You are on page 1of 35

Refrat

PERAN ANTI TIROSIN KINASE PADA CHRONIC MYELOGENOUS LEUKEMIA

Oleh: Yuliarni 04104705080

Pembimbing: dr. Hj. Mediarty Syahrir, Sp.PD, K-HOM, FINASIM

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT DR. MOH. HUSEIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan refrat dengan judul Peran Anti Tirosin Kinase pada Chronic Myelogenous Leukemia. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hj. Mediarty
Syahrir, Sp.PD, K-HOM, FINASIM yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian refrat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak residen, teman-teman dokter muda, ayah dan ibu, serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian refrat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan refrat ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapakan saran dan kritik dari semua pihak. Demikianlah penulisan refrat ini, semoga dapat bermanfaat. Amin.

Palembang, Mei 2011

Penulis

HALAMAN PENGESAHAN REFRAT berjudul PERAN ANTI TIROSIN KINASE PADA CHRONIC MYELOGENOUS LEUKEMIA

oleh:

Yuliarni 04104705080

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 11 April 2011-6Juni 2011.

Palembang, Mei 2011

dr. Hj. Mediarty Syahrir, Sp.PD, K-HOM, FINASIM

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii DAFTAR ISI ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v DAFTAR TABEL........................................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................1 BAB II CHRONIC MYELOGENOUS LEUKEMIA (CML) 2.1 Definisi ........................................................................................ 3 2.2 Epidemiologi ............................................................................... 3 2.3 Etiologi ........................................................................................ 3 2.4 Patofisiologi ................................................................................. 4 2.5 Klasifikasi .................................................................................... 6 2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................ 8 2.7 Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 8 2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 8 2.9 Diagnosis Banding....................................................................... 9 2.10 Penatalaksanaan ........................................................................... 9 2.11 Prognosis ..................................................................................... 11 BAB III PERAN ANTI TIROSIN KINASE PADA CML 3.1 Sejarah Perkembangan Anti Tirosin Kinase ............................... 12 3.2 Imatinib Mesylat .......................................................................... 14 a. Struktur kimia ........................................................................ 14 b. Farmakokinetik ...................................................................... 14 c. Mekanisme Kerja................................................................... 15 d. Dosis ...................................................................................... 16 e. Efek Samping Imatinib .......................................................... 17 f. Resistensi Imatinib ................................................................ 19 3.3 Dasatinib ..................................................................................... 20 3.4 Nilotinib....................................................................................... 23 BAB IV RINGKASAN ................................................................................ 25 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Translokasi kromosom 9 dan 22 ................................................ 4 Gambar 1.2 Fusi gen BCR-ABL ...................................................................... 6 Gambar 3.1 Struktur kimia imatinib mesylate .............................................. 14 Gambar 3.2 Mekanisme aksi imatinib mesylate ............................................ 16 Gambar 3.3 Struktur kimia dasatinib ............................................................. 14

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kriteria respon terapi pada imatinib ...................................... 19 Tabel 3.2 Definisi respon ............................................................................ 20 Tabel 3.3 Ringkasan data dari program START ..................................... 22

BAB I PENDAHULUAN

Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan leukemia yang pertama kali ditemukan serta diketahui patogenesisnya. Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien CML, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini dikenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler, pada tahun 1980 diketahui pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL dengan gen BCR yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada CML.1 Kejadian leukemia mieositik kronis mencapai 20-35% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronis. Pada umumnya menyerang usia 40-60 tahun, walaupun juga dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. 20-40% pasien biasanya asimptomatik. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 5000 kasus baru CML setiap tahunnya. Angka kejadian menurut usia di Amerika Serikat rata-rata 2 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 1.1 per 100.000 penduduk untuk wanita. Angka kejadian di seluruh dunia bervariasi karena faktor-faktor tertentu. Insiden terendah adalah di Swedia dan Cina (sekitar 0.7 per 100.000 penduduk), dan insiden tertinggi terdapat di Switzerland dan Amerika Serikat (sekitar 1.5 per 100.000 penduduk).2 Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukannya hepatosplenomegali pada pemeriksaan fisik ataupun abnormalitas hasil dari pemeriksaan darah rutin berupa leukositosis, anemia, atau trombositosis. Di Jepang kejadiannya meningkat

setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chernobil meledak.1 Ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien CML, antara lain dengan kemoterapi hidroksiurea, inhibitor tirosin kinase, interferon-, dan transplantasi sel induk. Pengobatan CML telah mengalami perubahan yang dramatis sejak ditemukannya imatinib (Gleevec) pada tahun 2002. Imatinib adalah suatu inhibitor tirosin kinase yang memblok aktivitas kinase pada protein BCRABL dan menghambat proliferasi progenitor positif kromosom Philadelphia. Imantinib merupakan salah satu pilihan pengobatan pada penderita CML yang baru terdiagnosis.2 Masih terbatasnya kepustakaan mengenai peran anti tirosin kinase pada CML menjadi alasan penulisan refrat ini. Pada studi literatur ini akan dibahas bagaimana anti tirosin kinase dapat menjadi salah satu pengobatan yang diharapkan dapat memberi kesembuhan pada pasien CML. Penulisan refrat ni diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca mengenai pengobatan CML dengan menggunakan anti tirosin kinase.

