You are on page 1of 3

Nama Program Kelas Nomor Mahasiswa Nomor Absen Mata Kuliah

Grahat Nagara Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Peminatan Hukum Pidana, Kelas Reguler 1106030965 Teori Hukum Pidana Tugas 1

PRINSIP LEGALITAS DALAM TRADISI CIVIL LAW DAN COMMON LAW


Rangkuman dari buku Roelof H. Haveman. The legality of Ada Criminal Law in Modern Indonesia. Jakarta: PT Tatanusa 2002.

Dengan tradisi civil law eropa kontinental, Indonesia memegang teguh prinsip legalitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diterapkan di Indonesia sejak zaman kolonial pada tahun 1918 berdasarkan azas konkordansi pemerintahan Belanda. Belakangan azas ini juga masuk dalam konstitusi, baik di Indonesia maupun di Belanda. Meskipun demikian azas legalitas pada dasarnya dpat ditemukan baik dalam tradisi civil law maupun common law. Meskipun memiliki beberapa perbedaan secara spesifik dalam aspek dan cara pandangnya.

Latar Belakang Azas Legalitas


Adalah Anselm von Feuerbach yang memperkenalkan istilah latin azas legalitas (Von Feuerbach, 1847): nullum crimen, nulla poen sine praevia lege poenali. Meskipun demikian, azas yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan, tiada seorang pun yang dapat dihukum sebelum ada hukum yang mengaturnya, tersebut jauh sebelumnya ditemukan dalam Declaration des droits de lhomme et du citoyen (1789) sebagai buah dari revolusi Perancis. Pada dasarnya kalimat dalam azas legalitas tersebut mengandung dua makna, yaitu pencegahan dan perlindungan hukum. Dalam konteks pencegahan, diasumsikan bahwa seseorang harus paham benar perbuatan mana yang dapat dipidana untuk dapat mencegah dirinya dari melakukan perbuatan kejahatan. Menurut pemahaman tersebut, pemidanaan hanya dapat efektif apabila ia diketahui oleh individu yang terancam oleh pemidanaan pasal tersebut. Perlindungan hukum dimaksud adalah bahwa azas legalitas berfungsi sebagai batasan bagi kekuasaaan negara untuk melakukan gangguan terhadap hidup seseorang, termasuk melanggar hak-haknya, dengan cara sebagaimana diatur hukum. Dengan ini, azas legalitas menjamin

perlindungan terhadap kesewenang-wenangan negara yang secara hukum memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan penghukuman atas nama publik.

Aspek-aspek Dalam Azas Legalitas


Ada empat aspek dalam azas legalitas yaitu lex scripta, lex certa, non retroactivity, dan non analogi. Namun berbeda dengan tradisi common law, aspek-aspek ini diterapkan secara ketat dalam tradisi civil law. Di Amerika meskipun tidak secara spesifik juga telah mengadopsi nilainilai azas legalitas dalam tradisi civil law dengan menyebutkan dalam konstitusinya bahwa sebagai konsekuensi dalam penerapan hukum yang adil (due process of law), pemidanaan harus dalam bentuk tertulis, definitif, dan retroaktivitas hukum dilarang. Analogi meskipun tidak dilarang namun hanya digunakan secara terbatas. Meskipun demikian pada umumnya pada tradisi common law, prinsip legalitas tidak ditemukan secara tersurat. Pertama. Lex Scripta. Dalam tradisi civil law, aspek pertama sebuah perbuatan dapat dipidana adlah bahwa hukum harus mengaturnya secara tertulis. Berakar dari istilah lege yang diterjemahkan sebagai hukum tertulis. Kebiasaan atau norma tidak tertulis oleh karena itu dilarang menjadi dasar untuk memberikan pidana. Aspek ini terutama mengikat terhadap hakim yang berfungsi salah satunya adalah memastikan apabila seseorang dihukum, maka ia harus dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam tradisi common law, umumnya interpretasi dari judge made law mengindikasikan bahwa hukum yang digunakan bukanlah hukum yang tertulis, atau setidaknya bukan hukum tertulis yang disusun oleh lembaga legislatif. Meskipun dalam beberapa peraturan mengatur pidana secara tertulis, namun kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa dalam tradisi common law, lex scripta tidak terlalu menjadi poin utama pemidanaan. Kedua. Lex certa. Aspek lex certa atau kepastian hukum pada dasarnya meminta agar pasal-pasal pidana diatur dengan jelas yang tidak memungkinkan ambiguitas maupun penafsiran yang berbeda. Dengan aspek ini hukum harus dapat memisahkan dengan jelas mana perbuatan yang dapat dipidana dan mana yang tidak. Sementara, Di Amerika lex certa dapat ditemukan dalam doktrin void for vagueness. Doktrin ini pada dasarnya menyatakan bahwa apabila terjadi ambiguitas penafsiran maka penafsiran yang digunakan adalah yang lebih menguntungkan tersangka. Latar belakangnya sama, bahwa setiap masyarakat wajib mengetahui atau diberitahu dan dilindungi dari penegakan hukum yang sewenang-wenang. Ketiga. Non Retroaktif. Ada pengecualian terhadap aturan ini: yaitu bahwa retroaktivitas hanya dilarang apabila menyebabkan kerugian bagi tersangka (in malam partem). Di sisi lain apabila menguntungkan tersangka retroaktif tidak dilarang (in bonam partem). Dalam common law, rektroaktivitas merupakan hal yang tidak dapat dibantah dalam konteks legislatif, namun tidak demikian dalam sistem peradilan.

Keempat. Analogi. Dalam tradisi civil law pembatasan interpretasi terletak di dalam kejahatan yang didefinisikan. Hakim harus memastikan bahwa penghukuman disesuaikan dengan kata-kata yang ada dalam pasal pidana. Meskipun sesekali diperdebatkan, tradisi pelarangan analogi dalam sistem peradilan pidana, masih merupakan aspek yang dominan. Dalam tradisi common law analogi tidak terlalu dipermasalahkan. Tradisi common law menganggap bahwa kombinasi antara dan penalaran common law memiliki keterkaitan yang kuat. Ketika terjadi penemuan hukum maka kriteria yang dipertahankan adalah forseeability, atau bahwa hukum tersebut dimaklumi keberadaannya. Dalam bukunya Friedman menjelaskan sejarah hukum pidana dan pemidanaan di Amerika: Dalam kasus Maine 1821, tersangka membuang mayat seorang anak kecil ke Sungai Kenebec. Tidak pernah ada peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal ini sebelumnya. Namun tersangka diputuskan bersalah. Pengadilan Tinggi Maine menyatakan kita sudah terbiasa untuk melakukan penghormatan tertentu pada kuburan-kuburan leluhur kita. Sementara ada hukum yang melarang untuk menggali kuburan. Oleh karena itu seharusnya ada hukuman bagi perbuatan buruk terhadap mayat yang seharusnya dikubur dengan layak. Norma kebaikan, kepantasan, perasaan kebaikan, hukum alam, semua melarang perbuatan tersebut.

You might also like