You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN

Rasa kantuk merupakan suatu kondisi fisiologis, yang normal terjadi, dan seringkali sulit untuk dibedakan dengan rasa kantuk yang patologis. Normalnya rasa kantuk diatur oleh kelenjar pineal sebagai jam internal tubuh; namun kantuk juga akan timbul apabila pasokan oksigen ke otak menurun. Mengantuk di siang hari merupakan suatu hal lazim bagi seorang yang memang bekerja di malam hari, dan harus terjaga di malam hari; namun seseorang yang tetap mengalami serangan kantuk yang berat di siang hari tanpa mengalami gangguan tidur di malam hari merupakan suatu kondisi yang tidak normal. Salah satu contoh dari hal ini adalah suatu sindroma Excessive Daytime Sleepiness (EDS) atau Kantuk Berlebihan. Menurut definisi saat ini, EDS adalah rasa kantuk berlebihan dalam situasi di mana seorang individu diharapkan dapat terjaga dan waspada. EDS bukan gangguan tetapi merupakan gejala yang dapat memiliki banyak penyebab, bukan hanya kurang tidur. Banyak hal yang dapat menyebabkan hal ini contohnya yaitu suatu proses keganasan, kondisi depresi, cedera kepala, serta penyakit-penyakit sistemik lain. Kondisi pada EDS terjadi sebanyak 5% pada populasi dewasa di negara berkembang, dan lebih rentan terjadi pada usia muda, lanjut usia, dan pekerja malam hari. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian EDS menurut jenis kelamin. Diagnosis gangguan tidur memerlukan pemahaman mengenai fisiologi tidur normal dan bagaimana hal tersebut berefek terhadap situasi abnormal dan kelainan medis yang mengganggu tidur. Ketelitian dalam mewawancara pasien, terkadang terhadap anggota keluarga, pasangan hidup, teman atau relasi kerja sangat diperlukan; selain itu perlu dilengkapi dengan pemeriksaan fisik. Prinsip penanganan adalah diantaranya dengan modifikasi pola hidup untuk mengoptimalkan pengobatan meliputi membuat strategi dan bagaimanana mengatur

aktivitas sehari hari. Penjelasan dan penilaian dari kondisi keluarga, teman, pengajar dalam pendidikan, lingkungan kerja yang mungkin akan membantu dalam pengobatan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI Menurut definisi saat ini, EDS adalah rasa kantuk dalam situasi di mana seorang individu diharapkan dapat terjaga dan waspada. EDS bukan gangguan. EDS merupakan gejala yang dapat memiliki banyak penyebab, bukan hanya kurang tidur1. 2.2 EPIDEMIOLOGI Tingkat keluhan EDS pada populasi umum adalah sekitar 0,5-5 % pada orang dewasa, dengan prevalensi yang meningkat pada orang tua. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin pada EDS2.

2.3 ETIOLOGI Individu dengan kantuk yang berlebihan di siang hari akan merasa lelah. Mereka begitu lelah sehingga susah untuk menjaga mata mereka tetap terbuka, bahkan ketika mereka

mengemudi dan ketika mereka bergerak, mereka merasakan dorongan kuat untuk tidur, yang dapat mengganggu kehidupan mereka dan menempatkan mereka dalam bahaya. Untuk mengobati EDS, langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah mempelajari penyebab pertama untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab umum dari EDS. Penyebab umum EDS antara lain obat-obatan seperti alpha-adrenergik blocking agen, antikonvulsan agen, antidepresan dan lainlain. Selain itu, tidak cukup tidur atau gangguan tidur, predisposisi genetik, penyalahgunaan alkohol, kanker, trauma, hipotiroidisme, gangguan tidur primer seperti sleep apnea atau restless leg syndrome, stres, anemia, masalah ginjal dan saraf pusat, memaksakan diri agar tidak tidur dan bekerja di malam hari serta tidur di siang hari juga dapat menyebabkan kantuk yang berlebihan 2.4 NEUROFISIOLOGI TIDUR Tidur adalah suatu proses pasif sekaligus aktif dari otak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor homeostatis dan faktor ritme sirkandian3. Dikatakan sebagai proses pasif karena dahulu diyakini bahwa yang menyebabkan seseorang tertidur adalah karena

kelelahan area eksitatorik di otak, yaitu Ascending Reticular Activating System (ARAS)3. Berdasarkan penelitian dengan cara memotong daerah midpontil, maka diketahui bahwa tidur juga merupakan proses aktif.3 Dibutuhkan suatu proses hambatan aktif dari daerah di bawah midpontil batang otak untuk menginisiasi tidur.3 Peranan faktor homeostatis terhadap tidur yang normal terlihat pada gambaran aliran darah ke otak yang bervariasi sesuai dengan derajat kesadaran dan istirahat.3 Gambar 1. Pemetaan perbandingan jumlah aliran darah ke otak5

