You are on page 1of 294

h.

KEKEJAMAN HOLOKAUS Bagaimana Nazi Membantai JUTAAN Orang Yahudi, Gipsi, dan Penyandang Cacat?
PERJANJIAN RAHASIA APAKAH YANG DISEPAKATI ANTARA NAZISME DAN ZIONISME?

Harun Yahya

h. 2

Penerjemah: Hari Cahyadi, S.T. dan Masyhur Ardani Penyunting: Erich H. Ekoputra

h. 3

Daftar Isi
Prakata Kepada Sidang Pembaca Pengantar: Sejarah Resmi vs Sejarah Sebenarnya Dua Muka Israel Pengantar ke Mitos Holokaus Kebenaran di Balik Holokaus Para Ahli Kitab dalam Al Quran Akar Kelam Anti-Semitisme Nazisme: Paganisme Abad ke-20 Akar Darwinis dari Nazisme Akhlak Al Quran akan Melenyapkan Anti-Semitisme dan Semua Bentuk Rasisme Kesimpulan Bab Satu: Kolaborasi Nazi-Zionis Dari Diaspora ke Zionisme Asimilasi: Sebuah Masalah bagi Zionisme Rasisme Abad ke-19 dan Anti-Semitisme Modern Anti-Semitisme: Siasat Herzl Perlawanan Kaum Yahudi terhadap Zionisme Persaudaraan Ideologis antara Nazisme dan Zionisme Perselingkuhan Para Zionis dengan Nazisme Tahun-tahun Awal Nazi dan Zionis Meminta Yahudi Jerman Memilih Hitler Mengalahkan Boikot Anti-Nazi dengan Bantuan Zionis Para Zionis Penyokong Dana Hitler Kesepakatan Nazi-Zionis untuk Meningkatkan Perpindahan Yahudi Jerman Undang-undang Nuremberg dan Juden Raus Auf Nach Palstina! Perselingkuhan Zionis dengan SS Zionis Sebagai Agen SS; Senjata SS untuk Zionis Kebijakan Penyaringan Yahudi Zionisme Zionis Menghalangi Kaum Yahudi Melarikan Diri Mengapa Nazi Membiarkan Lari Kaum Yahudi Denmark? Kubu-kubu dalam Zionisme, atau Polisi Baik/Polisi Jahat Mussolini, Fasisme Italia, dan Zionisme Persekutuan-persekutuan dengan Para Anti-Semit Austria, Rumania, dan Jepang Anti-Semit Polandia dan Zionis Gerombolan Stern Menawarkan Sebuah Persekutuan kepada Nazi Adolf Eichmann Upaya-upaya Eichmann Memaksa Bangsa Yahudi Pindah ke Palestina

h. 4 Masa Perang dan Negara Yahudi Otonom di bawah Perlindungan Nazi Bab Dua: Dusta Kamar Gas Para Ilmuwan Mempertanyakan Dongeng Kamar Gas Laporan Leuchter: Penyelidikan Forensik Pertama pada Kamar Gas Kamar Gas: Teknologi Pembantaian yang Paling Rumit Analisis Laboratorium Menyangkal Kamar Gas Gas Zyklon-B Digunakan sebagai Pembasmi Hama Auschwitz: Kenyataan Tersembunyi vs. Penyajian kepada Umum Kelemahan-kelemahan Teknis Kamar Gas Pelipatgandaan Mayat di Kamar Gas 600 Korban Seketika di Kamar yang Menampung hanya 94 Orang? Kisah dan Fakta tentang Kamar Gas Alur Cerita Pembunuhan Khayalan dari Para Pendongeng Holokaus Kenyataan di Balik Panggangan Pengabuan dan Sumur bagi Mayat Hangus Kemunculan Pasca Perang Jutaan Yahudi Sehat yang Dikatakan Telah Dimusnahkan Holokaus yang Luar Biasa Mengerut Momok Kamp-kamp yang Sebenarnya: Wabah Tifus Para Eksterminasionis Mengakui: Tiada Kamar Gas di Kamp-Kamp Konsentrasi di Wilayah Jerman Pengadilan Auschwitz Frankfurt dan Perkumpulan Masonik Dokumen-dokumen Palsu, Laporan-laporan Hasil Pelintiran Foto-foto Palsu sebagai Bukti Dongeng Holokaus Skandal Kaum Pemusnah: Kurt Gerstein Saksi-saksi Palsu Bekerja untuk Membuktikan Genosida Biografi-biografi Holokaus Perubahan-perubahan atas Tempat-tempat yang Diduga menjadi Kamar Gas Penerjemahan Tak Cermat Para Eksterminasionis Buku Harian Anne Frank yang Meragukan Siapakah Anne Frank? Jutaan Orang Dipedaya oleh Film-film Holokaus Schindlers List Kebenaran tentang Tumpukan Rambut dan Pakaian Saripati Kisah Sabun Yahudi Penyelesaian Akhir bukan Berarti Pemusnahan Massal Zionis di Tahun-tahun Holokaus Akhir Perang dan Pembebasan Kaum Yahudi Kegagalan bagi Lobi Holokaus: Buku Pressac Harga bagi Mengungkapkan Kebenaran Kematian Mengenaskan Legenda Holokaus 40 Pertanyaan dan Jawaban atas Holokaus Pertanyaan-pertanyaan bagi Para Eksterminasionis

h. 5 Bab Tiga: Holokaus Kaum Yahudi Ideologi Nazi dan Musuh-Musuhnya Jejak-jejak Holokaus Kaum Yahudi Masa Perang dan Awal Genosida Hidup dan Mati di Dalam Ghetto Pemecahan Akhir ndan Pendirian Kamp-kamp Konsentrasi Kereta Api Maut Kamp-kamp Maut Einsatzgruppen: Pasukan Maut Nazi Kebencian Nazi terhadap Agama Pengikut Zionisme Selama Holokaus Pemanfaatan Holokaus oleh Kaum Zionis Kesimpulan Bab Empat: Holokaus-Holokaus yang Terlupakan Kebengisan terhadap Mereka yang Malang: Genosida Penyandang Cacat Genosida Kaum Gipsi Genosida yang Ditujukan kepada Bangsa Polandia Korban-korban yang Lainnya Bab Lima: Kebijakan Anti-Semitisme Israel Ancaman terhadap Kaum Yahudi Diaspora dari Para Pemimpin Israel Teror Yahudi terhadap Yahudi di Kamp-kamp Pengungsi Pasca Perang Penyelenggara Perpindahan: Mossad le-Aliyah Bet Mossad Membom Kaum Yahudi Irak: Operasi Ali Baba Memindahkan Kaum Yahudi Ethiopia dari Tanah Airnya, atau Operasi Musa dan Sulaiman Kaum Yahudi Yaman Dipedaya Operasi Permadani Ajaib Cara-cara Lain Pembelian Orang Yahudi oleh Israel Hubungan Rahasia Israel dengan Nazi Mutakhir Mitos Pengasingan Kaum Yahudi Teror Mossad terhadap Kaum Yahudi Serangan pada Sinagog Neve Shalom di Istambul Seorang Anti-Semit yang Ganjil di Perancis: Jean-Marie Le Pen Perpindahan Kaum Yahudi Rusia Vladimir Zhirinovsky: Corong Suara Tuannya Kesimpulan Lampiran Israel, Fasisme Dunia Ketiga, dan Gladio Hubungan Israel-Serbia Daftar Pustaka Indeks

h. 6 Prakata Edisi ke-3: Genosida, Kaum Yahudi, dan Gerakan Anti-Semitisme Karena konsep-konsep yang dibahas buku ini: Zionisme,Yudaisme, dan genosida (pembantaian suatu kelompok ras, etnis, paham, atau agama), telah menjadi bahan banyak sekali perdebatan, akan bermanfaat jika sejumlah prinsip dasar diperjelas dulu. Bagian selebihnya buku ini harus dipahami dan dipandang di dalam kerangka kerja hal-hal yang dipaparkan dalam prakata ini

Kebenaran di Balik Holokaus


Di dalam buku ini, kita akan membahas dimensi-dimensi genosida dan kebiadaban yang dilakukan kaum Nazi pada kaum Yahudi dan ras-ras lain selama Perang Dunia II. Satu fakta yang perlu diperjelas adalah bahwa kami sepenuhnya menentang keras semua bentuk genosida, penyiksaan, dan kekejaman, tanpa memandang agama, ras, atau asal etnisnya. Kami sepenuhnya mengutuk serangan tak beralasan sekecil apa pun terhadap kaum Yahudi maupun bangsa-bangsa lain. Alasannya adalah bahwa sebagai Muslim, kita mengikuti petunjuk yang diberikan Allah di dalam Al Quran. Di dalam kitab itu, siapa pun yang melakukan kejahatan di dunia ini, berbuat kejam kepada orang lain, atau membunuh tanpa hak, akan dilaknat. Menurut satu firman Ilahiah yang ada dalam Taurat, dan telah dijelaskan kepada kita di dalam Al Quran, ...barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya...(QS. Al-Maidah, 5: 32). Karena itu, pembunuhan bahkan satu saja orang tak bersalah, merupakan kejahatan yang tak boleh dianggap remeh. Adalah suatu fakta yang terang bahwa selama Perang Dunia II dan tahun-tahun sebelumnya, yang merupakan pokok bahasan buku ini, kaum Yahudi menjadi korban kebiadaban dan pembantaian besar-besaran. Kami mengutuk pembunuhan dan penindasan orang-orang tak bersalah ini oleh Nazi, atau siapa pun. Hal ini tak terbatas pada kaum Yahudi: mutlak tak ada pembenaran bagi kekejaman yang ditimpakan kepada puluhan juta orang tak bersalah yang kehilangan nyawa pada Perang Dunia II (apakah ia orang Jerman, Rusia, Inggris, Perancis, Jepang, Cina, gipsi, Kroasia, Polandia, Serbia, Arab, Bosnia, atau bangsa apa pun). Para sejarawan menaksir bahwa sekitar 29 juta rakyat sipil terbunuh oleh Nazi sebelum dan selama perang, di kamp-kamp konsentrasi, ghetto-ghetto (perkampungan kumuh Yahudi), pembantaian militer dan pembunuhan politik. Satu dari dua masalah penting yang dibahas buku ini adalah bahwa Nazi Jerman, yang bertanggung jawab atas kebengisan mengerikan itu, juga terlibat kerjasama rahasia dengan sejumlah pendiri negara Israel. Banyak orang mungkin merasa hal ini sangat mengejutkan, namun fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa beberapa pendiri negara Israel, dengan kata lain kaum Zionis, pada satu waktu terlibat kerjasama yang erat dengan Nazi Jerman. Dasar tindakan itu adalah mereka berpikir bahwa tekanan Nazi akan menjadi alasan kuat bagi kaum Yahudi Eropa berpindah ke Palestina. Secara ekonomi dan politik, mereka mendukung kekuasaan Nazi yang akan melakukan

h. 7 kekejaman pada kaum mereka sendiri, dan banyak bangsa lainnya, serta menyambut gembira kebijakan-kebijakan rasis Nazi. Ini suatu hal penting, karena kebiadaban Nazi dan tragedi kaum Yahudi yang menjadi korbannya telah digunakan sebagai alat politik sejak Perang Dunia II hingga kini. Untuk membenarkan kebijakan pendudukan dan terornya, dan membungkam kecaman yang terarah padanya, negara Israel terus bersembunyi di balik konsep Holokaus. Sesungguhnya, berdirinya negara Israel sebagian besar dimungkinkan berkat dukungan dan simpati dunia yang diilhami konsep genosida itu. Hal lain yang akan kita bahas dalam buku ini adalah fakta bahwa kebijakan pemusnahan Nazi tak hanya ditujukan pada kaum Yahudi, namun juga pada etnis, kelompok agama dan kelompok etnis lain, seperti orang-orang gipsi, Polandia, Slavia, penganut Katolik yang taat, penganut Kesaksian Yehova (sebuah aliran agama Nasrani), serta para penyandang cacat fisik dan mental. Benar bahwa kaum Yahudi, yang 5,5 juta orang di antaranya terbunuh di kamp-kamp konsentrasi, adalah korban terbanyak kebiadaban Nazi. Namun, sebenarnya, jumlah seluruh korban yang terbunuh di kamp-kamp itu mencapai lebih dari 11 juta orang, dan lebih dari setengah jumlah itu mencakup anggota bangsa-bangsa yang disebutkan di atas. Genosida yang ditimpakan kepada orang-orang ini harus dikenang tak kurang daripada yang ditimpakan kepada kaum Yahudi. Penggambaran bahwa kebiadaban Nazi khusus ditujukan kepada kaum Yahudi adalah bagian dari upaya mengubah Holokaus menjadi alat politik, sebagaimana kami terangkan di muka, dan ini amat salah.