BAB II CHRONIC MYELOGENOUS LEUKEMIA (CML)

2.1

Definisi Chronic Myelogenous Leukemia (CML) yang disebut juga sebagai Chronic

Granulocytic Leukemia (CGL) adalah suatu kelainan hemopoiesis klonal yang disebabkan oleh suatu defek genetik yang didapat dalam sel induk pluripoten, dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit ini ditandai oleh adanya translokasi spesifik, t(9;22) (q34 ;q1) yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Translokasi ini mendekatkan gen ABL (Abelson) ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34) dengan gen BCR (break cluster region) pada kromosom 22 (22q11) sehingga menghasilkan gen gabungan yang menyandi protein gabungan BCR-ABL.1,3

2.2

Epidemiologi Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20-35% dari semua

leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronis. Pada umumnya menyerang usia 40-60 tahun, walaupun juga dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. 20-40% pasien biasanya asimptomatik. Angka kejadian menurut usia di Amerika Serikat rata-rata 2 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 1.1 per 100.000 penduduk untuk wanita. Insiden terendah adalah di Swedia dan Cina (sekitar 0.7 per 100.000 penduduk), dan insiden tertinggi terdapat di Switzerland dan Amerika Serikat (sekitar 1.5 per 100.000 penduduk).2,4

2.3

Etiologi Penyebab CML belum diketahui. Tidak ada predisposisi khusus terjadinya

CML baik untuk sosial ekonomi, jenis kelamin, familial, maupun ras. Namun, faktor risiko yang dikenal dapat meningkatkan terjadinya CML adalah paparan dosis tinggi radiasi pengion. Tiga populasi utama yaitu Jepang terkena radiasi

yang dikeluarkan oleh ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, pasien dengan spondilitis ankilosis di Inggris yang diterapi dengan radiasi tulang belakang, dan wanita dengan kanker serviks yang juga menerima terapi radiasi, memiliki frekuensi CML jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak terpapar.2

2.4

Patofisiologi Chronic myelogenous leukemia adalah malignansi pertama yang

dihubungkan dengan gen yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.4 Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR dari kromosom 22 bergabung dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan abnormal ini menyebabkan penyatuan protein tirosin kinase yang meregulasi proliferasi sel, penurunan sel adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada BCR-ABL produk penyatuan gen adalah tirosin kinase.3

Gambar 1.1 Translokasi kromosom 9 dan 22.5

10

Penyatuan protein BCR-ABL berinteraksi dengan 3 beta (c) subunit reseptor. Transkrip BCR-ABL aktif terjadi secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh protein sel yang lainnya. BCR-ABL mengaktivasi kaskade dari protein yang mengontrol siklus sel dan mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari protein BCR-ABL adalah penyebab patofisiologi dari chronic myelogenous leukemia.4 Pada gambar 1.2 tampak bahwa p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRChomologi 1 (SH1) sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis.5

11

Gambar 1.2 Fusi gen BCR-ABL.5 Dengan pemahaman tentang protein BCR-ABL dan tindakannya sebagai tirosin kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara spesifik menghambat aktifitas dari protein BCR-ABL. Inhibitor dari tirosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena BCR-ABL tersebut adalah penyebab dari CML.3

2.5

Klasifikasi CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan

hasil laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik, dan stelah beberapa tahun berkembang menjadi fase akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast. Krisis blast adalah tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut. Perkembangan dari fase kronik melalui akselerasi dan krisis blast diperoleh kromosom abnormal yang baru yaitu kromosom philadelphia. Beberapa pasien datang pada tahap akselerasi ataupun pada tahapan krisis blast pada saat mereka didiagnosa.

12

a. Fase Kronis 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke fase akselerasi.

b. Fase Akselerasi Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu: 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang. >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang. Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi. Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia. Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat. Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda yang telah disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan.

c. Krisis blast Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka

13

waktu yang pendek. Krisis blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML : >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang. Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang. Perkembangan dari chloroma.6

2.6

Manifestasi Klinis 90% pasien dengan CML terdiagnosa pada fase kronis. Pasien sering

mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Keluhan lainnya yang tidak spesifik misalnya: rasa cepat lelah, nyeri kuadran kiri atas, distensi abdomen, penurunan berat badan, keringat malam, yang merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Kadang-kadang, pasien juga memperlihatkan sindrom hiperviskositas dengan manifestasi stroke, priapismus, stupor, ataupun perubahan penglihatan.1,7

2.7

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan CML

adalah splenomegali, dengan besarnya splenomehgali berhubungan dengan peningkatan leukositosis. Pasien juga memperlihatkan tanda anemia seperti pucat, dispnea, dan takikardi. Ekimosis juga sering ditemukan akibat fungsi trombosit yang abnormal.1

2.8

Pemeriksaan Penunjang 10-20% pasien tidak menunjukkan gejala dan terdiagnosa karena

ditemukan peningkatan hitung sel darah putih pada pemeriksaan darah rutin. a. Hematologi rutin Leukositosis biasanya berjumlah >50x109/l dan kadang-kadang >500x109/l. Presentasi basofil dan eosinofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat ditemukan normal atau trombositopeni.

14

b. Apus Darah Tepi Spektum lengkap sel-sel mieloid ditemukan dalam darah tepi. Jumlah netrofil dan mielosit melebihi jumlah sel blas dan promielosit, penurunan trombosit, dan ditemukan anemia normositik normokrom. c. Apus sumsum tulang Selularitas meningkat (hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakaryosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. d. Analisa sitogenetik darah atau sumsum tulang Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR.

