You are on page 1of 97

PERANAN LEMBAGA SOMASI DALAM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT.

BNI (Persero) CABANG PINRANG


Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S-2 Program Studi Megister Kenotariatan

Diajukan oleh,

DARMIAH HUSAIN 14337/PS/MK/04

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA


2009

ii

iii

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kehadirat Allah SWT, yang dengan Rahmat Hidayat dan Inayah-Nya, dengan melalui berbagai ujian yang menuntut kesabaran dan ketabahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Peranan Lembaga Somasi dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang, yang merupakan tugas terakhir dari perkuliahan sebagai syarat kelulusan untuk meraih gelar Magister Kenotariatan. Berkat adanya motivasi dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala ujian dapat diatasi sehingga tesis ini akhirnya dapat diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terma kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara moril maupun materil dalam penyelesaian tesis ini : 1. Bapak Taufiq El-Rahman, S.H., M.H., selaku pembimbing utama/Dosen dan Bapak Prof. Dr. H. Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Kenotariatan pembimbing Universitas

pendamping/Dosen/Ketua

Program

Magister

Hasanuddin, yang telah meluangkan waktu memberi bimbingan dan mengarahkan penulis dalam penyempurnaan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Ghofur Anshari, S.H., M.H., Selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada. 3. Para dosen Program Magister Kenotariatan Kerja Sama UGM Unhas, atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama ini.

iv

4. Seluruh staf sekretariat Program Magister Kenotariatan yang sabar menanggapi kebutuhan dan pertanyaan para mahasiswa dan penulis. 5. Papa dan Mama, Husain Manra (Alm) dan St, Djurumiah (Alm), yang dalam sakitnya, selalu mendoakan dengan keikhlasan hati menyertai perjalanan hidup penulis, saudara-saudaraku Jaya, Rayu, Jayadi, Anti, dan Surya, semoga kita semakin dipererat dalam suatu keluarga yang sakinah, senantiasa memberi support dan ikut mendoakan penulis. 6. Keluarga Kakak Ipar M. Natsir Madeali dan Hj. Nur Edayani Hasani, Keluarga Kakak Letkol. Drs. H. M. Junus Djaelani dan Dra. Hj. Nurul Hamisani Hasani, Keluarga Kakak H. Syamsul Bachri dan Hj. Nur Anida Hasani, Keluarga Adik ipar Ir. Chasrun Hasani, M.T. dan Dra.Hj Fauziah, adinda Ir. Chasyim Hasani, yang telah begitu banyak memberi bantuan baik secara moril maupun materi, memberi motivasi dan dukungan serta mendoakan penulis dengan tulus ikhlas. 7. Ponakan-ponakan penulis, Andini, Yuda, Nina, Yudi, Aldi, Didit, Nita dan Ogi dengan candanya yang lucu polos membuat penulis terhibur, lebih tenang dan termotivasi dalam penyelesaian tesis ini. 8. Suami Tercinta Hasdar Hasani,S.H.(Alm) yang telah memberi kenangan terindah dalam hidup penulis, ananda Nisrina Atikah Hasdar yang membuat penulis selalu termotivasi untuk tetap survive, mempunyai semangat menghadapi segala cobaan hidup. dan tegar dalam

9. Keluarga Drs.H.Alimuddin dan Kakanda Hj. Hasniaty Welli Darsih serta adinda Nur Fitri Amalia, S.H., MKn. yang telah memberi banyak bantuan dan motivasi yang tulus kepada penulis. 10.Keluaarga Ir. H. Adnan Rusli dan Hj. Herlina, S.H.,Keluarga Dr. Juajir Sumardi, S.H.,M.H., dan Andi Salmawati, S.H.,M.Kn.,yang senantiasa memberi support, bantuan dan dukungan kepada penulis. 11.Ka Muna, De, Ani, Eka, Syahruddin (Accing), Rahma, Akira, DeIra, serta teman-teman dan handai taulan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan dan doa yang tulus kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, baik dari segi tekhnisnya maupun dari segi materinya. Oleh karena itu dengan lapang dada penulis akan menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Penulis tidak lupa mendoakan semoga apa yang telah diberikan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini mendapat balasan yang berlipat. Amin.

Yogyakarta, Maret 2009

DARMIAH HUSAIN

vi

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................................ DAFTAR ISI........................................................................................................ DAFTAR TABEL ................................................................................................ INTISARI............................................................................................................. ABSTRACT ........................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN................................................................................ A. Latar Belakang Masalah ................................................................ B. Rumusan Masalah.......................................................................... C. Keaslian Penelitian......................................................................... D. Tujuan Penelitian ........................................................................... E. Kegunaan Penelitian...................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... A. Pengertian Perjanjian .................................................................... 1. Pengertian perjanjian ............................................................... 2. Asas-asas perjanjian .................................................................. 3. Syarat sahnya perjanjian .......................................................... 4. Wanpestasi dan akibatnya ....................................................... B. Dunia Perbankan di Indonesia..................................................... C. Kredit Bermasalah dan Kredit Macet.......................................... D. Penyelesaian Kredit Bermasalah.................................................. i ii iii iv vii ix x xi 1 1 4 5 5 6 7 7 7 9 12 15 20 25 44

vii

BAB III CARA PENELITIAN .......................................................................... A. Sifat Penelitian ................................................................................ B. Penelitian Kepustakaan................................................................ C. Penelitian Lapangan ...................................................................... D. Alat yang dipakai .......................................................................... E. Jalannya Penelitian ........................................................................ F. Teknik Analisis Data ..................................................................... G. Hambatan dalam Penelitian dan Cara Mengatasinya .............. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ A. Pelaksanaan Lembaga Somasi Oleh PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang .............................................................................. 1. Hasil Penelitian.......................................................................... 2. Pembahasan ............................................................................... B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktek Pelaksanaan Somasi ............................................................................................. 1. Hasil Penelitian ........................................................................ 2. Pembahasan ............................................................................ BAB V PENUTUP ............................................................................................. A. Kesimpulan ..................................................................................... B. Saran................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA

49 50 50 51 52 53 54 54 56 56 56 63

76 76 79 80 82 83

viii

DAFTAR TABEL Halaman 1. Pemahaman Debitor Terhadap Somasi .. 58 2. Tingkat Keseringan Debitor Menerima Somasi 59 3. Yang Melaksanakan Somasi . 60 4. Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Somasi ... 78

ix

PERANAN LEMBAGA SOMASI DALAM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BNI (PERSERO) CABANG PINRANG Oleh: Darmiah Husain1, Taufiq El-Rahman2, Ahmadi Miru3 INTISARI Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan somasi pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pinrang dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pinrang merupakan kawasan pengembangan perekonomian Indonesia Timur khususnya Sulawesi Selatan dan ditemui banyak kredit bermasalah. Penelitian diawali dengan mengkaji berbagai literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara langsung dengan narasumber yang menguasai obyek yang diteliti.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang tidak terlepas dari perkembangan kompleksitas masyarakat, tidak hanya melahirkan proses-proses kelembagaan yang baru melainkan juga menggeser peran lembaga somasi yang sebelumnya berstatus sebagai peringatan atau teguran agar debitor berprestasi. Akibat munculnya pola-pola somasi dalam berbagai bentuk, peranan lembaga somasi telah berubah menjadi sarana alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efisien. Perilaku pihak Bank setelah dilaksanakannya suatu somasi tidak terlepas dari olahan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan kata lain bahwa faktor hukum dan faktor non hukum (ekonomi, sosial dan budaya) berpengaruh secara timbal balik dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang setelah dilaksanakannya somasi.

Kata-kata kunci : Peranan, lembaga, somasi

1 2

Perumnas Raya Antang No.77, Makasar Faculty of Law, UGM, Yogyakarta. 3 Faculty of Law, UNHAS, Makasar.

ROLE OF REPRIMAND INSTITUTION IN SOLVING CREDIT PROBLEMS IN PT. BNI (PERSERO), THE BRANCH OF PINRANG By: Darmiah Husain1, Taufiq El-Rahman2, Ahmadi Miru3 ABSTRACT These study objectives were to identify and understand role of summon institution in solving bad debt of PT. BNI (Limited), the branch of Pinrang and factors affecting performance of summon to PT. BNI (Limited), the branch of Pinrang. This study was done in Pinrang District by considering that the Pinrang District is economic development area in East Indonesia, especially South Sulawesi, and found many bad debts. This study started to examine various literatures associated with study topic. Field research was done by interviewing directly with informants mastering of studied objects. Results of study indicated that development of summon institution role in solving bad debts of PT. BNI (Limited), the branch of Pinrang didnt separate from society complexity development, not only resulting in new institutional processes but also shifting summon institution role, which was previously status as warning or exhortation in order that debtor reached achievement. As result of summon patterns in various forms, summon institution role had changed into efficient and effective alternative solution to bad debt. Bank behavior after performing summon didnt separate from economic, social and cultural interest processes. In other words, law and non law factors (economic, social and cultural) had mutual effect on solution to bad debt of PT. BNI (Limited), the branch of Pinrang after performing summon. Keywords: role, institution, summon.

1 2

Perumnas Raya Antang No.77, Makasar Faculty of Law, UGM, Yogyakarta. 3 Faculty of Law, UNHAS, Makasar.

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Terjadinya krisis perbankan yang melanda Indonesia (khususnya ketika krisis moneter melanda di tahun 1998) banyak terjadi kredit bermasalah dan kredit macet pada bank-bank swasta nasional maupun pada bank-bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), telah memunculkan lembaga somasi yang sebelumnya kurang begitu populer penggunaannya di dalam masyarakat. Sebagai salah satu upaya hukum pada bidang hukum privat, memberi posisi kuat dari segi hukum pembuktian bagi kreditor ketika subyek hukum debitor melakukan cidera janji (default) wanprestasi atas klausul-klausul yang telah disepakati dalam perjanjian. Sebenarnya

keberadaan somasi bukan merupakan proses atau bagian dari mekanisme hukum privat yang baru terlembagakan, karena somasi sendiri eksistensinya diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata. Somasi mencuat di lingkungan perbankan disebabkan karena adanya kredit macet atau bermasalah yang menuntut penyelesaian,

karena adanya pihak nasabah Debitor yang melakukan cidera janji atau wanprestasi atas klausula perjanjian kredit yang ditandatanganinya. Sejatinya kredit bermasalah di lingkungan perbankan tidak terlepas dari kebijakan (policy) deregulasi melalui paket Oktober 1988 yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan dunia perbankan, akan tetapi tidak disertai kontrol yang memadai. Ekspansi kredit yang berlebihan di dunia perbankan mendorong pemerintah pada tahun 1991 melakukan kebijakan uang ketat (tight money policy) dengan nama Gebrakan Sumarlin, yang mengedepankan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principle) sebagai sarana kontrol serta cikal bakal lahirnya Undang-undang Perbankan di tahun 1992.1 Walaupun tahap-tahap hubungan kreditor-debitor dalam setiap transaksi diharap memenuhi ketentuan kaidah dan hukum perbankan dengan asas prudential banking, five credit analysis (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economic), legal lending limit, perjanjian, hak tanggungan, hukum prosessual dan ketentuan normatif lainnya, akan tetapi persoalan kredit bermasalah menjadi keniscayaan di lingkungan perbankan kita.