Para Ahli Kitab dalam Al Quran


Sepanjang buku ini, kita akan membahas kekejaman yang dilakukan terhadap kaum Yahudi, dan cara sebagian orang Yahudi berhubungan rahasia dengan para perencana penindasan itu, yakni kaum Nazi. Karena itu, penting untuk menjernihkan bagaimana kita sebagai Muslim memandang masalah bangsa Yahudi dan Yudaisme, demi menghilangkan prasangka dan kesalahpahaman, serta memupus kecurigaan anti-Semitisme apa pun, yang segera terlintas di benak kapan pun hal-hal itu dibicarakan. Di dalam satu ayat suci, Allah mengungkapkan bahwa manusia tak boleh dinilai menurut ras, warna kulit atau asal etnis, melainkan akhlaknya. Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 49: 13) Apa yang dikatakan ayat ini mengungkapkan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan aneka ras dan etnis. Beragam suku dan ras, yang semuanya hamba-hamba Allah, wajib saling mengenal, dengan kata lain, saling mempelajari perbedaan budaya, bahasa, adat, dan kepandaian di antara mereka. Salah satu maksud di balik adanya keanekaragaman ras dan bangsa adalah kekayaan budaya, bukan perang dan pertikaian.

h. 8 Nilai-nilai akhlak dan pemikiran yang ditekankan ayat itu dan ayat-ayat lain Al Quran membuat sepenuhnya jelas bahwa seorang Muslim tak boleh terlibat rasisme atau menilai orang dari rasnya. Karena itu, sama sekali tak beralasan bagi kita sebagai Muslim memendam pemikiran buruk tentang orang Yahudi atau ras lainnya sekedar karena asal etnis mereka. Jika beralih merenungkan masalah ini dari sudut pandang Yudaisme, kita menemukan satu fakta penting lainnya yang telah ditekankan di dalam Al Quran: kaum Yahudi dan Nasrani dilukiskan di dalam Al Quran sebagai kaum ahli kitab, dan karena itu lebih dekat dengan kaum Muslim daripada kaum ateis atau pagan (penyembah berhala). Sejauh mana pun Taurat dan Injil diselewengkan, dan sejauh mana pun penyelewengan itu membawa pemeluk Yahudi dan Nasrani ke keimanan yang menyimpang, ujung-ujungnya mereka semua beriman kepada Tuhan dan tunduk kepada perintahNya (dan tetap lebih baik daripada mereka yang tak mengimaniNya). Satu pembeda penting antara para ahli kitab dan mereka yang mengingkari Allah dilukiskan di dalam Al Quran. Misalnya, kelompok terakhir digambarkan dengan kalimat berikut: ...sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis. Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini... (QS. At-Taubah, 9: 28) Hal ini karena mereka yang mengingkari Allah tak mengakui hukum Ilahiah, tak memiliki acuan akhlak, dan bisa ringan hati terlibat segala bentuk kejahatan dan penyimpangan. Sebaliknya, kaum ahli kitab memiliki acuan akhlak tertentu yang bersandarkan wahyu Allah, maupun konsep-konsep apa yang boleh dan apa yang terlarang. Itulah mengapa kaum Muslim diharamkan memakan makanan yang disiapkan siapa pun selain para ahli kitab (sepanjang memenuhi syarat kehalalan). Begitu juga, laki-laki Muslim diizinkan menikahi perempuan dari golongan ahli kitab. Allah berfirman tentang hal ini dalam ayat terkait: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orangorang yang merugi. (QS. Al-Maidah, 5: 5) Aturan-aturan ini menunjukkan bahwa ikatan kasih sayang yang berujung di pernikahan dapat dibangun di antara kaum Muslim dan para ahli kitab, dan masing-masing pihak dapat menerima undangan makan dari yang lain; semua itu memungkinkan terbinanya hubungan antarmanusia yang hangat dan hidup berdampingan yang damai. Karena Quran menganjurkan pandangan yang moderat (tengah-tengah) dan bertenggang rasa seperti itu, tidaklah beralasan bagi kita Muslim menyimpan pemikiran yang bertentangan dengan Quran.

h. 9 Di sisi lain, tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, biara-biara, gereja-gereja, dan sinagogsinagog, dijelaskan di dalam Al Quran berada di bawah perlindungan Allah: ...dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj, 22: 40) Ayat ini menunjukkan bahwa semua Muslim harus menghargai tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, maupun pentingnya melindungi tempat-tempat itu. Sungguh, jika seseorang mengamati sejarah Islam, ada sebuah kenyataan yang menyolok bahwa para ahli kitab selalu diperlakukan santun dan penuh tenggang rasa di dalam masyarakat Muslim. Ini khususnya terbukti di zaman Khilafah Utsmaniyah (Ottoman), dari mana negara Turki masa kini berasal. Merupakan suatu kenyataan yang luas diketahui bahwa kaum Yahudi ditolak tinggal di dan diusir dari negara Katolik Spanyol, namun menemukan kedamaian yang mereka cari di negeri Utsmaniyah. Ketika merebut Konstantinopel, Sultan Mahmud Sang Penakluk mengizinkan kaum Yahudi dan Nasrani tinggal di sana dengan bebas. Sepanjang sejarah Khilafah Utsmaniyah, kaum Yahudi dianggap sebagai ahli kitab dan dibiarkan hidup tenteram. Tak pernah terjadi di dunia Islam praktik-praktik Inkuisisi (pemurnian ajaran seperti yang dilakukan Katolik Eropa) yang lahir dari kefanatikan agama maupun anti-Semitisme yang lahir dari rasisme, dua hal yang terlihat dalam sejarah Eropa. Mengenai perseteruan antara kaum Yahudi dan Muslim di Timur Tengah di abad ke-20, itu timbul ketika bangsa Yahudi berpaling kepada ideologi rasis tak-beragama Zionisme, dan kaum Muslim sama sekali tak bertanggung jawab atas hal itu. Kesimpulannya, mutlak tak dibenarkan bagi kita kaum Muslim, yang berpikir sejalan dengan apa yang digariskan Al Quran, untuk memiliki sedikit pun rasa permusuhan kepada kaum Yahudi karena agama atau keimanan mereka.

Akar Kelam Anti-Semitisme


Hal lain yang perlu dijelaskan adalah bahwa ideologi yang dikenal sebagai anti-Semitisme merupakan sebuah ajaran pagan (penyembahan berhala) yang tak akan pernah dianut seorang Muslim. Kita perlu menelaah akar anti-Semitisme untuk melihatnya lebih jelas. Istilah antiSemitisme umum digunakan dalam makna kebencian kepada kaum Yahudi, sekalipun makna sebenarnya adalah kebencian kepada ras Semit, dengan kata lain, segenap ras Semit. Ini mencakup orang-orang Arab, Yahudi, dan beberapa kelompok etnis lainnya di Timur Tengah. Terdapat kemiripan yang dekat di antara bahasa-bahasa dan kebudayaan-kebudayaan Semit. Misalnya, bahasa Arab dan Ibrani amat mirip satu sama lain.

h. 10 Kelompok ras dan bahasa terbesar kedua yang telah mempengaruhi sejarah dunia adalah Indo-Eropa. Sebagian besar bangsa-bangsa Eropa masa kini berasal dari kelompok ini. Tiada keraguan bahwa para Nabi telah diutus ke semua ragam peradaban dan masyarakat ini untuk mengabarkan tentang keberadaan dan keesaan Allah serta perintah-perintahNya. Ketika meneliti sejarah tertulis, kita melihat bahwa bangsa-bangsa Indo-Eropa telah memeluk kepercayan pagan sejak zaman yang sangat kuno. Peradaban Yunani dan Romawi, serta suku-suku biadab seperti Jerman dan Viking yang tinggal di Eropa Utara pada masa yang sama, semuanya memeluk kepercayaan politeis (banyak tuhan) dan pagan. Itulah mengapa seluruh peradaban kuno itu tak beracuan akhlak sama sekali. Mereka menganggap kekerasan dan kebengisan sah-sah saja dan patut dipuji, serta secara luas terlibat perbuatan-perbuatan mesum seperti homoseksual dan perzinahan. Tak boleh kita melupakan bagaimana Kekaisaran Romawi, yang umum dipandang sebagai lambang terpenting peradaban Indo-Eropa, sebenarnya sebuah masyarakat keji tempat manusia dicabik-cabik di sebidang tanah lapang hanya untuk hiburan. Suku-suku pagan yang menguasai Eropa ini mulai mempercayai satu Tuhan baru ketika di bawah pengaruh seorang nabi yang diutus kepada ras-ras Semit, yakni, Nabi Isa. Risalah Nabi Isa, yang diutus sebagai nabi untuk Bani Israel dan beliau sendiri secara ras dan bahasa adalah seorang Yahudi, perlahan-lahan mulai menyebar ke seluruh Eropa, dan suku-suku yang sebelumnya pagan mulai satu per satu menerima ajaran Nasrani. (Di sini, kami mesti mengingatkan bahwa saat itu ajaran Nasrani telah dicemari, dan gagasan sesat Trinitas mulai memasuki agama itu). Namun, bersama dengan melemahnya pengaruh Nasrani di Eropa pada abad ke-18 dan 19, dan kian kuatnya ideologi dan filsafat yang mendukung ateisme, sebuah gerakan yang tak lazim lahir: neo-paganisme. Para pemimpin gerakan ini menolak ajaran Nasrani yang dianut masyarakat Eropa dan bersikeras bahwa kembali ke kepercayaan pagan kuno mereka itu penting. Menurut para neo-pagan ini, pemahaman akhlak masyarakat pagan Eropa (yakni, jiwa biadab, suka berperang, kejam, yang terhibur oleh pertumpahan darah dan tak mengenal penahanan diri) itu lebih hebat dari yang timbul ketika mereka berpaling ke ajaran Nasrani (yakni, akhlak rendah hati, welas asih, dan jiwa beriman) Seorang wakil terkemuka gerakan itu, yang juga dianggap sebagai salah satu pendiri utama fasisme, adalah Friedrich Nietzsche, yang sangat keras memusuhi ajaran Nasrani dan percaya bahwa agama telah merusak jiwa ksatria bangsa Jerman dan, karena itu, saripati kemuliaannya. Ia menyerang ajaran Nasrani dalam bukunya Anti-Christ (Anti-Kristus) dan membela budaya-budaya pagan kuno dalam bukunya Thus Spake Zarathustra (Dan Bersabdalah Zarathustra). (Catatan: Zarathustra adalah pengembang ajaran Zoroastrianisme, sebuah agama kuno Persia.) Selain sangat memusuhi ajaran Nasrani, kaum neo-pagan juga memiliki kebencian besar kepada Yudaisme yang mereka anggap akar dasar agama Nasrani. Mereka bahkan menggambarkan agama Nasrani sebagai dunia yang ditundukkan sepotong gagasan Yahudi dan menganggapnya sebuah persekongkolan Yahudi. Tak diragukan, kaum neo-pagan juga membenci Islam, satusatunya agama yang berTuhan esa, dengan sama bencinya.

h. 11 Gerakan neo-pagan ini mengobarkan api kebencian terhadap agama sekaligus melahirkan ideologi fasisme dan anti-Semitisme. Saat kita secara khusus mengamati landasan-landasan ideologi Nazi, tampak jelas bahwa Hitler dan kawan-kawannya adalah pagan dalam makna yang sebenar-benarnya.