2.9

Diagnosis Banding CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis essensial, leukemia netrofilik kronik CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia1

2.10

Penatalaksanaan Agen kemoterapi oral (hydroxyurea, busulfan) Digunakan pada permulaan untuk menurunkan white cell Dosis 1-6 g/hr per oral Dosis diturunkan hingga 1-2 g/hr saat hitung leukosit mencapai 20.000/mm3 ESO: supresi hematopoiesis

15

Interferon Dosis: 3 juta unit/m2 subkutan 3 hari per minggu, dan setelah 1 minggu 5 juta u/m2 per hari. Setelah respon maksimal (6-8 bulan) 3-5 juta u/m2 satu atau dua kali per minggu. Dosis dikurangi atau dihentikan secara temporer bila leukosit kurang dari 5.000/mm3 atau trombosit kurang dari 50.000/mm3 Jika setelah 6 bulan tidak ada respon atau respon sedikit, maka gunakan Imatinib atau alloSCT

Anti Tirosin Kinase a. First-line therapy Imatinib mesylate (Glivec, Gleevec) Imatinib menghambat aktivitas tirosin kinase mutan dengan memblok pengikatan ATP. Sangat berguna bagi orang tua atau bagi pasien yang intoleran atau resisten IFN . Dosis 400 mg/hr per oral (dosis max 600-800 mg/hr dalam 2 resep terbagi). Imatinib memiliki toksisitas yang lebih rendah, lebih mudah diberikan, dan dapat menginduksi hematologi, sitogenetik, dan molekuler lebih tinggi

b. Second-line therapy Dasatinib (Sprycel) Dasatinib adalah inhibitor BCR-ABL/Src kinase ganda yang poten dan merupakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat dan Eropa sebagai terapi pasien resisten imatinib dan intoleran imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic leukemia (Ph+ ALL). Walaupun targetnya adalah BCR-ABL, dasatinib secara struktural tidak mirip dengan imatinib dan berikatan dengan bermacam konformasi dari domain Abl kinase.

16

Nilotinib (Tasigna) Nilotinib adalah adalah turunan imatinib yang tersedia secara oral dengan perbaikan spesifisitas yang lebih maju terhadap BCR-ABL protoonkogen virus. Dalam suatu penelitian preklinis, nilotinib ditemukan memiliki aktivitas terhadap 32 dari 33 mutasi BCR-ABL yang resisten terhadap imatinib, tapi tidak bereaksi terhadap mutasi T3151. Pada analisis farmakokinetik, nilotinib memiliki T (max) 3 jam. Total waktu paruh dari beberapa dosis harian adalah 17 jam.

Stem Cell Transplantation (SCT) Merupakan terapi definitif untuk CML. Data menunjukkan bahwa cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi samapi > 9 tahun, terutama pada CST alogenik.1,2

2.11

Prognosis Pronosis pasien dengan CML telah berubah sejak diperkenalkannya

imatinib. Berdasarkan studi IRIS (penelitian secara acak yang membandingkan interferon dan arabinoside sitosin) menghasilkan respon sitogenetika lengkap pada 74% pasien yang menggunakan imatinib dan 9% pada kelompok interferon. Pasien yang mencapai sitogenetika remisi lengkap dan pengurangan 3-log transkrip BCR-ABL memiliki 100% progression-free survival selama 2 tahun. pasien yang tidak memiliki sitogenetika remisi lengkap setelah 12 bulan terapi imatinib memiliki 85% progression-free survival selama 2 tahun. delesi dari kromosom 9q berkaitan dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek.3

17

BAB III PERAN ANTI TIROSIN KINASE PADA CML

3.1

Sejarah Perkembangan Anti Tirosin Kinase

Berdasarkan beberapa literatur, cerita mengenai Glivec dimulai oleh 2 orang peneliti: Peter Nowell, MD, University of Pennsylvania School of Medicine, dan David Hungerford, MD, Institute for Cancer Research. Mereka dapat mengidentifikasi mutasi genetik pasien CML pada tahun 1960. Keduanya menemukan bahwa suatu bagian DNA hilang dari kromosom 22, belakangan diketahui sebagai kromosom Philadelphia (Ph) dan terjadi pada sekitar 95% of pasien CML. Penemuan ini menunjukkan bahwa pertama kalinya peneliti menemukan genetik yang abnormal dikaitkan dengan suatu jenis kanker. Dengan adanya temuan ini pula terjadi peningkatan penelitian tentang genetik yang menyebabkan kanker. Perkembangan signifikan berikutnya (13 tahun kemudian) adalah hasil penelitian tentang CML oleh Janet Rowley, MD, University of Chicago. Diketahui bahwa bagian DNA yang hilang ternyata karena kromosom 22 bergeser menjadi kromosom 9 (translokasi). Hal ini membuka jalan bagi peneliti berikutnya untuk mengaitkan translokasi dengan berbagai jenis kanker. Pada tahun 1980an, 2 peneliti California Institute of Technology, David Baltimore, PhD, dan Owen N. Witte, MD, mengidentifikasi penyebab utama CML. Ph kromosom menghasilkan enzim yang berperan penting dalam pertumbuhan dan pembelahan sel. Ezyme tersebut, suatu gabungan protein (BCRABL) meningkatkan aktivitas tirosin kinase, mengubah instruksi genetic dari sel yang normal. Enzim yang abnormal ini mengirim pesan yang mengakibatkan produksi sel darah putih secara berlebihan. Akibatnya, sel darah putih pasien CML meningkat menjadi 10 sampai 25 kali jumlah normal. Berdasarkan temuan bahwa suatu enzim dapat menyebabkan

