You are on page 1of 8

RIANA HELMI, DOKTER TERMUDA INDONESIA

Riana Helmi, berhasil menjadi dokter termuda Indonesia dengan berhasil lulus dari Universitas Gajah Mada pada usia 17 tahun 11 bulan. Perempuan kelahiran Banda Aceh, 22 Maret 1991 ini menjadi perempuan termuda dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,67. wew.Riana diwisuda oleh Rektor UGM Sudjarwadi di gedung Graha Sabha Pramana pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2009. Masa kuliah ia tempuh dalam waktu tiga tahun enam bulan, Anak pertama dari pasangan Helmi, seorang perwira polisi pendidik di Sekolah Perwira Polri Lido Sukabumi dan Rofiah tersebut diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM pada usia empat belas tahun, tepatnya 1 September 2005. Riana mengaku, tidak mengalami kesulitan selama masa perkuliahan, hanya faktor umur nya yang menjadi kendala.

Sumber : http://www.tabloidnova.com

MENJADI DOKTER KARENA KEHENDAK IBU

Menarik sekali membaca buku biografi Prof. Satyanegara yang berjudul "AYAT-AYAT FILOSOFI SATYANEGARA" yang diedarkan tepat waktu HUT 70 tahun Prof. Satyanegara pada tanggal 1 Desember 2008. Lebih menarik lagi karena jadi dokter karena kehendak ibu yang dengan sengaja sang ibu "membunuh" bakat nyanyi dan bakat mengarang yang dimiliki Prof. Satyanegara. Jadi sungguh luar biasa yang terjadi dalam diri Prof. Satyanegara yang nama lamanya adalah Oei Kim Sing, bisa menjadi dokter, sedangkan di pihak lain banyak calon dokter yang drop out gara-gara hanya ingin mengikuti kehendak orang tuanya. Yang lebih hebat lagi jadi dokternya di Jepang sedangkan waktu lulus SMA masih belum bisa bahasa Jepang. Kelihatannya "modal nekat" dan "berani mati" lebih cocok menjadi label perjuangan hidup Prof. Satyanegara tsb.

Dokter Cantik dan Sukses, Siapa yang GAK Pengen???

Kesuksesan adalah Anugerah Tuhan Pasti anda tak asing lagi dengan dokter cantik yang satu ini. Wajahnya kerap wara-wiri di acara kesehatan hampir di semua stasiun televisi. Kali ini vibizlife mengajak anda untuk sedikit mengintip perjalanan karir dr Sonia Wibisono. Jika anda kerap menonton acara kesehatan di televisi, pastilah tak asing dengan wajah cantiknya. Ia kerapkali akrab menemani pemirsa setianya lewat tayangan kesehatan di berbagai stasiun televisi. Gayanya yang santun dan pembawaanya yang ramah, membuat karir sang dokter makin menanjak. Ia kini berkarir sebagai dokter sekaligus presenter. Beberapa acaranya kerap menemani hari-hari anda. Sebut saja, DOKTER ANDA yang tayang di TV ONE, INFO OBAT DAN MAKANAN di METRO TV, DOKTER TV di ANTV, CEO MINDSET dan ASK DR.SONIA WIBISONO di QTV , O CLINIC di O CHANNEL, INDONESIA BEBAS NARKOBA dan, Klinik TVRI di TVRI, YOUR HEALTH di Kabelvision. Belum lagi, untuk acara off air, Sonia sering didaulat menjadi host.