Nazisme: Paganisme Abad ke-20


Satu peran terpenting dalam pengembangan ideologi Nazi di Jerman dimainkan oleh pemikir Jorg Lanz von Liebenfels, seorang penganut setia neo-paganisme. Dialah orang pertama yang menemukan bintang swastika, yang kemudian menjadi lambang Partai Nazi, dari sumber-sumber ajaran pagan dan benar-benar menggunakannya. Organisasi Ordo Novi Templi yang didirikan oleh Lanz mengabdikan diri sepenuhnya demi kebangkitan kembali paganisme. Lanz secara terbuka menyatakan memuja Wotan, salah satu dewa suku-suku pagan Jerman kuno. Dalam pandangannya, Wotanisme adalah agama alamiah rakyat Jerman, dan bangsa Jerman hanya dapat diselamatkan dengan kembali menganutnya. Ideologi Nazi berkembang sepanjang garis-garis yang ditarik oleh Lanz dan para pemikir neo-pagan serupa. Alfred Rosenberg, tokoh terdepan di kalangan pemikir Nazi, secara terbuka menyatakan bahwa ajaran Nasrani tak mampu memberikan energi jiwa (spiritual) bagi Jerman baru yang sedang dibina di bawah kepemimpinan Hitler; karena itu, bangsa Jerman harus kembali kepada agama pagan kunonya. Menurut pandangan Rosenberg, lambang-lambang keagamaan di gereja pasti akan disingkirkan jika Nazi berkuasa, ditukar dengan salinan buku Hitler Mein Kampf (Pertarunganku), swastika, dan pedang yang mewakili keunggulan Jerman. Hitler sangat terpengaruh oleh pandangan Rosenberg, namun gagal menerapkan teori agama Jerman baru itu karena khawatir terjadi protes sosial besar-besaran. (1) Meski demikian, sejumlah perbuatan pagan dipraktikkan selama Nazi berkuasa. Sesaat setelah Hitler berkuasa, hari-hari dan perayaran-perayaan suci Nasrani mulai dilarang dan ditukar dengan pilihan pagannya. Selama upacara pernikahan, sumpah dilakukan atas nama dewa-dewa khayal, misalnya Ibu Bumi atau Bapa Langit. Pada tahun 1935, sekolah-sekolah dilarang membiarkan murid-muridnya mengucapkan doa-doa Nasrani. Lalu, pelajaran agama Nasrani sepenuhnya dilarang. Kepala SS (Schutz-Staffel, Pasukan Pertahanan) Heinrich Himmler menyatakan tentang kebencian rejim Nazi pada ajaran Nasrani: Agama ini wabah penyakit terburuk yang pernah disaksikan dunia. Karena itu, ia perlu disembuhkan. (2) Jadi, permusuhan kaum Nazi kepada kaum Yahudi merupakan bagian terpadu ideologiideologi anti-agama ini. Karena menganggap bahwa ajaran Nasrani itu sebuah persekongkolan Yahudi, kaum Nazi mencoba memisahkan masyarakat Jerman dari ajaran Nasrani di satu sisi, dan di sisi lain, memaksa kaum Yahudi meninggalkan Jerman dengan melakukan berbagai bentuk tekanan pada mereka dan menyelenggarakan serangan-serangan jalanan. (Persekutuan antara Zionisme dan Nazisme lahir pada waktu ini, sebagaimana akan kita lihat lebih rinci di Bab Dua).

h. 12 Ketika mengamati beragam kelompok neo-Nazi dan fasis di barisan depan anti-Semitisme masa kini, kita melihat hampir semua mereka berideologi anti-agama yang sama dan memakai semboyan-semboyan yang berdasarkan konsep-konsep pagan.

Akar Darwinis dari Nazisme


Segi penting lain kebangkitan pandangan dunia Nazi adalah cara mereka merangkul teori evolusi Darwin. Ketika mengemukakan teorinya, Charles Darwin menyatakan bahwa ada pertarungan terusmenerus demi bertahan hidup di alam ini, dan bahwa beberapa ras lebih diunggulkan dalam pertarungan itu, sementara ras-ras lain akan terkutuk untuk kalah dan tersingkir. Seperti dapat diduga, pemikiran-pemikiran ini segera menjadi landasan ilmiah rasisme. James Joll, seorang profesor selama bertahun-tahun di universitas-universitas seperti Oxford, Standford dan Harvard, menggambarkan pertalian ideologis antara Darwinisme dan rasisme dalam bukunya Europe Since 1870 (Eropa Sejak 1870), yang masih dipakai sebagai buku paket universitas (kutipan 3) Kesetiaan Hitler pada teori Darwin tampak dalam bukunya Mein Kampf (Pertarunganku), pertarungan yang dimaksudkan tentulah pertarungan demi bertahan hidup yang dikemukakan Darwin. Kaitan ideologis Hitler, dan selanjutnya kaum Nazi, dengan Darwinisme muncul dalam bentuk nyata bersama kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan setelah berkuasa. Kebijakankebijakan rasial Nazi ini dikenal sebagai eugenik, dan mewakili teori evolusi sebagaimana diterapkan ke masyarakat. Eugenik berarti penyingkiran orang-orang sakit dan cacat, dan perbaikan ras manusia dengan cara meningkatkan jumlah orang-orang yang sehat. Menurut teori eugenik, ras manusia dapat diperbaiki melalui cara yang sama dengan cara bibit-bibit hewan unggul dibentuk, yakni dengan mengawinkan hewan-hewan yang sehat. Teori ini diajukan oleh keponakan Charles Darwin, Francis Galton, dan puteranya Leonardo Darwin. Orang pertama yang terpengaruh dan menyebarkan teori ini di Jerman adalah seorang ahli biologi evolusionis terkenal, Ernst Haeckel, yang juga teman karib sekaligus pendukung Darwin. Ia menganjurkan agar bayi-bayi yang cacat segera dibunuh, dan bahwa tindakan ini akan mempercepat evolusi masyarakat. Dia bahkan berpendapat lebih jauh, dan menyatakan bahwa penderita lepra, penderita kanker, dan penyandang cacat mental, semuanya harus dihabisi tanpa ampun; jika tidak, orang-orang seperti mereka akan menjadi beban masyarakat dan memperlambat proses evolusi. Haeckel meninggal dunia tahun 1919, namun gagasan-gagasannya diwariskan kepada kaum Nazi. Sesaat setelah merebut kekuasaan, Hitler memberlakukan program resmi eugenik. Kata-kata berikut dari buku Mein Kampf merangkum kebijakan baru itu: Pendidikan mental dan fisik sangat penting bagi negara, pun penyaringan masyarakat setidaknya sama pentingya. Negara bertanggung jawab menetapkan bahwa tidak patut bagi orang-orang berpenyakit keturunan atau jelas-jelas tak sehat untuk berketurunan... Negara tidak boleh berbelas kasihan maupun menunggu negara-negara

h. 13 lain mengerti selagi memenuhi tanggung jawab itu... Mencegah orang-orang penyandang cacat fisik atau tak sehat memiliki anak selama 600 tahun... akan menghasilkan perbaikan dalam kesehatan manusia yang sekarang ini belum tercapai. Jika orang-orang tersehat suatu ras berkembang biak secara terencana, hasilnya adalah ... suatu ras tanpa benih-benih cacat fisik dan mental yang sejauh ini kita bawa bersama kita. (4) Sebagai akibat ideologi Hitler itu, kaum Nazi mengumpulkan orang-orang yang sakit mental, cacat, buta sejak lahir, dan mengidap penyakit keturunan, lalu mengirim mereka ke pusat-pusat pemandulan (sterilisasi) khusus. Berdasarkan undang-undang yang diterbitkan tahun 1933, 350 ribu orang sakit mental, 30 ribu orang gipsi dan ratusan anak-anak kulit berwarna dimandulkan dengan cara dikebiri, sinar-X, suntikan, atau sengatan listrik pada alat kelamin. Sebagaimana dikatakan seorang perwira Nazi, Nazisme itu sekedar ilmu biologi terapan.(5) Apa yang dianggap Nazi sebagai biologi terapan sebenarnya teori evolusi Darwin, yang itu sendiri suatu pelanggaran hukum-hukum dasar biologi. Di masa kini, telah jelas dibuktikan bahwa baik konsep eugenik dan pernyataan-pernyataan kaum Darwinis lainnya, sama sekali tak berlandasan ilmiah. Akhirnya, kita mesti amat menegaskan bahwa kelekatan kaum Nazi pada teori evolusi terkait dengan permusuhan mereka terhadap agama maupun kebijakan-kebijakan rasis mereka. Sebagaimana telah kita ketahui, kaum Nazi memendam kebencian mendalam terhadap agamaagama Ilahiah, dan berniat menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan pagan. Orang-orang seperti mereka merasa perlu melakukan propaganda anti-agama dan pencucian otak, serta menyadari bahwa Darwinisme merupakan cara terefektif melakukan hal itu. Buku Scientific Origin of National Socialism (Asal-Muasal Ilmiah Nazisme) membenarkan hal ini dengan kata-kata berikut, (kutipan 6) Landasan utama yang mendasari sifat menindas dan kejam Nazi adalah ideologi-ideologi anti-agama dan Darwinis yang sama ini.

Akhlak Al Quran akan Melenyapkan Anti-Semitisme dan Semua Bentuk Rasisme Kesimpulan yang kita peroleh sejauh ini adalah:
Anti-Semitisme adalah ideologi kaum anti-agama dan Darwinis, yang akarnya berhulu di neo-paganisme. Karena alasan itulah, tak terbayangkan seorang Muslim mendukung atau merasa bersimpati pada ideologi itu. Seorang anti-Semit juga musuh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Daud, sebab mereka orang-orang yang dipilih Allah dan diutus untuk memberikan teladan bagi seluruh umat manusia. Dengan cara serupa seperti anti-Semitisme, bentuk-bentuk lain rasisme (misalnya, kebencian kepada orang kulit berwarna) adalah juga penyimpangan-penyimpangan yang timbul dari beragam ideologi dan takhyul yang tak berkaitan dengan agama-agama Ilahiah.

h. 14 Jika seseorang menelaah anti-Semitisme dan contoh-contoh rasisme lainnya, jelas tampak bagaimana semua itu membela gagasan-gagasan dan model-model masyarakat yang bertolak belakang dengan akhlak Al Quran. Misalnya, rasa kebencian, kekerasan, dan kekejaman terletak di akar anti-Semitisme. (Karena itulah para anti-Semit sebenarnya telah meniru agama-agama pagan suku-suku biadab kuno). Seorang anti-Semit bahkan dapat melangkah lebih jauh dengan membela pembantaian dan penyiksaan bangsa Yahudi, tanpa membedakan apakah perempuan, anak-anak, atau manula. Sebaliknya, akhlak Al Quran mengajarkan cinta, rasa sayang, dan welas asih. Al Quran mengajarkan kaum Muslim berlaku adil dan pemaaf, bahkan terhadap musuh-musuh mereka. Orang-orang anti-Semit dan rasis lainnya tidak rela hidup damai dengan orang-orang dari etnis atau kepercayaan berbeda. (Misalnya, kaum Nazi, yang adalah kaum rasis Jerman, dan kaum Zionis, mitra sejajar Yahudinya, menentang gagasan tentang bangsa Jerman dan Yahudi hidup bersama, dan masing-masing berpikir hal itu akan membawa kerusakan bagi bangsa masingmasing). Sebaliknya, Al Quran mendorong manusia dari beragam kepercayaan hidup bersama secara damai dan tenteram di bawah suatu bangunan sosial yang sama, seperti Al Quran juga tak membolehkan terjadinya pembedaan perlakuan (diskriminasi) di antara ras-ras. Sudut pandang yang diajarkan di dalam Al Quran tak membuat penilaian umum berdasarkan ras, bangsa, maupun agama. Selalu ada warga yang baik dan buruk di setiap masyarakat. Al Quran membuat pembedaan amat jelas. Setelah merangkum bahwa sebagian kaum ahli kitab mengingkari Allah dan agamanya, Al Quran melanjutkan dengan menekankan bahwa hal itu suatu pengecualian dan mengatakan: Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari dan mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang maruf, serta mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran, 3: 113-115) Al Quran memang membedakan antara mereka yang tidak percaya dan mereka yang menolak mengakui Allah dan agamaNya, dan memerintahkan bahwa mereka yang tak menunjukkan permusuhan terhadap agama Allah harus diperlakukan dengan baik: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9).

