You are on page 1of 15

Peter Kasenda

Soekarno, Irian Barat dan Uni Soviet


Kendati Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pengakuan de facto atas Republik Indonesia baru diberikan setelah tercapai perjanjian Linggarjati yang disetujui oleh Indonesia dan Belanda pada 15 November 1946. Sesudah perjanjian tersebut ditandatangani, Inggris, Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina dan Australia pun memberikan pengakuan de facto Republik Indonesia tetapi tidak oleh Uni Soviet. Pengakuan diplomatik kemudian juga mengalir dari negara-negara Arab. Pada tanggal 13 Jnuari 1948 telah terjalin kesepakatan yang menetapkan pertukaran perwakilan konsuler. Kendati tertunda karena pengunduran diri Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Ketika pejabat-pejabat Soviet akhirnya memilih untuk menandatangani dan mengumumkan kesepakatan tersebut pada akhir Mei 1948, Moskow sedang mencoba menjalin hubungan dengan Republik Indonesia. Keinginan Uni Soviet mengakui Republik Indonesia secara de jure dan ketegasan Rusia di Asia Tenggara secara umum, mungkin terkait dengan hasrat Moskow untuk melakukan langkah-langkah balasan demi mengatasi kemenangan AS di Eropa, Stalin dan penasehat-penasehatnya memandang Marshall Plan juga pembentukan Pakta Pertahanan Eropa Barat pendahulu NATO adalah provokasi anti-Rusia, yang diperparah lebih lanjut dengan integrasi separuh lebih wilayah Jerman ke dalam badan politik kapitalis Eropa Barat. Selain itu para pembuat kebijakan Soviet boleh jadi tergoda membuat panas suasana Indonesia untuk membela perjuangan nasional di Asia sambil memberi dukungan moral dan politis kepada Front Demokrasi Rakyat yang makin vokal di Jawa dan Sumatra. Pendeknya, pengumuman kesepakatan konsuler Uni Soviet dengan Republik Indonesia pada Mei 1948 dapat merusak politik Hatta dalam Republik Indonesia dan menyokong posisi kekuatan komunis dalam Republik Indonesia pada saat yang sama. Kenyataan ada usaha pembentukan negara komunis di Indonesia yang mengikuti Uni Soviet, tentu saja mencemaskan pemerintahan Truman yang merasakan makin besar mengenai ancaman komunisme di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Kenyataan itu telah membuat Washington memulai kebijakan baru dan lebih berorientasi damai terhadap pemerintah Indonesia di Yogyakarta dan sebaliknya Washington bertekad meminta lebih banyak dari Belanda. Kecenderungan alami Washington untuk mendukung Belanda makin lama makin tidak masuk akal. Departemen Luar Negeri AS makin yakin bahwa Soekarno dan Hatta terbilang moderat istilah moderat dalam konteks ini berarti non-komunis atau lebih bagus lagi anti-komunis dapat menangkal gerak-gerik ideologis Moskow. Oleh karena itu, tampaknya penting bagi kebijakan luar negeri AS untuk memberi bantuan bagi kedua pemimpin tersebut dalam upaya mereka menggalang Republik Indonesia yang pro-Barat di kepulauan yang berlokasi strategis di Asia.

Peter Kasenda Dalam rangka mengkonsolidasi posisi Indonesia di panggung internasional, dua hari setelah Perjanjian Linggarjati ditandatangani, PM Sutan Sjahrir berangkat ke New Dehli memenuhi undangan PM India Jawaharlal Nehru untuk menghadiri Asian Relations Conference. Di sana, dalam acara penutupan konfrensi, Sutan Sjahrir berpidato tentang politik luar negeri Indonesia yang jelas-jelas mengandung benih-benih bagi dikembangkannya, dan yang kemudian dikenal dengan asal kejadian politik luar negeri Indonesia yang tidak memihak pada satu blok. Pandangan ini kemudian dilanjutkan Mohammad Hatta, dalam menanggapi keinginan FDR/PKI dalam Badan Pekerja KNIP mulai mendesak pemerintah untuk bekerja sama menghadapi Belanda dan supaya Republik Indonesia memilih Uni Soviet dalam persaingan politik global antara blok barat dan timur. Dalam pidatonya yang terkenal berjudul Mendayung antara Dua Karang di depan anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 2 September 1948, Mohammad Hatta mengemukakan pernyataan-pernyataan yang kemudian menjadi acuan dasar pelaksanaan politik luar negeri Mohammad Hatta bertanya, Mestikah bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita ? Perdana Menteri Mohammad Hatta kemudian menjawab sendiri pertanyaan dengan menggarisbawahi, bahwa Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak mempersatukan sikap sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita, yaitu Indonesia Merdeka seluruhnya Prinsip-prinsip dasar kebijakan luar negeri ini muncul karena memiliki akar sejarah yang kuat di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengalaman Indonesia yang traumatik yang begitu lama dijajah oleh Belanda. Dalam karangannya Indonesaia Foreign Policy dalam Foreign Affaris tahun 1953, Mohammad Hatta menjelaskan secara lebih rinci mengenai politik bebas aktif dan juga memaparkan alasan-alasan mengapa Pemerintah Indonesia memilih untuk tidak memihak dalam persaingan dan permusuhan Uni Soviet dan Amerika Serikat, namun tidak tinggal diam sebagai pihak pasif dalam percaturan politik dunia melainkan sebagai subjek yang memiliki pendiriannya sendiri. Dalam artikel tersebut, Mohammad Hatta menjelaskan lebih lanjut alasan ketidakberpihakan Indonesia dalam konflik blok Barat dan Timur. Menurut Mohammad Hatta, Republik Indonesia yang telah mengalami periode panjang kolonialisme setelah menjadi negara merdeka sangat menginginkan terwujudnya dalam realitas slogan seperti liberty,humanity. soscial justice . the brotherhood of nations dan lasting peace . Dalam hal ini, Mohammad Hatta tidak mempercayai bahwa alinasi Indonesia dengan salah satu kekuatan negeri adidaya yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang bersaing ketat dalam bipolarisme ekonomi dan ideologi dunia pasca-Perang Dunia akan mampu mewujudkan keinginan Indonesia tersebut. Hal tersebut akan dapat tercapai apabila