Tertarik Menjadi Dokter Sejak Kecil Sonia memang ingin menjadi dokter sedari kecil. Pembawaannya aktif dan ceria menjadikan dirinya kerap bertanya. Sonia kecil selalu ingin tahu tentang segala hal. Inilah yang membuatnya bersikap kritis terhadap orangtunya. Sonia selalu dibiasakan untuk hidup sehat, rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan, serta makan makanan bergizi. Ditambah lagi, kedua orangtunya berprofesi sebagai dokter umum. Ayahnya dr Idrian Wibisono, dan sang ibu (alm) dr.Lina Wibisono kerap memperkenalkan hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan dan kedokteran. Ketertarikannya berlanjut hingga ia duduk di bangku kelas 1 di SMP Tarakanita V, dirinya tak pernah melewatkan mata pelajaran biologi. Saya sangat menyukai pelajaran biologi, karena menurut saya tubuh manusia dan cara bekerjanya sangat logic, sehingga mudah dicerna, ujar istri Robert Adhi Wardhana tersebut. Pada tahun 1995, Sonia kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jika sudah mengerjakan tugas yang kuliah, Sonia bisa lupa waktu. Saya bisa asyik melakukan pembedahan (jahit menjahit luka). Ini merupakan salah satu hobi saya selama praktek di RSCM, jelas ibu dari Ramses Wardhana Hardjanto dan Rainier Wardhana Hardjanto ini. Tahun 2001 pun ia lulus menyandang gelar dokter.

Mengawinkan Dunia Kedokteran dengan Entertainment

Wanita mungil ini lantas merambah bidang yang sangat berbeda jauh dari kesehatan, yaitu dunia . Ia kerap mengikuti ajang pencarian bakat. Pada tahun 1992, Sonia menjadi salah satu finalis Cover Model Contest yang diselenggarakan salah satu majalah remaja ibukota. Di tahun 1994, Sonia berhasil menyabet gelar runner up di kontes pemilihan model yang diselenggarakan oleh Looks agency. Lalu, pada tahun 2000, Sonia menjadi salah satu finalis Abang-None Jakarta Selatan. Sejak itu, dirinya laris menjadi bintang iklan sejumlah produk. Ia pun laris menjadi host acara kesehatan di televisi. Mengenai yang satu ini, awalnya Sonia hanya coba-coba saja. Pasien saya ada yang menawarkan saya untuk membawakan acara Dokter TV di ANTV.Saya coba casting, dan diterima. Rasanya dunia ini cocok buat saya, karena saya orangnya bawel banget, jadi ini merupakan penyaluran hobi dan juga pelampiasan stress saya. Ujarnya sembari tertawa lebar. Dari situ, tawaran semakin terbuka lebar. Sonia pun sering ditawari untuk menjadi host acara kesehatan on air maupun off air. Ia pun tak kaget menjalankan dunia entertainment yang jauh berbeda dengan kedokteran. Karena sejak kecil dirinya aktif mengikuti teater. Sonia pun sudah tidak kagok dengan hal-hal yang berbau entertainment. Saat SMP dan SMA pun saya kadang jadi model di beberapa majalah. Hanya iseng saja untuk membangun dan melatih rasa percaya diri. Jadi saya sudah cukup terbiasa dengan hal hal yang berbau media. Jelasnya. Menurutnya, menjadi host acara kesehatan di televisi sangat banyak memberi manfaat bagi masyarakat. Dokter kan bertugas untuk mengedukasi pencegahan selain mengobati. Jadi preventif dan edukasi juga merupakan kewajiban saya. tutur wanita yang hobi menari, teater, dan menyanyi ini. Selama menjalankan kesibukannya dalam berkarir, kadang ia diprotes oleh sang anak. Tetapi Sonia selalu berusaha untuk memberikan pengertian. Ia pun selalu memprioritaskan keluarga di atas segalanya. Sonia pun selalu menyiapkan waktu khusus untuk kumpul dengan keluarga. Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Dan kalau bisa ada keseimbangan antara semuanya. Keluarga, pekerjaan, waktu untuk diri sendiri, dan waktu untuk sosial. ujarnya.