perkembangan CML, peneliti-peneliti menghadapi suatu tantangan sekaligus

18

kesempatan dengan target yang jelas yaitu pengembangan obat yang dapat memblock BCR-ABL. Penelitian dimulai pada awal 1990 dengan ditemukannya BCRABL inhibitor oleh peneliti di Novartis, Nicholas Lydon, PhD, dan Alex Matter, MD. Selanjutnya, perbaikan dilakukan oleh 4 peneliti Novartis, Drs. Juerg Zimmermann (Medicinal Chemistry), Elisabeth Buchdunger (Cell Biology), Helmut Mett (Screening and Enzymology), dan Thomas Meyer (Enzymology). Akhirnya dapat dibuat suatu zat yang secara efektif bisa mem-blok enzim penyebab perkembangbiakan sel darah putih pada pasien CML. Kemudian, Novartis memulai kolaborasi pada 1994 dengan Brian Druker, MD, seorang haematologist dan oncologist yang berminat pada kinases dan CML. Mereka menemukan suatu zat yang pada akhirnya diberi nama Glivec. Secara signifikan pula, zat tersebut tidak menunjukkan aktivitas significant terhadap sel yang normal. Hal ini yang membedakannya dengan pengobatan kanker yang tradisional. Hasil penelitian ini pertama kali dipublikasikan oleh peneliti Novartis di tahun 1996.Perbaikan terhadap obat tersebut masih diperlukan, sehingga dilakukan pengembangan oleh Nicholas Lydon (biochemist, sebelumnya peneliti Novartis), oncologist Brian Druker dari Oregon Health and Science University (OHSU), dan Charles Sawyers dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center yang menguji percobaan klinis pada CML. Kontribusi juga dilakukan oleh Carlo Gambacorti-Passerini, peneliti di University of Milano Bicocca, Italy, dan John Goldman, hematologist di Hammersmith Hospital, London, UK. Glivec mendapat persetujuan FDA (Badan Penelitian Obat dan Makanan) Amerika Serikat pada bulan May 2001.10

19

3.2

Imatinib Mesylat

Pengetahuan yang lebih maju terhadap biologi molekular telah melahirkan kelas baru suatu agen terapi yang menargetkan langsung pada gen supresor tumor dan/atau pertama onkogen. yang Imatinib merupakan targeting Foodand 2001, Drug

therapy molekular Administration

mendapat Serikat.

persetujuan Pada Mei

(FDA)

Amerika

imatinib

mesylate(Gleevec, Glivec, STI-571) disetujui FDA untuk terapi pasien CML dalam fase krisis blastik, fase akselerasi, atau fase kronik setelah gagal dengan terapi IFN-.11 a. Struktur Kimia Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase inhibitor dari kelas 2-

phenylaminopyrimidine.Desain

kimianya adalah 4-[(4-methyl-1-piperazinyl) amino]-

methyl]-N-[4-methyl-3-[[4-(3-pyridinyl)-2-pyrimidinyl] phenyl]benzamide methanesulfonate.

Gambar 3.1 Struktur kimia imatinib mesylate.

b.

Farmakokinetik Imatinib merupakan BCR-ABL TKI pertama yang menunjukkan aktivitas

yang signifikan pada semua fase CML. Targetnya adalah melawan semua Abl tirosin kinase,termasuk BCR-ABL, v-Abl, dan Abelson-related gene (ARG), kemudian reseptor tirosin kinase subgrup III, yaitu reseptor c-Kit, reseptor PDGF,

20

dan stem cells factor receptor. Selain itu, imatinib akan berkompetisi dengan ATP sebagai tempat berikatan dengan reseptor tirosin kinase subgrup III.11 Imatinib dengan cepat diserap jika diberikan per oral. Imatinib juga memiliki bioavailibilitas yang tinggi: 98% dosis oral mencapai aliran darah. Metabolisme imatinib terjadi di hati dan dimediasi oleh beberapa isozim dari sistem sitokrom P450, termasuk CYP3A4 dan pada tingkat yang lebih rendah, CYP1A2, CYP2D6, CYP2C9, dan CYP2C19. Metabolit utama, turunan Ndemethylated piperazine, adalah metabolit aktif. Rute utama eliminasi adalah di empedu dan feses, hanya sebagian kecil obat diekskresikan dalam urin. Sebagian besar imatinib dieleminasi dalam bentuk metabolit, hanya 25% dielimanasi dalam bentuk yang tidak berubah. Waktu paruh imatinib dan metabolit utamanya adalah 18 dan 40 jam. 12

c.