Peter Kasenda Indonesia mengedepankan kebijakan yang didasarkan pada perdamaian dan persahabatan dengan semua bangsa atas dasar saling menghargai dan tidak campur-tangan. Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, Indonesia dapat melindungi diri dari ancaman eksternal, sehingga stabilitas politik dan pembangunan untuk menyejahterahkan rakyat dapat tercipta. Atas dasar pertimbangan tersebut, Indonesia tidak melakukan aliansi dengan salah satu kekuatan baik blok Amerika Serikat dan blok Uni Soviet. Mohammad Hatta menegaskan bahwa jika kebijakan luar negeri membiarkan alinasinya dengan salah satu kekuatan blok, ini hanya akan menyebabkan upaya untuk mewujudkan konsolidasi internal yang sangat penting untuk mencapai tujuan nasional di atas mengalami kesulitan yang berkepanjangan. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, tidaklah mengherankan apabila penekanan pada prinsip bebas aktif menjadi acuan dasar politik luar negeri Indonesia, tidak saja pada masa pascakemerdekaan namun juga masih berlaku dalam konteks kekinian, karena erat terkait dengan tujuan nasional sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain bebas aktif, politik luar negeri Indonesia adalah anti-penjajahan. Sejak semula Indonesia dengan tegas menolak kolonialisme dan imperialisme seperti yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan. Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pada pascakemerdekaan hingga tahun 1950-an lebih ditujukan untuk mementang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas dan aktifnya. Dengan pembentukan negara kesatuan pada bulan Agustus 1950, Mohammad Hatta digantikan sebagai perdana menteri oleh Mohammad Natzir dari Mayumi. Laporan mengenai kemajuan dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet dan ikatan perdagangan dengan Eropa Timur dilukiskan sebagai usaha menunjukkan sikap ketidakberpihakan. Kabinet Wilopo mendapatkan tekanan dari parlemen mengenai prospek hubungan diplomatik dengan Uni Soviet karena Uni Soviet tidak memberikan pengakuan kepada Indonesia pada bulan Januari 1951 dan kunjungan suatu delegasi ke Moskow pada bulan April berikutnya. Pada bulan Juni 1952, Wilopo menegaskan bahwa waktunya belum tiba untuk membuka suatu kedutaan. Hubungan Indonesia dengan Uni Soviet memburuk setelah keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun 1949. Walaupun Uni Soviet tidak menyambut kemunculan Indonesia dengan hangat, sikap permusuhannya semula telah digantikan dengan sikap yang lebih bersahabat pada tahun sebelum meninggalnya Stalin. Saat penetapan misi diplomatik di Moskow diajukan lagi

Peter Kasenda di parlemen pada bulan Februari 1953 dan secara umum mendapatkan tanggapan yang simpatik, karena suatu pertukaran duta besar dengan negara komunis utama dipandang sebagai suatu cara menciptakan keseimbangan dalam kebijaksanan luar negeri yang independen. Sebagai perdana menteri, Ali Sastroamidjojo yang menggantikan Wilopo, mengakui sebagai mewakili pencerminan asli kebijaksanaan luar negeri, Ali Sastroamidjojo memberi suatu persetujuan untuk menetapkan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dicapai pada bulan Desember 1953. Kabinet Burhanuddin Harahap yang menggantikan Ali Sastroamidjojo, menaruh perhatian aktif terhadap kebijaksanan luar negeri, khususnya mengenai tuntutan atas Irian Barat yang juga disampaikan kepada PBB. Prakarsa ini mencerminkan pandangan bahwa suatu pendekatan seadanya terhadap persoalan-persoalan negara yang mendasar tidak akan dapat diterapkan sepanjang perihal Irian Barat dapat dieksploitasi oleh musuhmusuh politik radikal. Pemerintah menghadapi masalah itu dengan suatu perubahan gaya diplomasi. Sasaran diplomasi tersebut ialah memperbaiki hubungan dengan negaranegara Barat, termasuk Australia yang secara terbuka menentang tuntutan Indonesia atas Irian Barat, untuk mempengaruhi iklim internasional dalam rangka menghadapi Belanda. Dengan sosok kharismatik dan pidato-pidatonya yang membakar semangat terbukti Soekarno sangat popular dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni Perdana Menteri. Di dalam politik luar negeri, sosok Soekarno juga semakin kuat. Walaupun resminya Soekarno berdasarkan UUDS 1950 hanya presiden seremonial dan kedudukan eksekutif dipegang oleh PM, namun Soekarno sering kali melakukan pidato-pidato politik yang menyeruhkan langsung kepada rakyat untuk terus berjuang membebaskan Irian Barat.Mohammad Natsir, Wilopo, Ali Sastroamidjo dan Burhanuddin Harahap telah berusaha tetapi tidak berhasil menyelesaikan masalah domestik yang dinilai sangat sensitif, Sikap militan Soekarno lebih jelas terlihat terutama setelah PBB dalam sidang umumnya gagal untuk mengeluarkan resolusi tentang Irian Barat pada 1957. Kegagalan untuk ketigakalinya dalam forum PBB di atas mengakibatkan perubahan dratis dalam keseluruhan perdebatan mengenai Irian Barat. Melalui berbagai pernyataan dan pidatonya, Presiden Soekarno semakin keras menuntut pengembalian Irian Barat dari tangan kolonial Belanda. Soekarno ini berpandangan bahwa penguasaan Belanda atas wilayah tersebut, tidak bisa diterima, karena dilihat sebagai kelanjutan bentuk kolonialisme. Pandangan militannya yang anti-kolonial telah mempengaruhi pandangannya terhadap dunia yang tidak lagi dalam kerangka pertarungan ideologi secara global antara dua blok pada masa perang dingin, tetapi dalam kerangka perjuangan kamu nasionalis di dunia melawan kolonialis dan imperialisme. Sehingga dalam perdebatan tentang masalah Irian Barat, Indonesia pun tidak lagi untuk mengajukan argumentasinya atas tuntutan terhadap wilayah tersebut sebagai suatu kasus kolonialisme versus anti kolonialisme.