I really love my job and my life Selama perjalanan karirnya, Sonia terinspirasi dari orang-orang di sekitarnya yang selalu memberikan support secara penuh. Ayah, ibu dan suami merupakan orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Ibu saya sudah meninggal hampir 10 tahun yang lalu. Tapi ia memberikan contoh kasih yang luar biasa yang dapat diberikan oleh seseorang dalam hidupnya bagi orang lain. Ayah saya memberikan support semuanya, dan ia telah berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu setelah ibu saya meninggal dunia. Ia selalu ada saat saya jatuh dan bersedih. Ia ada kapanpun saat saya butuhkan. Dan suami saya adalah orang yang berhasil membantu saya merubah kekurangan saya menjadi kelebihan. jelasnya. Ketika ditanya apakah dirinya sudah merasa sukses, demikian pendapatnya, Semua yang saya miliki sekarang adalah anugerah Tuhan. Semua talenta saya, berbagai kesempatan yang datang, Orang orang yang mendukung saya, semuanya adalah anugerah. Dan saya akan berusaha untuk mengembalikan semuanya kelak kepada Tuhan, dengan berbuat sebanyak mungkin untuk sesama. I really love my job and my life. ujarnya bijak, mengakhiri perbincangan yang menyenangkan tersebut.
Sumber: forum.vivanews.com

Nafisah Ahmad Zen Shahab Ibu Sepuluh Dokter

Orang tua mana yang tak bangga melihat anak-anaknya sukses. Hal itu dirasakan Nafisah Ahmad Zen Shahab, ibu dengan 12 orang anak yang sukses. Uniknya, sepuluh diantaranya telah berhasil menjadi dokter dan dokter spesialisasi. Padahal, ibunda Nafisah dan suaminya, almarhum Alwi Idrus Shahab, tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran. "Kami cuma pedagang biasa," ujar nenek berusia 64 tahun yang kini sudah memiliki 30 cucu ini. Dari sepuluh dokter tersebut, tujuh diantaranya telah berhasil meraih pendidikan spesialis. Yaitu pertama, DR.Dr. Idrus Alwi,Sp.PD.KKV,FECS,FACC, meraih spesialisasi di bidang kardiovaskular dan satusatunya yang sudah meraih gelar doktor di keluarga saat ini. Kedua, Drg. Farida Alwi, yang menekuni bidang spesialisasi gigi. Ketiga, Dr. Shahabiyah,MMR, yang menjadi Dirut RSU Islam Harapan Anda di Tegal. Keempat, Dr. Muhammad Syafiq, Sp.PD, yang bekerja sebagai Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang kini tengah menempuh pendidikan lanjutan di Jepang. Kelima, Dr. Suraiyah, SpA, yang mendalami spesialisasi Anak. Kemudian, Dr. Nouval Shahab,SpU, yang tak lain dokter spesialis Urologi, dan terakhir Dr. Isa An Nagib, SpOT, yang mengambil bidang spesialisasi Orthopedi. Adapun tiga yang lainnya, masih menekuni profesi sebagai dokter umum, yang masing-masing adalah

Dr. Fatimah yang menjadi Wakil Direktur RS. Ibu dan Anak Permata Hati Balikpapan, Dr. Zen Firhan, Dokter Umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service dan Sawangan Medical Center, dan Dr. Nur Dalilah-Dokter Umum di RS. Permata Cibubur. Hanya dua orang lainnya yang tidak mengambil bidang kedokteran namun mengambil bidang kimia dan desain. Seperti diakui Nafisah, tak terlintas dibenaknya anak-anaknya akan menjadi dokter. Apalagi mengingat latar belakang akademik kedua pasangan suami isteri ini sama sekali tak bersinggungan dengan kedokteran. Sang suami almarhum adalah sarjana ekonomi dan Nafisah sendiri lulusan SMA. Keduanya kemudian membuka usaha dagang batik kain. Tapi ketika sang anak pertama, Dr. Idrus Alwi, meminta untuk kuliah di kedokteran, keduanya hanya bisa mendukung. Tak dinyana, jejak sang kakak kemudian ditiru oleh adik-adiknya. Karena keunikan ini maka tak heran Museum Rekor Indonesia (MURI), menganugerahkan rekor pada keluarga ini. Penyerahan piagam MURI dilakukan pada 3 Pebruari 2010, di Jaya Suprana School of Performing Art, Mall of Indonesia, Jakarta Utara. Selamat!!
Sumber : Majalah Farmacia Edisi Maret 2010

