You are on page 1of 149

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Alexander Hinrichs, Dwi R. Muhtaman & Nawa Irianto

Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH

Desain sampul dan tata letak oleh Eko Prianto [e.prianto@gmail.com] Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Agus E. Munorahardjo Foto-foto oleh Dwi Muhtaman (pada halaman 2, 6, 14, 15, 27, 50, 60, 61, 65, 68, 74, 77, 94, 110, 124, 130) dan oleh Alexander Hinrichs (pada halaman 10, 43, 42, 66, 67, 97, 101)

Sertikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Oleh Dr. Alexander Hinrichs, Dwi R. Muhtaman dan Nawa Irianto. Jakarta, Indonesia. Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2008. ISBN 978-979-18-5951-6

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi penulis melalui alamat e-mail alex.hinrichs@ifmeg.com or dwirm@aksenta.com

Diterbitkan oleh Deutsche Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Programme Ofce for Social and Ecological Standards GTZ Ofce Jakarta Menara BCA, 46th oor Jalan MH Thamrin No. 1 Jakarta 10310 Indonesia t f @ w +62 21 2358-7111 +62 21 2358-7110 forest_certication@gtz.de www.gtz.de/forest_certication

Ringkasan Eksekutif

Indonesia baru-baru ini membuat kerangka legal yang komprehensif untuk Pengelolaan Hutan Rakyat dan membuka jalan bagi pelaksanaan yang lebih luas. Dengan kerangka legal tersebut maka Pengelolaan Hutan Rakyat sekarang dapat dilakukan dalam bentuk Kemitraan antara masyarakat dan pemilik konsesi, dan sebagai Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat dan Kehutanan Masyarakat (Community Forestry). Sertifikasi hutan mulai diterapkan pada hutan rakyat sejak 2004. Dua skema sertifikasi yang beroperasi di Indonesia, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan the Forest Stewardship Council (FSC) telah mengeluarkan sertifikat bagi hutan rakyat tersebut. Tujuan penerapan skema-skema dan para pendukungnya ini adalah untuk membantu kepentingan-kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan menargetkan promosi kayu rakyat di pasar nasional dan internasional. Antara Oktober 2004 dan Januari 2008, enam sertifikat diterbitkan oleh lembaga sertifikasi dari dua skema sertifikasi tersebut, dan lebih dari 10 wilayah pengelolaan hutan saat ini sedang dalam proses persiapan. Studi Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia (Forest Certification on Community Lands in Indonesia) bertujuan, pada mulanya, untuk memahami keadaan, proses-proses dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sertifikasi hutan rakyat di Indonesia, dan mencoba menarik pelajaran dari proses-proses yang belia ini. Kegiatan studi ini didasarkan pada analisis literatur, diskusi dengan kalangan ahli dan, secara khusus, kunjungan-

iv

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

kunjungan lapangan ke wilayah-wilayah yang telah mendapatkan sertifikat, yang terletak di Jawa Tengah (Kabupaten Gunung Kidul, Sukoharjo dan Wonogiri) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan). Tim studi memahami bahwa semua Hutan Rakyat yang saat ini disertifikasi mencakup suatu campuran dari hutan tanaman keras (jati) dan wanatani (agro-forests), dibangun pada lahan pribadi oleh masyarakat beberapa dekade yang lalu. Masyarakat lokal ini merupakan petani yang berpartisipasi langsung pada program reforestasi pemerintah, dan juga petani yang bekerja sebagai buruh dalam sebuah program reforestasi lahan negara yang kemudian membawa kelebihan bibit tanaman untuk ditanam sendiri di lahan-lahan mereka. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi bukanlah pendorong utama mereka melakukan penanaman di lahan pribadi. Motivasi kunci yang utama adalah untuk rehabilitasi lahan, konservasi hutan dan pemanfaatan lahan gundul. Setelah beberapa dekade kemudian, kualitas lingkungan berubah total, khususnya di desadesa bersertifikat di Jawa, dimana masyarakat setempat saat ini tidak lagi menghadapi masalah dengan ketersediaan air karena sumber-sumber air telah muncul kembali dan kualitas air menjadi lebih baik. Di desa-desa, petani umumnya menunjukkan sedikit minat untuk memanen kayu dan hanya melakukannya jika menghadapi keadaan yang disebut sebagai filosofi tebang butuh. Mereka memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang seperti rekening bank yang bisa diuangkan sewaktu-waktu. Wawancara dengan mereka menunjukkan bahwa kepentingan komersial saat ini menjadi pendorong utama petani untuk melanjutkan penanaman dan petani sangat memahami nilai sebenarnya hutan mereka, dan memperkirakan nilai tersebut meningkat dengan adanya sertifikasi hutan. Semua wilayah yang disertifikasi didukung oleh organisasi-organisasi eksternal melalui keterlibatan donor dan promotor (LSM, peneliti, prakarsa sektor swasta), yang pada awalnya memfokuskan pada tokohtokoh kunci masyarakat yang tertarik (kepala desa, kepala rukun tetangga). Kepemimpinan desa yang kuat, saling percaya dan motivasi yang kuat sangat dibutuhkan untuk meyakinkan petani untuk menanam pohon. Keraguan petani untuk berpartisipasi dalam program penyiapan sertifikasi

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

biasanya muncul ketika tim pendamping memfasilitasi pembenahanpembenahan organisasi yang diusulkan. Semua wilayah studi memerlukan pengembangan organisasi masyarakat secara khusus. Terdapat kebutuhan untuk membangun asosiasi petani yang lebih tinggi seperti koperasi, yang memerlukan pengetahuan kewiraswastaan dan juga dukungan dana eksternal. Pengembangan kapasitas terbukti relevan untuk aspek-aspek tehnis seperti inventori hutan, demarkasi batas lahan, manajemen produksi hutan dan lacak balak; juga untuk aspek-aspek institusi seperti administrasi dan manajemen, pengembangan organisasi, monitoring, dan penggunaan komputer; dan pengembangan masyarakat, termasuk manajemen kelompok-kelompok petani, keahlian fasilitasi dan resolusi konflik. Akses pasar dan skala ekonomi terbukti sangat vital. Implementasi sistem lacak balak yang kuat, melebihi persyaratan sistem lacak Indonesia dalam hutan rakyat, terbukti diperlukan untuk memenuhi persyaratan sertifikasi FSC. Skala ekonomi, misalnya diatasi oleh kelompok wilayah yang disertifikasi LEI melalui pembentukan kelembagaan pemasaran bersama atau dengan memperluas wilayah produksi satu komunitas dengan mengundang desa tetangga bergabung. Pemerintah lokal di kabupaten-kabupaten yang dikunjungi yakin bahwa sertifikasi membantu pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan, masalah lingkungan dan pengelolaan organisasi, mempromosikan organisasi swadaya dan menciptakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan lokal. Pengelolaan hutan rakyat dan sertifikasi tidak mendorong petani memanen secara berlebihan, meskipun terdapat daya tarik pasar yang tinggi terhadap kayu bersertifikat. Masyarakat telah memiliki pemahaman tentang pendekatan pemanfaatan yang amat berhati-hati dan mengembangkan cara yang efektif untuk memastikan manfaat lingkungan terpenuhi dari upaya penghijauan dan penghutanan kembali. Pada kebanyakan wilayah bersertifikat, minat terhadap penanaman pohon meningkat dan wilayah hutan makin meluas.

vi

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Meskipun persyaratan sertifikasi untuk aspek kelembagaan, administrasi dan tehnis terbukti sangat berat, petani dan para wakil-wakilnya mampu memenuhinya dalam waktu satu hingga dua tahun. Studi ini menyampaikan 17 pelajaran yang dipetik dari proses-proses sertifikasi yang baru lahir ini. Menjadi hal yang nyata bahwa sertifikasi membantu kejelasan status lahan, menguatkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan mengakui kapasitas/kemampuan pengelolaan mereka. Petani meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan-keputusan manajemen dan pengendalian hutan. Pengenalan serifikasi oleh para pendukung yang menjanjikan insentif pasar untuk sertifikasi menjadi alasan utama bagi masyarakat untuk terlibat dalam semua aspek sertifikasi. Pengakuan pasar, khususnya ketersediaan harga premium yang signifikan, diinterpretasikan sebagai alat yang efektif untk meningkatkan kesadaran publik dan mendapatkan pengakuan yang lama dinantikan dalam pengelolaan hutan rakyat. Secara ideal, proyek-proyek sertifikasi hutan rakyat, memperkenalkan aspekaspek pasar dalam tahap pengembangan agar dapat memastikan bahwa masyarakat lokal paham sepenuhnya persyaratan pasar dan pembeli sadar mengenai perkembangannya. Tidak adanya harga premium di sejumlah wilayah bersertifikat menunjukkan adanya kebutuhan untuk menaruh perhatian yang lebih banyak pada pengenalan pasar. Kebutuhan untuk membuat sistem lacak balak merupakan salah satu pelajaran penting dan relevan untuk diskusi soal legalitas kayu dan verifikasi legalitas asal usul kayu di Indonesia. Dengan kenyataan bahwa petani mampu membuktikan pengelolaan hutan yang lestari dan legalitas kayu mereka, masyarakat pengelola hutan menunjukkan kemampuan mereka membangun dan mengelola hutan, mencegah deforestasi, dan meminimalkan degradasi hutan. Karena itu mereka seharusnya bisa memainkan peran penting pada saat ada pembuatan lokasi percontohan untuk pengujian mekanisme REED yang baru saja diusulkan di Indonesia, baik sebagai pihak yang mendapatkan manfaat, maupun sebagai pengelola hutan yang bertanggungjawab.

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif Daftar Tabel dan Gambar Daftar Singkatan Prawacana 1. Pengantar 2. Latar Belakang: Hutan Rakyat di Indonesia
2.1. Asal-muasal dan evolusi hutan rakyat di Indonesia 2.2. Definisi-definisi 2.3. Kebijakan kehutanan nasional tentang hutan rakyat

iii ix x xii 1

7 8 11 16

3. Kemajuan Sertifikasi Hutan di Aras Komunitas di Indonesia


3.1. Skema sertifikasi PHBM LEI 3.2. Skema sertifikasi SLIMF FSC 3.3. Kawasan-kawasan hutan rakyat yang telah disertifikasi 3.4 kawasan hutan rakyat yang sedang dipersiapkan

23 23 27 29 33

viii

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

4. Uraian Rinci tentang Kawasan Hutan Rakyat Bersertifikat di Indonesia


4.1. Tinjauan terhadap isu-isu yang teridentifikasi pada kawasan hutan rakyat yang disertifikasi 4.2. Asal-usul Kawasan yang Disertifikasi 4.3. Promotor Sertifikasi Hutan 4.4. Rancangan Kelembagaan 4.5. Kepentingan-kepentingan petani dan pengembangan kapasitas 4.6. Sertifikasi dan persiapan-persiapan pendanaan 4.7. Jangka waktu untuk proses-proses sertifikasi 4.8. Akses pasar dan green premium 4.9 Lacak-Balak

37 37 37 47 53 56 58 61 63 69 73 83 89

5. Pembelajaran yang Diperoleh 6. Kepustakaan 7. Lampiran


Lampiran 1: Jadwal kunjungan lapangan Lampiran 2: Daftar Pertanyaan Studi Sertifikasi PHBM Lampiran 3A-E: Lembar fakta pada setiap wilayah bersertifikasi

Daftar Tabel dan Gambar

Daftar Tabel
Table 1: Tipologi Hasil Hutan dari Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (tipe 9-12 and 17-20 menurut Skema PHBM LEI yang Sekarang Berlaku) Tabel 2: Kawasan hutan rakyat di Indonesia (per Januari 2008) Table 3: Kawasan-kawasan di indonesia yang saat ini sedang dipersiapkan untuk sertifikasi hutan rakyat Tabel 4: Uraian tentang kawasan-kawasan Hutan Rakyat yang telah dikunjungi dan diamati berdasarkan hasil bahasan isu-isu yang muncul

26 31 34 38

Daftar Gambar
Gambar 1: Distribusi kawasan hutan rakyat di Indonesia (Data strategis kehutanan 2007) Gambar 2: Tinjauan terhadap lokasi-lokasi unit-unit pengelolaan hutan bersertifikasi FSC dan LEI di Indonesia. Gambar 3: Peta lokasi project. Gambar 4: Dari hutan-hutan menuju pasar: Peran koperasi KHJL dalam rantai produksi dan pemasaran dari hutan-hutan rakyat di Konawe Selatan. Gambar 5: Ilustrasi Sistem Lacak-Balak yang kaku yang diterapkan pada hutan rakyat KHJL di Konawe Selatan. 19 30 36

48 71

Daftar Singkatan

APHS AAC ARuPA BP BPKS CB CBFM CF CFM CoC DFID FAO FMU FSC GOPHR GoI GTZ ITTO JAUH JFM KHJL

Aliansi Pengelola Hutan Sertifikasi - Certified Forest Managers Alliance Annual Allowable Cut Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (LSM lokal) Badan Pengawas - Supervisory body Badan Pengelola Kayu Sertifikasi - Certified Wood Managers Board Certification Body Community-Based Forest Management Community Forestry Community Forest Management Chain of Custody Department for International Development (UK) Food and Agriculture Organization of the United Nations Forest Management Unit Forest Stewardship Council Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat (Weru) Government of Indonesia Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (Germany) International Tropical Timber Organization Jaringan untuk Hutan (LSM lokal) Joint Forest Management Koperasi Hutan Jaya Lestari (Konawe Selatan)

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

xi

Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (LSM lokal) Kepala unit - Group leader Lembaga Ekolabel Indonesia - Indonesian Ecolabeling Institute Lembaga Komunikasi Antar Kelompok - Inter Group Communication Body MoF Ministry of Forestry (Departemen Kehutanan Republik Indonesia) NGO Non-Governmental Organization PERSEPSI Perhimpunan untuk Studi Pengembangan Sosial dan Ekonomi (LSM lokal) PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PKHR Pusat Kajian Hutan Rakyat - Centre for Community Forestry Studies POKJA HR Community Forest Working Group (Gunung Kidul) PPHRC Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur (Wonogiri), PT Perseroan Terbatas PT MAL PT Mutu Agung Lestari (LEI accredited certification body) RTA Rapat Tahunan Anggota SF Social Forestry SHU Sisa Hasil Usaha - Cooperative surplus SFM Sustainable Forest Management SKAU Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Document issued by a village head stating the origin of timber) SKSKB-KR Surat Keterangan Kayu Bulat Kayu Rakyat (Document issued by the government declaring timber to be community timber) SLIMF Small and Low Intensity Managed Forests (FSC Scheme) SOP Standard Operating Procedures TFT Tropical Forest Trust UNDP United Nations Development Programme VPA Voluntary Partnership Agreement (EU-FLEGT) WWF World Wide Fund for Nature

KPSHK KU LEI LKAK

Prawacana

Dukungan terhadap program Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan mendapat perhatian penting dalam kebijakan pembangunan hutan tropis dari Pemerintah Jerman. Ini bisa diasumsikan bahwa sistem sertifikasi yang kredibel secara substansial dapat memberi kontribusi untuk mengurangi penebangan kayu ilegal, memperbaiki cara pengelolaan hutan, mampu meyakinkan konsumen bahwa komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan itu disediakan secara layak, dan menyumbangkan perbaikan-perbaikan kondisi dalam kerangka kebijakan dan regulasi di negara-negara sedang berkembang. Karena potensi sertifikasi hutan sebagai sebuah alat pembangunan, Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (the German Federal Ministry of Economic Cooperation and Development (BMZ) dan Badan Kerjasama Tehnis Jerman (the German Agency for Technical Cooperation (GTZ) bekerja melalui Kantor Program untuk Standar Ekologi dan Sosial (the Programme Office for Social and Ecological Standards) di Jerman mendukung pengembangan, pelaksanaan dan peningkatan konsep berkelanjutan dari sertifikasi, khususnya jika mempunyai dampak terhadap pengurangan kemiskinan dan peningkatan kehidupan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan-hutan tropika.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

xiii

Telah sering ditulis mengenai manfaat dan mudarat sertifikasi hutan untuk rakyat. Namun, suatu rangkaian fakta yang komprehensif berbasis studi tentang dampak sertifikasi hutan kerakyatan hingga kini belum tersedia. Karenanya, Komisi Kerjasama Pemerintah Jerman, dipimpin oleh Dr. Alexander Hinrichs, Dwi R. Muhtaman dan Nawa Irianto telah melakukan investigasi seksama mengenai dinamika sertifikasi hutan kerakyatan di Indonesia. Analisis dan kesimpulan mereka yang mendalam akan menyediakan pemahaman yang lebih tajam tentang bagaimana hutan kerakyatan dan sertifikasi hutan dapat bersanding bersama secara praktis, dalam rangka memperkuat peran masyarakat dan penduduk sekitar hutan dalam pengelolaan hutan.

Dr. Jrgen Hess Penanggung jawab Program GTZ untuk Standar Ekologi dan Sosial

1. Pengantar

Setelah lebih dari tiga dekade kehadiran ilmu pengetahuan tentang pengelolaan hutan di Indonesia, tingkat deforestasi malah berada pada tingkat paling rawan: kehilangan 1,8 juta hektar hutan per tahun. Banyak kalangan percaya bahwa mempromosikan hutan rakyat mampu menyelamatkan sebagian sisa hutan Indonesia, dan pada saat yang sama juga mampu mengentaskan kemiskinan. Hutan rakyat ditawarkan oleh para promotornya sebagai suatu pendekatan yang integratif dan langsung di lokasi tertentu, yang diakui bermanfaat secara spiritual dan ekologi terhadap keberagaman ekosistem jauh lebih baik daripada ilmu pengetahuan atau sistem pengelolaan hutan (konvensional). Kayu rakyat, bagaimanapun, bukan hanya harus berkompetisi dengan kayu yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan industri besar, akan tetapi juga dengan hasil tebangan dan perdagangan kayu gelap massal. Tanpa adanya promosi yang terarah, rakyat yang bertanggung jawab bakal menghadapi kesulitan maha-besar untuk memasarkan produk-produk mereka dengan harga yang adil. Sejak semula, sertifikasi hutan bertujuan untuk memberikan dukungan bagi kepentingan-kepentingan komunitas dalam pengelolaan hutan dan membantu untuk mempromosikan kayu rakyat di tingkat pasar nasional dan internasional. Badan akreditasi internasional, seperti FSC dan beberapa lembaga donor internasional lainnya sangat antusias untuk menerapkan sertifikasi pengelolaan hutan rakyat sebagai alat untuk mengakui,

PENGANTAR SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pemandangan hutan jati rakyat di Konawe Selatan. Sertifikasi mengakui karya-terapan terbaik semacam ini.

menuntun dan mempromosikan hutan rakyat. Sampai dengan Januari 2008, 13 % dari jumlah sertifikat pengelolaan hutan yang diterbitkan oleh FSC diberikan kepada masyarakat, ini adalah sejumlah 4 % atau 3,8 juta ha dari total area hutan dunia yang disertifikasi oleh lembaga ini. Bagaimanapun, sertifikasi tanah-tanah ulayat memiliki beberapa kendala, mulai dari persoalan biaya sertifikasi, evaluasi dan tindakan-tindakan yang direkomendasikan untuk memperbaiki kendala-kendala dan yang sering juga secara legal tidak diakui oleh lembaga-lembaga masyarakat itu sendiri namun diwajibkan untuk diikuti dan kewajiban untuk mengatasi hambatan-hambatan pasar disebabkan oleh kendala akses dan kerugiankerugian dalam tingkat ekonomi tertentu. Lembaga sertifikasi Indonesia, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan FSC telah melakukan sertifikasi sejak lebih dari sepuluh tahun di Indonesia. Lebih dari 1 juta hektar dari hutan-hutan produksi maupun hutan alam

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PENGANTAR

telah disertifikasi oleh LEI dan atau FSC. Enam sertifikat sejauh ini telah diberikan untuk hutan-hutan rakyat. Kayu-kayu yang dihasilkan dari hutan-hutan ini sekarang tidak hanya legal namun juga merupakan hasil produksi berkelanjutan. Secara legal sertifikasi memainkan peranan yang terus-menerus meningkat di Indonesia. Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa saat ini sedang berunding untuk menyepakati Perjanjian Kerjasama Sukarela FLEGT (FLEGT VPA). Perjanjian ini akan memungkinkan pihak Bea dan Cukai di 27 negara Uni Eropa untuk menolak kayu-kayu yang diproduksi tanpa sertifikasi untuk memasuki pasar Eropa. Kontrol terhadap aliran kayu rakyat (khususnya kayu jati untuk keperluan furnitur dan kayu sengon untuk kayu lapis) akan menjadi sangat relevan dalam perundingan-perundingan VPA tadi, khususnya jika produk itu mencakup persoalan VPA yang lebih luas. Sangat sedikit diketahui tentang sertifikasi hutan rakyat di wilayah Indonesia dan lembaga-lembaga teknis yang menyelenggarakannya. Apa yang membuat masyarakat di sekitar hutan tertarik untuk menanam pohon-pohon kayu, apa yang membuat mereka tertarik mengikuti sertifikasi hutan? Apakah sertifikasi cukup membantu mereka? Apakah sertifikasi cukup mampu menjadi alat yang akurat untuk mempromosikan hutan rakyat dan kayu-kayu yang dihasilkan dari hutan-hutan rakyat? Apakah peredaran kayu rakyat cukup terdokumentasikan sehingga memenuhi persyaratan-persyaratan FLEGT VPA? Dan banyak lagi pertanyaan yang perlu dicarikan jawabannya. Tujuan studi ini pada awalnya adalah untuk memperoleh pemahaman tentang asal-usul, proses-proses dan kendala yang dihadapi oleh rakyat dalam melakukan sertifikasi di Indonesia dan mencoba memperoleh gambaran awal tentang hal-hal yang dapat dipelajari dari proses-proses yang masih baru ini. Studi ini berbasis pada analisis kepustakaan, diskusi-diskusi dengan para pakar dan terutama serangkaian kunjungan lapangan. Tim studi melakukan perjalanan ke seluruh kawasan hutan kerakyatan yang disertifikasi di Indonesia, yang telah disertifikasi sampai dengan Oktober 2007. Kawasan-kawasan itu meliputi desa-desa Dengok, Girisekar,

PENGANTAR SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Kedungkeris (Gunung Kidul), Ngreco (Weru, Sukoharjo), Tirtosworo (Giriwoyo, Wonogiri), Sumberejo (Wonogiri) di provinsi Jawa Tengah dan Koperasi Hutan Jaya Lestari (di desa Lambakara, Kabupaten Konawe Selatan) di provinsi Sulawesi Tenggara. Tim studi juga berdialog dengan para produsen mebel yang berminat membeli bahan baku mereka dari hutan-hutan rakyat yang bersertifikat. Kunjungan lapangan dilaksanakan sejak Oktober hingga November 2007 dengan menggunakan metodologi diskusi kelompok fokus dan wawancara-wawancara semi-terstruktur.1 Selain berdialog dengan para tokoh kelompok-kelompok tani dan para warga terpilih, hampir seluruh promotor sertifikasi diwawancara, yang hampir semuanya juga bergabung dalam kunjungan-kunjungan lapangan tadi. Karena keberagaman pola keterlibatan komunitas dalam bidang kehutanan amat luas cakupannya, termasuk di dalamnya beraneka macam usaha berbasis hasil-hasil hutan, usaha kerjasama masyarakat dengan penyedia dana-dana bantuan lunak nampak masyarakat telah dijadikan obyek dari berbagai intervensi perusahaan-perusahaan besar. Karena itu diperlukan suatu klarifikasi peristilahan baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa setempat, dan suatu tinjauan singkat terhadap peraturan dan regulasi yang relevan telah disusun sebagai landasan teoretis dari studi ini. Hasil dari analisis ini termaktub dalam Bab 2. Bab 3 berisi pengenalan singkat tentang dua skema sertifikasi yang saat ini dilaksanakan di Indonesia dan peran negara dalam sertifikasi pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan hingga saat ini. Di dalamnya juga diberikan tinjauan singkat tentang jumlah yang relatif besar berkaitan dengan kegiatan sertifikasi yang waktu ini dilaksanakan di hutan-hutan rakyat di seluruh Indonesia. Bab 4 berisi hasil-hasil rangkuman wawancara-wawancara yang dilakukan di desa-desa. Di dalamnya tercakup deskripsi tentang sejarah hutan yang disertifikasi di desa-desa itu, berbagai aspek persiapan sertifikasi, juga tahap demi tahap perkembangan proses pembelajaran dari masing-masing
1

Lampiran 1 memperlihatkan daftar lokasi-lokasi yang dikunjungi. Seluruh interview dilanjutkan dengan pengisian kuisioner, yang dilampirkan dalam Lampiran 2.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PENGANTAR

peserta di masing-masing wilayah. Lembar fakta (Fact-sheet) diproduksi dari tiap-tiap unit yang dikunjungi dan dilampirkan pada Lampiran 3A-E. Bab 5 meringkas pembelajaran yang diperoleh dari sertifikasi pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan di Indonesia sampai saat ini. Temuan-temuan yang disajikan akan menjadi bahan diskusi tentang hutan rakyat, sertifikasi Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan dan aspek-aspek legal di bidang hutan rakyat. Temuan yang diperoleh dari hasil studi, sejauh relevan dengan pelaksanaan FLEGT VPA di Indonesia, telah diangkat menjadi topik lokakarya dengan judul Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia: Pelajaran berharga yang relevan untuk sertifikasi dan proses-proses FLEGT VPA. Lokakarya diselenggarakan di Bogor, 6 Maret 2008, yang diorganisir oleh LEI dan didanai GTZ dan kantor perwakilan EU-FLEGT di Jakarta. Sepanjang lokakarya sehari itu, yang diikuti sekitar 55 peserta, yakni wakil-wakil kelompok hutan rakyat, pemerintah daerah dan pusat, sektor swasta dan lembaga donor, hasil-hasil studi didiskusikan dan kemudian dibuat juga suatu rencana tindak lanjut. Dokumen lokakarya dapat diperoleh di LEI.2 Tim studi ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan selama studi dilaksanakan. Secara khusus kami ingin berterima kasih kepada seluruh petani dan segenap LSM yang mendukung gagasan ini yang telah bersedia berdiskusi secara terbuka tentang situasi dan kondisi mereka, dan yang telah bersusahpayah mengorganisir kunjungan-kunjungan lapangan serta menyiapkan berbagai latar belakang informasi. Terima kasih yang setulus-tulusnya juga kami sampaikan kepada Kantor GTZ program Standar Sosial dan Ekologi, Jakarta, yang telah mendanai studi ini.

Lembaga Ekolabel Indonesia, Jl. Taman Bogor Baru Blok BIV No. 12, Bogor 16152. P: +62 251 340 744. Email: LEI@indo.net.id, website: www.lei.or.id

Pengelolaan hutan berkelanjutan menjamin bahwa kebutuhan generasi yang akan datang tetap dapat terpenuhi: Anak-anak di Desa Tirtosuworo, Kecamatan Wonogiri.

2. Latar Belakang: Hutan Rakyat di Indonesia

Indonesia dipersatukan oleh keragaman. Demikian juga dengan sistem pengelolaan hutannya. Walaupun hutan didominasi oleh konsesi-konsesi Hak Pengelolaan Hutan berskala besar, namun sistem-sistem pengelolaan hutan rakyat yang beraneka ragam juga ada dan dikelola oleh masyarakat adat dan sudah dipraktekkan sejak beratus-ratus tahun. Dari sensus pertanian 2003 diketahui bahwa 3,43 juta rumah-tangga di Indonesia terlibat dalam kegiatan-kegiatan hutan rakyat.3 Pemerintah Indonesia sayangnya baru menaruh sedikit minat untuk mengadopsi hutan rakyat sebagai suatu pendekatan yang layak dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan-hutan industri yang berdasar pada prosedur-prosedur ilmiah nampaknya dianggap lebih menjanjikan. Konsekuensinya hutan rakyat hanya diterima sebagai suatu cara untuk memanfaatkan sumbersumber daya hutan guna meningkatkan pendapatan masyarakat sematamata dan bukan sebagai pendekatan yang layak dalam pengelolaan hutan berkelanjutan yang cakupannya lebih luas di Indonesia. Belakangan ini Departemen Kehutanan tampaknya melakukan perubahan-perubahan signifikan. Jumlah kayu yang ditebang dari hutan-hutan rakyat makin meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir ini, mencapai 5 juta m3 per tahun atau lebih dari setengah hasil tebang yang dilakukan oleh HPH pada hutan-hutan alam yang dikelola secara ilmiah.
3

Ichwandi, Shinohara and Nakama (2007).

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Lembaga-lembaga seperti FAO, ADB dan Bank Dunia, organisasi-organisasi penelitian internasional dan beberapa lembaga donor bilateral, termasuk GTZ dan DFID telah melaksanakan kebijakan khusus ini sejak 1970 hingga 1990. Mereka mengarahkan tujuan kegiatannya untuk menggantikan cara pengelolaan hutan di hutan-hutan alam dirangkaikan dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin dengan cara penanaman pohondan meraih keuntungandi kawasan-kawasan hutan yang telah terdegradasi, di lahan-lahan terlantar, di hutan-hutan desa, di sepanjang garis perbatasan-perbatasan, dan di tanah-tanah pertanian dan di halaman rumah mereka. Investasi pokok dan hibah telah diberikan kepada negaranegara berkembang untuk menerapkan skema ini di Asia, termasuk di Indonesia.4

2.1. Asal-muasal dan evolusi hutan rakyat di Indonesia


Sejak 1978, ketika diselenggarakan Konggres Kehutanan Sedunia dengan tema Hutan untuk Rakyat (Forest for People), pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa mereka yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan-hutan itu.5 Istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul Kehutanan untuk Pembangunan Masyarakat Setempat.6 FAO mendefinisikan hutan rakyat dalam pengertian yang sangat luas sebagai situasi tertentu dimana aktitivitas kehutanan melibatkan rakyat setempat sebagai satu kesatuan. Dia meliputi cakupan

4 5 6

Colchester et al. (2003). Down to Earth (2002).

FAO (1978). Dokumen ini dipersiapkan sebagai prasaran dalam Konggres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta. Diskusi pendahuluan tentang peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam telah mengemuka sejak awal kemerdekaan Indonesia pada era 1950-an.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

berbagai kegiatan mulai dari mengumpulkan potongan-potongan kayu dan aneka hasil hutan lainnya yang dibutuhkan masyarakat dari dalam kawasan hutan tertentu, juga menanam pohon-pohon di areal hutan guna menyediakan kebutuhan pemrosesan produk-produk kayu untuk keperluan rumah tangga, kesenian atau industri kecil dalam rangka memperoleh penghasilan, hingga kegiatan-kegiatan bertempat tinggal di dalam kawasan hutan. Ini termasuk industri kehutanan skala besar dan bentuk lain aktivitas kehutanan yang berkontribusi bagi pembangunan masyarakat semata-mata hanya melalui ketenagakerjaan dan upah, bahkan termasuk pula kegiatan-kegiatan perusahaan-perusahaan industri kehutanan dan departemen kehutanan yang mendorong dan mendampingi kegiatankegiatan kehutanan di tingkat masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut sebegitu luas cakupannya sehingga secara potensial dapat meliputi seluruh jenis kepemilikan lahan. Sementara sebelumnya hanya memperhitungkan sebagian dampak saja dari aktivitas kehutanan terhadap pembangunan desa, kini mencakup hampir seluruh bidang dimana kegiatan-kegiatan, baik produk maupun jasa kehutanan secara langsung mempengaruhi kehidupan rakyat desa. FAO mengeluarkan definisi hutan rakyat ini pada tahun 1983, yang menggarisbawahi peran utama rakyat dalam pengelolaan hutan. Sayangnya, begitu banyak istilah dan penafsiran tentang pengelolaan hutan oleh rakyat setempat ditemukan di Indonesia, dan pengertian tentang istilah dipahami berbeda-beda oleh para pakar, LSM-LSM dan pejabat pemerintah. Kadang-kadang hutan rakyat digunakan secara bergantian dengan Perhutanan Sosial (Kehutanan Sosial). Kadang-kadang hutan rakyat merefleksikan tingkat keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, yakni tercermin dalam istilahistilah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Pengelolaan Hutan Kolaboratif, dan Pengelolaan Hutan Partisipatif. Adanya fakta bahwa beberapa istilah bahasa Inggris juga digunakan secara tumpang-tindih juga mencerminkan kebingungan yang sama seperti halnya pemakaian istilah ini dalam bahasa Indonesia. Hutan Kerakyatan, Hutan Rakyat, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Kehutanan/Perhutanan Sosial, Hutan Kemasyarakatan, Sistem Hutan Kerakyatan merupakan kata majemuk yang telah diadopsi oleh bermacam pemangku kepentingan, dan seringkali pelan-pelan makin ditinggalkan, setelah pemerintah

10

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Tumpangsari tanaman kayu dan palawija di lahan-lahan masyarakat di Wonogiri

mulai ikut mengadopsi istlah tersebut, namun acapkali tanpa menerima pemikiran-pemikiran yang ada di dalam konsep-konsep tadi.7 Hasilnya, hampir semua kelompok masyarakat sipil di Indonesia saat ini menggunakan istilah Inggris Community-Based Natural Resource Management (CBNRM) and Community Forestry (yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi komuniti forestri)8 dalam membahas kontrol berkelanjutan atas sumber-sumber daya alamtermasuk hutanoleh masyarakat setempat. Sementara itu, masyarakat setempat, yang telah dibanjiri oleh tambahan beragam kata baru dari pemerintah dan LSM, terus saja mengacu pada istilah sesuai dengan kenyataan yang ada yang mereka miliki, yaitu tembawang, wono, alas, hutan talon, dan sebagainya.9
7 8

Down to Earth Special Report (2002).