Mudrajat Kuncoro, 2002, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, BPEE, Yogyakarta, hlm.456

Hal ini menunjukkan masalah somasi dalam kredit bermasalah di lingkungan perbankan tak sekedar hanya masalah hukum normatif/ legalistis dan hutang-piutang semata. Dalam konteks demikian masalah somasi di lingkungan perbankan tidak dapat lagi dikaji secara dogmatislegalistis belaka, mengingat dalam suatu sistem sosial, masyarakat tidak hanya diatur oleh suatu norma sosial saja. Himawan mengatakan bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin tanpa adanya penegakan hukum, terutama di bidang yang langsung berkaitan dengan pemulihan ekonomi itu sendiri sehingga dapat menjembatani tetapi tidak boleh dimasukkan dalam kotak yang terpisah.2 Sudikno mengatakan pada prinsipnya somasi memberikan posisi yang menguntungkan kepada pihak bank selaku kreditor dari segi hukum pembuktian. Sebab, kreditor dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari debitor dalam hal adanya wanprestatie, satu dan lain hal, jika upaya penyelesaian masalah kredit setelah dilakukannya somasi terlebih dahulu pihak bank berkehendak menempuh proses peradilan (litigation) sebagai upaya penyelesaian kredit bermasalah tadi.3. Somasi sendiri secara parsial ditafsirkan oleh para pakar dengan berbeda. Vollmaar dalam Adiwimarta menafsirkan somasi sebagai
2 3

Harian Kompas, Ekonomi dan Hukum Rintangan Potensial, tanggal 10 Agustus 2006 Sudikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 115

pemberitahuan penetapan lalai kepada debitor;4 Fockema Andreae memberi arti teguran untuk membayar5; Ali peringatan kepada debitor.6 B. Rumusan masalah Adanya sikap dan perilaku perbankan terhadap penggunaan somasi seperti digambarkan tersebut memotivasi penulis untuk menjelaskan berupa

menunjukkan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang terhadap nasabah debitor? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan somasi pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang terhadap nasabah debitor? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Peranan Lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Walaupun ada tulisan seperti Penyelesaian Kredit Bermasalah melalui Parate Eksekusi Hak Tanggungan,akan tetapi

I.S. Adiwimarta, 1984, Pengantar Study Hukum Perdata, Jilid I dan II, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 76 5 Fockema Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 523. 6 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, hlm. 17

tetap berbeda dalam pembahasan-pembahasan dan pengambilan kesimpulan. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana terseut di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan memahami peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang. 2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan somasi pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang terhadap nasabah debitor. E. Kegunaan penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk mendapatkan manfaat dari segi teoritis maupun praktis seperti di bawah ini : 1. Dalam tataran teoritis akan menambah khasanah kajian hukum non dogmatis terhadap pelaksanaan somasi di bidang perbankan. 2. Dalam tataran praktis untuk memberikan petunjuk penggunaan somasi yang efisien, efektif dan maksimal di lingkungan perbankan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengetian Perjanjian Perikatan yang lahir dari perjanjian diatur dalan Bab II Buku III KUHPerdata tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan, yang dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian kesatu mengatur tentang ketentuan-ketentuan umum, bagian kedua tentang syarat sahnya perjanjian, bagian ketiga tentang akibat perjanjian dan bagian keempat tentang penafsiran perjanjian. Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Overeenkomst. Dalam hal ini belum ada kesatuan pendapat dari pada sarjana hukum Indonesia mengenai istilah tersebut. Menurut Setiawan istilah ini berasal dari kata Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi overeenkomst

menganut kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW.7

Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, hlm. 1

Menurut Subekti8 istilah overeenkomst jika dilihat dari segi terjemahannya memang lebih sesuai dengan kata persetujuan, namun karena kata perjanjian merupakan istilah yang sudah umum digunakan dalam masyarakat maka beliau lebih condong pada istilah perjanjian. Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Melihat pengertian-pengertian yang diberikan oleh para ahli hukum di atas dalam penulisan hukum ini penulis menganut pengertian perjanjian yang diberikan oleh Mertokusumo, yaitu bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.9

8 9

Subekti, 1988, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Alumni, Bandang, hlm. 2 Sudikno Mertokusomo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 97

2. Asas-Asas Perjanjian Dalam suatu perjanjian ada asas-asas yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat dalam perjanjian yang meliputi : a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi, bentuk dan jenis perjanjian. Menutut asas ini hukum perjanjian

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan dan menentukan sendiri isi, bentuk dan jenis perjanjian. Asas kebebasan berkontak ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka dapat diketahui bahwa perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka yang memungkinkan setiap orang boleh mengadakan perjanjian apapun juga baik yang sudah diatur dalam undang-undang maupun yang belum diatur dalam undang-undang. Meskipun pada asasnya setiap orang bebas

melakukan perjanjian, namun dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh : 1. Adanya standarisasi dalam perjanjian; 2. Adanya campur tangan dari penguasa; 3. Adanya usaha-usaha untuk memberantas perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan; 4. Adanya moral, adat istiadat, kesusilaan dan ketertiban umum. b. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme menyatakan bahwa perjanjian telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat para pihak sehingga selain kata sepakat tidak diperlukan syarat-syarat lain. c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya seseorang yang membuat perjanjian dapat dikatakan membuat undang-undang bagi dirinya sendiri, sehingga para pihak dalam perjanjian wajib tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat seolah-olah merupakan undang-undang bagi yang membuatnya dan pihak ketiga wajib menghormati

10

perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh menambah, mengurangi, menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraknya oleh karena itu asas ini juga disebut asas kepastian hukum. Para pihak dengan mengadakan perjanjian dianggap telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali d. Asas Kepribadian Asas kepribadian menyatakan bahwa bila seseorang

mengadakan perjanjian, maka perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang mengadakannya, sehingga perjanjian itu tidak akan menguntungkan atau merugikan pihak ketiga. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1315 KUHPerdata : Pada umumnya tidak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Pengecualian dari Pasal 1315 KUHPerdata terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk kepentingan pihak ketiga. Pasal 1317 KUHPerdata menyatakan bahwa :

11

Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukan kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu siapa yang telah menjanjika suatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. e. Asas Itikad Baik Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjianperjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik yang dimaksud adalah itikad baik dalam arti obyektif yang mengandung makna bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Dalam perjanjian dengan itikad baik ini hakim diberi kekuasaan oleh undang-undang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian jangan sampai perjanjian itu melanggar norma kepatutan dan keadilan. Ini berarti bahwa hakim berkuasa untuk menyimpangi isi dari perjanjian, apabila dalam pelaksanaan perjanjian itu akan bertentangan dengan itikad baik. 3. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian agar menjadi sah dan diakui oleh hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian adalah :

12

a. Sepakat mereka yang mengikatnya dirinya (consensus) Undang-undang tidak memberikan definsi kata sepakat, oleh karena itu untuk mengetahuinya harus melihat pada doktrin. Berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata para ahli hukum berpendapat bahwa yang dimaksud sepakat pada Pasal 1320 KUHPerdata adalah sepakat yang bebas tidak terjadi cacat kehendak. Sepakat dianggap telah tercapai bila kehendak yang

dikeluarkan oleh salah satu pihak telah diterima oleh pihak lain. Dengan kata lain para pihak yang telah mengadakan perjanjian mempunyai dua kehendak yang saling mengisi, dengan demikian kedua pihak menghendaki hal yang sama secara timbal balik. Persesuaian kehendak tersebut tidak hanya sekadar kehendak yang bersifat batiniah tapi kehendak tersebut harus dinyatakan secara tegas agar diketahui oleh pihak lain, dapat dinyatakan secara lisan dengan isyarat maupun secara tertulis. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa : Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatanperikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

13

c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Pestasi ini harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjian harus jelas, ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak pasti asalkan dapat ditetapkan/dihitung, benda-benda yang masih akan ada dapat menjadi pokok perjanjian. d. Sebab yang halal (causa) Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335-1337 KUHPerdata. Causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Perjanjian yang bercausa halal diperbolehkan, sedangkan perjanjian yang bercausa tidak halal dilarang oleh undang-undang yang menyebabkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Demikian juga apabila perjanjian dibuat itu tanpa sebab, karena menurut Pasal 1335 KUHPerdata dinyatakan bahwa : Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.

14

4. Wanprestasi dan Akibatnya Para pihak dalam suatu perjanjian berjanji untuk melaksanakan prestasi. Dalam Pasal 1234 KUHPerdata disebutkan wujud dari prestasi yaitu : 1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu Jika dilihat dari pihak yang terlibat dalam perikatan, maka ada dua pihak yang terlibat didalamnya, yaitu yang menerima prestasi disebut kreditur dan pihak yang berkewajiban memberikan prestasi disebut debitur. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Prestasi adalah kewajiban berdasarkan pada suatu perikatan yang harus dipenuhi oleh debitur. Wujud prestasi dalam KUHPerdata Pasal 1234 adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Wanprestasi adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian disebabkan oleh kesalahan debitor. Bentuk-bentuk wanprestasi adalah : 1. Debitor tidak berprestasi sama sekali

15

2. Debitor berprestasi tapi dengan tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. 3. Debitor berprestasi tapi tidak tepat waktu. 4. Debitor melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Wanprestasi disebabkan oleh dua hal, pertama karena kesalahan debitor, dalam hal ini debitor sengaja atau lalai melakukan prestasi, kedua karena keadaan memaksa dalam hal ini debitor tidak bersalah karena melakukan wanprestasi disebabkan hal diluar kemampuan debitor. Wanprestasi mempunyai akibat yang merugikan bagi debitor dan kreditor, sehingga perlu ditetapkan lebih dulu apakah benar-benar telah terjadi wanprestasi oleh debitor. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitor dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Bila tidak ditentukan batas waktunya maka untuk menyatakan debitor telah melakukan wanprestasi diperlukan adanya surat peringantan tertulis (somasi) dari kreditor kepada debitor yang menyatakan bahwa kreditor menghendaki pemenuhan prestasi seperti dalam perjanjian.