Gambar A menunjukkan perbandingan peningkatan aliran darah pada area yang paling aktif mengontrol keadaan sadar dan istirahat dibandingkan dengan area pengatur tidur di daerah prefrontal dan parietal.5 Gambar B menunjukkan adanya beberapa area yang mengalami penurunan aliran darah saat fase NREM dari tidur dibandingkan dengan saat masih terjaga5. Gambar C menunjukkan adanya peningkatan aliran darah ke otak saat fase tidur REM dibandingkan dengan saat fase tidur NREM. Sedangkan gambar D menunjukkan perbandingan aliran darah ke otak yang menurun di area tertentu pada orang dengan kekurangan waktu tidur dibandingkan dengan orang yang terjaga setelah beristirahat.5 Ritme sirkandian juga memegang peranan dalam pengaturan tidur manusia.3,4 Nukleus suprakiasmatik (SCN) yang terletak di daerah supra optic dari anterior hipotalamus diyakini sebagai pusat pengaturan ritme sirkandian.4 Nukleus suprakiasmatik tersebut mengsekresi neurotransmitter asam -aminobutirat (GABA).4 Aktivitas SCN dipengaruhi oleh impuls yang diterima dari serat peduculopontin kolinergik, nucleus laterodorsal tegmental, neuron daerah basal otak, ARAS dan daerah lainnya di otak.4 Nukleus suprakiasmatik juga diinhibisi oleh melatonin.4

Serat-serat saraf yang keluar dari SCN kemudian akan menuju nukleus ventrolateral preoptik di anterior hipotalamus dan sebagian akan menuju nukleus dorsomedialis dari hipotalamus.4 Di lokasi tersebutlah terjadi integrasi antara ritme sirkandian dengan faktor lainnya dalam mengatur tidur, suhu tubuh serta fungsi endokrin manusia.4 Pusat pengaturan tidur diketahui terletak pada nucleus ventrolateral preoptik (VLPO) dari anterior hipotalamus.7 Daerah ini menjadi aktif saat tidur dan memanfaatkan neurotransmitter asam -aminobutirat (GABA) serta Galanin untuk menginhibisi pusat kesadaran di otak dan mengawali tidur7. VLPO menginervasi dan mampu menginhibisi daerah pembangkit kesadaran di otak yang mencakup nukleus tuberomamilary, lateral hipotalamus, lokus sereleus, nukleus raphe dorsalis, nukleus laterodorsal tegmental, dan nukleus pedukulopontine tegmental5. Sedangkan yang menstabilkan fungsi inhibisi dari VLPO tersebut adalah neuron hipokretin yang terletak di lateral thalamus6. Suatu langkah penting untuk masuk dalam tahap tidur adalah inhibisi terhadap daerah tuberoinfundibular yang berhadapan dengan nukleus intralaminar talamus dan korteks serebri karena secara fungsional akan memutuskan hubungan batang otak dengan rostral talamus dan korteks.6 Sebagai tambahan, untuk menghambat kesadaran kortikal tertinggi, traktus tuberoinfundibular terletak lebih kaudal terhadap sistem retikular pontin dan menghambat transmisi aferen dari traktus ascending cholinergic.6 Penurunan transmisi ascending cholinergic thalamic berhubungan dengan penurunan respon kortikal.5 Gambar 2. Bagian-bagian otak yang mengatur kesadaran dan tidur beserta neurotransmiter yang berperan5

Gambar di atas menunjukkan pusat-pusat pengaturan kesadaran dan tidur di otak yang tampak dari potongan sagital Magnetic Resonance Image (MRI) otak. Warna pusat-pusat pengaturan tersebut disesuaikan dengan neurotransmitter yang berperan di daerah tersebut. 5 2.4.1 Siklus Tidur Tidur dibagi dalam siklus tidur NREM dan tidur REM. Siklus ini berulang 3-6 kali sepanjang malam. Secara umum satu malam tidur dimulai dengan 80 menit tidur NREM dan 10 menit tidur REM. Selama kemajuan siklus tidur sepanjang malam ada sedikit stadium 3 dan 4 NREM dan lebih banyak pada tidur REM sehingga dijumpai lebih banyak tidur REM menjelang pagi dan dapat menjelaskan mengapa bila kita bangun pagi kita biasanya terbangun dengan mimpi.3,4,6,

Gambar 3. Ilustrasi kemajuan tahap tidur pada dewasa muda dalam 1 malam. Warna gelap (di bagian bawah menunjukkan periode tidur REM) dan daerah lainnya menunjukkan keadaan terjaga dan stadium 4 tidur NREM. Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Rapid Eye Movement (REM) dan tipe Non Rapid Eye Movement (Non REM). Fase awal tidur didahului oleh fase Non REM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase Non REM dan REM terjadi secara bergantian antara 4 hingga 7 kali siklus semalam. Pada bayi baru lahir, total tidur 16 hingga 20 jam perhari, anak-anak 10 hingga 12 jam perhari, kemudian menurun 9 hingga 10 jam perhari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7 hingga 7,5 jam perhari pada orang dewasa.3,4,6, Non-rapid eye movement (NonREM) Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah ciri tahap tidur NonREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergic dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi neuron kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus akan kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi dari retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat dihasilkan di

jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi. Sifat- sifat gelombang tidur yang dalam dapat dipahami dengan mengingat kapan saat terakhir kita tetap terjaga selama lebih dari 24 jam dan kemudian mengingat tidur nyenyak yang terjadi dalam 1 jam pertama setelah mulai tidur. Tahap tidur ini begitu tenangnya dan dapat dihubungkan dengan penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lainnya. Selain itu, tekanan darah, frekuensi pernapasan dan kecepatan metabolisme basal akan berkurang 10 hingga 30%. Walaupun tidur NonREM sering disebut tidur tanpa mimpi, namun sebenarnya pada tahap tidur ini sering timbul mimpi, dan kadang-kadang mimpi buruk terjadi pada tipe tidur ini3,4,6,. Tipe NonREM dibagi dalam 4 stadium yaitu: 1. Tidur stadium Satu. Hampir tidak ada gelombang alpha terlihat pada keadaan terjaga dan pertama kali terlihat gelombang theta (gelombang alpha memiliki frekuensi 8-13 Hz sedangkan gelombang theta memiliki frekuensi 4-7 Hz). Stadium 1 menyerupai keadaan somnolence atau drowsy sleep. Ia tampak saat onset tidur dan kebanyakan merupakan keadaan transisi menuju stadium 2 dan dihubungkan dengan kejang yang tiba-tiba atau hypnic jerks, dan banyak orang mengalami ketika akan jatuh tidur.