Jualan Getuk Raih Gelar Dokter


Kondisi ekonomi keluarga yang minim tidak menghambat siapa pun untuk mencapai kehidupan yang sukses. ITULAH tema Kick Andy episode kali ini dengan menghadirkan beberapa narasumber yang mengupas perjuangan mereka hingga bisa mencapai kesuksesan. Salah satu narasumber episode kali ini adalah dr Eka Julianra Wah-joepramono SpBS, kepala Neuro Science Center RS Siloam Gleneagles Karawaci, Tangerang. Ahli bedah saraf kaliber internasional itu bisa mencapai sukses di bidang akademik karena perjuangan dan kegigihannya. Pria yang akrab disapa Eka itu bukan berasal dari keluarga mampu. Semasa kecil, keluarga Eka harus menumpang di rumah pakdenya di Klaten, Jawa Tengah."Orang tua saya tidak memiliki rumah sendiri, jadi numpang di rumah pakde di Klaten," kata pria kelahiran Klaten, 27 Juli 1958 ini.Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia dan keluarga hanya mengandalkan hasil jualan barang kelontong milik ibunya serta warung makan di rumah, yang lokasinya tidak jauh dari stasiun. Ayahnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Setiap pulang sekolah. Eka selalu menjaga warung. Eka juga m/ainbi jualan getuk di kantin-kantin sekolah. "Saya lakukan sampai SMA," kenang Eka.Setelah lulus SMA, Eka bertekad masuk sekolah kedokteran. Alasannya, ada teman sekolahnya anak seorang dokter. Hidupnya mapan, teratur, dan berpendidikan."Selain itu, dr Subiyanto, ayah teman saya itu, begitu dihargai orang-orang kampung. Status sosial seorang dokter merupakan status yang membanggakan," ujarnya.Pada masa itu ada lima universitas negeri yang mengadakan ujian penyaringan dalam waktu bersamaan.Namun, Eka yang

keturunan China itu harus bersabar sebab ada semacam aturan tertulis yang membatasi jumlah mahasiswa keturunanChina bersekolah di universitas negeri. Namun, Eka pantang menyerah. Dia mencoba masuk ke Universitas Diponegoro, Semarang. Rintangan pertama berhasil diatasi. Dia lolos seleksi, namanya tercantum sebagai mahasiswa, Eka wajib menulis berapa besar sumbangan yang harus diberikan ke universitas.Eka kemudian meminjam uang kepada pakdenya di Klaten sebesar Rp2 juta untuk bisa kuliah di Undip.Kesempatan kuliah itu tidak disia-siakan Eka untuk ikut berbagai kegiatan yang terkait dengan profesi kedokteran. Di situ dia terinspirasi ingin menjadi dokter bedah saraf.Pada TMS, ayah-dua-anak ini berhasil menjadi dokter spesialis bedah dan berpraktik di RS Honoris.Pasien pertamanya adalah karyawan di perusahaan Korea. Sayangnya, seusai operasi batang otak, perusahaan itu tidak mau membayar biaya operasi. Jiwa nasionalisme Sejak keberhasilannya melakukan operasi bedah batang otak pada 20 Februari 2004 itu, Eka melakukan promosi budaya Indonesia dengan caranya sendiri. Dia membentuk tim bedah saraf dari berbagai suku dan agama."Tujuannya agar kualitas bedah saraf Indonesia meningkat, bahkan di kancah internasional," kata Eka yang pernah menjadi anggota University of Southern America; State University of Arkansas; dan anggota International Board of Advisory.Meskipun sudah menjadi seorang dokter spesialis bedah. Eka tetap tidak berhenti belajar. Ia berkeinginan menjadi profesor. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Eka mendirikan fakultas kedokteran di Universitas Pelita Harapan (UPH). Pada 25 September 2002, Fakultas Kedokteran UPH resmi didirikan. Dan sejak 1 Juni 2007, Eka dipilih sebagai dekan fakultas tersebut. (M-3)miweekend@mediaindonesia.com