Sejak awal 1998, LATIN, satu LSM Indonesia yang bekerja mendukung hutan kemasyarakatan, mengadopsi hutan rakyat sebagai komuniti forestri (KF). LATIN menerbitkan jurnal dengan nama KF. Suharjito (2002) juga menggunakan kehutanan komuniti untuk menunjukkan CBFM. Down to Earth (2002). Lihat juga Suharjito (2002).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

11

Beberapa definisi yang muncul lebih menempatkan rakyat sebagai obyek dari pengelolaan hutan kemasyarakatan: rakyat miskin yang butuh arahan dan bantuan melalui promosi hutan rakyat. Pendekatan ini menggambarkan bahwa Program Kehutanan Sosial pada awal 1980-an, ketika PERUM PERHUTANI memperkenalkan apa yang disebut Sistem Taungya (Sistem Tumpangsari) dan mendefinisikan Kehutanan Sosial sebagai suatu sistem dimana partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mempertimbangkan penanaman hutan kembali. Tujuan dari Kehutanan Sosial adalah untuk memperbaiki fungsi hutan melalui keberhasilan penghijauan dan pada saat bersamaan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial warga masyarakat setempat.10 Kehutanan sosial menjadi satu program utama PERUM PERHUTANI. Dengan dukungan Ford Foundation, program hutan kemasyarakatan PERHUTANI kemudian mengadopsi pendekatan-pendekatan partisipatif seperti konsep penilain pedesaan partisipatif.

2.2. Definisi-definisi
Berikut ini adalah beberapa pemahaman umum tentang beragam istilah yang menjelaskan keterlibatatan masyarakat dalam bidang kehutanan di Indonesia yang dikemukakan: (1) Kehutanan Sosial (Social Forestry) Kehutanan Sosial merupakan suatu sistem pengelolaan hutan yang melibatkan rakyat sebagai pengelola hutan sebagai bagian dari program pengembangan masyarakat. Rakyat atau masyarakat tidak memiliki kontrol atas sumber dayapemegang hak pengelolaan hutan tetap berada pada pembuat kebijakan tertinggi dan terutama. Partisipasi rakyat hanya sebatas amat minimal dan biasanya tujuan dari skema Kehutanan Sosial adalah untuk mengurangi konflik antara masyarakat dengan unitunit pengelola hutan, meningkatkan kontribusi pengelolaan hutan bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat, dan melindungi sumberdaya hutan dari aktivitas-aktivitas ilegal. Dalam bulan Juni 1995, suatu diskusi panel tentang pastisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan menyetujui satu definisi Kehutanan Sosial di Indonesia sebagai
10

Perum Perhutani (1994) in Hasanu Simon, editor (1994).

12

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

usaha-usaha untuk meningkatkan partisipasi rakyat di bidang kehutanan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan produkproduk hutan, pendapatan masyarakat, sekaligus melestarikan ligkungan hidup.11 Contoh program-program Kehutanan Sosial di Indonesia telah disebutkan sebagai Program Kehutanan Sosial oleh PERUM PERHUTANI (kini dikenal sebagai Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM), dan Program Pengembangan Masyarakat Desa Hutan pada kawasan konsesi hutan di luar Jawa.12 (2) Pengelolaan Hutan Bersama (Co-Management of Forestry) Pengelolaan bersama merupakan satu pendekatan yang merangkum satu kemitraan yang dengannya dua atau lebih pihak yang berkepentingan secara bersama-sama bermusyawarah, menyepakati, menjamin dan mengimplementasikan peran dan tanggung jawabnya dalam fungsi-fungsi pengelolaan, memperoleh manfaat dan bertanggungjawab terhadap kawasan-kawasan, areal atau tatanan tertentu dari sumber-sumber daya alam. Pengelolaan kemitraan bisa ditemukan pada badan usaha milik negara, badan usaha milik bersama masyarakat, usaha-usaha swasta dan gabungan dari dua atau lebih jenis usaha tadi. Ukuran dimana cakupan kerja yang disetujui bisa jadi seluas kawasan daerah aliran sungai (watershed) atau sesempit sepetak hutan. Para mitra boleh jadi termasuk instansi pemerintah dan antar-instansi pemerintah, universitas-universitas negeri dan agen-agen pelestari kawasan; dan lembaga swastamisalnya dewan-dewan adat, para tuan tanah, tokoh-tokoh masyarakat dan kelompok kepentingan dalam masyarakat, LSM dan operator-operator swasta.13

11

Lihat Muayat Ali Muhshi (1998) dalam RECOFTC (1998); Warta FKKM (2002); Dani Wahyu Munggoro (1998).
12

PHBM Perhutani dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/ DIR/2001. Di beberapa propinsi seperti Jawa Tengah, keputusan itu diikuti dengan Keputusan Gubernur No. 24 tahun 2001 regarding Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Di luar Jawa, tiga perusahaan swasta menerapkan KEHUTANAN SOSIAL mengikuti Sistem PHBM Perum Perhutani: PT. Wira Karya Sakti (Jambi), PT. Xylo Indah Pratama (Musi Rawas, South Sumatra) and PT. Finantara Intiga, Sanggau (West Kalimantan). PT. Xylo sejak 2006 merupakan perusahaan yang telah memperoleh sertifikasi dari FSC (setelah tertunda selama beberapa tahun), PT. Finantara bersiap-siap untuk disertifikasi oleh FSC pada tahun 2004-2005, namun tiba-tiba dihentikan setelah diambil-alih oleh PT. Andalan Pulp and Paper (anak perusahaan Sinar Mas Group di Riau) pada tahun 2006.
13

Untuk penjelasan yang lebih lengkap tentang pengelolaan bersama manajemen sumber daya alam dalam konteks pembagian kekuasaan diantara para pemangku kepentingan, lihat Borrini-Feyerabend, et al. (2004).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

13

Istilah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat digunakan untuk jenis kesepakatan pengelolaan bersama secara khusus yang dikembangkan di India. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat menekankan kolaborasi pengelolaan antara agen pemegang otoritas legal atas hutan-hutan yang dikuasai negara dan melegitimasikan partisipasi masyarakat setempat dalam aktivitas-aktivitas kehutanan di kawasan yang secara esensial masih dikuasai oleh negara. Kesepakatan pengelolaan hutan berkelanjutan di India berhasil menimbulkan hubungan-hubungan baru antara masyarakat pedesaan dan departemen kehutanan.14 (3) Pengelolaan Hutan Kolaboratif Pengelolaan Hutan Kolaboratif bahkan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengelolaan hutan bersama-sama antara para pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, masyarakat, LSM dan lainnya). Para pemangku kepentingan membangun konsensus/ persetujuan berkaitan dengan peran-peran, hak-hak dan tanggungjawab dalam mengelola sumber-sumber daya alam, misalnya hutan. Kesepakatan-kesepakatan mencakup status batas-batas kawasan hutan, macam ragam hasil hutan yang dipanen, pengakuan atas peran-peran, hak-hak dan tanggung-jawab, prosedur-prosedur pengambilan keputusan, mekanisme penyelesaian sengketa, dan perencanaan manajemen yang komprehensif. (4) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) PHBM merupakan satu pendekatan pengelolaan hutan dimana kontrol dipegang oleh masyarakat setempat. Peran-peran pihak lain, tanggungjawab, hak-hak dan pemanfaatan-pemanfaatannya ditetapkan oleh masyarakat setempat. Acapkali fasilitator-fasilitator, mendukung apa yang telah diberlakukan dalam masyarakat tersebut. LEI mendefinisikan PHBM dengan huruf B sebagai Berbasis dan bukan B sebagai Bersama seperti pada sistem Kehutanan Sosial-nya (PERHUTANI) sebagai satu sistem pengelolaan hutan yang dipraktekkan oleh perorangan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat di hutan-hutan negara, hutanhutan komunal, hutan-hutan adat atau hutan-hutan perorangan atau rumah-rumah tangga guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga
14 Keterangan lebih lanjut tentang sejarah PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN lihat Mark Poffenberger dan Betsy Mc Gean (1998). Lihat juga Ganesh Yadav (1998), dan Gimour dan Fisher (1998).

14

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Produksi rendah asupan: Kompos organik untuk tanaman pangan yang ditanam di hutan-hutan rakyat di Kecamatan Wonogiri.

atau komunitas, dan dikelola baik secara komersial maupun hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.15 Karakter pokoknya terletak pada pengakuan bahwa sistem sosial setempat merupakan pengatur pengelolaan dan pembuat keputusan. Pengembangan PHBM di lahan-lahan milik swasta seperti dalam kawasan tersertifikasi di Jawa Tengah dan Konawe Selatan di Sulawesi Tenggara merupakan contoh yang bagus dari PHBM. Para petani, sebagai pembuat keputusan puncak, memiliki kontrol sepenuhnya atas sumber daya hutanhutan mereka, dibina oleh asosiasi-asosiasi di tingkat dusun atau yang lebih tinggi. Pihak-pihak lain dilibatkan sebagai mitra pendukung. Istilah lokal untuk PHBM dapat ditemukan di beberapa tempat di Indonesia misalnya (dalam Bahasa Indonesia): Hutan rakyat, Hutan desa, Wanatani,
15

Suhardjito, et al., dalam LEI (2002): Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Elaborasi tentang PHBM ini berisi satu ringkasan akademik yang komprehensif tentang skema sertifikasi PHBM LEI, dan mengelaborasikan secara luas jenis-jenis PHBM di Indonesia.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

15

Hutan-hutan rakyat menghasilkan manfaat berlipat: Perempuan desa memanggul rumput untuk sapi di rumahnya, disabit dari petak padang di sela-sela hutan di Kecamatan Wonogiri.

Hutan Tanaman; atau dalam bahasa lokal disebut dengan Leuweung (Jawa Barat), Repong (Lampung), Tombak (Tapanuli Utara, Sumatra Utara), Tembawang (Kalimantan Barat), Katuan (Meratus, Kalimantan Selatan), Wanakiki (Toro, Sulawesi Tengah), Gawah (Lombok), Ope dun Karedunan and Karetaden (Tana Ai, Flores). (5) Hutan Rakyat Hutan rakyat dalam arti yang luas meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dimana mereka tergantung terhadapnya secara ekonomi, sosial, kultural dan spiritual. Hutan-hutan selayaknya dikelola untuk menjamin keamanan pemanfaatan dari generasi ke generasi berikutnya dan meningkatkan segala peluang kelestariannya. Hutan rakyat didasarkan pada tiga prinsip, yakni:16
16

Wasi (1997).

16

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Hak-hak dan tanggung-jawab atas sumber daya hutan harus jelas, aman dan permanen Hutan-hutan harus dikelola secara wajar sehingga terjadi alir manfaat dan nilai tambah Sumber daya hutan harus diwariskan dalam kondisi yang baik guna menjamin ketersediaannya di masa-masa yang akan datang Gilmour dan Fisher menegaskan bahwa hutan rakyat memiliki sekurangkurangnya tiga keunggulan yang diakui secara luas, ialah:17 Pengakuan bahwa penduduk setempat mampu memainkan peran penting/kunci dalam pengelolaan hutan Pengakuan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk diikutsertakan Pengakuan bahwa beberapa taraf pertisipasi merupakan ciri-ciri khas dari hutan rakyat Di antara beragam istilah yang digunakan di Indonesia, PHBM dan hutan rakyat memiliki beberapa keunggulan yang mirip. Karenanya, beberapa pihak menggunakan PHBM secara bergantian dengan hutan rakyat. Namun kendati demikian, hutan rakyat memiliki cakupan yang lebih luas daripada PHBM, karena hutan rakyat dapat diterapkan pada berbagai macam kawasan hutan, sementara PHBM mempersyaratkan perlunya kontrol atas sumber daya alam oleh masyarakat setempat. Tim studi karena itu cenderung menggunakan istilah hutan rakyat, dan sertifikasi PHBM untuk menjelaskan tentang sertifikasi-sertifikasi atas lahan-lahan dibawah kontrol dan pengawasan masyarakat.

2.3. Kebijakan kehutanan nasional tentang hutan rakyat


Pada tahun 1991 Pemerintah Indonesia mengadopsi konsep dasar dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) melalui Keputusan Menteri No 691 tahun 1991. Dengan kepmen inilah, konsep hutan rakyat menjadi fokus utamanya. Pemerintah Indonesia memperkenalkan program HPH Bina Desa sebagai tugas pokok para pemegang konsesi hutan di Indonesia, selain Jawa dan Madura. Pada tahun 1995, program ini diperbaiki dan
17

Gilmour and Fisher (1998).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

17

diberi nama Pembinaan Masyarakat Desa Hutan/PMDH dengan Peraturan Menteri No.69 tahun 1995. Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan/ PMDH disusun dari rancangan untuk mengurangi konflik antara penduduk setempat dengan para pemegang konsesi hutan dengan mendorong investasi lebih banyak bagi pengembangan masyarakat di desa-desa di sekitar dan di dalam kawasan konsesi. Pada tahun 1995 juga, Pemerintah Indonesia merealisasikan kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan ini melalui penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan No.622/KptsII/1995. Sebagai tindak lanjut dari keputusan ini, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Hutan, didukung oleh LSM-LSM dan universitas-universitas, merancang proyek-proyek uji-coba dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Lokasi proyek-proyek itu ada di Bengkulu; Jambi; Lampung; Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat serta Kalimantan Selatan; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur; Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan; Maluku dan Papua Barat. Sebagai tambahan dan dalam rangka kerjasama dengan lembagalembaga yang telah disebut tadi, Menteri Kehutanan berinisiatif membuat proyek kerjasama internasional yaitu Proyek Pengembangan Kehutanan Kemasyarakatan dengan GTZ di Sanggau, Kalimantan Barat; Proyek Traditional Forest Area di Gunung Palung, Kalimantan Barat dengan Universitas Harvard dan USAID; Pengembangan Sosial KPHP dengan DFID di Kalimantan Tengah, Jambi dan Riau; dan Proyek Promosi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dengan GTZ di Kalimantan Timur. Pada tahun 1997, Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 677/ Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat menerima hak untuk memanfaatkan hutan-hutan sebagaimana dikenal sebagai Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) atau Ijin Pengelolaan Hutan. Dengan cara ini, masyarakat setempat diberi ijin untuk memanfaatkan kayu dan hasil-hasil hutan non-kayu. Pemerintah pusat juga merancang satu sistem untuk menyediakan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Pemerintah mempromosikan hutan rakyat sebagai satu pendekatan untuk meminimalisir degradasi lahan, dan meningkatkan taraf ekonomi rakyat.18
18

Ichwandi, Shinohara and Nakama (2007).

18

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pada tahun 2001, MK mengeluarkan Keputusan Menteri No. 31/KptsII/2001, merubah Keputusan No. 677/Kpts-ll/1997. Keputusan ini memberikan peranan yang lebih leluasa bagi masyarakat setempat dengan menempatkan mereka sebagai pelaku-pelaku utama dalam pengelolaan kehutanan. Sayangnya, keputusan tersebut tidak pernah terlaksana karena adanya kerancuan regulasi di tingkat perencanaan, yang tidak mengakomodasi hak pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat dan hanya mengijinkan mereka untuk memanfaatkan sumbersumber daya hutan.19 Pada prinsipnya seluruh keputusan tentang Hutan Kemasyarakatan tersebut bertujuan untuk melindungi kawasan hutan, khususnya hutan-hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan HPH skala besar. Melalui program Hutan Kemasyarakatan, Pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di dalam dan sekitar hutan; meningkatkan kualitas dan produktivitas hutan-hutan tersebut; dan melindungi hutan-hutan tadi dan lingkungannya. Peningkatan bermacam-macam kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat (dalam pengertiannya yang luas) merupakan satu indikasi bahwa perjuangan antara kelompok-kelompok masyarakat sipil, yang mendukung dialihkannya paradigma pengelolaan hutan dari negara/perusahaan swasta besar menjadi dikelola oleh rakyat, dan orientasi pemerintah untuk mengontrol hutan dan perambahan hutan, tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pokok dari rakyat yang amat tergantung pada hutan, atau pengakuan atas hak-hak masyarakat setempat terhadap kawasan-kawasan hutan.20 Beberapa LSM mendasarkan kritik mereka terhadap Pemerintah Indonesia dalam hal dominasi negara, sentralisasi pengelolaan hutan dan penolakan negara untuk mengakui hak-hak masyarakat lokal (adat) sebagai faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan para akademisi pendukung hutan rakyat, bagaimanapun, mengakui bahwa hutan rakyat bukan juga merupakan obat penyembuh segala macam penyakit (panacea) yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan terkait dengan hutan-hutan Indonesia, dan berargumen bahwa hutan rakyat harus disertai dengan demokratisasi, desentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan, sebagaimana patut pula adanya pemerintahan yang baik. Kendati demikian, hutan rakyat menawarkan satu model
19 20

Hindra (2007). Muhshi (1998).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

19

alternatif bagi pengelolaan industri kehutanan sebagai satu langkah guna mengaitkan pengelolaan hutan-hutan lokal dengan pemerintahan setempat. Pemahaman inilah yang membuat para lembaga donor bilateral tertarik untuk mempromosikan sertifikasi hutan rakyat dan PHBM di Indonesia. Pada tahun 2003, Menteri Kehutanan memulai Program Perhutanan Sosial baru melalui Peraturan Menteri No.1/2004. Sampai akhir 2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan lima kebijakan prioritas, dimana salah satunya berkaitan dengan pemahaman luas tentang hutan rakyat: menjadikan proyek-poyek hutan rakyat sebagai kebijakan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan ini bertujuan mengimplementasikan Undang-undang baru (No.41/1999), dengan menyebut dua tugas pokok: Para pemegang konsesi hutan seyogyanya bekerjasama dengan masyarakat lokal di sekitar hutan (pasal 30); dan Rehabilitasi hutan dan lahan harus melakukan pendekatan partisipatori dalam rangka memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan hutan (pasal 42.2)
Luas hutan rakyat (Total area 1,57 juta Ha)
Maluku 1% Sulawesi 13% Kalimantan 9% Papua 1% Sumatera 14%

Bali dan Nusa Tenggara 12%

Jawa 50%

Luas Hutan Kemasyarakatan sekitar 124.467 Ha Gambar 1: Distribusi kawasan hutan rakyat di Indonesia. (Data strategis kehutanan 2007)

20

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Kebijakan itu juga merujuk pada Regulasi Pemerintah PP No.34/2002, yang mewajibkan dilakukannya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam rangka untuk memperbaiki kapasitas kelembagaan mereka dalam memanfaatkan hutan (Pasal 51). Kemajuan pengembagan proyek-proyek hutan rakyat ini, betapapun, masih tergolong lambat, dan menurut daftar Pemerintah Indonesia pada tahun 2001 hanya 17 hutan rakyat baru dihasilkan di seluruh wilayah negeri. Dibentuknya Peraturan Pemerintah PP No. 6 / 2007, sebagai perbaikan dari Peraturan Pemerintah No.34/2002 dan No.1/2004, pada akhirnya menuntun jalan untuk penerapan hutan rakyat yang lebih luas di Indonesia. Pengelolaan hutan kemasyarakatan saat ini telah dipraktekkan dengan empat cara: (1) Hutan Desa (2) Kemitraan (3) Hutan Tanaman Rakyat (4) Hutan Kemasyarakatan Dalam Hutan Desa, hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa (sebagai pendekatan PHBM). Dalam Kemitraan, masyarakat setempat dapat bergabung dengan para pemegang hak pemanfaatan hutan yang bertetangga (para pemegang HPH). Dalam konsep Hutan Tanaman Rakyat, pemerintah memberi akses kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya yang dilindungi, menyediakan kredit dan peluang-peluang pasar. Rumah-rumah tangga boleh membuat hutanhutan tanaman kayu dengan beragam jenis dan dapat memperoleh surat ijin pemanfaatan kayu hingga selama maksimum 100 tahun. Rumah-rumah tangga diijinkan untuk menerima hak tadi baik sebagai perorangan, kelompok (koperasi), atau badan usaha milik pemerintah daerah, badan usaha milik negara atau perusahaan swasta pribadi, yang bertindak atas dan untuk mereka sendiri. Pemerintah menyediakan total anggaran sebesar Rp 43,2 triliun ( 3,5 milliar) untuk program ini dan berharap pinjaman lunak bisa diberikan sebanyak 360.000 rumah tangga yang berminat membuat masing-masing seluas 15 Ha hutan tanaman.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LATAR BELAKANG

21

Menurut PP No.6/2007, Unit Pengelolaan Hutan dapat didirikan di wilayah pemerintah daerah untuk mengelola kawasan hutan tertentu yang terletak di satu atau lebih wilayah administratif (kecamatan). Tugas pemerintah termasuk memberdayakan masyarakat dengan cara: Menetapkan status hukum Merangkaikan/menyelaraskan kepentingan-kepentingan dari sektor dan pelaku yang berbeda-beda Memandu skema bagi hasil produksi/pemanfaatan Bimbingan teknis Pengembangan SDM Penyediaan informasi akses pasar Mengeluarkan ijin pemanfaatan hutan Hutan-hutan yang ada yang dialokasikan untuk hutan rakyat berdasarkan PP No.6/2007 terdapat di wilayah kerja hutan kemasyarakatan, diberikan kepada koperasi atau kelompok warga masyarakat. Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan dan kayu (disebut IUPHHK) selama 35 tahun dikeluarkan oleh Bupati (Kepala Pemerintah Kabupaten), atas dasar rencana pengelolaan hutan yang akan dikembangkan oleh dinas kehutanan. Wilayahnya dapat diambilkan dari hutan produksi maupun hutan yang dilindungi dan harus bebas dari ijin-ijin atau HPH lain. Masyarakat diberi ijin untuk memanfaatkan sumber daya hutan, namun bukan diberikan sebagai hak milik. Masyarakat juga boleh melakukan skema kerjasama guna mengakses sumber daya hutan yang dialokasikan untuk para pemilik HPH. Praktekpraktek pengelolaan hutan secara tradisional atau menurut adat boleh diakomodasikan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di wilayah kerja melalui proses perencanaan partisipatif. Dengan proses ini, para pemangku kepentingantermasuk para tokoh masyarakatberpartisipasi dalam mempersiapkan perencanaan kehutanan. Dalam tahun 2007 juga, Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan Pemerintah Permenhut No. P 37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan/HKm. Permenhut P 37/2007 disertai petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak hutan kemasyarakatan, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm/IUPHKm). Prosedur yang rumit untuk memperoleh hak-hak HKm yang dipersyaratkan oleh Permenhut itu telah membangkitkan keprihatinan kalangan masyarakat sipil

22

LATAR BELAKANG SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

yang menganggap bahwa hal itu hanya organisasi yang telah mapan dan masyarakat yang didukung oleh finansial yang kuat yang mampu memperoleh hak-hak HKm. Berkaitan dengan pem-verifikasian dan pelacakan asal-usul atas kayu di areal hutan rakyat, Menteri Kehutanan baru-baru ini telah mengeluarkan dua regulasi tentang kewajiban melakukan sistem verifikasi kayu di hutan-hutan rakyat, yakni P.51/Menhut-II/2006 dan P.55/Menhut/2006. Dua peraturan ini menggarisbawahi jenis dokumen yang dibutuhkan untuk mengangkut kayu dari kawasan hutan rakyat ke lokasi pengolahan utama. Semangat dari regulasi ini adalah untuk menyederhanakan persyaratan administrasi dari asal-usul kayu dari hutan-hutan kerakyatan, dengan memberikan wewenang kepada kepala desa untuk mengeluarkan dokumen pengangkutan, yang juga mengesahkan kayu-kayu hasil tebangannya. Dokumen ini disebut Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU), atau dokumen yang menyatakan dari mana asal kayu tadi. Sebetulnya, regulasi itu mencakup hanya kayu Sengon (Albazia falcataria), karet dan kayu kelapa saja. Untuk jenis kayu lainnya dari hutan rakyat, dokumen resmi dan dokumen pengangkutannya tetap menggunakan SKSKB (Surat Keterangan Kayu Bulat), disertai dengan cap tambahan dengan kode: KR (Kayu Rakyat). Dokumen ini lebih sulit diperoleh, karena menurut prosedur yang ditentukan pemberian dokumen ini harus menunjukkan bukti hak milik lahan. Dokumen SKSKB-KR dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten. Melalui P.33/Menhut/2007, beberapa jenis kayu yang bisa memperoleh SKAU diperbanyak menjadi 15 macam. Kayu jati dari Jawa dan Sulawesi masih memerlukan dokumen SKSKB-KR, satu issu yang banyak dikritik oleh komunitas-komunitas yang dikunjungi Tim Studi.

3. Kemajuan Sertikasi Hutan di Aras Komunitas di Indonesia

Sertifikasi hutan yang dikelola masyarakat di Indonesia mengikuti dua skema yang berbeda, yakni: (1) Skema Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) LEI. (2) Skema Sertifikasi Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah dan Kecil (Small and Low Intensity Managed Forest - SLIMF). Berikut ini, kedua organisasi sertifikasi dan skema Hutan Rakyat mereka yang terkait dijabarkan.

3.1. Skema sertifikasi PHBM LEI


Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia, LEI didirikan pada tanggal 6 Februari, 1998, sebagai organisasi independen, nir-laba. LEI dan lembaga yang merintisnya, Kelompok Kerja Ekolabeling Indonesia, dibentuk dalam kurun waktu sejak 1994 2004 dengan cakupan empat skema sertifikasi (1) Hutan alam produksi, (2) hutan tanaman, (3) pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan (4) lacak balak. Saat ini LEI bertindak sebagai badan akreditasi untuk sertifikasi sumber daya alam di bidang kehutanan, kelautan dan produk-produk pertanian di Indonesia, dan sejauh ini telah memberikan akreditasi kepada dua badan sertifikasi nasional dalam kerangka program hutan rakyat.21
21

Yaitu: PT. TUV International dan PT. Mutu Agung Lestari.

24

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Sertifikasi hutan dipahami sebagai satu cara untuk menerapkan secara efektif komitmen untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, dan komitmen untuk Pembangunan Berkelanjutan.22 Pada bulan Oktober 2004, LEI menjadi organisasi berbasis konstituen, yang di dalamnya terdiri atas LSM-LSM, masyarakat adat, akademisi, dan wakil-wakil dari sektor swasta. Transformasi ini mengukuhkan tujuan kerja LEI untuk membangun dan memandu sistem sertifikasi nasional dengan mandat politik yang kuat. Dalam konteks itu, penyebarluasan sertifikasi hutan rakyat merupakan satu fokus LEI. Pendekatan PHBM LEI memasuki tahap-tahap pengamanan hukum atas hak-hak komunitas, memperpendek mata rantai perdagangan untuk produk-produk rakyat dan pembagian hasil yang lebih adil. Skema PHBM LEI dikembangkan dalam tahun 2001/2002 oleh satu tim ahli independen.23 Bantuan diberikan oleh Pemerintah Jerman melalui GTZ dan dari Ford Foundation. Pada tahun 2002, LEI memulai satu proyek uji-coba berskala nasional guna mempromosikan dan menguji skema sertifikasi PHBMnya dengan dilakukannya penandatanganan Nota Kesepakatan dengan enam LSM berikut ini: Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) World Wide World for Nature (WWF Indonesia) Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) Perhimpunan untuk Studi Pengembangan Sosial dan Ekonomi (PERSEPSI) Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur (SHK Kaltim) Pada bulan Maret 2003, LEI, dengan dukungan mitra LSMnya, menyelenggarakan satu pra-kajian skema sertifikasi PHBMnya di Jawa Tengah, mengawali sertifikasi PHBM di dua lokasi yaitu di Desa Sumberejo dan Selopuro di Kabupaten Wonogiri. Pada bulan Nopember 2006, LEI berinisiatif membentuk kelompok pendukung sertifikasi
22

Salim, et al. (1997:6). Lebih jauh: Sistem ekolabel Indonesia mempromosikan kerjasama, saling pengertian dan kemitraan antara beragam pemangku kepentingan hutanKarena itu di Indonesia kepentingan terpenting untuk mengembangkan sertifikasi kayu ialah sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan Pengelolaan hutan rakyat bangsa. Misi LEI adalah: (1) Mengembangkan skema sertifikasi ekolabel yang kredibel dan sistem pemantauan pengelolaan sumber daya hutan; (2) Menyebarluaskan dan mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan adil; dan (3) Menyebarluaskan dan mendukung model-model dan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam oleh para konstituen termasuk penduduk asli.
23

Skema ini diuraikan dalam Dokumen Teknis LEI-05, Panduan LEI 99, Seri 40 dan Standar LEI 5000-3.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

25

PHBM (Pembentukan Aliansi Pendukung SertifikasiPHBML) terdiri dari para peserta PHBM yang telah melakukan sertifikasi di Jateng, Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (ASMINDO) Komda Solo, bersama-sama LSM AruPA dan PERSEPSI. Sejak itu, LEI memulai beberapa kegiatan promosi PHBM lainnya, termasuk menyusun rancangan skema Sertifikasi untuk Produk-produk Hutan Non-Kayu.24 Landasan dari skema sertifikasi PHBM LEI adalah satu perluasan sistematisasi hutan rakyat yang ada di Indonesia, yang disebut Tipologi. Tipologi mengelompokkan kawasan hutan rakyat berdasarkan (1) klasifikasi lahan (hutan/bukan hutan/kawasan dilindungi), (2) orientasi manajemen (untuk kebutuhan sendiri/komersial), (3) tipe produk (kayu/non-kayu), dan (4) status kepemilikan lahan (lahan milik negara/lahan masyarakat (perorangan dan komunal)/lahan hak milik pribadi). Variabel-variabel tersebut disusun dalam satu matriks, yang darinya dihasilkan 48 tipe Hutan Rakyat di Indonesia. Kendati demikian, karena sertifikasi untuk produk-produk hutan non-kayu dan produksi hutan untuk keperluan sendiri tidak termasuk dalam kategori hutan rakyat, maka sistem sertifikasi PHBM LEI hanya memfokus pada kayu-kayu komersial. Lagi pula, pengelolaan hutan oleh masyarakat di kawasan yang dilindungi tidak juga dimasukkan dalam pengelompokan ini atas dasar pertimbangan legal, satu isu yang dikritik oleh beberapa LSM.25 Karena itu, sistem sertifikasi PHBM LEI secara efektif mengecualikan 8 dari 48 tipe Hutan Rakyat di Indonesia (Lihat Tabel 1). Hutan-hutan yang termasuk tipe 9-12 dan 17-20, diharuskan mengikuti dua prosedur penilaian: (1) Sertifikasi Penilaian oleh Pihak Ketiga: Penilaian dilakukan oleh lembaga yang diakreditasi oleh LEI dengan menggunakan standar penilaian yang berbeda sesuai dengan fungsi hutan yang bersangkutan. Dua panel ahli yang didampingi oleh pendamping pe-review dilibatkan dalam proses ini. Prosedurnya sama seperti skema sertifikasi LEI untuk pengelolaan industrial hutan alam dan hutan-hutan tanaman.
24 Paling akhir, satu Nota Kesepakatan antara LEI, ASMINDO dan PT Setyamitra Bhakti Persada ditandatangani berkaitan dengan promosi produk-produk PHBM bersertifikasi. 25

LEI (2002).

26

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Table 1: Tipologi Hasil Hutan dari Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (tipe 9-12 and 17-20 menurut Skema PHBM LEI yang Sekarang Berlaku)
Klasifikasi Lahan dan Orientasi Pengelolaan Kawasan Dilindungi Hutan Bukan Hutan Komersil Subsisten Komersil Subsisten Komersil Subsisten Lahan Publik (Umum) 01 05 09 13 17 21 Status Kepemilikan Lahan Tanah Adat Kepemilikan Komunal Individual Pribadi Resmi 02 06 10 14 18 22 03 07 11 15 19 23 04 08 12 16 20 24

(2) Sertifikasi berdasarkan Klaim yang Diakui: Sertifikasi dijamin oleh suatu organisasi independen misalnya NGO atau lembaga riset, yang mempromosikan hutan rakyat dan memiliki pemahaman yang baik tentang kawasan yang dievaluasi. Organisasi ini dengan pernyataan tertulis dari komunitas melaporkan kinerja dari suatu kawasan hutan rakyat kepada lembaga sertifikasi yang diakreditasi LEI, berdasarkan penilaian sebelumnya yang dilakukannya guna memperoleh sertifikasi yang menggunakan standar PHBM LEI. Laporan penilaian itu diverifikasi oleh satu panel ahli yang ditunjuk oleh suatu lembaga sertifikasi, dan bisa juga diselingi oleh satu kunjungan singkat ke lapangan. Skema ini dikembangkan untuk menghemat biaya bagi masyarakat yang berminat untuk sertifikasi dan menawarkan peranan penting terhadap para promotor Hutan Rakyat di Indonesia. Hingga Januari 2008, 1.046.098 Ha hutan produksi telah disertifikasi oleh LEI di Indonesia (Lihat Gambar 2). Lima dari sebelas sertifikat yang dikeluarkan LEI diberikan untuk kawasan hutan yang dikelola masyarakat. Sertifikat PHBM LEI akan dievaluasi secara periodik dan berlaku antara 10 hingga 15 tahun. Hanya satu perusahaan (PT. Uniseraya, Riau) yang menerima sertifikasi LEI Lacak-Balak (CoC) hingga Januari 2008, namun beberapa industri kecil rumah-tangga saat ini sedang mempersiapkan diri untuk sertifikasi CoC LEI. LEI sendiri berharap agar logonya akan segera diakui di pasar internasinal.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

27

Dokumen yang telah lama dinantikan: Sertifikat Sertifikasi LEI bagi Kelompok Tani Wono Lestari Makmur.