h. 15 Allah memerintahkan bahwa konsep keadilan harus diterapkan bahkan kepada musuh-musuh kaum Muslim: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah, 5: 8)

Kesimpulan
Untuk merangkum apa yang telah kita tinjau sejauh ini: 1. Sebagaimana telah kita ketahui, akhlak Al Quran menyingkirkan segala bentuk rasisme. Karena itu, seorang Muslim yang taat kepada Al Quran tidak akan pernah terlibat rasisme, dan tidak memandang rendah orang lain karena ia dari ras yang berbeda. 2. Al Quran memerintahkan agar agama-agama lain diperlakukan dengan sikap amat santun dan ramah, selama tidak berperilaku memusuhi kaum Muslimin dan Islam. Karena itulah, seorang Muslim yang taat pada petunjuk Al Quran harus berlaku ramah dan penuh pengertian kepada pemeluk-pemeluk agama lain, khususnya kaum ahli kitab. 3. Ideologi-ideologi rasis seperti Nazisme dan filsafat-filsafat anti-Semit adalah ajaran-ajaran sesat yang sama sekali tidak memiliki tempat dalam agama, yang akarnya berhulu ke kebudayaankebudayan pagan kuno. Pastilah tidak mungkin bagi Muslim mana pun menghargai sedikit jua ajaran-ajaran semacam itu. Pandangan kita tentang masalah-masalah Yudaisme dan genosida bergantung kepada acuanacuan dasar ini. Sesungguhnya, buku ini telah disiapkan dengan rujukan ketat kepada acuan-acuan itu. Dalam bab-bab selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana tekanan Nazi kepada kaum Yahudi dikecam tanpa pamrih. Juga, akan dijelaskan bagaimana pandangan kaum Nazi dan kaum Zionis bahwa ras yang berbeda tak boleh bercampur adalah sebuah kesalahan besar, dan membela konsep keanekaan ras, asal etnis, dan pandangan, hidup berdampingan dengan damai. Keinginan kami adalah melihat seluruh gerakan anti-Semit seperti Nazisme dan ideologiideologi seperti Zionisme yang terlibat rasisme atas nama kaum Yahudi semuanya musnah, sebagaimana kami menginginkan terbinanya suatu tatanan dunia yang berdasarkan keadilan, tempat seluruh ras dan agama dapat hidup bersama.

h. 16

BAB SATU: KISAH TAK TERUNGKAP PERSEKONGKOLAN NAZI-ZIONIS


Awal tahun 1935, sebuah kapal penumpang memulai perjalanannya dari Bremerhaven, Jerman, menuju Haifa di Palestina. Nama kapal ditulis pada lambung haluannya dalam abjad Ibrani: Tel Aviv. Namun, bendera yang berkibar di atas Tel Aviv berisi swastika Nazi. Ada kejanggalan serupa mengenai para pemilik dan anak buah kapal itu. Para pemilik Tel Aviv adalah orang Yahudi, dan Zionis. Akan tetapi, kaptennya seorang anggota Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasional (Nazi). Bertahun-tahun kemudian, seorang penumpang pada pelayaran itu akan menafsirkan suasana Tel Aviv sebagai suatu kejanggalan yang abstrak. Namun, persekongkolan Nazi-Zionis yang dilambangkan oleh Tel Aviv sama sekali bukan suatu kejanggalan. Sebaliknya, kapal itu cuma satu contoh sebuah kenyataan yang secara hati-hati disembunyikan oleh para penulis sejarah resmi. Perjalanan memukau Tel Aviv di bawah bendera Nazi diceritakan kembali oleh sejarawan Amerika, Max Weber, di dalam artikelnya yang berjudul Zionism and the Third Reich (Zionisme dan Reich Ketiga) (di dalam The Journal of Historical Review, Juli/Agustus 1993), tempat Weber mengutarakan aneka segi hubungan terselubung antara kaum Nazi dan Zionis. Apakah alasan di balik persekutuan rahasia ini, yang sepintas amat sukar dipercaya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali ke masa silam.

Dari Diaspora Sampai Zionisme


Kaum Yahudi, salah satu bangsa tertua di dalam sejarah, telah tinggal di Palestina dan sekitarnya selama berabad-abad sebelum tahun 70 M. Tahun itu, tentara Romawi memadamkan pemberontakan kaum Yahudi di Palestina dan Yerusalem; mereka menghancurkan kuil Yahudi, dan mengusir sebagian besar kaum Yahudi dari Palestina. Sejak saat itu dimulailah masa Diaspora, atau penyebaran kaum Yahudi, yang berlangsung selama berabad-abad. Kaum Yahudi tersebar ke seluruh penjuru dunia yang sudah dikenal. Sejumlah besar akhirnya menetap di Eropa, berangsur-angsur terpusat di Spanyol dan Eropa Timur. Fakta Diaspora yang patut dicatat adalah bahwa sebagian besar kaum Yahudi tak membaur ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Ada dua alasan mengapa kaum Yahudi gagal membaur. Pertama, mereka menganggap diri lebih unggul daripada kaum lain, berdasarkan atas keyakinan mereka yang berakar kuat di dalam kitab Perjanjian Lama bahwa mereka orang-orang pilihan Tuhan. Karena Yahudi itu kaum pilihan, percampuran atau pembauran dengan kaum yang lebih rendah tak bisa mereka terima, bahkan suatu kehinaan. Alasan kedua, yang hampir tak kalah pentingnya, adalah cara masyarakat-masyarakat lain memandang kaum Yahudi. Orang-orang Eropa khususnya kurang bersahabat terhadap kaum Yahudi. Selama Abad Pertengahan, kaum Nasrani memiliki rasa tak suka mendalam terhadap kaum Yahudi, yang tidak memuja Yesus Kristus dan telah menyerahkannya kepada orang-orang Romawi.

h. 17 Orang Katolik Eropa tak menyukai orang Yahudi, dan orang Yahudi pun tak menyukai orang Katolik Eropa. Keadaan-keadaan masa Diaspora mendorong kaum Yahudi mengambil status sosial tersendiri. Mereka tak senang dengan tatanan yang ada; pada saat yang sama, mereka memiliki kekuasaan mengubah tatanan itu. Kekuasaan mereka terletak pada uang. Sumber uang mereka adalah pekerjaan kaum Yahudi yang terpenting selama Abad Pertengahan, sebagaimana juga di masa kini, yakni, penarik riba (rentenir), atau meminjamkan uang dengan bunga. Pihak Gereja telah melarang jemaatnya untuk meminjamkan uang dengan bunga karena itu perbuatan dosa menurut doktrin Nasrani. Meminjamkan uang dengan bunga kepada selain Yahudi tidaklah dilarang dalam agama Yahudi. Jadilah, kaum Yahudi Eropa bersejati (identik) dengan praktik penarik riba. Lewat pekerjaan ini, yang diwariskan turun-temurun, kaum Yahudi mampu menimbun kekayaan yang besar. Pada akhir Abad Pertengahan, para penarik riba Yahudi meminjamkan uang kepada para pangeran, bahkan kepada para raja, dengan suku bunga tinggi. Kaum Yahudi menggunakan kekuatan ekonomi yang mereka peroleh untuk mengikis tatanan yang mapan di Eropa. Mereka mendukung permusuhan terhadap Gereja Katolik, yang mencapai puncaknya di masa Reformasi Protestan. Satu bukti tentang hal ini adalah hubungan bersahabat di antara orang-orang Yahudi dan beberapa pendiri aliran Protestan seperti Jan Hus, John Calvin, dan Ulrich Zwingli, serta, pada awalnya, Martin Luther. Sumber-sumber Katolik terkadang menyatakan bahwa para pemimpin Protestan itu setengah Yahudi atau Yahudi terselubung. Reformasi Protestan melemahkan Gereja Katolik dan memberikan peluang bagi kaum Yahudi memperoleh hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan tertentu, khususnya di Eropa Utara. Akan tetapi, bagi kebanyakan orang Yahudi, itu belumlah cukup. Kaum Yahudi mempunyai kekuatan ekonomi, namun kurang mempunyai kekuatan politik. Kekuatan politik saat itu dibagi di antara Gereja, para raja, dan para ningrat. Di sini, patut dicatat bahwa kaum Yahudi mulai memasuki sebuah kelas sosial yang berbeda dengan Gereja, kerajaan, atau keningratan. Kelas sosial baru ini adalah kaum borjuis. Di abad ke-18 dan 19, para bankir Yahudi menjadi kekuatan ekonomi terpenting di Eropa. Selama abad ke-19, kekuatan dinasti perbankan Rothschild secara khusus menjadi buah bibir. Keluarga Rothschild dianggap sebagai raja-raja pembiayaan tingkat tinggi Eropa. Golongan borjuis, yang di dalamnya kaum Yahudi berperan utama, mendapatkan kekuatan politik melalui Revolusi Perancis serta reformasi-reformasi dan perubahan-perubahan yang mengikutinya. Para pemimpin Masa Pencerahan, yang meletakkan dasar-dasar Revolusi Perancis, berkeberatan dengan peran agama dalam kehidupan masyarakat dan merintis demokrasi di atas monarki. Mengeluarkan agama dari kehidupan masyarakat berarti memperlakukan orang tanpa memandang keimanan agamanya. Jadi, di masa setelah Revolusi Perancis, kaum Yahudi di seluruh Eropa mulai memperoleh hak seperti kaum Nasrani. Kebanyakan negara-negara Eropa akhirnya menghapus pembatasan-pembatasan sosial dan hukum pada kaum Yahudi. Kini, Eropa dipimpin bukan oleh tatanan agama, melainkan tatanan sekuler, dan kaum Yahudi berbagi hak yang sama

