You are on page 1of 4

Praktikum ke-7 April 2011 MK Sosiologi Umum (KPM 130)

Hari/tanggal praktikum : Selasa, 26 Kelas : A02

SISTEM PONDOK (Wariso Ram) LSM DAN NEGARA (Philip Eldridge) Oleh: Rizqi Adha Juniardi (E24100103) Asisten Praktikum: Dwi Agustina (I34080007) Debbie L. Prastiwi (I34080059) Ikhtisar I Keadaan serba tidak cukup mendorong para migran sekuler yang berasal dari rumah tangga desa pemilik lahan sempit dan berpendidikan rendah untuk melakukan usaha mandiri secara kecil-kecilan dengan menggunakan modal yang terjangkau dan peralatan yang murah. Sebagian telah cukup lama melakukan sirkulasi desa kota dan berhasil mengumpulkan modal untuk mendirikan usaha dalam bidang yang kurang diminati para elit kota. Migran sekuler biasanya memulai usahanya dengan modal terbatas menggunakan peralatan sederhana dan keterampilan yang mudah dipelajari. Persiapan yang matang dalam pemasaran hasil dan mempunyai pengalaman cukup mengenai selukbeluk proses produksi merupakan modal besar yang berharga dalam usaha pengembangan usaha mereka. Usaha seperti ini bersifat padat karya sehingga diperlukan keterampilan dalam pengelolaan hubungan antar manusia untuk mengimbangi keterbatasan modal serta pemanfaatan ilmu dan teknologi dengan melaksanakan asas gotong royong yang menjadi sendi utama walaupun tujuan utama sistem pondok adalah keuntungan ekonomi. Di samping itu antara majikan dan karyawan harus harmonis agar semua pihak mendapat untung karena sering terdapat hubungan darah atau terdiri dari kawan-kawan yang berasal dari daerah yang sama. Dilihat dari besarnya sumbangan tenaga kerja migran sirkuler (penghuni pondok boro) dalam proses produksi dan penjualan hasil, sistem pondok dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu sistem pondok dimana setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama, sistem pondok dimana kedudukan pemilik lebih mirip kedudukan kepala

rumah tangga, sistem pondok dimana telah dikenal deferensiasi tenaga yang bertugas dalam proses produksi (karyawan) dengan tenaga yang bertugas dalam pemasaran hasil produksi (penjual), dan sistem pondok dimana pemilik pondok tidak melibatkan diri dalam kegiatan produksi ataupun pemasaran barang. Terdapat sistem pondok yang merupakan campuran, misalnya dalam pondok boro usaha kerupuk terdapat pemisahan antara tenaga pembuat kerupuk dan menggoreng kerupuk tenaga penjual mentah yang tetapi para penjual perlu majikan dengan dibeli dari

menggunakan penggorengan milik majikan ditempat usaha majikan. Namun demikian mereka tidak mendapat imbalan berupa upah atau jaminan makan. Hampir semua pemilik pondok boro berperan sebagai pelindung para penghuni pondok. Pemilik pondok bertanggung jawab atas kehadiran migran sirkuler pada urusan administrasi dari para penghuni ke tingkat RT/RW atau desa. Pemilik boro berusaha agar pondok miliknya dalam keadaan damai, tentram, dan tenang sehingga migran sekuler mampu fokus untuk bekerja mencari nafkah. Dari jenis kegiatan yang dilakukan penghuni, pondok boro dibedakan menjadi 3 yaitu pondok boro buruh (tukang becak), pondok boro penjual (penjual kerajinan), dan pondok boro produksi (produksi tahu). Ikhtisar II Hampir semua LSM cenderung mengadopsi profil yang

menekankan karakter non-politik. Arief Budiman mencatat bahwa LSM telah menjadi saluran absah bagi partisipasi sosial dan politik yang sebelumnya telah dibendung pemerintah dan hanya sedikit yang memformulasikan ide-ide politik. LSM lebih cenderung menyukai aksi daripada teori. Bila konsep masyarakat dan Negara didefinisikan, keduanya mencakup totalitas kehidupan sosial dan politik. Sementara pemerintah dan masyarakat sipil berinteraksi di semua tahap tidak dengan sendirinya masyarakat sipil memiliki otonomi dalam mengartikulasikan nilai-nilai, melakukan kontrol terhadap sumberdaya dan kapasitas untuk mengatur diri sendiri (self management). Dampak aktivitas-aktivitas LSM terhadap perimbangan kekuatan keseluruhan antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi dan pemerintah