Gambar 4. Gambar Elektroenchepalografi pada NREM stadium satu

2. Tidur stadium dua Stadium ini ditandai oleh sleep spindles (12-16 Hz) yang ditandai oleh gelombang lambat, sinusoidal dengan ledakan puncak amplitudo tinggi dan K-complexes. Electromyogam lebih rendah dan kewaspadaan terhadap lingkungan menghilang, EEG menunjukkan aktifitas voltase rendah, frekuensi campuran tetapi lambat. 6, Stadium 2 merupakan 45-55% dari waktu tidur total.

Gambar 5. Gambar Elektroenchepalografi pada NREM stadium dua 3. Tidur stadium tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle.

Gambar 6. Gambar Elektroenchepalografi pada NREM stadiu 4. Tidur stadium empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NonREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. 6,6 Fungsi tidur NonREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen.Selama fase NonREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian menggunakan oksigen positron emission tomography (PET) yaitu selama fase NonREM aliran darah ke seluruh otak semakin menurun.6, Rapid Eye Movement (REM) Tidur REM pada orang dewasa mencakup 20% hingga 25% dari total tidur. Kira-kira 90 hingga 120 menit dari tidur malam. Tidur REM ditandai dengan adanya atonia pada otot, low voltage desincronization pada EEG dan gerakan bola mata cepat. Tidur REM secara

parasimpatik memiliki komponen tonik dan secara simpatis memiliki komponen phasic. Bagian phasic dari tidur REM ditandai oleh spasme otot skeletal, variabilitas denyut jantung yang meningkat, dilatasi pupil, dan peningkatan kecepatan nafas. 6,6

Gambar 7. Gambar Elektroenchepalografi pada REM

Tidur REM berlangsung selama 5 sampai 30 menit dan biasanya muncul rata rata setiap 90 menit. Dimana tidur REM yang pertama terjadi dalam waktu 80 sampai 100 menit sesudah orang itu tertidur. Bila seseorang sangat mengantuk setiap tidur REM berlangsung singkat dan kadang kadang mungkin tidak ada. Sebaliknya, karena orang menjadi semakin lebih nyenyak sepanjang malamnya maka tidur Rem juga semakin meningkat.6,6 Tidur REM merupakan tipe tidur dimana otak benar benar dalam keadaan aktif. Namun aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang itu tanggap penuh terhadap keadaan sekelilingnya dan kemudia terbangun.6,6 Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. . Fase REM (tahap R) ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut, peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil. 6.

Perbedaan tidur REM dan NonREM dapat dillihat pada tabel 1: Pembeda 1. korteks serebri Tidur NREM Tidur REM

Korteks prefrontal tidak Korteks prefrontal tidak aktif Sistem limbik tidak aktif aktif Sistem limbik aktif Informasi tentang mimpi terbentuk secara aktif

2. reflek somatik

Menurun

Reflek terhambat terus menerus

3. pergerakan

Konstan

pada

setiap Pergerakan mata cepat

tingkat (1-4) Pergerakan menurun 4. Fungsi otonom Konstan untuk setiap Berfluktuasi Rata-rata parasimpatik dominan

tingkat (1-4) Dominan parasimpatetik 5. metabolik

Penrunan laju metabolik Laju metabolik sedikit Anabolik menurun

2.5 PATOFISOLOGI 2.5.1 Kurang Tidur Kurang tidur mungkin adalah penyebab umum dari kantuk di siang hari. Gejala dapat terjadi pada orang yang sehat walaupun gangguan tidur bersifat ringan. Penelitian pada orang dewasa sehat dibatasi sampai enam jam tidur per malam selama 14 malam berturut-turut menunjukkan penurunan yang signifikan dari fungsi neurobiologis kumulatif. Gejala kurang tidur dapat terjadi walaupun hanya terjadi

gangguan tidur pada satu malam saja, dan orang-orang yang kurang tidur kronis sering tidak menyadari penurunan kinerja mereka dan terjadinya defisit kognitif. Walaupun begitu, sebagian besar jenis insomnia kronis (termasuk insomnia primer, insomnia dan insomnia psikopatologi paradoks) berhubungan dengan hyperarousal siang hari, dan bukannya kantuk di siang hari yang berlebihan. Kehadiran kantuk di siang hari yang berlebihan pada pasien dengan insomnia menunjukkan komorbiditas sebagai kondisi terkait dengan napas saat tidur atau gangguan suasana hati. 2.5.2 Obat dan Efek Obat Efek samping yang sering dilaporkan dari agen farmakologi yang bekerja pada sistem saraf pusat adalah rasa kantuk (sleepiness). Modulasi tidur dan terjaga adalah proses kompleks yang melibatkan beberapa faktor dan sistem. Meskipun tidak ada bahan kimia neurotransmiter tunggal yang diidentifikasi sebagai perlu atau cukup untuk mengendalikan tidur, obat dengan efek sedatif atau hipnotis tetap mempengaruhi satu atau lebih dari neurotransmiter utama yang terlibat dalam neuromodulation tidur dan wakefulness, antaranya adalah dopamin adrenalin, noradrenalin, asetilkolin, serotonin, histamin, glutamat, -aminobutyric asam dan adenosin.

