You are on page 1of 92

FILSAFAT & TEORI HUKUM

Zen Zanibar M.Z.


TEORI: suatu konstruksi yang disusun dari realitas sosial Teori hukum dipahami dari dua aspek: 1. sebagai ilmu pengetahuan; dan 2. sebagai kumpulan teori hukum yang diperkenalkan oleh ahli/pakar

Bagaimana menemukan realitas? Bagaimana mengkonstruksikan? Apakah teori suatu kebenaran? Apa makna suatu kebenaran?

Kebenaran metafisiskebenaran yg bersumber dari hukum alam atau agama Kebenaran etiskebenaran yg bersumber dari kebudayaan sifatnya relatif

Kebenaran logiskebenaran yg berasal dari hasil olah pikir manusia (rasional) Kebenaran empiris kebenaran yang berasal dari realita

FUNGSI FILSAFAT HUKUM


Merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum. Masalah pokok dalam filsafat hukum adalah hubungan hukum dengan etika. Hukum dan etika keduanya merumuskan kriteria untuk penilaian prilaku manusia dengan sudut pandangan masing-masing. Hukum adalah satu momen dari etika.

Etika normatif: keseluruhan kriteria yang berdasarkannya orang dan tindakannya dinilai sebagai baik-buruk.

Etos: penampilan aktual dari etika normatif sebagaimana dalam masyarakat konkret pada suatu waktu tertentu berlaku.

Filsafat hukum bergelut dengan 3 hal: Mempertanyakan landasan dari kekuatan mengikat dari hukum. Mengapa hukum mengikat? Kriteria untuk menilai kebenaran dari hukum Bagaimana menilai kebenaran dr pandangan filsafat hukum Nilaiasas1. norma; 2. etika

TEORI HUKUM Teori hukum berada pada tataran yg lebih tinggi ketimbang ilmu hukum. Teori hukum mewujudkan peralihan ke filsafat hukum [ilmu hukumteori hukumfilsafat hukum]

FUNGSI TEORI HUKUM


Menganalisis dan menerangkan pengertian hukum [hukum subyektif, hukum obyektif, hubungan hukum, asas hukum, milik, hukuman, itikad baik dll]; Bergelut dengan hubungan antara hukum dengan logika. Apakah berpikir yuridis atau penalaran yuidis adalah sesuatu yang berbeda dari berpikir atau penalaran biasa? Bergelut dengan metodelogi

Teori hukum berada di antara filsafat dan teori politik. Teori hukum dalam kajiannya tidak dapat melepaskan diri dari filsafat dan politik. Filsafat hukum mempersoalkan hakekat hukum, dasar kekuatan mengikat hukum dan tujuan hukum. Filsafat hukum mendekati hukum sebagai fenomena universal. Ilmu hukum mengamati gejala-gejala hukum.

SISTEM HUKUM (Legal system) Bruggink: Sistem hukum hanya merupakan upaya rasionalisasi (melalui proses sistematisasi logis) untuk memperoleh suatu gambaran yg menyeluruh yg tersusun dalam suatu ikhtisar berkenaan dengan hukum positif.

Sistem hukum tidak selalu menunjukkan hirarkis dari asas s.d. kaidah khusus. Karena sistem demikian merupakan sistem tertutup. Membentuk sistem total dan yang secara logis bersifat tertutup mustahil Sistem hukum bersifat terbuka. Sistem hukum yang terbuka yang memungkinkannya mengikuti perkembangan dalam masyarakat.

Perekat sistem hukum: Hans Kelsen Grundnorm berfungsi sebagai perekat sistem hukum . Grundnorm membentuk penilaian etis terhadap sistem hukum. Dias: perekat sistem adalah keabsahannya karena pembentukan kaidah berbasis sama. Fuller sistem hukum mengandung moralitas tertentu (principles of legality): mengandung peraturan hukum yang konstan, diumumkan, tidak berlaku surut (asas retroactive), mudah difahami, konsisten, tidak mudah diubah dan ditegakkan.

Sistematisasi sistem hukum positip tergantung pada kepentingan masyarakat dan tujuan politik yg berkembang. Sistem hukum merupakan suatu keseluruhan yg terbatas, yg memperlihatkan aturan-aturan hukum dan putusan hakim yg berlaku dalam masyarakat tertentu. Sistem hukum terbentuk oleh asas-asas hukum.

Unsur sistem hukum: Satjipto Rahardjo: struktur hukum, kategori,


dan konsep hukum.

Kees Schuit: 1. unsur idiel (terbentuk oleh


sistem makna hukum, yaitu aturan, kaidahkaidah dan asas-asas); 2. unsur operasional (keseluruhan organisasi dan lembaga2 yg didirikan dalam suatu sistem hukum, termasuk para pengemban jabatan yg menjalankan lembaga tersebut); 3. unsur aktual (keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan konkrit yg berkaitan dgn sistem makna hukum, baik yg berasal dari pengemban jabatan maupun yg berasal dari warga.