3.2. Skema sertifikasi SLIMF FSC


The Forest Stewardship Council (FSC) adalah organisasi nirlaba internasional yang mengajak bersama-sama mencari pemecahan tentang bagaimana mempromosikan tanggung-jawab mengurus hutan dunia secara berkelanjutan. Bidang-bidang penting yang digarapnya ialah konsultasi pengembangan standar-standar sertifikasi hutan, memberikan akreditasi kepada lembaga-lembaga sertifikasi independen, pengelolaan tata perdagangan dan produk-produk berlabel. Lebih dari 13 tahun, hampir 93 juta Ha di 78 negara di seluruh dunia telah memperoleh sertifikasi menurut standar FSC, dan ribuan produk secara terus-menerus diproduksi menggunakan bahan baku kayu yang telah disertifikasi FSC. FSC beroperasi melalui jaringan kerja lembaga-lembaga berinisiatif sertifikasi di berbagai negara dan telah mengakreditasi 18 lembaga sertifikasi di seluruh dunia. Menurut data FSC sendiri, sertifikat FSC telah diberikan oleh lembagalembaga sertifikasi (certifier) kepada unit-unit usaha yang dikelola oleh

28

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

komunitas di 31 negara. Beberapa dari kawasan yang disertifikasi itu mayoritas adalah area-area yang sempit, kendatipun, mencakup luasan beberapa ribu hektar. Di Brazil, Guatemala, Mexico, Rusia dan AS, kawasan Hutan Rakyat tadi meliputi areal yang sangat luas (masing-masing diatas 150.000 Ha). Hingga Januari 2008, 13 % dari jumlah keseluruhan sertifikasi pengelolaan hutan FSC telah diberikan kepada masyarakat, jumlahnya hingga 4 % dari total kawasan yang disertifikasi oleh FSC.26 FSC dan LEI telah bekerja sama sejak tahun 1998. Kerjasama tersebut dituangkan dalam satu Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani oleh kedua organisasi tadi. Ditambah lagi, tiga Protokol Sertifikasi Bersama juga ditandatangani oleh lembagalembaga sertifikasi mereka yang beroperasi di Indonesia.27 Bagaimanapun juga, belum satu pun dari seluruh protokol tersebut mencakup prosedur bersama untuk kawasan hutan rakyat. Sepanjang akhir tahun 1990-an, sejumlah ahli dan pendukung mengakui bahwa standar sertifikasi FSC menghadapi beberapa kendala ketika diterapkan pada unit-unit usaha komunitas atau swasta berskala kecil. Beberapa persyaratan terbukti tidak relevan, tidak cocok, atau sama sekali tidak layak.28 Setelah isu-isu ini didiskusikan secara mendalam, pada tahun 2003 Dewan FSC mengeluarkan kebijakan yang mengijinkan lembaga sertifikasinya untuk mengidentifikasi unit-unit usaha yang memenuhi syarat untuk dinilai dan dimonitor menggunakan prosedur FSC yang lebih ramping yang secara khusus dirancang guna mengurangi biaya sertifikasi FSC. Kebijakan ini termasuk penyederhanaan prosedur penilaian dan pengurangan beberapa Kriteria dan Indikator yang diterapkan.29 FSC menciptakan istilah Hutan-hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah dan Berskala Kecil (Small and Low Intensity Managed Forests

26 27

Lihat http://www.fsc.org/keepout/en/content_areas/92/1/files/2008_01_10_FSC_Certified_Forests.pdf

Proses kolaborasi dimulai ketika diadakan pertemuan antara Badan Pengawas LEI dengan pihak FSC di Roma (LEI 1998). Sejak itu, beberapa perjanjian kerjasama telah ditandatangani, antara lain pada bulan Desember 2005 (LEI/FSC 2005). Protokol Sertifikasi Bersama (merujuk pada LEI/FSC 2000; LEI/FSC 2001 dan LEI/FSC 2003), yang mengatur prosedur bersama tentang sertifikasi hutan alam produksi, termasuk dalam perjanjian Desember 2005.
28 29

Nussbaum et al. (2000). FSC-POL-20-101, November 2003.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

29

- SLIMF).30 Hutan-hutan berukuran kecil (hutan tanaman dan nonhutan tanaman) ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1.000 Ha (dengan kemungkinan pengurangan kurang dari ukuran rata-rata nasional). Pada Hutan-hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah, nilai tebangan harus dibawah 20% dari nilai rata-rata kenaikan tambahan (riap) tahunan dari keseluruhan produksi unit usaha di kawasan hutan tersebut, dengan total tebangan setahun dari kawasan hutan tadi tidak lebih dari 5.000 m3. Pengelompokan sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok adalah Hutan Kecil atau Hutan-hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah. Hingga Januari 2008, 702.762 hektar hutan produksi telah disertifikasi oleh FSC di Indonesia (Lihat Gambar 2). Hanya satu dari enam sertifikasi pengelolaan hutan yang dikeluarkan oleh FSC diberikan bagi hutan yang dikelola komunitas. Sertifikasi SLIMF FSC berlaku selama 5 tahun dan harus diperiksa ulang setelah jangka waktu itu. 64 perusahaan industri kehutanan telah memperoleh Sertifikat Lacak-Balak (CoC) FSC di Indonesia.

3.3. Kawasan-kawasan hutan rakyat yang telah disertifikasi


Sejak Oktober 2004 hingga November 2007, LEI dan FSC telah mengeluarkan enam sertifikat hutan rakyat di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, seluruhnya merupakan kawasan hutan tanaman jati berskala kecil yang ditanam di tanah-tanah pribadi oleh penduduk setempat semenjak beberapa dekade yang lalu. Dalam beberapa kasus, tegakan jati disisipi dengan mahoni dan akasia. Seluruh proses sertifikasi atas lahan-lahan ini didukung oleh donor melalui keterlibatan para promotor yang terdiri dari LSM lokal dan organisasi-organisasi sektor swasta (TFT). Sebagian besar area dikelola secara ekstensif dan kecuali dua area, selainnya rerata berluasan kurang dari 1.000 hektar. Tabel 2 berikut menyajikan rinciannya.

30 FSC-POL-20-100, November 2003. Kebijakan ini menyebutkan kriteria umum untuk mengindentifikasi unit-unit usaha yang memenuhi syarat dalam penerapan prosedur SLIMF.

30

PT Diamond Raya Timber Kabupaten Rokan Hilir Pekanbaru, Riau Disertifikasi FSC/LEI PT Uniseraya Bengkalis, Riau Disertifikasi oleh FSC/LEI PT Riau Andalan Pulp and Paper Kawasan konsesi bersertifikasi: Pangkalan Kerinci, Riau Disertifikasi oleh LEI PT Erna Djuliawati Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah Disertifikasi oleh FSC/LEI PT Sari Bumi Kusuma (Alas Kusuma Group) Kabupaten Seruyan Hulu Kalimantan Tengah Disertifikasi oleh FSC/LEI PT Intraca Wood Manufacturing Kabupaten Bulungan dan Malinau Kalimantan Timur Disertifikasi oleh FSC/LEI PT Sumalindo Lestari Jaya Unit II Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur Disertifikasi oleh FSC/LEI

Tarakan

KALIMANTAN TIMUR
Pekanbaru

RIAU Samarinda Balikpapan

KALIMANTAN TENGAH
Palangkaraya

Banjarmasin

SULAWESI TENGGARA
Kendari

Makasar Makasar

Semarang JAWA TENGAH Solo Wonogiri YOGYAKARTA

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Koperasi Wana Manunggal Lestari (terdiri dari 3 desa bersertifikat di Kabupaten Gunung Kidul: Kedung Keris, Dengok dan Girisekar) Yogyakarta Disertifikasi oleh LEI

Dua unit Hutan Kerakyatan di Desa-desa Sumberrejo dan Selopuro Wonogiri Jawa Tengah Disertifikasi oleh LEI

Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur Giri Manunggal Wonoboyo, Wonogiri Jawa Tengah Disertifikasi oleh LEI

Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari Makmur Wonoboyo, Wonogiri Jawa Tengah Disertifikasi oleh LEI

Koperasi Hutan Jati Lestari Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Disertifikasi oleh FSC

Gambar 2: Tinjauan terhadap lokasi-lokasi unit-unit pengelolaan hutan bersertifikasi FSC dan LEI di Indonesia.

Tabel 2: Kawasan hutan rakyat di Indonesia (per Januari 2008)

No Nama Unit Usaha

1 2

Hutan rakyat yang dimiliki oleh Desa Sumberejo dan Desa Selopuro di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Mulai ikut sertifikasi sejak Oktober 2004 (masa berlaku hingga Oktober 2019) 815.18 ha (3 desa memperoleh satu sertifikat) Promotor dan penjamin: Persepsi

Ukuran dan Masa Berlaku Sertifikat 809.95 ha (2 desa masing-masing memperoleh satu sertifikat)

Lembaga Sertifikasi dan Promotor PT Mutu Agung Lestari berpedoman pada skema PHBM LEI

Koperasi Wana Manunggal Lestari, Kabupaten Gunung Kidul, Jawa Tengah

Jenis Tanaman Utama Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia mahogany), Acacia auriculiformis, Trembesi (Samanea saman) Jati, Mahoni, Acacia mangium PT TUV International Indonesia berpedoman pada skema PHBM LEI Promotor: ARuPA, SHOREA, PKHR

(Mencakup tiga desa yang disertifikasi, yakni Desa Kedung Keris, Desa Dengok Disertifikasi pada tanggal 20 dan Desa Giri Sekar di Kabupaten Gunung September, 2006 (berlaku Kidul) hingga September 2021) 159 ha hutan tanaman berskala kecil di 12 desa memperoleh satu sertifikat. 657 ha telah disertifikasi hingga tahun 2007. Jati

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), Kabupaten Konawe Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara

SmartWood SW/FM/ COC-1511, berpedoman pada skema SLIMF FSC Promotor dan Pendukung: TFT dan JAUH

(Semula hanya terdiri 12 desa, kini mencakup 25 desa di Kabupaten Konawe Selatan)

31

Disertifikasi pada tanggal 20 Mei, 2005 (masa berlaku hingga Mei 2010)

32

No Nama Unit Usaha

Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari Makmur, Kecamatan Weru, Jawa Tengah Disetifikasi pada tanggal 5 Maret, 2007 (masa berlaku hingga Maret 2022) 2434.24 ha (empat desa memperoleh satu sertifikat) Jati, Acacia Promotor and Penjamin: Persepsi

Ukuran dan Masa Berlaku Sertifikat 1179 ha (4 desa memperoleh satu sertifikat)

Jenis Tanaman Utama Jati, Mahoni, Acacia mangium, Sengon (Albazia falcataria)

Lembaga Sertifikasi dan Promotor PT Mutu Agung Lestari berpedoman pada skema PHBM LEI

(Meliputi empat desa yaitu Desa-desa Ngreco, Karangmojo, Jatingarang dan Alasombo di Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo) Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat, Catur Giri Manunggal, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah

PT Mutu Agung Lestari berpedoman pada skema PHBM LEI Promotor dan Penjamin: Persepsi

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Disertifikasi pada bulan April (Meliputi empat desa ialah desa-desa 2007 (masa berlaku hingga Tirtosuworo, Guwotirto, Sejati dan Girikikis April 2022) di Kecamatan Giriwoyo)

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

33

3.4 kawasan hutan rakyat yang sedang dipersiapkan


Satu kawasan Hutan Rakyat lainnya di Indonesia saat ini sedang dipersiapkan untuk sertifikasi PHBM. Perbedaan utama antara yang ini dengan unit-unit yang telah disertifikasi adalah bahwa pemerintahan setempat lebih dilibatkan secara aktif di dalam proses dan bahkan mulai ikut mempromosikan sendiri sertifikasi PHBM, seperti misalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan juga di Aceh. Perbedaan lainnya ialah bahwa sertifikasi yang sekarang sedang disiapkan itu adalah untuk hutan-hutan alam; satu daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok masyarakat madani. Lebih-lebih lagi, makin banyak kawasan yang dipertimbangkan untuk diajukan guna disertifikasi menurut skema SLIMF FSC. Rincian lebih lanjut tercantum dalam Tabel 3.

Table 3: Kawasan-kawasan di Indonesia yang saat ini sedang dipersiapkan untuk sertifikasi hutan rakyat
Promotor Jenis Hutan dan Tanaman Status Skema yang diajukan SLIMF FSC SLIMF FSC Lembaga kemasyarakatan telah berdiri Lembaga kemasyarakatan telah berdiri Titik awal: penilaian HCVF n.a.

34

No Lokasi

Gombong (Jawa Tengah) Probolinggo (Jawa Timur) PHBM LEI n.a. SLIMF FSC n.a. SLIMF FSC

3 Greenpeace Telapak

Merauke (Papua Barat)

TFT Poetry Barn PT Kutai Timber Indonesia dan Aksenta (konsultan) WWF Indonesia

Hutan tanaman Mahoni Hutan tanaman Sengon (Albizia)

Sarmi, Jaya-pura (Papua) Sorong (Papua Barat)

Aceh

KEMAJUAN SERTIFIKASI SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Sragen (Jawa Tengah)

Hutan Alam Campuran Hutan Alam Campuran Hutan Alam Campuran Hutan Alam Campuran Hutan tanaman Jati SLIMF FSC PHBM LEI

Jawa Timur

Gunung Kidul (Jawa Tengah)

Pemerintah, FFI, Telapak Persepsi Pemerintah Daerah Industri perkayuan Pemerintah Daerah, Persepsi Pemerintah Daerah (POKJA HR), PKHR (UGM), Shorea, ARUPA Hutan tanaman Jati Hutan tanaman Jati

Lembaga kemasyarakatan sedang dalam persiapan Lembaga kemasyarakatan telah berdiri Target: Tersertifikasi sebelum akhir 2008 (9 bulan penyiapan lahan/ hutan) Persiapan dilakukan pada beberapa lokasi Perluasan sertifikasi yang ada saat ini dan program selanjutnya untuk desadesa di Gunung Kidul (dibina oleh Pemerintah Daerah)

No Lokasi TFT, PT Dipantara Hutan tanaman Jati Hutan Alam PHBM LEI SLIMF FSC Hutan tanaman Jati

Promotor

Jenis Hutan dan Tanaman Status

10 Gunung Kidul (Jawa Tengah)

Skema yang diajukan SLIMF FSC

11 Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara)

Koperasi KHJL TFT Jauh 12 Sungai Utik, Kapuas AMAN (Aliansi Masyarakat Hulu (Kalimantan Barat) Adat Nusantara), PPSDAK, PPSHK

MoU ditandatangani oleh PT Dipantara, lokasi kerja belum ditetapkan Perluasan sertifikasi yang ada saat ini dan sedang dikerjakan atas dukungan TFT Disertifikasi pada bulan Maret 200831

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEMAJUAN SERTIFIKASI

31

35

Ketika studi ini dilakukan, satu hutan kemasyarakatan yang dikelola oleh sekelompok masyarakat adat di Sungai Utik, Kalimantan Barat sedang disiapkan untuk proses sertifikasi berdasarkan skema LEI. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) merupakan promotor penting proyek sertifikasi hutan Sungai Utik. Hutan itu sendiri disertifikasi pada bulan March 2008. Hutan Sungai Utik berlokasi di desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu di propinsi Kalimantan Barat. Penduduk di kawasan itu adalah suku Dayak Iban. Luas kawasan 9,453.40 ha telah disertifikasi oleh PT Mutu Agung Lestari (MAL) diikuti dengan skema penjaminan. Penjamin terdiri dari AMAN, PPSDAK and PPSHK.

4. Uraian Rinci tentang Kawasan Hutan Rakyat Bersertikat di Indonesia

4.1. Tinjauan terhadap isu-isu yang teridentifikasi pada kawasan hutan rakyat yang disertifikasi
Studi yang telah dilakukan ini bertujuan untuk memahami alam, prosesprosesnya dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kehutanan bersertifikat. Tabel 4 dan Gambar 3 menunjukkan suatu tinjauan singkat dari kunjungan ke beberapa lokasi di Jawa Tengah (Kabupaten-kebupaten Gunung Kidul, Wonogiri dan Sukoharjo) dan ke Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan) yang persoalan-persoalannya telah dibahas sebelumnya. Tabel ini dapat digunakan sebagai referensi bagi pembaca dan melengkapi hasil-hasil studi yang disajikan dalam bagian 4.2 4.9. Lampiran 3A-E menyajikan penjelasan lebih terinci mengenai masingmasing kawasan yang dikunjungi.

4.2. Asal-usul Kawasan yang Disertifikasi


Hutan rakyat di Indonesia amat bervariasi baik dalam istilah maupun komposisi hutannya. Beberapa area terdiri dari hutan-hutan alam; yang lain tampak sebagai hutan tanaman skala industri sangat kecil yang acapkali dikembangkan di tanah tandus dan terlantar. Yang lain lagi tergolong dari ragam jenis agroforestri. Hutan-hutan rakyat yang disertifikasi nampaknya merupakan campuran antara hutan tanaman dimiliki oleh petani kecil dan

Tabel 4: Uraian tentang kawasan-kawasan hutan rakyat yang telah dikunjungi dan diamati berdasarkan hasil bahasan isu-isu yang muncul

38

Isu-isu

Alasan keikutsertaan

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Diharapkan memperoleh sertifikasi hutan Promotor sertifikasi

Peran organisasi promotor

Unit-unit Pengelolaan Hutan Bersertifikat Perkumpulan Gabungan Organisasi Sumberejo and Pelestari Koperasi Wana Pelestari Hutan Rakyat Selopuro Koperasi Hutan Hutan Rakyat Manunggal Lestari (GOPHR) Wono Lestari (Kabupaten Jaya Lestari (KHJL) Catur (Kecamatan (Kabupaten Makmur (Kecamatan Wonogiri); dua (Kabupaten Konawe Giriwoyo, Gunung Kidul) Weru, Kabupaten sertifikat Selatan) Kabupaten Sukoharjo) Wonogiri) Program penghutanan kembali oleh Program Tahap awal: Program penghutanan kembali; konservasi air; pembatasan pemanfaatan World Food Program di hutan negara penghutanan komersil Wonogiri, dimana petani mendapat kembali, beberapa perluasan lahan mereka. Dilanjutkan kepentingan komersil oleh program Pemerintah. Kepentingan oleh petani utama komersial dibatasi (fokus: konservasi air). Harga premium dijanjikan oleh LSM-LSM pendukung; para petani utama meyakini manfaat Akses ke pasar level dari pembentukan kelompok petani pada tingkat yang lebih tinggi (fokus bukan hanya soal lebih tinggi, koperasi hutan) telah dibentuk LSM (PERSEPSI) LSM (PERSEPSI) LSM-LSM (PERSEPSI, Sektor swasta (TFT) LSM-LSM (ARuPA, Shorea); Gadjah WWF) dan LEI LSM (JAUH) Mada University (PKHR); Kabupaten Gunung Kidul Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari Teknis, finansial dan dukungan organisasional. Dukungan pasar diberikan setelah sertifikasi Teknis, organisasional, hutan diperoleh finansial dan dukungan kuat untuk pemasaran

Isu-isu

Koperasi Wana Manunggal Lestari (Kabupaten Gunung Kidul) Telah terbentuk sebelum proses sertifikasi (Sebagian telah dibentuk sejak tahun 1950an) Telah terbentuk sebelum proses sertifikasi

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) (Kabupaten Konawe Selatan)

Pembentukan kelompokkelompok petani tingkat desa

Dirancangkan lembaga baru di tingkat yang lebih tinggi (misalnya pembentukan koperasi)

Koperasi Wana Manunggal Lestari didirikan di tingkat kabupaten pada tahun 2006

Unit-unit Pengelolaan Hutan Bersertifikat Perkumpulan Gabungan Organisasi Sumberejo and Pelestari Pelestari Hutan Rakyat Selopuro Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari (Kabupaten Catur (Kecamatan Makmur (Kecamatan Wonogiri); dua Giriwoyo, Weru, Kabupaten sertifikat Kabupaten Sukoharjo) Wonogiri) Telah terbentuk Telah terbentuk Organisasi Pengelola Hutan Rakyat (OPHR) sebelum proses sebelum proses didirikan tahun 2004 sertifikasi (didirikan sertifikasi; tahun 1985) Komunitas Petani Sertifikasi didirikan di tingkat dusun pada tahun 2004 GOPHR didirikan di Perkumpulan Tidak ada (kelompok petani tingkat kecamatanpada Pelestari Hutan menyimpan tahun 2004 Rakyat dan Gabungan Pelestari sertifikat). Hutan Rakyat didirikan di tingkat kecamatan pada tahun 2006 Koperasi KHJL dan Lembaga Komunikasi Antar Kelompok didirikan di tingkat kecamatan pada tahun 2004 (telah ada sebelum disertifikasi)

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

Perbaikan dalam administrasi kehutanan

39

40

Isu-isu

Koperasi Wana Manunggal Lestari (Kabupaten Gunung Kidul) Terbatas Ketat

Unit-unit Pengelolaan Hutan Bersertifikat Perkumpulan Gabungan Organisasi Sumberejo and Pelestari Pelestari Hutan Rakyat Selopuro Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari (Kabupaten Catur (Kecamatan Makmur (Kecamatan Wonogiri); dua Giriwoyo, Weru, Kabupaten sertifikat Kabupaten Sukoharjo) Wonogiri) Terbatas Terbatas Terbatas Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) (Kabupaten Konawe Selatan)

Hanya rincian kalkulasi AAC n.a. n.a.

n.a.

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Promoter / pendukung mengontrol pelaksanaan peraturan Pengembangan kelembagaan Inventarisasi sumber daya Pemetaan partisipatoris Perencanaan manajemen terpadu Operasional Lacak-Balak Telah dibuatkan CoC, akan operasional pada tahun 2008 Telah dibuatkan CoC, namun belum operasional Telah dibuatkan CoC, namun belum operasional Telah dibuatkan CoC, namun belum operasional

Isu-isu

Koperasi Wana Manunggal Lestari (Kabupaten Gunung Kidul) Ditanggung sepenuhnya oleh donor melalui LSM Tidak ada

Unit-unit Pengelolaan Hutan Bersertifikat Perkumpulan Gabungan Organisasi Sumberejo and Pelestari Pelestari Hutan Rakyat Selopuro Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari (Kabupaten Catur (Kecamatan Makmur (Kecamatan Wonogiri); dua Giriwoyo, Weru, Kabupaten sertifikat Kabupaten Sukoharjo) Wonogiri) Ditanggung Ditanggung Ditanggung sepenuhnya oleh donor sepenuhnya oleh sepenuhnya oleh melalui LSM donor melalui LSM donor melalui LSM Tidak ada Tidak ada Tidak ada Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) (Kabupaten Konawe Selatan)

Dukungan finansial (biayabiaya sertifikasi) Dukungan finansial (biaya kerjasama) Sistem sertifikasi Produksi per bulan LEI n.a. LEI n.a. 2000/2004 September 2006 (6 dan 2 tahun) April 2007 (1 tahun) April 2007 (1 tahun) 2006 LEI 15-20 m3/ bulan namun tidak menentu 2006 LEI 3-7 (max. 30) m3/bulan namun tidak pasti 2001 Oktober 2004 (4 tahun)

Ditanggung sepenuhnya oleh sektor swasta Pinjaman diberikan untuk pembentukan dana bergulir FSC 20-30 m3/bulan persegi gelondongan (terus-terusan) 2003/2004 Mei 2005 (kurang dari 2 tahun)

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

Mulai persiapan untuk sertifikasi Tanggal sertifikasi (lama persiapannya)

41

42

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

INDONESIA

SULAWESI TENGGARA
Kendari

Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah

Kabupaten Konawe Selatan

Semarang

JAWA TENGAH YOGYAKARTA

Solo Sukoharjo Wonogiri

Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta

Kabupaten Imogiri Propinsi Jawa Tengah

Gambar 3: Peta lokasi proyek (Area merah)

agroforest, yang secara luas terbagi-bagi dan telah dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan penanaman pohon. Kabupaten Wonogiri dan Gunung Kidul dan Kecamatan Weru berkontur bebukitan, didominasi oleh batu kapur dengan lapisan tipis tanah dan kondisinya sangat tidak subur untuk ditanami tanaman keras.32 Pada awal tahun 1970-an, Wonogiri terkenal sebagai kantong kemiskinan di wilayah ini. Produktivitas tanaman pangannya menurun dan sangat sulit bagi penduduk setempat untuk memperoleh air di sekitar desa mereka. Kayu bakar juga langka. Hal ini mendorong tingginya tingkat migrasi musiman (yang istilah lokalnya mboro) di antara para penduduk pria. Selama periode itu, Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk membuat program menghutankan kembali dan penanaman hutan di beberapa desa di Jawa. Dalam rangka menciptakan gerakan masal, para petani diberi insentif misalnya subsidi bibit dan disediakan pelatihan tentang penanaman pohon

32 Tanah-tanah kritis mulai bermunculan sejak tahun 1930-an. Dalam pertengahan abad ke-19 wilayah Wonogiri (khususnya Sumberejo dan Selopuro) masih memiliki tanah subur dan petani menggunakannya untuk bercocok-tanam dengan memakai sapi untuk membajak. Lihat WWF dan PERSEPSI (2004).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

43

Ucapan Selamat Datang di Desa Tirtosuworo, Wonogiri: Menjadi kawasan bersertifikat merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat, suatu pengakuan atas kapasitas pengelolaan dari para warga desanya.

dan konstruksi teras-teras. Pemerintah daerah menerapkan program ini melalui Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah. Pada tahun 1984, Menteri Kehutanan memperluas program penanaman hutan tadi dengan mempromosikan hutan rakyat melalui berbagai kegiatan termasuk subsidi benih, mengadakan plot demonstrasi, membangun hutan-hutan bibit desa dan menyediakan pelatihan bagi kelompok-kelompok tani. Di beberapa wilayah, termasuk sebagian Wonogiri, re-inisiatif program penanaman diambil alih oleh Pemerintah Pusat sepanjang tahun 1990-an. Pada desa-desa tersertifikasi di Jawa, penghutanan dimulai di beberapa lokasi bahkan sebelum pemerintah mengeluarkan program penghutanan; diinisiatifi oleh kepala desa di Wonogiri pada tahun 1964 dan di Sumberejo pada tahun 1967.33 Sepanjang tahun 1970-an, masyarakat setempat di seluruh kawasan hutan rakyat tersertifikasi mulai menghutankan lahanlahan mereka menggunakan benih-benih yang disediakan dari program
33

WWF and PERSEPSI (2004), Ichwandi et al. (2007).

44

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Potongan-potongan kayu jati balok dari Konawe Selatan: Siap dikirim ke Jawa.

reforestasi oleh Pemerintah. Jenis spesies yang ditanam meliputi akasia, jati, mahoni dan sengon (Albazia falcataria). Masyarakat di Gunung Kidul dan kemudian juga Wonogiri memulai kegiatan reforestasi mereka melalui partisipasi langsung dalam program reforestasi yang diselenggarakan pemerintah. Pohon-pohon biasanya ditanam dengan harapan akan menyuburkan tanah dan mengatasi kesulitan air. Di Kecamatan Weru di Sukoharjo para petani bekerja sebagai buruh pada program reforestasi di tanah-tanah negara yang dilaksanakan oleh perusahaan kehutanan milik negara Perum Perhutani. Beberapa petani membawa kelebihan benih ke rumah mereka dan mulai menanam pohon di tanah mereka masingmasing. Karena hasilnya menggembirakan lantas ditiru oleh para petani yang lainnya. Program internasional juga mendukung reforestasi. Di Wonogiri, misalnya, Program Pangan Dunia berinisiatif melakukan kampanye penanaman hutan di tanah-tanah negara pada tahun 1973. Lahan-lahan kering

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

45

dan tepi-tepi batas tanah pertanian ditanami dengan jati dan mahoni. Program ini juga memperkenalkan spesies Acacia auriculiformis. Penduduk setempat dilibatkan sebagai pekerja di hutan-hutan bibit dan selama proses penanaman.34 Kontur lahan di Konawe Selatan relatif bagus; terdiri dari sedikit lereng dan tanahnya lebih subur jika dibandingkan dengan kawasan tersertifikasi di Jawa. Para petani sering menanam padi gogo dan tanaman lain, dan di beberapa tempat bahkan ditanam padi sawah di petak-petak kosong di sela-sela hutan. Pada tahun 1969, dengan dana dari pemerintah pusat, pemerintah daerah berkomitmen untuk memperluas hutan-hutan tanaman jati di tanah negara. Program itu dikembangkan menjadi usaha merehabilitasi hutan secara luas dan terus-menerus hingga tahun 1982. Antara tahun 1982 dan 1999, kegiatan penanaman hutan dikelola dibawah bendera Program Pembangunan Hutan Tanaman Kayu. Sepanjang pelaksanaannya, dinas kehutanan mengajak para petani setempat sebagai pendamping dalam kegiatan penanamannya. Kelebihan bibit diserahkan kepada warga masyarakat untuk mereka gunakan sendiri. Para petani segera memulai kegiatan penanaman hutan sendiri di lahanlahan masyarakat di sekitar hutan-hutan tanaman negara dengan fokus pada plot-plot yang tak diperuntukkan bagi tanaman komoditi seperti coklat, kopi, kacang mete dan padi. Rakyat di Kendari (Sulawesi Tenggara) juga membawa bibit-bibit dari kabupaten-kabupaten Muna dan Buton di Sulawesi Tenggara dan menanam bibit-bibit itu sepanjang tepian batas tanah-tanah mereka. Di beberapa tempat tanaman liar juga dipilih dan ditanam di lahan-lahan komunal. Di seluruh kawasan hutan rakyat yang dikunjungi kegiatan penanaman dimulai pada awalnya dilakukan sepanjang tepian batas tanah pertanian sebagaimana juga di sepanjang tepi jalan kecil di bukit-bukit. Belakangan ini, sebagai hasil dari inisiatif petani sendiri, petak-petak lahan yang konturnya sesuai di Wonogiri, Weru, Gunung Kidul dan Konawe Selatan telah terselimuti kerindangan pohon. Kualitas lingkungan telah mengalami perbaikan, khususnya di desa-desa tersertifikasi di Jawa, dimana penduduk
34 Hingga saat ini akasia menjadi spesies tanaman keras yang penting di tanah-tanah masyarakat di Selopuro dan Sumberejo. Kendati demikian, petani berangsur-angsur menguranginya dan mengganti aksia mereka dengan jati dan mahoni.