Tabel 2. Golongan Medikasi Yang Menyebabkan EDS

Alpha-adrenergic blocking agents Anticonvulsants (e.g., hydantoins, succinimides) Antidepressants (monoamine oxidase inhibitors, tricyclics, selective serotonin reuptake inhibitors) Antidiarrhea agents Antiemetics

Antihistamines Antimuscarinics and antispasmodics Antiparkinsonian agents Antipsychotics Antitussives Barbiturates Benzodiazepines, other -aminobutyric acid affecting agents, and other anxiolytics Beta-adrenergic blocking agents Genitourinary smooth muscle relaxants Opiate agonists and partial opiate agonists Skeletal muscle relaxants

Etanol adalah agen yang paling banyak digunakan karena mempunyai efek penenang. Lima belas jenis pil tidur dan obat penenang lain yang mengandung antihistamin H1 seperti diphenhydramine (Benadryl), hidroksizin (Atarax) atau triprolidin (Zymine ) juga sering digunakan. Antihistamin yang bersifat sebagai sedatif, benzodiazepin kerja lambat, dan sedatif antidepresan berhubungan dengan penurunan kinerja pada tes mengemudi dan peningkatan insiden kecelakaan kendaraan bermotor pada hari berikutnya karena rasa kantuk. Obat antihipertensi yaitu beta blockers seperti propranolol (Inderal), menyebabkan kelelahan dan rasa kantuk di siang hari.Selain itu, sedasi juga merupakan efek samping yang paling umum

dilaporkan untuk alpha2-agonis clonidine (Catapres) dan metildopa (Aldomet). Sedasi juga sering dilaporkan oleh pasien yang mengambil medikasi antikonvulsan atau antipsikotik. Di antara penyalahgunaan obat, ganja memiliki efek penenang yang signifikan. Remaja menyalahgunakan stimulan seperti amfetamin dan kokain mungkin mengalami sedasi siang persisten setelah episode yang lama dengan drug-induced wakefulness. 2.5.3 Obstructive Sleep Apnoea (OSA)

Kantuk siang hari yang berlebihan adalah gejala yang paling umum OSA. Sebuah gangguan tidur yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas, hasil OSA pada episode terhentinya napas (apnea) atau pengurangan aliran udara (hypopneas), dan didefinisikan sebagai lebih besar dari atau sama dengan lima episode apneic per jam tidur atau hypopneic. Hal ini menyebabkan hipoksia dan arousal yang berulang dari tidur. Untuk orang dewasa 30 sampai 60 tahun, prevalensi OSA telah diperkirakan 9 persen untuk perempuan dan 24 persen untuk laki-laki. Pada pasien dengan OSA, sekitar 23 persen wanita dan 16 persen pria mengalami kantuk di siang hari yang berlebihan. Tidur yang berhubungan dengan gangguan pernafasan bisa secara signifikan kurang diakui sebagai penyebab kantuk di siang hari yang berlebihan. Satu studi memperkirakan bahwa 93 persen wanita dan 82 persen pria dengan OSA sedang hingga berat tidak terdiagnosis. Selanjutnya, 26 sampai 32 persen orang dewasa AS pada risiko mungkin mengalami atau saat ini memiliki OSA. Karena peningkatan usia dan obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan untuk OSA, prevalensi OSA diatur meningkat dengan cepat. Orang-orang dengan OSA memiliki peningkatan risiko insiden kecelakaan ketika mengendarai kendaraan bermotor karena gangguan kewaspadaan mereka. Pada tahun 2000, lebih dari 800.000 pengemudi di Amerika Serikat yang mengalami OSA terlibat dalam kecelakaan kendaraan bermotor dan telah mengakibatkan 1400 kematian. Sekitar 25 persen orang dengan laporan OSA tidak diobati sering jatuh tertidur saat mengemudi. Kantuk di siang hari bukan hanya menyebabakan kurang kewaspadaan dan kurangnya perhatian, bahkan orang dengan OSA dapat memiliki kinerja kerja keras dan berisiko tinggi untuk terlibat dalam occupational incidents. 2.5.4 Hipersomnia Sekunder Banyak kondisi medis dapat menyebabkan kantuk berlebihan di siang hari sekunder (secondary excessive daytime sleepiness) .Sebagai contoh, trauma kepala, stroke, tumor, kondisi peradangan, ensefalitis, dan penyakit genetik dan

neurodegeneratif. Kondisi kejiwaan, khususnya depresi, juga dapat menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan. Gangguan tidur seperti gangguan irama

sirkadian (misalnya, jet lag, pergeseran gangguan kerja), gangguan gerakan tungkai

periodik dan restless leg syndrome juga dapat berkontribusi untuk tingkat signifikan kantuk di siang hari pada beberapa orang. 2.5.5 Hipersomnia Primer Narkolepsi, yang paling umum dari golongan hipersomnia primer, dilaporkan mempengaruhi 0,02-0,18 persen dari populasi orang dewasa, tetapi mungkin secara signifikan kurang terdiagnosis. Sekitar 25 sampai 30 persen pasien dengan narkolepsi dan catapleksi (misalnya, tiba-tiba kehilangan transien tonus otot yang berhubungan dengan emosi). Kelompok minoritas hypersomnias primer dengan central origin, termasuk hipersomnia idiopatik, periode hipersomnia, dan Kleine-Levin syndrome (suatu bentuk yang jarang dari hipersomnia berulang paling sering terjadi pada remaja laki-laki).