Friedmann: Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum Substansi hukum mencakup seluruh aturan yang berlaku Struktur hukum mencakup semua perangkat organisasi dan fasilitas penegakan hukum Budaya hukum mencakup budaya masyarakat yang mempengaruhi prilaku ketaatan/kepatuhan dan penegakan

TEORI HUKUM BERBICARA TENTANG Sebagai contoh: Teori keberlakuan hukum Teori Hukum Posistif (legal positivism); The pure theory (Hans Kelsen); Pendekatan-pendekatan hukum (legal aproaches): sejarah, antropologi, ekonomi, sosiologi, realisme hukum modern dan hukum alam; Teori pertanggungjawaban hukum Interpretasi Dll

Teori Keberlakuan hukum: Keberlakuan sosial atau faktual (dipatuhi dan diterapkan) Keberlakuan yuridis (dibentuk menurut prosedur dan oleh badan berwenang dan secara substansial tidak bertentangan dengan dengan kaidah hukum lainnya terutama yg lebih tinggi) Keberlakuan moral isi dari hukum secara etis atas dasar yang logis dapat dibenarkan.

ILMU HUKUM Mempelajari gejala-gejala kemasyarakatan yang mengandung aspek hukum. Ada 2 aspek ilmu hukum: Ilmu hukum normatif/ilmu hukum dogmatis/ilmu hukum praktis: memaparkan, menganalisis, mensistimatisasi dan menginterpretasi hukum positif yg berlaku. Tujuannya agar penerapan dan pelaksanaan hukum di dalam praktek dilaksanakan secara lebih bertanggung jawab;

Ilmu hukum empiris: mempelajari hukum sebagaimana tampak dalam sikap dan prilaku warga masyarakat yg dapat diamati secara empiris. Mengapa banyak kasus tidak dilaporkan ke penegak hukum, mengapa banyak kasus pidana diselesaikan secara kekeluargaan?

Teori Hukum Positif Positivisme hukum mengatakan, hukum adalah perintah yang mengalir dari sumber tertentu. Pembuat perintah mengharapkan pihak yang diperintah berbuat sesuatu atau menahan diri.

Apabila perintah diabaikan, maka pemberi perintah akan menjatuhkan sanksi.

Positivisme hukum mengatakan: Hukum dibuat oleh negara. Sumber hukum adalah kemauan yang berdaulat (The source of a law is the will of the sovereign). Negara adalah pembentuk hukum, sebagai kekuatan dan kekuasaan moral di belakang hukum, sebagai tuhan dunia hukum (the god of the world of law). John Austin the State as the creator of law, as the power and moral authority behind the law, as the god of the world of law

Positivis pd dasarnya mengimplikasikan wwsan skeptis setidaknya dg merujuk pada filsafat (Apk ini disebbkn olh krn positivstis dalam berfilsaft tdk memiliki makna dan tdk juga nilai?) Mnrt positivis yg mnjd soal adlah analisis yg sistemtis dan andal secara empiris ats materi hukum positif sbgmn yg disajikan dlm per perUU dan praktek pemerintahan. Karena bgt sulit menata materinya. Bg positivis pndktn scr formal murni bdsrkn penilaian kritis ats batas2 pemhaman manusia, atau kembali ke akal sehat atau nurani, communis opinio doctorandum dlm konsepsi2 serupa. Kebenaran dlm arti obyektif, keadilan memerlukan kesesuaian dgn kebenaran. Kebenaran dalam arti subyektif menutut kesesuaian dgn apa yg dianggap benar.

Menurut positivisme, hukum positif memiliki empat unsur:


perintah yang mengalir dari sumber tertentu; sanksi, yaitu sesuatu yang buruk yang mungkin melekat pada perintah; kewajiban, yaitu keharusan yang diciptakan oleh pembuat perintah; kedaulatan dari pembentuk perintah.

Bagi positivisme hukum, satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum adalah tata hukum. Hukum hanya berlaku karena bentuk positifnya ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya.

Salah seorang panganut positivisme, Rudolf von Jhering, mengatakan bahwa hukum adalah alat untuk mencapai tujuan. Artinya hukum tergantung dari paksaan, dan hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara.

Tesis-tesis pokok positivisme: hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan; metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakannya sebagai pedoman bagi prilaku manusia dan menjadi landasan bagi organsasi sosial; semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semat-mata atas pengalaman (empiris-vefikatif); bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam; berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.

TEORI PERTANGGUNGJAWABAN
Hukuman bg pelaku kriminal diperlukan? Diprlukan sbg fasilitas negara utk menjga kpentingan umum Pantaskan pelaku kejahatan dimintai tnggungjawab hukum? Syaratnya: terbukti bersalahapakah hukumn yg dijatuhkan tepat? Morawetzdiperlukn analisis utk mntkan ketepatan hukuman yg dijatuhkan, krn itu perlu diprhtkn kaitan pikrn, perasaan dan tndkn utk mprtimbngkan kesalahan dan hukumannya.