h. 18 dengan pemeluk Nasrani. Sekarang pun, mereka dapat menapaki jabatan pemerintahan dan memperoleh kekuatan politik. Dan itulah yang terjadi. Orang Yahudi pertama yang memasuki Majelis Perwakilan Tinggi Inggris adalah bankir dari keluarga Rothschild. Tak lama kemudian, seorang Yahudi lain, Benjamin Disraeli, menjadi perdana menteri Inggris Raya. Sementara itu, prasangka dan kebencian masyarakat terhadap kaum Yahudi menurun di benua Eropa, sebab pengaruh Nasrani melemah. Di semua negara di Eropa Utara, khususnya Inggris, kebencian yang mengakar terhadap kaum Yahudi kini ditukar dengan kecenderungan menghargai mereka dengan simpati dan membela hak-hak mereka. Yang terpenting dari hak-hak itu adalah impian indah kaum Yahudi selama berabad-abad, yaitu cita-cita pulang ke Palestina. Ya, sejak pengusiran mereka pada tahun 70 M, kaum Yahudi mempertahankan ikatan batin kepada tanah itu. Selama abad-abad panjang menghuni Eropa, mereka melihat diri sendiri sebagai orang yang terasingkan, dan memimpikan suatu kepulangan, suatu hari, ke tanah air mereka. Selama upacara-upacara tahun baru Yahudi, harapan yang menggetarkan tentang tahun depan di Yerusalem selalu diungkapkan. Kaum Yahudi sangat ingin tinggal tidak di tanah-tanah biasa, melainkan di Kanaan (Palestina), Tanah yang Dijanjikan Tuhan kepada mereka, kaum pilihanNya. Sampai saat itu, kaum Yahudi meyakini bahwa kepulangan ke Palestina hanya akan mungkin dengan pertolongan seorang juru selamat yang disebut Messiah. Akan tetapi, pada pertengahan abad ke-19, dua orang rabbi (pendeta Yahudi) merumuskan penafsiran baru atas doktrin ini. Keduanya, Rabbi Judah Alkalay dan Rabbi Zevi Hirsch Kalisher, menyatakan bahwa tak usah lagi menunggu datangnya Sang Messiah. Menurut penafsiran mereka atas naskah kuno suci Yahudi, kaum Yahudi dapat pulang ke Palestina lewat kekuatan politik dan ekonomi sendiri, dengan bantuan kekuatan-kekuatan besar Eropa. Ini akan menjadi langkah awal datangnya Messiah. Penafsiran rabbi ini mempengaruhi para nasionalis muda Yahudi yang kurang taat agama, yang jatidiri keyahudiannya berdasarkan pada kesadaran akan ras dan bangsa. Tak terbantahkan, yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang wartawan muda Austria bernama Theodor Herzl. Dengan menjelmakan penafsiran ulang doktrin kedua rabbi menjadi suatu gerakan politik aktif, Herzl mendirikan Zionisme politik. Zionisme mengambil namanya dari Gunung Zion yang suci di Yerusalem; tujuannya adalah pulangnya kaum Yahudi sedunia ke Palestina. Herzl memimpin kongres Zionis pertama di Basel, Swiss. Di sana mereka mendirikan World Zionist Organisation (Organisasi Zionis Dunia). Kelompok ini akan mengarahkan gerakan Zionis dengan penuh kesabaran dan keteguhan hingga berdirinya negara Israel. WZO mempunyai dua tujuan utama: menjadikan Palestina tempat yang cocok bagi pemukiman kaum Yahudi, dan mendorong seluruh kaum Yahudi, mulai dengan yang di Eropa, berpindah ke Palestina. Dalam beberapa tahun saja, kemajuan yang cukup berarti telah tercapai ke arah tujuan pertama. Dengan menerbitkan Deklarasi Balfour di tahun 1917, Pemerintah Inggris mengumumkan bahwa negerinya mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina, yang direbut Inggris dari Khilafah Utsmaniyyah selama Perang Dunia I. Deklarasi Balfour adalah sebuah kemenangan besar bagi kaum Zionis. Inggris, kekuatan militer dan politik terbesar di dunia saat itu, telah sangat terbuka menyatakan mendukung mereka. Deklarasi itu menunjukkan kepada banyak orang,

h. 19 termasuk banyak orang Yahudi yang menganggap Zionisme sepotong mimpi belaka, betapa kuat sesungguhnya gerakan Zionis. Tujuan kedua gerakan, yaitu pemukiman kembali kaum Yahudi dari Diaspora ke Palestina, jauh kurang berhasil. Ini menciptakan masalah besar bagi kaum Zionis. Meskipun banyak seruan dari WZO, kaum Yahudi Diaspora, khususnya yang di Eropa, yang paling bernilai bagi kaum Zionis, memutar punggung pada kepulangan terencana ke Palestina. Alasan penolakan mereka bukanlah semata-mata ketakpedulian.

Pembauran: Sebuah Masalah Bagi Gerakan Zionisme


Alasan kaum Yahudi Eropa menolak pulang ke Palestina adalah proses pembauran, yang di dalamnya mereka telah terlibat selama hampir seabad. Pembauran ini akibat tak terhindarkan dari diperolehnya persamaan hak dengan pemeluk Nasrani. Sebagaimana telah dicatat, kaum Yahudi adalah warga negara kelas dua selama Abad Pertengahan karena pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada mereka akibat kepercayaan agama mereka. Para pemimpin kaum Yahudi mengira bahwa mereka bisa mendapatkan kekuasaan politik, membuktikan bahwa kaum Yahudi itu kaum pilihan, dan pulang ke Palestina jika pembatasan-pembatasan itu dapat disudahi. Karena itu, mereka telah berupaya menghancurkan sistem feodal Katolik di Eropa, juga telah berperan penting dalam keruntuhan Katolik Eropa dan pengenalan ke zaman modern. Akan tetapi, zaman modern berpengaruh yang tak dibayangkan sebelumnya oleh kaum Yahudi. Dengan menurunnya peran agama di masyarakat Eropa dan penghapusan pembatasanpembatasan terhadap kaum Yahudi, dasar kerekatan Yahudi, maupun kunci penolakan Yahudi terhadap pembauran, ikut memudar. Di saat ini, kaum Yahudi mulai berbaur, menjadi bagian masyarakat Eropa tempat mereka tinggal. Sambil memperoleh persamaaan hak, orang-orang Yahudi juga melepaskan jatidiri keyahudiannya. Pada akhir abad ke-19, mayoritas kaum Yahudi di negara-negara Barat mulai menganggap diri orang Jerman, Perancis, atau Inggris yang beriman Yahudi, bukan suatu bangsa tersendiri. Di sisi lain, pemikiran kaum Zionis amatlah berbeda. Menurut teori Zionis, menjadi seorang Yahudi bukan semata urusan agama: itu sebuah urusan ras. Ras Yahudi sebenarnya amat berbeda dari bangsa Eropa; mereka kaum Semit dan tak hendak berbaur. Di mata Zionis, mengaku sebagai Yahudi Jerman atau Yahudi Perancis itu tak masuk akal. Orang Yahudi berbeda dari ras mana pun, Eropa maupun bukan, tanpa memandang apakah beragama ajaran Musa atau ateis. Karena itu, merupakan suatu penyakit bagi orang Yahudi untuk bergaul dan berbaur dengan ras lain. Kaum Yahudi memerlukan suatu negara sendiri, dan negara ini harus di Palestina, kampung halaman turun-temurun ras Yahudi. Singkatnya, orang-orang Yahudi yang berbaur adalah penderita sakit yang memerlukan pertolongan. Orang Yahudi seperti itu, yang teracuni kenyamanan hidup zaman modern dan menganggap diri tidak berbeda dari ras-ras lain yang menghuni Eropa, harus disembuhkan sesegera mungkin. Jika tidak, impian tentang sebuah negara Yahudi akan tetap tinggal impian.

h. 20 Namun, bagaimana cara menyembuhkan orang-orang Yahudi itu? Para pemimpin Zionis segera menyadari bahwa tugas ini suatu tugas yang sulit, sebab kaum Yahudi pembaur (asimilasionis) menentang keras Zionis. Kebanyakan organisasi Yahudi pembaur mengeluarkan pernyataan yang keras menolak pernyataan-pernyataan kaum Zionis. Mereka menyatakan bahwa masyarakat mereka Yahudi hanya dari segi agama, bahwa kaum Yahudi warga yang setia kepada negara tempat mereka tinggal, dan akhirnya, bahwa mereka tak berkeinginan pulang ke gurun-gurun pasir Palestina. Di saat Theodor Herzl memimpin propaganda kaum Zionis di Eropa, sebuah konperensi diselenggarakan di Pittsburgh, Amerika Serikat, yang menerbitkan sebuah deklarasi yang disebut Eight Principle of Reform Judaism (Delapan Prinsip Yudaisme Reformasi). Kaum Yahudi pembaur di Amerika menarik perhatian dunia bahwa mereka menganggap diri pemeluk suatu agama, dan bukan anggota sebuah bangsa yang terpisah. Karena itu, mereka tak berniat pulang ke Yerusalem maupun membangun kembali agama persembahan Bani Harun. Mereka tidak mendukung sebuah negara Yahudi baru. Setelah beberapa deklarasi serupa mengikuti, para Zionis menyadari bahwa mereka tak akan mampu mengalahkan kaum Yahudi pembaur hanya dengan kata-kata. Namun, bagaimana bisa dibuktikan bahwa kaum Yahudi sebenarnya suatu ras yang berbeda dengan ras-ras lain, dan bahwa mereka sungguh-sungguh orang asing di Eropa? Sebelum zaman modern, pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya. Bangsa Eropa, disebabkan kepercayaan agamanya, bersikap memusuhi kaum Yahudi yang akibatnya, secara tak langsung, membantu mempertahankan jatidiri kaum Yahudi. Masyarakat Eropa turun-temurun menentang pembauran dengan kaum Yahudi, dan akibatnya pembauran terhalangi. Namun, di masa kini, karena kemajuan zaman telah mendesak agama keluar dari kehidupan masyarakat, sulit menciptakan pembatasan-pembatasan, atau mengarahkan kebencian berdasarkan fanatisme agama, terhadap kaum Yahudi.

Rasisme Abad ke-19 dan Anti-Semitisme Modern


Walau demikian, masih tersisa satu pilihan. Karena ideologi telah menggantikan agama, sebuah ideologi dapat digunakan untuk menghentikan pembauran. D sini, kaum Zionis menemukan sesuatu yang sangat berguna: suatu ideologi baru yang kukuh menentang pembauran kaum Yahudi berkembang kian pesat di Eropa. Ideologi itu adalah rasisme modern yang berlandaskan pada positivisme (pandangan bahwa yang penting adalah apa yang bisa diindra dan diukur) abad ke-19 dan diperkuat oleh teori evolusi Darwin. Selama abad ke19, ahli-ahli teori yang rasis bermunculan di seluruh Eropa. Para ahli teori ini, saat mengamati bahwa umat manusia terdiri dari ras-ras yang berbeda, menganggap bahwa watak terpenting seorang manusia adalah rasnya. Suatu ras tidak dapat menghadapi resiko lebih besar daripada kehilangan kemurniannya lewat percampuran dengan ras-ras lain. Pada saat yang sama, para ahli teori rasial, terutama di Jerman, namun juga di negara-negara lain, memaparkan teori-teori anti-Semit. Dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan antara ras Arya dan Semit, mereka menyatakan bahwa kaum Yahudi telah mencemari kemurnian rasnya

h. 21 sendiri dengan hidup di antara bangsa Eropa. Menurut para pemikir ini, kaum Yahudi harus dikucilkan, dan perkawinan dengan mereka dicegah. Kebencian fanatik terhadap kaum Yahudi yang berdasarkan pada seruan melakukan pengucilan sosial ini dikenal sebagai anti-Semitisme modern modern, sebab menentang kaum Yahudi bukan karena agamanya sebagaimana di Abad Pertengahan, melainkan karena rasnya. Anti-Semitisme mencapai puncaknya pada Kasus Dreyfus yang terkenal. (Alfred Dreyfus adalah seorang tentara Perancis berkebangsaan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara.) Di sini, kita menemukan suatu fakta yang amat menarik. Bukan hanya kaum rasis Eropa yang merasa tak nyaman dengan pembauran Yahudi. Juga ada kelompok lain yang merasa terancam atas nama ras Yahudi. Merekalah kaum Zionis, yang menganggap keyahudian bukan sebuah agama, melainkan jatidiri kebangsaan. Ini sebuah gambaran yang menarik. Tak satu pun dari kedua pihak menginginkan kaum Yahudi bercampur di luar rasnya; yang satu ingin menjaga Yahudi agar tetap terpisah, sementara yang lain ingin melindungi jatidiri keyahudiannya. Karena itu, mengapa mereka tidak bekerjasama? Tanggapan langsung atas pertanyaan ini datang dari Theodor Herzl, pendiri Zionisme.