16

Bila Debitor sudah diperingatkan tetapi tetap tidak melakukan prestasi maka kepadanya dapat diberikan sanksi berupa : 1. Pelaksanaan perjanjian 2. Pelaksanaan perjanjian dengan disertai ganti rugi 3. Penggantian kerugian 4. Pembatalan perjanjian 5. Pembatalan perjanjian dengan disertai penggantian kerugian Untuk menentukan seseorang telah melakukan wanprestasi harus memenuhi dua syarat yaitu : a. Adanya unsur kesalahan Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan 2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada sipembuat, yaitu bahwa ia dapat menduga tentang akibatnya. Kesalahan mempunyai dua pengertian yaitu dalam arti luas yang meliputi kesengajaan dan kelalaian dan dalam arti sempit hanya mencakup kelalaian saja. Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan

diketahui dan dikehendaki. Untuk terjadinya kesengajaan tidak

17

diperlukan adanya maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain. Cukup kiranya jika sipembuat, walaupun mengetahui akan akibatnya tapi tetap melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kelalaian adalah perbuatan, dimana sipembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Menurut Subekti10, debitor dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi baik karena lalai ataupun karena kesengajaan, yaitu apabila : 1. tidak melakukan apa yang sanggupi akan dilakukan 2. melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan 3. melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat 4. melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan b. Adanya teguran dari kreditor Untuk mengetahui bahwa seseorang melakukan wanprestasi atau lalai tidaklah mudah, karena tidak diperjanjikan kapan suatu pihak diwajibkan melaksanakan prestasinya, untuk memetapkan seseorang dalam keadaan wanprestasi harus diperhatikan apakah dalam perjanjian tersebut ditentukan tenggang waktu pelaksanaan
10

Subekti, 1981, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 45

18

pemenuhan prestasi atau tidak. Jika dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu tidak ditentukan tenggang waktu pemenuhan prestasi oleh debitor, maka kreditor harus memberikan

somasi/teguran kepada deditor agar memenuhi prestasinya. Jadi debitor harus ditagih terlebih dahulu jika ia tetap tidak memenuhi kewajibannya maka ia dikatakan wanprestasi. Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa : Siberhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa siberhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Dari ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata dapat diambil

kesimpulan bentuk tegoran/somasi kepada debitor yang melakukan wanprestasi, yaitu : 1. Surat perintah merupakan peringatan resmi dari hakim yang disampaikan juru sita pengadilan. Surat peringatan ini biasanya berbentuk penetapan atau beschiking. Berdasarkan surat perintah tersebut juru sita memberi teguran secara lisan kepada debitor kapan selambat-lambatnya ia harus berprestasi ini biasanya disebut exploit juru sita.

19

2. Akta sejenis. Ini merupakan peringatan secara tertulis maksudnya dapat berupa akta di bawah tangan atau akta notaris yang

disampaikan oleh kreditor atau debitor agar memenuhi prestasinya. 3. Tersimpul dalam perjanjian tersendiri. Maksudnya sejak membuat perjanjian tersebut kreditor sudah menentukan saat adanya wan prestasi yaitu dengan dilampauinya atau dilewatinya tenggang waktu untuk pemenuhan prestasi yang dilakukan oleh debitor. Dalam hal tertentu ditentukan bahwa teguran/somasi tidak diperlukan, yaitu jika : 1. Debitor tidak memberikan prestasi sama sekali 2. Apabila kreditor tidak meminta pemenuhan prestasi 3. Apabila debitor mengaku dalam keadaan lalai. B. Dunia Perbankan di Indonesia Hukum yang bergerak di bidang perekonomian adalah hukum ekonomi. Hukum Ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat pemerintah dan pengusaha sebagai suatu personafikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi dimana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan.

20

Hukum Ekonomi merupakan penjabaran Hukum Ekonomi pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial, sehingga Hukum Ekonomi tersebut mempunyai dua aspek, yaitu : 1. Aspek. Pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi dalam arti peninggalan kehidupan ekonomi dalam arti peningkatan ekonomi sosial secara keseluruhan 2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap bangsa Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi tersebut. Segala kegiatan perekonomian memerlukan dana, ini berhubungan dengan dunia perbankan, terutama bank umum, yang merupakan lembaga keuangan yang sangat diperlukan dalam kegiatan perekonomian dan perdagangan, karena diyakini dapat memenuhi kebutuhan pelaku usaha akan dana. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan perusahaan swasta, serta

perorangan menyimpan dana-dananya. Untuk mendapatkan gambaran dunia perbankan, khususnya bank secara jelas, dapat dilihat dari beberapa defenisi berikut ini:

21

Pasal 1 (angka 2) Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, memberikan definisi tentang bank, adalah : Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

G. M. Verry stuart dalam Suyatno mendefinisikan bank sebagai suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.11 Pendapat lain yang lebih luas menggambarkan tentang bank, yaitu Abdurrachman dalam Suyatno, menjelaskan bahwa bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain.12

11 12

Suyatno, 1995, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1 Ibid

22

Adapun pendapat lain Hukum Perbankan Indonesia merupakan hukum yang mengatur masalah-masalah perbankan yang berlaku sekarang di Indonesia. Dengan demikian akan membicarakan aturanaturan perbankan yang masih berlaku sampai sekarang ini, sedangkan peraturan perbankan yang pernah berlaku pada masa yang lalu, hanya dibahas apabila mempunyai keterkaitan dengan ketentuan yang berlaku saat ini atau pembahasan dalam kerangka sejarah perbankan di Indonesia.13 Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas dikatakan bahwa bank mempunyai tugas utama untuk menghimpun dana yang kemudian akan disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Harus diingat yang paling penting, bahwa perbankan dalam menjalankan fungsi dan usahanya harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33. Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi,

mempunyai arti, bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan, sedangkan pemerintah bertindak memberikan

13

Muhammad Djumhana, 1996, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.

23

pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya. Adapun sumber hukum perbankan, yang merupakan tempat ditemukannya hukum dan perundang-undangan (tertulis) yang

mengatur mengenai perbankan, adalah hukum positif, merupakan ketentuan perbankan yang sedang berlaku sekarang ini. Ketentuan yang secara khusus mengatur atau berkaitan dengan perbankan tersebut dapat ditemukan dalam : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. 4. Burgerlijk wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), terutama ketentuan Buku II dan Buku III mengenai hukum jaminan dan perjanjian. 5. Wetboek van koophandel (kitab undang-undang Hukum Dagang), terutama ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga;

24

6. Failisment Verordening (pengaturan kepailitan) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Penggantian Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 yang disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 tahun 1998; 7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah 8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 9. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establising Worl Trade Organization; 10. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas 11. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; 12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pengusaha Kecil; 13. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan tanah. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang dapat membantu pembentukan hukum perbankan, diantaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah; ajaran hukum melalui peradilan yang termuat dalam putusan hakim (Yurisprudensi); doktrin-doktrin hukum; dan kebiasaan dan kelaziman yang berlaku dalam dunia perbankan.

25

C. Kredit Bermasalah dan Kredit Macet Pada dasarnya, perkataan kredit hampir dikenal oleh seluruh masyarakat. Kata kredit sudah bukan lagi menjadi kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian kehidupan masyarakat, kata kredit sering disamakan dengan pinjaman atau utang. Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Credere yang berarti kepercayaan. Seorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh suatu kepercayaan.14 Kent dalam Suyatno mengemukakan sebagai berikut ; Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barangbarang sekarang.15

Pengertian kredit dikemukakan pula oleh Levy dalam Mariam yakni : Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak untuk mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan

14

Muhammad Djumhana, 2002, Struktur dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UUI, Yogyakarta, hlm. 365 15 Loc.cit hlm. 11

26

kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman untuk di belakang hari.16 Selain batas pengertian kredit yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, pengertian kredit secara yuridis pun ditemukan dalam pasal 1 undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang merumuskan pengertian kata kredit sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain. Yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sejalan dengan pengertian diatas Fuady mengemukakan bahwa kata kredit berarti kepercayaan, karena itu memberi mestilah disertai unsur saling percaya, yakni rasa saling percaya antara kreditur sebagai pemberi kredit dan debitur sebagai menerima kredit, akan tetapi dalam dunia bisnis, kepercayaan itu hanya semu belakang karena kenyataannya masih banyak pemberian kredit yang didasarkan kepercayaan itu menjadi macet.17 Menurut Sjahdeini bahwa yang dimaksud perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang antara bank dan nasabah debitur yang
16

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 21 17 Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2

27

mewajibkan pihak nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga dan pemberian hasil keuntungan.18 Sjahdeini mengemukakan pula bahwa dalam praktek sehari-hari persetujuan pemberian kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik dibawah tangan maupun dihadapan notaris sebagai pengamanan bahwa pihak peminjam akan memenuhi

kewajibannya, maka debitur akan menyerahkan jaminan/agunan.19 Pengertian kredit yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 10. Tahun 1998, yaitu : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sejalan dengan itu Tjiptonugroho dalam Sembiring

mengemukakan bahwa : Intisari dari kredit sebenarnya adalah kepercayaan, suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimanapun bentuk, macam
18

Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Macet, Makalah disampaikan pada penataran Aspek-Aspek Hukum dalam Bank Indonesia, Fakultas Hukum FH UNAIR, Surabaya, hlm. 158 19 Ibid hlm. 45

28

dan ragamnya dan dari maupun asalnya kepada siapapun diberikan.20 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menanggapi ketentuan dalam pasal tersebut, Muhammad

mengemukakan unsur-unsur esensial dalam konsep kredit sebagai berikut :21 1. Kepercayaan, berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap kredit bank, yaitu kredit diberikan itu dapat dikembalikan sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama. 2. Agunan, setiap kredit yang akan diberikan selalu disertai barang yang berfungsi sebagai jaminan bahwa kredit yang diterima oleh calon debitur pasti akan dilunasi dan ini akan meningkatkan kepercayaan pihak bank;

20 21

Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 51 Loc.cit hlm 58.

29

3. Jangka waktu, pengembalian kredit didasarkan pada jangka waktu tertentu yang layak, jangka waktu berakhir jika kredit dilunasi; 4. Resiko, jangka waktu pengembalian kredit mengandung resiko terhalang atau terlambat, atau macetnya pelunasan kredit; 5. Bunga Bank. Setiap pemberian kredit selalu disertai imbalan berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitur dan ini merupakan keuntungan yang diterima oleh bank; 6. Kesepakatan, semua persyaratan pemberian kredit dan prosedur pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah hasil kesepakatan dan dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut kontrak kredit. Berkaitan dengan hal di atas berarti bahwa kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit dikemudian hari. Jika dijabarkan lebih lanjut lagi bahwa pemenuhan kewajiban mengembalikan pinjaman itu sama artinya dengan

kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan. Bank dalam setiap perjanjian kredit selaku kreditur percaya bahwa setiap debitur percaya bahwa setiap debitur memiliki kemampuan memenuhi kewajibannya untuk melunasi segala hutang yang telah disepakati antara bank dengan debitur. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak seperti yang diharapkan sebelumnya. Berbagai macam faktor di luar

30

perhitungan atau jangkauan perkiraan dapat terjadi, sekalipun telah dilakukan analisis mendalam dan penuh kehati-hatian melalui verifikasi dan analisis kredit yang baik. Kredit macet merupakan kredit bermasalah, tetapi kredit

bermasalah belum tentu atau tidak seluruhnya merupakan kredit macet. Dalam pada itu, penyebab timbulnya kredit bermasalah sendiri menurut Djiwandono dalam Kuncoro dapat disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan oleh kebijakan perkreditan yang kurang menunjang, kelemahan sistem dan prosedur penilaian kredit, pemberian dan pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus dan pegawai bank. Sedangkan faktor eksternal antara lain disebabkan oleh lingkungan usaha debitur, musibah atau kegagalan usaha, persaingan antar bank yang tidak sehat.22 Sehubungan dengan upaya penyelesaian kredit yang bermasalah sebagaimana dimaksudkan terdahulu, Sutantio mengemukakan bahwa baik kredit bermasalah maupun kredit macet tersebut diukur dari