Tanggngjawab hukum hanya relevan ktka plaku memiliki kmpuan utk mlkukn atau tdk melakukan apa yg diharskn olh hukum 2 kriteria utk mmnta tanggung jawb hukum (Morawetz 1980): 1. mens rea dan atau guilty mind; dan 2. actus reus atau guilty act mens rea = plku pantas dihukum karena dia mengetahui hal yg dikukannya dan mengerti ttg apa yg dilakukannya; actus reus terbukti melakukan perbuatan yg dituduhkan kepadanya sbg bukti bhw dia memiliki kemampuan melakukan perbuatan yg dipersalahkan kepadanya.

Hukum menurut Jhering (penganut positivisme hukum): Adalah aturan hidup bersama, yang dianggap sesuai dengan kepentingan negara.

Hukum, adalah pernyataan egoisme nasional.


Hukum dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan kebutuhan hidup bernegara.

Positivisme aliran yang berasal dari pemikiran Auguste Comte. Comte sebgai sosiolog ingin menerapkan metode ilmu alam (Naturwissenscahft) yang sifat utamanya experimental-empiris (experimenteel empirisch), sehingga ilmu hukumpun, menurut Comte, dalam pengkajiannya melakukan penelitian empiris atau hasil pengamatan pancaindra. Bagi Comte hanya hasil pengamatan pancaindra yang berharga sebagai bahan ilmu pengetahuan. Mengapa Comte berpendapat demikian?

Teori terkenal yang dikembangkan Comte: de drie stadien leer atau tiga tingkat (stadium) perkembangan pikiran manusia (de drie phasen van ontwikkeling van het menselijk denken).

Tiga perkembangan pikiran manusia:

Theologisch phase: manusia belum belajar


berpikir sendiri, semua kejadian disandarkan kepada kemauan Tuhan yg tercermin dalam kitab-kitab suci; Metaphysische phase: manusia mulai berpikir sendiri, membuat pengertian dan penjelasan sendiri, abstrak, spekulatif (trancendent) yg belum diuji dengan kenyataan atau belum didasarkan pengalaman atau observasi dg pancaindra; Positieve Phase: manusia lebih mengedepankan kenyataan. Kenyataan adalah hasil observasi pancaindra. Aksioma, dalil, hukum, proposisi dan segala bentuk statement dianggap benar jika sudah teruji secara empiris.

Uraian di atas menunjukkan bagaimana asal muasal positivisme hukum. Hukum memang sangat dikaitkan dengan hukum tertulis dan dibentuk oleh penguasa (hukum sebagai perintah atau larangan) dan ditopang oleh sanksi agar setiap orang mematuhinya (memaksa atau dwang). Paul Scholten mengatakan hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan dan apa yang tidak, hukum itu bersifat suatu perintah

Penganut positivisme berpencar menjadi positivisme analitis dan pragmatisme. Positivisme analitis dan positivisme pragmatis berhubungan dengan empirisme dengan atau melalui cara berbeda.

Manifestasi positivisme analitis yang diletakkan secara ilmiah oleh John Austin (1790-1859) dan pengikutnya, yang kemudian dimodifikasi oleh Kelsen dan Mazhab Wina.

Positivisme analitis mencurahkan perhatiannya pada susunan sistem hukum yang positif. Susunan sistem hukum positif: susunan hukum yang rinci dalam negara moderen Sistem hukum yg bersumber pada perintah yang berdaulat (Austin) ke dalam stufentheori (Kelsen) yaitu norma-norma yang secara hirarkis diambil atau bersumber dari Grundnorm yang hipotetis.

Konsep hukum sebagai perintah yang berdaulat versi Austin diadopsi oleh Kelsen dalam susunan hirakis sistem hukum yang berpuncak pada grundnorm. Positivisme pragmatis atau positivisme versi yang berkembang di Amerika Serikat menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, cara penyelesaian verbal, alasan-alasan a priori yang tidak baik, prinsip-prinsip yang ditentukan, sistem-sistem yang tertutup, hal-hal yang dianggap mutlak dan asli.

Sebaliknya pragmatisme terfokus pada hasilhasil dan akibat-akibat, tidak seperti dipahamkan oleh positivisme analitis yg lebih mengutamakan logika. Hukum adalah proses eksperimental di mana faktor logika hanya salah satu dari faktorfaktor yg utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Ketentuan-ketentuan hukum bekerja tidak sebagaimana adanya di atas kertas tetapi memanfaatkan ilmu-ilmu pengetahuan observatif empiris.

Pragmatisme adalah gerakan realis yg menggunakan metode pendekatan modern untuk mengetahui apa hukum itu, bukan bagaimana hukum yg seharusnya itu.

Hukum, bagi pragmatisme, adalah hasil dari kekuatan dan alat kontrol sosial.

Hans Kelsen salah seorang pakar yg menganut positivisme analitis mengatakan bahwa: Hukum adalah ekspresi dari keharusan. Hukum adalah keharusan atau seharusnya demikian sebagaimana tercermin dalam rumusan formal dalam suatu UU.

