You are on page 1of 6

Hanya Malaikat yang Belum Mampir ke Perbatasan

Posted by Ken Miryam Vivekananda FadlilFeatured, KasatmataTuesday, May 24th, 2011

Hendrikus Adam (kedua dari kanan) sedang menampilkan seorang warga Indonesia di Entikong, Kalimantan Barat, yang memiliki dua tanda penduduk, Indonesia dan Malaysia. Foto-foto: Redaksi.

Lihat jempolnya. Tangan kiri Rahman menunjuk ke layar. Peserta spontan tertawa. Beberapa terpingkal. Itu sajalah kerjanya kalau datang ke kami. Rahman T. dari Nunukan, Kalimantan Timur, saat itu sedang memaparkan kondisi kawasannya melalui foto-foto. Di salah satu foto, terpampang wajah sejumlah legislator pusat yang sedang berpose di depan kamera. Di tugu perbatasan, legislator-legislator itu nampak sedang mengacungkan jempolnya sembari tersenyum lebar. Rahman merupakan salah satu pembicara dalam Dialog Pemuda II bertajuk Identitas Kebudayaan Indonesia di Perbatasan. Dialog yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Lentera Timur dalam rangka memperingati apa yang disebut Hari Kebangkitan Nasional, Jumat (20/5), berlangsung di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan tersebut, Rahman mengungkapkan betapa tidak terbangunnya Nunukan. Bahkan, pemasangan listrik sudah berhenti sejak 2001. Medan infrastruktur yang rusak pun turut menggoyang tatanan ekonomi; segala sesuatu menjadi amat mahal. Ia mencontohkan ongkos ojek dari pos batas sampai Krayan mencapai Rp. 200 ribu sekali jalan. Dan jika hujan, harga premium melambung menjadi Rp. 50 ribu per liter. Di lain hal, harga semen di Krayan bisa mencapai Rp. 1 juta per sak. Ambruknya kehidupan sosial-ekonomi di Nunukan bukanlah diakibatkan oleh adanya perang, melainkan dikarenakan ketiadaan pembangunan. Dan ini membuat banyak warganya hengkang, memilih untuk menjadi warga negara Malaysia ketimbang warga negara Indonesia. Paman saya sendiri pindah ke Malaysia sudah 30 tahun. Alasannya, kalau pindah (warga negara) maka anaknya mendapat jaminan sekolah, tutur Rahman. Kondisi tak berpembangunan juga dialami kawasan perbatasan di Kalimantan Barat, seperti Entikong, Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Seperti Nunukan, di Entikong juga terjadi perpindahan warga negara secara berangsur-angsur. Sebetulnya, seluruh petinggi negara sudah berdatangan ke Entikong. Hanya saja, kondisi tetap tak berubah. Tak ada kemajuan di daerah ini. Rasanya cuma malaikatlah yang belum pernah mampir ke Entikong, tukas Hendrikus Adam dari Kalimantan Barat.