2.6 DIAGNOSIS GANGGUAN TIDUR Pengkajian mengenai gangguan tidur memerlukan pemahaman mengenai fisiologi tidur normal dan bagaimana hal tersebut berefek terhadap situasi abnormal dan kelainan medis yang mengganggu tidur. Ketelitian dalam mewawancara pasien, terkadang terhadap anggota keluarga, pasangan hidup, teman atau relasi kerja sangat diperlukan; selain itu perlu ditambah dengan pemeriksaan fisik yang dapat diaplikasikan. Poin terpenting dalam mengkaji suatu EDS apakah rasa kantuk tersebut bersifat fisiologis atau patologis, derajat keparahannya, efek terhadap kehidupan pasien, dan penyebabnya. Masalah-masalah ini mungkin sulit untuk dievaluasi karena perubahan normal dalam rasa kantuk memang berubah seiring dengan bertambahnya umur , serta dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan yang mempengaruhi pola tidur dan bangun pasien. Penyebab dari EDS terkadang multifaktor, sehingga jika pengobatan terhadap penyakit ini gagal, evaluasi ulang sangat diharuskan.

2.6.1 Anamnesis Pencarian informasi melalui wawancara terhadap pasien dengan EDS harus dilakukan secara cermat dan teliti agar didapatkan informasi yang akurat. Gejala dari EDS yang perlu dicari adalah: 1. Hipersomnolens; merupakan sensasi kantuk berlebihan pada siang hari yang tidak selalu berakhir dengan tidur. 2. Sleep propensity; dimana mudahnya seseorang untuk mengalami tidur. Hal ini bisa bersifat patologis, namun beberapa orang memiliki kemampuan seperti ini dan dikatakan fisiologis. 3. Microsleep; adalah episode tidur yang sebentar, berlangsung selama beberapa detik. Penderita mungkin tidak mengingat bahwa ia jatuh tertidur, tetapi ia menyadari bahwa dirinya sedang mengantuk. 4. Hipersomnia; terjadi peningkatan durasi tidur dalam siklus 24 jam. Pasien dapat tidur lebih awal, bangun terlambat, dan membutuhkan tidur siang yang sering. 5. Kelelahan Perjalanan EDS Mengantuk harus dibedakan dengan gejala yang mirip seperti kelelahan. Harus dicari dahulu apakah pasien tidur lebih lama dari waktu normal tidur siklus 24 jam, dan bagaimana distribusi tidur siang dan malam. Microsleep pada siang hari adalah

karakteristik dari kurang tidur, sedangkan tidur siang yang menyegarkan selama 5-10 menit sesuai untuk narkolepsi, tidur siang menyegarkan yang lebih lama adalah karakteristik dari hipersomnia idiopatik. Derajat EDS dan pengaruh terhadap aktivitas Hal ini dapat dinilai dengan mengetahui episode tidur terjadai saat pasien berada dalam situasi yang pasif, seperti saat istirahat, atau pun situasi yang aktif, contohnya saat berdiskusi. Mengantuk, atau microsleep saat mengendara, dan penurunan

konsentrasi dengan gangguan mood dan iritabel harus ditanyakan. Perubahan sifat dan tingkah laku adalah tanda yang berat dari EDS. Harus dievaluasi juga pengaruh EDS terhadap pasien, keluarganya, temannya, kolega kerja, suatu kecelakaan kerja saat mengoperasikan mesin atau mengendara, serta efeknya terhadap performa pasien di sekolah dan tempat kerja. Untuk mencari penyebab dari EDS, beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah: 1. Sleep hygiene; seperti durasi dan regularitas dari waktu tidur 2. Penggunaan obat-obat seperti sedatif, analgesik, dan antidepresan. 3. Penyebab dari tidur yang terpotong, seperti obstructive sleep apnoe (OSA), gerakan tungkai periodik saat tidur, asma, nyeri atau ketidaknyamanan saat malam hari. 4. Gejala yang berhubungan dengan REM dapat mengarah ke narkolepsi atau kelainan sejenis. 5. Kelainan neurologis seperti cedera kepala sebelumnya, atau ensefalitis, dan gejala neurologis saat ini yang dapat mengindikasikan adanya suatu lesi fokal. 6. Kelainan sistemik seperti hipotiroid 2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan lanjutan tidak dibutuhkan saat anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah menyediakan informasi yang cukup mengenai penyebab dan derajat penyakit EDS, sehingga pengobatan dapat dimulai. Kelainan dari pola tidur, termasuk didalamnya lingkungan tidur yang suboptimal, masalah obat-obatan dan kelainan sistemik seperti hipotiroid , biasanya dapat ditangani sendiri tanpa dirujuk ke spesialis. Pemeriksaan fisik umum terkadang tidak diperlukan pada pasien dengan gangguan tidur, namun pada beberapa situasi, hal tersebut perlu dilakukan. Derajat kantuk, kesadaran, depresi dan kecemasan harus dicatat sama dengan pasien dengan gejala psikiatri seperti skizofrenia dan gangguan kepribadian. Penampilan fisik dapat