Peter Kasenda Pandangan kuat Indonesia yang melihat isu Irian Barat sebagai bagian dari persoalan perjuangan melawan kolonialisme dan menciptakan perdamaian di dunia di atas juga bisa menjelaskan alasan mengapa Indonesia aktif mendukung gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di dunia. Meski Indonesia masih harus terus berjuang mati-matian untuk menuntaskan dekolonisasi di Irian Barat, Indonesia yang aktif dalam posisi depan menentang dan mendorong negara-negara di Asia dan Afrika untuk membebaskan belenggu imperialisme dan kolonialisme, Atas keprihatinan Indonesia terhadap nasib bangsa Asia dan Afrika yang masih belum merdeka, dan belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, Indoneesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) I di Bandung pada bulan April 1955 yang membuahkan Gerakan Non-Blok. Kongres ini memiliki idealisme penting bahwa negara-negara baru berhak menentukan tatanan internasional baru dan lepas dari kolonialisme dan dominasi negara-negara adidaya yang berseteru. Dimensi internasional dari KAA ini juga sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik domestik sendiri. Inisiatif Indonesia atas KAA merupakan salah satu upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional atas tuntutannya terhadap Irian Barat. Satu tahun kemudian sebelum KAA ini dilangsungkan, isu ini telah menjadi salah satu agenda dalam Sidang Umum PBB. Melalui KAA ini, Indonesia berharap bisa memperoleh suara tambahan yang memperkuat posisi tuntitan Indonesia atas wilayah tersebut di badan internasional ini. Diplomasi ini kenyataannya menuai hasil seperti yang diharapkan Indonesia. Empat puluh lima negara yang menghadiri KAA menyatakan dukungannya terhadap tuntutan Indonesia terhadap Irian Barat. Namun satu hal yang pasti, keberhasilan Indonesia menyelenggarakan konferensi penting antar bangsa Asia Afrika ini telah menaikkan pamor dan kepercayaan diri sangat besar bagi Indonesia di pentas internasional. Ini tercermin dari kunjungan Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles ke Jakarta yang sekaligus mengundang Presiden Soekarno untuk berkunjung ke negara Paman Sam. Undangan diterima dan pada 1956 Soekarno berkunjung ke Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan ke Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Pada pertengahan Mei 1956, Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Kunjungan tersebut tampak berkesan bagi Presiden Soekarno terbukti dalam kata-kata perpisahan yang disampaikan di Niagara Falls sebelum menuju Kanada, Sekarang tibalah saattnya kita berpisah. Saya percaya bahwa perpisahan ini adalah dalam arti au revoir ( bahasa Perancis, yang artinya sampai jumpa lagi), bukan dalam arti good bye (selamat tinggal) Rombongan saya dan saya sendiri telah dapat banyak belajar. Yang paling penting di antara semua yang telah kami alami ialah adanya perasaan persaudaraan di antara sesama manusia dalam satu dunia yang sukar.Persahabatan kita semakin akrab. Marilah kita berkeda agar persahabatan itu tetap akrab untuk selamalamanya. Pada bulan-bulan berikutnya, Presiden Soekarno akan berkunjung ke Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Presiden Soekarno berpidato di hadapan rakyat di Semarang, mengenai kunjungannya ke Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Saya pergi ke Uni

Peter Kasenda Soviet dan Republik Rakyat Cina bukan untuk memcari suatu falsafah hidup. Falsafah Marxisme bukan asing buat saya. Akan tetapi saya ingin menyaksikan apakah kedua bangsa itu betul-betul telah dapat mewujudkan cita-cita mereka, apakah betul cita-cita sosialis sidah terlaksana di kedua negara itu, kata Presiden Soekarno. Selanjutnya Presiden Soekarno berkata, bahwa sangat terkesan oleh hasil pembangunan fisik di Amerika Serikat, dan sekarang ia ingin melihat apa pula yang menarik di bagian dunia yang lainnya.. Dan Insya Allah, kata Soekarno, Sekembalinya dari kunjungan ke negara-negara asing itu nanti, saya akan dapat mengatakan dengan pasti, jalan mana yang sebaik-baiknya kita tempuh untuk tugas pembangunan bangsa kita . Menjelang kunjungan Presiden Soekarno ke Moskow. Tampak Moskow tidak tanggungtanggung dalam membuat persiapam untuk acara penyambutan. Sepanjang jalan-jalan besar menuju Lapangan Merah, terpamcang bendera Indonesia dan Uni Soviet. Pada satu sisi lapangan itu, tertampang potret Presiden Soekarno sebagai satu kejadian yang amat penting dalam mempererat hubungan Uni Soviet dengan Indonesia. Surat-surat kabar Soviet memberitakan kunjungan Presiden Soekarno sebagai satu kejadian yang amat penting dalam mempererat hubungan Uni Soviet dengan Indonesia. Radio dan televisi Moskow menyediakan program tentang Indonesia berjam-jam lamanya, sedangkan halaman muka surat kabar Pravda dan surat-surat kabar Rusia lainnya memuat artikel artikel yang panjang tentang revolusi Indinesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno Pravda juga menyiarkan Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno dalam bahasa Rusia. Seluruh masyarakat Indonesia di sana berduyun-duyun datang ke bandara di Moskow untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus, keadaan cuaca amat cerah dan bagus. Sungguh mengagumkan bila diperhatikan bahwa segala upacara penyambutan kedatangan Presiden Soekarno yang direncanakan oleh pemerintah berjalan lancar dan tepat sekali. Presiden Voroshilov, Perdana Menteri Bulganin dan Pimpinan Partai Komunis Uni Soviet Nikita Kruschev. Presiden Soekarno, yang pada awal tahun 1950-an dituduh radio Moskow sebagai budak imperialisme Amerika Serikat, disambut sedemikian meriah. Presiden Uni Soviet, Voroshilov, atas nama pemerintahannya menyampaikan pidato selamat datang, dan menyatakan kekagumannya atas peranan Indonesia yang aktif dalam perjuangan rakyat Asia menghancurkan kolonialisme. Dan Presiden Soekarno memuji perjuangan heroik rakyat Uni Soviet dalam membangun satu dunia sosialis dengan semangat koeksistensi. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengatakan, bahwa masalah Irian Barat adalah perjuangan bangsa Indonesia yang paling penting untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Tuduhan radio Moskow terhadap Presiden Soekarno, sebenarnya mempunyai kesamaan pandangan dengan Malcom Caldwell dan Ernst Utrecht, yang menulis Sejarah Alternatif Indonesia. Malcom Caldwell dan Ernst Utrecht yang mempunyai simpati terhadap gerakan-gerakan kiri terutama di Asia Tenggara, menyatakan :