Bagi Kelsen: satu-satunya hukum adalah hukum positif; hukum lain tidak ada, orangorang yg hidup bersama membentuk hukum guna mengatur hidup bersama itu. Keharusan dari pada hukum mungkin saja bersumber dari keharusan yg lainnya. Hak dan kewajiban hanya ada kalau ditentukan oleh hukum positif. Kaedah hukum mewajibkan karena segi formalnya.

Pandangan lain (Sutandyo): Hukum secara epistimologi sebagai produk positivisme yang bertolak dari keputusan politik rezim-rezim yang tengah berkuasa dan berhegemoni (antara legislatif, eksekutif dan bahkan judisial). Ilmu hukum sebagai ajaran murni yang doktrinal (didoktrin, berdasarkan doktrin) untuk kebutuhan peradilan kalangan profesional (hakim, jaksa dan advokat).

Hukum adalah norma-norma positif as it is written in the book atau nomos-nomos atau behavioral regularities as it is observed as social realities. Sutandyo: Pemikiran hukum dikontrol oleh academics jurists yang tidak bergeser dari ajaran jurisprudence positivism.

Bagi jurusprudence positivism ilmu hukum sebagi ajaran yang murni tentang penyelenggaraan hukum. Hukum adalah lege atau constitutum sebagai produk positivisasi. Positivisasi adalah proses objektivisasi sejumlah norma metayuridis (asas) menjadi sejumlah norma yang positif. Dengan kata lain norma positif dibangun berdasarkan logika normologi dan tidak berlogika nomologis yang induktif.(logika nomologis yang induktif= menemukan sejumlah norma yang eksis sebagai fenomena empiris yang siginifikan dalam kehidupan sosial dan kultural.)

Hukum positif hakikatnya adalah fenomena normatif. Hubungan kausal antara fakta (fakta hukum) dan akibat (akibat hukum) menurut positivisme adalah hasil normative judgments, bukan hasil observasi yg mendayagunakan motode sains guna menjamin obyektivitas dan reabilitas (Gordon, 1991 dalam Sutandyo)

Positivisme lahir didorong oleh perkembangan ilmuilmu alam sejak tahun 1600. Filsafat ini menemukan bentuknya yang jelas dalam karya August Comte Cours de Philosophie Positive (1830-1842). Tesistesis pokok positivisme: hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan; metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakannya sebagai pedoman bagi prilaku manusia dan menjadi landasan bagi organsasi sosial; semua iinterpretasi tentang dunia harus didasarkan semat-mata atas pengalaman (empiris-vefikatif); bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam; berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.

Kritik muncul justru mempertanyakan pengertian fenomena positif yg difahamkan kalangan penganut positivisme sendiri pada tahun 1920 (Kelompok Wina yg menakam diri The Vienna Circle). Hasil kerja kelompok inilah yg kemudian turut berpengaruh thd pendekatan paradigma positivisme.

Kelompok Wina yg kemudian menyatakan bahwa metode ilmu-ilmu alam kodrat satusatunya sumber/prosedur yg rasional (pengukuran dan manipulasi statistika utk memperoleh pengetahuan universal, sehingga harus digunakan dalam penelitian termasuk penelitian sosial) agar pada dasarnya ditentukan oleh bukti empiris, terukur dan obyektif. Dengan begitu subyektifitas terkontrol sekaligus adanya komitmen pada nilai-nlai kenetralan asasi (Hammersley dalam Sutandyo). Kebenaran keilmuan tidak boleh melibatkan emosi dan keberpihakan.

Positivisme yg dibangun Kelompok Wina menamakan diri The Logical Positivism, yaitu gerakan intlektual yg progresif untuk membebaskan dunia keilmuan dari ideologi rezim pemerintahan otokratis yg selenajutnya memfungsikan ilmu pengetahuan sbg sumber kebenaran (the original source of empirical truth) yg dikelola oleh akademisi buka oleh pembenar (the normative source of legal justification) yg dikelola oleh sarjana tukang.

2. Teori hukum murni Hans Kelsen (1881-1973)- baca Dias Jurisprudence 5th edt. A theory of law menurut Kelsen must be free from etics, politics, sociology, history etc; it must, in other words, be pure (rein). Kelsen tidak menolak nilai-nilai yang mencakupi kehidupan manusia dimana hukum dibuat dan diberlakukan. Bagi Kelsen hukum harus dijaga dari pengaruh berbagai faktor yang dapat merusak hukum itu sendiri.

laws being ought proposistions, knowledge of law means a knowledge of ought, ie norms and norm is a proposition in hypothetical form. a dynamic system is one in which fresh norms are constantly being created on the authority of an original, or basic, norm, a Grundnorm; a static system is one which is at rest in the the basic norm determines the content of those derived from it in addition to imparting vaklidity to them.