22

Loc.cit hlm.470

31

kolektibilitas kredit yang bersangkutan artinya kapan suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet dapat dilihat dari kolektibilitasnya.23 Kedudukan bank sebagai lembaga keuangan yang bergerak di bidang kredit berpengaruh besar terhadap lancar tidaknya arus lalu lintas pembayaran yang diperlukan dalam peningkatan pembangunan bidang ekonomi Indonesia. Sebagai lembaga keuangan yang melepaskan uangnya kepada masyarakat tentu bank berharap untuk dapat

memperoleh keuntungan berupa bunga yang dibebankan pada saat perjanjian kredit terjadi. Harapan itu baru akan terwujud dan menjadi kenyataan, apabila bank bertindak hati-hati, terutama dalam menentukan siapa yang patut diberi kredit dan beberapa besar kredit yang diberikan, setelah mengetahui jaminannya. Bank senantiasa menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan debitur itu tidak cacat menurut hukum serta memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Apabila bank sejak dini sudah bertindak hati-hati, dapatlah diharapkan bahwa kredit yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur terjamin pengembaliannya dalam jangka waktu

23

Retnowulan Sutantio, 1996, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 245

32

yang ditentukan. Bila hal ini terjadi, maka tujuan memperoleh profit akan tercapai sehingga segala sesuatu terlaksana sesuai yang diharapkan. Bank dalam menyalurkan kreditnya selalu menerapkan prinsip 5C, menurut Sutantio yang dimaksud dengan 5C itu adalah :24 1. Character adalah kepribadian, moral, kejujuran calon debitur selalu harus diteliti seksama terutama dalam menghadapi debitur yang baru. Hal-hal yang perlu diteliti adalah sifat pribadi yang meliputi cara hidup, keadaan keluarga, riwayat 2. Capacity adalah kemampuan debitur dalam mengendalikan dan mengembangkan usahanya serta kesanggupannya dalam

menggunakan kredit yang bakal diterimanya. Hal ini terkait dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan keadaan usahanya pada waktu permohonan kredit diajukan. 3. Capital adalah Suatu modal yang dimiliki debitur pada waktu permohonan kredit diajukan. Keadaan perusahaan yang dikelolanya harus dinilai dengan cermat sebelum permohonan dikabulkan seluruhnya, sebagian atau ditolak sama sekali. 4. Collateral Agunan atau jaminan berupa benda yang diberikan oleh calon debitur. Dengan jaminan ini maka bank akan lebih terjamin
24

Ibid hlm. 319-320

33

bahwa kredit yang diberikannya akan diterima kembali pada waktu yang ditentukan 5. Condition Keadaan ekonomi pada umumnya, keadaan ekonomi nasional dan keadaan ekonomi calon debitur. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui kedudukannya Sekalipun 5 C sebagaimana terurai di atas telah diterapkan, bukan berarti bahwa perjanjian kredit tersebut akan berlangsung sebagaimana diharapkan. Dalam praktek tidak jarang para debitur yang telah memperoleh kredit dalam jumlah besar bahkan menggunakan sindikasisindikasi bank, timbul itikad buruk menghindari pembayaran

kewajibannya. Berbagai penggolongan tentang kriteria kredit bermasalah di lingkungan perbankan tetap merujuk kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 tentang

Kolektibilitas Kredit. Masing-masing : lancar, Perhatian Khusus, Kurang lancar, Diragukan, dan Macet. Berkaitan dengan penggolongan Bank Indonesia (BI) di atas, Kuncoro mengatakan :25

25

Ibid hlm. 462

34

Kredit bermasalah adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjian Berdasarkan hal tersebut, pakar perbankan ini menggolongkan kredit bermasalah menjadi tiga kelompok yaitu, kurang lancar, diragukan dan macet. Dari tiga tipologi kredit bermasalah sebagaimana tergambar di atas, Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/147/Kep/Dir tanggal 12 November 19982, tentang kualitas kredit, menunjukkan unsur-unsurnya terdiri sebagai berikut :26 1. Kurang Lancar a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari; b. Terdapat ceruka/overdraft yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas; c. Hubungan debitur dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitur tidak dapat dipercaya d. Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah,

26

Ibid hlm 468

35

e. Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit f. Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan 2. Diragukan a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok/atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari; b. Terjadi cerukan/overdraft yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus khas; c. Hubungan debitur dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitur tidak dapat dipercaya; d. Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah e. Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian pokok 3. Macet a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; b. Dokumentasi kredit kurang lengkap dan/atau pengikatan agunan tidak ada;

36

Selain tipologi kredit bermasalah dengan segala kreditnya sebagaimana dimaksudkan tersebut, yang termasuk bagian integral adalah jenis-jenis kredit sebagai mana di bawah ini : 1. Penggolongan Berdasarkan Jangka Waktu Apabila waktu yang digunakan sebagai kriteria, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit jangka pendek. Yakni kredit yang jangka waktunya tidak lebih 1 tahun b. Kredit jangka menengah, merupakan kredit yang mempunyai jangka waktu antara 1 sampai 3 tahun c. Kredit jangka panjang dalam hal ini merupakan kredit yang mempunyai jangka waktu di atas 3 tahun 2. Penggolongan Berdasarkan Dokumentasi a. Kredit dengan perjanjian kredit secara tertulis b. Kredit tanpa surat perjanjian kredit. Untuk dapat dibagi kedalam : 1) Kredit Lisan Tetapi ini sangat jarang dilakukan 2) Kredit dengan instrumen surat berharga. Misalnya kredit yang hanya lewat dokumen promes (promissory Note), obligasi (bonds), kartu kredit, dan sebagainya

37

3) Kredit Cerukan (Overdraft) Kredit seperti ini timbul karena : a. Penarikan/pembebanan giro yang melampaui saldonya b. Penarikan/pembebanan R/L yang melampaui plafondnya 3. Penggolongan Berdasarkan Kolektibilitas Untuk itu dapat dibagi kedalam : a. Kredit lancar b. Kredit kurang lancar c. Kredit diragukan d. Kredit macet 4. Penggolongan Berdasarkan Bidang Ekonomi Dalam hal ini suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit untuk sektor pertanian, perburuhan dan saran pertanian b. Kredit untuk sektor pertambangan c. Kredit untuk sektor perindustrian d. Kredit untuk sektor listrik, gas dan air e. Kredit untuk sektor konstruksi f. Kredit untuk sektor perdagangan, restoran dan hotel g. Kredit pengangkutan, perdagangan dan komunikasi h. Kredit untuk sektor jasa

38

i. Kredit untuk sektor lain-lain 5. Penggolongan Berdasarkan Tujuan Penggunaannya Untuk itu dapat dibagi ke dalam : a. Kredit konsumtif. Ini merupakan kredit yang diberikan kepala debitur untuk keperluan konsumsi, seperti kredit profesi, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga dan lain-lain sebagainya. b. Kredit produktif, yang terdiri dari : 1) Kredit investasi : yang diperuntukkan untuk membeli barang modal dan barang-barang tahan lama, seperti tanah, mesin, dan sebagainya. Namun demikian, sering juga digolongkan ke dalam kredit investasi adalah apa yang disebut sebagai Kredit Bantuan Proyek 2) Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit) : untuk membiayai pembelian modal lancar yang habis dalam pemakaian, seperti barang untuk dagangan, bahan baku, overhead produksi dan sebagainya. 3) Kredit Likuiditas : diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas. Misalnya kredit

39

likuiditas dari Bank Indonesia yang diberikan untuk bank-bank yang memiliki likuiditas di bawah minimal tertentu. 6. Penggolongan Berdasarkan Objek yang Ditransfer Dapat dibagi ke dalam : a. Kredit Uang (Money Credit), dimana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang. b. Kredit Bukan uang (Non Money Credit), Mercantile Credit, Merchant Credit, dimana kredit diberikan dalam bentuk barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang. 7. Penggolongan Berdasarkan Waktu Pencairannya Dalam hal ini suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit Tunai (Cash Credit), dimana pencairan kredit dilakukan dengan tunai atau pemindahbukuan ke dalam rekening debitur. b. Kredit Tidak Tunai (Non Cash Credit), dimana kredit tidak dibayar pada saat pinjaman dibuat. 1) Garansi Bank atau stand by L/C. dalam hal ini bank akan membayarnya apabila terjadi perbuatan tertentu, misalnya jika pada suatu saat pihak pemohon garansi tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain. Maka dalam hal seperti ini, banklah yang akan membayarnya.

40

2) Letter of credit yang merupakan jaminan kepada penjual/ pengirim barang dimana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen-dokumen tertentu telah dipenuhi oleh pihak penjual/pengirim barang. 8. Penggolongan Kredit Menurut Cara Penarikannya. Apabila dilihat dari segi cara penarikannya, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit sekali jadi (alfopend). Yakni merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara pemindahbukuan b. Kredit rekening koran. Dalam hal ini, baik penyediaan dana maupun penarikan dana tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara tidak teratur kapan saja dan berulang kali. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan selama plafond kredit masih tersedia, dilakukan dengan melalui pemindahbukuan lainnya. c. Kredit berulang-ulang (Revolving loan). Kredit semacam ini biasanya diberikan terhadap debitur yang tidak memerlukan kredit sekaligus, melainkan secara berulang-ulang sesuai kebutuhan asalkan masih dalam batas maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan. Berbeda dengan kredit rekening koran,

41

maka kredit berulang-ulang ini lebih dibatasi (tidak dalam arti seluas-luasnya), terutama dalam hal penarikan penyetorannya, d. Kredit Bertahap. Kredit bertahap ini merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa termin. e. Kredit tiap transaksi (Self-liquidating credit atau eenmalige transactie crediet). Merupakan kredit yang diberikan untuk satu transaksi tertentu, dimana pengembalian kredit diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan. Berbeda dengan revolving credit, maka kredit eenmalige ini tidak ditarik dananya secara berulang-ulang, melainkan sekaligus saja yakni untuk tiap transaksi saja. 9. Penggolongan Kredit Dilihat dari Pihak Krediturnya Apabila dilihat dari segi pemberian kredit, maka suatu kredit dapat digolongkan-golongkan ke dalam : a. Kredit Terorganisasi (Organozed Credit), yakni merupakan kredit yang diberikan oleh badan-badan yang terorganisir secara legal dan memang berwenang memberikan kredit. Misalnya bank, koperasi dan sebagainya. b. Kredit Tidak terorganisasi (Unorganized Credit). Merupakan kredit yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang-orang,

42

ataupun oleh badan yang tidak resmi untuk memberikan kredit, kredit tidak terorganisasi ini dapat dipilah-pilah dalam kategori sebagai berikut : 1) Kredit rentenir. Yakni merupakan kredit yang diberikan oleh perorangan atau badan tidak resmi untuk memberikan kredit, yang sering dijuluki lintah darat. 2) Kredit penjual. Merupakan kredit yang diberikan oleh penjual kepada pembeli dalam suatu jual-beli, dimana barang segera diserahkan sementara harga barang dibayar kemudian secara kredit. 3) Kredit pembeli. Yang dimaksudkan adalah kredit yang juga terbit dari jual-beli, dimana uang pembelian segera diserahkan sementara barangnya diserahkan di kemudian hari. Misalnya seperti yang sering dipraktekkan dalam pembelian bahan bangunan dan lain-lain. 10. Penggolongan Kredit Berdasarkan Jumlah Kreditur Berdasarkan berapa banyaknya jumlah kreditur, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a. Kredit dengan Kreditur Tunggal