Peter Kasenda Pada pertengahan 1948, PKI berada di bawah kepemimpinan Musso, seorang pemimpin partai yang baru saja kembali dari Moskow. Seketika itu juga nada yang lebih agresif nyata di dalam propaganda PKI, FDR, dan kelompok-kelompok serta organisasi organisasi simpatisan. Soekarno dan Hatta diserang karena dulu telah menjual mereka kepada Jepang dan sekarang mencoba menjual mereka kepada para imperialis Amerika. Di dalam situasi yang tegang, percikan fatal menyambar ketika beberapa serdadu PKI merebut kendali kota Madiun di Jawa Timur dan menaikkan bendera pemberontakan pada September 1948. Tidak ada bukti bahwa hal ini sesuai dengan rencana resmi PKI, tetapi pemimpin partai dihadapkan dengan keadaan yang harus diterima dan tidak ada pilihan kecuali berkumpul di bawah bendera sial. Para pemimpin militer konservatif cepat menggunakan kesempatan itu, dan seperti kudeta Untung 1965 maju menindas pemberontakan dengan kekejaman sangat ganas. Penyerangan ini dilakukan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution, seorang perwira yang sangat disukai Amerika Serikat, seperti yang akan kami tunjukkan nanti. Dapat diduga bahwa Belanda sendiri akan berusaha mengambil keuntungan dari pecahnya perang saudara ini di kubu Republik, tetapi Ameriak Serikat menggunakan tekanan kuat untuk menahan mereka.. Bukti bahwa para pemimpin Republikan ada di balik kegaduhan anti-imperialisme, menentang keras komunisme dan mampu membasminya di dalam barisan dengan sumber daya mereka sendiri, merupakan kepingan informasi yang perlu dipertimbangkan Washington dalam memutuskan pendirian yang harus diambilnya untuk masa-masa perundinganperundingan panjang selanjutnya. Para pemimpin Amerika tidak begitu malu dengan pemberitaan yang sangat bermusuhan atas sekutu Belanda mereka yang yang menarik perhatian seluruh dunia karena kekejaman mereka. Hal ini karena peluang-peluang komersial yang akan diperoleh Amerika Serikat bila Indonesia merdeka yang antikomunis dilenyapkan oleh kekuatan kolonial lama. Soekarno sendiri memberikan mandat yang sangat dicari-cari terperangkap sendiri di dalam situasi di mana dia mrendapati diri diserang sebagai agen imperialisme AS, dia tidak ragu-ragu memilih begerak melawan secara terbuka-buka kekuatan-kekuatan revolusi sosial. Dengan berbuat demikian, dia mengompromikan ajarannya sendiri yang sering diulangi mengenai peningkatan sosial orang kecil yang tertindas, kaum Marhaen. Untuk semua pernyataannya tentang Marhaenisme, kenyataan yang telanjang ialah bahwa dalam prakteknya dia terus menolak revolusi sosial sebenarnya di Indonesia selama masa jabatan kepresidenannya yang pertama. Waktu mengunjungi Amerika Serikat dalam bulan Mei, sudah barang tentu Presiden Soekarno tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan simpati dan bantuan Amerika Serikat dalam perjuangan Indonesia merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda. Sayangnya, semua hal yang dilakukannya di Amerika Serikat itu hanya sebatas membuat suatu statemen politik saja, tanpa usaha tindak lanjut berupa persetujuan bilateral dengan pimpinan pemerintahan Amerika Serikat. Pada tanggal 10 September 1956, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan persahabatan dengan Presiden Voroshilov di Kremlin. Presiden Soekarno mengusulkan dibuat pernyataan bersama sebelum dirinya meninggalkan dan Presiden Vorshilov menyetujuinya. Setelah disetujui oleh kedua kepala negara, pernyataan bersama itu