Legal norms are expressions of ought the distinction between legal and other ought in that the former are backed by the force of the state, the preoccupation of law being with the prospect of disobedience rather than obidience. Law is the primary norm, which stipulates the sanction.

Kelsen menolak hukum sebagai perintah (command), seperti dikatakan Austin, karena perintah adalah elemen psikologi yang ditolak Kelsen dalam teori hukum murninya. Sanksi menurut Kelsen adalah konsekuensi bekerjanya rules of law bukan karena adanya paksaan sebagai ciri validitas norma, seperti dimaksud Austin. Ketaatan kepada aturan berarti kesediaan menerima sanksi jika aturan diingkari.

Hukum secara epistimologi sebagai produk positivisme yg bertolak dari keputusan politik rezim-rezim yang tengah berkuasa dan berhegemoni (antara legislatif, eksekutif dan bahkan judisial). Ilmu hukum sebagai ajaran murni yg doktrinal (didoktrinkan atau berdasarkan doktrin) untuk kebutuhan peradilan kalangan profesional (hakim, jaksa dan advokat).

3. Teori Pendekatan Hukum Pendekatan dalam studi SOSIOLOGI HUKUM Milovanovic: Sosiologi hukum bukanlah disiplin hukum tetapi merupakan pendekatan dalam mempelajari hukum Pendekatan hukum versi sosiologi hukum dilakukan dua pendekatan utama: Jurisprudence (legal science atau legal dogmatics): berkembang sejak tahun 1800s, pendekatan hukum sebagai sistem aturan tertulis yang ditetapkan oleh negara.

Hukum dilihat sebagai aturan hidup bersama yang dinilai sesuai dengan kepentingan negara. Hukum adalah sejumlah norma yang secara imperatif berhubungan dengan kelakuan manusia dan sah karena diterima oleh mereka yang hidup ditempat dalam wilayah hukum yang sama (Bierling).

Penganut analitycal jurisprudence (John Austin) menganggap bahwa hukum merupakan suatu sistem yg logis, tetap dan bersifat tertutup. Oleh karena itu hukum positif memiliki 4 ciri: perintah yg berkuasa, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Menurut sudut pandang jurispudence negara adalah institusi yg terpenting, terkuat dan memaksa, karena itu hukum merupakan suatu sistem yg mencerminkan adanya hiraki antara hukum yg lebih tinggi karena kedudukannya sbg sumber dari hukum yg lebih rendah dan tidak boleh bertentangan dgn hukum yg lebih tinggi dari mana ia bersumber.

Sosciology of Law: berkembang sejak 1840an adalah cabang studi sosiologi yg memfokuskan pada ikhwal hukum sbgmn terwujud dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hukum sebagai refleksi prilaku masyarakat dalam memelihara ikatan-ikatan di antara para anggotanya (Roberto Unger). Hukum sebagai kaidah bersanksi (Durkheim). Kaidah hukum dalam masyarakat muncul dalam dua bentuk: kaidah hukum represive (sanksinya mendatangkan kesengsaraan/ penderitaan) dan kaidah hukum restitutive (pemulihan kepada kondisi semula).

Max Weber mengatakan sistem hukum sebagai suatu sistem pengelolalan baik tradisional,kharismatik maupun legal rational. Hukum sebagai susunan prosedur yang teratur dan mempunyai standar normatif, berlaku dalam suatu kelompok sosial tertentu, mengikat orang-orang yang ada di dalamnya, bersifat pasti dan dapat memberi sanksi kepada pelanggarnya. Hukum cenderung regulatoris dan sekaligus represif dan emansipatoris.

Black mengatakan, hukum sebagai socio legal studies, sbg fenomena empiris yg dijadikan obyek kajian yg dapat diukur sebagai variabel yg dikuantifikasikan; Hukum yg diidentikan dgn aturan tertulis abstrak berat sebelah dan terbatas sifatnya. Buktinya kata Eugen Erlich, UU yg dikodifikasikan sejak tahun 1811 ternyata dianggap aneh oleh penduduk, sementara penguasa tidak menghiraukan perasaan masyarakat. Menurut Erlich, petani-petani Austria prilakunya ternyata tidak seperti UU tetapi menghayati petunjukpetunjuk lain di luar UU. Prilaku tersebut adalah hukum yg sesungguhnya hidup dalam masyarakat petani Austria (living law).

Living law adalah hukum yg mendominasi kehidupan masyarakat sekalipun tidak dicantumkan dalam proposisi yuridis (Ihromi, 2000: 102-103). Hukum yg hidup bukanlah bagian dari naskah yang diterapkan pengadilan (diakui sebagai ketentuan yg mengikat ketika dijatuhkan putusan) tetapi hanyalah bagian yg dalam kehidupan nyata-nyata ditaati oleh pihak-pihak yg bersengketa (Ihromi, Ibid).