46

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

setempat saat ini tidak lagi mengalami kesulitan memperoleh air bersih semenjak sumber-sumber air bermunculan lagi dan kualitas air menjadi lebih baik. Seluruh kabupaten yang dikunjungi masih memiliki lahanlahan yang cocok untuk dihutankan lagi. Para petani bertekad akan melanjutkan menanam pohon dan memperlihatkan minat mereka pada program Hutan Tanaman Rakyat baru-baru ini (lihat bagian 2.3). Pada mulanya pertimbangan ekonomi bukan kekuatan utama yang mendorong kegiatan-kegiatan reforestasi dan aforestasi di tingkat lokal ini; penebangan dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhankebutuhan setempat. Faktor-faktor pendorong kunci yang mendasari kegiatan-kegiatan penanaman tadi adalah rehabilitasi lahan, konservasi air dan pemanfaatan lahan-lahan tandus. Dengan terus meningkatnya harga kayu jati di Jawa sepanjang akhir tahun 1990-an, para pengolah kayu jati di pulau ini mulai melirik sumber-sumber kayu jati selain yang dihasilkan oleh Perhutani, dan dalam beberapa kasus bahkan berada di luar Jawa. Di Sulawesi, naiknya nilai komersil kayu jati tidak hanya memotivasi petani untuk memperluas hutan tanaman jati mereka, namun juga mempelajari sistem bisnis baru di bidang perkayuan ini. Masing-masing kelompok masyarakat di Kendari, Muna dan Konawe Selatan mulai menjual kayu tegakan mereka kepada perantara, yang kemudian menebang dan mengirim gelondongannya kepada pembeli non-lokal. Para pembeli ini kemudian akan menjual lagi kayu-kayu gelondongan itu kepada pengolah-pengolah kayu di Jawa atau tempat-tempat lain. Yang terjadi di Jawa sendiri, para petani menjual pohon-pohon mereka kepada pedagang setempat, yang akan menebang dan menjualnya sebagai gelondongan kepada perusahaan-perusahaan mebel di sekitarnya (di sekitar Yogyakarta) atau kepada perusahaan perkayuan yang lebih besar. Dengan demikian, tingkat harga di petani tetap saja rendah, dan sebagian besar keuntungan dilipatgandakan dalam mata rantai perdagangannya. Para petani di lokasi hutan rakyat yang dikunjungi mengurutkan peluang pendapatan mereka dengan urut-urutan dari tanaman pangan, ke peternakan dan akhirnya pada tanaman keras yang mereka tanam, bahkan kendatipun mereka memiliki tegakan kayu di hutan yang luas. Para petani pada umumnya memperlihatkan minat yang terbatas

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

47

untuk menebang dan lebih suka menebang menurut apa yang dikenal sebagai filsafat tebang butuh (Saya menebang pohon hanya ketika saya punya kebutuhan mendadak yang jumlahnya cukup besar misalnya pada saat memperbaiki rumah atau membiayai sekolah anak). Mereka memperlakukan hutan mereka semacam tempat menabung jangka panjang yang dapat menyediakan uang tunai sewaktu-waktu. Dari wawancara-wawancara tampak bahwa minat untuk menjual dengan harga yang setinggi mungkin kini menjadi faktor pendorong utama bagi petani untuk terus-menerus menanam jati dan jenis kayu lainnya yang berharga. Di Konawe Selatan khususnya, para petani menaruh perhatian yang layak atas nilai hutan-hutan mereka, dan menganggap nilai tersebut akan makin meningkat jika disertifikasi.35

4.3. Promotor Sertifikasi Hutan


Tak satu petani pun di lokasi tersertifikasi yang berminat untuk sertifikasi dan prosedur-prosedur terkaitnya atas kemauan mereka sendiri; mereka mengetahui konsep-konsep itu karena diperkenalkan oleh kelompokkelompok masyarakat madani, dan di Konawe Selatan khususnya, oleh satu kombinasi dari kolaborasi sektor swasta/LSM. Organisasi-organisasi ini bertindak sebagai promotor dan fasilitator pengembangan masyarakat. Secara prinsip, empat pendekatan berbeda digunakan untuk mempromosikan sertifikasi atas lahan-lahan masyarakat di Indonesia: (1) Pendekatan LSM-donor (2) Pendekatan LSM-sektor swasta (3) Pendekatan LSM-pemerintah daerah (4) Pendekatan sektor swasta Pendekatan LSM-donor diterapkan pada semua kawasan hutan rakyat di Jawa. LSM PERSEPSI Indonesia, misalnya, memperkenalkan konsep sertifikasi hutan kepada sekelompok tokoh kunci di desa-desa di Kabupaten Wonogiri. PERSEPSI telah melakukan fasilitasi kepada masyarakat
35 Sebagaimana seorang petani mengemukakan: Bukan lagi peduli pada paru-paru dunia, tetapi kayu jati baik dan menguntungkan.

48

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

di kawasan Wonogiri sejak 1998 dengan fokus pada pengembangan masyarakat. LSM ini mulai mempersiapkan tiga lokasi sertifikasi antara tahun 2001 dan 2006.36 PERSEPSI menargetkan dua tujuan utama: (1) memprakarsai dan mengembangkan pengelolaan hutan rakyat secara berkelanjutan, dan (2) memfasilitasi jaringan perdagangan kayu antara kawasan hutan rakyat, dunia industri dan pasar global dalam rangka meningkatkan harga-harga di tingkat petani. PKHR, Shorea dan AruPA memperkenalkan konsep sertifikasi PHBM di Kabupaten Gunung Kidul. Pada tahun 2001, Pusat Kajian Hutan Rakyat (PHKR) dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta mulai memfasilitasi satu program pengelolaan hutan rakyat di desa Kedung Keris. Pada tahun 2001, PHKR mendukung inventarisasi tanaman keras dan pemetaan sumber daya hutan, membantu kelompok tani hutan rakyat Paguyuban Kelompok Tani Hutan Rakyat (PKTHR) Margo Mulyo. Pada tahun 2004, LSM Shorea mulai memfasilitasi proses sertifikasi di Desa Dengok, dan pada tahun yang sama AruPA mengawali kiprahnya di Desa Giri Sekar. Seluruh LSM itu peduli pada pengembangan masyarakat, dan mengakui peran penting yang dimainkan oleh sektor kehutanan.37 Minat pada sertifikasi hutan berkembang bersamaan dengan prosesnya, sehingga dipahami bahwa hal itu merupakan satu cara untuk memperoleh pengakuan pasar atas usaha-usaha yang dilakukan masyarakat. Pada tahun 2006, tiga desa membuat koperasi tingkat kabupaten yang dinamakan Wana Manunggal Lestari dan memungut biaya atas semua aspek perdagangan kayu di tiga desa yang bersangkutan. Koperasi itu memperoleh sertifikasi LEI yang diterbitkan pada tahun yang sama. Para fasilitator berhasil melaksanakan kerjasama dengan pemerintah daerah, yang selanjutnya membentuk kelompok kerja hutan rakyat tingkat kabupaten (lihat Gambar 4).

PERSEPSI tertarik pada bidang sertifikasi perhutanan dan hutan rakyat karena kontribusinya yang signifikan pada income kabupaten: Wonogiri menghasilkan sekitar 238.000 m3 kayu antara tahun 1995 dan 1999 (terutama jati dan mahoni), produksi meningkat rata-rata per tahun 70.000 m3 dalam tahun 2004 (PERSEPSI, 2004). 37 Shorea dan AruPA pada awalnya lebih memfokus pada kajian-kajian untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kurang memperhatikan aspek-aspek silvikultur dan manajerial, hal yang didukung sepenuhnya oleh tim PKHR.

36

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

49

JAUH

Industri

Unit menejemen formal

Pasar
TFT

Dinas Kehutanan (lokal)

Organisasi Donor

= Jangka pendek atau jangka panjang

KOMUNITAS

PERKEBUNAN

Gambar 4: Dari hutan-hutan menuju pasar: Peran koperasi KHJL dalam rantai produksi dan pemasaran dari hutan-hutan rakyat di Konawe Selatan.

Sertifikasi FSC di Konawe Selatan dilakukan dengan pendekatan LSM-sektor swasta. Pendukung utamanya, the Tropical Forest Trust (TFT), mengelola sejumlah dana titipan swasta yang dikutipkan dari para pembeli furnitur dan kayu di seluruh dunia. TFT menyediakan bantuan teknis dan finansial bagi masyarakat dan koperasi KHJL, dan melakukan kerjasama kemitraan dengan LSM lokal JAUH, yang berkonsentrasi pada aspek-aspek kelembagaan, sosial dan pemerintahan yang diperlukan untuk penerapan program sertifikasi FSC SLIMF.38 TFT menyediakan dana bergulir bagi koperasi KHJL dan mempertemukan organisasi para petani dengan para pembeli anggota TFT, sehingga memungkinkan masyarakat memperoleh jaminan atas kontrak-kontrak pertama mereka walau belum memperoleh sertifikasi FSC. Lebih jauh, TFT mengijinkan KHJL untuk menggunakan TFT logo pada kayu-kayu yang dijualnya, dan mengharuskan para pembeli anggota TFT untuk menempelkan tanda TFT (tag) pada produk-produk mereka.39 Selanjutnya, manajemen KHJL harus menanggung risiko personal dan serius pada saat memulai bisnis sertifikasi, yang merupakan beban berat bagi para stafnya.

JAUH telah berkiprah di Konawe Selatan sejak tahun 2003 dan membantu berdirinya KHJL. Proses kebijakan ini tercantum dalam tahapan sistem kontrol kayu TFT untuk bagian-bagian yang harus dipersiapkan menurut skema FSC.
39

38

50

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Tim studi melakukan pertemuan di Kantor KHJL, Konawe Selatan.

Pendekatan LSM-pemerintah daerah masih berlaku di Indonesia, bahkan di Gunung Kidul pendekatan ini merupakan elemen utama dalam prosesnya. Program hutan rakyat di sana dirancang sebagai kerjasama kemitraan antara pemerintah daerah, yang mendirikan kelompok kerja hutan rakyat (POKJA Hutan Rakyat) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul.40 Melalui kelompok ini, pemerintah daerah bertujuan untuk mempromosikan hutan rakyat di kawasannya, dan menargetkan akan mensertifikasi 69 desa lagi, meliputi 15.000 ha dan mencakup total produksi tahunan hingga 40.000 m3 sebagian besar kayu jati.41 Kondisi perkembangan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Aceh sekarang menunjukkan bahwa pendekatan LSM-pemerintah daerah akan makin
40

Kelompok ini dipimpin oleh Kepala Bappeda dan Kepala Dinas Kehutanan. Beberapa kantor dinas, LSM yang ikut mempromosikan dan para wakil Unit Menejeman Hutan yang telah bersertifikat diterima sebagai anggota. 41 Pendanaan masih dibutuhkan guna mengamankannya. AruPA memperkirakan total biaya USD 350.000 untuk penyiapan dan sertifikasi.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

51

populer di Indonesia (lihat bagian 3.4). Pendekatan ini, secara khusus, membolehkan perluasan kawasan hutan rakyat bersertifikat di dalam satu kabupaten dan secara konsekuen membantu memperbaiki posisi pasar dari unit usaha atau desa yang telah memperoleh sertifikat. Terdapat beberapa contoh tentang pendekatan sektor swasta dalam mendukung hutan rakyat di Indonesia. Pendekatan ini mula-mula diterapkan oleh PT Kutai Timber Indonesia (PT KTI) di Probolinggo, Jawa Timur. PT KTI menyewa konsultan untuk membantu perusahaan mempersiapkan sertifikasi hutan rakyat. Dengan skema ini, masyarakat di Probolinggo menanam sengon, yang lantas dibeli PT KTI dan digunakan sebagai bahan pelengkap dalam produk kayu lapisnya. PT Xylo Indah Pratama (PT XIP) juga termasuk dalam kategori yang sama dan menyediakan dukungan langsung bagi masyarakat perhutanan dan sertifikasi PHBM. Para petani dikontrak untuk menanam pulai (Alstonia scholaris dan Alstonia angistoloba), bahan baku untuk pensil prosuksi PT XIP di Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan. PT XIP mengikuti sertifikasi SLIMF FSC pada tahun 2000, namun dibekukan pada tahun 2003 karena, diantara beberapa alasan, adanya inkonsistensi dalam rangkaian Lacak-Balaknya.42 Perusahaan ini memperoleh sertifikatnya lagi pada tahun 2006. Diantara organisasi-organisasi pendukung, dua pendekatan berbeda biasanya digunakan untuk memperkuat kelembagaan masyarakat agar memenuhi persyaratan verifikasi hutan: (1) pembenahan keorganisasian yang terkait dengan pendekatan pengembangan masyarakat, dan (2) pembenahan keorganisasian yang secara langsung terfokus pada persyaratan-persyaratan yang diminta oleh pasar dan sertifikasi. Pendekatan pertama diterapkan di Kecamatan Weru. PERSEPSI mulamula memfasilitasi pendirian kelompok tani tingkat desa, dinamakan Organisasi Pengelola Hutan Rakyat (OPHR). OPHR-OPHR didirikan di desadesa Ngreco, Karangmojo, Alasombo dan Jatingarang. Seluruh warga desa menjadi anggota OPHR, namun yang paling aktif adalah tiga pengelola

42

Muhtaman and Prasetyo (2006).

52

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

OPHR tersebut. Fokus kegiatan awal dari ketiga OPHR itu lebih banyak pada penanaman daripada pengelolaan hutan atau pemasaran. Di tingkat kecamatan, empat OPHR dipersatukan dengan satu payung organisasi dengan nama Gabungan Organisasi Pengelola Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari Makmur.43 GOPHR mewakili OPHR-OPHR di seluruh hutan yang ada, dan memperoleh sertifikat LEI. Misinya adalah melakukan sosialisasi terusmenerus tentang pengelolaan hutan rakyat, menjamin keberlanjutan hutan-hutan desa, mendukung kegiatan-kegiatan penanaman dan meningkatkan jaringan pasar dan harga-harga kayu hutan rakyat. PERSEPSI telah menerapkan konsep yang sama di Kabupaten Wonogiri. Pendekatan kedua dilakukan oleh TFT dan JAUH di Konawe Selatan. TFT, tertarik untuk membangun rantai-suplai yang transparan dan berorientasi pada skema FSC pada para petani jati di Indonesia, mengorganisir kegiatannya ke dalam koperasi yang ada yaitu Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). TFT menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan manajer KHJL yang bertujuan untuk mendukung para anggotanya melakukan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dari luar kelihatannya fokus kegiatan adalah untuk memperoleh sertifikasi FSC agar posisi pasar mereka sejak awal sudah dapat dipastikan. LSM JAUH, yang telah bekerja sama dengan KHJL dan organisasi-organisasi masyarakat di tingkat kecamatan dan desa, ikut bergabung sebagai penandatangan MoU tambahan dengan TFT. Dibandingkan dengan organisasi-organisasi promotor di Jawa, TFT dan JAUH memiliki peran yang lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain, jelas, dukungan pemerintah daerah sama sekali tidak ada. Bahkan lebih buruk lagi, pemerintah daerah menarik pajak dan pungutan tinggi untuk setiap pengapalan/pengiriman, meliputi 17% dari total biaya produksi yang ditanggung koperasi.44 Pada tahun 2007 pemerintah juga menahan pengapalan kayu gelondongan selama beberapa bulan, hal yang mempersulit KHJL untuk bisa dipercaya oleh mitra pasar bagi para pembelinya di Jawa.

43

GOPHR saat ini telah memiliki 5.302 petani anggota, mencakup luasan hutan 1.136 ha (701 ha diantaranya merupakan pekarangan dan 436 ha adalah hutan yang letaknya di bukit-bukit agak jauh dari perkampungan). 44 Menurut data internal TFT total biaya produksi meliputi pembelian kayu-kayu yang ditebang ke petani, biaya transport, pajak, pungutan dan biaya administrasi KHJL.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

53

4.4. Rancangan Kelembagaan


Semua hutan rakyat butuh pengembangan organisasi kemasyarakatan khusus agar memenuhi persyaratan kesukarelaan, disertifikasi oleh pihak ketiga. Pembentukan asosiasi-asosiasi di tingkat yang lebih tinggi bukanlah hal baru di beberapa desa, karena kelompok-kelompok tani sudah terbentuk di beberapa tempat. Di Jawa, kelompok-kelompok tani telah ada semenjak lama. Secara tradisional, bertani tak pernah merupakan aktivitas perorangan; sekelompok orang biasanya bekerja sama secara informal hampir sepanjang waktu dalam mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen tanaman. Pada tiap-tiap tahap dari proses itu mereka juga lazim menyelenggarakan beragam upacara ritual.45 Kendati demikian, pengaruh dari luar dan perubahan di dalam masyarakat petani itu sendiri pelan-pelan telah mentransformasi budaya ini. Di desa Kedung Keris, misalnya, warga Margo Mulyo telah membentuk kelompok tani secara informal sejak tahun 1950-an. Kelompok ini menyusun strategi guna menyediakan jenis tanaman untuk pakan ternak, mengatasi situasi sulit dalam produksi pakan ternak di lahan tandus. Selama tahun 1970-an, ketua kelompok mengarahkan aktivitas kelompoknya pada bidang perhutanan, dengan cara penanaman tanaman semak (populus sp) di pekarangan-pekarangan warga. Pada tahun 1987, kelompok tani secara resmi dibentuk sebagai organisasi tersendiri di tingkat desa, tidak lagi tergantung pada arahan dari para perangkat desa. Promosi yang dilakukan oleh LSM menggunakan jalur kelompok-kelompok tani yang sudah ada sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan cara pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan memperbaiki penghasilan warga di tingkat desa dan kecamatan. Sertifikasi diajukan sebagai pedoman standar, dan konsekuensinya, lembaga-lembaga baru perlu disusun agar sesuai dengan kebutuhan persyaratan sertifikasi PHBM. LSM-LSM yang memfasilitasi menerjemahkan organisasi-organisasi yang dipersyaratkan itu dengan mempromosikan kelompok-kelompok tani di desa dan dusun, dan pada tahap berikutnya, membentuk asosiasi yang
45

Husken (1998).

54

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

memayunginya di tingkat kecamatan dan kabupaten. LSM-LSM mencoba meyakinkan organisasi-organisasi masyarakat tersebut agar secara tegas tanggap-sasmita pada kebutuhan-kebutuhan yang betul-betul mereka rasakan, dan bahwa pembentukan asosiasi payung (koperasi-koperasi) hanya akan dilakukan setelah kelompok-kelompok tersebut sudah dapat membuktikan kemampuannya, atau dinilai telah mampu menangani persoalan-persoalan yang lebih rumit. Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka. Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya; anggota-anggotanya merupakan pembuat-pembuat keputusan penting. Walaupun koperasi-koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram pasar dengan cara penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa. Koperasi merupakan jenis badan usaha yang paling lazim digunakan untuk memperjuangkan kepentingan golongan ekonomi lemah dalam masyarakat dari usaha kecil hingga usaha menengah.46 Selain koperasi, di Indonesia hanya tiga bentuk badan usaha yang dimungkinkan sebagai organisasi bisnis, yakni: Perseroan Terbatas/PT (swasta) Perusahaan Umum/Perum (milik negara) Commanditaire Venootschap/CV (swasta) Dua dari perusahaan hutan rakyat yang telah memegang sertifikat berbentuk koperasi sepenuhnya, sementara GOPHR Wono Lestari Makmur di Kecamatan Weru saat ini sedang dalam proses pengurusan sebagai badan hukum. Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Para
46

Smith (2002).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

55

petani di Gunung Kidul, misalnya, secara terbuka mengungkapkan apa yang mereka ketahui tentang koperasi yang salah-urus kepada tim studi. Kendatipun mereka mendukung pendirian Koperasi Wana Manunggal Lestari, para petani masih ragu-ragu bekerja di dalamnya; suatu indikasi bahwa pengembangan kelembagaannya masih butuh perbaikan teknis dalam waktu lama. Tugas pokok Manajer Koperasi Wana Manunggal Lestari adalah menumbuhkan kepercayaan petani anggotanya dengan cara menyediakan bimbingan dan dukungan pribadi. Namun demikian, kalau petani masih memperlihatkan keberatannya ketika diminta untuk memasarkan kayu mereka melalui koperasi, maka tetaplah sulit bagi koperasi Wana Manunggal Lestari untuk menyusun suatu rencana bisnis yang baik dan meyakinkan sektor industri bahwa dia mampu memasok sejumlah kayu secara berkelanjutan. Beberapa koperasi menangani kendala ini dengan baik yaitu dengan menyediakan kredit mikro/sistem bayar-dulu yang memungkinkan petani menerima pembayaran tunai-langsung ketika mereka menjual tegakan pohonnya kepada koperasi. Diantara para pemilik hutan rakyat yang bersertifikat, hanya di Konawe Selatan memiliki koperasi yang maju dengan semacam skema finansial dan kecukupan modal untuk membayar dulu pada setiap pembelian tegakan pohon kepada para petani.47 Dukungan dana sudah tidak diperoleh lagi di Kecamatan Weru dan GOHPR saat ini kekurangan dana. Baik pembeli maupun para petani tidak boleh membayar dulu biaya urusan administrasi GOPHR, kendati organisasi ini tidak mampu membeli kayu dari para petani anggotanya dan mengorganisir kegiatan pemasaran bersama. Karena masih belum adanya status badan hukum, ia pun tidak bisa ikut mengelola program-program bidang pertanian dari pemerintah, yang mempersyaratkan terdaftarnya organisasi sebagai badan hukum sebagaimana halnya koperasi. Dukungan lebih lanjut masih diperlukan. Sertifikasi petani kecil tidak begitu memerlukan pembentukan koperasi atau lembaga khusus setingkat asosiasi yang lebih tinggi. Menyertifikasi petanipetani perorangan memang dimungkinkan juga menurut skema FSC yakni
47 TFT menyediakan pinjaman dana bergulir kepada KHJL pada tahap awal sebesar IDR 150 Juta (sekitar USD 17.000). KHJL telah mengembalikan lunas sebagian pinjaman itu.

56

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

melalui pendekatan yang dilakukan oleh pengelola hutan yang bertindak sebagai koordinator yang menyediakan bimbingan dan pengawasan administratif. Para pemilik hutan dipersyaratkan untuk langsung tergabung dalam satu kelompok pengelola bersertifikat, dikoordinir oleh orang yang mampu memantau kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh setiap pemilik lahan guna memastikan agar aktivitas mereka itu sesuai dengan perencanaan manajemen, sistem dan kebijakan, sebagaimana yang diminta dalam persyaratan standar FSC.48

4.5. Kepentingan-kepentingan petani dan pengembangan kapasitas


Setelah FSC melansir skema SLIMF untuk unit-unit usaha perhutanan berskala kecil pada tahun 2003, ia mempermudah petani untuk mengikuti sertifikasi. Kendati demikian, tak satupun obyek yang dikunjungi tim studi dapat memenuhi standar tanpa dukungan eksternal yang memfasilitasi mereka agar melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Hal ini terjadi juga pada penerapan standar PHBM LEI, walaupun standar ini secara prinsip dirancang agar sesuai dengan kondisi hutan rakyat di Indonesia (lihat bagian 3.1). Pemantapan kapasitas menjadi prasyarat mutlak sebelum dilakukan sertifikasi hutan di seluruh kawasan. Semua promotor sertifikasi PHBM di Indonesia menawarkan bantuan teknis untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar memenuhi standarstandar yang relevan. Pelatihan diselenggarakan dalam tiga bidang: (1) Aspek-aspek teknis tentang perhutanan misalnya inventarisasi hutan, pembuatan tapal batas secara partisipatoris, pengelolaan produksi hutan termasuk perhitungan pohon Jatah Tebang Tahunan (Annual Allowable Cut - AAC), silvikultur, sertifikasi dan lacak-balak (2) Pemantapan kapasitas kelembagaan termasuk manajemen dan administrasi, penyimpanan data tanaman, pengembangan keorganisasian, pemantauan, dan penggunaan komputer (3) Pengembangan masyarakat termasuk pengelolaan kelompok tani, keahlian memfasilitasi dan penyelesaian konflik

48

Smith (2002).

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

57

Sejalan dengan pendekatan pengembangan masyarakat mereka, PERSEPSI, AruPA, Shorea dan PKHR jug memberikan pengembangan kapasitas untuk peningkatan-peningkatan bidang pertanian, pembaruan keahlian bertani dan proyek-proyek ketrampilan untuk memperoleh nafkah (produksi barang kerajinan), sebagian dilakukan bekerjasama dalam program-program pemerintah daerah. Beberapa pemerintah kecamatan telah membuat kelompok-kelompok tani dan asosiasi payung, yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan program-program nasional dan daerah (pertanian), misalnya mempromosikan jenis jahe varitas unggul. Sementara itu, peningkatan kapasitas yang dilakukan TFT dan JAUH di Konawe Selatan terfokus hanya pada aspek-aspek teknis dan pengembangan organisasional yang dipersyaratkan untuk sertifikasi FSC, termasuk dukungan dalam bentuk Prosedur Operasional Standar (Standard Operational Procedure/SOP) dalam seluruh kegiatan koperasi yang relevan. TFT memperkenalkan konsep inventarisasi hutan kepada para pengelola KHJL; satu cara sederhana dalam menghitung AAC dan prosedur yang jelas untuk menentukan lokasi penebangan dalam setahun (seluruh anggota menyepakati lokasi tebang setiap tahun). Hanya pohonpohon yang telah berdiameter lebih dari 30 cm DTD (diameter setinggi dada) boleh ditebang. TFT, JAUH dan KHJL juga membuatkan skema resolusi konflik, yang telah disosialisasikan kepada seluruh anggotanya. Hubungan-hubungan yang baik di antara para pemangku kepentingan di Konawe Selatan sebagaimana halnya seluruh dokumen yang telah dibuat oleh KHJL tercantum dalam Lampiran 3C. Para petani menyambut baik pelatihan teknis, yang memberi mereka keahlian yang dibutuhkan untuk memperkirakan nilai pohon yang dimiliki dan membantu untuk memastikan batas-batas lahan mereka; satu tahap penting ketika harus dibuatkan Sertifikat Hak Milik. Para petani juga menyambut baik aspek-aspek kelembagaan dan teknis dari sertifikasi sebagai alat yng amat membantu dalam meningkatkan pengakuan atas sistem pengelolaan tradisional mereka dalam hal hutan rakyat. Keputusan untuk memakai kacamata sertifikasi, bagaimanapun, telah dipacu oleh dukungan finansial yang tersedia dan bayangan akan keuntungan pasar masa depan.

58

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Di Jawa, fasilitasi yang dilakukan oleh LSM menyatakan bahwa bisa saja kayu bersertifikat laku dijual dengan harga premium hingga 30% di atas rata-rata harga dasar kayu yang berlaku di kebun. Harga premium ini menjadi faktor utama yang memotivasi masyarakat untuk menuju sertifikasi, walaupun para petani, khususnya yang berada di Jawa, tidak pernah menunjukkan bahwa mereka akan meninggalkan filsafat tebang butuh, atau melupakan orientasi ekologis mereka. Ketertarikan pada bayangan harga premium yang bakal mereka peroleh di masa depan, warga masyarakat bekerja bersama-sama dengan antusias untuk mempersiapkan pemenuhan standar sertifikasi LEI. Pelatihan teknik budi daya tanaman hutan kurang intensif dan kurang berhasil, membiarkan potensi budi daya hutan di area-area hutan rakyat sebagian besar belum terbangun, khususnya di Jawa.

4.6. Sertifikasi dan persiapan-persiapan pendanaan


Pengembangan kapasitas dan dukungan finansial merupakan hal yang esensial dalam mempromosikan sertifikasi PHBM di tingkat desa, khususnya ketika nampak bukti awal bahwa insentif pasar melemah. Situasi ini khas pada sertifikasi PHBM di seluruh dunia. Di Bolivia misalnya, proyek Bolivian Sustainable Forest Management (BOLFOR) yang didanai USAID menyerap banyak biaya langsung sertifikasi di area-area hutan rakyat, sementara di Mexico, proyek-proyek pemerintah, yayasan-yayasan, LSM-LSM dan Bank Dunia menyumbangkan biaya awal sertifikasi PHBM.49 Di Filipina, hanya hutan rakyat tersertifikasi FSC yang dihasilkan dari pelatihan SmartWood, menawarkan sertifikasi dan pengembangan kapasitas gratis. Bagaimanapun, ketika proses sertifikasi membutuhkan subsidi besar, ia bisa mengancam usaha-usaha Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Sustainable Forest Management/SFM) dalam jangka waktu lama. Dukungan kuat dari donor mungkin menghasilkan peran-peran pasif dari para pengelola hutan, mengubah kemampuan pemasaran dan mengurangi efisiensi keorganisasian. Dimana kapasitas teknis dan administratif terbatas, permintaan sertifikasi dan subsidi bisa menimbulkan ketergantungan
49

Markopoulos (2003)

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

59

jangka panjang antara petani dan promotor. Sejak dukungan donor berbasis pada pelaksanaan suatu proyek dan terbatasi oleh jangka waktu antara dua hingga empat tahun, penarikan dukungan donor selama proses masih berlangsung nampaknya, berakibat munculnya risiko pada penangguhan atau pembatalan sertifikasi PHBM. Para donor penting yang mempromosikan sertifikasi di Jawa adalah DFID dan Ford Foundation, dan kadang-kadang juga, WWF, UNDP dan LEI. Dukungan finansial pada program sertifikasi di Konawe Selatan diperoleh dari TFT dan DFID. Pendanaan dibutuhkan pada keseluruhan proses tahap-tahap sertifikasi: (1) Persiapan (pengembangan kapasitas teknis dan administratif, termasuk pengembangan masyarakat) (2) Sertifikasi (penilaian lapangan dan proses pembuatan keputusan) (3) Pemantauan (kunjungan-kunjungan audit/surveilance) Persiapan terbukti makan biaya paling banyak. LSM promotor di Gunung Kidul, misalnya, menginvestasikan USD 50.000 hingga 65.000 bagi tiaptiap desa yang langsung mempersiapkan sertifikasi. Gambaran ini belum termasuk biaya-biaya tambahan untuk pengembangan kapasitas dalam rangka pengembangan masyarakat dan kegiatan-kegiatan penelitian. Seluruh dana disediakan oleh DFID.50 TFT dan DFID (melalui JAUH) menginvestasikan lebih dari USD 100.000 di Konawe Selatan untuk membangun kapastitas, pembayaran di muka kepada KHJL, dan persiapan-persiapan teknis yang dibutuhkan, termasuk dukungan bagi kelompok-kelompok tani kecamatan dan desa-desa. Di Giriwoyo, PERSEPSI menghabiskan USD 25.000 untuk persiapan selama 12 bulan. Perkiraan biaya saat ini yang dibuat AruPA serendah-rendahnya mencapai USD 5.000 per desa asal jumlah desa yang mau ikut lebih banyak sehingga bisa dipersiapkan secara bersamaan melalui pendekatan LSM-Pemerintah Daerah.

50 DFID, yang mengelola Program Perhutanan Multi-Stakeholder (PMS) pada saat itu, mendukung inisiatif ini karena sertifikasi masyarakat dianggap bisa meningkatkan pendapatan bagi kelompok miskin dan menyediakan insentif untuk mengelola hutan dengan penuh tanggung jawab bagi penduduk setempat.

60

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Koperasi merupakan badan hukum: Papan nama Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul mencantumkan nomer badan hukumnya.

Biaya-biaya sertifikasi tergantung dari skema yang digunakan: Berkisar USD 6.500 untuk skema Pengakuan atas Klaim PHBM LEI (di Wonogiri dan Weru) Berkisar USD 10.000 untuk skema penilaian Sertifikasi PHBM LEI oleh pihak ketiga (di Gunung Kidul) Berkisar USD 14.000 untuk skema SLIMF FSC (di Konawe Selatan) Seluruh biaya pelaksanaan oleh lembaga sertifikasi ditanggung sepenuhnya oleh promotor sertifikasi. Kunjungan-kunjungan audit/surveilance sejauh ini dilakukan di Konawe Selatan dan Gunung Kidul. Gunung Kidul, Weru dan Giriwoyo seluruhnya terjadwal untuk audit pada tahun 2008 oleh lembaga sertifikasi yang ditugaskan LEI.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

61

Hutan jati yang terkelola dengan baik di Konawe Selatan: Koperasi memikat petani-petani baru, meningkatkan kecakapan manajemen dan memunculkan harapan atas peluang-peluang bertambahnya pendapatan.

Pada tahun 2006 KHJL dapat mempertahankan perolehan sertifikatnya. Satu proses audit, berbiaya sekitar USD 6.500, didanai sepenuhnya oleh TFT. Kunjungan-kunjungan audit yang akan datang (tahunan) akan dibiayai juga oleh KHJL, yang telah menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan itu. Audit kurang sering dilakukan di area-area tersertifikasi LEI. Bagaimanapun, dukungan donor untuk seluruh area hutan rakyat tersertifikasi di Jawa telah berakhir , dan tidak satupun memiliki dana cukup untuk membayar proses audit yang dibutuhkan satu risiko serius bagi sertifikat yang telah mereka pegang.

4.7. Jangka waktu untuk proses-proses sertifikasi


Meskipun sebagian besar LSM promotor telah berkiprah dengan masyarakat di kawasan-kawasan mereka masing-masing selama bertahun-tahun, namun masih saja perlu 1 hingga 2 tahun lagi untuk mempersiapkan

62

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

sertifikasi. Sebagian besar waktu diperlukan untuk memantapkan diterimanya para promotor sewajarnya dan penerapan persyaratan teknis dan penyesuaian keorganisasian. Seluruh LSM harus memulai kegiatan mereka membangun kepercayaan dan rasa percaya diri dalam rangka program sertifikasi. Selopuro dan Sumberejo merupakan lokasi-lokasi pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat PHBM LEI. Sertifikat-sertifikat itu diterbitkan pada bulan Oktober 2004 dan berlaku selama 15 tahun. Sertifikasi diikuti dengan skema Pengakuan atas Klaim, dengan PERSEPSI sebagai penjamin. PERSEPSI melaksanakan penilaian lapangan dan PT Mutu Agung Lestari yang berakreditasi LEI mempersiapkan jadwal kunjungan sertifikasi masing-masing selama dua hari kunjungan lapangan. Semenjak LEI dan LSM mitranya (lihat bagian 3.1) menggunakan dua unit manajemen ini sebagai kawasan percontohan dalam pengembangan program sertifikasi PHBM, prosesnya makan waktu lebih lama daripada di lokasi-lokasi lain. Di Gunung Kidul, koperasi dan kelompok kerja masyarakat mengundang PT TUV Internasional, lembaga sertifikasi berakreditasi LEI, untuk melakukan penilaian unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Analisis tipologi menunjukkan bahwa Gunung Kidul tergolong skema lahan hutan dibawah kepemilikan legal swasta, digunakan untuk kepentingan komersil dan terklasifikasi sebagai area non-hutan.51 PT TUV menerapkan PHBM LEI skema Penilaian Sertifikasi dilakukan oleh Pihak Ketiga. Berdasarkan laporan penilaian, review tim dan panel diskusi pakar, koperasi diputuskan memenuhi syarat dan menerima sertifikasi LEI pada bulan September 2006, setelah dua tahun masa persiapan. Di Weru, proses sertifikasi mengikuti skema PHBM LEI Pengakuan atas Klaim, dengan PERSEPSI sebagai penjamin lagi. PERSEPSI menyelenggarakan penilaian lapangan dan PT Mutu Agung Lestari, lembaga sertifikasi terakreditasi LEI, menunjuk dua orang reviewer untuk melakukan kunjungan lapangan singkat dan menguji laporan PERSEPSI. Pada tanggal 5 Maret, 2007, setelah persiapan hanya setahun, GOPHR Wono Lestari Makmur dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh sertifikat PHBM LEI.
51

Hutan rakyat tipe 20, rujukan di bagian 3.1.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

63

Di Konawe Selatan, dioperasikan atas nama KHJL, TFT sebagai pimpinan proses sertifikasi mengontrak Smartwood, lembaga sertifikasi berakreditasi FSC, untuk melakukan sertifikasi dengan skema SLIMF FSC. SmartWood melaksanakan penilaian lapangan ke KHJL dengan melibatkan beberapa reviewer sebelum menerbitkan sertifikatnya pada bulan Mei 2005, setelah setahun persiapan kelembagaan dan setahun lagi persiapan orientasi murni sertifikasi.