Peter Kasenda ditandatangani. Isi dari pernyataan bersama itu terdiri dari 6 pasal, sebagai hasil perundingan, kedua belah pihak menyatakan sebagai berikut : 1 Kedua belah pihak membina hubungan satu sama lain atas dasar saling menghormati kedaulatan dan integritas daerah masing-masing , tidak mencampuri soal-soal dalam negeri masing-masing, nonagresi, persamaan dan kepemimpinan kedua belah pihak , koeksistensi secra damai. Mengenai asal-usul internasional, seperti perlucutan senjata , perjuangan melawan kolonialisme , pelarangan penggunaan dan percobaan senjata-senjata ztom dan termonuklir oleh semangat dan prinsip-prinsip Konprensi Bandung. Terutama lagi Uni Soviet dan Republik Indonesia telah menyatakan bahwa adanya pakta-pakta militer tidak akan memperlancar usaha untuk mengurangi ketegangan-ketegangan internasional, sebagai hal yang penting untuk mencita kan perdamaian dunia. Dalam hubungan ini nasuknya Republik Rakyat Cina untuk menduduki tempatnya yang sah dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak saja diakui sebagai satu hukum alam , akan tetapi juga sebagai bantuan yang kontruktif untuk perdamaian dunia. Dalam hubungan dengan situasi yang sekarang meningkat di daerah Teruzan Suez, kedua belah pihak menyatakan bahwa masalah ini harus dipecahkan melalui cara-cara damnai atas dasar penghormatan sepenuhnya terhadap kehoramatan dan kedaulatan Mesir. 3 Sebagai perkembangan yang sudah sewajarnya dari semangat persahabatan antara USSR dan Republik Indonesia telah dicapai satu persetujuan mengenai peningkatan kerja sama dalam bidang perdangan , teknik dan ekonomi berdasarkan persamaan dan saling mengutungkan . Dalam hubungan ini kedua belah pihak menyatakan kepercayaan sepenuhnya,, hawa perundinganperundingan yang sekarang, sedang berlangsung di Jakarta akan mencapai puncak dengan tercapainya persetujuan di bidang teknik dan ekonomi. Uni Soviet akan memberikan kredit jangka panjang kepada Republik Indonesia, sedangkan Republik Indonesia akan mengirim bahan-bahan mentah dan komoditi lainnya kepada Uni Soviet. Dalam bidang kerja sama kebudayaan kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pertukaran delegasi mahasiswa , dan para ahli dalam bidang kebudayaan, terutama para karyawan dalam bidang seni, ilmu , dan sebagainya. Kedua belah pihak menyatakan kepuasan sepenuhnya dengan adanya hubunganHubungan pribadi antara tokoh-tokoh negarawan USSR dan Republik Indonesia, dan menyatakan kepercayaan bahwa pertukaran pendapat yang berlangsung sekarang ini akan semakin memperlancar konsolidasi yang lebih kokoh dari

Peter Kasenda hubungan persahabatan antara USSR dan Republik Indonesia yang menguntungkan bagi kedua bangsa , rakyat USSR dan rakyat Republik Indonesia ,demikian pula untuk perdamaian dunia. 6 Presiden Republik Indonesia Sukarno, telah mengundang, K.E. Voroshilov,Ketua Presedium Soviet Tertinggi USSR untuk mengunjungi Indonesia pada waktu yang dipandangnya paling baik . Undangan itu telah diterima,

Waktu berita mengenai penandatangan pernyataan bersama ini sampai ke kalangan politik di Jakarta, dampaknya terasa begitu eksploitatif. Baik pemerintah maupun partaipartai politik berpendapat, bahwa pernyataan bersama itu dibuat menyimpang dari wewenang dan ketentuan parlemen. Pemimpin-pemimpin partai politik yang turut dalam rombongan,. walaupun menentang penandatangan tapi tak dapat berbuat apa-apa karena mereka tak diikutsertakan dalam perundingan-perundingan politik, sehingga harus menerima pernyataan bersama itu semacam fait accompli. Dalam pada itu, waktu rombongan kepresidenan sedang di tengah perjalanan di Yugoslavia, pemimpin-pemimpin partai itu menerima pesan dari partainya masing-masing bahwa tidak boleh dibiarkan kagi adanya pernyataan bersama dalam kunjungan-kunjungan berikutnya. Lalu kelima pimpinan partai politik itu mengadakan pertemuan tersendiri dengan presiden di Beograd. Di Istana Dedinje di di Beograd, terjadi perdebatan antara presiden dengan pemimpin-pemimpin partai sampai larut malam. Disanalah mereka berusaha memaksa Presiden Soekarno untuk tidak melakukan lagi tindakan politis yang diputuskan sendiri yang dapat membahayakan. Kami telah menerima pesan dari Jakarta, kata salah seorang di antara mereka. Yang menyatakan penyesalan terhadap hasil perjalanan ke Uni Soviet. Perjalanan persahabatan ke Uni Soviet itu seharusnya tidak boleh mengadakan ikatan-ikatan, sama seperti perjalanan ke Amerika Serikat baru-baru ini yang amat berhasil itu. Sekarang kelihatannya seperti kita memihak kepada Uni Soviet, suatu hal yang bertentangan dengan prinsip politik luar negeri kita yang bebas aktif Presiden Soekarno menjelaskan. Kenapa saudara-saudara tidak mau mengerti, bahwa mengeluarkan pernyataan bersama itu telah merupakan tradisi baru dan pola diplomatik dalam negara-negara demokrasi rakyat. Pernyataan bersama biasanya memuat beberapa dasar umum untuk hubungan masa datang dari kedua pihak yang bersangkutan, yang dapat diperluas atau ditingkatkan. Kita telah mernyaksikan penandatangan pernyataan bersama oleh Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, di sini, dan soal kawan sejabatannya dari Rusia. Kalau dilihat dari kepentingan nasional kita, pernyataan bersama itu menguntungkan. Lihatlah, kita mendapat kredit jangka panjang seratus juta dollar tanpa ikatan Pernyataan yang terakhir Soekarno, disanggah oleh salah seorang pemimpin partai itu.