43

Yakni merupakan kredit yang krediturnya hanya satu orang atau satu badan hukum saja. Ini yang sering disebut dengan Single Loan. b. Kredit Sindikasi (Syndicated Loan) Ini merupakan kredit dimana pihak krediturnya terdiri beberapa badan hukum, dimana biasanya salah satu diantara kreditur tersebut bertindak sebagai Lead Creditor/Lead bank. Dalam pada itu, penyebab timbulnya kredit bermasalah sendiri menurut Djiwandono dalam Koncoro dapat disebabkan faktor internal dan eksternal.27 1. Faktor Internal : a. Kebijakan perkreditan yang kurang menunjang b. Kelemahan sistem dan prosedur penilaian kredit c. Pemberian dan pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur. d. Itikad yang kurang baik dari pemilik, pengurus, dan pegawai bank. 2. Faktor Eksternal: a. Lingkungan usaha debitur

27

Loc.cit hlm.470

44

b. Musibah atau kegagalan usaha c. Persaingan antara bang yang tidak sehat D. Penyelesaian Kredit Bermasalah Upaya yang ditempuh oleh pihak bank dalam menghadapi kredit bermasalah dari segi manajemen terlebih dahulu diambil langkah sebagai berikut : a. Rescheduling, yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal atau jangka waktu pembayaran b. Reconditioning, yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal atau jangka waktu pembayaran sepanjang tidak menyangkut maksimum saldo kredit c. Restructuring, yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang meliputi rescheduling dan reconditioning Menurut Kuncoro,28 namun apabila upaya penyelesaian tadi (rescheduling, reconditioning, restructuring) tidak berhasil upaya yang ditempuh agar bank tidak mengalami kerugian dilakukan dengan dua cara diantaranya : 1. Penyelesaian kredit bermasalah secara damai dalam bentuk

keringanan bunga, pembayaran lunas ataupun angsuran

28

Loc.cit hlm.476

45

2. Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum dengan mengajukan : a. Ke pengadilan Negeri b. Kepala BUPLN/PUPN c. Melalui Kejaksaan d. Klaim Asuransi Sehubungan dengan upaya penyelesaian kredit yang bermasalah yang sebagaimana dimaksudkan terdahulu, Sutantio mengatakan sebagai berikut :29 Dalam praktek perbankan sering terjadi bahwa kredit yang diberikan macet. Meskipun bank mempunyai kedudukan yang kuat dan langsung dapat meminta eksekusi untuk memperoleh pelunasan hutangnya, bank jarang melakukan hal itu, oleh karena jalan damai lebih dianggap menguntungkan bagi kedua belah pihak. Secara khusus mengenai somasi Sutantio menegaskan bahwa : segera setelah kredit jatuh tempo pada umumnya debitur akan menyerahkan nasib tanah yang dijamin kepada kreditur dan kreditur akan mencari pembeli. Eksekusi hampir tidak pernah terjadi. Apabila debitur tidak patuh, peringatan akan diberikan oleh bank secara tiga kali berturut-turut dalam waktu tiga bulan. Apabila setelah peringatan ketiga debitur belum melunasi utangnya, kredit akan dihentikan dan rekening debitur akan ditutup bunga akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.30

29 30

Loc.cit hlm.245 Loc.cit hlm.246

46

Selanjutnya Sutantio mengatakan bahwasanya, apabila pelunasan somasi (peringatan) tidak dapat memberikan jalan damai dan kuasa menjual atau kekuasaan sendiri, maka secara terpaksa bank akan menempuh cara terakhir yaitu bank akan meminta bantuan pengadilan negeri ditempat tinggal debitur atau domisili yang telah dipilih atau untuk melaksanakan eksekusi.31 Pasal 1238 KUHPerdata mengatakan bahwa : Debitor adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan Sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi Perikatannya sendiri ialah jika ia menetapkan bahwa debitor harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Dengan demikian pada asasnya berlaku prinsip bahwa somasi diperlukan pada saat debitor dalam keadaan lalai (ingebreken), jadi pembuat undang-undang menciptakan, kapan debitor dalam keadaan lalai, yaitu dengan suatu surat perintah atau akta sejenis yang memberi peringatan kepada debitor untuk berprestasi. Menurut Satrio, yang dimaksud dengan Surat perintah adalah : Exploit juru sita (deurwaarder exploit). Deurwaarder adalah Petugas pembawa pesan hukum (ambtelijke rechtsboden), yang bertugas
31

Loc.cit hlm 247

47

menyampaikan pemberitahuan pengadilan, pengumuman, protes-protes dan exploit yang lain dan mempunyai kekuatan sebagai akta otentik.32

pengumuman-

Akta sejenis beliau mengartikannya sebagai tindakan hukum (rechtshandelingen), jadi akta sejenis adalah tindakan yang mempunyai maksud yang sama dengan surat atau telegram yang bisa diterima sebagai pernyataan lalai. Senada dengan hal tersebut Badrulzaman mengatakan bahwa : Pernyataan (rechtmiddel) lalai (ingebrekestelling) kreditor adalah upaya hukum menegur,

dengan

mana

memberitahukan,

memperingatkan debitor saat selambat-lambatnya ia wajib memenuhi prestasi dan apabila saat itu dilampaui, maka debitor telah lalai.33 Selanjutnya beliau membagi bentuk-bentuk peringatan pernyataan lalai sebagai berikut : 1. Dengan surat perintah (bevel) Yang dimaksud dengan surat perintah (bevel) adalah exploit juru sita. Exploit ini adalah perintah lisan atau tulisan surat peringatan yang disampaikan oleh juru sita kepada debitor. 2. Akta sejenis

32 33

J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, hlm. 118 Loc.cit hlm 14

48

Yang dimaksud dengan akta itu ialah akta autentik yang sejenis dengan exploit juru sita yang di dalamnya ada pemberitahuan yang bersifat imperative, yang bernada Perintah dari kreditor kepada debitor tentang batas waktu pemenuhan prestasi. 3. Demi perikatannya sendiri bahwa pihak-pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitor dalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu. Dalam hal ini suatu peringatan keadaan lalai adalah tidak perlu, jadi lampaunya waktu, keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.

49

BAB III CARA PENELITIAN

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi data. 34 Penelitian dengan judul Peranan Lembaga Somasi dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah pada PT. BNI Cabang Pinrang, adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, tetapi untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitia kepustakaan, dilakukan juga penelitian lapangan. Hal ini dilakukan karena penelitian kepustakaan dirasa belum cukup untuk mendapatkan data yang aktual mengingat hukum merupkan suatu ilmu yang dinamis, sehingga perlu didukung dengan penelitian lapangan. Disamping itu penelitian di lapangan dimaksudkan untuk lebih

mempertajam hasil penelitian.

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, penelitian hukum normatif, suatu tinjauan singkat, RajaGrafindo, jakarta, hal 20

50

A. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang diharapkan dapat melukiskan keadaan objek masalah yang diteliti secara menyeluruh berdasarkan data-data yang diperoleh berkaitan dengan Peranan Lembaga Somasi dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah pada PT.BNI (Persero ) Cabang Pinrang, selanjutnya dianalisis dengan berpedoman pada pada teori dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan. B. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan adalah salah satu cara pengumpulan data, mempelajari bahan-bahan bacaan yang berupa literatur yang mempunyai relevansi dengan permasalahan. Tahapan dan ruang lingkup penelitian kepustakaan adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Perbankan dan Penyelesaian kredit macet. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer, meliputi

51

literatur-literatur yang berkaitan dengan perbankan dan perikatan pada umumnya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi kamus hukum. C. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan adalah suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan terjun langssung di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan dengan objek penelitian. Tahapan dan ruang lingkup penelitian lapangan meliputi : 1. Data yang dicari Data yang dicari adalah data primer, yaitu data yang berupa keterangan langsung dari responden permasalahan. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pinrang dengan pertimbangan bahwa Kabupaten pinrang merupakan kawasan perkembangan perekonomian Indonesia Timur khususnya Sulawesi Selatan dan banyak kredit bermasalah. 3. Metode Pengumpulan Data yang berhubungan dengan

52

Pengumpulan data primer dari responden dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan kuesioner. 4. Responden penelitian Untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka responden yang dibutuhkan adalah : a. Pimpinan yang terkait pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang, dengan pertimbangan bahwa responden mengetahui proses-proses pelaksanaan somasi yang dilakukan oleh PT. BNI, yang

berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. b. Nasabah Debitor PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang/kuasanya, yang ditentukan secara acak. D. Alat yang dipakai Untuk memperoleh data dari responden diperlukan suatu cara yang efesien agar mendapatkan data yang aktual sehubungan dengan penelitian ini. Adapun alat yang dipakai dalam pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah : 1. Wawancara, dilakukan tanya jawab langsung kepada responden 2. Kuesioner, dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara tertlis dalam benrtuk terbuka kepada responden.

53

3. Dokumentasi yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. E. Jalannya Penelitian Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan penelitian guna mendukung penyelesaian penulisan ini ada 3 (tiga) tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Tahap persipan Pada tahan persiapan ini dimulai dengan kegiatan pengumpulan bahan kepustakaan, pra survei yang dilanjutkan dengan penyusunan usulan penelitian, kemudian dikonsultasikan setelah itu baru dilakukan penyempurnaan. 2. Tahap pelaksanaan Pada tahap ini ada 2 penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada penelitian kepustakaan, dilakukan

pengumpulan data dan pengkajian lebih lanjut terhadap data sekunder yang berupa pengumpulan dan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pada penelitian lapangan, dilakukan kegiatan penentuan responden dan

pengumpulan data melalui wawancara dengan pedomen wawancara yang telah disusun sebelumnya yaitu pada tahap persiapan.

54

3. Tahap penyelesaian Pada tahap penyelesaian dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi mulai dari penyusunan laporan awal hasil penelitian dan disertai dengan analisa data yang kemudiam dilanjutkan dengan konsultasi, perbaikan dan diakhiri dengan laporan akhir penelitian. F. Teknik Analisa Data Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisa secara kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, dengan tujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Metode ini mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga didapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan. G. Hambatan dan Cara Mengatasinya Hambatan yang dihadapi dalam proses penyelesaian penelitian ini diantaranya adanya kehatian-hatian dari pihak responden yaitu pihak pimpinan PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang dalam memberikan keterangan yang diperlukan oleh peneliti. Adapun alasan dari pihak responden adalah dalam memberikan keterangan dan data-data

55

menjadi kebijakan manajemen harus dengan seizin kantor wilayah dan kantor pusat. Untuk mengatasi hambatan dalam penelitian di atas, peneliti melakukan pendekatan kepada pihak PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang bahwa keterangan dan data yang didapat hanya untuk kepentingan ilmiah.