Selain pendekatan utama juga ada pendekatan lainnya: Sociological Jurisprudence: berkembang sejak 1900-an hukum sbg fenomena sosial atau eksistensi hukum dalam masyarakat dalam berlaku, manfaat dan dampaknya. Bagi Roscoe Pound ada perbedaan yg amat tegas antara hukum dalam kitab (law in books) dgn hukum dalam bekerjanya (law in action). Hukum adalah proses bukan kondisi. Hukum berkorelasi dengan fakta sosial di mana hukum itu diciptakan dan difungsikan bagi masyarakat ybs. Efektivitas hukum sangat penting sbg tolok ukur bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat.

Legal Realism/Realism Jurisprudence: berkembang sejak 1920-an di Amerika dan Skandinavia. Aliran yg berkembang di Amerika lazim dikenal dgn cirinya pragmatis. Pragmatisme/positivisme versi yg berkembang di AS menolak abstraksi dan hal2 yg tidak memadai, cara penyelesaian verbal, alasan2 a priori yg tidak baik, prinsip2 yg ditentukan, sistem2 yg tertutup, hal2 yg dianggap mutlak dan asli.

Pragmatisme melihat ke arah hasil-hasil dan akibat-akibat.Hukum, bagi pragmatisme, adalah proses eksperimental di mana faktor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yg utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Ketentuan2 hukum bekerja tidak sbgmn adanya di atas kertas tetapi memanfaatkan ilmu-ilmu pengetahuan yg memulai pengamatan thd prilaku manusia dalam masyarakat (ekonomi, kriminologi, sosiologi umum, dan psikologi).

Pragmatisme adalah gerakan realis yang menggunakan metode pendekatan modern untuk mengetahui apa hukum itu, bukan apa hukum yg seharusnya itu. Hukum, bagi pragmatisme, adalah hasil dari kekuatan dan alat kontrol sosial.

Hukum bagi pragmatisme adalah generalisasi dari prilaku hakim, karena hakimlah yang menjalankan dan membuat hukum.

Hukum tidak bisa diidentikkan dengan aturan hukum yg permanen/konstan. Aliran yg berkembang di Skandinavia mendasarkan kpd manifestasi positivisme analitis yg memfokuskan perhatiannya pada susunan sistem hukum yg positif. Susunan sistem hukum positif secara rinci sbg susunan hukum dalam negara moderen yaitu dari perintah yg berdaulat (Austin) ke dalam stufentheori (Kelsen) yaitu norma2 yg secara hirarkis diambil atau bersumber dari Grundnorm yg hipotetis.

Critical Legal Study Movement: gerakan yg berkembang sejak 1970-an yg berpendapat bahwa di belakang hukum selalu ada kepentingan politik tertentu, shg tidak ada pilihan lain kecuali semua produk hukum harus dikritisi, misalnya latar belakang mengapa suatu produk ukum dibuat, untuk siapa suatu produk hukum, siapa yg mengkreasikannya dan kelompok mana yg paling berkepentingan.

Ambiguitas suatu produk hukum kerapkali tampil secara mencolok, dan tidak jarang pula secara sengaja disamarkan. Kalau dari segi konsep sudah mengandung ambiguitas, maka penerapannyapun memunculkan perlakuan pilih kasih. Hukum menjadi sarana pengabsahan dan dominasi elit kekuasaan. Dikesankan kpd masyarakat bahwa yg berkuasa adalah hukum, padahal hukum yg diberlakukan adalah buatan penguasa sendiri. Karena itu pendekatan CLS disebut pendekatan strukturalis karena melihat masyarakat sbg susunan yg terdiri atas lapisan atau klas.

Feminist jurisprudence: berkembang sejak 1980-an hukum nyatanya membatasi realisasi dari nilai-nilai sosial, hukum lebih mencerminkan keberpihakan kepada laki (phallocentris).

Legal Semiotic: berkembang sejak 1980-an hukum dilihat sebagai tanda-tanda yang mengandung pesan, sehingga hukum dianggap sebagai sistem tanda seperti juga insttitusi sosial lainnya seperti sistem bahasan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem keluarga dan lain-lain.

Socio-legal studies: disiplin dengan pokok kajian pada isu-isu bagaimana sebaiknya membuat hukum agar hukum bekerja lebih efektif untu mencapai tujuan-tujuan spesifik dengan cara mengidentifikasi rule of law. Dalam konteks sosial menekankan pada pendekatan empiris terhadap masalah yang muncul ketika sistem hukum bekerja dalam masyarakat. Hukum lebih dipandang sebagai law in action ketimbang law in books.

Pendekatan Antropologis Hukum diidentifikasi dari gejala-gejala dalam masyarakat yang beraneka ragam dengan fungsi-fungsi yang secara hakiki menjalankan/merupakan fungsi hukum (ada lembaga yg berfungsi sebagai pengendali sosial, ada lembaga yg menciptakan solusi dsb).