Lain cerita, Saibansah Dardani, pembicara dari Batam, Kepulauan Riau, mengungkapkan sebuah kisah di Pulau Nipah. Pada 2005, ada kegiatan yang menghadirkan sejumlah prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan petinggi-petinggi Provinsi Kepulauan Riau di pulau tak berpenduduk ini. Saat kegiatan tengah berlangsung, dua buah pesawat tempur milik tentara Singapura terbang rendah dan berputar-putar di atas Pulau Nipah. Suaranya memekakkan telinga. Memang, mereka tidak melemparkan bom ataupun peluru. Tapi, dengan terbang rendah di atas Pulau Nipah, itu sudah membuktikan betapa beranda terdepan kita tidak punya wibawa sama sekali, ucap Saibansah. Lebih lanjut, Saibansah merujuk pada Singapura yang dapat menjadikan dua pulau kecilnya, yakni Pulau Semakau dan Pulau Sakeng, sebagai pusat rekreasi dan studi tur bagi pelajar dan mahasiswa. Padahal, kedua pulau itu sebetulnya adalah tempat pembuangan sampah akhir warga Singapura. Hal ini berbeda dengan Pulau Nipah yang hanya diperlakukan sebagai pulau berisi karang. Tak ada kegiatan selain kegiatan tentara yang meneropong ke pos jaga gudang senjata milik tentara Singapura. Padahal, Pulau Nipah dapat dijadikan sesuatu yang lebih bernilai dari itu. Zamzami A Karim dari Bintan, Kepulauan Riau, kemudian mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di Jakarta sebagai pusat negara Indonesia seringkali tak selanggam seirama dengan kawasannya. Sebagai contoh, Zamzami membuka kembali ingatan bersama kala aksi saling tangkap antara Indonesia dan Malaysia pada 13 Agustus 2010 di perairan Tanjung Berakit, Bintan. Di Jakarta, kejadian itu menyulut aksi kemarahan melalui demonstrasi. Akan tetapi, di Bintan maupun Batam, kemarahan semacam itu tak begitu mencuat. Dalam pemaparannya, Zamzami berusaha merefleksikan, apakah dengan demikian nasionalisme Jakarta dan Bintan berbeda? Bahkan, ia mempertanyakan, apakah yang disebut kebudayaan nasional, ketika pusat menyebutkan perlunya ketahanan kebudayaan nasional. Menurut Zamzami, ada aspek historis yang tak bisa diabaikan saat memandang masyarakat Kepulauan Riau, yakni pertautan sosio-historis dan etnokultur dengan penduduk seberang: Malaysia. Kosmopolitan kawasan yang kini bernama Kepulauan Riau sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum kedua negara baru (Indonesia dan Malaysia) ini berdiri. Sehingga, apa yang disebut infiltrasi budaya kepada masyarakat tempatan menjadi tidak signifikan. Pada saat yang sama, Zamzami juga menuturkan bahwa siswa-siswi di Kepulauan Riau lebih memilih Singapura dan Malaysia sebagai rujukan kemajuan. Hal ini dapat terlihat dari pilihan tema dalam lomba esai tentang pembangunan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Tanjung Pinang pada Desember 2007. Jadi bukan ke Jakarta mereka memandang, ucap Zamzami. Di lain hal, Jeverson Petonengan dari Sangihe, Sulawesi Utara, mengungkapkan bahwa kebudayaan yang ada di Miangas banyak yang serupa dengan Filipina. Bahkan, sebelum menjadi bagian Indonesia, Miangas sempat menjadi milik Filipina dengan nama La Palmas pada 1891. Namun, pada 1928, saat Mahkamah Arbitrase Internasional memasukkan Miangas sebagai bagian dari Kerajaan Belanda, karena sudah dikuasai kerajaan tersebut sejak 1677, ia pun kemudian menjadi bagian dari negara Indonesia. Sebelum itu, Pulau Miangas adalah bagian dari Kerajaan Kendahe Tahuna, termasuk Pulau Marore. Konon, pulau-pulau lain seperti Saranggani, yang merupakan bagian Kerajaan Kendahe Tahuna, diberikan kepada raja-raja di kawasan yang kini bernama Filipina Selatan sebagai mas kawin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa masyarakat Sangihe dan Talaud juga tersebar di Filipina Selatan. Menurut Jeverson, penanda atas kepemilikan Pulau Miangas dan Pulau Marore adalah adanya pos Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian. Selebihnya, kondisi perekonomian masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Sektor perikanan hanya berfungsi sebagai penopang hidup untuk kebutuhan sehari-hari. Jika kondisi laut berbahaya, masyarakat bekerja sebagai buruh bagasi untuk kapal yang datang seminggu sekali, ujar Jeverson. Kondisi perekonomian masyarakat kian memburuk kala penjagaan negara terhadap perbatasan menguat. Sebab, perdagangan yang selama ini berlangsung dengan masyarakat Filipina menjadi tertutup.