Anti-Semitisme: Sebuah Siasat Herzl


Kemajuan pembauran kaum Yahudi yang tampaknya tidak tercegah (dan penolakan kaum Yahudi pada program Zionis) memacu kaum Zionis ke arah persekongkolan dengan para antiSemit. Orang yang memulainya adalah Theodor Herzl, pemimpin pertama gerakan Zionis. Herzl menyadari bahwa, untuk memaksa kaum Yahudi meninggalkan rumah-rumah mereka saat itu dan pindah ke Israel, anti-Semitisme adalah sebuah kebutuhan. Upaya apa pun untuk meyakinkan kaum Yahudi berpindah ke Tanah Suci Palestina memerlukan gerakan anti-Semit yang andal sebagai pendorong. Sementara itu, anti-Semitisme, yang muncul bersamaan dengan rasisme abad ke-19, telah memadamkan harapan banyak orang Yahudi yang berpikir mereka dapat tinggal di Eropa bebas dari pembedaan perlakuan dan pelecehan. Herzl menekankan bahwa anti-Semitisme itu suatu penyakit yang tak tersembuhkan, dan satu-satunya penyelamatan bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Palestina. Pendapat Hezl bahwa orang Yahudi dan bukan Yahudi tak dapat hidup berdampingan sangat sejalan dengan pemikiran anti-Semit. Mengomentari kesejajaran ini, Hezl menyatakan bahwa anti-Semitisme dapat sangat membantu kampanye Zionis. Herzl tak puas memikat kaum Yahudi berpindah dengan ajakan-ajakan diplomatis. Sebagaimana ditulis oleh seorang tokoh politik dan cendekiawan tersohor Perancis Roger Garaudy dalam bukunya The Case of Israel: A Study of Political Zionism (Kasus Israel: Sebuah Kajian tentang Zionisme Politik), Herzl menyokong pemisahan kaum Yahudi bukan untuk membina suatu agama atau budaya yang terpisah, melainkan sebuah negara. Herzl bahkan melanjutkan dengan berjanji kepada Plehve, menteri dalam negeri Rusia semasa pogrom-pogrom (pembantaian kaum Yahudi) Kishinev yang keji, bahwa ia akan menang atas kaum Yahudi yang berperan besar dalam hasutan revolusi melawan tsar (raja Rusia), sehingga mencegah pemberontakan, sebagai balasan atas bantuan Rusia mengirimkan orang-orang Yahudi kembali ke Palestina.

h. 22 Rencana Herzl bersekongkol dengan orang-orang anti-Semit telah menjadi cara yang paling disukai para pemimpin Yahudi penerusnya. Akhirnya, Herzl menjadi pendukung pergerakan antiSemit yang bersemangat. Roger Garaudy menulis bahwa pada tahun 1896, sebelum menerbitkan bukunya The Jewish State (Negara Yahudi), Herzl menjawab kecaman bahwa ia bekerja merugikan kaum Yahudi dengan menyatakan tanpa ragu bahwa para anti-Semit akan menjadi sahabat karib kaum Zionis. Herzl dan para Zionis lainnya sepakat tentang tujuan-tujuan bersama. Niat mereka adalah memindahkan semua kaum Yahudi ke Palestina. Inilah sebuah pemecahan yang sempurna bagi para anti-Semit, yang ingin melindungi kemurnian ras mereka dari pencemaran melalui percampuran dengan kaum Yahudi. Theodore Fritsch, penerbit Antisemitische Correspondenz (Surat-Menyurat Anti-Semit, belakangan disebut Deutsch-Soziale Blatter, Cacar Sosial Jerman), sebuah majalah anti-Yahudi tersohor, menyambut baik Kongres Zionis Pertama, dan mengirimkan ucapan selamatnya bagi penerapan sebuah teori yang mensyaratkan bahwa kaum Yahudi meninggalkan Jerman dan bermukim di Palestina. Herzl percaya bahwasanya akan berbahaya bagi Zionisme jika kaum Yahudi merasa kerasan di negara-negara tempat mereka berada; ia mengatakan: Kaum Yahudi membentuk suatu masyarakat tunggal, dan tidak bisa dipadukan dengan kaum-kaum lain. Namun, mereka memang berbaur dengan masyarakat mana pun jika merasa aman di dalamnya untuk waktu yang lama. Dan itu tak akan pernah menjadi minat kita. Karena itu, menurut pemimpin Zionis ini, langkah pertama yang harus diambil adalah menciptakan rasa permusuhan terhadap kaum Yahudi. Sejalan dengan itu, para pemimpin Zionis akan mendorong ketegangan psikologis, membuat kaum Yahudi resah dengan serangan-serangan anti-Semit yang membikin geram. Dengan tindakantindakan itu, para pemimpin Zionis berharap dapat meyakinkan kaum Yahudi bahwa mereka berada dalam bahaya di Diaspora dan bahwa mereka hanya dapat diselamatkan dengan berpindah ke Tanah Suci Palestina. Herzl berupaya memancing kaum anti-Semit dengan sebuah cara yang mengejutkan, yakni menambahkan kalimat-kalimat pada buku hariannya yang akan mendorong mereka percaya pada persekongkolan Yahudi dan lalu merangsang mereka menyerang kaum Yahudi. Tiga seri buku harian Herzl diterbitkan di tahun 1922 dan 1923. Seorang penulis Austria dan penerbit buku sterreichische Wochenschrift (Mingguan Austria), Josep Samuel Bloch, yang mengenal baik Herzl, menulis tentang buku-buku harian itu: Surat-surat yang dikirimkan kepada Rothschild dan Baron Hirsch, serta penegasan bahwa orang Yahudi itu pemberontak dan penggerak revolusi berbakat di negara-negara yang mereka tinggali, cukup membawa kehancuran pada kaum Yahudi. Herzl telah menyediakan musuh-musuh kaum Yahudi dasar bagi sebuah pemecahan masalah Yahudi. Ia telah menunjukkan jalan untuk diikuti di dalam kegiatan mereka selanjutnya. Bukubuku harian itu benar-benar mengerikan. Herzl bekerja keras membangkitkan anti-Semitisme dan membangun persekutuan dengan para anti-Semit sampai akhir hayatnya. Upaya-upaya yang dilakukannya atas nama Zionisme tidak begitu berhasil: kebanyakan kaum Yahudi Eropa menolak pindah ke Tanah Suci Palestina.

h. 23

Perlawanan Kaum Yahudi Terhadap Zionisme


Organisasi Zionis Dunia WZO, yang didirikan Herzl dan terus berkembang setelah kematiannya yang mendadak di tahun 1904, bertujuan utama memukimkan kaum Yahudi di Palestina. Sekalipun WZO berupaya, jumlah pendatang ke Palestina tetap lebih sedikit daripada yang diharapkan. Malah, setelah beberapa tahun, kedatangan mulai menurun tajam. Seakan belum cukup, sebagian mereka ternyata kembali ke negara asalnya. Antara tahun 1926 dan 1931, sekitar 3.200 orang Yahudi meninggalkan Palestina setiap tahunnya. Pada tahun 1932, di Palestina hanya ada 181 ribu orang Yahudi berbanding 770 ribu orang Arab. Para pemimpin Zionis sangat maklum bahwa mereka tidak dapat mendirikan sebuah negara Yahudi dengan bangsa Arab membentuk mayoritas sebesar itu. Lebih jauh, mayoritas kaum Yahudi di Eropa dan Amerika menolak berpindah ke Palestina antara tahun 1897 dan 1930-an. Kaum Yahudi Jerman, Perancis, dan Amerika khususnya telah hidup makmur dan enggan melepaskan taraf hidup mereka yang tinggi untuk bermukim di Palestina. Banyak orang Yahudi tersohor di masa itu, seperti fisikawan Albert Einstein, filsuf Martin Buber, dan Profesor Judah Magnes, rektor pertama Universitas Ibrani di Yerusalem, bersemangat menentang Zionisme. Masyarakat awam Yahudi juga tak kurang kerasnya menolak seruan para pemimpin Zionis untuk berpindah. Kecuali sebagian kecil, kaum Yahudi Rusia juga menolak berpindah ke Palestina. Bahkan, sebagian pendatang Zionis dari Rusia kembali ke sana setelah keadaan kehidupan di Palestina ternyata jauh dari yang diharapkan. Selama tahun 1920-an, para pemimpin Zionis menyangka bahwa Deklarasi Balfour, yang telah membuka jalan bagi berdirinya tanah air Yahudi di Palestina, akan mempercepat proses perpindahan. Namun, mereka merasakan kekecewaan yang menyesakkan. Sementara jumlah kaum Yahudi di Palestina berlipat dua, mencapai 160 ribu orang pada tahun 1920-an, jumlah pendatang hanyalah sekitar 100 ribu orang. Dari angka ini, 75 persen tidak bertahan di Palestina. Pada tahun 1927, hanya 2.710 pendatang yang masuk; 5 ribu orang Yahudi pergi. Di tahun 1929, orang Yahudi yang datang dan kembali sama jumlahnya. Penurunan yang mencemaskan itu merupakan sebuah kegagalan besar gerakan Zionis, yang berupaya keras membawa sebanyak-banyaknya orang Yahudi ke Palestina dalam waktu sesingkatsingkatnya, bahkan jika perlu dengan kekerasan. Sekalipun propaganda terus-menerus WZO, kepindahan ke Tanah Suci Palestina tetap sedikit. Pada akhir abad ke-19, jumlah orang Yahudi di Palestina kurang dari 50 ribu, membentuk hanya 7 persen dari seluruh penduduk. Bahkan pada saat Deklarasi Balfour (1917), jumlah kaum Yahudi tak lebih dari 65 ribu orang. Selama 12 tahun antara 1920 dan 1932, hanya 118.378 orang Yahudi dimukimkan, dengan satu atau lain cara, di Palestina, bahkan tak sampai 1 persen dari jumlah orang Yahudi di dunia. Jelas sudah bahwa kebijakan Zionis tidak berhasil. Satu-dua gerakan anti-Semit tidaklah cukup menyakinkan kaum Yahudi non-Zionis untuk berpindah. Karena itu, para pemimpin Zionis memutuskan menggunakan cara yang dirintis Herzl lebih kerap lagi. Mereka harus membuat kaum

h. 24 Yahudi, terutama kaum elitnya, merasa kian tak nyaman demi mendirikan negara Israel. Dengan kata lain, anti-Semitisme harus tumbuh lebih kuat.