Mekanisme Kerja Imatinib adalah turunan dari 2-phenylaminopyrimidine yang berfungsi

sebagai inhibitor spesifik dari sejumlah enzim tirosin kinase sehingga menyebabkan penurunan aktivitas dari tirosin kinase. Ada banayk enzim tirosin kinase di dalam tubuh, ternasuk reseptor insulin. Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase yang khusus untuk ABL (the Abelson proto-oncogene), c-kit dan PDGF-R (platelet-derived growth factor receptor). Pada CML, kromosom Philadelphia menyebabkan penggabungan protein abl dengan bcr, yang kemudian disebut BCR-ABL. Karena hal inilah, imatinib digunakan untuk mengurangi aktivitas BCR-ABL. Setiap bagian yang aktif dari tirosin kinase memiliki bagian yang berikatan dengan ATP. Aktivitas enzimatik yang dikatalisis oleh tirosin kinase adalah suatu transfer terminal dari ATP ke residu tirosin pada substratnya, proses ini dikenal sebagai fosforilasi tirosin protein. Imatinib bekerja dengan cara berikatan pada sisi ATP yang berikatan pada ABL-BCR, menguncinya dalam sebuah konformasi tertutup, karena itu tirosin kinase menghambat aktivitas enzim protein secara semi-kompetitif.
13

Hal ini menjelaskan mengapa banyak mutasi BCR-ABL dapat

21

meneybabkan resistensi terhadap imatinib dengan mengubah keseimbangan menjadi konformasi terbuka.14 Imatinib cukup selektif untuk BCR-ABL. Imatinib juga menghambat protein ABL sel non-kanker, tapi secara normalnya sel biasanya memiliki tambahan tirosin kinase yang berlebihan yang memungkinkan mereka untuk terus berfungsi walaupun abl tirosin kinase sudah dihambat. Walaupun demikian, beberapa sel tumor memiliki ketergantungan pada BCR-ABL.15

Gambar 3.2 Mekanisme aksi imatinib mesylate.16

d.

Dosis Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi

penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg.17 Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah

22

trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari.1

e.

Efek Samping Imatinib Imatinib secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Walaupun efek

samping cukup sering terjadi, namun biasanya ringan dan jarang menyebabkan pemutusan terapi. Efeksamping lebih sering terdapat pada fase lanjut dari CML, refleksi dari status performa yang buruk dari penderitanya. Toksisitasnya dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu hematologik dan nonhematologik.18

1)

Toksisitas hematologikal Myelosupresi bisa merupakan refleksi dari efek terapi dan juga bisa karena

toksisitaskepada

sel-sel

hemapoetik

normal.

Neutropenia

berat

dan

trombositopenia biasanya terjadipada tahap lanjut penyakitnya, khususnya pada fase krisis blastik. Hal ini bisa terjadi karenasedikitnya jumlah sumsum tulang Phresidual yang masih ada untuk menghasilkanhematopoesis normal. Keadaan ini disebut sebagai imatinib-induced myelosupresi. Manajemen imatinib-induced myelosupresi ini membutuhkan

pengamatan yanglebih ketat. Prinsip manajemennya adalah harus sesuai antara agresivitas terapi CML denganagresivitas penyakitnya. Kita masih

diperbolehkan untuk melanjutkan terapi imatinib padafase lanjut CML walaupun terjadi myelosupresi. Sedangkan pada awal fase kronik dapatdipertimbangkan memberhentikan terapi imatinib jika terjadi myelosupresi-

inducedmyelosupresi. Myeloid growth factor dapat digunakan untuk mengobati neutropenia, namun tidak berpengaruh terhadap prognosisnya.18

2)

Toksisitas nonhematologik a) Edema dan retensi cairan Edema superfisial (tersering edema periorbital) terdapat pada sekitar 50% pasien yangmendapat terapi imatinib. Pada beberapa kasus

23

terdapat keadaan retensi cairan yang lebihberat, seperti efusi pleura dan perikardial, edema pulmonum, asites, edema anasarka, danedema serebral. Kejadian efek samping yang ringan dapat diberikan diuretik, namun padakeadaan yang berat pemberian imatinib harus dihentikan.18

b) Efek samping gastrointestinal Nausea ringan, nyeri abdomen, dan diare ringan sering terjadi ketika imatinibdiberikan dalam keadaan perut kosong. Walaupun bukti yang ada menunjukkan bahwa tidakada perbedaan absorbsi ketika imatinib diberikan bersama dengan makanan. Namundirekomendasikan untuk memberikan imatinib bersama dengan makan besar. Nausea dannyeri abdomen ini disebabkan karena efek iritasi lokal dari imatinib.

c) Reaksi kulit Skin rash terlihat pada sepertiga pasien yang mendapat terapi imatinib. Bentuknya bisa dari ringan sampai berat hingga muncul sindroma Stevens-Johnson. Sebagian besar rash ini ringan dan bisa sembuh sendiri atau berespon terhadap antihistamin atau steroid. Reaksi kulit ini sering merupakan alasan untuk menghentikan terapi imatinib. Rash ini biasanyatidak muncul lagi ketika imatinib dilanjutkan kembali setelah sempat dihentikan. Sebagai bagian dari reaksi drug-induced, urtikaria sering muncul pada awal terapiimatinib pada pasien dengan angka basofil yang tinggi. Hal ini terjadi karena pelepasanhistamin dari basofil. Dalam beberapa kasus terjadi perubahan pigmentasi kulit danmenggelapnya warna rambut. Ini terjadi karena efek imatinib pada melanosit yang mengekspresikan cKit.

d) Atralgia, myalgia, dan nyeri tulang Nyeri tulang, persendian, dan otot merupakan efek samping imatinib yang seringterjadi, walaupun ini tidak cukup berat sampai

24

diperlukan penghentian terapi. Keadaan inibiasanya berespon terhadap suplemen kalsium atau kuinin.

f.

