You are on page 1of 15

Pengertian dan Sejarah Ilmu Hadis

http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html

MANUSIA dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis. Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah dan berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta tidak sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak mungkin jumlah hadis mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang maqbul. Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan mengamalkan ajaran yang bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti keotentikannya

sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.

A- Pengertian Ilmu Hadis Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadisyang mengandung dua kata, yaitu ulum dan al-Hadis. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadisyang memiliki pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW. Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masingmasing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Main (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Saad (230H/844) menulis AlTabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis AlIlaldan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.

Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis.

B- Pembagian Ilmu Hadits Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. 1) Ilmu Hadis Riwayah Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah, sebagaiamana yang disebutkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawaid fi Ulum al-Hadisseperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai berikut: :

Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi tentang ilmu Hadis Riwayah di atas dapat difahami bahawa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.

Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah


1. cara periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain. 2. cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.

1.

Tujuan Ilmu Hadis Riwayah

Adapun tujuan ilmu hadis riwayah ini adalah agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW dapat terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung di dalamnya, hal ini sejalan dengan perintah Allah SAW agar menjadikan Nabi SAW sebagai ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini (QS. Al-Ahzab [33] : 21).

2) Ilmu Hadis Dirayah Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis kemukakan dua di antaranya:

Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:

: Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:

Hakikat

yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan seorang perawi, haddasana fulan (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: akhbarana fulan (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).

Riwayat,

Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa


yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama (perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qiraah (murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk seseorang), Ilam (member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru.

Macam-macam Riwayat, yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang bersambung mulai dari
perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,ataumunqathi (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.

Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena
adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.

Keadaan para Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).

Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh


seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add).

Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di dalam kitab al-musnad, al-mujam, atau al-ajza dan lainnya dari
jenis-jenis kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.

Selain itu, M. Ajjaj al-Khatib mendefinisikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: : Ilmu hadis dirayah adalah kumpulan kaedah-kaedah dan masalah-masalah

untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima dan ditolaknya.
Definisi ini dapat kita jelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Al-Rawi

orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadis dari satu orang ke orang yang lain. Al-Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atauTabiin. Keadaan Perawi dari segi diterima atau ditolaknya, adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan tadil ketika tahammul dan adda al-hadis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadis.

atau

perawi adalah

Keadaan Marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya
suatu hadis.

Objek Kajian Ilmu Hadis Dirayah

1. 1. segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar; 2. segi keterpercayaan sanad (siqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadisnya); 3. segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz); 4. segi keselamatannya dari cacat (illat); dan 5. tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad. Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dhaifan-nya. Hal tersebut dapat terlihat melalui kesejalannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al-Quran, atau harus selamat dari beberapa hal berikut: 1. 1. Selamat dari kejanggalan redaksi (rakakat al-fadz); 2. Selamat dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad almana) karena bertentangan dengan akal dan pancaindera, atau dengangan kandungan dan makna Al-Quran, atau dengan fakta sejarah; 3. Selamat dari kata-kata asing (ghorib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Tujuan dan Urgensi Ilmu Hadis Diwayah

Tujuan dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak). Ilmu hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Musthalahul Hadis, atau Ushul al-Hadis. Keseluruhan nama-nama di atas meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaanperawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.

Para Ulama hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti: pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif, serta macam-macamnya,; pembahasan tentang tata cara penerimaan (tahammul), dan periwayatan (adda) hadis; pembahasan al-jarh dan al-tadil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasifikasiannya antara yang tsiqat dan yang dhaif; dan lain-lain. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadis, sehingga karena banyaknya, Imam Al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam ulumul hadis tersebut banyak sekali, bahkan tak terhingga jumlahnya. Sementara Ibn Al-Shalah menyebutkan ada 65 macam Ulumul Hadis sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas.

C- Sejarah dan Perkembangan Ulumul Hadis Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Adapun dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menelitu dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik. Firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang telah

beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.(QS. Al-Hujurat: 6).

Sementara dalam hadis disebutkan, (Semoga) Allah membaguskan rupa

seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadangkadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar.
(HR. At-Tirmizi). Dalam ayat al Quran serta dua hadits tersebut jelas terdapat suatu prinsip ketentuan mengenai pengambilan suatu berita sekaligus tata cara dalam menerima suatu berita tertentu; dengan cara melakukan tabayyun (memperjelasnya) serta menelitinya dan agar hati-hati dalam menyampaikan suatu berita kepada orang lain. Dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasuyl-Nya itu, maka para sahabat telah menetapkan ketentuan-ketentuan dalam menyampaikan suatu berita sekaligus dalam hal menerimanya, terutama ketika mereka meragukan terhadap kejujuran dari orang yang menyampaikan berita tersebut. Atas dasar ini, maka nampak jelaslah kedudukan serta nilai sanad dalam rangka untuk menerima atau menolak suatu berita. Dalam muqadimah Shahih Muslim, dari riwayat Ibnu Sirin, dikatakan Semula mereka tidak pernah mempertanyakan tentang sanad, kemudian setelah timbul fitnah, mereka baru mempertanyakannya: Sebutkanlah

kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepada kamu sekalian. Lalu jika ternyata mereka yang meriwayatkan hadits tersebut
adalah orang-orang Ahli Sunnah maka terimalah hadits itu, sebaliknya, jika ternyata memang orang-orang Ahli Bidah, maka janganlah kamu mengambil hadits yang diriwayatkannya. Berpijak pada prinsip bahwa suatu hadis itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dikatahui sanadnya, maka munculah ilmu Jarh wa Tadil, dan (ilmu mengenai) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadis, serta (cara) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadis, serta (cara) mengetahui sanadsanad yang muttasil dan yang munqati, dan mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Bahkan telah muncul pula pembicaraan pada sebagian rawirawi yang tercela. Meskipun masih sangat sedikit sekali- karena sedikitnya rawi-rawi yang benar-benar tercela pada masa awalnya. Kemudian para ulama lama kelamaan memperluas (jangkauan pembahasan) dalam masalah yang demikian itu, hingga lahirlah pembahasan dalam beberapa cabang yang berhubungan dengan hadits dari segi pencatatannya, tata cara menerimanya serta menyampaikannya, dan

mengetahui nasikh-mansukhnya, gharibnya dan hal-hal selainnya, hanya saja demikian itu dilakukan para ulama secara lisan. Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadis, Syekh Manna Al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis ada 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah. Berikut akan penulis paparkan secara singkat kedua hal pokok tersebut: Pertama: Dorongan Agama Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka. Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi SAW dengan cara periwayatan,menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya. Kedua : Dorongan Sejarah Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu muslihat. Dan umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka

dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:

1- Mengurangi periwayatan hadis .


Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW. Selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah dan mengabaikan AlQuran

2- Ketelitian dalam periwayatan.


Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.

3- Kritik terhadap riwayat.


Adapun bentuk kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan Al-Quran, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya. Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-tadil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang. Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian hadis, yaitu seperti: a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan;

b) melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya; c) melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dhaif-an atau kepalsuan suatu hadis. Demikianlah kegiatan para ulama hadis di abad pertama Hijrah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Hadis. Bahkan pada akhir abad pertama itu telah terdapat beberapa klasifikasi hadis, yaitu: Hadis Marfu, Hadis Mawquf, Hadis Muttashil, dan Hadis Mursal. Dari macam-macam hadis tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya disebut dengan hadis shahih dan hadis hasan, serta hadis mardud yang kemudian dikenal dengan hadis dhaif dengan berbagai macamnya. Pada abad kedua Hijrah, ketika hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhayikan ketentuan-ketentuan hadis shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini dilakukan lantaran semakin banyaknya para penghafal hadis yang telah wafat. Pada abad ketiga Hijrah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan Hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah Hadis ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial.Yahya ibn Main (w. 234H/848M) menulis tentang Tarikh ar-Rijal, Muhammad ibn Saad (w. 230H/844M) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-Ilal, dan lain-lain. Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah ditulis secara khusus kitabkitab yang membahas tentang Ilmu Hadis yang bersifat komprehensif. Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan karya-karya di bidang Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar Ramaharmuzi (wafat pada tahun 360 H),

kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al Wai. (oleh: Indra L Muda)

DAFTAR PUSTAKA Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy Al-Jazairi, Penjelasan AlMandhumah Al-Baiquniyah, terj. Abu Hudzaifah, Jakarta:Maktabah AlGhuroba, Cet.II, 2008 Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah Hadits, terj. Zainul Muttaqin, Bandung: Titian Ilahi Press, Cet. II, 1999 M.M.Al-Azami, Memahami Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001 Syekh Manna Al-Qaththani, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. IV, 2009 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Bandung: Bumi Aksara, 2002
Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu undang-undang yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Definisi ini lebih pendek dari definisi di atas. Sedangkan definisi lain sebagaimana di sebutkan ibnu hajar, definisi paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaankeadaan rawi dan yang diriwayahkan. Berbagai definisi di atas banyak kemiripan, pada dasarnya semua definisi itu sama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya. Istilah lain yang dipakai oleh ulama ahli hadits terhadap ilmu hadits dirayah adalah ilmu ushul al-hadits. Pada mulanya pembahasan yang menyangkut ilmu hadits dirayah sangat beragam. Kemudian muncullah beberapa ilmu yang bertalian dengan kajian analisis dan semuanya terangkum dalam satu nama, yakni ilmu hadits. Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah; a. Ilmu Jarah Wa Al-Tadil

Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya. b. Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang yang pertama di bidang ini adalah al-bukhari (256 H). dalam bukunya thabaqat, ibn saad (230 H) banyak menjelaskannya. c. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Iamam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng. Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemumkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan. Misalnya sabda rasulullah SAW, tiada penyakit menular dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit. Di antara ulama yang menulis tentang ilmu mukhtalaf al-hadits adalah imam syafiI (204 H), Ibn Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakariya Bin Yahya al-Saji (307 H) dan Ibnu al-Jauzi (598 H). d. Ilmu Ilal Al-Hadits Ilmu ini membahas tetentang sebab-sebab tersembunyinya yang dapat merusak keabsahan suatu hadits. Misalnya memuttasilkan hadits yang mungkati, memarfukan hadits yang maukuf dan sebagainya. Dengan demikian menjadi nyata betapa pentingnya ilmu ini posisinya dalam disiplin ilmu hadits.

e. Ilmu Gharib Al-Hadits ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H. f. ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits ilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang dating dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus). Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hokum syarI sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh. Al-hazimi berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad. Karena, rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang penulilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penikilan adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh. Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti, sabdanya, Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingattkanmu pada akhirat.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2127085hadits-riwayah-dan-dirayah/#ixzz1Yuu9YJiJ

You might also like