Dalam masyarakat sederhana terdapat kedamaian dan konflik-konflik dapat diselesaikan oleh mesyarakat sendiri tanpa kekuasaan formal yg dibentuk oleh penguasa negara, maka dalam masyarakat tersebut secara antropologis terdapat hukum. Penekunan hukum dari aspek antropologis adalah gambaran yg lebih mendalam mengenai cara bekerjanya hukum sebagai pengendali sosial dan bagaimana hal itu berkaitan dengan nilai-nilai budaya (Ihromi, 2000:25)

Mereka yang menekuni hukum dari aspek antropologis yaitu lebih kepada segi intelektual dan filosofis. Hukum tidak diamati dalam hubungan dengan segi praktis (penerapan hukum)-(Bohannan dalam Ihromi, 2000;25);

Beda pendekatan sosiologis dengan antropologis: Sosiologi mempelajari tentang: Struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial = keseluruhan jalinan antara unsurunsur sosial yang pokok (kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial); Proses sosial = pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama (politik-ekonomi, hukum agama dsb) interaksi sosial sebagai proses sosial: dapat dikategorikan menjadi: komunikasi, konflik, konpetisi, akomodasi, asimilasi, dan kooporasi.

Obyek sosiologi: masyarakat yg dilihat dari hubungan antar manusia, dan proses yg timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat [orang-orang yang hidup bersama yg menghasilkan kebudayaan] Sosiologi mempelajari situasi masyarakat yang aktual. Sosiologi hukum mempelajari hukum dalam hubungannya dengan situasi aktual masyarakat. Sosiologi hukum dibutuhkan untuk menghimpun bahan bagi perancangan politik hukum yang tepat.

Antropologi mempelajari tentang: Umat manusia sbg makhluk masyarakat dgn titik perhatian pada sifat-sifat khusus badani, cara-cara produksi, tradisitradisi dan nilai-nilai yg membuat pergaulan hidup yg satu berbeda dengan yg lain. Antropologi budaya menyelidiki seluruh cara hidup manusia. Mempelajari bagaimana manusia dgn akal dan struktur fisik yg khas itu berhasil merubah lingkungannya berdasarkan pengalaman dan pengajaran dalam arti yg seluas-luasnya. Karena itu dalam antropologi dikenal Culture universal, yaitu: 1. peralatan dan perlengkapan hidup; 2. mata pencaharian (sistem ekonomi); 3. sistem kemasyarakatan [kekerabatan, organisasi politik, sistim hukum, sistem perkawinan]; 4. sistem bahasa (sistem kmunikasi); 5. sistem kesenian; 6. sistem pengetahuan; 7. sistem relegi (kepercayaan).

4. Teori Penafsiran dan perkembangan awalnya LEGISTEN: Fenomena positivisme dimulai oleh kalangan yang melihat hukum sebagai undangundang yang disebut Legisten. Bagi penganut legisten hukum melekat pada undang-undang, karena itu prinsip hakim mengadili berdasarkan undang-undang, undang-undang dianggap lengkap, dan hakim tidak boleh menolak perkara.

BEGRIFFJURISPRUDENZ: paham legisten diakui kelemahannya, oleh karena ternyata UU banyak kekosongan (leemten). Muncul paham baru begriffsjurisprudenz yg menganggap undang-undang lepas dari kekurangannya (luckenlos). Bagi kalangan begriffsjurisprudenz UU luckenvoll atau penuh kekurangan-kekurangan. UU perlu dilengkapi dengan menggunakan logische expansioniskraft dari UU.

Cara melengkapi UU: Metodenya ialah menyusun konstruksi (rechtsdogmatiek). Karena itu aliran ini disebut juga konstuktionsjuris-prudence. Tujuannya untuk menemukan pengertian (bergrippen) atau mengkonstruksi pengertian (begripsvorming). Pengertian-pengertian yang dihasilkan merupakan cara menutup kekurangan-kekurangan dalam undangundang. Bagaimana cara membangun pengertian dimaksud? Ada dua cara: -Analogi hukum (rechtsanalogie); dan -Diterminasi atau penghalusan hukum (rechtsverfijning).

Baik Legisten maupun Begriffsjurisprudence menganggap tugas hakim sama, yaitu menerapkan UU (rechtstoepassing). Karena itu muncul reaksi yg berpendapat hakim tidak menjalankan hukum semata tetapi juga membentuk hukum (rechtschepping atau rechtsvorming). Penganut pandangan ini disebut Freirechts-bewegung atau Interessen-Jurisprudenz.

FREIRECHTS-BEWEGUNG/INTERESSENJURISPRU-DENZ: hakim harus bersikap aktif. Hakim berhak mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak (merdeka dalam arti positif) dan tidak terikat oleh UU (merdeka dalam arti negatif). Mengapa hakim harus aktif? Karena hakim dipengaruhi oleh kemauannya (rechtsgevoelnya), tidak hanya pikiran juridis (juridisch denken) tetapi juga emosi pikirannya (emotioneel denken).