Peter Kasenda Mengenai tidak adanya pernyataan bersama ketika berkunjung ke Amerika Serikat. Presiden Soekarno menjelaskan, Bahwa Amerika Serikat tidak mengadakan trdaisi semacam ini. Kalau ada, sayalah yang pertama-tama akan menyokong penandatangan pernyataan bersama Amerika Serikat- Indonesia itu, dalam hal apa saja yang akan dapat memperkokoh persahabatan di antara kedua negara Presiden Soekarno juga mengingatkan kepada para politisi tersebut. Ini bukan soal gampang seperti antara saya dengan Anda. Bukan soal pribadi. Soalnya bagaimana mita dapat berbakti kepada negara sebaik-baiknya dengan memanfaatkan setiap apa yang dimanfaatkan, dengan menggunakan setiap kesempatan dan momentum di hadapan kita. Supaya kita dapat menyelesaikan tugas yang sampai sekarang belum rampung dalam pembangunan bangsa dari Sabang sampai Marauke. Mulai dari Sabang di titik utara pulau Sumatra sampai Marauke di titik selatan Itian Barat, ingat, bagian dari Indonesia ini masih berada dalam cengkraman kolonialisme Belanda. Perdebatan yang dramatis itu berakhir lewat tengah malam. ketika pemimpin-pemimpin partai itu mengalah, sehingga dengan demikian presiden menang. Demikianlah satu pernyataan bersama ditandatangani pula di Beograd, yang lagi-lagi disusul oleh omelan dari Jakarta. Di Praha, Presiden Soekarno menyerah kepada tekanan pemimpinpemimpin partai politik itu untuk tidak mengeluarkan lagi suatu pernyataan bersama. Di Republik Rakyat Cina, Menteri Roeslan Abdulgani mengeluarkan satu statemen tertulis pada akhir pejalanan di Kanton. Sebenarnya penegakan kembali kontrol Jakarta atas Sumatra dan Sulawesi berkaitan dengan pemulihan Irian Barat. Untuk dapat mewujudkan prioritas pertama, adalah menjadi suatu keharusan untuk memperlihatkan dan menggunakan kemampuan militer yang dapat digunakan untuk mencapai prioritas yang kedua. Walaupun Soekarno tak pernah memerintahkan pengambilalihan Irian Barat dengan kekerasan, prospek seperti ini merupakan hal yang pokok dalam pelaksanaan diplomasi paksaan yang dia gunakan untuk menimbulkan pengaruh dalam menghadapi sikap keras Belanda. Terlihat dengan jelas bahwa Soekarno telah memulai langkah perundingan untuk alih senjata dari Uni Soviet pada saat kunjungannya yang pertama di Moskow pada bulan Agustus-September 1956. Sasarannya ialah tak hanya menyokong tuntutan Indonesia dengan sarana militer, tetapi juga mengingatkan Barat akan keberpihakan pemerintahnya, yang dapat disalurkan ke dalam tekanan terhadap Belanda. Suatu kredit bernilai 100 juta dolar Amerika Serikat merupakan jaminan dalam perundingan dengan sekutu Uni Soviet di negara-negara Eropa Timur yang membuahkan hasil pada waktunya berubah pengiriman senjata yang digunakan dalam memadamkan pemberontakan di pulau-pulau bagian timur. Jika pada pertengahan bulan Mei 1958, pemerintah Amerika Serikat telah bersikap lunak terhadap mitra imbangannya, Indonesia, dengan membuat ketentuan bagi penyediaan senjata ringan bagi batalyon infantri dan suku cadang pesawat udara, maka arus pengiriman peralatan berat secara tetap datang dari Chekoslavakia. Enam puluh pemburu jet dan 20 pembom dari Chekoslavakia dan dua perusak, dua kapal selam dan kapal torpedo dari Polandia mempunyai relevansi langsung terhadap kampanye militer untuk mendapatkan

10

Peter Kasenda kembali Irian Barat, Arus pengiriman perlengkapan militer benar meningkat sesuai dengan semakin hangatnya hubungan dengan Moskow. Nikita Kruschev mengunjungi Indonesia pada bulan Februari 1960. dengan suatu kredit bernilai 250 dolar Amerika Serikat dalam tasnya, dan juga pelimpahan sejumlah bantuan yang berdampak besar termasuk 200 tempat tidur rumah sakit. Kampanye untuk membebaskan Irian Barat yang telah diintensifkan pada periode 1960 memulai sesuatu ciri yang lebih mengintimidasi pada tahun berikutnya ketika Jendral AH Nasution memimpin dua misi pembelian senjata ke Uni Soviet. Di sana dia mengadakan persetujuan bagi kredit tambahan kurang lebih sebesar 450 juta dollar Amerika Serikat. Pengeluaran kumulatif untuk pembelian senjata menyebabkan Indonesia cukup mantap secara militer. Pada akhir tahun 1961, banyak pelengkap pesawat udara dan kapal angkatan laut yang telah dibeli telah tiba termasuk baik pemburu Mig-19 (21) dan pembom jarak jauh TU-16 maupun sebuah penjelajah kelas Sverdov dan kapal-kapal patroli dan kapal-kapal patroli penembak missil. Indonesia telah menjadi penerima bantuan militer nonkomunis terbesar dari blok Soviet, dan penerima bantuan ekonomi terbesar setelah India dan Mesir. Washington tidak dapat meneruskan sikap pro-Belandanya menyangkut masalah Irian Barat. Pada saat yang sama, pemerintahan Kennedy menyadari bahwa berlarut-larutnya sengketa Irian Barat hanya akan menguntungkan upaya PKI untuk menyebarkan ideologi komunis dalam kehidupan politik Indonesia. Para pembuat kebijakan dalam pemerintahan Kennedy sadar bahwa Uni Soviet yelah membantu Indonesia dengan perlengkapan militer dan penasehat militer untuk menghadapi kekuatan Belanda di kawasan tersebut. Diperkirakan, hingga awal September 1961 bantuan militer Soviet kepada Indonesia telah mencapai lebih dari 800 juta dolar. Jumlah sebesar itu dapat memperkuat niat Indonesia untuk menggunakan kekuatan militer guna merebut Irian Barat. Sementara itu untuk menanggapi ancaman Indonesia, Belanda mempersiapkan militernya untuk mempertahankan posisi mereka. Washington menyadari bahwa setiap eskalasi kontroversi perihal Irian Barat tersebut bisa menjadi konflik militer, cepat atau lambat pasti akan melibatkan negara-negara lain. Australia, misalnya, pasti akan mendukung Belanda jika konflik militer terjadi, sebab negara itu telah lama beranggapan bahwa bila Indonesia menguasai Irian Barat hal itu akan menjadi ancaman langsung bagi keamannnya dan keamanan Irian Timur yang dikelolanya. Para pembuat kebijakan di Amerika juga sadar bahwa jika terjadi konflik militer tentu Uni Soviet akan mendukung Indonesia karena Moskow selalu memandang Indonesia sebagai calon sekutu yang potensial di Asia Tenggara Keterlibatan Soviet kemudian akan memaksa Belanda dan Australia untuk meminta bantuan AS, sebuah permintaan yang akan sulit ditolak oleh pemerintahan Kennedy sebab keduanya merupakan sekutu dekat dalam mempertahankan kepentingan-kepetingan internasional Amerika Serikat. Sedikit saja kesalahan dalam menangani sengketa Irian Barat ini akan dapat berisiko pada pecahnya konflik militer langsung antara dua negara adidaya Perang Dingin. Suatu kesempatan langsung untuk melibatkan diri ke dalam upaya ini muncul di dalam hari-hari penyelesaian pertikaian atas Irian Barat. Jakarta telah dipilih sebagai tuan rumah