Keluarga Moeloek, Salah Satu Dinasti Dokter Sukses di Indonesia


DITULIS OLEH TITIK ANDRIYANI, JAKARTA

Kakek Jadi Nama Rumah Sakit, sang Cucu Tak Tertarik di Medis Nila Djuwita Anfasa Moeloek nyaris menjadi menteri kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Munculnya Nila mengingatkan orang pada nama menteri kesehatan sepuluh tahun lalu, Farid Anfasa Moeloek, dan tokoh kedokteran Abdul Moeloek. Ada hubungan ketiganya? NAMA Abdul Moeloek dan dunia kesehatan Indonesia tak bisa dipisahkan. Itu karena sebagian besar anggota keluarga trah Moeloek mendedikasikan hidupnya di bidang tersebut. Rumah Sakit dr H Abdul Moeloek di Bandar Lampung adalah salah satu buktinya. Nama RS tersebut diambil dari nama dr H Abdul Moeloek, yang tak lain ayahanda dr Farid Anfasa Moeloek atau mertua Nila Djuwita Anfasa Moeloek. Farid sendiri pernah mencurahkan hidup sebagai menteri kesehatan RI pada 1998-1999. Sedangkan sang adik, Prof Dr Nukman Moeloek SpAnd, hingga kini masih tercatat sebagai guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bukan hanya mereka. Paman saya, Sutan Assin, adalah ahli bedah. Juga ipar, sepupu, dan mertua laki-laki saya, terang Farid.