4.8. Akses pasar dan green premium


Operasi usaha hutan berbasis masyarakat secara umum menghadapi kendala signifikan untuk memperoleh manfaat dari sertifikasi pengelolaan hutan. Setelah memperoleh sertifikasi, operasi-operasi itu sering mengalami hambatan akses ke pasar-pasar yang mereka inginkan (internasional dan nasional) sebagai akibat dari inefisiensi keorganisasian, kesenjangan pengetahuan tentang pasar, dan kesulitan untuk memuaskan permintaan pembeli atas jenis-jenis kayu tertentu, spesifikasi kayu, batas waktu, dan secara khusus, volume.52 Para promotor mengikuti dua pendekatan berbeda untuk mendukung akses pasar dan memastikan memperoleh harga green premium: (1) Mengembangkan akses pasar setelah diperoleh sertifikasi (2) Memantapkan akses pasar sebagai bagian dari proses persiapan Di Jawa, para promotor mencoba mengembangkan pasar setelah unitunit manajemen hutan mempersiapkan sertifikasi hutan mereka. Namun demikian, respon pasar terhadap skema PHBM LEI sampai sejauh ini masih mengecewakan. Di Wonogiri, misalnya, beberapa pembeli baru melakukan pendekatan terhadap Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat Catur di Giriwoyo dan kelompok-kelompok tani di Sumberejo dan Selopuro, tetapi meskipun telah menerima sertifikasi tiga tahun yang lalu, penduduk setempat di Sumberejo dan Selopuro masih belum dapat dipastikan mengecap harga-harga green premium atas kayu bersertifikat mereka. Dengan produksi bulanan 3-7 m3, mereka belum bisa memenuhi standar kualitas, kuantitas dan jadwal yang harus ditepati seperti diinginkan oleh para pembelinya.
52

Taylor (2005).

64

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pengecualian hanya terjadi ketika dilakukan satu transaksi dengan PT NOVIKA (Bali), yang membeli kayu trembesi dan membayar dengan harga di atas harga pasar. Para petani kembali pada kebiasaan konservatif mereka; dalam menjawab pertanyaan terkait dengan kesenjangan akses pasar, petani Sumberejo menjawab, Tidak lakupun tidak apa-apa. Tidak merasa rugi karena tujuan utama menanam adalah supaya tanah terselamatkan dari erosi dan menjaga sumber air tetap mengalir.53 Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul juga belum memperoleh kontrak pasti dengan para pembeli, dan para petani terus-menerus menjual kayu-kayu mereka sendiri tanpa perolehan harga premium. Koperasi telah dihubungi oleh salah satu pembeli yang berminat menawarkan harga yang signifikan, namun ia meminta kontrak selama setahun dengan 100 m3 kayu per bulan. Dua hal yakni rendahnya volume tebang para petani saat ini menebang maksimum 30 m3 per bulan, sangat jauh dibawah potensi yang ada di area itu dan ketidakpastian waktu penebangan oleh koperasi membuat pembeli mengurungkan niatnya. Untuk mencoba meningkatkan posisi pasarnya dan menghindari dilangkahi oleh para anggotanya, koperasi Wana Manunggal Lestari baru-baru ini menawarkan 15% harga premium apabila para anggotanya menjual pohon-pohon tegakan mereka kepada koperasi. Gerakan ini menandakan bahwa peluang-peluang pasar baru sedang dibuat bagi masyarakat kayu bersertifikat di Indonesia. Pada bulan Februari 2007, misalnya, LEI mendirikan perusahaan swasta Green Living untuk membantu mengurangi kesenjangan antara para petani produsen kayu bersertifikat LEI dengan pasar perorangan-perorangan dan pembeli borongan. PT Green Living (PT GL) ingin mengembangkan segmen pasar khusus untuk beragam barang kerajinan berkualitas yang dibuat oleh masyarakat perkayuan bersertifikat. Dengan dana awal dari Ford Foundation, PT GL mempromosikan serangkaian industri rumah tangga berskala kecil, yang hanya menggunakan kayu bersertifikat LEI bagi produk-produk mereka.

53

Meskipun beberapa kelompok tani menyatakan pentingnya jasa/nilai lingkungan dari pembangunan hutan yang dilakukan, tetapi mereka juga berharap bahwa penghargaan ekonomi bisa pula dinikmati.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

65

Berbagai bentuk kerajinan dari kayu-kayu yang telah bersertifikat yang dibuat oleh CV Green Living, Gunung Kidul. Bagaimana memasarkan produk-produk ini adalah tantangan selanjutnya.

PT GL 100% dimiliki oleh LEI. Untuk mendukung kegiatan PT GL, LEI PERSEPSI dan PT GL mendirikan CV Green Living kerjasama kemitraan di Wonogiri sebagai unit proses produksi. 50 % saham CV Green Living (CV GL) dimiliki oleh PT GL, sementara PERSEPSI memiliki saham 20% dan masyarakat di Selopuro, Sumberejo dan Giriwoyo memegang 30% sisanya. Secara bertahap, seluruh saham akan diserahkan kepada masyarakat, sehingga pada masa mendatang CV GL akan 100% dimiliki oleh masyarakat yang dilibatkan. Beberapa kontrak telah diperoleh, satu dengan perusahaan eceran Prancis, Micho de Monde. PT GL saat ini membuka satu toko di Jakarta untuk memajang dan menjual produk-produknya.54

54 Toko ini tidak melayani pembeli eceran dan masih belum sepenuhnya operasional. Toko lainnya dengan nama sama Green Living kadang buka kadang tutup, membuat bingung para calon pembeli. Keahlian manajemen profesional merupakan hal yang esensial agar segmen bisnis yang ketat ini dapat terus bertahan; tantangan nyata bagi organisasi LSM/masyarakat.

66

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Cara sederhana menandai pohon di Gunung Kidul.

PT GL telah menjanjikan harga-harga premium yang signifikan bagi organisasi-organisasi petani mitra yang telah tersertifikasi Lacak-Balak (CoC) LEI. Namun demikian, ia sejauh ini tergantung sepenuhnya pada pendanaan dari donor, dan masih perlu pembuktian keberlangsungan finasialnya. PT Jawa Furniture, satu perusahaan di Yogyakarta yang memproduksi furnitur unik untuk pasar internasional (khususnya ke Perancis) telah menghubungi masyarakat pemegang sertifikasi dan ingin menggunakan kayu-kayu bersertifikat sebagai bahan baku produk-produk mereka. Perusahaan ini memberi tawaran dilakukannya pengembangan kapasitas (permebelan, efisiensi penggunaan kayu dan Lacak-Balak), pembayaran di muka kepada organisasi-organisasi yang mendampingi petani mengusahakan tersedianya modal, dan satu bagian kecil harga green premium.55 PT Jawa Furniture merencanakan untuk memiliki sertifikat
55

Pembeli utama perusahaan ini di Perancis telah menawarkan 3% harga premium untuk furnitur yang terbuat dari kayu PHBM bersertifikat.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

67

Menandai pohon di Konawe Selatan, hanya memberi nomor identifikasi dan diameter pohon.

Lacak-Balak LEI pada awal 2008. Namun demikian, ia hanya mau menjalin kerja dengan masyarakat yang mengelola hutan tersertifikasi jika mereka bisa menjamin pasokan aliran kayu sekurang-kurangnya 10 m3 per bulan. Dalam kaitan ini, Unit-unit Pengelolaan Hutan bersertifikat di Wonogiri dan Gunung Kidul sepakat untuk menyusun pusat penampungan kayu gelondongan bersertifikat di Selopuro dalam rangka meningkatkan peluang perolehan pasar bagi masyarakat bersertifikat LEI. Tempat penampungan itu dinamai Aliansi Pengelola Hutan Sertifikasi (APHS). Pemasaran akan dikembangkan melalui unit bisnis khusus yang dinamakan Badan Pengelola Kayu Sertifikat (BPKS); namun demikian, masih dibutuhkan dana agar konsep ini dapat dilaksanakan.56
56 Diluar masing-masing kontrak penjualan, 50% dari harga premium pasti akan diserahkan kepada pemilik kayu, 25% diserahkan kepada kelompok tani/koperasi dan 25% sisanya menjadi hak APHS/BPKS, yang melakukan negosiasi dan menandatangani kontrak-kontrak dengan para pembeli kayu.

68

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Implementasi Lacak-Balak: Menandai potongan kayu secara ekstensif pada pangkal potongan jati di Konawe Selatan.

Di Konawe Selatan, sejak saat TFT memulai menjadi jembatan antara KHJL dan mitra pembeli TFT untuk kayu FSC bersertifikat. Pasar yang baru sama sekali telah dirintis, bergerak dari pasar lokal (dan dibayar sangat rendah) ke pasar nasional dengan akses internasional. Koperasi saat ini menjual 1-2 kontainer per bulan masing-masing dengan 18 m3 kayu-kayu balok. Para pembeli dari Jawa secara teratur mengunjungi Konawe Selatan untuk menegosiasikan harga, kualitas dan batas-batas waktu. Peningkatan harga yang sangat signifikan dapat dipastikan; kayu-kayu balok dari gelondongan jati berdiamater 30 cm DTD saat ini terjual seharga Rp 5,3 juta per m3. Dari penjualan ini, Rp 1,4 juta langsung diberikan kepada petani yang menjual tegakan pohonnya, sedangkan sebagian besar teraup pada transaksi-transaksi dengan para pembeli setempat; sisanya digunakan untuk membayar biaya-biaya transport, pungutan, pajak, dan biaya administratif KHJL. Dari keuntungan yang diperhitungkan bakal

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

69

diperoleh dari setiap kontainer, KHJL membayar kembali pinjaman kepada TFT, mempersiapkan penyemaian bagi angota-anggotanya, pembelian peralatan dan perbaikan kantor dan membayar gaji administratornya. Prosedurnya dilakukan secara transparan, namun isu-isu pengurusan menantang organisasi di masa depan ketika keuntungan tidak terdistribusi secara adil dan transparan.

4.9 Lacak-Balak
Jalur perdagangan kayu adalah isu kritis pada hutan rakyat, khususnya jika hutan masyarakat dikelilingi oleh hutan negara dan keduanya memiliki jenis tanaman kayu yang sama. Walaupun seluruh kayu dari hutan-hutan masyarakat tersertifikat itu hanya berasal dari hutan rakyat, Peraturan Menteri Kehutanan P.51/Menhut-II/2006, P.55/Menhut-II/2006 dan P.33/ Menhut/2007 mewajibkan pendokumentasian dan penerapan prosedur (lihat bagian 2.3 tentang Surat Keterangan Asal Usul Kayu/SKAU). Namun demikian, apabila jenis tebangan utama yang dipanen dari lahan-lahan bersertifikat adalah jati, yang tidak diatur dalam prosedur SKAU, setiap pembeli jati itu, termasuk para kelompok tani/koperasi, harus menyertakan dokumen SKSKB-KR (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat Kayu Rakyat) dari pemerintah daerah. Untuk mendapat dokumen ini bisa makan waktu berbulan-bulan, seperti dialami oleh KHJL di Konawe Selatan. Di Weru dan Konawe Selatan penduduk desa yang diwawancarai menyebutkan bahwa para pedagang terkenal dengan kemampuannya untuk memanipulasi ijin pengangkutan dengan cara menyebutkan bahwa kayu yang mereka bawa berasal dari hutan-hutan rakyat. Aparat-aparat pemerintah daerah memiliki persoalan-persoalan besar kalau mempertanyakan soal itu karena mereka tidak dilibatkan dalam mengeluarkan ijin tebang di kawasan hutan-hutan rakyat. Mengakui kayu yang asal-usulnya meragukan sebagai kayu rakyat karenanya merupakan pendekatan yang dapat mengarah pada melegalkan kayu yang ditebang secara ilegal. Dalam rangka menyederhanakan prosedur administratif para pembeli juga mengaku bahwa kayu sesuai jatah tertentu berasal dari masyarakat tertentu, meskipun telah dipanen dari lokasi-lokasi yang berbeda.

70

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Satu Sistem Lacak-Balak (CoC) internal yang dikelola oleh organisasi masyarakat dapat memperbaiki cara pendokumentasian kayu lokal dan, membuat sistem pengelolaan yang baik, menjamin legalitas kayu rakyat.57 Unit-unit tersertifikat LEI di Wonogiri, Weru dan Gunung Kidul baru saja mulai menerapkan sistem operasional Lacak-Balak bersama asosiasi payung di tingkat desa (pemegang sertifikat) guna mengembangkan aturan-aturan untuk menandai kayu dan dengan begitu para pembeli termasuk dalam komponen Lacak-Balak (CoC) tersertifikat. Hingga belakangan ini, pendekatan pemberian cap/tanda (dan pemberi jaminan legalitas) di kawasan-kawasan ini hanya berbentuk dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh kepala desa (SKAU) atau pemerintah daerah (SKSKBKR), yang dianggap kurang memadai sebagai pembuktian asal legal dari kayu-kayu yang ditebang. KHJL bersertifikat FSC telah mengembangkan satu sistem Lacak-Balak lebih maju untuk kontrol internal bagi seluruh aliran kayu. Prosedur COC dimulai dari mencatat inventarisasi (terdokumentasi dalam KHJL_ HM_LHPn_01 hingga 03 (lihat Lampiran 3C), prosedur pengkelasan (tedokumentasi dalam KHJL_HM_LHG_01 hingga 03); prosedur transport (terdokumentasi dalam KHJL_HM_SOP_angkut) dan dokumen-dokumen terkait dengan pengangkutannya (KHJL_HM_DPn), dan berakhir dengan satu dokumen sawmill tertentu (terdokumentasikan dalam KHJL_HM_DM) dan satu dokumen transport khusus antara sawmill ke lokasi kontainer penjualan (terdokumentasikan dalam KHJL_HM_DKSW). Yang terpenting dalam seluruh internal dokumen ini, ialah bahwa seluruh prosedur dan penandaan harus memenuhi persyaratan legal menurut dokumen SKSKBKR dan lampiran-lampirannya. Dengan adanya pendokumentasian yang lengkap di tangan, KHJL bisa mencegah terjadinya penebangan liar memasuki pusat penampungan dan dapat memberikan jaminan kepada para pembelinya tentang konsistensi dan kelengkapan legal mata rantai supplainya. Pengalaman menunjukkan bahwa hal itu membutuhkan prosedur-prosedur yang ketat
57

Sistem COC bisa menyediakan bukti yang jelas untuk melacak asal kayu, dan menunjukkan hingga ke tempat dimana lokasi tertentu kayu itu berasal di suatu masyarakat.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN

71

guna memperoleh kayu yang memenuhi syarat verifikasi. Butuh ekstra waktu dan tenaga diluangkan oleh staf KHJL untuk mengembangkan dan menerapkan sistem ini hingga terbukti bermanfaat, namun hal itu diimbangi dengan jaminan harga premium pasar yang jelas-jelas melampaui keuntungan finansial sertifikasi di tempat-tempat hutan rakyat tersertifikat lainnya di Indonesia. Di tempat-tempat lain itu sekarang mulai menerapkan langkah yang sama. Hanya sistem COC yang dilakukan secara cermat dapat mencegah masuknya kayu ilegal ke dalam unit-unit usaha hutan rakyat. Bagaimana hal ini bisa diusulkan kepada FLEGT VPA masih perlu pertimbangan lebih lanjut, semenjak penyusunan sistem COC menghendaki terbangunnya kapasitas tertentu dan rancangan kelembagaan yang bisa jadi cukup suit dipenuhi oleh seluruh kawasan hutan rakyat di Indonesia.

72

Lahan Anggota
Mengumpulkan di lokasi Tempat Penampungan Kayu (TPK)

Menandai pada potongan ujung kayu: Nomer keanggotaan, asal lahan, diameter dan tinggi Menandai pada potongan balok: nomer log, nomer keanggotaan tebangan, lahan dan ukuran

TPn

Mendaftar kayu yang dimasukkan pada lokasi Tempat Penampungan Kayu (TPK) dalam Formulir Kayu Masuk Pengelompokan kayu menurut daftar kayu sementara Mendaftar kayu yang dikeluarkan dari TPK

Dokumen nomer transport

Log yard

Mendaftar kayu yang dibongkar-muat di gerbang Mill dalam Formulir Kayu Masuk Mendaftar gelondongan kayu dan ukurannya Mengisi daftar kayu yang akan dikirim ke pelabuhan Jika masih ada kayu tersisa di Mill, maka harus didaftar (dicatat) Formulir penampungan kayu dan pengolahan kayu (sawmilling)

Surat Keterangan Transport dari Kepala Desa dan Dinas Kehutanan Daftar kayu log: jumlah dan ukurannya

Industri
Surat Pengangkutan Laut

Penerbitan SKSKB DHH gelondongan kayu: nomer dan ukurannya

Pelabuhan Kendari
Daftar kayu bagi pihak Pengangkut (laut)

URAIAN RINCI KAWASAN HUTAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Form for Lumber (Faktur) DHH for lumber: number of lumber, dimension

Pelabuhan Surabaya

Formulir gelondongan kayu (faktur) DHH gelondongan kayu: nomer dan ukurannya

Pembeli
Formulir gelondongan kayu (faktur) Daftar Packing gelondongan kayu: nomer dan ukurannya

Gambar 5: Ilustrasi Sistem Lacak-Balak yang ketat yang diterapkan pada hutan rakyat KHJL di Konawe Selatan.

5. Pembelajaran yang Diperoleh


(1) Sertifikasi PHBM merupakan konsep yang efektif untuk mengakui pengelolaan hutan oleh masyarakat Walaupun persyaratan kelembagaan, administrasi dan teknis sertifikasi FSC dan LEI terbukti sungguh rumit, para petani dan wakil-wakil mereka mampu menerapkannya dalam satu hingga dua tahun. Sekali masyarakat menyadari keberhasilan sertifikasi, para tetangga mereka lantas juga tertarik untuk mengikuti program sertifikasi, sebagaimana terdokumentasikan di Konawe Selatan dimana banyak desa tersertifikat tumbuh dengan cepat dan di Gunung Kidul dimana pemerintah daerah secara luas mempromosikan area bersertifikat. Sertifikasi terbukti meningkatkan pengetahuan dan kepedulian dalam pengelolaan sumber daya berkelanjutan pada seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya para petani yang dilibatkan, melainkan juga pada pemerintah daerah dan lingkungan industri. Sertifikasi telah memperkuat posisi pengelolaan hutan di tingkat masyarakat dan jelas-jelas mengakui kapasitas pengelolaan mereka. Peningkatan transparansi juga dicapai dalam keputusankeputusan pengelolaan dan pengawasan hutan-hutan setempat. Identitas lahan telah diperjelas, dan para tokoh petani merasa dihargai dan dihormati setelah menerima sertifikasi. (2) Motivasi masyarakat terutama dipicu oleh Harapan-harapan atas keuntungan pemasaran masa depan Harapan pada prospek pasar yang merangsang para peserta sertifikasi merupakan argumen kunci mengapa masyarakat tertarik mengikuti seluruh

74

PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pohon jati umur tiga tahun: Petani dan anggota tim pengelola KHJL dengan hutan unggulnya di Konawe Selatan.

aspek, bahkan jika mereka tidak bermaksud secara langsung menimbun kekayaan. Manfaat lainnya seperti perolehan pelatihan dan kemampuan administratif juga dihargai, namun hal-hal itu belumlah cukup sebagai pemicu hasrat kuat mengikuti program sertifikasi. Pengakuan pasar, khususnya ketersediaan harga-harga green premium, ditafsirkan sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan kepedulian publik dan pencapaian apa yang telah lama dicari untuk suatu pengakuan atas pengelolaan hutan kemasyarakatan. (3) Pemantapan akses pasar sebaiknya menjadi bagian proses persiapan sertifikasi hutan Dengan diperolehnya sertifikasi hutan, unit-unit bersertifikat LEI tidak dengan sendirinya mengalami peningkatan akses ke pasar-pasar

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH

75

prospektif di tingkat nasinal dan internasional pada masa mendatang. Para promotor hanya memulai usaha-usaha pemasaran setelah mempersiapkan sertifikasi, dan selanjutnya kini tinggal dikembangkan saja. Proses persiapan kawasan HR untuk sertifikasi FSC di Konawe Selatan dirangkaikan dengan pendekatan berbasis ketersediaan pasar. Ini, dan tingginya tingkat penerimaan pasar atas merek berlabel FSC di pasar internasional, telah menghasilkan peningkatan harga yang signifikan di tingkat harga dasar petani. Karena itu idealnya, proyek-proyek sertifikasi PHBM sebaiknya mempertimbangkan aspek-aspek pasar dalam tiap fase pengembangan yang mereka lakukan sehingga petani lokal yakin dan paham akan persyaratan-persyaratan yang dikehendaki pasar dan bisa mempercepat reputasi memperoleh pendapatan tunai sebagaimana manfaat pemasaran lainnya. (4) Pentingnya skala ekonomis dan dibutuhkan koperasi dan perbaikan pengelolaan di area-area PHBM bersertifikat Tingkat produksi saat ini dari kawasan-kawasan HR di Jawa terlalu rendah untuk memikat pembeli-pembeli non-lokal dan memenuhi permintaanpermintaan mereka akan jenis kayu, kualitas, batas waktu, dan secara khusus, volume. Peningkatan produksi tahunan dapat diandalkan dengan mengubah konsep pemikiran petani tebang butuh (lihat butir (6)), memperbesar area-area produksi bersertifikat dengan mengajak desa-desa tetangga untuk bergabung, mengembangkan pendekatan-pendekatan pemasaran gabungan seperti yang dilakukan APHS di Wonogiri, dan meningkatkan kualitas kayu melalui teknik-teknik budi-daya hutan seluruhnya merupakan langkah-langkah pengembangan yang esensial guna memperbesar posisi pasar bagi kayu HR bersertifikat di Indonesia. Seluruhnya merupakan solusi yang layak dikerjakan dan sebaiknya dibuktikan dengan langkah nyata. (5) Dukungan eksternal dan kepemimpinan pedesaan yang kuat dibutuhkan untuk mengadopsi sepenuhnya konsep sertifikasi Seluruh lokasi HR bersertifikat didukung oleh organisasi-organisasi eksternal (LSM, peneliti, inisiatif sektor swasta), yang pada awalnya memfokuskan perhatian pada tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat (kepala desa dan kepala dusun). Kepemimpinan kepala desa yang kuat, bangunan kepercayaan dan motivasi merupakan tolok ukur yang

76

PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

dibutuhkan untuk meyakinkan tumbuhnya partisipasi petani, khususnya karena mereka acapkali skeptis terhadap penyesuaian-penyesuaian organisasi yang terlibat. Kenyataannya petani lebih percaya pada hasil praktek dan bukti-bukti, karena itu penting menggunakan kasus-kasus sertifikasi percontohan yang ada sebagai bahan untuk promosi (dapat dilakukan dengan mendanai studi tour, seminar sertifikasi PHBM dan publikasi-publikasi terkait sebagaimana juga menghidupkan forum-forum diskusi, khususnya Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). (6) Konsep-konsep sertifikasi PHBM perlu mempertimbangkan kerangka berpikir petani Para petani yang memasarkan sendiri dan filosofi tebang butuh (menebang hanya untuk memenuhi kebutuhan tunai sewaktu-waktu) nampaknya harus segera diubah setelah sertifikasi, walaupun asosiasi payung telah memastikan adanya pasar-pasar baru. Kerangka berpikir petani bisa jadi penghalang bagi pihak-pihak luar untuk membeli kayu dan menciptakan rintangan untuk inisiatif-inisiatif menginovasi pemasaran seperti Green Living dan APHS. Rancangan pasar yang layak akan sulit dicapai pada tahap awal sertifikasi, menghasilkan permasalahan akademis apakah operasioperasi oleh masyarakat bisa dikerjakan, atau sebaliknya. Bagaimanapun, kasus di Konawe Selatan menunjukkan bahwa jika satu standar prosedur operasi yang dibuat dengan jelas disepakati dan satu perbedaan substansial harga-harga dasar di tingkat petani bisa dicapai, maka para petani dapat lebih tertarik untuk mendukung asosiasi payung dan mengintensifkan pengelolaan dan pengawasan, hal ini lebih memungkinkan pengembangan sistem pemasaran yang memadai dilaksanakan. (7) Pendekatan-pendekatan berbeda mungkin dilakukan untuk mendirikan asosiasi-asosiasi payung Dibentuk oleh sejarah panjang reforestasi dan penanaman hutan, enam lokasi PHBM bersertifikat telah terbiasa dengan pengelolaan hutan secara bertanggung jawab. Para petani telah memiliki kepedulian pada beberapa aspek teknis dan memperlihatkan minat untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Kendati begitu, perubahan-perubahan keorganisasian penting dilakukan. Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis formal masyarakat di Indonesia berbentuk koperasi, para petani sering merasa kurang nyaman dengan organisasi ini karena terkenal dengan kasus-kasus

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH

77

Lokasi pembenihan jati yang dikembangkan oleh bapak Abdul Rahman, seorang petani di Konawe Selatan.

salah urusnya dan praktek-praktek pengelolaan yang tidak efisien. Lebih fleksibel direkomendasikan dalam menyusun kerangka kelembagaan di tingkat asosiasi-asosiasi petani yang lebih tinggi, karena sertifikasi bukan hanya mempersyaratkan satu bentuk rancangan. Bagaimanapun juga, asosiasi-asosiasi petani itu perlu lebih transparan, loyal dan adil dalam rangka memelihara dan menjaga dukungan para petani. (8) Proyek Sertifikasi PHBM memerlukan pendanaan eksternal yang berperspektif jangka panjang dan rencana bisnis untuk periode selanjutnya. Seluruh biaya sertifikasi ditanggung oleh donor sejak sertifikasi PHBM (di wilayah miskin) tidak mampu menyediakan biaya dari anggaran masyarakat, paling tidak pada saat-saat awal. Proyek-proyek dukungan donor, betapapun, memiliki keterbatasan dalam kerangka waktu dan seringnya berganti pokok kajian, yang mengakibatkan munculnya situasi-situasi dengan jalan mana promosi yang dilakukan LSM-LSM dan

78

PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

masyarakat tidak bisa menutupi keseluruhan pendanaan proses sertifikasi. Terdapat satu risiko tertentu bahwa biaya-biaya untuk audit di masa yang akan datang dan penilaian tahap berikutnya akan tidak tertanggung oleh pihak donor sebelumnya. LSM-LSM dan masyarakat harus menyiapkan suatu rencana bisnis berjangka, idealnya melibatkan juga industri-industri lokal dan pemerintah daerah, guna memastikan bahwa biaya-biaya sertifikasi masih bisa ditanggung ketika dukungan dari lembaga donor telah berakhir. Kalau tidak, sertifikat-sertifikat yang telah diperoleh akan terancam hilang. (9) Asosiasi-asosiasi payung petani perlu dana awal agar bisa operasional Asosiasi-asosiasi payung petani butuh kewiraswastaan dari para manajernya, sebagaimana dukungan dana eksternal. Dukungan tahap awal dibutuhkan untuk membayar dulu pembelian-pembelian kayu dari para anggota karena para petani memerlukan pembayaran tunai ketika mereka menjual tegakan pohonnya, sekurang-kurangnya sepanjang filosofi tebang butuh masih berlaku dalam masyarakat. Jika asosiasi petani tidak bisa menjaga arus kas awal secukupnya, dia bisa tidak membayar gaji stafnya selayaknya atau tidak juga melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dan pemantauan yang dipersyaratkan oleh sertifikasi. (10) Penentuan Jatah Tebang Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) dan rencana tebang menjadi tantangan pokok bagi para pengelola hutan kemasyarakatan yang bertanggungjawab Jika organisasi kemasyarakatan memperoleh mandat penuh untuk memasarkan kayu-kayu para anggotanya, maka penentuan Jatah tebang tahunan dan pengidentifikasian lokasi-lokasi tebangan merupakan tugastugas sangat penting karena sangat rawan memunculkan konflik. Prosedurprosedur patut disepakati sebelumnya oleh seluruh anggota, dan skema resolusi konflik dikembangkan dalam rangka memastikan bahwa tidak satupun petani tidak terlayani sesuai kepentingannya sehingga dia merasa didiskriminasi atau mengancam akan keluar dari keanggotaannya. KHJL di Konawe Selatan mengembangkan suatu prosedur yang lengkap, yang bisa dijadikan contoh untuk lokasi-lokasi lain.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH

79

(11) Proses persiapan sertifikasi patut diperhatikan selayaknya guna memperbaiki teknik-teknik budi daya hutan Sejauh ini para promotor sertifikasi baru menaruh perhatian sedikit pada praktek-praktek budi daya hutan, termasuk seleksi pembibitan, pemangkasan, pemeliharaan, penjarangan dan teknik-teknik menebang yang baik. Bagaimanapun, identifikasi potensi seluruh area PHBM tersertifikasi penting dan layak dianjurkan dalam rangka meningkatkan keberlangsungan finansial dari proyek-proyek sertifikasi. Dengan melakukan hal itu, membuka peluang segmen pasar yang jauh lebih baik seperti pasar mebel ruang interior yang bisa dimasuki. (12) Hanya pembangunan sistem Lacak-Balak yang mantap dapat menjamin akuntabilitas dan kontrol penuh atas asal-usul kayu rakyat; satu syarat dari sistem jaminan legalitas kayu menurut FLEGT VPA Sejak pemerintah-pemerintah daerah mengalami kesulitan mengevaluasi permohonan-permohonan dokumen SKSKB-KR dari masyarakat, bermunculan klaim-klaim miring dari masyarakat perkayuan. Kasus di KHJL menunjukkan bahwa hanya sistem Lacak-Balak internal yang telah terbangun baik yang dapat menjamin asal kayu rakyat. Mengembangkan sistem Lacak-Balak seperti itu tidak hanya memberikan manfaat bagi Unit Pengelola Hutan (memberi kepastian bagi para pembelinya), namun juga bagi pemerintah, yang akan memudahkannya mengontrol dan memantau aliran kayu di area-area hutan rakyat secara lebih efisien. Sistem sertifikasi FSC dan persyaratan-persyaratan CoCnya memberi kepastian dan menumbuhkan kepercayaan pembeli bahwa kayu yang mereka beli tidak berasal dari sumber-sumber ilegal atau area yang dikelola dengan buruk. Kasus KHJL memperlihatkan perluasan dari kebutuhan pengembangan kapasitas guna menerapkan suatu sistem yang kokoh, namun juga keuntungan-keuntungan finansial yang bisa didapat besar sekali. Diskusidiskusi bersama LEI menjadikannya jelas bahwa masa depan sertifikasi PHBM LEI akan memperoleh pertimbagan kuat dalam implementasi sistem Lacak-Balak di tingkat desa, khususnya sejak makin banyak industri kehutanan di Indonesia yang tertarik dengan sertifikasi CoC LEI.