Paul Scholten: tugas hakim bukan rechtstoepassing (menerapkan hukum) atau rechtschepping (membentuk hukum) melainkan rechtsvinding (menemukan hukum). Djokosutono: istilah yg tepat digunakan untuk menjelaskan perkembangan tugas hakim dari masa ke masa berikut aliran paham pendukungnya, adalah rechtshantering sebagai istilah netral yg mencakup ketiga istilah tersebut.

Rechtstoepassing berasal dari pengaruh ajaran Montesquieu tentang pemisahan separation of power atau separation des pavoirs yg mendalilkan de wetgever schept recht, de rechter past het toe (legislator membuat hukum dan hakim menjalankannya). Segala masalah atau perkara ada jawabannya dalam UU, oleh karena UU sudah lengkap (de wet is volledig). Hakim adalah mulut UU (la bouche qui pronence les pareles de la loi). Jika ada kekosongan dalam UU, maka hakim harus melakukan konstruksi.

Apa yg menjadi latar belakang pandangan demikian? Montesquieu: bahwa boleh jadi suatu UU mampu melihat ke depan sekaligus buta, dalam beberapa kasus tertentu, menjadi terlalu keras atau kaku. Namun hakim dari bangsa ybs tidak lebih ketimbang sekedar mulut UU; badan tak berjiwa, yg gagal meniadakan keberlakuan maupun kekerasan UU tersebut.

J.A. Pontier: pendapat Montesquieu tsb menjadi landasan bagi kalangan legisten terutama di Belanda yg menganggap peran hakim seperti metafora (la bouche de la loi) atau hanya mulut UU. Namun, kata Pontier, dewasa ini untuk berbagai alasan muncul keraguan apa benar Montesquieu sugguh bermaksud menyatakan hakim hanya corong legislator, hanya menerapkan bunyi UU, dan bahwa loi yg dimaksud Montesquieu hanya berarti UU? Terlepas dari perdebatan tentang pendapat Montesquie yg menjadi dasar legisten tersebut, konstruksi ternyata memang tidak cukup.

Kalangan penganut freirechtsbewegung berpendapat bahwa hakim harus membentuk hukum (rechtschepping). Pembentukan hukum masih juga belum memadai, maka hakim, menurut Paul Scholten, harus menemukan hukum (rechtsvinding).

Jika ditarik latar belakang mengapa tugas hakim berkembang? Jawabannya adalah sejarah hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) yg ditemukan oleh bangsa Italia dinilai sebagai kodifikasi atau sistem hukum yg lengkap. Dalam penerapannya ternyata ditemukan kekosongan. Bagaimana mengisi kekosongan itulah kemudian melahirkan aliran pemikiran tentang fungsi hakim dalam mengadili.

Friedmann: Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum Substansi hukum mencakup seluruh aturan yang berlaku Struktur hukum mencakup semua perangkat organisasi dan fasilitas penegakan hukum Budaya hukum mencakup budaya measyarakat yang mempengaruhi prilaku ketaatan/kepatuhan dan penegakan

DUA VISI DALAM HISTORITAS SEJARAH YG BERBASIS PADA PENGEMBANGAN FILSAFAT HUKUM IDEALISTIS-SPRITUALISTIS

Gagasan hukum absolut muncul dari satu gagasan ke gagasan yg lain dan cenderung a-priori tidak berubah dan karenanya ahistoris, meskipun dapat dikronologiskan [Ide Plato, Aristoteles, Cicero dst] Hukum adalah perwujudan ide, seperti keadilan, rasio dll sebagai pandangan hukum statis.

IDEALISTIS SPRITUALISTIS

Jika hukum dianggap sbg perwujudan gagasan absolut arahnya dan hasilnya pastilah pandangan hukum statis. Benar bahwa ide-ide hukum muncul (lahir) dari pemikiran secara berurut, dari pemikiran ahli yg satu ke ahli yg berikutnya, yang belakangan melengkapi yg terdahulu atau mengkritisi ide ahli sebelumnya. Perkemnbangan dari pemikiran ahli yang terdahulu ke ahli berikutnya cenderung a-priori atau a-historis. Ide-ide yang berkembang itu bisa diurut secara kronologis (vertikal) tetapi tidak dalam pengertian kronologis linier (horizontal).

MATERIALISTIS-SOSIOLOGIS Hukum tidak semata ide (product ratio) tetapi yang sangat penting adalah produk kenyataan kehidupan masyarakat (lokal, regional, nasional dan global). Mazhab historis contoh dari paradigma hukum sbg produk kenyataan. Marxisme adalah contoh pemikiran yg menghasilkan paradigma hukum empiris.

Uraian di atas menunjukkan bagaimana asal muasal positivisme hukum. Hukum memang sangat dikaitkan dgn hukum tertulis dan dibentuk oleh penguasa (hukum sebagai perintah atau larangan) dan ditopang oleh sanksi agar setiap orang mematuhinya (memaksa atau dwang). Karena itu Paul Scholten mengatakan hukum itu suatu petunjuk tentang apa yg layak dikerjakan dan apa yg tidak, dengan kata lain hukum itu bersifat suatu perintah.

You might also like