Persaudaraan Ideologis antara Nazisme dan Zionisme


Konsep Herzl tentang pembentukan sebuah persekutuan dengan kaum anti-Semit untuk menghentikan, dan lalu membalikkan, proses pembauran kaum Yahudi dipraktikkan oleh para Zionis penerusnya, bersama dengan kaum rasis di Eropa dan di seluruh dunia. Yang terutama adalah kaum rasis Jerman. Kaum rasis Jerman ini, yang merupakan perintis gerakan Nazi, jenis sekutu yang tepat dicari-cari para Zionis. Nyatanya, persamaan ideologis di antara keduanya cukup menyolok. Lenni Brenner, yang menyebut diri seorang Yahudi non-Zionis, mengungkapkan sejarah terselubung persekutuan antara Zionis dan anti-Semit dalam bukunya Zionism in The Age of Dictator (Zionisme di Zaman Para Diktator). Sebagaimana ditekankan Brenner, ikatan antara kaum Zionis dan kaum rasis anti-Semit ditempa pada tahun-tahun awal pergerakan Zionis. Misalnya, Max Nordau, penerus Herzl sebagai pemimpin gerakan Zionis, memberikan wawancara kepada seorang anti-Semit tersohor, Edouard Drumont, pada 21 Desember 1903. Percakapan di antara keduanya, yang satu seorang rasis Yahudi, yang lain seorang sofinis (penganut paham nasionalisme sempit) Perancis, diterbitkan dalam suratkabar anti-Semit fanatik milik Drumont, La Libre Parol, termasuk pernyataan Nordau bahwa Zionisme bukan masalah agama, namun sepenuhnya masalah ras, dan tak seorang pun dengan siapa saya lebih sependapat dalam masalah ini selain Tuan Drumont. Satu bahasan penting dalam buku Brenner adalah kesamaan ideologis antara rasis Jerman dan Zionis. Pemujaan berlebihan terhadap darah-dan-tanah yang sedang cepat menyebar di kalangan cendekiawan Jerman mutlak sejalan dengan pemikiran Zionis. Menurut ideologi ini, ras Jerman memiliki darah (Blut) sendiri, dan harus hidup di tanahnya (Boden) sendiri. Kaum Yahudi tidak berdarah Jerman, dan karena itu tidak akan pernah menjadi bagian rakyat (Volk) Jerman maupun berhak menetap di tanah Jerman. Seperti ditekankan oleh Brenner, pengikut Zionis sukarela mendukung semua pendapat Blut und Boden-nya kaum rasis. Dalam pandangan kaum Zonis, kaum Yahudi bukanlah bagian Volk Jerman dan, pastilah, kaum Yahudi dan Jerman seharusnya tidak bercampur dalam perkawinan. Yang terbaik bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Bodennya sendiri: Palestina. Tak diragukan bahwa para Zionis menyetujui anti-Semitisme dan menganut teori-teori kaum rasis Jerman itu. Karena orang Yahudi bukan ras Jerman, bangsa Jerman berhak mengucilkan dan juga mengusir mereka. Menurut para Zionis, kaum Yahudi sendiri sepatutnya disalahkan dalam soal anti-Semitisme. Mereka membangkitkan anti-Semitisme dengan bersikukuh tinggal di tanah asing dan berbaur dengan ras asing. Para Yahudi pembaur yang patut disalahkan, dan bukan para anti-Semit. Chaim Greenberg, penyunting media Zionis pekerja New York Jewish Frontier, melukiskan watak itu sebagai berikut Agar menjadi Zionis yang baik, seseorang harus agak menjadi anti-Semit.

h. 25 Brenner menafsirkan kedudukan para Zionis sebagai berikut: Jika orang percaya akan keabsahan kemurnian rasial, sukar merasa keberatan pada rasisme orang lain. Jika orang itu percaya lebih jauh bahwa tak mungkin bagi masyarakat mana pun hidup sehat kecuali di tanah air sendiri, ia tak dapat berkeberatan pada tindakan siapa pun mengeluarkan orang asing dari daerahnya. Francis R. Nicosia, seorang profesor sejarah di St. Michaels College (Winooski, Vermont, Amerika Serikat), juga menekankan adanya hubungan ideologis antara Zionisme dan Nazisme dalam bukunya The Third Reich and The Palestine Question (Reich Ketiga dan Masalah Palestina). Menurut Nicosia, kaum Zionis dekat secara ideologis tak hanya dengan Nazi, melainkan juga dengan para rasis abad ke-19 pendahulunya, termasuk Arthur de Gobineau. Pada tahun 1902, Die Welt, sebuah suratkabar Zionis yang diterbitkan oleh WZO, mendukung teori Gobineau tentang kemunduran rasial dan hasrat mempertahankan kemurnian rasial dengan mencatat bahwa Gobineau telah menunjuk penuh kekaguman kepada kaum Yahudi sebagai suatu kaum kuat yang percaya perlunya mempertahankan kemurnian ras. Pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia I, para Zionis yang berpengaruh dengan semangat membela teori filsuf-filsuf rasis seperti Elias Auerbach, Ignaz Zollschan, Arthur de Gobineau, dan Houston Steward Chamberlain. Profesor Nicosia menekankan juga simpati kaum anti-Semit terhadap Zionisme. Sangat menarik bahwa para anti-Semit menyokong pemindahan kaum Yahudi Eropa ke Palestina sejak permulaan abad ke-19, sebelum Zionisme politik ada. Di antara mereka adalah filsuf nasionalis Jerman terkenal dan pelopor fasisme, Johann Gottlieb Fichte. Fichte, seorang penyokong pengusiran kaum Yahudi dan kaum minoritas lainnya demi menjaga dan menghormati Volkgeist (semangat kebangsaan) Jerman, menganggap bahwa memberikan persamaan hak kepada kaum Yahudi akan menjadi suatu bencana. Ia juga menyarankan bahwa masalah Yahudi dapat dipecahkan dengan memindahkan kaum Yahudi dari Jerman (juga negara-negara Eropa lainnya) ke tanah asalnya. Teori-teori Zionis Fichte dianut sepenuhnya oleh penerus-penerus seperti Eugen Dhring. Simpati kaum anti-Semit pada Zionisme berlanjut di Jerman setelah Perang Dunia I (semasa Republik Weimar, 1919-1933). Nicosia mengatakan bahwa semasa Weimar, tokoh anti-Semit terkemuka seperti Wilhelm Stapel, Hans Blher, Max Wundt, dan Johann Peperkorn melihat Zionisme sebagai satu-satunya pemecahan yang wajar atas masalah Yahudi di Jerman.

Perselingkuhan Para Zionis dengan Nazisme


Saat pertama mendengar pernyataan kami tentang kaitan antara Zionisme (yang sering digambarkan sebagai nasionalisme Yahudi) dan rasisme Jerman (yang mengandung kebencian antiYahudi), orang mungkin akan beranggapan bahwa pertalian seperti itu suatu pertentangan. Akan tetapi, dengan penjelasan beberapa halaman terdahulu, ada suatu kemiripan yang benar-benar masuk akal di antara keduanya. Pada tahun 1925, Jacob Klatzkin, seorang ahli teori gerakan Zionis, memaparkan segenap akibat pendekatan Zionis pada anti-Semitisme. Jika kita tidak mengakui kebenaran anti-Semitisme, kita menyangkal kebenaran nasionalisme kita sendiri. Jika kaum kita berhak dan rela berada di dalam kehidupan nasionalnya sendiri, maka kaum kita adalah sebuah benda asing yang menusuk ke dalam bangsa-bangsa di antara siapa kaum kita tinggal, suatu benda asing yang menuntut jatidiri tersendiri, mengurangi ruang hidup bangsa-

h. 26 bangsa itu. Oleh karena itu, benarlah jika mereka mesti melawan kita demi kesatuan nasional mereka... Daripada membina masyarakat demi melawan para anti-Semit, yang ingin mengurangi hak-hak kita, kita mesti membina masyarakat demi melawan para sahabat kita (yakni, para Yahudi pembaur) yang ingin membela hak-hak kita. Empati kaum Zionis pada anti-Semitisme cukup luas dalam WZO, inti gerakan kaum Zionis. Chaim Weizmann, pemimpin legendaris WZO kedua setelah Herzl, dan lalu presiden pertama Israel, kerap menyatakan pemahamannya akan anti-Semitisme. Sebagaimana ditulis Brenner: Semenjak 18 Maret 1912, ia telah tanpa malu-malu berkata kepada penduduk Berlin bahwa setiap negara hanya dapat menyerap sejumlah terbatas kaum Yahudi, jika tak ingin perutnya sakit. Jerman telah memiliki terlalu banyak kaum Yahudi. Dalam percakapannya dengan Balfour [menteri luar negeri Inggris] di tahun 1914, ia meneruskan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa kami juga bersepakat dengan para anti-Semit budaya, sejauh kami percaya bahwa orang-orang Jerman yang beragama Musa itu sebuah gejala yang tak diinginkan dan mematahkan semangat. Watak WZO itu juga dimiliki cabangnya di Jerman, Zionistiche Vereinigung fr Deutchland (ZVfD, Federasi Zionis Jerman). ZVfD adalah satu dari dua organisasi Yahudi utama pada masa itu. Sedangkan Centralverein (CV, Persatuan Pusat Warga Jerman Beragama Yahudi) adalah organisasi utama Yahudi pendukung pembauran. Secara alamiah, ZVfD dan CV tidak bersepakat dalam aneka persoalan. Misalnya, satu pihak sangat yakin bahwa menjadi seorang Yahudi itu masalah ras, sementara yang lain menganggap kaum Yahudi hanya masyarakat agama. Tentu saja, bidang utama pertengkaran adalah antiSemitisme. Bagi para pembaur di CV, anti-Semitisme itu ancaman utama. Mereka melakukan semua yang mereka mampu untuk membasmi virus yang mengancam kehidupan tenteram mereka ini. Sebaliknya, para Zionis, yang menganggap pembauran virus yang sebenarnya, amat senang dengan anti-Semitisme. Brenner menulis bahwa Kurt Blumenfeld, ketua dan mantan sekretaris jenderal ZVfD, sungguh-sungguh percaya pada pernyataan kaum anti-Semit bahwa negara Jerman milik ras Arya dan bahwa bagi seorang Yahudi untuk berjabatan di pemerintahan di tanah kelahirannya ini tak lebih daripada campur tangan dalam urusan Volk (bangsa) lain. Sejak awal tahun 1920-an, anti-Semitisme Jerman dijelmakan oleh kaum Nazi, yang telah menjadi sebuah kekuatan di seluruh Jerman. Pada tahun 1923, Hitler telah mendapat suatu dukungan yang cukup besar dari kalangan rasialis dan nasionalis Jerman yang lebih keras dan siap, termasuk banyak orang, di antaranya Hitler sendiri, yang telah ditempa dalam pertempuranpertempuran berat Perang Dunia I. Mereka itu, yang ditata untuk perang jalanan ke dalam SA (SturmAbteilung, Pasukan Badai), terbukti menjadi kekuatan yang mampu melawan milisi-milisi musuh Nazi (kaum komunis, sosialis, liberal dll) sementara jalinan Republik Weimar mulai koyak. Perselingkuhan di antara kedua pihak bermula pada saat gerakan Nazi muncul. Kaum Zionis terus-menerus memberi perhatian kepada kaum Nazi, tak kurang daripada kepada para anti-Semit lainnya. Hitler juga mengirimkan pesan terukur kepada pihak Zionis. Sebagaimana ditekankan Nicosia, pidato-pidato Hitler di awal tahun 1920 menyatakan bahwa satu-satunya pemecahan yang

h. 27 mungkin bagi masalah Yahudi adalah pendepakan semua orang Yahudi dari Jerman. Gagasangagasan Hitler agak berbeda dari pemikiran-pemikiran para anti-Semit yang abai dan kasar yang hanya tahu bagaimana menyelenggarakan pogrom. Pada tanggal 6 April di Munich, Hitler menyatakan lagi bahwa Nazi harus memusatkan upayanya pada pengusiran sepenuhnya kaum Yahudi dari Jerman daripada menanamkan suasana pogrom terhadap masyarakat Yahudi. Lebih lagi, ia berpendapat bahwa segala cara demi tujuan ini dapat dibenarkan bahkan jika kita harus bekerjasama dengan Iblis, sebuah rujukan kepada kaum Zionis. Pada tanggal 29 April, Hitler menyimpulkan Kita akan terus berjuang hingga orang Yahudi terakhir dikeluarkan dari Reich Jerman. Dalam surat tanggal 16 September 1919-nya yang terkenal, Hitler menulis: Anti-Semitisme, yang murni berdasarkan pada emosi, akan selalu menjelma berbentuk pogrom. Akan tetapi, suatu anti-Semitisme rasional harus mengarah ke perjuangan resmi yang terencana baik untuk melawan dan melenyapkan hak-hak khusus kaum Yahudi yang mereka, tidak seperti orang asing lainnya yang hidup di tengah-tengah kita, miliki. Tujuan gerakan harus sematamata mengenyahkan semua orang Yahudi. Pengusiran kaum Yahudi dari Jerman yang dianjurkan Hitler juga didukung oleh Alfred Rosenberg, ideolog Nazi terkemuka. Rosenberg menjadi penyeru utama bagi persekongkolan dengan para Zionis guna mencapai tujuan-tujuan Nazi. Dalam buku Die Spur des Juden im Wandel der Zeiten (Jejak Kaum Yahudi Sepanjang Masa) yang ditulis tahun 1919 dan diterbitkan tahun 1920, Rosenberg menyimpulkan Zionisme harus didukung sepenuh hati untuk mendorong sejumlah besar orang Yahudi Jerman pergi ke Palestina atau tujuan lainnya. Sebagaimana dijelaskan Nicosia, pendapat Rosenberg bahwa gerakan Zionis dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemisahan kaum Yahudi di Jerman secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maupun pemindahan mereka, pada akhirnya diwujudkan menjadi kebijakan oleh rejim Hitler. Tahun 1933 gerakan Nazi, yang diilhami oleh rasialisme dan anti-Semitisme Jerman, meraih kekuasaan dengan memanfaatkan faktor-faktor seperti depresi ekonomi yang berawal di tahun 1929, kelemahan Republik Weimar, dan penderitaan sosial dan politik rakyat Jerman. Kemenangan Nazi menggembirakan kaum Zionis tidak kurang daripada seakan mereka sendiri yang meraih kekuasaan.

