Professional Documents
Culture Documents
4/6/2010 10:16:30 AM
TINJAUAN BUKU
125
(seniman), (3) penikmat seni (publik seni), (4) konteks seni, (5) nilai seni, dan (6) pengalaman seni. Sebagai refleksi kritis, sebenarnya yang tampil adalah bagaimana gagasan atau ide si seniman dikomunikasikan ke benda-benda seni terhadap publik dan terjadilah apa yang disebut sebagai intensionalitas dua arah (subjek dan subjek publik/objek). Subjek sebagai seniman yang telah berkarya dengan hasil karyanya, sedangkan subjek publik/objek adalah masyarakat penikmat sekaligus penilai seni. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan berbagai dampak. Apabila penikmat seni sangat menghargai sebuah karya seni, maka eksistensi karya seni akan tampil dengan utuh. Sebagai contoh, karya Leonardo da Vinci menjadi karya yang agung dan eksistensinya dinikmati oleh masyarakat dari beberapa generasi dunia. Namun, apabila penikmat seni menilai sebuah karya seni sebagai kurang baik (sesuai cara pandang publik seni), yang terjadi karya seni lambat laun akan lenyap, tidak lagi memiliki nilai estetis. Bagi subjek atau seniman, pemahaman estetis menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dirinya. Kajian tentang estetika memperhatikan teori pemancaran diri (Einfuhlung, empathy), teori jarak kejiwaaan (physical distance) (hlm. 87), struktur seni rupa yang berupa unsur garis, bangun, tekstur, dan warna (hlm. 99--109). Agaknya pemahaman tentang estetika harus didukung oleh teori estetika dari beberapa tokoh, seperti misalnya Tolstoy (estetika seni), Eli Siegel (estetika realitas), Monroe Beardsley (teori kreativitas) dan de Witt H Parker (teori bentuk estetik). Keindahan perlu dipahami melalui perasaan sekaligus bergantung pada kesan yang ditangkap, dan tidak sematamata hubungan atas dasar kesenangan belaka. Bagi Eli Siegel, beberapa pokok dalam estetika realitas tertuang pada pendapatnya yang mengatakan bahwa ada hubungan antara logika dan emosi. Hal ini muncul dalam bentuk karya seni dan desain yang dianggap menyenangkan serta diterima melalui ketepatan berpikir (hlm.132). Selain itu, ditemukan bahwa setiap karya seni memiliki kemajuan tertentu dan kehadiran relasi tertentu yang selalu pasti ada. Bagi pandangan Eli Siegel hal itu berkaitan dengan kontuinitas dan diskontuinitas yang dituangkan dalam teori estetika realitas. Kajian tentang estetika timur (Cina, Timur Tengah, India, Jepang, Islam) dan estetika Indonesia merupakan sisi terapan (bab 7, 8). Penulis buku ini berusaha membandingkan perjalanan estetika di Barat dengan estetika di Timur. Beberapa wilayah Timur telah mengenal keindahan sejak lama dan menghubungkannya dengan berbagai pandangan hidup dan ajaran keagaman, seperti di Cina, India, Jepang, Timur Tengah, Indonesia. Kajian tentang estetika Indonesia meskipun oleh penulis sulit untuk menarik garis apa yang dimaksudkan dengan estetika Indonesia, tetapi usahanya untuk menjelaskannya atas dasar kewilayahan kebudayaan, orientasi kesenian, dan sistem budaya yang patut dihargai. Bagi estetika Indonesia, kosmologi, simbol yang melekat pada benda artefak dan perilaku manusia menjadi landasan dasar dalam melihat adanya hubungan yang salingmengait. Hubung-kait antarkomponen tersebut dapat dipertemukan dengan teori estetika Barat, dan merupakan lahan penelitian bagi yang tertarik untuk menelaahnya secara ilmiah.
4/6/2010 10:16:30 AM
126
Hal yang menarik pada buku Pengantar Estetika adalah uraiannya tentang sisi teoretis yang sistematis dan sisi aplikatifnya beserta beberapa gambar. Ini memudahkan pembaca, terutama pemula yang belajar estetika. Lazimnya bacaan tentang filsafat dan estetika sering menggunakan pendekatan filosofis (terutama dalam bahasa asing) sehingga sulit dicerna oleh pemula terutama mahasiswa. Sebagai pengantar, buku ini dapat menjadi pegangan mahasiswa atau pecinta seni dalam memahami estetika karena disajikan berdasarkan topik bahasan.
Irmayanti M. Budianto Pengajar Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Membedah Keterlibatan Negara dan Masyarakat Rusia dalam Persoalan Gender, Seks, dan Famili pada Masa dan Pasca Uni Soviet
Sarah Aswin (editor), Gender, State and Society in Soviet and Post-Soviet Russia (London and New York; Routledge, 2000), ix + 167 halaman. You cannot draw the masses into politics without drawing women into politics as well. For the female half of the human race is doubtly oppressed under capitalism. Ungkapan di atas diutarakan oleh V. I. Lenin dalam bukunya On the Emancipation of Women (1977), pemimpin partai Bolshevik dan pendiri Negara Uni Soviet. Ada dua hal penting yang dapat ditarik dari ungkapan, yang kemudian menjadi fondasi dari segala bentuk keterlibatan pemerintah komunis Uni Soviet dalam masalah zenskii vopros- istilah Rusia untuk isuisu yang berkaitan dengan bidang hukum, sosial, politik, filsafat, dan status budaya kaum perempuan. Pertama, Lenin menyadari pentingnya melibatkan kaum perempuan Rusia dalam perjuangan untuk mengkomuniskan Rusia. Kemenangan partai Bolshevik yang dipimpinnya dalam meruntuhkan negara kerajaan Rusia, sehingga terbentuk negara komunis pertama di dunia membuktikan argumen Lenin bahwa kaum perempuan Rusia merupakan
4/6/2010 10:16:30 AM