Pembicara lain adalah seorang Bajo dari Gorontalo, Umar Pasandre. Dalam pemaparannya, Umar lebih banyak menyisir perihal sejarah Bajo yang tersebar di seantero Indonesia, pun dunia. Dalam versi Umar, Bajo berasal dari Johor, Malaysia, di abad 17. Namun, karena situasi politik yang tidak menguntungkan, masyarakat Bajo berdiaspora kemana-mana, baik itu Kalimantan (Borneo), Malaysia, Filipina, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Sulawesi. Di seluruh peta Indonesia, terdapat nama-nama kawasan yang mengindikasikan adanya Bajo. Dari kepulauan Selat Sunda bagian timur sampai ke barat pantai Sumatera, ada nama-nama seperti Labuan Bajau di Teluk Bima (Nusa Tengara Timur), Kima Bajo, Talawan Bajo, Labuan Bajo Pagimana, Bajau Togian, dan Labuan Bajo Ampana (Sulawesi Tengah), Bajo Langara Papeda Manui (Kendari, Sulawesi Tenggara), Bajo Tumpaan dan Bajo Nain (Sulawesi Utara), Labuan Bajo Tilamuta dan Bajo Torosiaje (Gorontalo), Kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan), Bajau Pelau (Kalimantan Timur), dan Tanjung Sibajau di Kepulauan Simeuleue (Aceh). Pada saat yang sama, ia juga menceritakan bahwa masyarakat Bajau Pelau diusir oleh tiga negara: Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Alasannya, mereka masyarakat tak berkewarganegaraan. Orang Bajo memang orang laut. Dari lahir sampai meninggal, mereka ada di laut. Karena itu ada pandangan bahwa dengan mengetahui cara memancing berarti mengetahui bagaimana cara mempertahankan hidup. Seorang bayi laki-laki yang lahir dimandikan dengan air laut oleh bapaknya agar ia lebih mengenal dunianya, yaitu dunia laut. Jika seorang bayi perempuan yang lahir, ibunya akan menempatkan tali pusar pada mulut bayi agar kelak ia hidup mandiri. Sejak lahir sampai akhir hayat, mereka adalah bagian dari laut, tukas Umar. Dalam memaparkan perspektifnya, Umar nampak mengalami sedikit kesulitan untuk bertutur lantang. Mohon maaf jika penyampaian kami tak baik. Kami tak biasa dengan ini (slide projector-red). Internet pun kami tak ada. Jadi mohon maaf, kata Umar terbata. Suaranya terdengar bergetar. Pemaparan tajam juga datang dari Andre Parera, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Ia menyoroti bahwa ada kebingungan identitas yang melanda masyarakat di daerahnya. Ada kebingungan pada anak-anak yang sedang tumbuh remaja, apakah mereka orang Nusa Tenggara Timur atau bukan. Jika memang orang Nusa Tenggara Timur, ada pelabelan eks Timor-Timur yang melekat. Apalagi, budaya keduanya sama persis. Kehadiran politik negara dan administrasi negara sebetulnya merusak ruang-ruang interaksi kultural masyarakat yang sudah berlangsung lama, tandas Andre. Selain itu, ia juga mempertanyakan banyaknya pos-pos Tentara Nasional Indonesia di perbatasan Atambua dengan Timor Leste. Apalagi, Timor Leste sendiri tidak menempatkan pasukannya secara mencolok di perbatasan. Dengan ini, ia pun lebih mengenali dan menerjemahkan wajah perbatasan sebagai wajah militer. Tidak ada tanda-tanda adanya infiltrasi negara lain di Atambua. Dan tak mungkin ada pasukan asing masuk. Tapi kenapa harus banyak sekali pos tentara? Yang ada justru tentara sering kali berhadapan dengan rakyatnya, kata Andre. Dari segi pembangunan, ketimpangan juga nampak. Kala malam datang, pos-pos tentara di perbatasan gelap tak berlistrik. Sementara di perbatasan Timor Leste, suasana begitu terang benderang.

Komposisi wilayah adat Papua. Gambar: Jeffry Papare.

Sementara itu, Jeffry Papare dari Merauke, Papua, memulai pemaparannya dengan membandingkan dua perspektif historis yang berbeda. Satu dari Papua, yang lain dari Indonesia. Perspektif itu terkait tentang kedaulatan Papua sebagai sebuah negara pada 1 Desember 1961. Selain itu, Jeffry juga mengungkapkan bahwa belum ada kejelasan tentang garis batas kontinen dan maritim antara Indonesia dan Papua New Guinea di Papua. Nelayan tradisional kedua negara faktanya sering melakukan perjalanan lintas batas perairan. Apalagi, keduanya juga memiliki hubungan kekerabatan, kesamaan adat, dan budaya. Masyarakat itu punya hak tanah adat yang berada di negara tetangga. Jadi dia ada di sini, tapi tanah adatnya ada di negara lain. Begitu juga sebaliknya, ucap Jeffry. Terkait identitas di Merauke, Jeffry menyatakan kekhawatirannya dengan adanya proyek yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Baginya, proyek hasil persekongkolan kapitalis birokrat dan borjuis nasional ini akan meminggirkan masyarakat Papua. Selain membunuh mata pencaharian masyarakat tradisional, proyek ini akan mendatangkan penduduk dari luar Papua secara masif. Sebab, Merauke Integrated Food and Energy Estate itu membutuhkan sekitar empat juta pekerja. Dan itu menciptakan arus transmigrasi global yang kian membuat masyarakat Papua menjadi minoritas. Secara keseluruhan, Jeffry meminta agar pendekatan keamanan atau militer yang selama ini dilakukan terhadap Papua dihentikan, termasuk kebijakan yang hanya berdasarkan kebutuhan pusat untuk mengamankan sumber daya alam tanah Papua. Pendekatan harus berdasarkan pada kesejahteraan rakyat dan partisipasi budaya-adat masyarakat. Selain itu, pengaturan perbatasan pun tak bisa hanya mengacu pada aturan-aturan hukum formal, melainkan juga memperhatikan hukum dan aturan adat yang ada. Jika selama ini perspektif pusat yang menjadi indikator pembangunan, yang sering kali tak tahu duduk persoalan, Jeffry menganjurkan agar mulai dipikirkannya apa yang disebut self government atau federasi. Batas Imajiner Seperti halnya kedelapan pembicara tersebut, pakar kebudayaan perbatasan dari Universitas Indonesia, Dave Lumenta, pun menyatakan bahwa garis perbatasan tak bisa ditentukan secara tegas tanpa mengindahkan sosial-kultural kawasan. Dave yang menjadi pembicara kunci dialog ini memberikan landasan bahwa batas-batas negara Indonesia dengan negara lain merupakan hasil dari pembagian kekuasaan antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Inggris dan Kerajaan Portugal. Bagi Dave, peta perbatasan yang ada merupakan gambaran atas simplifikasi ruang. Peta tersebut sama sekali tidak mencerminkan dinamika sosial masyarakat perbatasan. Sering kali ia hanya garis