Resistensi Imatinib Mesylate Ketika imatinib efektif pada sebagian besar pasien CML, beberapa pasien

pada fasekronik dan fase lanjut menunjukkan resisten atau intoleran terhadap imatinib (Jabbour et al.,2008). Ada 3 kriteria respon terhadap terapi imatinib pada pasien CML, yaitu resisten/gagal,respon suboptimal, dan optimal. Kriteria ini berdasarkan pada lamanya waktu respon yangberhubungan dengan prognosis penyakit.17 Tabel 3.1 Kriteria respon terapi pada imatinib.19

Terdapat 2 macam resistensi yang terjadi terhadap imatinib, yaitu resistensi primer/intrinsik dan sekunder/didapat. Resistensi terhadap imatinib didefinisikan oleh National Comprehensive Cancer Network (NCCN)

dan LeukemiaNet Guidelines sebagai kegagalan untuk mencapai complete hematologic response (CHR) dalam 3 bulan, cytogenetic response (CR) dalam 6 bulan, atau major cytogenetic response (MCR) dalam 12 bulan. Rerata resistensi imatinib berkisar 4% per tahun pada CML yang baru terdiagnosis, tetapi akan menurun 1-1,5% pada tahun ke 4 sampai 5. Pada pasien yang mencapai complete cytogenetic response (CCR), rerata resistensinya adalah 1% atau kurang pada tahun ke 3 sampai 4. Namun sebaliknya, beberapa pasien pada CML fase lanjut menunjukkan resistensi terhadap imatinib. Perkiraan rerata resistensi dalam 4 tahun adalah 20% pada akhir fase kronik dan 70-90% pada fase akselarasi dan krisis blastik. Resistensi sekunder/didapat adalah hilangnya respon terapi imatinib pada pasien yang sebelumnya berespon.17

25

Tabel 3.2 Definisi respon19

Keterangan: RT-PCR = reverse transcriptase polymerase chain reaction

3.3

Dasatinib Dasatinib (Sprycel) adalah inhibitor BCR-ABL/Src kinase ganda yang

poten dan merupakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat dan Eropa sebagai terapi pasien resisten imatinib dan intoleran imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic leukemia (Ph+ ALL). Walaupun targetnya adalah BCR-ABL, dasatinib secara struktural tidak mirip dengan imatinib dan berikatan dengan bermacam konformasi dari domain Abl kinase.17 Secara in vitro dasatinib menunjukkan aktivitas 325 lipat lebih kuat dalam melawan BCR-ABL nativ dibandingkan dengan imatinib, dan menunjukkan efikasi yang lebih baik melawan semua mutasi BCR-ABL resisten imatinib dengan perkecualian pada T315I. Dasatinib juga aktif melawan SFKs, c-Kit, PDGFR, dan reseptor ephrin A.19

26

Gambar 3.3 Struktur Kimia Dasatinib Penelitian fase I dari dasatinib menunjukkan bukti bahwa dasatinib efektif pada pasien yang intoleran atau resistensi terhadap imatinib dengan durasi respon yang baik dan memiliki profil keselamatan yang baik juga. Evaluasi klinis dari penggunaan dasatinib lebih jauh dilakukan dalam program Src/Abl Tirosine kinase inhibition Activity: Research Trials of dasatinib (START) yang terdiri dari 5 bagian, yaitu START-A, -B, -C, dan L, serta START-R. Empat START yang pertama merupakan penelitian besar, multisenter, single-arm, open label pada pasien CML resisten atau intoleran imatinib fase kronik, fase akselerasi, krisis blastik, dan ALL Ph+. START-R merupakan penelitian randomisasi yang mengevaluasi pemberian dasatinib 70 mg 2 kali sehari dan imatinib dosis tinggi pada pasien-pasien yang sebelumnya tercatat sebagai resisten terhadap imatinib.17,19 Secara umum program START menunjukkan respon hematologik dan CR yang lama pada pasien-pasien yang gagal terhadap terapi imatinib dengan alasan adanya resistensi atau intoleransi. START-C mengevaluasi 288 pasien resisten imatinib dan 99 pasien intoleran imatinib pada CML fase kronik. Respon yang dicapai tidak berkaitan dengan adanya dan lokasi mutasi BCR-ABL. Hal terpenting yang terlihat adalah aktivitas dasatinib tak terbatas hanya pada subgrupnya, termasuk juga pada pasien dengan mutasi P-loop. Rerata 15 bulan progression-free survival-nya adalah 88%.19

27

Tabel 3.3 Ringkasan data dari program START19

Keterangan: HD =high -dose, NA = not applicable.