Jodoh Farid juga tak jauh-jauh dari profesi keluarganya. Istrinya, Nila Djuwita Anfasa Moeloek, juga seorang dokter. Bahkan Nila nyaris menduduki kursi Menkes. Sayang, di pengujung penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II, Nila kandas dan digantikan Endang Rahayu Sedyaningsih. Farid menuturkan, sejarah panjang keluarganya sebagai trah dokter memang dimulai dari ayahnya, dr Abdul Moeloek. Ayahnya lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1909. Pada usia 12 tahun, Moeloek merantau ke Batavia (Jakarta). Sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Bogor, setahun kemudian Moeloek memutuskan pindah ke Stovia, sekolah kedokteran yang didirikan Belanda. Gedung Stovia sekarang menjadi gedung Perintis Kemerdekaan di Jalan Abdur Rahman Saleh. Kiprah Abdul Moelek di dunia kedokteran dimulai saat lulus kuliah pada masa pendudukan Jepang. Ketika itu tentara Jepang memiliki misi membunuh para intelektual Indonesia. Beberapa dokter menjadi korban. Moeloek pun tak ingin mati sia-sia. Dia lantas memutuskan hijrah ke Semarang. Di kota itu dia menjadi seorang tenaga medis di RS Dokter Karyadi. Moeloek hanya beberapa tahun menetap di Semarang. Setelah itu, dia memutuskan mengasingkan diri di Desa Winong, Kota Liwa, Lampung Barat. Di kota kecil itulah Farid lahir pada 1944. Selama bersembunyi di kota itu, Moeloek mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil. Sedangkan istrinya menjadi guru dan mengajari masyarakat sekitar. Tak urung, keluarga Moeloek amat disegani dan dituakan di kota tersebut. Ayah saya memiliki banyak anak angkat. Lama tinggal di Lampung, sampai sekarang saya pun merasa sebagai orang Lampung, ungkap Farid. Ketika Indonesia merdeka, keluarga Moeloek memutuskan hijrah lagi ke Tanjung Karang, Lampung. Di kota itu Moeloek mengambil alih pengelolaan RS Tanjung Karang dari tentara Jepang. Kemudian Moeloek ditunjuk sebagai kepala rumah sakit itu. Setelah wafat pada 1973, DPRD Lampung sepakat menamai RS Tanjung Karang dengan nama RS dr H Abdul Moeloek. Hal itu dilakukan untuk menghormati dedikasi dan jasa Moeloek bagi masyarakat Lampung. Dedikasi dan ajaran Moeloek kini masih mengalir di dalam darah anak-anaknya. Farid adalah salah satunya. Setelah lulus SMA di Tanjung Karang, Farid masuk Fakultas Teknik Sipil, ITB. Namun studi itu ditempuhnya hanya beberapa saat, sebab hati kecilnya seolah memanggil untuk mengambil jurusan kedokteran, mengikuti jejak ayahnya. Farid pun banting setir. Dia ikut ujian di FK UI dan lulus. Setelah lulus sebagai dokter umum, Moeloek mengambil spesialis obgyn dan gynecology (kandungan dan kebidanan). Setelah itu, Farid memutuskan mengambil gelar doktor (PhD) di Johns Hopkins University (AS). Kebetulan, kata dia, ketika itu ada kerja sama antara UI dan universitas di negeri Paman Sam tersebut. Farid berhasil lulus cum laude. Sebuah prestasi yang membanggakan bagi dirinya. Kariernya di bidang kedokteran berawal saat dia menjadi staf pengajar di FK UI. Dia mengajarkan ilmu kebidanan dan ilmu lingkungan. Hingga kini dia masih mengajar di sana. Farid juga sempat dipercaya menjadi direktur Pascasarjana UI pada 1991-1998. Dalam kurun waktu itu, dia juga aktif di sejumlah organisasi. Salah satunya memimpin asosiasi internasional kesehatan reproductive and health. Dia juga sebagai anggota MPR. Karena itu, pada 1998, saat Soeharto terpilih kembali menjadi presiden RI, Farid dipercaya menduduki jabatan Menkes. Sayang, puncak kariernya tak berlangsung lama. Ketika Soeharto lengser, kabinetnya juga turut bubar. Namun saat Soeharto digantikan BJ Habibie, Moeloek kembali mendapat kepercayaan menduduki kursi tersebut. Dia pun resmi menjadi Menkes periode 1998-1999. Kini, setelah tak menjadi pejabat, Farid kembali ke habitat aslinya: praktik sebagai dokter. Dia tidak ingin pengabdiannya terhadap negeri berhenti sampai di situ. Apalagi, dalam frame otaknya, masih tersimpan konsep tentang penanganan kesehatan masyarakatyang dia amat yakin konsep itu bisa memutus rantai kemiskinan dan kebodohan di Indonesia. Menurut dia, dua akar persoalan tersebut yang membuat bangsa ini terseok-seok. Kedokteran dan kesehatan, lanjutnya, bagai dua sisi mata uang. Kedokteran hanya arti kata sempit, sedangkan kesehatan merujuk pada persoalan yang lebih luas. Moeloek menjelaskan, konotasi kesehatan saat ini seolah-seolah hanya fokus terhadap pelayanan dasar, seperti puskesmas dan rumah sakit. Padahal, katanya, di dalam konsep kesehatan, sejatinya ada problem kesehatan keluarga, air bersih, rumah sehat, lingkungan sehat, gizi, maupun olahraga. Ada korelasi yang erat antara kesehatan dan individu, keluarga, masyarakat, dan perilaku bangsa, tuturnya. Dia mengilustrasikan, merokok dinilai amat merugikan bangsa ini. Betapa tidak, separo pendapatan masyarakat kerap dihabiskan untuk mengisap zat adiktif yang beracun tersebut. Dampaknya, kata dia, tak hanya terhadap kesehatan, tapi juga problem sosial. Bisa mengurangi jatah untuk anak-anaknya, merusak IQ anak, dan ujung-ujungnya terhadap kemiskinan. Jadi, kalau hukum merokok itu makruh, bagi