11

Peter Kasenda Asian Games keempat. Pada bulan Juli 1959, pemerintah Uni Soviet mengalokasikan senilai dua belas setengah juta dolar Amerika Serikat untuk membiayai pembangunan sebuah stadion dengan kapasitas 120.000 penonton, dan juga untuk membiayai pusatpusat olahraga pelengkap. Jepang juga bersedia membangun sebuah hotel baru. Persitiwa olahraga tersebut memerlukan pembangunan jalan yang luas di sekitar lapangan olahraga dan hal itu diperlakukan sebagai masalah nasional. Kejadian olahraga tersebut juga menunjukkan tujuan simbolik penting yang dapat didemontrasikan Soekarno kepada pemduduk kurang pangan dan sandang di ibu kota dan sekitarnya bahwa Indonesia mempunyai kedudukan internasional penting. Walaupun Uni Soviet telah memberikan sejumlah besar biaya untuk persitiwa olahraga itu, selain memberikan bantuan senjata dalam jumlah memadai, hubungan yang erat antara Jakarta dan Moskow yang telah didorong oleh mendesaknya perihal Irian Barat telah melewati masa puncaknya. Bersamaan dengan itu, suatu perbaikan yang progresif telah mulai berlangsung dalam hubungan dengan Republik Rakyat Cina dari titik yang rendah pada tahun 1959 ketika pemerintah di Peking memberikan reaksi keras atas usaha tentara Indonesia melaksanakan peraturan pemerintah yang melarang warga negara asing (yang penduduk etnik Cina) mengadakan perdagangan eceran di luar kota-kota besar. Perbaikan hubungan antara Indonesia dan Cina terjadi dalam konteks munculnya ke permukaan konflik antara Cina dan Uni Soviet. Konflik itu bersumber pada penolakan Cina atas kesedian Uni Soviet mengorbankan tujuan nasional yang sama dan menyesuaikan dirinya untuk berkoeksistensi dengan Amerika Serikat karena kekuatiran akan perang nuklir. Pada bulan Juni 1961, Presiden Soekarno mengadakan kunjungan lagi ke Peking setelah singgah di Moskow. Pada bulan Oktober pemerintah Cina menyerahkan pinjaman yang bernilai lebih dari tiga puluh juta dolar Amerika kepada Indonesia sebagai tambahan atas kredit bernilai empat puluh satu juta dolar Amerika yang dialokasikan pada tahun 1958 dan 1959. Ketika Asean Games diselenggarakan di Jakarta, hubungan serasi politik yang nyata antara kedua negara menyebabkan hubungan kedua negara menjadi penting. Sehubungan dengan itu, ketika huru-hara anti-Cina terjadi di Jawa Barat, pemerintah Peking bersikap menutup mata. Pada akhir tahun 1961 perasaan akan datangnya klimaks tampaknya menyelimuti pertikaian atas Irian Barat. Pada bulan Desember, Presiden Soekarno mengumumkan Tiga Komando Rakyat, yang disebut dengan bahasa singkatan yang penuh kepahlawanan pada waktu itu sebagai Trikora. Maksud simbol ini diperlihatkan pada peringatan aksi polisionil Belanda yang kedua yaitu memobilisasi massa secara total. Seorang panglima militer yang bertugaskan membebaskan Irian Barat diangkat, disertai dengan inflitrasi yang meningkat melalui laut dan terjun payung ke dalam wilayah Irian Barat. Merebut Irian Barat dengan penggunaan konfrontasi dalam semua bidang yang berarti akan menghadapi perlawanan Belanda dengan sikap yang sama dalam bidang politik, ekonomi, dan kalau perlu juga dalam bidang militer.