mengarah ke beberapa kondisi seperti hipotiroid dan akromegali yang dapat menjadi penyebab dari gangguan tidur. Berat badan, lingkar leher, pemeriksaan hidung dan faring dan adanya retrognasia sesuai dengan snoring dan obstructive sleep apnoe. Erosi gigi bagian bawah menunjukkan adanya bruksism. Adanya cedera fisik dapat dicurigai adanya suatu abnormalitas motorik atau dapat sebagai penyebab dari gangguan tidur. Pemeriksaan neurologis mungkin dibutuhkan untuk menilai penyebab kantuk di siang hari atau kelainan motorik. Adanya suatu kelainan pergerakan seperti pada penyakit Parkinson harus diperhatikan. Pemeriksaan terhadap sistem organ lain seperti sistem respirasi dan kardiovaskular sangat disarankan jika didapatkan indikasi klinis yang mengarah ke penyakit penyebab kelainan tidur. Studi Tidur (Sleep Study) Kompleksitas dari studi mengenai tidur bervariasi tergantung dari diagnosis yang dicurigai. Jika dicurigai adanya OSA, suatu studi oksimetri saja sudah cukup, atau dapat dikombinasikan dengan pengukuran aliran udara dan gerakan abdomen dan rongga dada. Pada situasi lain, polisomnografi diperlukan untuk mengetahui arsitektur tidur, bangkitan, onset tidur REM, dan penyebab terbangun dari tidur seperti gerakan periodik tungkai saat tidur, sentral sleep apnoe, atau refluks gastro-esofageal. Studi tidur serial mungkin dibutuhkan untuk menilai progresi penyakit dengan pengobatan. Menilai Derajat keparahan dari EDS Berbagai tes dapat dilakukan untuk mengetahui derajat dari EDS, salah satunya yaitu Epworth Sleepiness Scale, dan multiple sleep latency test.

Gambar 8. Contoh Epworth Sleepiness Scale Investigasi untuk mencari tahu penyebab EDS: 1. Pencitraan seperti CT scan dan MRI otak untuk mendeteksi kelainan neurologis organik 2. Pemeriksaan Human Leucocyte Antigen (HLA) yang digunakan pada narkolepsi. 3. Analisis gas arteri untuk mengetahui apakah ada kegagalan ventilasi. 4. Pemeriksaan konsentrasi cairan serebrospinal hipokretin untuk mendiagnosis narkolepsi.

2.7 DIAGNOSIS BANDING EDS 1. Kurang tidur; dengan karakteristik utama adalah keterbatasan tidur pada malam hari. Temuan polisomnografi akan mirip dengan pasien hipersomnia idiopatik, akan tetapi gejala EDS akan membaik saat waktu tidur ditingkatkan. 2. Delayed Sleep Phase Syndrome , pasien akan mengalami kesulitan bangun di pagi hari. Pasien biasanya tidur terlambat di malam hari, tetapi jika waktu tidurnya cukup, maka mereka tidak akan merasakan kantuk di siang hari. 3. Long sleeper; mereka memiliki kebutuhan tidur yang lebih banyak dari orang normal, sehingga jika waktu tidur mereka tidak terpenuhi, maka akan merasa kantuk pada siang hari. Jika diberikan kesempatan untuk tidur sepanjang yang mereka butuhkan, maka gejala EDS akan menghilang; berbeda dengan hipersomnia idiopatik. 4. Obstructive Sleep Apnoe (OSA); saat diketahui pasien memiliki kebiasaan mengorok saat tidur, diagnosis OSA perlu dipertimbangkan. Pemeriksaan yang diperlukan adalah monitor respirasi saat tidur. 5. Narkolepsi; istilah narkolepsi dahulu merupakan sinonim dari EDS, tetapi diketahui belakangan bahwa narkolepsi memiliki kelainan spesifik pada tidur REM yang memberikan manifestasi bermacam-macam saat tidur maupun bangun. Gejala utama dari narkolepsi adalah pemanjangan waktu tidur utama, tetapi kelelahan yang dialami pasien akan berujung pada hiperaktivitas paradoksikal. Pemeriksaan yang diperlukan adalah HLA, polisomnografi, dan multiple sleep latency test (MLST). 6. Periodic Limb Movements in Sleep (PLMS) 7. Kelainan neurologis; perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan kepala, atau MRI kepala dan polisomnografi.

2.8 PRINSIP PENANGANAN Prinsip penanganan adalah diantaranya dengan modifikasi pola hidup untuk mengoptimalkan pengobatan meliputi membuat strategi dan bagaimanana mengatur aktivitas sehari hari. Penjelasan dan penilaian dari kondisi keluarga, teman, pengajar dalam pendidikan, lingkungan kerja yang mungkin akan membantu dalam pengobatan.

2.8.1 Kualitas Tidur yang optimal Ini merupakan aspek yang sangat penting dalam penanganan gangguan tidur. Diantaranya dengan cara : 1. Mengkondisikan lingkungan tempat tidur seperti tempat tidur, dan tingkat penyesuaian suhu ruangan, cahaya dan kebersihan 2. Meningkatkan tidur, meningkatkan aktivitas fisik, dan paparan sinar pada siang hari. Meregularisasi waktu tidur dan waktu bangun dan menghindari tidur siang

2.8.2 Perubahan aktivitas Kehilangan rasa ngantuk akan meningkat dengan berolahraga dan terpapar sinar matahari, tetapi aktivitas akan dihindari dalam situasi dimana akan menimbulkan ketiduran dengan olahraga berat seperti tinju, dan aktivitas mendaki. Alkohol dan makanan yang khususnya mengandung karbohidrat yang akan memacu rasa mengantuk perlu dihindari. Waktu tidur siang harus direncanakan dengan baik sesuai dengan siklus tidur yang normal. Tidur siang harusnya dilakukan sebelum melakukan aktivitas yang memerlukan konsentrasi yang tinggi tetapi juga perlu dilakukan kordinasi sehingga tidak merusak siklus tidur yang normal.