lurus. Ia juga menganalogikan bahwa laut tidak bisa dipagar, ikan tidak bisa dibikin patriotik. Logika darat, kata Dave, memang aneh. Dari peta ini, tunjuk Dave pada layar, garis batas yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris terlihat serampangan. Meski nampak serampangan, Belanda pernah menyerahkan suatu kawasan miliknya kepada Inggris dengan pertimbangan tertentu. Dan ini menunjukkan bahwa logika ruang yang dipakai negara dalam memandang perbatasan tak bisa kaku. Lebih lanjut, Dave mempertanyakan tuduhan selama ini terhadap masyarakat kawasan perbatasan sebagai tak nasionalis karena menggunakan mata uang bukan rupiah. Ia membandingkan dengan nasionalisme masyarakat Jakarta yang sering kali menabung atau bertransaksi dengan dolar.

Dave Lumenta.

Dave juga mengemukakan bahwa pertaruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus diwaspadai bukanlah datang dari kawasan perbatasan, tapi justru dari lingkar kekuasaan di Jawa yang marak dengan teror, bom, kekerasan atas nama agama, dan semacamnya. Dalam dialog yang dihadiri oleh peserta dari Mandar (Sulawesi Barat), Aceh, Kepulauan Riau, Bogor, dan berbagai organisasi ini, satu hal yang menyamakan paparan seluruh pembicara adalah samasama berasal dari pembagian tanah jajahan antara tiga kerajaan Eropa, yakni Belanda, Inggris, dan Portugal. Di Sumatera, Belanda dan Inggris bertukar tanah jajahan melalui Traktat London 1824, yang menciptakan Indonesia kini dan Malaysia kini. Sedangkan di Kalimantan, pun Sebatik, Belanda dan Inggris kembali membagi tanah kekuasaan melalui The Boundary Convention (London, 20 Juni 1891), The Boundary Agreement (London, 28 September 1915), dan The Boundary Convention (Den Haag, 26 Maret 1918). Hasilnya adalah apa yang disebut Indonesia kini dan Malaysia kini. Di Papua, Belanda dan Inggris juga membagi tanah Papua menjadi dua pada 16 Mei 1895. Hasilnya berupa Indonesia kini dan Papua New Guinea kini. Begitu pula di Sulawesi. Dan di Nusa Tenggara, Belanda bertukar tanah kekuasaan dengan Portugal pada 20 April 1859, 10 Juni 1883, 1 Juli 1893, dan 1 Oktober 1904. Hasilnya adalah Indonesia kini dan Timor Leste kini (yang sempat menjadi bagian Indonesia). Di atas semua fakta inilah sebetulnya nasionalisme Indonesia berdiri. Dalam dialog ini, benang merah lain yang nampak adalah bahwa kawasan perbatasan sejatinya merupakan satu ruang kultural dengan negara tetangga (kini) yang sudah berlangsung berabadabad. Dan kawasan-kawasan kultural yang biasanya sudah berkarakter kosmopolitan ini sering kali

tak mampu terpahami oleh pusat nun jauh di sana, Jakarta. Alhasil, perbatasan yang dibelah negara secara kaku memunculkan kebingungan identitas di masyarakat perbatasan. Karena itu, para pembicara berharap agar aspek kultural menjadi arus utama dalam pembahasan kawasan perbatasan. Selain itu, seluruh pembicara juga memaparkan suatu kesamaan, yakni tidak adanya perhatian pemerintah dalam pembangunan kawasan mereka. Namun, mengingat seluruh petinggi negara sudah mendatangi kawasan tersebut, indikasi ketidakpedulian atau ketidakmauan mau tak mau juga menyertakan kemungkinan mengenai ketidakmampuan.

You might also like