12

Peter Kasenda Sebagai bagian dari kebijakaan total konfrontasinya dengan Belanda. Indonesia juga mulai mengirim pasukanpasukannya untuk melakukan aktivitas-aktivitas penyusupan melalui laut ke darataan Irian Barat. Kondisi ini menyebabkan hubungan IndonesiaBelanda semakin buruk, bahkan ancaman perang terbuka pun menjadi sesuatu hal yang mungkin terjadi. Insiden Laut Aru menjadi salah satu bukti keseriusan Indonesia atas tuntutannya mengenai Irian Barat, Persitiwa yang terjadi pada 15 Januari 1962 ini menyebabkan Komodor Yos Sudarso gugur dan kapal perang Indonesia Macan Tutul tenggelam. Aksi yang diperlihatkan Indonesia di atas, pada akhirnya telah menyebabkan Amerika Serikat untuk mengubah sikap dengan melibatkan diri secara aktif dalam pencarian solusi penyelesaian maslah Irian Barat. Selain faktor pergantian kepemimpinan AS dari Presiden Dwight D Eisenhower ke John F Kennedy tahun 1951, perubahan sikap AS ini juga didorong oleh adanya kekhawatiran negara adidaya ini dengan kedekatan Indonesia yang semakin intens dengan Uni Soviet. Diplomasi paksaan yang dilakukan berakhir dengan persetujuan pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menyatakan bahwa penyerahan administrasi mula-mula kepada pejabat PBB (berlaku efektif tanggal 1 Oktober) dan kemudian penyerahan akhir kepada Indonesia setelah tanggal 1 Mei 1963 Tambahan lagi, persetujuan itu menetapkan bahwa suatu tindakan pilihan bebas dengan nasehat, bantuan, dan peran serta PBB akan dilangsungkan sebelum akhir tahun 1969 untuk menentukan apakah penduduk wilayah Irian Barat tersebut tetap ingin menjadi warga yang termasuk yuridiksi Indonesia ataupun tidak. Suatu kompromi berikutnya mengizinkan pengibaran bendera nasional Indonesia menggantikan bendera Belanda di samping bendera PBB pada tanggal 31 Desember 1962 yang berarti memenuhi janji Presiden Soekarno kepada khalayak bahwa Irian Barat akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada akhir tahun tersebut. Pada masa perang kemerdekaan, posisi Amerika Serikat menentukan karena mampu melaksanakan pengaruhnya atas pemerintah Negeri Belanda. Sekarang penyelesaian Irian Barat berhasil dicapai dengan intervensi dan mediasi diplomasi Amerika Serikat sehingga mampu mengakihiri pertikaian yang pahit yang telah memperburuk hubungan antara Indonesia dan Belanda yang dicapai setelah kemerdekaan. Tak dapat disangsikan lagi bahwa penyelesaian Irian Barat dapat dicapai dengan diplomasi paksaan. Sanksi terakhir berupa penggunaan angkatan bersenjata ternyata tak perlu, Irian Barat telah dikembalikan kepada republik, sebagian besar, karena kemampuan Soekarno menggunakan alih senjata dari Uni Soviet kepada Indonesia untuk mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat agar menggunakan pengaruh politiknya terhadap pemerintah Negeri Belanda supaya yang terakhir ini mengubah oposisinya yang keras untuk menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia. Dalam buku Khruschev Remembers, Nikita Khruschev memberi komentar tak menyenangkan terhadap tindakan Presiden Soekarno yang mempermainkan satu kekuatan terhadap kekuatan lain Suatu varian teknik diplomasi, yang dicoba dan diuji pada puncak perjuangan kemerdekaan, telah digunakan dengan berhasil. Presiden Soekarno telah

13

Peter Kasenda mendemonstrasikan bahwa ketrampilan politiknya dan semangat revolusioner dapat mencapai tujuan nasional. Sebuah keberhasilan mencapai tuntutan yang telah lama diperjuangkan merupakan pemenuhan aspirasi nasional yang sah yang dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan demi kemerdekaan nasional. Makalah ini dipresentasikan dalam acara seminar Indonesia Rusia : Menatap Masa Depan, yang diselenggarakan atas kerjasama Perhimpunan Persahabatan IndonesiaRusia, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia dan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, di Kampus Merah Putih, pada tanggal 4 Juni 2011.

Lampiran 1 Bagan di bawah ini menunjukkan kesiapan personil dan perlengkapan militer kedua belah pihak yang membuat semakin besarnya kemungkinan pecahnya pertempuran terbuka. Sumber : Baskara T Wardaya . Indonesia Melawan Amerika (2008) Lampiran 2 Sebagaimana terdokumentasi dalam table di bawah ini, bantuan ekonomi Blok Soviet selama kurun waktu 1956 1961 mencapai 640,6 juta dolar, sementara bantuan AS selama lima belas tahun (1946 1961), tanpa memperhitungkan yang diberikannya melalui Belanda, hanya mencapai nilai 120, 3 juta. Bantuan dari negara-negara Blok Barat lain kepada Indonesia juga sama rendahnya. Selain bantuan ekonomi, Blok Soviet juga menyediakan bagi Indonesia program-program bantuan militer senilai lebih dari miliar dolar. Para pejabat Washington lebih jauh menemukan bahwa Indonesia saat itu terlilit utang luar negeri yang besar. Sumber : Baskara T Wardaya. Indonesia Melawan Amerika ( 2008 )

14

Peter Kasenda

Bibliografi
Caldwell, Malcolm dan Ernst Uterecht. Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta : Djaman Baroe. Dirdjosuparto, Sutamto . Sukarno Membangun Bangsa . Dalam Kemelut Perang Dingin Sampai Trikora . Jakarta : Badan Kerja Sama Universitas 17 Agustus 1945 se-Indonesia Harsono, Ganis. 1985. Cakrawala Politik Era Sukarno. Jakarta : Inti Idayu Press. Gouda, Frances dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008 . Indonesia Merdeka Karena Amerika ? Jakarta : Serambi Ilmu Semesta . Kasenda, Peter. 1993. Sejarah Diplomasi Indonesia. Depok : PAU-UI. Kasenda, Peter (Co Ed). 1995 The Non Aligned Movement Towards The Next Millenium, Volume II. Jakarta : Media Indonesia dan Bimantara Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda Biografi Pemikiran 1926 1933. Depok : Komunitas Bambu. Leifer, Michael.1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Rahardjo, Imam T ( Ed). Bung Karno dan Pertahanan Keamanan. Jakarta : Grasindo. Soedjati, Djiwandono.2001 Confrontasi Revisited Indonesias Foreign Policy Under Soekarno. Jakarta : CSIS. Wardaya, Baskara T. 2008. Indonesia Melawan Amerika . Konflik Perang Dingin 1953 1963 . Yogyakarta : Galang press. Wuryandari, Ganewati (ed). 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta Jakarta : Pustka Pelajar dan P2P-LIPI .

15

You might also like