2.8.3 Pekerjaan Pemahaman tentang gangguan ini sangat penting untuk lebih mengatur waktu saat tidur siang dan didalam menjalani pekerjaan yang memerlukan waktu konsntrasi yang lama, dalam hal ini diperlukan waktu istirahat yang teratur dan pencahayan ruangan kerja yang memadai. Waktu kerja dengan sistem bergilir hendaknya dihindari, dan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi tinggi yang terus berlanjut hendaknya juga dihindari. 2.8.4 Hipnotik Penting untuk menghindari obat sedative dan hipnotik seperti alkohol, benzodiazepine dan opiate analgesik jika mungkin.

2.8.5 Medikasi Hal ini harus dipertimbangkan setelah semua langkah di atas telah dilaksanakan dan jika ada sisa mengantuk di siang hari yang berlebihan yang cukup berat sehingga memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan pasien, misalnya dapat mengganggu kemampuan untuk hubungan interpersonal, respon keluarga, mengemudi atau di tempat kerja. Hal yang menjadi pertimbangan ketika menentukan pemilihan medikasi adalah sebagai berikut: 1. Efektif. Kemampuan untuk mengubah rasa ngantuk menjadi tersadar. 2. Durasi dari kerja. Obat durasi pendek adalah jarang menimbulkan seperti insomnia, kecuali bila dikonsumsi sore hari, tetapi lebih cenderung menyebabkan tingkat kesadaran yang meningkat. 3. Bersifat spesifik. Perangsang seperti dexamphetamine, mungkin berakibat

pada fungsi mental, perubahan kemampuan melakukan tugas mental yang kompleks dan menyebabkan perubahan emosional dengan euphoria.

Hiperaktivitas motorik, tremor otot, efek autonomik seperti berkeringat dan palpitasi, dan perubahan sensori meliputi halusinasi yang akan mungkin terjadi. 4. Efek samping. 5. Interaksi obat 6. Potensi untuk ketergantungan 7. Toleransi pada efek terapi Kafein adalah obat lini pertama yang biasanya digunakan untuk gangguan rasa ngantuk berlebih pada siang hari, dan biasanya dicampur dengan teh, kopi, atau tablet kafein. Nikotin adalah stimulan dalam dosis tinggi dan efek pada tingkat kesadaran. Jika gangguan tidur makin buruk, modafinil akan diberikan sebelum amphetamine dan obat lainnya. Obat ini lebih spesifik untuk sleep-promoting dengan sedikit berefek pada sentral atau sistem saraf peripheral. Efek samping dan interaksi obat adalah jarang terjadi dan terjadi sedikit efek ketergantungan. Obat ini memiliki onset yang bertahap dan durasi aksi yang lebih panjang daripada dexamphetamine. Sama efektif dengan

dexamphetamine sebagai obat untuk tetap terjaga, tetapi jangan diberikan pada malam hari yang akan menimbulkan insomnia. Amphetamine akan diberikan jika pemberian modafinil tidak efektif atau untuk pasien yang terjadi efek samping pada pemberian modafinil. Penggunaan modafinil sama efektif dengan amphetamine dan terjadi peningkatan perbaikan kondisi sekitar 75%. Juga menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan menurunkan rasa ngantuk siang hari.

2.9 KOMPLIKASI Pengaruh pada kualitas kehidupan adalah berdasarkan keparahan, kombinasi dari gejala, lamanya onset dan pemahaman pasien dan kemampuan untuk mengatasi gejala dan dukungan dari lingkungan sekitar pasien. Dampak pada umumnya sebanding dengan epilepsi atau multipel sklerosis. Pada khusunya akan berakibat pada hubungan interpersonal pasien. Aktivitas sosial akan dihindari karena akan berpengaruh pada aktivitas tidur. Masalah lain yang akan muncul adalah saat berkeluarga, khususnya jika pasangan tidak secara penuh memahami kesulitan yang akan terjadi pada kondisi ini. Kegagalan dalam beradaptasi akan menimbulkan kebingungan dan kemarahan. Intelegensi adalah normal pada penderita, tapi akan menimbulkan kesulitan dalam konsentrasi dan perhatian. Tertidur saat berada di kelas atau tempat bekerja sering terjadi. Pekerjaan yang sama setiap hari juga akan memacu rasa ngantuk dan penggunaan komputer yang berlebih. Perkembangan emosional akan mengalami kemunduran jika keadaan ini terjadi pada anak-anak dan kecemasan juga akan berkembang. Rasa mengantuk berlebih dapat meningkatkan resiko kecelakaan terutama saat siang hari. Di Amerika jumlah mereka yang mengalami gangguan mengantuk baik sedang maupun berat lebih banyak pada pria. Gangguan mengantuk berlebihan pada siang hari disebabkan kurangnya waktu tidur. Dimana 18% orang malah tertidur atau tidak sadar sepenuhnya pada situasi konsentrasi tinggi seperti rapat maupun diskusi. Hal ini tentu menjadi perhatian keamanan publik, karena kecelakaan kerja maupun kurang sadar pada saat menyetir sering berkaitan dengan rasa mengantuk berlebih. Menurut American Academy of Sleep Medicine kebiasaan yang memunculkan sindrom

kurang tidur merupakan bentuk hipersomnia yang terjadi ketika seseorang gagal terus menerus untuk mendapatkan jumlah tidur yang dibutuhkan untuk tetap pada taraf terjaga dan sadar sepenuhnya. Pada umumnya orang dewasa perlu 7-8jam per malam. Gangguan mengantuk berlebih juga bisa menjadi gejala gangguan medis lain, misalnya obstructive sleep apnea (OSA). Dimana OSA terjadi gangguan pada pernapasan saat otot-otot rileks sedang tidur dan menyebabkan jaringan lunak jatuh ke tenggorokan dan menutup jalur nafas. Gangguan pada pekerja shift biasanya karena sulit tidur atau mengantuk berlebihan bahkan disertai turunnya kewaspadaan dan gangguan mental yang terjadi pada jam kerja seharusnya pada jam tidur.

