rumah Sakit Sumber
Waras Jakarta. Dalam hubungan ini Harian Pedoman mencatat, ''Tidak banyak
wartawan yang mengantar jenazah Soemarto Frans Mendoer ke makamnya.''
Sedangkan Harian Merdeka menulis, ''Terlepas dari segala-galanya, dia berhak
untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlalwan.'' Sayangnya, tulis H Subagio
IN,'' Meskipun begitu besar jasanya dan berhasil mengabdikan sejarah perjuangan
bangsanya, namun dia kebetulan dianggap tidak punya syarat untuk dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.'' Memang cukup tragis dan menyedihkan.
Dalam Beberapa tahun ini tumbuh dan bertahan beberapa Galeri khusus
Fotografi, seperti GFJA, I-See, Oktagon, de Arneau di Jakarta. Di Bandung
beberapa galeri seperti Galeri Soemardja ITB dan Selasar Soenarjo Art Space
semakin sering memberi ruang pada fotografi. Begitu pula di Yogyakarta dengan
Kedai Kebun, dan Mes 56.
Sekitar 100 karya dipamerkan dalam pameran bertema "City of Hope". Foto-foto
yang dipamerkan mengambil pendekatan fotografi jurnalistik dokumenter tentang
kota dan segala permasalahannya.
"The Jakarta International Photo Summit adalah pertama kali digelar. Pada
hakekatnya ini merupakan ajang pertemuan global bagi karya-karya fotografer
dunia dengan para fotografer tanah air yang diharapkan akan berpengaruh positif
terhadap perkembangan fotografi di Indonesia," ujar Pemimpin Galeri Foto
Jurnalistik ANTARA, Oscar Motuloh.
Sebanyak tujuh negara berpartisipasi dalam pameran ini yakni Jepang, Amerika
Serikat, Jerman, Belanda, Prancis, Brasil, dan Indonesia. Masing-masing
fotografer dari berbagai negara tersebut menghadirkan perspektif mereka terhadap
kota di mana mereka tinggal dan kompleksitas masalah sosial budaya di kota
tersebut.
Karya foto tersebut dipilih oleh empat kurator yang merupakan pengamat dan
pelaku fotografi yakni Firman Ichsan, Rifki A Zaelani, Alex Supartono, dan Oscar
Motuloh.
Pameran ini turut didukung Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta (CCF) yang
menghadirkan 88 karya asli dari 54 maestro fotografer dengan tema "Objectif
Paris".
Para fotografer dari Perancis tersebut diantaranya Brassai, Eugene Atget, Andre
Kertesz, Marc Riboud, dan Henri-Cartier Bresson.
Pameran yang berlangsung hingga 13 Desember ini digagas oleh Galeri Foto
Jurnalistik ANTARA, Galeri Nasional Indonesia, dan Dewan Kesenian Jakarta.
Serta seiring dengan perkembangan zaman dunia fotografi, kita pasti dituntut
untuk selalu mengikutinya. Kita yang ingin menjadi seorang fotografer sejati
harus ditanam dalam diri kita untuk selalu jangan lupakan sejarah masa lalu, saya
ingat akan perkataan yang melegenda dari Presiden RI 1 Kita Bung Karno, bahwa
untuk menjadi sebuah Bangsa yang kuat maka kita jangan lupakan sejarah
perjuangan para pahlawan kita. Sama seperti hal nya foto, jangan pernah lupakan
sejarah perkembangan fotografi, karena dengan kita mempelajari serta tak akan
melupakan setiap masa-masa perkembangan dunia foto, maka akan menjadi
cerminan kita untuk selalu bersemangat dan terus menerus berkarya untuk
kemajuan yang positif perkembangan fotografi Indonesia.
Kindarto, Asdani. 2007. Memotret dan Mengolah Foto Digital Untuk Pemula.
Jakarta: Gramedia.
Kompas.com. 15 Mei 2004. Kisah Sebuah Kamera Tua yang Bersejarah. Internet.
Matroji. 2000. IPS Sejarah Untuk SLTP Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.