Program START juga menunjukkan bahwa dasatinib memiliki profil keamanan yang baik. Neutropenia dan trombositopenia memang sering terjadi namun biasanya reversibel dan dapat ditangani secara efektif dengan interupsi atau reduksi dosisnya. Tosisitas non-hematologik yang terjadi adalah gejala-gejala gastrointestinal yang ringan sampai sedang (misalnya nausea dan vomitus) dan retensi cairan. Kejadian efek samping non-hematologik derajat 3 dan 4 terjadi pada 5% pasien. Efusi pleura hanya sering terjadi pada pasien dengan fase lanjut dibanding fase kronik (17% versus 0%), dan dapat ditangani dengan pengurangan dosis, dan jika perlu dapat diberikan diuretik dan/atau steroid. Yang lebih penting lagi adalah tidak ada intoleransi silang antara dasatinib dan imatinib.19 Penelitian besar lainnya yang mengevaluasi dasatinib pada pasien CML fase kronik adalah penelitian 034. Penelitian ini membandingkan pemberian dasatinib 100 mg/hari, 50mg 2 kali/hari, 140 mg/hari, dan 70 mg 2 kali/hari. Hasilnya adalah semua rejimen dasatinib dengan dosis seperti diatas menunjukkan efikasi yang sama. Rejimen 100 mg/hari berhubungan dengan rendahnya kejadian efusi pleura yang signifikan (7% versus 16%) dan sitopenia derajat 3 atau 4 (33% versus 42%) jika dibandingkan dengan rejimen 70 mg 2kali/hari. Hasil penelitian ini menyebabkan perubahan rekomendasi dosis harian untuk pasien CML fase kronik dari 70 mg 2 kali/hari menjadi 100 mg sekali sehari.19 Dari hasil-hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa pada pasienpasien yang resisten atau intoleran terhadap imatinib, penggunaan TKI generasi

28

kedua seperti dasatinib dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi ketika SCT tidak dapat dilakukan.19

3.4

Nilotinib Nilotinib (Tasigna) adalah adalah turunan imatinib yang tersedia secara

oral dengan perbaikan spesifisitas yang lebih maju terhadap BCR-ABL protoonkogen virus. Dalam suatu penelitian preklinis, nilotinib ditemukan memiliki aktivitas terhadap 32 dari 33 mutasi BCR-ABL yang resisten terhadap imatinib, tapi tidak bereaksi terhadap mutasi T3151. Pada analisis farmakokinetik, nilotinib memiliki T (max) 3 jam. Total waktu paruh dari beberapa dosis harian adalah 17 jam. Jalur metabolik utama yang teridentifikasi adalah oksidasi dan

hidroksilasi. Senyawa induknya adalah unsur yang ditemukan beredar di dalam serum; hasil metabolitnya tidak berkontribusi terhadap aktivitas farmakologi. Nilotinib adalah inhibitor kompetitif dari sitokrom P450 (CYP) 3A4, CYP2C8, CYP2C9, dan CYP2D6. Dalam 2 tahap II, studi klinis lengan pendek, nilotinib ditemukan bermanfaat pada pasien dengan CML yang resisten atau intoleran terhadap imatinib.2 Secara keseluruhan, 58% pasien CML fase kronik mencapai respon sitogenetik mayor; 42% respon sitogenetik lengkap; dan 77% respon hematologi lengkap. Pada 18 bulan, perkiraan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah 91%. Pada pasien yang penyakitnya telah berlanjut menjadi fase akut, nilotinib dihubungkan dengan respon sitogenetik utama sebanyak 32%, respon sitogenetik lengkap 19%; dan respon hematologi lengkap sebanyak 32%. Pada 12 bulan, diperkirakan 56% pasien tidak memiliki perkembangan penyakit, dan perkiraan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan adalag 82%.20 Toksisitas derajat 1 dan 2 yang paling sering ditimbulkan oleh nilotinib adalah ruam, gatal-gatal, mual, rasa lelah, sakit kepala, konstipasi, diare, dan muntah. Toksisitas derajat 3 dan 4 yaitu peningkatan bilirubin dan lipase yang terjadi pada 9% dan 14% pasien, biasanya self-limited dan sembuh secara spontan. Selain itu juga bisa ditemukan trombositopenia, neutropenia, hiperglikemia, dan

29

hiperpospatemia pada >10% pasien. Nilotinib dihubungkan dengan pemanjangan interval QT, dan kematian mendadak.7 FDA menyetujui regimen nilotinib dengan dosis 400 mg yang dimakan dua kali sehari per oral dalam keadaan perut kosong. Terdapat data preklinik yang menunjukkan bahwa meskipun berikatan pada sisi yang sama pada target kinase yang sama, penggunaan kombinasi imatinib dan nilotinib memiliki efek adisi atau sinergistik sebagai inhibitor ABL-BCR.2

30

BAB IV RINGKASAN

Chronic Myelogenous Leukemia (CML) yang disebut juga sebagai Chronic Granulocytic Leukemia (CGL) adalah suatu kelainan hemopoiesis klonal yang disebabkan oleh suatu defek genetik yang didapat dalam sel induk pluripoten, dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit ini ditandai oleh adanya translokasi spesifik, t(9;22) (q34 ;q1) yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Translokasi ini mendekatkan gen ABL (Abelson) ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34) dengan gen BCR (break cluster region) pada kromosom 22 (22q11) sehingga menghasilkan gen gabungan yang menyandi protein gabungan BCR-ABL.1,3 Ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien CML, antara lain dengan kemoterapi hidroksiurea, inhibitor tirosin kinase, interferon-, dan transplantasi sel induk. Pengobatan CML telah mengalami perubahan yang dramatis sejak ditemukannya imatinib (Gleevec) pada tahun 2002. Imatinib adalah suatu inhibitor tirosin kinase yang memblok aktivitas kinase pada protein BCRABL dan menghambat proliferasi progenitor positif kromosom Philadelphia. Imantinib merupakan salah satu pilihan pengobatan pada penderita CML yang baru terdiagnosis.2 Imatinib adalah turunan dari 2-phenylaminopyrimidine yang berfungsi sebagai inhibitor spesifik dari sejumlah enzim tirosin kinase sehingga menyebabkan penurunan aktivitas dari tirosin kinase. Ada banyak enzim tirosin kinase di dalam tubuh, ternasuk reseptor insulin. Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase yang khusus untuk ABL (the Abelson proto-oncogene), c-kit dan PDGF-R (platelet-derived growth factor receptor). Beberapa pasien pada CML fase lanjut menunjukkan resistensi terhadap imatinib. Perkiraan rerata resistensi dalam 4 tahun adalah 20% pada akhir fase kronik dan 70-90% pada fase akselarasi dan krisis blastik. Resistensi sekunder/didapat adalah hilangnya respon terapi imatinib pada pasien yang sebelumnya berespon.17