Indonesia sangat krusial dalam menentukan signifikansi politik. LSM meningkatkan kapasitas bagi self-management di kalangan kelompokkelompok tersebut dengan kemampuan untuk berurusan dengan badanbadan pemerintah dan berperan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat sipil vis--vis negara. LSM memiliki dampak langsung terhadap negara melalui pengaruhnya terhadap proses pembentukan kebijaksanaan pemerintah dan opini publik. Pemerintah menyadari potensi yang dimiliki LSM untuk memobilisasi sumber daya manusia secara efektif dan dengan demikian mempermurah biaya yang dibutuhkan dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menetralisir kekuatan LSM adalah dengan menciptakan struktur paralel yang bertujuan memobilisasi kelompok-kelompok sasaran. Dapat diasumsikan bahwa komitmen terhadap hak asasi dan partisipasi demokratik dengan sendirinya harus diterjemahkan sebagai hasrat untuk menyelenggarakan restorasi. Interpretasi murni baik dari teori demokrasi ortodoks dan prinsip-prinsip teori yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai prasyarat dalam pembuatan keputusan cenderung akan mengukur otonomi dalam arti diferensiasi yang tajam antara struktur pemerintah dan masyarakat. Pembedaan ini kurang realistis dalam konteks kebudayaan Indonesia. Terdapat diskusi tentang model-model LSM diantaranya Model 1 akan didasarkan pada pengalaman YIS (Yayasan Indonesia Sejahtera) yang bergerak dibidang kesehatan dan pengembangan masyarakat serta Bina Swadaya, yang mengembangkan usaha simpan pinjam, kredit, dan koperasi informal, usaha bersama, Model 3 diwakili oleh Lembaga Studi Pembangunan (LSP) yang bergerak di sektor informal kota serta upaya pengembangan kesadaran sosial di kalangan pesantren oleh LP3ES. Jaringan kerja yang terkait dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencakup elemen dari kedua pendekatan tersebut, Model 3 diwakili oleh dua kelompok yang lebih kecil berpusat di Yogyakarta. Kedua kelompok ini terlibat dalam mobilisasi berkaitan dengan persoalan hak asasi, perjuangan buruh, dan pengusiran akibat proyek-proyek konstruksi. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHWK) paling tepat ditempatkan dalam kategori 2, sebagaimana juga

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang sebagian dikelola oleh dan ditujukan untuk kaum wanita. Analisis 1. Persamaan dan perbedaan pemerintah dengan LSM! Persamaan Terbentuk dari kelompok masyarakat yang memiliki tujuan satu tujuan Terbentuk akibat adanya tuntutan keadaan dari lingkungan yang mengharuskan kelompok tertentu memperbaiki ketidakstabilan Menjadi pengendali terhadap kelompokkelompok masyarakat lain Hubungan antar individu memiliki pola tertentu seperti hubungan sosial yang terlibat LSM dan pemerintah sama-sama terlibat dalam mobilisasi kelompok tertentu walaupun LSM lebih dominan Perbedaan Pendiferensiasian pemerintah lebih besar daripada pada LSM Dalam mencapai suatu tujuan LSM tidak memiliki pola, namun pemerintah memiliki wewenang yang berfungsi mengawasi dan mengarahkan dalam mencapai tujuan LSM lebih menekankan aksi daripada teori, sedangkan pemerintah mengikuti prosedural yang berlaku LSM tertentu tidak memasukkan unsur politik dalam aktivitasnya, berbeda dengan pemerintah yang cenderung lebih mengutamakan unsur politik Aktivis LSM lebih melibatkan perasaan untuk menghargai dan rela membantu, sedangkan pemerintah semata-mata hanya untuk kepentingan dan keuntungan balas jasa yang setimpal

2. Dalam pemerintahan terdapat birokratisme, buktinya adalah


terdapat berbagai macam pemerintahan yang rumit dengan berbagai peraturan yang diberlakukan serta cakupannya dari pusat sampai ke daerah karena masyarakat memang memerlukan pengaturan yang melayani keperluannya secara teratur, efisien, dan efektif.

You might also like