80

PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

(13) Pemerintah daerah dapat memainkan peran penting dalam sertifikasi PHBM dan patut dilibatkan selama proses persiapannya Pemerintah-pemerintah daerah di Jawa yakin bahwa sertifikasi PHBM telah membantu mendidik petani di bidang kehutanan, lingkungan hidup dan kemanajemenan, telah mempromosikan organisasi swakelola dan menciptakan peluang-peluang peningkatan pendapatan daerah. Tahap persiapan dari proses sertifikasi memberi manfaat bagi pemerintah daerah karena adanya tambahan keabsahan dan peluang-peluang pendapatan yang diciptakan oleh pembentukan kelompok-kelompok tani yang memenuhi syarat untuk melaksanakan program-program pembangunan desa. Dengan melibatkan pemerintah daerah dapat juga membantu menyelesaikan kesulitan-kesulitan bidang ekonomi. Kasuskasus di Gunung Kidul dan Selopuro memperlihatkan bahwa pemerintah kabupaten bersedia menjadi saluran pendukung program-program walaupun organisasi-organisasi di desa itu tergolong baru dibentuk, dan bahkan bersedia menyediakan dana langsung untuk pengembangan keorganisasian. Di Gunung Kidul, pemerintah kabupaten telah mengambil alih gagasan sertifikasi dan saat ini menjadi kekuatan pendorong dibalik kegiatan promosi yang dilakukannya. Kasus di Konawe Selatan, di sisi lain, menunjukkan bahwa kesenjangan peran pemerintah dapat menciptakan disintensif bagi masyarakat tersertifikat. (14) Lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan satu sertifikasi PHBM masyarakat mungkin bisa dipersingkat Faktanya bahwa enam sertifikat PHBM pertama kali telah diberikan, waktu persiapan yang dibutuhkan untuk menyertifikasi PHBM satu desa di Indonesia mungkin bisa dipersingkat. Petani akan lebih mudah diyakinkan, khususnya jika pemerintah-pemerintah daerah ikut mempromosikan konsep ini. Masyarakat-masyarakat yang berminat dapat mengunjungi dan belajar dari tempat-tempat yang telah disertifikasi, yang terbukti terbuka dan bersedia berbagi pengalaman mereka. Beberapa studi tour telah dilakukan di Wonogiri dan Konawe Selatan. Dalam jangka panjang, setahunperiode persiapan bisa menjadi standar bagi satu kelompok kecil di desa-desa guna persiapan sertifikasi secukupnya.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH

81

(15) Pengalaman melakukan sertifikasi PHBM di hutan-hutan alam masih kurang Sejauh ini seluruh sertifikasi PHBM hany dilakukan pada hutan-hutan tanaman. LSM-LSM yang mempromosikan sertifikasi menilai bahwa sertifikasi hutan-hutan alam jauh lebih sulit. Betapapun, beberapa proyek semacam saat ini sedang dikerjakan dan akan didokumentasikan dengan baik. (16) Sertifikasi bukanlah pemicu praktek-praktek ketidakberlanjutan di area-area HR sebaliknya, ia berada di garda depan dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya dan kegiatankegiatan penanaman hutan lebih banyak lagi Sertifikasi PHBM di Indonesia tidak mencontohkan para petani untuk mengeksploitasi berlebihan kayu rakyat, walaupun ketertarikan pasar terhadap kayu bersertifikat telah meningkat pesat. Masyarakat telah terbiasa dengan pendekatan pemanfaatan yang berhati-hati dan mengembangkan pengaman-pengaman untuk menjamin pencapaian manfaat di bidang lingkungan hidup dari penanaman hutan dan reforestasi yang dapat dipertahankan hingga masa-masa mendatang. Di sebagian besar lokasi yang telah disertifikasi, minat pada penanaman pohon telah meningkat dan kawasan-kawasan hutan makin luas. (17) Masyarakat-masyarakat harus memainkan peran yang signifikan untuk percontohan mekanisme PEFGH Menciptakan area-area demonstrasi untuk menguji mekanisme usulrancangan baru (Pengurangan Emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan/Reduce Emission from Deforestation & Degradation/REDD) telah didefinisikan sebagai salah satu tugas-tugas penting yang diperlukan untuk membangun rejim karbon hutan global pada saat pertemuan COP-13 di Bali pada bulan Desember 2007.58 Masyarakat di kawasan HR bersertifikat telah berhasil melakukan pengelolaan hutan dengan baik dan dapat membuktikan bahwa mereka mampu membangun hutan, mencegah
58 mendorong pihak-pihak untuk mengeksplor ruang lingkup aksi, mengidentifikasi opsi-opsi dan melaksanakan usaha-usaha, termasuk kegiatan-kegiatan demonstrasi, untuk menyarankan dorongandorongan deforestasi yang relevan di lingkungan bangsa mereka, dengan suatu pandangan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan dengan itu mempertinggi cadangan karbon di hutan yang dihasilkan dari pengelolaan hutan-hutan berkelanjutan (UNFCCC, 2007). Uang untuk program-program rintisan semacam itu disediakan dari bantuan donor bilateral (a.l. Jerman, Australia dan Norwegia) dan melalui inisiatif Forest Carbon Partnership Facility dari World Bank.

82

PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

deforestasi, dan meminimalkan degradasi hutan. Seluruh masyarakat bersertifikat telah menunjukkan bahwa mereka mampu mengatur hutanhutan mereka menurut perspektif karbon dan keanekaragaman hayati. Banyak pertimbangan patut diberikan kepada masyarakat kehutanan dan para manajer lokal mereka ketika menguji dan menerapkan pendekatanpendekatan REDD di tingkat lokal di Indonesia. Mereka sebaiknya tidak dipertimbangkan semata-mata sebagai penerima manfaat, namun juga sebagai pengelola-pengelola sumberdaya yang lebih paham dan bertanggungjawab.

6. Kepustakaan

Colchester, M.; Sirait, M.; and Wijardjo, B. (2003): The Application of FSC Principles No. 2 and 3 in Indonesia: Obstacles and Possibilities. WALHI, AMAN, and The Rainforest Foundation Colchester, Marcus; Tejaswini Apte; Michel Laforge; Alois Mandondo and Neema Pathak (2003): Learning Lessons from International Community Forestry Networks: Synthesis Report. CIFOR, Bogor Down to Earth (2002): Forests, People and Rights. Down to Earth Special Report Gilmour, D.A. and R.J. Fisher (1998): Evolution in Community Forestry: Contesting Forest Resources in Community Forestry at a Crossroad: Reflection and Future Directions in the Development of Community Forestry, pp. 27-44. Proceedings of an international seminar held in Bangkok, Thailand, 17-19 July, 1997. RECOFTC Report No 16. Bangkok, Thailand FAO (1978): Forestry for Local Community Development. FAO Forestry Paper No 7. Rome: Food and Agricultural Organization of the United Nations Feyerabend, Grazia Borrini; Pimbert, M.; Farvar, M. T.; Kothari, A. and Renard, Y. (2004): Sharing Power: Learning by doing in co-management of natural resources throughout the World. IIED and IUCN/ CEESP/ CMWG, Cenesta, Tehran

84

KEPUSTAKAAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

FKKM (2002): Wajah-Wajah Konsep Social Forestry. Warta FKKM Vol. 5 No. 8 August 2002 Hindra, Billy (2007): Indonesia Community Forestry 2005 - Community Forestry Status Report. Paper presented at: Asia Pacific Tropical Forest Investment Forum, Bangkok, 68 August 2007 Hirsch, Philip (1998): Community Forestry Revisited: Messages from the Periphery in Community Forestry at a Crossroad: Reflection and Future Directions in the Development of Community Forestry, pp. 9-18. Proceedings of an international seminar held in Bangkok, Thailand, 17-19 July, 1997. RECOFTC Report No 16. Bangkok, Thailand Higman, Sophie and Ruth Nussbaum (2002): Getting small forest enterprises into certification: How standards constrain the certification of small forest enterprises. Proforest: Oxford, United Kingdom Husken, Frans (1998): Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo: Jakarta Ichwandi, Iin; Takeo Shinohara and Yuei Nakama (2007): The characteristics of private forest management in Wonogiri District, Central Java, Indonesia and its contribution to farm household income and village economy. TROPICS Vol. 16: March 31, 2007 (2) LEI (2004): Memoar satu Dekade Pergulatan Sertifikasi di Indonesia. LEI LEI (2002): Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Document Number LEI-V/NA LEI-03 LEI/FSC (2005): Collaboration Agreement between Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) and the Forest Stewardship Council (FSC) LEI/FSC (2003): Joint Certification Protocol (JCP) between LEI-accredited Certification Bodies and FSC-accredited Certification Bodies, March 2003 LEI/FSC (2001): Joint Certification Protocol (JCP) between LEI-accredited Certification Bodies and FSC-accredited Certification Bodies, October 2001 LEI/FSC (2000): Joint Certification Protocol (JCP) between LEI-accredited Certification Bodies and FSC-accredited Certification Bodies, September 2000

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEPUSTAKAAN

85

Markopoulos, M. (2000): The Role of Certification in Supporting Communitybased Forest Enterprises (CFE) in Latin America. Thesis submitted for a Doctor of Philosophy degree at the University of Oxford. Green College, Oxford Markopoulos, M. (2002): Standards-based approaches to community forestry development in Asia and the Pacific: A regional assessment and strategy. RECOFT Working Paper 1/2003. Bangkok, Thailand: Regional Community Forestry Training Centre for Asia and the Pacific Markopoulos, M. (2003): The role of certification in community-based forest enterprises in Social and political dimensions of forest certification, E. Meidinger, C. Elliott, and G. Oesten (eds.) www.forstbuch.de Molnar, A. (2004). Forest certification and communities. International Forestry Review 6(2), 2004. pp. 173-180 Muhshi, Muayat Ali (1998): The Community-based Forest Management Movement in Indonesia: Building Dialogue and Consensus in Community Forestry at a Crossroad: Reflection and Future Directions in the Development of Community Forestry, pp. 189-193. Proceedings of an international seminar held in Bangkok, Thailand, 17-19 July, 1997. RECOFTC Report No 16. Bangkok, Thailand Muhtaman, Dwi and Agung Prasetyo (2006): Forest Certification in Indonesia in Benjamin Cashore, Fred Gale, Errol Meidinger, Deanna Newsome (eds.) Confronting Sustainability: Forest Certification in Developing and Transition Countries. Yale School of Forestry and Environmental Studies Munggoro, Dani Wahyu (1998): Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri in Menguak Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri, pp. 4-14. Seri Kajian Komuniti Forestri. Seri 1, Tahun 1, March 1998. LATIN, Bogor Nussbaum, R., Michael Garforth, Hannah Scrase, and Matthew WenbanSmith (2000): An Analysis of Current FSC Accreditation, Certification and Standard-Setting Procedures Identifying Elements which Create Constraints for Small Forest Owners. ProForest: Oxford, UK Perhutani, Perum (1994): Experience of Perum Perhutani in The Implementation of Social Forestry Practices in Java in Social Forestry and Sustainable Forest Management, Hasanu, Simon (editor), Jakarta: Perhutani

86

KEPUSTAKAAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

PERSEPSI (2004): Sertifikasi Hutan Rakyat: Pengalaman Lapangan di Hutan Jati Jawa. Presentation at the LEI meeting and congress Menuju Organisasi Berbasis Konstituen, in Hotel Bumi Karsa (Komplek Bidakara), Jakarta, 18-22 October 2004 Poffenberger, Mark and Betsy McGean (eds.), (1996): Village Voices, Forest Choices, joint Forest Management in India. Oxford University Press, Delhi Richards, Michael (2004): Certification in Complex Socio-Political Settings: Looking Forward to the Next Decade. Forest Trends: Washington, D.C. Salim, E.; Djanlins, U. and Suntana, A. (1997): Forest Product Trade and Certification: An Indonesian Scheme. Presentation at the World Forestry Congress in Antalya, Turkey Segura, G. (2004): Forest Certification and Governments: the Real and Potential Influence on Regulatory Frameworks and Forest Policies. Forest Trends: Washington, D.C. Smith, Walter (2002): Group Certification Options: Costs and Benefits. SmartWood Program of Rainforest Alliance. www.smartwood.org Suharjito, Didik (2002): Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat. Postgraduate Program dissertation, University of Indonesia. Unpublished Taylor, Peter Leigh (2005): A Fair Trade Approach to Community Forest Certification? A Framework for Discussion. Journal of Rural Studies, v21 n4 pp. 433-447 Oct 2005. Elsevier: Orlando, USA Toulmin, C. (1997): Participatory management of communal resources. Paper prepared for DFID Natural Resources Advisors Conference, July 1997, Sparsholt in Markopoulos, M.D. (2000). The Role of Certification in Supporting Community-based Forest Enterprises (CFE) in Latin America. Thesis submitted for a Doctor of Philosophy degree at the University of Oxford. Green College, Oxford UNFCCC (2007): Decision on Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate action. See http://unfccc. int/meetings/cop_13/items/4049.php

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA KEPUSTAKAAN

87

Wasi, Prawase (1997): Community Forestry: The Great Integrative Force in Victor, M.; Lang, C and J. Bornemeier (eds.). 1998. Community Forestry at a Crossroad: Reflection and Future Directions in the Development of Community Forestry, pp. 3-8. Proceedings of an international seminar held in Bangkok, Thailand, 17-19 July, 1997. RECOFTC Report No 16. Bangkok, Thailand WWF and PERSEPSI (2004): Identifikasi Kesiapan Unit Manajemen Hutan Rakyat menuju Sertifikasi PHBML. E-Label, Jurnal Sertifikasi Ekolabel Edisi 2 October 2004, pp. 38-52. Yadav, Ganesh (1998): Progress in Community Forestry in India Community Forestry at a Crossroad: Reflection and Future Directions in the Development of Community Forestry, pp. 224-230. Proceedings of an international seminar held in Bangkok, Thailand, 17-19 July, 1997. RECOFTC Report No 16. Bangkok, Thailand

7. Lampiran

Lampiran 1: Jadwal kunjungan lapangan


No. Tanggal Kegiatan 1 31/10/2007 Kick off meeting (seluruh anggota tim) Pertemuan bersama ARuPA dan PKHR 2 01/11/2007 Pertemuan bersama kepala kantor dinas kehutanan Pertemuan bersama unit menejemen Giri Sekar Kunjungan lapangan 3 02/11/2007 Pertemuan bersama tim menejemen koperasi Wawancara dengan PKHR Pringsurat Pertemuan bersama PT Djawa Pertemuan bersama pelaksana tugas Green Living Perjalanan ke Solo 4 03/11/07 Pertemuan bersama GOPHR di Weru Kunjungan lapangan Pertemuan bersama PHPR Giriwoyo, Catur Giri Manunggal Lokasi Yogyakarta Desa Pijenan; Kabupaten Gunung Kidul

Desa Dengok dan Pringsurat; Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta Weru; Kabupaten Sukoharjo Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri

90

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

No. Tanggal 5 04/11/07

Kegiatan

Lokasi

Pertemuan bersama PHPR Sumberejo Sumberejo, Selopuro Kunjungan ke area hutan Selopuro Kabupaten Kunjungan ke workshop lapangan
Green Living

6 7

05/11/07 06/11/07

Kunjungan dari Yogya


ke Makassar via Jakarta

Wonogiri Makassar Kendari, Kabupaten Konawe Selatan

Perjalanan Makassar ke Kendari Pertemuan bersama tim menejemen


KHJL

Acara makan malam


bersama JAUH dan TFT 8 07/11/07

Kunjungan lapangan ke lahan hutan


KHJL Diskusi di kantor TFT Merangkum hasil diskusi Perjalanan dari Kendari ke Jakarta

Konawe Selatan, Kendari Kendari Jakarta

9 08/11/07 10 09/11/07

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

91

Lampiran 2: Daftar Pertanyaan Studi Sertifikasi PHBM


Catatan: Beberapa pertanyaan menyangkut sejarah, latar belakang, luas areal dan tipe hutan, dan lain-lain tidak perlu ditanyakan jika hal itu telah tercakup dalam laporan penilaian atau dokumen-dokumen lainnya. Bagian 1: Sejarah dan latarbelakang desa dan hutan-hutannya 1. Kapan desa ini berdiri dan dari mana penduduknya berasal? 2. Apa sumber matapencaharian pokok penduduk? 3. Kapan penduduk setempat mulai menanam pohon dan mengapa jati? Apa yang mereka harapkan dari bertanam pohon? Apakah mereka hanya menanam jati? 4. Mengapa mereka menanam pohon dan bagaimana dengan tanaman lainnya? 5. Apa sumber matapencaharian mereka ketika telah menanam pohon? 6. Siapa yang mula-mula bertanam pohon dan bagaimana respon penduduk lainnya? 7. Bagaimana penduduk desa mulai memahami pentingnya bertanam pohon dan bagaimana mereka melibatkan diri ke dalamnya? 8. Adakah organisasi petani swadesi di desa itu pada masa sebelumnya? Jika ada, apa peran organisasi tadi, bagaimana cara kerjanya, dan siapa saja anggotanya? 9. Apa bedanya antara situasi masa kini dan masa lampau dalam kaitannya dengan respon atas keterlibatan masyarakat/orang-orang dalam bertanam pohon, tingkat-tingkat organisasi di desa, keadaan lingkungan, banyaknya tanaman komoditi, akses untuk pemasaran, dll? 10. Apa peran yang dimainkan pemerintah (di daerah) dalam bertanam pohon dan pengelolaannya? 11. Data umum: luas hutan, volume, tambahan (jika ada).... Bagian 2: Belajar tentang sertifikasi 1. Kapan dan melalui siapa penduduk setempat mendengar tentang sertifikasi hutan? Apakah mereka terbiasa dengan sistem-sistem sertifikasi produk lainnya?

92

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

2. Bagaimana respon orang-orang desa, dan mengapa? Apakah seluruh penduduk desa menyukai sertifikasi, ataukah hanya sedikit saja yang terdorong melakukannya? 3. Mengapa konsep itu diterima? Siapa orang dalam yang mempromosikannya? 4. Apakah penduduk menerima para promotor/fasilitator dan mengapa? Apa yang mereka sodorkan? 5. Bagaimana pemerintah (daerah) dilibatkan dalam proses ini? Bagian 3: Persiapan dan pelaksanaan sertifikasi 1. Proses apa saja yang perlu disiapkan untuk disertifikasi? 2. Apa yang dirasakan orang selama proses persiapan dan asesmen? Sulitkah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan? Apakah mereka bingung? Sulitkah untuk memahami konsep-konsep sertifikasi? 3. Berapa lama waktu diperlukan sejak persiapan awal hingga asesmen dan dari persiapan awal hingga menerima sertifikat? 4. Siapa yang membayar persiapan-persiapan (termasuk pengembangan kapasitas)? Siapa yang membayar proses asesmen? 5. Apa intervensi-intervensi penting yang diperlukan untuk melaksanakan sertifikasi? (pengembangan kelembagaan, perumusan aturan-aturan tidak tertulis, inventarisasi, pengembangan cara penebangan, menejemen dan aturan pembagian keuntungan...) 6. Masalah-masalah apa yang dihadapi selama proses sertifikasi? Bagian 4: Konsekuensi melaksanakan sertifikasi 1. Apakah ada perbedaan-perbedaan setelah melaksanakan sertifikasi? Apa saja perbedaan itu? 2. Apa saja dampak negatif dan positif dari sertifikasi hutan dan penebangan pohon terhadap desa? 3. Berapa banyak kayu dijual per tahun? (sebelum dan sesudah sertifikasi) 4. Bagaimana harga kayu ditetapkan sejak melaksanakan sertifikasi? Siapa membeli kayu-kayu itu? Apakah ada pembeli baru yang tertarik? Apakah harga premium ditetapkan terhadap kayu bersertifikat? (berapa nilainya) 5. Apakah para penduduk desa peduli akan syarat-syarat tentang kualitas kayu yang dikehendaki pasar, kontinyuitas sediaan dan volumenya?

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

93

Apakah mereka menghadapi kesulitan untuk memenuhi syarat-syarat ini? 6. Apakah sekarang ada rancangan kelembagaan yang lebih baik setelah mengikuti sertifikasi? Apa saja yang tampak lebih baik? Apa yang tidak? 7. Adakah insentif-insentif lainnya saat ini dari pemerintah atau dari pihak-pihak lain? Adakah dukungan kebijakan dan regulasi, finansial atau infrastruktur? 8. Apakah situasi sekarang merupakan hal yang diharapkan terjadi oleh warga desa? Bagian 5: Tantangan-tantangan baru 1. Apakah rencana mendatang dan harapan-harapan terkait dengan perhutanan dan sertifikasi? 2. Apakah dukungan lanjutan dibutuhkan untuk membuat sertifikasi berfungsi secara efektif? (termasuk inisiatif pasar untuk green living, jejaring nusa hijau, dll.) 3. Akankah warga desa terus bekerja bersama para fasilitator? (PERSEPSI, PKHR, TFT, dll.) 4. Apa yang diharapkan warga desa dari pemerintah? 5. Apakah desa digunakan sebagai lokasi rintisan: apakah desa-desa tetangga juga mengetahui sertifikasi dengan baik? Bagian 6: Lacak balak (CoC) 1. Bagaimana sistem lacak balak digunakan? 2. Amandemen-amandemen apa saja yang dibutuhkan untuk melaksanakan sertifikasi? Apakah hal itu sulit diterapkan? 3. Apa saja kesulitan-kesulitan saat ini dalam melakukan lacak balak?

94

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Lampiran 3A: Lembar-fakta (Factsheet) tentang Sumberejo dan Selepuro, Wonogiri, Jawa Tengah 1. Sejarah
Wonogiri merupakan kabupaten terbesar dan salah satu termiskin di Jawa Tengah dan terletak di selatan Yogyakarta. Bentang alamnya didominasi oleh karst dan bukit-bukit batu kapur, lapisan tanahnya tipis, kurang subur dan mudah tererosi. Hutan-hutan rakyat meliputi 8,4% dan hutan-hutan negara mencakup 9% dari 182.236 hktar total luas wilayah kabupaten. Terdapat perbedaan signifikan antara musim kemarau dan hujan di kabupaten ini; hujan deras mendominasi musim penghujan dan mengakibatkan persoalan-persoalan erosi yang parah. Curah hujan rata-rata setahun Hutan jati rakyat di Wonogiri. 2.500 mm dengan jumlah hari hujan 180 hari per tahun. Kabupaten Wonogiri terletak di ketinggian antara 100 hingga 800 meter di atas permukaan laut. Di desa-desa Selopuro dan Sumberejo makanan pokok beras harus dibeli, karena lembah-lembah curam dengan cekungan-cekungan batu kapur mendominasi permukaan bumi. Menurut ketua kelompok hutan kemasyarakatan di Sumberejo, penanaman pohon pertama kali dilakukan pada tahun 1967, ketika para petani menyadari bahwa tanah-tanah mereka rusak, produktivitas tanaman pangan menurun dan kayu bakar langka. Masyarakat lantas menanam pohon-pohon dengan harapan akan memperbaiki kesuburan tanah. Ketika itu kayu yang paling banyak ditanam, dan masih ada sampai sekarang adalah jati dan mahoni. Petani memilih jenis pohon ini karena pembibitannya mudah dan nilai kayunya tinggi. Beruntung, tanamantanaman ini sangat cocok dengan kondisi tanah dan iklim di Wonogiri.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

95

Setiap tahun luasan hutan bertambah 8-15 m/ha/tahun. Setelah beberapa tahun menanam, para petani merasa bukan saja puas dengan pertumbuhan pohon mereka, namun juga menimbulkan efek-efek positif pada kondisi iklim mikro dengan baik. Pada tahun 1973, Program Pangan Dunia mengawali program aforestasi di tanah milik negara di Wonogiri. Jati dan mahoni ditanam di areaarea tandus dan di batas-batas tanah pertanian. Program Pangan Dunia juga memperkenalkan jenis tanaman Acacia auriculiformis. Penduduk setempat dilibatkan sebagai pekerja dalam kegiatan-kegiatan pembibitan dan penanaman. Walaupun para petani belum terbiasa dengan acacia, namun didorong oleh pertumbuhannya yang mengesankan dan cara mudah memeliharanya mereka pun membawa pulang bibit-bibit dan menanamnya di lahan mereka. Sampai saat ini, acacia masih tergolong jenis tanaman dominan di lahan-lahan masyarakat Selopuro dan Sumberejo, namun secara bertahap para petani mengganti tegakan acacia mereka dengan jati dan mahoni karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan lingkungan hidup. Pada tahun 1976/1977 dan juga pada tahun 1993, pemerintah pusat memulai kampanye aforestasi (penghutanan) di kawasan ini. Saat ini, lahan-lahan luas yang tanahnya cocok telah tertutup oleh kerimbunan pohon, dan kualitas lingkungan secara signifikan telah berubah. Penduduk setempat sekarang sudah dapat mengatasi persoalan kelangkaan air sejak mata air telah bermunculan lagi dan kualitasnya lebih baik. Para petani telah membangun satu kebiasaan yang khas berkaitan dengan hutan-hutan mereka dan mempraktekkan satu pola kontrol sosial yang unik: Para petani bangga dengan pohon-pohon mereka; makin besar pohonnya, makin tinggi status sosial mereka. Para petani merasa malu jika ada lahan mereka yang dibiarkan terbuka Para kepala desa, dalam posisi mereka sebagai pemimpin masyarakat, harus menjadi teladan yang baik dalam pemeliharaan pohon Secara konsekuen, para petani menolak menebang tegakan pohon mereka, dan mempertahankan apa yang disebut kerangka berpikir tebang

96

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

butuh (Saya menebang pohon hanya jika saya lagi terdesak kebutuhan untuk mendapat sejumlah uang, misalnya untuk membiayai sekolah lanjutan anak-anak saya), memperlakukan hutan-hutan mereka sebagai akun bank yang aksesnya berjangka panjang namun sewaktu-waktu bisa menyediakan uang tunai. Ukuran lingkar pohon minimal kayu jati untuk bisa dipanen telah ditetapkan 80 cm (berdiameter 25,5 cm pada ketinggian dada) dengan Keputusan Bupati SK 522.4/189/2007.

2. Persiapan untuk sertifikasi hutan


Hingga tahun 1985, penduduk setempat telah mulai mendirikan organisasi para petani yang independen untuk mengatasi persoalan-persoalan pertanian dan menciptakan satu forum komunikasi antar-petani. LSM PERSEPSI masuk ke desa-desa pada tahun 1998 dan merintis program hutan rakyat yang mendokumentasikan pengetahuan para petani tentang hutan dan membuat Kebun Bibit Desa (KBD). Warga desa antusias terhadap keberadaan kebun bibit karena mereka berharap mereka bisa menanam lebih banyak pohon di lahan mereka. Pada tahun 2001, PERSEPSI, yang kemudian dilibatkan dalam skema sertifikasi rintisan PHBM LEI, memperkenalkan konsep sertifikasi hutan kepada warga masyarakat desa. Para tokoh desa memahami sertifikasi sebagai pengevaluasi sistem pengelolaan hutan yang mereka lakukan, yang bisa membuat harga kayu menjadi meningkat tanpa perlu biaya tambahan (biaya-biaya sertifikasi akan ditanggung oleh PERSEPSI, yang menjanjikan green premium yang tinggi). Warga desa dengan segera menerima konsep ini. Kegiatan-kegiatan berikut ini telah dilakukan selama tahap persiapan untuk sertifikasi (antara tahun 2002 hingga 2004): Pengembangan kapasitas organisasi dan administrasi Pengembangan kapasitas perbaikan-perbaikan tehnik pertanian Inventarisasi dan pembuatan tanda-tanda batas secara partisipatoris Perbaikan-perbaikan dalam pengelolaan produksi hutan Pengembangan kapasitas penanaman dan budidaya hutan

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

97

Pohon-pohon jati tumbuh di tanah-tanah tipis bercampur batu gamping di Wonogiri.

Jumlah anggota Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) di Desa Sumberejo sebanyak 958 KK, tersebar di 8 wilayah dusun.59 Areal hutan mereka seluas 526,19 hektar (rata-rata satu keluarga memiliki 0,55 ha, beberapa diantaranya memiliki lebih dari 2,5 ha). Seluruh petani di desa itu bergabung dalam KPS. Di Selopuro juga, didirikan 8 KPS di tingkat dusun.60 Anggota seluruhnya sebanyak 682 KK. Luas hutan mereka 262,77 hektar (rata-rata satu keluarga memiliki 0,39 ha). Selama persiapan-persiapan sertifikasi, kelompok-kelompok tani mengadakan pertemuan secara periodik dalam rangka memperkuat kapasitas keorganisasian mereka. Namun demikian, KPS tidak punya wewenang atas penebangan dan penanaman lagi, KPS hanya menyediakan bimbingan saja bagi para petani perorangan. Ketua KPS tidak dibayar.

59 60

Dusun-dusun itu ialah Kalinekuk, Semawar, Ngandong, Wates, Rembun, Rowo, Puthuk dan Gembuk.

Dusun-dusun itu ialah Pagersengon, Jarak, Sudan, Selorejo, Watugeni Sidowayah, Tulakan dan Pendhem.

98

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Proses Sertifikasi Selopuro dan Sumberejo adalah desa-desa yang pertama kali tersertifikasi PHBM LEI di antara hutan-hutan kemasyarakatan di Indonesia. LEI dan mitra LSM-LSMnya menjadikan desa-desa tersebut sebagai area rintisan dan uji coba dalam mengembangkan program sertifikasi PHBM. Sayangnya, tidak dilakukan dokumentasi publik ketika proses sertifikasi itu dilaksanakan di sana. Sertifikasi diikuti dengan pendekatan Pengakuan atas Klaim dimana PERSEPSI bertindak sebagai penjamin. PERSEPSI menyelenggarakan kerja asesmen lapangan dan, dari hasil kerja dua hari kunjungan lapangan di kawasan itu, PT Mutu Agung Lestarisatu lembaga sertifier berakreditasi LEImereview laporan PERSEPSI dan mempersiapkan keputusan sertifikasi. Sertifikat telah diberikan kepada kedua desa itu pada bulan Oktober 2004 dan berlaku selama 15 tahun.

3. Perkembangan-perkembangan setelah diterimanya sertifikasi hutan


Banyak perubahan terjadi sejak dua desa disertifikasi. Menurut para tokoh desa, perubahan-perubahan itu termasuk: Desa-desa diakui sebagai pengelola hutan rakyat yang baik. Banyak pengunjung datang melihat dan belajar dan media massa banyak menaruh perhatian sampai sekarang Para petani merasa dihargai dan didorong usaha-usaha mereka untuk memperbaiki bentang alam dan menerapkan pengelolaan hutan yang baik Setelah menerima sertifikasi, pemerintah pusat menghibahkan dana khusus untuk mendukung usaha ekonomi produktif masyarakat Pemerintah daerah telah menerapkan program khusus untuk memperbaiki teras-teras lahan Sistem pinjaman telah diberlakukan dengan tegakan pohon sebagai barang jaminan Walau banyak pembeli baru melakukan pendekatan kepada kelompokkelompok tani, penduduk setempat masih belum memperoleh green premium untuk kayu bersertifikat mereka bahkan sampai tiga tahun setelah sertifikasi. Dengan produksi bulanan 3-7 m mereka tidak bisa memenuhi keinginan pembeli akan kualitas, kuantitas dan jadwalnya

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

99

Pengecualian hanya terjadi atas transaksi dengan PT NOVIKA (Bali), yang membeli kayu trembesi (Samanea saman) dan membayar dengan harga di atas harga pasar Baru-baru ini LEI telah melansir inisiatif Green Living sebagai sarana promosi untuk memantapkan industri rumah-rumah tangga yang memanfaatkan kayu bersertifikat LEI sebagai bahan baku produkproduk mereka. Pendekatan ini diharapkan merupakan satu kemungkinan solusi atas permasalahan-permasalahan pemasaran yang ada. Sebagai tambahan, para petani mendukung pendirian pusat penampungan kayu gelondongan bagi seluruh kayu bersertifikat di wilayah Wonogiri, dinamakan Aliansi Pengelola Hutan Sertifikasi (APHS), yang akan mempersiapkan prosedur-prosedur pemasarannya sendiri Sertifikasi tidak menuntun menuju cara-cara intensifikasi budi daya hutan. Budi daya hutan sama sekali sulit dipraktekkan dan kualitas kayu tetap dibawah potensinya yang sesungguhnya

4. Pembelajaran yang diperoleh


Mengubah kebiasaan-kebiasaan petani butuh waktu penduduk setempat di Selopuro dan Sumberejo masih memperlakukan hutanhutan mereka sebagai aset berjangka panjang dan memeliharanya dengan cara-cara sangat konservatif kalau mau ditebang. Mereka menghargai nilai manfaat ekologi lebih daripada nilai komersial berkelanjutannya. Kebiasaan ini telah menyulitkan pihak luar untuk membeli kayu dari area itu, dan bisa jadi menciptakan persoalanpersoalan bagi inisiatif-inisiatif baru seperti Green Living dan APHS, sejak rancangan-rancangan pasar yang cocok nampaknya jadi sulit. Namun demikian, jika perbedaan substansial dalam harga bisa disepakati, perubahan perilaku boleh jadi dapat diharapkan, dan mungkin saja malah merubah budi daya hutan Skala ekonomis penting produksi kini 3-7m3 per bulan terlalu kecil untuk memikat para pembeli non-lokal. Proyek-proyek sertifikasi PHBM harus menghitung aspek-aspek pasar selama tahap pengembangan guna memastikan bahwa penduduk setempat telah memahami ketentuan-ketentuan pasar dan skala ekonomis sejak awal prosesnya Sertifikasi menciptakan peluang-peluang pendapatan baru desadesa bersertifikat menjadi terkenal, hal itu meningkatkan minat mereka

100

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

guna menerima dukungan melalui program-program pertanian dan perhutanan pemerintah daerah dan pemerintah pusat Sertifikasi butuh jaminan jangka panjang sejak tak satupun kelompok masyarakat secara khusus terlibat dalam penjualan kayu petani, sebagai pemegang sertifikat mereka terjerat persoalan aliran kas. Tak satu sistempun memberi bantuan kepada anggota masyarakat untuk menjual kayu mereka melalui unit manajemen. Satu kunjungan pelacakan ulang yang akan dilakukan pada tahun 2009 dan tanpa bantuan dana dari PERSEPSI, satu pertanyaan penting masih mengganjal tentang bagaimana kelompok-kelompok masyarakat akan mampu membayar biaya-biaya sertifikasi yang akan datang

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

101

Lampiran 3B: Lembar fakta (Factsheet) tentang Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunung Kidul, Jawa Tengah 1. Sejarah hutan-hutan di Gunung Kidul
Bentang alam Gunung Kidul didominasi oleh karst dan bukit-bukit batu kapur. Lapisan tanahnya tipis, kurang subur dan mudah tererosi. Ketinggian kabupaten ini antara 100 hingga 300 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan tahunan antara 1.700 hingga 2.500 mm selama sekitar 122 hari. Pola curah hujan ini, banyak hujan lebat dalam musim hujan yang singkat, dan mengakibatkan persoalan-persoalan erosi yang parah dan banyak kekurangan air selama musim kemarau. Kelangkaan air pada musim kering merupakan kendala utama untuk bercocok-tanam tanaman pangan di Gunung Kidul. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 148.536 ha, lebih dari 28.000 ha di antaranya saat ini termasuk area hutan rakyat. Lokasinya tersebar di 144 desa.