31

Dasatinib adalah inhibitor BCR-ABL/Src kinase ganda yang poten dan merupakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat dan Eropa sebagai terapi pasien resisten imatinib dan intoleran imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic leukemia (Ph+ ALL). Secara in vitro dasatinib

menunjukkan aktivitas 325 lipat lebih kuat dalam melawan BCR-ABL nativ dibandingkan dengan imatinib, dan menunjukkan efikasi yang lebih baik melawan semua mutasi BCR-ABL resisten imatinib dengan perkecualian pada T315I. Dasatinib juga aktif melawan SFKs, c-Kit, PDGFR, dan reseptor ephrin A.19 Nilotinib adalah adalah turunan imatinib yang tersedia secara oral dengan perbaikan spesifisitas yang lebih maju terhadap BCR-ABL protoonkogen virus. . Dalam suatu penelitian preklinis, nilotinib ditemukan memiliki aktivitas terhadap 32 dari 33 mutasi BCR-ABL yang resisten terhadap imatinib, tapi tidak bereaksi terhadap mutasi T3151.2

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Fadjari, H. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Kaushansky, Kenneth, dkk. 2010. Williams Hematology, 8th edition. New York: Mc Graw Hill 3. Heslop, Helen E. Leukemia myeloid kronik. In Nelson ilmu kesehatan anak, editor: Nelson, Waldo E.ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005 p: 17761777 4. Chabner, Bruce A., Lynch, Thomas J., Longo, Dan L. 2008. Harrisons Manual of Oncology. New York: Mc Graw Hill 5. Goldman JM dan Melo JV. Chronic Myeloid Leukemia- advanced in biology and new approach to treatment. N Engl J Med. 2003: 349 (15): 1451-64. 6. Chronic Myeloid Leukemia available from

http://www.eMedicine.com/hematology/stem cells and disorders.Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on May, 14 2011 7. DeVita, Vincent T., Lawrence, Theodore S., Rosenberg, Steven A. 2008. DeVita,Hellman, and Rosenbergs Cancer Principle and Practice of Oncology. 8th edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins 8. Hoffbrand, A.V., Petit, J.E., Moss, P.A.H. 2005. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC 9. Tkachuk, Douglas C., Hirschmann, Jan V. 2007. Wintrobes Atlas of Clinical Hematology, 1st edition. Toronto: Lippincott Williams & Wilkins 10. Chronic Myeloid Leukemia available from http://www. macmillan.org.uk. Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on May, 14 2011 11. Pindolia, V.K. & Zarowitz, B.J. 2002. Imatinib Mesylate, the First Molecularly Targeted Gene Suppressor.Pharmacotherapy, 22(10):12491265.

33

12. Scheinfeld N, Schienfeld N (February 2006). "A comprehensive review of imatinib mesylate (Gleevec) for dermatological diseases". J Drugs Dermatol 5 (2): 11722. PMID 16485879. 13. Takimoto CH, Calvo E. "Principles of Oncologic Pharmacotherapy" in Pazdur R, Wagman LD, Camphausen KA, Hoskins WJ (Eds) Cancer Management: A Multidisciplinary Approach. 11 ed. 2008. 14. Gambacorti-Passerini CB, Gunby RH, Piazza R, Galietta A, Rostagno R, Scapozza L (February 2003). "Molecular mechanisms of resistance to imatinib Oncol. 4(2): 3. PMID 12573349. 15. Deininger MW, Druker BJ (September 2003). "Specific targeted therapy of chronic myelogenous leukemia with imatinib". Pharmacol. Rev. 55 (3): 40123. 16. Mauro, M.J. & Druker, B.J. 2001. STI571: Targeting BCR-ABL as Therapy for CML.The Oncologist, 6:233-238 17. Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al. Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150 18. Deininger, M.W.N. & Druker B.J. 2003. Spesific Targeted Therapy of Chronic Myelogenous Leukemia with Imatinib. Pharmacol Rev, 55:401423 19. Ramirez, P. & DiPersio, J.F. 2008. Therapy Options in Imatinib Failures. The Oncologist, 13:424-434 20. Dremer, D.L, Ustun C, Natarajan K., Nilotinib: a second generation tyrosine kinase inhibitor for the treatment of chronic myelogenous leukemia: Clin Ther 2008:30(11): 1956-75 in Philadelphia-kromosom-positive leukaemias". Lancet

7585. doi:10.1016/S1470-2045(03)00979-

34

35

You might also like