56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peranan Lembaga Somasi Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang 1. Hasil Penelitian Bank dalam setiap perjajian kredit selaku kreditor percaya bahwa setiap debitor memiliki kemampuan memenuhi kewajibannya untuk melunasi segala hutangnya yang telah disepakati antara bank dengan debitor. Namun dalam kenyataannya tidakseperti yang diharapkan sebelumnya. Berbagai macam faktor di luar perhitungan atau jangkauan perkiraan dapat terjadi, sekalipun telah meneliti secara cermat

kelengkapan dokumen debitor melalui verifikasi dan analisis kredit yang baik. Kredit yang diberikan tidak selamanya berkualitas lancar. Banyak terjadi kredit yang diberikan menjadi bermasalah. Dalam mengatasi kredit bermasalah tersebut bank selaku kreditor tidak serta merta melakukan tindakan hukum untuk mematikan usaha debitor dengan melakukan eksekusi terhadap aset-aset debitor. Bank sedap[at mungkin menghindarkan tindakan hukum. Karena bagaimanapun debitor adalah

57

mitra usaha yang sangat penting bagi bank dalam meningkatkan pendapatan bank. Apabila kredit yang diberikan mengalamai kemacetan, sebelum diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), bank melakukan upaya-upaya sendiri yaitu dengan mendatangi debitor dengan

memperingatkan secara lisan dan atau tertulis untuk melakukan kewajiban melunasi utangnya. Berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata, ketika debitor dalam keadaan lalai somasi diperlukan untuk memberi peringatan kepada debitor untuk berprestasi dengan suatu surat perintah atau akta sejenis. Jadi pembuat undang-undang menciptakan suatu sarana untuk

menentukan sejak kapan debitor dalam keadaan lalai, yaitu dengan suatu surat perintah atau akta sejenis. Dalam surat atau akta itu debitor diminta/diperingatkan agar berprestasi. Selain somasi berisi teguran agar debitor berprestasi , di dalamnya juga disebutkan dasar teguran. Jadi dengan teguran ini dimaksudkan sebagai peringatan agar debitor memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan. Apabila setelah diperingatkan secara lisan debitor tetap belum melakukan kewajibannya, maka bank akan membuat peringatan tertulis

58

yang pertama. Jika peringatan tertulis pertama tidak ditanggapi oleh debitor, bank kemudian mengirimkan peringatan tertulis ke dua dan apabila peringatan tertulis yang kedua juga tidak ditanggapi oleh debitor bank masih memberi kesempatan yang terakhir bagi debitor untuk melunasi hutang-hutangnya dengan memberikan peringatan tertulis terakhir. Ketika debitor menerima surat somasi dari kreditor (bank) maka didapatkan pemahaman yang berbeda-beda terhadap pelaksanaan somasi, sebagaimana yang nampak pada tabel 1. Tabel 1 Pemahaman Debitor Terhadap Somasi Pemahaman Persentase Frekuensi Debitor (%) 30 15 Teguran 50 25 Peringatan 20 10 Tagihan Resmi Jumlah 50 100 Sumber : Data Primer yang diolah, 2009 Dengan melihat hasil tersebut diatas (tabel 1) dimana pemahaman debitor terhadap adanya somasi, dominan kearah pemahaman sebagai peringatan (50%) dan atau teguran (30%) dibandingkan sebagai tagihan resmi yang hanya (20%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian somasi terhadap debitor lebih kearah pemahaman sebagai peringatan dan atau teguran.

59

Terdapatnya perlakuan somasi yang berbeda yang dilakukan oleh keditor (bank) kepada debitor, mengakibatkan timbulnya persepsi yang bervariasi bagi pihak debitor. Perlakuan kreditor/bank saat memberi somasi antara satu debitor dengan debitor yang lain seringkali dilakukan dalam kuantitas yang berbeda. Dalam hal ini, setelah dilakukan penelitian maka ditemukan adanya perbedaan tingkat keseringan seorang debitor menerima surat somasi dari pihak kreditor (bank), variasi jawaban responden menampakkan perbedaan yang cukup signifikan sebagaimana tabel 2 menunjukkan hal tersebut.

Tabel 2 Tingkat Keseringan Debitor Menerima Somasi Persentase Berapa Kali di Frekuensi Somasi (%) 1 Kali 5 10 2 Kali / Terakhir 30 60 3 Kali / Terakhir 15 30 Jumlah 50 100 Sumber : Data Primer yang diolah, 2009 Perbedaan yang berpola demikian menjelaskan kepada kita bahwa dalam kenyataannya para debitor jarang menerima perlakuan somasi sekali saja. Terdapatnya perbedaan pada pemberian somasi sebanyak 2 kali/terakhir (60 %), sebanyak 3 kali/terakhir (30%) dan pada somasi 1

60

kali/terakhir hanya (5%). Menjelaskan bahwa perlakuan atau pemberian somasi tidak terikat kepada jumlah somasi yang diterima oleh debitor akan tetapi lebih ditekankan pada pemberitahuan atau peringatan kepada debitur untuk segera perprestasi. Pada temuan di atas, rupanya tidak terlepas dari kultur (budaya) bank yang berbeda dalam skala usaha yaitu antara bank umum biasa di satu pihak dengan bank devisa di pihak lain. Menurut Wisnu Suhendra (cooverative small business division PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang menyatakan bahwa perlakuan somasi bahkan lebih dari 3 kali sampai betul-betul debitor sudah tidak sanggup lagi untuk perprestasi.35 Sehubungan dengan pelaksanaan somasi oleh PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang yang ditujukan kepada debitor, terdapat perbedaan jumlah yang cukup mencolok antara yang dilaksanakan oleh pihak bank sendiri, pengadilan dan pengacara. Tabel 3 Yang Melaksanakan Somasi Yang Melaksanakan Persentase Frekuensi Somasi (%) Bank Sendiri 30 60 Pengadilan 5 10 Pengacara/lawyer 15 30 Jumlah 50 100 Sumber : Data Primer yang diolah, 2009
35

Wawancara tanggal 14 Januari 2009

61

Bahkan sepanjang tahun 2008 tidak ditemukan pengajuan somasi melalui pengadilan negeri Pinrang. Sementara ketika dilakukan

konfirmasi ke Pengadilan Negeri Pinrang, secara lugas Hasbullah Kalla, juru sita bagian somasi menjelaskan bahwa menurunnya animo pihak bank melakukan somasi melalui pengadilan dikarenakan cara pelayanan yang kurang transparan dari pihak pengadilan sendiri.36 Selanjutnya Adhar, Ketua Pengadilan Negeri Pinrang secara jelas menyatakan bahwa menurunnya permohonan somasi dari pihak bank disebabkan selain tidak terselesaikannya kehendak pihak pemohon,

biaya pemohon tertahan dipengadilan dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap somasi melalui pengadilan.37 Hal tersebut didukung oleh keterangan dari Idham dan Sabri, staf PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang bidang kredit bermasalah dengan menyatakan, bahwa melakukan eksekusi lelang yang objek jaminannya lima puluh sampai dengan seratus juta rupiah, membutuhkan biaya besar dan proses hukum yang memakan waktu lama. Senada dengan pernyataan diatas, Alfian dan M. Syahrir staf Kredit Unit Khusus PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang, memberikan keterangan bahwa saat hendak memohon somasi kepengadilan Negeri
36 37

Wawancara tanggal 13 Januari 2009 Wawancara tanggal 13 Januari 2009

62

Pinrang ternyata disarankan sekaligus membayar biaya eksekusi lelang dan di luar tarif resmi.38 Dengan melihat kenyataan tersebut diatas ( tabel 3) dimana pihak bank jarang mengajukan permohonan somasi khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan,

disebabkan proses dipengadilan berbelit-belit, kurang efektif dan efesien serta biaya yang mahal. Dalam kaitan diatas saat dilakukan dikonfirmasi tentang jasa pengacara/lawyer, menurut Idham, staff PT. BNI Cabang Pinrang mengatakan bahwa pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang, ternyata ada ketentuan internal dilarangnya pihak bank menggunakan jasa

pengacara/lawyer dalam pelaksanaan somasi, untuk menunjuk lawyer / pengacara harus ada persetujuan dari kantor pusat.39 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak keditor (bank) menjelaskan bahwa pencapaian tujuan (goal persuance) dengan

menggunakan jasa penasehat hukum (lawyer) bagi kreditor cukup efektif dan efesien (biaya lebih murah) dalam melaksanakan somasi. Hal itu disebabkan karena jika pihak bank sendiri yang melaksanakan somasi selalu dapat dinegosiasi tentang kewajiban-kewajibannya selaku
38 39

Wawancara tanggal 14 Januari 2009 Wawancara tanggal 14 Januari 2009

63

debitor, sementara jika menggunakan jasa lawyer, para debitor posisinya merasa terancam akan diproses secara hukum, meskipun kenyataannya tidaklah selalu demikian. Hal ini disebabkan pihak bank yang yang melaksanakan somasi pada pihak debitor merasa ada hubungan kedekatan (morpologi) baik ketika proses permohonan maupun proses cairnya kredit dengan aparat bank, khususnya yang melalaikan asas kehati-hatian. Sementara dengan pihak lawyer terkesan ada hubungan yang zakelijk/impersonal ketika somasi dilaksanakan dengan mereka. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan psycologis yang ada pada debitor, sehingga lebih memperhatikan somasi saat dilaksanakan oleh lawyer dari pada pihak bank.40 Hal ini menjelaskan tidak hanya karena hubungan antara lawyer dengan nasabah/debitor bersifat zakelijk/impersonal melainkan disisi lain menunjukkan image keterkaitan yang erat para lawyers dengan simbol hukum lainnya seperti : Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan.
2. Pembahasan

Pernyataan lalai sebenarnya merupakan suatu peringatan dari kreditor agar debitor berprestasi selambat-lambatnya pada suatu waktu

40

Hasil wawancara tanggal 14 Januari 2009

64

yang tertentu. Debitor tidak memenuhi kewajiban prestasinya bisa disebabkan karena kesengajaan atau kelalaian debitor dan dengan debitor menghadapi keadaan memaksa. Sejak kapan debitor dalam keadaan lalai, tergantung dari sejak kapan peringatan wajib dipenuhi. Kalau tidak dapat ditentukan, maka hal itu sama dengan bahwa perikatan-perikatan itu setiap saat bisa dibatalkan oleh debitor. Karena kreditor harus diberikan kesempatan untuk menetapkan waktu pemenuhan prestasi, kalau sebelumnya tidak ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan. Semula diharapkan somasi dari sudut pandang normatif berstatus sebagai peringatan atau penetapan lalai dan berfungsi sebagai bukti persangkaan undang-undang yang menguntungkan kreditor (bank), dengan tidak perlu lagi membuktikan dalilnya tentang wanprestasinya debitor jika terjadi suatu proses gugatan/parate eksekusi. Ternyata

dalam kenyataan sosialnya, peranan somasi mengalami perubahan sebagai sarana perdamaian, khususnya di bidang perbankan. Meskipun dalam keadaan tertentu pihak bank selaku kreditor dengan sangat terpaksa menggunakan pranata hukum normatif (1243 BW, 224 HIR/258 RBg).