Desa Pijenan, Gunung Kidul.

Pada tahun 1963, setelah pemerintah pusat meluncurkan program penanaman pohon di wilayah ini, banyak warga masyarakat yang dipekerjakan sebagai buruh ikut menanam pohon di lahan mereka sendiri. Pada mulanya, menanam pohon bukan bertujuan komersil, namun didorong oleh keinginan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis dan memperbaiki ketersediaan air selama musim kemarau. Kantor

102

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Dinas Kehutanan juga menyediakan bibit, dan sama seperti yang terjadi di Kecamatan Weru (lihat Lampiran 3D), para petani menanam pohon sepanjang tapal batas tanah-tanah pertanian mereka. Dalam beberapa kasus, para petani menerima bibit dari hutan-hutan negara, yang umumnya ditanam secara acak. Jati, mahoni dan akasia adalah jenisjenis tanaman yang ditanam tadi. Jati telah, dan sampai sekarang masih menjadi tanaman yang lebih disukai untuk ditanam karena nilai jualnya tinggi. Para petani di Gunung Kidul membagi lahan mereka dalam 3 kategori: (1) Alas/Wono (kawasan hutan): area yang diperuntukkan bagi tanaman pohon, tidak untuk ditanami tanaman pangan, letaknya relatif jauh dari rumah-rumah petani. Tanah di area-area ini jenisnya tipikal bebatuan dan tidak subur, sementara tanahnya berbukit-bukit dan curam (2) Tegalan (ladang): area-area untuk produksi tanaman kayu. Tanaman pangan, pohon-pohon kayu dan kayu bakar pada umumnya ditanam secara tumpang sari. Penggunaan lahan di area-area ini lebih intensif daripada di kawasan hutan (3) Pekarangan/Kebon (halaman rumah): area-area di sekitar rumah petani. Pohon-pohon pada umumnya ditanam sepanjang garis batas area dimana di dalamnya sayur-sayuran dan tanaman pangan biasanya juga ditanam Tanaman keras terdapat pada masing-masing kategori lahan di atas, intensitas pengelolaannya rendah dan tak ada teknik budi daya hutan yang baik diterapkan. Manfaat-manfaat ekologis yang nyata dari pemeliharaan pohon jelas dirasakan oleh seluruh warga desa. Potensi produksi total tahunan dari seluruh kawasan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul diperkirakan sekitar 80.000 hingga 100.000 m. Sejauh ini, tiga desa telah lulus sertifikasi PHBM LEI, yaitu desa-desa Kedung Keris, Dengok dan Giri Sekar. Di desa Kedung Keris di Kecamatan Nglipar, masyarakat Margo Mulyo telah biasa dengan aktivitas organisasi-organisasi masyarakat sejak lama. Kelompok tani pertama didirikan di desa itu pada tahun 1950-an.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

103

Kelompok itu didirikan oleh Pak Pawiro Redjo, dengan tujuan strategis untuk menyediakan tanaman-tanaman pakan ternak, bekerja bersama untuk mengatasi persoalan memproduksi pakan ternak di lahan yang tak subur. Sepanjang tahun 1970-an, Pak Joyo Sumarto memimpin kelompok ini dan mengarahkan kegiatan-kegiatannya ke bidang perhutanan dan penanaman pohon di lahan milik pribadi. Pada tahun 1987, kelompok tani lainnya secara formal didirikan secara independen dan tidak tergantung pada bimbingan dari perangkat desa. Di Desa Dengok di Kecamatan Playen, kegiatan-kegiatan hutan kemasyarakatan telah mulai sejak lama di tanah yang dimiliki oleh perangkat desa, dimana kepala desa memegang kewenangan untuk mengelola tanah ini dan menerima manfaat dari pengolahannya. Banyak tegakan pohon jati tua di tanah itu, dan para petani dapat mengumpulkan tunas-tunas muda yang baik untuk mereka tanam di lahan mereka masingmasing. Pada pertengahan 1960-an tegakan jati hampir habis sama sekali karena hutan-hutan kebanyakan ditebang, jadi para petani merambah hutan-hutan negara di sekitarnya jika mereka butuh kayu. Menanam jati direkomendasikan sejak tahun 1970-an. Di desa Giri Sekar di Kecamatan Panggang penamanan jati dipicu oleh instruksi perangkat desa yang mengumumkan bahwa bagi setiap pasangan pengantin baru diwajibkan menanam 10-20 pohon jati. Pada saat yang sama, warga desa juga dilibatkan dalam desa percontohan pada program aforestasi Inpres Penghijauan. Staf dinas kehutanan melakukan kunjungan ke desa secara periodik guna memberi penyuluhan tentang penanaman pohon, khususnya jati. Secara bertahap, rakyat memahami bahwa penanaman pohon dapat memperbaiki kondisi-kondisi ekologis di desa mereka.

2. Persiapan untuk sertifikasi hutan di lahan-lahan petani


Proses-proses sertifikasi di tiga desa difasilitasi oleh tiga organisasi yang berbeda, seluruhnya menggeluti bidang pengelolaan hutan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat. Seluruhnya bertindak sebagai promotor sertifikasi hutan, yang mereka pahami sebagai satu cara untuk menjamin

104

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

pengakuan pasar atas hutan-hutan yang dikelola secara berkelanjutan berbasis masyarakat. Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta memulai program fasilitasinya tentang pengelolaan hutan kemasyarakatan di Kedung Keris pada tahun 2000. Tahun berikutnya, PKHR mendukung inventarisasi dan pemetaan lahan petani dan menyediakan pendampingan bagi kelompok-kelompok tani yang ada. Tiga dusun bersertifikat di Desa Kedung Keris, dinamakan Kedung Keris, Pringsurat dan Sendowo Kidul memiliki luas area 184,25 ha. Asosiasi petani hutan kemasyarakatan setempat dinamakan Paguyuban Kelompok Tahi Hutan Rakyat (PKTHR) Margo Mulyo. LSM Shorea memulai memfasilitasi proses sertifikasi di desa Dengok pada tahun 2004. Kawasan tersertifikasi mencakup area seluas 229,10 ha yang dimiliki oleh tiga dusun yakni dusun-dusun Dengok IV, Dengok V dan Dengok VI. LSM AruPA mulai memfasilitasi proses sertifikasi di Giri Sekar pada tahun 2004. Kawasan tersertifikasi mencakup area seluas 401,83 ha dan dimiliki oleh tiga dusun yakni dusun-dusun Jenan, Jeruken dan Blimbing. Dalam rangka memperbaiki sinergi antara tiga desa, para promotor sertifikasi PHBM setuju memfasilitasi pendirian organisasi payung, yang akan bertanggung jawab atas seluruh area hutan kemasyarakatan di Kabupaten Gunung Kidul. Organisasi berbasis masyarakat ini akan mengambil peran sebagai agen komersil bagi kelompok-kelompok tani, dengan target meningkatkan akses pasar seraya memantapkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) pada saat yang sama. Pendekatan organisasional yang paling tepat diterapkan nampaknya berupa koperasi. Pada mulanya, tidaklah mudah untuk memperoleh kepercayaan desa atas SFM, pengembangan kelembagaan atau sertifikasi hutan. Para fasilitator semula bertindak melalui sejumlah kecil para tokoh kunci warga desa yang dengan pelan namun pasti, menyebarkan pengaruhnya kepada para petani yang lain. Sekarang, sebagian besar mereka telah bergabung dalam

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

105

kelompok-kelompok tani hutan di dusun dengan nama Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR). Di Giri Sekar, misalnya, proses yang dilaksanakan oleh AruPA dimulai dengan hanya 9 orang yang berminat. Sekarang, bagaimanapun, KTHR di Giri Sekar telah memiliki 371 anggota dengan luas area 55.313 m tegakan kayu. Para petani juga membentuk organisasi payung di tingkat desa yang dinamakan Paguyuban Sekar Pijer. Elemen-elemen penting dari program-program pendukung promotor sertifikasi termasuk pengembangan kapasitas bagi warga masyarakat, dan pembentukan kerangka kelembagaan aforestasi (penghutanan). Mereka menawarkan pelatihan di bidang-bidang berikut: Pemetaan dan pembuatan tapal batas secara partipatoris Inventarisasi hutan Pembentukan lembaga (organisasi dan administrasi) Budi daya hutan (silvikultur) Pupuk organik Lacak-Balak Pengelolaan koperasi Monitoring dan evaluasi Prosedur-prosedur sertifikasi Pada tahun 2006, sebagai prasyarat untuk melaksanakan sertifikasi hutan tiga desa mendirikan koperasi di tingkat kabupaten dengan nama Wana Manunggal Lestari, yang bertugas mengurus seluruh aspek komersial pengelolaan hutan di tingkat desa. Kantor koperasi terletak di Dengok dan para anggotanya juga menjadi anggota kelompok-kelompok dusun dan asosiasi-asosiasi petani hutan desa. Para anggota harus membayar sekali iuran registrasi pendaftaran sebagai anggota dan diwajibkan menyerahkan data inventarisasi hutannya kepada koperasi. Kendati begitu, manajer koperasi tidak digaji. Pembuatan sistem kelola informasi di koperasi ini saat ini sedang dikerjakan. Para promotor menggemparkan ketertarikan petani pada sertifikasi hutan dengan menjanjikan harga-harga kayu lebih tinggi (green premiums) antara 20 30 %. Lebih dari itu, mereka melobi pemerintah daerah, memberitahukan perannya yang penting dalam mengimplementasi SFM. Hasilnya, pemerintah daerah mendirikan kelompok kerja hutan rakyat

106

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

(POKJA Hutan Rakyat) yang melibatkan para pemangku kepentingan hutan rakyat di seluruh kabupaten. Kelompok ini dipimpin oleh Kepala Bappeda dan Kepala Dinas Kehutanan. Anggota-anggota lainnya termasuk Sekretaris Daerah (Setda), Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop), Kepala Dinas Peternakan (Disnak), Kepala Dinas Pertanian (Distan), Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (Kapedal) dan Kepala Dinas Perekonomian (Dinas Perekonomian), bersama-sama seluruh LSM promotor dan wakil-wakil kelompok tani. Melalui kelompok kerja ini, pemerintah daerah bertujuan mempromosikan hutan kemasyarakatan di kawasan ini. Dia juga memanfaatkan organisasi-organisasi petani untuk melaksanakan program-program pendukung lainnya (pertanian). Proses Sertifikasi Sejak koperasi berdiri, dengan dukungan dari POKJA Hutan Rakyat tim pengelolanya melakukan kontrak dengan TUV Internasional, lembaga sertifikasi berakreditasi LEI, guna mengadakan satu penilaian terhadap unit-unit pengelola hutan berbasis masyarakat yang terwakili oleh koperasi di Gunung Kidul. TUV menggunakan standar PHBM LEI untuk melakukan penilaian. Analisis tipologinya menunjukkan bahwa hutan-hutan di Gunung Kidul memiliki tipe lahan hutan dibawah kepemilikan resmi swasta, digunakan secara komersil dan terklasifikasi sebagai area nonhutan. Komunitas-komunitasnya diasesmen menurut skema Asesmen oleh Pihak Ketiga, dimana TUV melaksanakan kerja penilaian lapangan pada bulan Agustus 2006.59 Penilaian menemukan bahwa beberapa aspek teknis dan sebagian besar keorganisasian perlu diperbaiki, sementara isu-isu sosial dan ekologikal dinilai antara wajar hingga baik. Berdasarkan laporan penilaian, review mendalam, dan pertemuan panel ahli, koperasi dinyatakan memenuhi syarat menerima sertifikasi PHBM LEI. Beberapa rekomendasi dikeluarkan, khususnya berkaitan dengan kapasitas pengawasan yang dilakukan koperasi.

59

Penilaian dilakukan menurut skema sertifikasi PHBM LEI nomor 20; kategori K-IV; trek C. Tim TUV diketuai oleh Dian Soemintha, dengan Rina Agustine dan Thomas Hidayat sebagai penilai (asesor) lapangan.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

107

Biaya-biaya yang diperkirakan sebesar USD 10.000 untuk kontrak dengan TUV dibayar patungan oleh tiga promotor sertifikasi. Mereka menginvestasikan tambahan dana sebesar USD 50.000 hingga 60.000 per desa untuk persiapan sertifikasi, belum termasuk pengembangan kapasitas di bidang pertanian dan aktivitas-aktivitas penelitian. Seluruh pendanaan disediakan oleh DFID. Persiapan terpentingnya makan butuh sekitar dua tahun di masing-masing desa.

3. Perkembangan-perkembangan setelah diterimanya sertifikasi hutan


Walaupun koperasi telah didirikan, para petani Gunung Kidul masih terus menebang pohon-pohon mereka menurut kebutuhan-kebutuhan perorangan daripada mengikuti apa yang telah direncanakan bersama oleh tiga desa. Para petani pada umumnya memperlakukan hutanhutan mereka bagaikan rekening bank, hanya ditebang jika mendadak butuh uang, untuk keperluan-keperluan seperti sekolah, perkawinan atau membangun rumah. Sejauh ini, para penjual kayu melangkahi koperasi, yang masih kekurangan dana untuk membayar dulu kayu-kayu petani. Para petani hanya mengritik koperasi dan hanya bersedia menjual kayu mereka ke koperasi jika (1) dibayar tunai dan (2) koperasi membeli dengan harga lebih tinggi dari harga di pasaran. Para petani sepenuhnya tahu akan adanya salah urus dalam kepengurusan koperasi di tempat-tempat lain dan, konsekuensinya, mereka perlu diyakinkan bahwa koperasi Wana Manunggal Lestari sepenuhnya dapat dipercaya. Peran-peran koperasi saat ini mencakup bimbingan bagi petani dan pemantauan penggunaan bantuan yang disepakati sesuai prosedur-prosedur operasi standar. Dengan demikian, cukup sulit bagi koperasi untuk menyusun rencana bisnis yang bagus dan meyakinkan kalangan industri bahwa dia bisa memasok sejumlah volume kayu. Hasilnya, sertifikasi belum menghasilkan harga-harga premium seperti yang dibayangkan semula. Keterbatasan dana menghambat, beberapa manfaat sertifikasi yang telah kelihatan: Kohesi antara tiga desa dan para anggota mereka telah diperbaiki dengan cara membentuk kelompok-kelompok tani dan koperasi

108

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Para petani sekarang bisa menghitung aset kayu mereka dengan jelas, setelah mereka mampu melakukan inventarisasi hutan dan mulai mengatasi persoalan-persoalan perbatasan dan pendaftaran lahan Sertifikasi telah membuat penduduk setempat lebih paham tentang SFM dan isu-isu lingkungan Sertifikasi telah memperkokoh hubungan antara produser-produser lokal dengan pemerintah daerah, yang melakukan kunjungankunjungan lapangan secara reguler, berbagi pengalaman mengenai pemeliharaan dan pengelolaan hutan, dan bertindak sebagai lembaga pemberi ijin untuk pengangkutan kayu Banyak petani luar datang untuk belajar dari desa-desa bersertifikat, dan beberapa desa tetangga tertarik mengikuti cara-cara mereka. Melalui POKJA Hutan pemerintah daerah mengumumkan bahwa dia akan mempromosikan sertifikasi SFM dan PHBM secara besar-besaran. Barubaru ini disiapkan target sertifikasi tambahan bagi 69 desa yang meliputi areal seluas 15.000 ha dan mewakili produksi tahunan maksimal hingga 40.000 m, umumnya jati. AruPA memperkirakan biaya persiapan dan sertifikasi hingga USD 350.000. Sumber dana masih sedang dalam proses penetapan.

4. Pembelajaran yang diperoleh


Proses sertifikasi di Gunung Kidul telah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman seluruh pemangku kepentingan tentang SFM, bukan hanya melibatkan para petani, melainkan juga pemerintah daerah dan kalangan industri setempat Mengubah perilaku petani Jawa butuh waktu, sebagaimana keberhasilan implementasi dari rancangan-rancangan kelembagaan baru Sertifikasi di Gunung Kidul tidak meningkatkan eksploitasi kayu oleh petani, walaupun terjadi peningkatan minat pasar belakangan ini terhadap kayu rakyat bersertifikat Pendirian koperasi merupakan langkah penting untuk memperkuat SFM. Namun demikian, sejauh ini menunjukkan bahwa kapasitas koperasi masih terbatas dalam melakukan transaksi dengan para pembeli. Nampaknya akan bermanfaat jika sejak awal pada saat

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

109

proses persiapan sertifikasi hutan aspek-aspek pasar sekaligus dapat diperkenalkan Koperasi perlu dana (bergulir) untuk membayar dulu pembelianpembelian kayu dari para petani, sebagaimana langkah-langkah implementasi transparansi prosedur administratif dalam rangka membangun kepercayaan dari anggota-anggota masyarakat yang masih skeptis Jika koperasi tidak bisa menyediakan aliran kas yang cukup (menurut skala ekonomis juga), ia bakal tidak mampu membayar gaji para stafnya dengan layak, maupun memenuhi tanggungjawab penyimpanan data, pengelolaan dan pengawasan. Hal ini pada akhirnya akan membuat sistem sertifikat yang ada rawan dikritik Beberapa organisasi petani bersertifikat butuh dana awal dari para donor untuk minimal dua tahun, atau dukungan langsung jangka panjang dari para pembeli agar mampu menerapkan dan mengokohkan pengelolaan berkelanjutan atas hutan-hutan rakyat Hingga kini, sertifikasi tidak meningkatkan teknik-teknik budi daya hutan meskipun terdapat potensi yang jelas untuk perbaikan cara pengelolaan yang ada Pelibatan pemerintah daerah sungguh-sungguh sangat bermanfaat dalam proses sertifikasi di Gunung Kidul. Pemerintah telah menumbuhkan kepercayaan bahwa sertifikasi PHBM membantu mendidik petani tentang perhutanan dan masalah-masalah lingkungan, mempromosikan swakelola dan menciptakan peluangpeluang untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pemerintah daerah telah menyalurkan beberapa program pendukung melalui kelompokkelompok tani dan telah menyediakan dana untuk membentuk asosiasi-asosiasi payung

110

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Lampiran 3C: Lembar fakta (Factsheet) tentang Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara 1. Sejarah hutan-hutan di Kabupaten Konawe Selatan
Hutan tanaman jati, pertama kali ditanam dalam era Kerajaan Muna, yang berkuasa di pulau Muna dan sebagian pulau Buton di Sulawesi Tenggara hampir lebih dari seribu tahun. Bibit-bibit jati itu berasal dari Jawa. Orangorang dari Kendari kemudian mengumpulkan bibit-bibit dari pulau ini dan menanam sepanjang garis batas lahan-lahan pertanian mereka. Sisa pohon-pohon jati tua masih bisa ditemukan saat ini di dekat lahan pertanian komunal. Pada tahun 1969, pemerintah daerah membuat kebijakan internal untuk memperluas dan meningkatkan hutan tanaman jati di Sulawesi Tenggara dengan dana dari pemerintah pusat. Program Rehabilitasi Hutan ini berlangsung sampai tahun 1982. Antara tahun 1982 hingga 1999 program tersebut difokuskan ulang dan dikelola dibawah program pengembangan perkebunan kayu (hutan tanaman).

Contoh hutan jati rakyat di Konawe Selatan pada musim kemarau.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

111

Dengan kedua program tersebut, kantor dinas kehutanan merekrut masyarakat lokal untuk mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman. Bibitbibit yang tidak tertanam di perkebunan-perkebunan kayu yang ditawarkan kepada warga agar mereka menanamnya sendiri. Banyak warga masyarakat memulai kegiatan-kegiatan aforestasi dengan menanam bibit-bibit itu di lahan-lahan komunal di sekitar hutan-hutan tanaman kayu milik negara. Para petani selain menanam pohon di dalam atau di sekitar kawasan mereka dengan cara yang sama dengan skema agroforestri atau plot-plot aforestasi seluas hingga 2 hektar dimana di lokasi itu tidak diperuntukkan guna menanam tanaman komoditi seperti coklat, kopi, jambu mente dan padi menurut skema hutan tanaman kayu berluasan kecil. Reaksi atas meningkatnya harga-harga jati di Jawa pada akhir tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan furnitur jati di sana mulai melirik kawasan lain Indonesia sebagai alternatif sumber perolehan kayunya. Satu sistem bisnis telah dikembangkan dimana warga masyarakat perorangan yang ingin menjual tegakan pohonnya bisa langsung menjual ke perantara, yang, selanjutnya, pembeli perantara itu menjadi supplier kayu-kayu tebangan tadi bagi para pembeli yang lebih besar. Para pembeli yang lebih besar lantas menjual kayu-kayu gelondongannya ke perusahaanperusahaan, biasanya di Jawa. Para perantara biasanya bertindak juga sebagai koordinator penghubung lokal bagi perusahaan-perusahaan dan masyarakat, secara formal meminta ijin eksploitasi pada kantor dinas kehutanan sesuai dengan rencana penebangan blok-blok yang telah terinventarisasi dalam kewenangannya. Meskipun seluruh pihak yang terlibat jelas akan memperoleh keuntungan finansial, namun sistem ini masih memiliki beberapa kelemahan; salah satunya ialah belum adanya input budi daya hutan sama sekali, yang sudah mengancam peluang ketersediaan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang dan keberlanjutan hutan-hutan jati mereka. Pada tahun 2003, pemerintah pusat meluncurkan program Perhutanan Sosial-nya. Program Perhutanan Multi-Stakeholder yang didukung oleh DFID ini, dan melibatkan LSM lokal dan dinas kehutanan kabupaten, tujuan utamanya adalah mengajak penduduk setempat ikut mengelola hutan-hutan negara.

112

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pemerintah pusat mengundang 48 desa sekitar hutan tanaman jati milik negara di Konawe Selatan untuk bergabung dalam program Perhutanan Sosial, dan berjanji akan memberi mereka hak-hak konsesi komunal. Desa-desa itu membentuk dua organisasi masyarakat: LKAK (Lembaga Komunikasi Antar Kelompok) guna mewakili kelompokkelompok masyarakat di tingkat kecamatan, dan di tingkat kabupaten dibentuk KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari). KHJL bertugas memfasilitasi komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat dan bertindak sebagai badan legislatif di dalam koperasi, sedangkan fungsi utama KHJL adalah mengintegrasikan seluruh kegiatan terkait dengan pengelolaan dan pengawasan hutan. Wakil-wakil penting dari aparat desa (kepala desa dan kepala dusun) mempromosikan pengembangan lembaga baru ini dan mereka sendiri menjadi anggota koperasi. Prosesnya difasilitasi oleh LSM lokal Jaringan Untuk Hutan (JAUH). Tropical Forest Trust (TFT), satu lembaga swasta, menaruh minat untuk mengembangkan dan berusaha mempersiapkan rantai pemasok yang transparan dan berorientasi FSC bagi anggota-anggotanya pembelipembeli jati. Hingga tahun 2004, betapapun, belum ada kemajuan signifikan dicapai berkaitan dengan pengelolaan hutan-hutan negara berbasis masyarakat, yang telah mengalami kemerosotan akibat dari maraknya penebangan liar.

2. Persiapan untuk sertifikasi hutan di lahan-lahan petani


Pada bulan Juni 2004, TFT dan KHJL menandatangani kontrak MoU yang bertujuan untuk memberdayakan anggota-anggota koperasi guna memperbaiki pengelolaan hutan-hutan rakyatnya dengan cara mengelolanya secara berkelanjutan, sesuai dengan yang digariskan menurut sertifikasi FSC. Sebagai wujud dari keinginan mereka untuk bekerja sama, TFT dan JAUH juga menyusun satu MoU dengan TFT yang isinya memfokus pada aspek-aspek teknis pengelolaan hutan berkelanjutan dan pemasaran, sementara JAUH berkonsentrasi pada aspek kelembagaan, sosial dan pemerintahan. Setelah MoU itu ditandatangani, tiga organisasi bekerja bersama-sama secara intensif untuk mempersiapkan hutan-hutan swasta disertifikasi

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

113

dengan standar FSC. Tugas ini termasuk aspek-aspek teknis dan keadministrasian, penyusunan prosedur-prosedur dan standar-standar yang baik dan mengadaptasi sistem pengelolaan lokal, dan melakukan sosialisasi sistem kepada seluruh warga masyarakat yang berminat. Untuk persiapan lapangan para pihak sepakat untuk fokus pada 12 desa. Pada awalnya, 186 petani dengan luas hutan tanaman jati 159 ha memasukkan lahan mereka dibawah pengelolaan koperasi. Para petani memilih pendekatan berhati-hati; tidak seluruh rumah tangga di desa-desa itu bersedia bergabung dengan KHJL, dan para anggota tidak menjanjikan akan menyertakan seluruh lahan hutan mereka. Untuk mencukupi biaya-biaya operasional koperasi TFT menyediakan dana bergulir dan memperkenalkan koperasi kepada pembeli-pembeli anggota TFT, yang memungkinkan KHJL menerima kontrak pembelian pertamanya sebelum memperoleh sertifikat FSC. TFT mengijinkan KHJL menggunakan logo TFT pada kayu gelondongannya, dan menyediakan penempatan tag untuk produk-produk para pembeli anggota TFT (proses langkah ini diakui dalam sistem kontrol kayu TFT pada unit-unit yang dipersiapkan untuk FSC sertifikasi). TFT dan KHJL juga memperkenalkan satu prosedur inventarisasi hutan dan konsep sederhana untuk menghitung Layak Tebang Tahunan (LTT). Namun tetap saja, pengelola KHJL harus menanggung beban risiko serius dan kerugian finansial atas tanggungan perorangan manakala ia mulai memasuki bisnis sertifikasi, hal mana menjadi beban berat bagi para stafnya. LTT perlu disepakati oleh para anggota koperasi. Setiap tahun mereka juga menyetujui blok-blok lokasi penebangan. TFT, JAUH dan KHJL menyusun sistem resolusi konflik, yang disosialisasikan kepada seluruh anggotanya. Hubungan-hubungan baik antar-para pemangku kepentingan di Konawe Selatan dan peran-peran yang mereka harapkan di masa depan tampak dalam Lampiran 3C Gambar 1. Banyak dokumen dihasilkan selama proses persiapan untuk sertifikasi PHBM. Seluruhnya disusun bersama-sama oleh KHJL, TFT dan JAUH, dan disosialisasikan kepada anggota-anggota koperasi termasuk calon anggota potensial. Dokumen-dokumen ini tercantum dalam Tabel 2.

114

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Setelah 9 bulan persiapan intensif, pada bulan Februari 2005 TFT, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan proses sertifikasi, mengajukan permohonan kepada SmartWood mewakili koperasi untuk mengikuti sertifikasi FSC dengan skema Hutan Dikelola dengan Intensitas Rendah Berskala Kecil (Small and Low Intensity Management of Forests/SLIMF). TFT menanggung seluruh biaya asesmen, yang jumlahnya sekitar USD 14.000. Pada bulan Mei 2005, SmartWood menerbitkan sertifikat, meminta koperasi untuk memperbaiki beberapa Permintaan Tindakan Perbaikan (PTP) minor. Pada tahun 2006, KHJL membuktikan bahwa ia mempu melaksanakan tuntutan prosedur sertifikat setelah dilakukan survei ulang audit pertama, yang juga didanai oleh TFT.

3. Perkembangan-perkembangan setelah diterimanya sertifikasi hutan


Segera setelah ia memperoleh sertifikat pengelolaan hutan FSC-nya, para petani yang lain tertarik bergabung dengan KHJL. Hingga November 2007, 13 desa tambahan bergabung dengan koperasi, yang kini beranggotakan 25 desa, 508 rumah-tangga dan meliputi luas areal 657 ha hutan-hutan jati (lihat Table 2). Perhatian petani bukan saja dibangkitkan oleh harga kayu yang ditawarkan koperasi, namun juga oleh iming-iming akan disediakan bibit-bibit gratis bagi anggota yang berminat. Tiga rincian berikut merangkum kisah sukses KHJL: (1) Pasar-pasar & harga-harga: KHJL, dengan dukungan TFT, telah mampu membuka segmen pasar baru bagi kayu para petani Konawe Selatan, dari pasar lokal masuk ke pasar nasional. 1-2 kontainer kayu-kayu balok persegi setiap bulan dijual dan para pembeli dari Jawa secara reguler berkunjung ke koperasi. Kayu-kayu balok persegi dijual hingga seharga IDR 5,3 juta per m3, satu kenaikan harga yang signifikan kalau dibandingkan dengan transaksi-transaksi yang dilakukan sebelumnya. Di pasar lokal KHJL membeli balok-balok itu seharga sekitar IDR 2 juta per m3; naik 200% dari harga dasar petani sebelumnya (2) Perbaikan lingkungan: KHJL telah meningkatkan kepedulian petani pada penanaman pohon. Selama kurang dari 3 tahun, lebih dari 1

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

115

juta bibit ditanam dibawah bimbingan KHJL, yang menyediakan bibit-bibit unggul dari pembibitannya sendiri dan diberikan gratis kepada para anggotanya. Harga-harga lahan di Konawe Selatan telah meningkat secara signifikan, yang menandakan naiknya minat akan bertanam pohon (3) Rancangan kelembagaan: KHJL terkenal akan kemampuannya berswadana, lembaganya stabil. Koperasi telah menghasilkan pendapatan yang berarti, dan melakukan beberapa belanja untuk keperluan lembaga yang cukup besar (peralatan kantor termasuk komputer, sepeda motor dan sebidang tanah untuk kantornya). KHJL juga telah membayar lunas pinjamannya kepada TFT dan siap untuk membiayai secara patungan surveilance/audit masa berikutnya Bagaimanapun, memegang sertifikat FSC menyaratkan perbaikanperbaikan secara teratur dan terus menerus, dan KHJL telah berpengalaman bahwa beberapa isu tertentu biasanya sensitif: (1) Sistem lacak balak menghasilkan persoalan-persoalan yang berulang, yang membuat sistem menjadi kaku sekarang bisa ditangani dibawah kontrol KHJL (2) KHJL menuntut bahwa blok tertentu dari lahan hutan yang diikutsertakan oleh anggota-angotanya harus dinyatakan secara tertulis dan bebas masalah. Mendahulukan hal ini membuat kepastian lahan sesuai dengan yang diharapkan sehingga para petani kini memerlukan akte tanah atas lahan-lahan mereka, hal ini juga berarti bahwa mereka harus memenuhi seluruh ketentuan peraturan pemerintah, termasuk pembayaran-pembayaran pajak bumi dan bangunan (3) Lemabga sertifikasi FSC diminta untuk menghapuskan praktek kebiasaan tebang-habis di areal lahan sempit yang berisi tegakan berumur sama. Menejer KHJL memiliki kendala untuk menyampaikan persyaratan ini kepada para anggotanya (4) Para pengelola KHJL mempunyai kewajiban untuk menempatkan pertimbangkan khusus berkaitan dengan fakta bahwa konflik tertentu atau konflik potensial atas klarifikasi nama lahan, kalkulasi LTT, seleksi lokasi tebang atau isu administratif lainnya sedapat-dapatnya diselesaikan menurut kasus-demi-kasus, setelah prosedur-prosedur resolusi konflik yang sesuai disetujui

116

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

(5) KHJL secara terus-menerus perlu merasa yakin bahwa para anggotanya khususnya yang baru sepenuhnya memahami standar-standar dan prosedur-prosedurnya (6) Karena pertumbuhan arealnya yang pesat, pengelolaan data menjadi makin berat dan sensitif, sehingga kalkulasi LTT perlu beberapa amandemen (7) Pengelola KHJL pernah mengalami perselisihan internal atas penggunaan kewenangan dan keuntungan-keuntungan Walaupun KHJL telah melaksanakan sertifikat FSC selama lebih dari dua tahun, ia tidak menerima pengakuan atau insentif dari pemerintah. KHJL harus mengikuti prosedur-prosedur yang sama seperti usaha swasta atau usaha perhutanan masyarakat lainnya di Indonesia ketika mengajukan permohonan ijin transport. Gara-gara ijin ini beberapa kali pengapalan harus ditunda masing-masing selama berbulan-bulan. Kendati pengelola KHJL sudah sepenuhnya memahami perlunya penyuluhan teknik-teknik pembudi-dayaan hutan, pemberitahuan tentang praktek-praktek yang lebih baik masih pada masa-masa permulaan pertumbuhan tanaman; memfokuskan pada pengelolaan pembibitan dan pemangkasan pohon-pohon jati.