BAB III RINGKASAN Excessive Daytime Sleepiness adalah rasa kantuk dalam situasi di mana seorang individu diharapkan dapat terjaga dan waspada. EDS bukan gangguan. EDS merupakan gejala yang dapat memiliki banyak penyebab, bukan hanya kurang tidur1. Tingkat keluhan EDS pada populasi umum adalah sekitar 0,5-5 % pada orang dewasa, dengan prevalensi yang meningkat pada orang tua. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin pada EDS. Penyebab umum EDS antara lain obat-obatan seperti alpha-adrenergik blocking agen, antikonvulsan agen, antidepresan dan lain-lain. Selain itu, tidak cukup tidur atau gangguan tidur, predisposisi genetik, penyalahgunaan alkohol, kanker, trauma, hipotiroidisme, gangguan tidur primer seperti sleep apnea atau restless leg syndrome, stres, anemia, masalah ginjal dan saraf pusat, memaksakan diri agar tidak tidur dan bekerja di malam hari serta tidur di siang hari juga dapat menyebabkan kantuk yang berlebihan. Secara fisiologis, tidur adalah suatu proses pasif sekaligus aktif dari otak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor homeostatis dan faktor ritme sirkandian. Siklus tidur sendiri dapat dibagi menjadi siklus tidur NREM dan tidur REM. Siklus ini berulang 3-6 kali sepanjang malam. Secara umum satu malam tidur dimulai dengan 80 menit tidur NREM dan 10 menit tidur REM. Selama kemajuan siklus tidur sepanjang malam ada sedikit stadium 3 dan 4 NREM dan lebih banyak pada tidur REM sehingga dijumpai lebih banyak tidur REM menjelang pagi dan dapat menjelaskan mengapa bila kita bangun pagi kita biasanya terbangun dengan mimpi. Diagnosis EDS dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis harus dipertatikan gejala, perjalan EDS, derajat EDS, serta penyebab dari EDS sendiri. Pemeriksaan fisik umum terkadang tidak diperlukan pada pasien dengan gangguan tidur, namun pada beberapa situasi, hal tersebut perlu dilakukan. Derajat kantuk, kesadaran, depresi dan kecemasan harus dicatat sama dengan pasien dengan gejala psikiatri seperti skizofrenia dan gangguan kepribadian. Penampilan fisik dapat mengarah ke beberapa kondisi seperti hipotiroid dan akromegali yang dapat menjadi penyebab dari gangguan tidur. Berat badan, lingkar leher, pemeriksaan hidung dan faring dan adanya retrognasia sesuai dengan snoring dan obstructive sleep apnoe. Erosi gigi bagian bawah menunjukkan adanya

bruksism. Adanya cedera fisik dapat dicurigai adanya suatu abnormalitas motorik atau dapat sebagai penyebab dari gangguan tidur. Pemeriksaan neurologis mungkin dibutuhkan untuk menilai penyebab kantuk di siang hari atau kelainan motorik. Adanya suatu kelainan pergerakan seperti pada penyakit Parkinson harus diperhatikan. Pemeriksaan terhadap sistem organ lain seperti sistem respirasi dan kardiovaskular sangat disarankan jika didapatkan indikasi klinis yang mengarah ke penyakit penyebab kelainan tidur. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain CT scan atau MRI, Human Leucocyte Antigen (HLA), analisis gas arteri dan pemeriksaan konsentrasi cairan serebrospinal hipokretin. Diagnosis banding dari EDS antara lain kurang tidur, Delayed Sleep Phase Syndrome, Long sleeper, Obstructive Sleep Apnoe (OSA), narkolepsi, Periodic Limb Movements in Sleep (PLMS), kelainan neurologis. Prinsip penanganannya antara lain mengoptimalkan kualitas tidur, mengatur pekerjaan, hipnotik, dan medikasi. Sedangkan komplikasinya berpengaruh pada hubungan interpersonal pasien,

itelegensi, dan kemunduran perkembangan emosional.

DAFTAR PUSTAKA

1. John,Murray W. What is Excessive Daytime Sleepiness. Nova Science Publisher. Australia.2009 2. Guyton AC, Hall, JE. Aktifitas Otak. 1997. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC 3. Shneerson JM. Sleep Medicine: A Guide to sleep and its disorders. 2005. UK: British Library. 4. Taber KH, Hurley RA. Functional Neuroanatomy of Sleep Deprivation. Avaiable in: http://neuro.psychiatryonline.org. Accesed: 20 Juni, 2010. 5. Balkin TJ, Rupp T, Picchioni D, Wesensten NJ. Sleep Loss and Sleepiness. Avaiable in: www.chestjournal.org. Accesed: Juni 20, 2010. 6. Stevens, MS. Normal Sleep, Sleep Physiology, and Sleep Deprivation. Avaiable in : www.medscape.com. Accesed: Juni 21, 2010

You might also like