65

Pernyataan kualitatif di atas dapat dibuktikan dari jawaban responden ketika dipertanyakan apakah setelah somasi terakhir, para debitor ditindaklanjuti dengan proses eksekusi lelang/gugatan

wanprestasi oleh pihak kreditor (bank). Upaya menempuh jalan damai dengan sarana lembaga somasi kepada debitor dalam memenuhi kewajibannya, juga dibenarkan oleh Sabri Umar, bahwa somasi akan tetap diberikan sampai nasabah/debitor betul-betul sudah tidak sanggup melunasi hutangnya, pihak kreditor (bank) selalu mengupayakan jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak. Proses gugatan pengadilan merupakan langkah terpaksa yang dilakukan oleh bank apabila bank menunjukkan itikad tidak baik. Atau dengan kata lain, bahwa peranan somasi dalam menyelesaikan kredit bermasalah telah mendapat tempat sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang efektif dan efesien di luar pengadilan secara damai meskipun dalam bingkai 3 R (Rescheduling, Reconditioning, Restructuring).41 Rendahnya kepercayaan kepada lembaga peradilan dalam

menindak lanjuti setelah dilakukannya pelaksanaan somasi terhadap debitor, sehingga adanya keengganan pihak bank mengajukan gugatan

41

Wawancara tanggal 13 Januari 2009

66

wanprestasi kepengadilan, selain prosesnya yang lama biaya perkara yang mahal. Timbulnya faktor kondusif yang menstimulasi lahirnya krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan disebabkan masih terdapatnya sosok-sosok sapu kotor diantara aparat pengadilan. Ali, mengatakan sebagai berikut : Belum lagi, citra pranata pengadilan dan hakim dimata rakyat sudah teramat buruk. Praktek suap menyuap di lingkungan peradilan tidak mengalami perubahan.42

Efektif tidaknya suatu ketentuan hukum, tidak saja tergantung pada unsur substansi hukum belaka tetapi juga ditentukan oleh 2 (dua) unsur sistem hukum yang lain yaitu struktur dan kultur hukum. Unsur struktur mencakupi institusi-institusi dan aparat penegak hukum, sedangkan unsur kultur hukum mencakup opini-opini, kekuasaankekuasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Hal ketidak percayaan pada pranata pengadilan dalam hubungan antara kreditor dan debitor juga diperkuat perolehan hasil wawancara

42

Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, hlm. 19-20

67

baik dari pihak bank maupun penjelasan aparat pengadilan yang membenarkannya. Faktor yang dapat mencairkan penggunaan hak dan kewajiban setelah dilakukannya somasi adalah hubungan antara personal yang membawa pengaruh terhadap seorang debitor, apakah diproses di pengadilan atau tidak. Para responden membenarkan bahwa jika menerima somasi mereka mendatangi keluarga/kenalan/sedaerah pada bank guna

mendapat kebijakan cara penyelesaian yang bertujuan menghindari upaya litigasi. Responden secara yakin menganggap status sosial yang tertinggi (lebih kaya) sangat menentukan untuk diperlakukan tidak sama dibanding debitor lain yang status sosialnya lebih rendah. Akibat diskriminasi dalam penerapan sistem hukum sebagaimana dimaksudkan, dapatlah dipastikan bahwa nasabah/debitor yang

dilitigasikan oleh pihak bank, hanya nasabah kecil yang status sosialnya rendah dan tidak punya koneksi dengan aparat bank. Perkembangan peran lembaga somasi dalam menyelesaikan kredit bermasalah yang dilakukan oleh bank itu sendiri tidak terlepas dari perkembangan kompleksitas masyarakat sendiri. Hal ini bukan hanya sebagai simbolik saja, akan tetapi juga mencakup fungsi adaptif dan juga

68

fungsi pencapaian tujuan (goal persuance) sebagaimana yang dikatakan oleh Sabri Umar, bahwa mengingat biaya permohonan suatu somasi di pengadilan lebih mahal serta memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak bank sendiri guna tujuan yang sama, yakni perdamaian.43 Meskipun pada kenyataannya, dalam pelaksanaan somasi

dilingkungan perbankan, jasa lawyer tetap dibutuhkan karena kondisi masyarakat yang menghendakinya. Namun tidak dapat di tampik suatu fakta bahwa hal tersebut tergantng tidak saja pada budaya kerja masingmasing bank. Pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang tidak menggunakan jasa lawyer, jika ingin menggunakan jasa lawyer/pengacara harus seisin kantor pusat. Bervariasinya praktek penggunaan somasi membawa persepsi yang berbeda dikalangan nasabah/debitor. Meskipun tidak ada

kewajiban normatif, untuk hal tersebut tidak saja menjelaskan aspek kultural yang berbeda dalam menyikapi peranan somasi sehubungan debitor yang wanprestasi. Terdapatnya perlakuan somasi yang satu sama lain berbeda kepada para nasabah, yang melahirkan persepsi yang bervariasi bagi
43

Wawancara tanggal 13 Januari 2009

69

pihak yang menerimanya, selain disebabkan fungsi sosial hukum dan undang-undang juga disebabkan dengan adanya persepsi dan tanggapan bank kepada nasabah/debitor saat memberi somasi, yang membuat eksistensi dan beroperasinya pelaksanaan somasi menjadi suatu

kemungkinan (dapat 1, 2, dan atau 3 kali bahkan lebih dari itu). Pada konteks peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bermasalah pihak bank menetapkan prosedur untuk menyelesaikan kredit-kredit bermasalah baik sebagai upaya pemenuhan sosial maupun dalam rangka penerapan ketentuan undang-undang, maka dapatlah dimengerti bahwa peranan lembaga somasi melahirkan pola-pola yang berkembang dan menjadi sarana/upaya menempuh jalan perdamaian. Sarana menempuh jalan perdamaian ini tentu saja tidak lepas dari suatu kenyataan bahwa penyelesaian sengketa dengan jalan gugatan pengadilan ternyata memberikan banyak kesulitan bagi para pihak. Banyak orang yang mengajukan gugatannya kepengadilan, dengan cepat pula menemukan ketidak efesienan selama berada seharian di

pengadilan, biaya hukum yang tinggi, bulanan atau tahunan menunggu selesainya proses perkara, perasaan frustasi yang berkaitan dengan para praktisi yang terlibat di pengadilan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang awam dalam hukum. Anggapan yang kemudian

70

timbul adalah bahwa hukum tidak didesain untuk memecahkan problem orang banyak. Tujuannya terlalu tinggi dan abstrak dalam menemukan kebenaran. Beranjak dari kelemahan penyelesaian cara litigasi ini, yang kemudian memunculkan ketidak puasan masyarakat maka

dikembangkan oleh para praktisi hukum, para akademisi serta dari pihak bank sendiri melakukan pendekatan dengan jalur-jalur perdamaian dalam penyelesaian sengketa yang memiliki akses pada keadilan. Bentuk penyelesaian kredit bermasalah yang paling umum digunakan PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang saat ini setelah somasi terakhir adalah jalur perdamaian sehingga pendekatan keuntungan salah satu pihak atas pihak lainnya yang merupakan pendekatan jalur pengadilan mulai berkurang. Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak, penyelesaian diluar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrase, konsiliasi atau penilaian ahli. 1. Negosiasi Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 dikemukakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang menurut undang-undang

71

dapat dilakukan perdamaian adalah negosiasi. Jika dikaji lebih dalam maka dapat dikatakan bahwa kata-kata dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No, 30 tahun 1999 memilik makna objektif dan hampir sama dengan yang terdapat dalam pasal 1851 KUHPerdata, hanya saja negosiasi menurut rumusan pasal 6 ayat (2) tersebut : a. Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari b. Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh para pihak. Menurut Rajagukguk dalam penyelesaian sengketa, negosiasi biasa dilakukan berkenan dengan transaksi ataupun perselisihan. Pendekatan yang terdapat dalam negosiasi yaitu problem solving menekankan pada pencapaian apa yang sebenarnya dikehendaki oleh kedua belah pihak.44 Dari penelitian yang dilakukan, dalam kasus kredit bermasalah pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang banyak menempuh jalur ini dengan melihat karakteristik negosiasi yang tidak terlalu formal dan berbelit-belit menjadi sebab para pihak lebih banyak menempuh jalur penyelesaian ini dibandingkan dengan jalur penyelesaian lain, khususnya jalur peradilan.
44

Erma Rajagukguk, 2000, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm.104

72

2. Mediasi Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 mediasi dapat ditemukan dalam pasal 6 ayat (3) yang memberikan pengertian bahwa mediasi adalah suatu proses kegiatan sebagai lanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No 30 tahun 1999. Menurut rumusan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian jelas mengenai mediasi dan mediator. Jika diikuti ketentuan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 maka dapat dikatakan bahwa mediator ke dalam : 1. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 tahun 1999) 2. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (pasal 6 ayat (4) Undang-Undang No. 30 tahun 1999).

73

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata penelitian membuktikan bahwa masyarakat lebih sadar menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku sebagai akibat pengaruh sanksi sosial dari pada hukum yang berlaku. Mereka lebih memberikan tempat bagi pihak ketiga yang akan menjadi penengah dalam persengketaan mereka dari pada hakim dipengadilan. Cara penyelesaian sengketa yang di ditempuh adalah mediasi dimana mediator tidak memiliki otoritas untuk menjatuhkan putusan tetapi membantu para pihak dalam menentukan solusi mereka sendiri. Mediator hanya berfungsi sebagai katalisator. Menurut Ali, bahwa sekedar sekali bertemu muka, diantara kedua pihak yang bersengketa, keduanya mempunyai kesempatan untuk saling berbicara dan saling mendengar, barangkali secara manusiawi dan pribadi proses-proses itu cukup untuk mempengaruhi sikap tergugat untuk melakukan pembayaran.45 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ternyata dalam kasus kredit-kredit bermasalah pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang bila negosiasi gagal, para pihak memilih mediasi karena : a. Proses yang cepat b. Bersifat rahasia
45

Achmad Ali, 1988, Perubahan Mayarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum oleh Hakim, Lephas, Makassar, hlm. 25

74

c. Adil d. Berhasil baik 3. Konsiliasi Seperti halnya negosiasi dan mediasi, Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atau pengertian atau defenisi dari konsiliasi itu. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 dan alinea ke 9 penjelasan umum UndangUndang No. 30 tahun 1999. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa kesepakatan hasil konsiliasi harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka 30 (tiga puluh) hari sejak didaftarkan. Kesepakatan tersebut bagi penulis adalah final dan mengikat para pihak. Dalam pengertian ini penulis justru melihat bahwa konsiliasi tersebut tidak proaktif dalam penyelesaian sengketa, atau dengan kata lain bahwa negosiator dan mediator lebih proaktif dibandingkan konsiliator.