4. Pembelajaran yang diperoleh


Kasus KHJL menunjukkan bahwa: Sertifikasi FSC merupakan konsep yang dapat diterapkan pada hutanhutan kemasyarakatan. Walaupun persayaratan-persyaratan teknis, administratif dan kelembagaan dalam sertifikasi FSC cukup rumit, para petani dan wakil-wakil mereka bisa mengelola untuk mereka implementasikan dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak koperasi didirikan Dukungan saling mengisi dari mitra LSM yang dipercaya (JAUH) dan mitra pasar yang dipercaya (TFT) yang bersedia membayar dulu prosesnya terbukti efektif Sertifikasi sangat mungkin meningkatkan matapencaharian hidup anggota-anggota koperasi; harga-harga dasar kayu telah naik secara berarti karena akses pasar dan harga green premium dijamin oleh koperasi

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

117

Sertifikasi telah memicu timbulnya manfaat-manfaat lingkungan dengan cara memperkenalkan skema pengelolaan yang kaku dan menjadikan para petani lebih berhasrat untuk menanam pohon Model koperasi, didukung oleh jaminan akses pasar, kontribusi finansial dan beberapa kontrol luar, terbukti efektif; makin banyak petani yang antusias untuk menjadi anggota kelompok-kelompok bersertifikat, faktanya, banyak terjadi rangkap keanggotaan Sertifikasi membawa manfaat-manfaat bagi inisiator swasta (TFT) dengan dijaminnya keajegan pasokan kayu jati bersertifikat Kerangka kerja kelembagaan menuntut adanya kemauan dan kemampuan komunikasi yang efektif diantara kelompok-kelompok petani kecil agar memiliki jiwa kewiraswastaan yang sejati. Isu-isu sulit termasuk kebijakan harga kayu (membuat harga pembelian oleh koperasi), mengalokasikan area penebangan dalam setahun (memutuskan rumah-rumah tangga mana yang dipilih), persyaratan FSC untuk menyeleksi tebangan (para petani yang memiliki plot-plot lebih luas lazimnya berharap diijinkan untuk menebang habis tegakan pohon mereka), keketatan sistem lacak balak, relatif besarnya ongkos eksploitasi yang dilakukan koperasi, persoalan-persoalan transparansi dan pengetahuan tentang pengaruh pasar. Kesulitan-kesulitan ini telah membuat koperasi mengimplementasikan beberapa perbaikan yang terus-menerus dilakukan: Menyediakan layanan-layanan secara terus-menerus terhadap anggota-anggotanya (pembibitan, dukungan inventarisasi, penandaan pohon dan lacak balak) Melaksanakan prosedur-prosedur yang transparan dalam menentukan harga-harga pembelian, blok-blok penebangan, ijin transport dan persyaratan-persyaratan pemantauan Melaksanakan implementasi yang ketat tentang syaratsyarat bergabung menjadi anggota dan menyetujui prosedurprosedurnya Evaluasi-evaluasi secara teratur tentang prosedur-prosedur keuangan dalam rangka untuk mendistribusikan manfaat-manfaat ekonomis secara merata kepada baik anggota maupun pengelola koperasi Investasi pasar dan analisis pasar

118

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Pembelajaran terakhir yang diperoleh adalah bahwa proyek-proyek sertifikasi hutan sebaiknya lebih menaruh perhatian pada keterlibatan pemerintah dari luar dan membangkitkan kepedulian masyarakat tentang praktek-praktek pengelolaan hutan berkelanjutan dalam seluruh proses persiapannya. Pengelola KHJL telah belajar dengan cara amat berat bahwa tanpa tersedianya kerangka layanan yang kondusif oleh pemerintah daerah, masyarakat mengalami berbagai kesulitan untuk mampu menggandeng mitra pasar nasional dan internasional.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

119

5. Gambar dan Tabel


Lampiran 3C Gambar 1. Pemangku kepentingan KHJL dan struktur organisasinya (2006).
12 Unit tingkat desa
12 Kelompok tingkat desa atau kelompok * Ketua kelompok masing-masing desa 196 pemilik plot kayu jati 152,35 ha 60.899 trees * Koordinator unit tiap-tiap desa

BP
Kontrol & Pemantauan

LKAK
Legislatif * Tim menejemen * pemimpin kelompok desa

KHJL ~
Menejemen bisnis koperasi * Tim menejemen * Koordinator-koordinator unit

Hubungan lembaga luar:

RTA
(Rapat Tahunan Anggota) Partisipasi dan pemilihan koordinator unit Menejemen KHJL Menejemen LKAK Tim BP

- Dinas kehutanan - Pemerintah daerah - Mitra-mitra usaha - Para peneliti - Media massa - Badan sertifikasi

Jaringan LSM JAUH Dukungan kelembagaan


Proses-proses organisasi & fasilitasi

Tropical Forest Trust Dukungan teknis bagi KHJL


Pengelolaan hutan & bisnis

Lampiran 3C Tabel 1: Data Mutakhir Keanggotaan KHJL : 18 dari 25 kelompok desa (Sumber: KHJL 2007)

No. Unit Unit (kelompok desa) Anggota* 41 35 9 25 11 21 38 30 19 47 13 17 12 5 7 7 12 10 359 576 10 6.260 374.940 13 6.250 8 6.600 7 9.180 8 3.930 7 0 0 0 0 399 19 11.598 2 20 18.122 10 30 15.758 19 68 46.675 55 28 17.410 17 45 35.223 36 41 22 45 21 11 0 5 0 0 0 0 375 49 28.015 49 40 39 37.800 30 23 16 6.594 13 13 74 37.225 51 44 19 13.823 12 7 52 35.150 52 46 387.1214 40.0004 474.9048 22.1538 137.1196 161.3393 90.8575 19.9000 146.8111 147.0502 53.3591 47.6404 545.7943 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2745.0657 73 39.328 61 470.9538

Total jumlah petani*

Total area (ha)*

Banyaknya plot yang diinventarisir ** Volume > 30 cm (m3)**

120

Lambakara

Banyaknya plot yang menggunakan GPS ** 57

Aoreo

Pamandati

Anggoroboti

Eewa

Onembute

Wonuaraya

Matabubu

Rahamenda

10

Mekarsari

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

11

Koeono

12

Sawa

13

Sambahule

14

Kiaea

15

Mataewoi

16

Polewali

17

Pelandia

18

Watumerembe

Total

*per 28 Desember 2006, **per 30 Maret 2007, ***per 31 Desember 2006, ****per 3 April 2007 Catatan: Inventarisasi dilaksanakan dengan cara bertahap; konsekuensinya ada data yang belum tersedia pada unit-unit terbaru.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

121

Lampiran 3C Tabel 2: Dokumen dibuat oleh koperasi untuk persiapan sertifikasi FSC
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 25 27 28 29 Judul Dokumen Perencanaan Menejemen/Pengelolaan Prosedur-prosedur Standar Inventarisasi Hutan Prosedur-prosedur Standar Pemantauan dan Perlindungan Satwa Liar di Lahan Hutan Anggota Prosedur-prosedur Standar untuk Menentukan Koordinat Lahan Anggota Prosedur-prosedur Standar untuk Penebangan Pohon Peraturan Penebangan Pohon Prosedur-prosedur Aman Penebangan Pohon Prosedur-prosedur Standar untuk Memanen Jati Rakyat Prosedur-prosedur Standar untuk Pemantauan Hutan Sebelum Ditebang Form Daftar Cek Pra-penebangan Prosedur-prosedur untuk Perolehan Hutan Prosedur-prosedur Standar untuk Pemantauan Paska Panen Prosedur-prosedur Transportasi Standar Prosedur-prosedur Standar untuk Melaporkan Grade Results untuk Jati Rakyat Prosedur-prosedur Standar untuk Supervisi dan Dokumentasi Hutan & Industri (Sawmills) KHJL Prosedur-prosedur Standar untuk Pengadaan Pembibitan Jati Prosedur-prosedur Standar untuk Pemeliharaan Pra-pembibitan Benih Prosedur-prosedur Standar tentang Penanaman Jati Prosedur-prosedur Standar tentang Pemeliharaan Hutan Tanaman Jati Prosedur-prosedur Standar tentang Pendistribusian Pembibitan kepada Anggota Prosedur-prosedur Standar for Anggota Pemantauan pembibitan dan penanaman Sanksi dan Penolakan atas Kepemilikan Jati Anggota-anggota KHJL Prosedur-prosedur Pendaftaran Keanggotaan Hutan Kemasyarakatan Peraturan tentang Berhentinya Keanggotaan Prosedur-prosedur Standar tentang Laporan Data Keanggotaan kepada SmartWood Prosedur-prosedur Standar untuk Sosialisasi Aktivitas-aktivitas Anggota KHJL Prosedur-prosedur Standar tentang Pemantauan Data Keanggotaan Prosedur-prosedur Standar tentang Pemantauan Lacak-Balak Prosedur-prosedur Standar untuk Pengisian Kunjungan-kunjungan Pemantauan

122

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

No 30 31 32 33 34 35 36 39 40 41 42 43

Judul Dokumen Prosedur-prosedur Standar tentang Pemantauan Finansial Prosedur-prosedur Standar dan Kebijakan Resolusi Konflik Lampiran PS - Antisipasi dan Penanganan Konflik-konflik Potensial Prosedur-prosedur Standar tentang Keluhan dan Hal-hal Yang Tidak Diharapkan Peraturan tentang Pengelolaan Finansial KHJL Penetapan dan Pemantauan Anggaran KHJL Penetapan Sisa Hasil Usaha Koperasi (SHU) Prosedur-prosedur Standar untuk Permintaan Pendanaan Prosedur-prosedur Standar tentang Pengisian Tanda Terima Standar Prosedur Kasir Ringkasan Publik Laporan Asesmen KHJL oleh SmartWood Ringkasan Publik atas Survei-ulang Audit Pertama oleh SmartWood

Sumber: Tropical Forest Trust 2007

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

123

Lampiran 3D: Lembar fakta (Factsheet) tentang Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat (GOPHR) Wono Lestari Makmur, KecamatanWeru, Jawa Tengah 1. Sejarah Hutan-hutan di Kecamatan Weru
Kecamatan Weru memperlihatkan dua jenis tanah yang berbeda: kering, bukit-bukit dan dataran karst yang tidak subur, lahan sawah yang subur. Dulu, kegiatan-kegiatan pertanian terfokus pada area-area datar, membiarkan bebukitan karst menjadi semak belukar. Kemiskinan meluas dan banyak pemuda bermigrasi selama musim kemarau untuk mencari kerja di tempat-tempat lain. Sebelum tahun 1970, area tersebut termasuk hutan negara di sekeliling bebukit batu kapur kering Weru yang terlantar sama sekali. Para penduduk hidup dengan perjuangan keras untuk memperoleh air kebutuhan hidup sehari-hari. Pada tahun 1970, Perum Perhutani muai melakukan program Reboisasi di tanah negara, dengan melibatkan banyak penduduk setempat sebagai pekerja. Jenis tanaman yang ditanam adalah akasia, jati, sengon (Albazia falcataria) dan mahoni. Walaupun sebagian besar tanaman ini tergolong baru di kawasan itu, penduduk setempat segera terbiasa dengannya, khususnya jati dan mahoni. Para petani mulai menanam sisa kelebihan bibit di lahan mereka sendiri, mula-mula hanya disekitar batas-batas lahan mereka. Penanaman sepanjang jalan ke kawasan bebukitan juga terbukti efektif jika pembibitan dipelihara dengan baik. Dalam waktu singkat sebagian besar kawasan itu terimbunkan oleh pohon-pohon, dan memberikan manfaat-manfaat lingkungan sumber air yang dulu hilang kini bermunculan kembali. Semula, pertimbangan-pertimbangan ekonomis bukan faktor pendorong di balik kegiatan-kegiatan aforestasi lokal ini, dan kayu hanya ditebang untuk memenuhi kebutuhan setempat. Dengan makin banyaknya permintaan internasional akan furnitur jati yang dihasilkan dari hutan tanaman pada tahun 1990-an, minat untuk mengkomersilkan hutan tanaman jati swasta mulai tumbuh. Para pedagang lokal mulai mengadakan pendekatanpendekatan terhadap warga desa untuk membeli tegakan pohon mereka. Para petani, yang ingin memperoleh peluang meningkatkan pendapatan

124

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

mereka dari pertanian tanaman pangan, hingga beternak kambing, sapi dan belakangan bertanam pohon, nampak kurang berminat untuk menebang tegakan jati mereka dan memilih tetap berpegang pada filosofi tebang butuh mereka. Ketika kontrak tebang bisa disepakati, pedagang lokal akan menebang pohon dan menjual kayunya kepada perusahaan furnitur terdekat di sekitar Yogyakarta dan Solo, atau kepada perusahaan perdagangan yang lebih besar. Perilaku petani lokal di Weru itu telah menciptakan kawasan luas pengelolaan dan penyebaran hutan-hutan tanaman jati, yang sebagian besar tegakan jati berumur beragam dan berstruktur bermacamtanaman. Pada tahun 2004, LSM lokal PERSEPSI melakukan pendekatan kepada petani di Weru dan memperkenalkan konsep sertifikasi hutan kepada beberapa tokoh kunci di desa-desa di sana. PERSEPSI menginformasikan bahwa menyertifikasikan hutan akan meningkatkan hingga 30% harga jual pohon-pohon itu. Peluang untuk memperoleh harga premium tidak memberi inspirasi petani untuk mengikuti program, dan mereka masih berpegang pada filosofi tebang butuh mereka.

2. Persiapan-persiapan untuk sertifikasi hutan di lahan-lahan petani


Dalam rangka persiapan untuk sertifikasi hutan, PERSEPSI memfasilitasi pendirian kelompokkelompok tani di desa yang diberi nama Organisasi Pengelola Hutan Rakyat (OPHR). OPHRs dibentuk di
Hutan jati rakyat di Sukoharjo

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

125

desa-desa Ngreco, Karangmojo, Alasombo dan Jatingarang. Seluruh warga desa bergabng dalam OPHR-OPHR tadi, dimana tiga dari keempatnya paling aktif terlibat beraktivitas. Fokus awal kelompok-kelompok tani ini ialah lebih kepada penanaman pohon daripada pengelolaan hutan atau pemasaran. Empat OPHR itu membentuk organisasi payung di tingkat kecamatan dinamakan Gabungan Organisasi Pengelola Hutan Rakyat (GOPHR) Wana Lestari Makmur. Sebaai wakil OPHR dalam seluruh kegiatan kehutanan, misi GOPHR saat ini berorientasi pada sosialisasi pengelolaan hutan kemasyarakatan, memastikan agar keberlanjutan hutan-hutan swasta dan memberikan dukungan pada aktivitas-aktivitas penanaman. Jumlah anggota GOPHR saat ini sebanyak 5.302 petani yang mencakup luas areal 1.136 ha (701 ha merupakan hutan tanaman di sekitar halaman rumah dan 436 merupakan hutan-hutan di bukit-bukit yang agak jauh dari desa-desa). Rata-rata, tiap petani memiliki 0,25 ha lahan berupa hutan, dan hanya beberapa warga desa yang memiliki lebih dari 2 hektar. Jenis tanaman utama yang ditanam adalah jati, mahoni akasia dan trembesi (Samanea saman). PERSEPSI memperoleh dana dari DFID dan Ford Foundation. Ia mempromosikan sertifikasi hutan dengan menjanjikan harga-harga premium untuk kayu dan menekankan perlunya pemanfaatan hutan secara berkelanjutan. Fokus pada persoalan keberlanjutan mengena dengan kepedulian utama para pemimpin desa, yang mengetahui bagaimana pasar berpengaruh terhadap hutan-hutan desa dan mengkhawatirkan kemungkinan munculnya dampak negatif karena adanya eksploitasi yang berlebihan. PERSEPSI, dan dengan bantuan diam-diam dari WWF dan LEI, menyelenggarakan aktivitas-aktivitas berikut sepanjang kurun waktu 18 bulan peride persiapan: (1) Pelatihan bagi para petani tentang inventarisasi hutan, penentuan tapal batas perbatasan secara partisipatoris, budi daya hutan dan lacak balak (2) Pelatihan bagi petani tentang pemrosesan kacang mente, penanaman jahe dan produksi barang-barang kerajinan

126

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

(3) Pelatihan bagi staf GOPHR/OPHR tentang penggunaan komputer dan administrasi (4) Dukungan untuk rencana-rencana kelembagaan (5) Promosi untuk pemrosesan kayu setempat Proses Sertifikasi Proses sertifikasi menggunakan level II, pendekatan trek C dari skema PHBM LEI, dengan PERSEPSI bertindak sebagai panjamin sertifikat. Menurut skema itu, penjamin menyelenggarakan asesmen menurut standar PHBM LEI dan mengajukan hasilnya kepada lembaga sertifikasi berakreditasi LEI dalam hal ini PT Mutu Agung Lestari (MAL). MAL memilih dua orang pemeriksa setingkat (peer-reviewer) untuk mengecek laporan PERSEPSI dan mengadakan kunjungan penilaian ke lapangan. Keputusan sertifikasi MAL didasarkan atas laporan dari para pemeriksa tadi. Pada tanggal 5 Maret 2007, GOPHR Wono Lestari Makmur dinyatakan memehuni syarat untuk memegang sertifikat PHBM LEI selama 15 tahun. Seluruh biaya persiapan sertifikasi dan proses sertifikasinya sendiri (auditaudit dan pemeriksaan setingkat) ditanggung oleh PERSEPSI. Namun demikian, dukungan donor kini sudah berakhir dan GOPHR kekurangan dana. Baik pembeli maupun petani tidak mampu mendanai ongkosongkos administratif GOPHR, organisasi tidak juga mampu membayar dulu pembelian kayu dari para anggotanya atau mengorganisir kegiatankegiatan pemasaran bersama. Ia masih kekurangan pengesahan akte notaris, yang bisa memungkinkannya untuk mengelola pelaksanaan program-program pedesaan setempat yang dibuat pemerintah. Beberapa bulan setelah menerima sertifikasi, para petani belum juga memperoleh manfaat finansial apapun; harga-harga kayu masih tetap sama, seperti dialami oleh para anggota dalam struktur GOPHR, ketika para petani terus saja melangkahi tugas koperasi dengan memilih langsung memasarkan sendiri kayu-kayunya secara sendiri-sendiri. GOPHR dihubungi oleh satu pembeli yang ingin menawarkan harga premium yang signifikan, mengajukan kontrak selama setahun mencakup 100 m kayu per bulan, sangat jauh berada di bawah potensi kawasan dan ketidakpastian terkait dengan jaminan yang bisa diberikan oleh koperasi membuat pembeli membatalkannya. Pengelola GOPHR tidak menerima

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

127

gaji dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan anggotanya secara sukarela, menggunakan uang pribadi untuk mempromosikan koperasi. Menurut pengelola GOPHR, manfaat memperoleh sertifikasi sampai sejauh itu adalah: (1) Sertifikasi telah meningkatkan sistem administrasi lahan, hutan dan kayu di desa-desa melalui inventarisasi dan pembuatan batas secara partisipatoris (2) Pendapatan dari kayu kini lebih transparan dan terdokumentasikan dengan baik (3) Sertifikasi, dan khususnya tentang pembentukan kelompok-elompok tani, telah meningkatkan pemahaman para warga desa tentang penanaman pohon dan manfaat-manfaat lingkungan dari hutanhutan mereka (4) Pemerintah daerah telah menawarkan insentif kepada para petani yang mengajukan permohonan dokumen-dokumen pengangkutan kayu, namun bukan untuk GOPHR GOPHR baru-baru ini mengembangkan satu rencana tiga-tahunan yang berisi pokok-pokok peranannya dalam pengelolaan hutan dan pemasaran bersama kayu-kayu para anggotanya. Dalam rencana ini ia menawar kayu anggota-anggotanya dengan harga di atas harga pasar (Rp 4,3 juta per m berbanding dengan harga pasar Rp 2,8 juta per m untuk kayu jati gelondongan dengan diameter 30-39 cm) jika mereka mau menjualnya melalui GOPHR. PERSEPSI berharap tingkat harga ini akan sesuai untuk kayu bersertifikat, khususnya jika unit-unit bersertifikat di Jawa Tengah menggabungkan kepasitas penjualan mereka (lihat Lampiran 3A Factsheet tentang Sumberejo).

4. Hasil pembelajaran yang diperoleh


Sertifikasi terbukti bermanfaat untuk meningkatkan minat para petani untuk menerapkan prosedur-prosedur kerjasama untuk pengelolaan lahan dan hutan setempat. Keputusan-keputusan menejemen menjadi lebih transparan dan pengawasan atas sumber-daya hutan diperbaiki selama proses persiapan sertifikasi

128

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Para petani skeptis terhadap konsep-konsep keorganisasian yang baru, dan meminta tingkat transparansi yang tinggi sebelum mau berkontribusi terhadap asosiasi yang lebih tinggi semacam koperasi Pengelola GOPHR telah mengambil banyak risiko ketika dalam rangka mempromosikan sertifikasi terdapat tuntutan untuk melakukan penyesuaian keorganisasian dan membangun kewiraswastaan yang benar Terakhir, GOPHR gagal memberikan jaminan harga penjualan yang lebih baik untuk kayu-kayu para anggotanya. Hal ini sebagian karena adanya senjang jaringan orientasi pasar selama proses persiapan sertifikasi karena para penjamin dan fasilitator kekurangan kontak dengan sektor industri perhutanan. Dengan dukungan dari PERSEPSI, GOPHR saat ini mampu mengatasi persoalan ini Seluruh biaya ditanggung oleh donor. Namun demikian, ketika dukungan dana dari donor berakhir, pertanyaan penting yang mencul adalah bagaimana biaya-biaya audit pada saat survei-ulang/ pengecekan dapat didanai. Hal ini menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sertifikat itu sendiri Sertifikasi tidak membuat perbaikan-perbaikan atas tegakan pohon, ataupun memperbaiki sistem jalur edar-asal kayu

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

129

Lampiran 3E: Lembar fakta (Factsheet) tentang Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat, Catur Giri Manunggal, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah 1. Sejarah Hutan-hutan di Kecamatan Giriwoyo
Giriwoyo adalah satu kecamatan di Wonogiri dan meupakan kawasan termiskin di Jawa Tengah. Sebagian hal ini disebabkan oleh tanah-tanah karst yang berderet dari Gunung Kidul ke Wonogiri. Kondisi-kondisi geofisik dan iklim persis sama dengan di kecamatan-kecamatan lainnya di Wonogiri, dan tipe-tipe penggunaan lahannya pun sama (lihat Lampiran 3A Factsheet tentang Sumberejo dan Selopuro). Hutan-hutan tanaman rakyat di Giriwoyo dimulai antara tahun 1965 dan 1970 dengan diperkenalkannya Acacia auriculiformis. Dukungan datang dari Program Pangan Dunia. Karena lahan-lahan rakyat dekat dengan hutan-hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, para petani mengumpulkan bibit-bibit dan tunas-tunas dan menanamnya di lahanlahan mereka sendiri. Para petani cenderung menanam jenis kayu jati. Karakteristik hutan-hutan rakyat di Giriwoyo sebagai berikut: Seperti di Gunung Kidul, Sumberejo dan Selopuro, alasan pokok membuat hutan adalah karena keinginan yang kuat untuk memperbaiki kondisi lingkungan setempat; para anggota masyarakat berharap memperoleh akses air yang lebih baik dengan cara penanaman pohon Kegiatan-kegiatan penanaman di sekitar halaman rumah dan di lahan yang lebih jauh dari pemukiman-pemukiman segera menunjukkan hasil-hasil yang memuaskan dan manfaat-manfaat lingkungan dengan cepat bermunculan Pohon, masih dianggap aset yang sangat layak diperhitungkan dan hanya akan ditebang jika betul-betul butuh dana tunai (filosofi tebang butuh) Sekarang hutan-hutan terdiri dari tanaman-tanaman dengan umur beragam, dimana yang lebih besar biasanya terdapat di batas-batas lahan petani Lebih dari 50% area merupakan cadangan kayu berumur di bawah 10 tahun

130

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

2. Persiapan-persiapan untuk sertifikasi hutan di lahanlahan petani


PERSEPSI memperkenalkan konsep sertifikasi PHBM kepada tokoh-tokoh desa di Kecamatan Giriwoyo pada tahun 2006. Mengiming-imingi dengan insentif harga (green premium) merupakan kunci dari argumen terhadap para tokoh desa tersebut. Para tokoh desa kemudian membangkitkan minat petani terhadap hal ini. Dari 16 desa di Kecamatan Giriwoyo, PERSEPSI memilih 4 desa, yakni Tirtosuworo, Girikikis, Sejati dan Guwotirto sebagai area awal proyek. Desa-desa itu memiliki 2.434 ha lahan dan terdiri dari 2.904 rumah tangga.

Hutan rakyat jati di Giriwoyo, Wonogiri.

PERSEPSI mendukung pendirian unit pengelola hutan tingkat kecamatan, diberi nama Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR). Seluruh penduduk Tirtosuworo, Girikikis, Sejati dan Guwotirto dan kelompokkelompok tani yang ada menjadi anggotanya. PPHR tidak dirancang seperti koperasi, namun sebagai kelompok pembina dan pemasaran guna memenuhi persyaratan-persyaratan sertifikasi hutan. PPHR tidak memiliki rekening bank.

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

131

Para penduduk desa juga membuat forum komunikasi di tingkat kecamatan diberi nama Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR). PERSEPSI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas selama setahun proses persiapan sebagai berikut: Inventarisasi hutan Pembukuan Produksi barang-barang kerajinan Pemberdayaan lembaga-lembaga petani Para petani membuat beberapa aturan internal yang mengatur pengelolaan hutan. Misalnya, ketika seorang petani menebang pohon, ia diwajibkan PPHR dan kapala desa untuk menanam lagi 5 pohon sejenis. Menurut ketua PPHR, banyak petani tidak bisa memenuhi persyaratan ini karena alasan sederhana yakni sudah tidak punya lahan yang cukup terbuka untuk menanam lagi di lahan mereka. Pohon jati yang akan ditebang harus sekurang-kurangnya berukuran melingkar 80 cm (diameter 25,5 cm setinggi dada) menurut Keputusan Camat SK 522.4/189/2007. Proses sertifikasi Proses sertifikasi di Giriwoyo menurut pendekatan PERSEPSI seperti telah digunakan di lokasi sebelumnya sesuai dengan skem PHBM LEI level II trek C dimana PERSEPSI bertindak sebagai penjamin sertifikat. PERSEPSI mengadakan penilaian lapangan menurut standar PHBM LEI dan kemudian menjalin kontrak dengan lembaga sertifikasi berakreditasi LEI, PT Mutu Agung Lestari (PT MAL), untk mengecek hasil penilaiannya. PT MAL menggunakan tiga pemeriksa (reviewer) setingkat untuk mengecek laporan PERSEPSI, dan, berdasarkan kunjungan lapangan singkat, diajukan beberapa permintaan tambahan perbaikan. Pada bulan April 2007, setelah hanya setahun persiapan, Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat memperoleh sertifikat PHBM LEI. Tabel 1 menunjukkan area dan anggota yang memiliki hutan bersertifikat.

132

LAMPIRAN SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

Lampiran 3E Tabel 1: Unit pengelolaan hutan Giriwoyo : luas wilayan dan jumlah rumah tangga (Sumber: Ringkasan Publik laporan sertifikasi PT MAL 2007)
Nama Desa Guwotirto Tirtosuworo Girikikis Sejati Total Area (ha) 601.2 679.4 347.7 805.9 2,434.2 Jumlah Rumah Tangga 639 700 862 701 2,902

3. Perkembangan setelah menerima Sertifikasi Hutan


Beberapa bulan setelah menerima sertifikasi, para petani belum juga memperoleh manfaat finansial apapun; harga-harga kayu masih tetap sama, seperti dialami oleh para anggota dalam struktur PPHR, ketika para petani terus saja melangkahi tugas koperasi dengan memilih langsung memasarkan kayu-kayunya secara sendiri-sendiri. Karena dukungan dana dari donor telah berakhir, PPHR kekurangan dana dan tidak mampu membayar gaji karyawan-karyawannya. Walaupun pengelola PPHR nampaknya tidak yakin tentang manfaat masa depan dari proses ini, ia tetap melakukan perbaikan-perbaikan yang diharapkan dari sertifikasi: (1) Sertifikasi memperbaiki sistem administrasi kayu dan meningkatkan transparansinya (2) Pengembangan kapasitas sangat membantu dan sebaiknya dilanjutkan (3) Warga desa menjadi paham tentang manfaat dari penanaman pohon

4. Hasil pembelajaran yang diperoleh


Sertifikasi telah memotivasi tokoh-tokoh warga desa untuk menciptakan prosedur-prosedur yang lebih transparan dan rumit dalam pengelolaan hutan. Penduduk setempat menjadi lebih tertarik mengorganisir diri mereka sendiri, menerapkan prosedur-prosedur menejemen baru dan melakukan pengawasan atas sumber-sumber daya hutan mereka Setahun persiapan tidaklah cukup untuk mengatasi sebagian besar persoalan pasar dan memperoleh dukungan dari seluruh penduduk setempat atas konsep pengorganisasian mereka. Persiapan pasar yang sesuai dengan sertifikasi akan sangat bermanfaat

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA LAMPIRAN

133

Karena sertifikasi bisa dipromosikan karena adanya dana dari donor maka ketika masanya berakhir, maka biaya-biaya audit untuk surveiulang pada masa yang akan datang belum lagi terjamin. Jika PPHR tidak mampu menghasilkan income, maka keberlanjutan sertifikasi bakal terancam PPHR berniat untuk mendukung konsep pemasaran bersama dengan unit-unit tersertifikat lainnya di Jawa Tengah. Menggabungkan kekuatan nampaknya bisa menjadi langkah tepat untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada Pengelola PPHR perlu persiapan untuk mengembangkan dan menerapkan kewiraswastaan secara benar dalam rangka mengarahkan organisasi ke kawasan kesejahteraan

Tentang Para Penulis


Alexander Hinrichs PhD adalah seorang ahli kehutanan dan konsultan freelance di bidang perhutanan dan pengelolaan proyek. Dia saat ini mendukung German Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit dalam proyek-proyek bilateral nasional dan regional di Asia, dan membantu Komisi Eropa dalam bidang Penegakan Hukum Hutan, Pemerintahan dan proses Perdagangan. Antara tahun 1996 dan 2002 dia menjadi Wakil Ketua Tim Proyek Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Jerman-Indonesia di Indonesia. Sebelumnya, selama 10 tahun dia menjadi peneliti, konsultan, dosen dan trainer di Jerman, dengan sisipan selama setahun bekerja di luar negeri. Bidang yang diminatinya adalah pengelolaan hutan, sertifikasi, pemerintahan dan perhutanan sosial. Dia juga senior asesor terlatih untuk asesmen sertifikasi menurut skema FSC dan telah melakukan tugas dalam sejarah asesornya dengan skema-skema sertifikasi nasional tertentu, termasuk Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dwi Rahmad Muhtaman adalah seorang konsultan sertifikasi dan manajemen sosial. Ia menyelesaikan sekolah S-2 (Master) pada Auburn University, US. Sekarang ia bekerja sebagai Strategic Sosial and Environmental Auditor pada Aksenta, sebuah social enterprise (sebagai pendiri dan corporate leader nya). Ia juga menjadi konsultan pada Center for International Forestry Research (CIFOR) dalam proyek Levelling the Playing Field (2006-2008) dan proyek Mahogany and teak furniture: action research to improve value chain efficiency and enhance livelihoods (2008-2013). Dia pernah bekerja sebagai Advisor Teknis pada Program Sustainable Supply Chain Linkages dari International Finance Corporation (IFC). Dia aktif terlibat dalam sejumlah penilaian pada perkebunan kelapa sawit (Standar RSPO, audit sosial dan lingkungan) dan identifikasi kawasan konservasi yang bernilai tinggi (HCV). Dia telah melakukan sejumlah penting penilaian sosial dan HCV pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan kehutanan. Dia juga merupakan lead verifier yang diakreditasi SCS untuk program verifikasi Cafe Practice bagi para pemasok kopi Starbuck, USA. Nawa Irianto alumni Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 1990. Nawa pernah menjadi konsultan pada berbagai organisasi antara lain FAO, GTZ, Poyry Consultant dan Global Forest Services. Saat ini dia bekerja pada Program Indonesia dari The Nature Conservancy (TNC), memimpin Divisi Improved Forest Management, yang erat bekerja sama dengan kelompok pemegang HPH untuk pengelolaan hutan berkelanjutan. Sebelum bekerja di sini, Nawa bekerja di Tropical Forest Trust (TFT) sebagai Spesialis Sertifikasi Hutan dan mengelola TFT Program Indonesia Timur berkedudukan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tugas utamanya adalah memantapkan unit-unit pengelolaan hutan dalam kelompok-kelompok masyarakat untuk bidang hutan mereka, menyusun sistem pengelolaan, menjamin agar sistem budi daya hutan dilaksanakan setiap hari dan membina masyarakat agar bisa mengakses pasar yang lebih luas. Puncaknya, TFT Sulawesi Tenggara berhasil memfasilitasi hutan rakyat jati memperoleh sertifikat FSC pada bulan Maret 2005. Dia juga mengajak pemegang HPH ke dalam jaringan kerja TFT, meyakinkan mereka untuk mengikuti skema sertifikasi FSC; menjembatani para pembeli anggota TFT untuk memperoleh apa yang mereka butuhkan dari HPH di bawah program sertifikasi; menjadi sumber bahan baku yang baik bagi para anggota TFT.

You might also like