saya itu haram, ujarnya. Hal itu, kata dia, menjadi tanggung jawab dokter. Menurut dia, seorang dokter sejati adalah mereka yang bisa menjadi agent of change (agen perubahan). Bukan hanya menunggu orang sakit di poliklinik, tapi bagaimana bisa menyehatkan masyarakat. Kalau hanya menunggu orang sakit, berarti belum menjalankan fungsi dokter, jelasnya. Indonesia, kata dia, membutuhkan konsep sehat yang holistik. Konsep tersebut pernah dia implementasikan saat menjabat Menkes. Sayang, impian dan angan-angannya untuk menyehatkan masyarakat Indonesia belum tuntas. Dalam mimpinya, Farid amat berharap agar setiap orang memiliki dokter pribadi. Tak peduli dia abang becak, tukang parkir, guru, atau kuli bangunan. Mereka layak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, ujarnya. Hal itu, kata dia, bukanlah sebuah keniscayaan. Dia menggambarkan, satu dokter bisa mengontrol kesehatan 2.500 penduduk. Nah, jika penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, dibutuhkan sekitar 80 ribu dokter untuk memantau kesehatan masyarakat secara berkala. Dokter tersebut, kata dia, harus memiliki database rekam medis setiap pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya. Untuk itu, pemerintah bisa menggelontorkan sejumlah dana terhadap dokter tersebut. Anggaran itu untuk biaya asuransi, misalnya dokter diberi Rp 40 juta untuk menangani sekian pasien. Tugas dokter itu adalah menyehatkan mereka. Jika masyarakat sehat, saya yakin biaya kesehatan dapat ditekan, ungkapnya. Saat ini konsep Indonesia sehat mungkin masih di awang-awang. Alih-alih konsep itu ada yang meneruskan, yang terjadi justru para dokter berlomba agar pasiennya terus bertambah. Mindset inilah yang harus diubah. Dokter itu harus berperan sebagai agent of change. Bagaimana semua orang bisa memiliki dokter pribadi jika dokter sekarang hanya berorientasi materi, cetusnya dengan mata berkacakaca. Karena itu, Farid bertekad terus mengabdikan diri untuk masyarakat. Selama bisa, saya dan istri akan terus berupaya untuk masyarakat, ucapnya. Sang istri sendiri, setelah batal menjadi menteri, juga kembali ke dunianya sebagai dokter di RS Mata Aini Jakarta. Farid dan Nila kebetulan sama-sama berprofesi sebagai dokter. Dan, itu bukan pilih-pilih. "Bu Nila dulu adik kelas saya di UI. Hubungan kami ya berawal dari situ," kata Farid. Selain praktik di RS Mata Aini, Nila aktif sebagai ketua umum Dharma Wanita Persatuan Pusat untuk masa bakti 2004-2009. Dia aktif di situ sudah sepuluh tahun, terang Farid. Tak hanya itu, Nila juga konsens di Perhimpunan Dokter Mata Indonesia. Memang istri saya masih suka aktif di luar, ucapnya. Farid-Nila boleh dibilang pasangan yang amat serasi. Tak hanya sebagai pasangan, tapi juga minat dan ketertarikan mereka terhadap bidang kesehatan. Hal itu mereka sadari betul saat pertama berkenalan. Sayang, dinasti dokter di keluarga Moeleok akan terputus. Anak-anak pasangan Farid-Nila tak satu pun yang tertarik melanjutkannya. Anak pertama mereka, Muh Reiza, sekarang tinggal di Inggris. Adiknya, Puti Alifah, juga memutuskan menjadi arsitek dan seniman di Prancis. Sedangkan anak bungsunya, Puti Annisa, lebih memilih bekerja di swasta. Kami memberikan kebebasan kepada anak-anak mau jadi apa saja, asal bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain, ucapnya. Soal kegagalan Nila menjadi Menkes, Farid sudah tak mau membahas. Meskipun seandainya Nila berhasil jadi Menkes, dia yakin konsep yang pernah dia terapkan itu bisa dilanjutkan istrinya. Tapi kami sudah tutup buku tentang masalah itu, ucap Farid.
Sumber: http://www.jambi-independent.co.id

You might also like