75

4. Arbitrase Undang-Undang menentukan bahwa : Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengka. No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase

Arbitrase merupakan penyelesaian secara perdata. Dalam kasus perbankan cara ini ditempuh dengan alasan lebih cepat, non formal, lebih murah dan lebih rahasia dibandingkan dengan pengadilan Diantara cara-cara di atas, dalam penyelesaian kasus kredit bermasalah pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang, setelah somasi terakhir, jalur-jalur negosiasi yang paling sering ditempuh. Negosiasi ini dilakukan dengan 3 R yaitu : Rescheduling, yaitu perubahan syarat kredit yang hanya

menyangkut jadwal atau jangka waktu pembayaran. Reconditioning, perubahan sebagaian atau seluruh syarat-syarat yaitu kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal atau jangka waktu pembayaran sepanjang tidak menyangkut maksimum saldo kredit.

76

Restructuring, yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang melipuiti rescheduling dan reconditioning.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktek Pelaksanaan Somasi 1. Hasil Penelitian Teori hukum fungsional struktural dari Talcott Parson yang dinamakan teori sibernetik menempatkan hukum (incasu somasi) sebagai salah satu dari sub sistem yang berinteraksi saling pengaruh mempengaruhi saru sama lain dalam masyarakat bersama sub sistem sosial lainnya seperti politik, budaya dan lain-lain. Parson dalam Ali menempatkan sub sistem hukum berada diantara sub sistem sosial dan sub sistem budaya.46 Tiap-tiap sub sistem memiliki fungsi masing-masing : 1. sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi (adaptation) 2. sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan (goal persuance) 3. sub sistem sosial berfungsi integrasi (integration) 4. sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola (pattern maintenance). Teori dasar sistem hukum menurut Friedman terbagi dalam 3 unsur masing-masing : struktur, substansi dan budaya. Dengan
46

Loc. cit hlm 16-17

77

penekanan pada unsur budaya guna menjelaskan bagaimana ketiga unsur tersebut bekerja sebagai suatu sistem. Friedman menyatakan : Cara lain menggambarkan tiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum seperti mesin, substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.47 Sedangkan dalam penjelasannya tentang fungsi yang melekat pada sistem hukum ia membagi atas tiga kategori yaitu : fungsi kontrol sosial, fungsi penyelesaian sengketa, fungsi pemeliharaan sosial. Setelah proses somasi ini dilaksanakan akan tetapi debitor belum melakukan kewajiban dengan kata lain tetap dalam keadaan wanprestasi ada beberapa pilihan yang dapat dilaksanakan oleh pihak kreditur. Pilihan ini tidak lagi diatur oleh hukum sebagai kaidah melainkan ditentukan oleh kultur hukum kreditor. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam kenyataannya hukum (kontrak) meskipun merupakan hal yang penting, akan tetapi bukan sesuatu yang terutama karena adanya kultur hukum yang mendominasi di dalam tata pergaulan sosial kemasyarakat. Dengan kata lain ketentuan kontrak akan diberlakukan jika kultur bisnis diantara pihak

47

L.M. Friedman, 2001, Hukum Amerika sebuah Pengantar, Tata Nusa, Jakarta, hlm.6

78

gagal mempersatukan kepentingan mereka secara damai dan saling menguntungkan. Guna mengetahui faktor dominan yang berpengaruh terhadap tindakan kreditor (bank) kepada debitor setelah dilaksanakannya perbuatan somasi, maka dapat dikemukakan dalam tabel 5 sebagai berikut : Tabel 4 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Somasi Kecenderungan pilihan Ekonomi Sosial Budaya Hukum Banyaknya Responden 20 12 8 10 Persentase (%) 40 24 16 20 100

Jumlah 50 Sumber : Data primer yang diolah, tahun 2009

Pada 50 responden yang terdiri dari nasabah debitor PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang sebagai sampel penelitian yang mengisi daftar isian (quetionaire) mengenai faktor hukum dan non hukum dengan indikator : ekonomi, sosial, dan budaya (Tabel 5). Diperoleh hasil

kecenderungan pilihan responden untuk pilihan ekonomi (40 %), sosial (24 %), dan budaya (16%). Sedangkan kecenderungan pilihan pada faktor hukum (20%).

79

2.

Pembahasan Dalam mencermati tabel diatas menunjukkan bahwa aspek penyebaran faktor non hukum yang diindikasikan berupa aspek ekonomi, sosial, dan budaya sebagai independen faktor dominan. Meskipun aspek ekonomi lebih dominan dibanding aspek sosial, dan budaya akan tetapi dalam kenyataannya ketiga aspek tersebut saling terkait, secara nyata dapat dilihat bahwa kecenderungan pilihan kategoris dari responden, dimana faktor non hukum (indikator ekonomi, sosial,dan budaya) sebanyak 80% dan faktor hukum pada jumlah 20%, mempertegas bahwa besarnya pengaruh kecenderungan faktor non hukum mempengaruhi pola penggunaan somasi, dimana faktor non hukum lebih dominan dari faktor hukum. Dalam menghadapi kondisi ini, masyarakat sebagai satu kesatuan sistem ekonomi, sosial, dan budaya sebagai proses inputs yang

mempengaruhi keputusan pihak kreditor setelah dilaksanakannya somasi, menghasilkan outputs dimana pada penelitian debitor hampir tidak pernah digugat atau dieksekusi lelang secara langsung ketika somasi terakhir telah dilaksanakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hakekatnya hukum merupakan hasil olahan berbagai kepentingan dalam masyarakat bila

80

dikaitkan dengan pengaruh faktor non hukum setelah dilaksanakannya suatu somasi, dimana perilaku pihak bank untuk menindak lanjuti pelaksanaan somasinya tidak terlepas dari olahan kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perkataan lain, bahwa budaya serta hukum berpengaruh faktor ekonomi, sosial, dan secara timbal balik dalam setelah

menyelesaikan

persoalan

hubungan

debitor-kreditor

dilaksanakannya somasi. Meskipun penegasan tentang kultur (budaya) tidak begitu ditekankan dalam kaitannya dengan pelaksanaan proses somasi, akan tetapi setelah proses somasi dilaksanakan, pihak debitor belum melaksanakan kewajibannya dengan kata lain tetap dalam keadaan wanprestasi, ada beberapa pilihan yang dilaksanakan oleh pihak kreditor. Pilihan ini tidak lagi diatur oleh hukum sebagai kaidah hukum melainkan ditentukan oleh kultur hukum kreditor. Cara yang dipilih oleh kreditor (penyelesaian secara baik-baik, kekeluargaan, mengajukan perkara ke pengadilan, menyelesaikan melalui mediator, menyewa tukang pukul menagih paksa debitor) bukan

81

lagi kaidah hukum tentang wanprestasi atau hutang piutang akan tetapi ditentukan kultur (budaya) hukum yang dianut kreditur.48 Dari sini dapat terlihat bahwa dalam kenyataannya hukum (kontrak) meskipun merupakan hal yang penting , akan tetapi bukan sesuatu yang terutama karena adanya kultur yang mendominasi di dalam tata pergaulan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain

ketentuan-ketentuan kontrak (hukum) akan diberlakukan jika kultur bisnis diantara para pihak gagal mempersatukan kepentingan mereka secara damai dan saling menguntungkan (win-win solution).

48

Loc.cit hlm. 72

82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Peranan lembaga somasi dalam penyelesaian kredit bemasalah pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang, yang sebelumnya berstatus sebagai peringatan atau penetapan lalai yang dilakukan melalui pengadilan dan berfungsi sebagai bukti yang kuat bagi kreditor (bank). Akibat munculnya pola-pola somasi dalam berbagai bentuk peranan lembaga somasi telah berubah menjadi sarana alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efesien di luar pengadilan secara damai. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan somasi pada PT. BNI (Persero) Cabang Pinrang terhadap nasabah debitur, yang lebih dominan adalah faktor non hukum (ekonomi, sosial,dan budaya), setelah dilaksanakannya suatu somasi perilaku pihak bank untuk menindaklanjuti pelaksanaan somasinya tidak terlepas dari olahan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan perkataan lain,

bahwa faktor non hukum dan faktor hukum berpengaruh secara timbal balik dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT.BNI (Persero) Cabang Pinrang setelah dilaksanakannya somasi.

83

B. Saran 1. Sebaiknya bank sejak dini bertindak lebih hati-hati terutama dalam menentukan siapa yang patut diberi kredit dan berapa besar kredit yang diberikan setelahmengetahui jaminannya sehingga dapatlah diharapkan bahwa kredit yang diberikan oleh pihak bank (kreditor) kepada debitor terjamin pengembaliannya dalam jangka waktu yang ditentukan, serta perlu peningkatan kerja sama dengan instansi terkait yang mendukung dalam proses penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit bermasalah sehingga prosesnya tidakterlalu lama dan berlarutlarut. 2. Mengingat pola perkembangan kelembagaan yang diatur pada ketentuan hukum private nampaknya beranjak keranah hukum publik sehingga diharapkan perubahan sistem hukum dapat dipetakan secara sistematis dan utuh maka perlu kajian sosiologis, antropologis, dan filosofis terhadap system hukum lebih diintensifkan khususnya dalam penyelesaian persengketaan antara kreditur dan debitur. Perlu dikembangkan bidang-bidang kajian hukum yang lebih spesifik seperti hukum dan ekonomi, hukum korporasi dan seterusnya.

DAFTAR PUSAKA

Abdulkadir, Muhammad, 1982, Hukum Asas Perdata Indonesia, Alumni Bandung. ------------, 1990 , Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Adiwimarta, Saleh, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, II, Rajawali Press, Jakarta. Ali, Achmad, 1988, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum Dan Penemuan Hukum Oleh Hakim, Lephas , Makassar. -------------------- 1996, Menguak tabir Hukum (Suatu kajian filosofis dan sosiologis ), Chandra Pratama , Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1984, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. Djumhana, Muhammad, 1996, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----------, 2000, Struktur dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UUI, Yogyakarta. Friedman, L. M, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tata Nusa, Jakarta. Fockema, Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (terjemahan Saleh Adiwimarta, dkk), Bina Cipta, Jakarta. Fuady, Munir, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. Himawan, Charles, 2006, Ekonomi Dan Hukum Rintangan Potensial, SKH. Kompas tanggal 10 Agustus , Jakarta.

Friedman, L. M, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tata Nusa, Jakarta. Kuncoro, Mudrajat, 2002, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, BPEE, Yogyakarta. Mertokusumo Sudikno, 1983, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Jakarta. , 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberti, Yogyakarta. Rajagukguk, Erman, 2000, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Candra Pratama, Jakarta Satrio, J, 1993, Hukum Perikatan (perikatan pada umumnya), Alumni, Bandung. Sembiring, Sentosa, 2000, Hukum Perbankan , CV. Mandar Maju , Bandung. Setiawan, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada,Jakarta. Subekti, 1981, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. , 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung. , 1988, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Alumni, Bandung. Susantio, Retnowulan, 1996, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju, Jakarta. , 1996, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sjahdeini, Remy ST, 1993, Penyelamatan Dan Penyeleseaian Kredit Macet, (Makalah disampaikan pada penataran Aspek-Aspek Hukum dalam Bank Indonesia), FH UNAIR, Surabaya.

Suyatno, Thomas, 1995, Dasar-Dasar Perkreditan Menurut Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. -----------, 2001 , Kelembagaan Perbankan , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1998 Nomor 1. Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

You might also like