Tahun-tahun Awal Nazi dan Zionis


Ketika Nazi meraih kekuasaan, kaum Yahudi Jerman membentuk 0,9 persen populasi Jerman. Walau demikian, kekuatan ekonomi mereka cukup besar. Kebanyakan kaum Yahudi bertaraf hidup tinggi; 60 persen mereka adalah pengusaha atau pekerja profesional. Walau sedikit jumlahnya, mereka minoritas terpenting di Jerman. Memurnikan ras bangsa Jerman dengan mengenyahkan kaum Yahudi adalah salah satu tujuan utama Nazi. Menjaga ras tetap murni juga mensyaratkan bahwa kaum Yahudi dikucilkan sambil didesak keluar dari Jerman. Itulah juga impian para Zionis, dan mengapa, di hari-hari saat gerakan Nazi hampir merebut kekuasaan, hubungan-hubungan menarik berkembang di antara kedua pihak. Salah satu hubungan terpenting tumbuh antara Kurt Tuchler, seorang anggota pengurus ZVfD, dan Baron Leopold Itz Edler von Mildenstein dari SS.

h. 28 Tuchler membujuk Mildenstein agar menulis sebuah artikel pro-Zionis untuk penerbitan Nazi. Sang baron setuju, dengan syarat bahwa ia berkunjung ke Palestina terlebih dahulu, dan dua bulan setelah Hitler berkuasa, kedua orang beserta istri-istri mereka pergi ke Palestina. Von Mildenstein tinggal di sana selama enam bulan sebelum kembali untuk menulis artikelnya. Ada kontak-kontak resmi antara kaum Zionis dan Nazi sejak awal pemerintahan Nazi. Di bulan Maret 1933, Hermann Gring mengumpulkan para pemimpin organisasi-organisasi Yahudi utama. Salah satu bukti terpenting pandangan pihak Zionis tentang Nazi pada saat itu adalah sepucuk memorandum yang dikirimkan kepada Partai Nazi oleh ZVfD pada tanggal 21 Juni 1933. Dokumen ini, yang tak disiarkan sampai tahun 1962, adalah sebuah permintaan terbuka untuk bersekongkol dengan Partai Nazi. Beberapa potongan menarik dari memorandum panjang itu: ...Di atas landasan sebuah negara baru, yang telah menegakkan prinsip ras, kami inginkan demikian demi memasukkan masyarakat kami ke dalam keseluruhan bangunan negara, sehingga di pihak kami juga, di ruang yang ditetapkan bagi kami, dimungkinkan kegiatan yang bermanfaat bagi Tanah Air... Pengakuan kami atas nasionalisme Yahudi memberikan suatu hubungan jernih dan tulus dengan rakyat Jerman beserta kenyataan nasional dan rasialnya ...kami juga menentang perkawinan campuran dan mendukung pengawasan kemurnian kelompok Yahudi... Jadi, orang Yahudi sadar diri yang digambarkan di sini, yang kami wakili, dapat menemukan tempat dalam bangunan negara Jerman...Kami percaya akan kemungkinan sebuah hubungan setia yang tulus antara orang Yahudi yang sadar-kelompok dan negara Jerman... Demi tujuan-tujuan praktisnya, Zionisme berharap mampu menciptakan kerjasama bahkan dengan suatu pemerintahan yang pada dasarnya memusuhi kaum Yahudi... Mengenai memorandum ini, Brenner menulis: Dokumen ini, sebuah pengkhianatan terhadap kaum Yahudi Jerman, ditulis dalam kata-kata kuno Zionis yang baku...Di dalamnya, kaum Zionis Jerman menawarkan kerjasama terukur antara Zionisme dan Nazisme, disucikan oleh tujuan mendirikan negara Yahudi: Kami tak akan mengobarkan perang terhadapmu (Nazi), melainkan hanya terhadap yang menentangmu (Yahudi non-Zionis) Rabbi Joachim Prinz, salah seorang pengarang memorandum itu, menjelaskan alasannya bertahun-tahun kemudian. ...tak satu pun negara di dunia yang mencoba memecahkan masalah Yahudi lebih bersungguh-sungguh daripada Jerman. Pemecahan masalah Yahudi? Itulah impian Zionis kami! Kami tak pernah mengingkari adanya masalah Yahudi! Pemisahan masyarakat? Itulah himbauan kami!... Sebagaimana ditunjukkan Prinz, yang utama dari kesepakatan Zionis dan Nazi adalah kesungguhan mereka tentang adanya masalah Yahudi. Kedua pihak menganggap keberadaan kaum Yahudi di Eropa suatu masalah dan berpikir bahwa hidup berdampingan antara kaum Yahudi dan non-Yahudi suatu kemustahilan. Sebaliknya, para Yahudi pembaur tak sedikit pun mengakui bahwa ada masalah Yahudi. Bagi para Zionis, inilah pengkhianatan.

h. 29 Karena itu, mereka berusaha mengakhiri perseteruan lewat kekerasan, dan dengan kekuatan membujuk kaum Yahudi yang telah kehilangan kesadaran rasialnya. Orang Yahudi pembaur di Jerman diserang dengan sengit dalam Jdische Rundschau, buletin mingguan ZVfD. Penyuntingnya, Robert Weltsch, menulis di dalam tajuk rencananya: Di masa-masa genting sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi telah menghadapi persoalan akibat kesalahannya sendiri. Doa terpenting kita berbunyi: Kami diusir dari negeri kami karena dosa-dosa kami ...kaum Yahudi memikul kesalahan besar karena gagal memenuhi seruan Theodor Herzl ... karena kaum Yahudi tak bangga menunjukkan keyahudiannya, karena mereka ingin menghindari masalah Yahudi, mereka harus turut dipersalahkan atas kemunduran kaum Yahudi. Kedudukan Zionis telah terang: para Yahudi pembaur telah berdosa dengan mengabaikan ajakan Zionis, dengan menolak kesadaran rasialnya sendiri; mereka harus mendapat balasan atasnya lewat penindasan oleh sekutu-sekutu kaum Zionis, yakni kaum Nazi. Artikel-artikel yang muncul dalam Jdische Rundschau menyerang para Yahudi pembaur dan pada saat yang sama memuji Nazisme. Di bulan April 1933, Kurt Blumenfeld, sekretaris jendral ZVfD, menulis: Kita yang hidup di negara ini sebagai ras asing harus mutlak menghargai kesadaran dan kepentingan rasial bangsa Jerman. Joachim Prinz, seorang rabbi Zionis, menjelaskan bahwa kaum Zionis dapat bersepakat dengan kaum Nazi, yang rasis seperti mereka: Suatu negara yang dibangun di atas prinsip kemurnian bangsa dan ras hanya dapat menghargai orang-orang Yahudi yang memandang diri dengan cara yang sama . Setelah Nazi berkuasa, mereka memberlakukan undang-undang tertentu yang membatasi hakhak sosial kaum Yahudi. Malah, kaum Nazi berpikir mereka telah menolong kaum Yahudi dengan menerbitkan undang-undang yang menentang pembauran. Rundschau mengeluarkan sebuah pernyataan dari AI Berndt, kepala persatuan pers Nazi, yang mengabarkan kepada dunia, yang lebih cenderung yakin daripada terkejut, bahwa undangundang ini: ... bermanfaat sekaligus bersifat memperbaiki bagi Yudaisme. Dengan memberikan kaum minoritas Yahudi suatu kesempatan mengurus hidupnya sendiri dan menjamin dukungan pemerintah atas keberadaan yang merdeka ini, Jerman sedang membantu Yudaisme memperkuat watak kebangsaannya dan memberikan sumbangan ke arah peningkatan hubungan di antara kedua bangsa. Persekutuan Nazi-Zionis didasarkan hanya pada pertimbangan-pertimbangan semacam itu. Hubungan antara kaum Nazi dan Zionis, yang awalnya sebagai sebuah pameran niat baik, telah berubah menjadi persekongkolan yang paling terkendali dan nyata. Di sini, pembaca mungkin berpikir bahwa para Zionis mengawali persekongkolan ini karena kurang berhati-hati dan tak mampu memperkirakan betapa fanatik jadinya sikap anti-Yahudi kaum Nazi. Sesungguhnya, mereka yang berharap mampu menyembunyikan persekutuan NaziZionis ini berupaya meremehkannya menggunakan alur pemikiran itu. Meski demikian, kenyataannya berbeda. Para Zionis sangat sadar akan anti-Semitismenya Nazi; malah, mereka ingin sifat itu bertambah. Setiap

h. 30 undang-undang yang diterbitkan untuk merugikan kaum Yahudi Jerman kian menyenangkan para Zionis. Brenner menulis: Semakin keras Nazi menekan kaum Yahudi, semakin yakin pihak Zionis bahwa sebuah kesepakatan dengan Nazi adalah mungkin. Lagi pula, mereka beralasan, semakin Nazi mengucilkan Yahudi Jerman dari setiap segi kehidupan di Jerman, semakin pihak Nazi membutuhkan Zionisme untuk membantu mengenyahkan kaum Yahudi.

Meminta Yahudi Jerman Memilih Hitler


Sejauh ini, telah berkali-kali disebutkan bahwa ada perbedaan menyolok antara orang Yahudi pembaur dan Zionis, sebab Zionis menerima Nazi sebagai sekutu, sementara Yahudi pembaur membenci Nazi. Perbedaan kebijakan antara ZVfD dan CV terhadap kaum Nazi itu menyolok. Perpecahan antara para Zionis dan Yahudi pembaur ini terjadi di negara-negara berpenguasa ekstrim kanan lainnya. Kita akan membahas masalah ini lebih rinci nanti. Bagaimanapun, saat ini kita dapat menyatakan sebagai sebuah kaidah umum bahwa kaum Zionis berhubungan baik dengan kaum ekstrim kanan dan unsur-unsur fasis, sementara kaum Yahudi pembaur menentang mereka. Namun, ada beberapa perkecualian tentang kaidah ini. Sebagian Yahudi pembaur, khususnya di kalangan borjuis yang takut pada ekstrim kiri, berusaha bersekongkol dengan ekstrim kanan. VNJ (Persatuan Nasional Yahudi Jerman), organisasi Yahudi pembaur terpenting setelah CV, merupakan contoh yang baik. Di tahun 1934, VNJ memulai kampanye mendukung Hitler. Harian New York Times mencatat hal ini dengan melaporkan pada 18 Agustus 1934 bahwa VNJ menghimbau setiap orang Yahudi yang merasa diri orang Jerman agar memilih Hitler.

Mengalahkan Boikot Anti-Nazi dengan Bantuan Zionis


Tak usah diragukan, VNJ sebuah pengecualian. Tak dapat dipastikan apakah simpati VNJ pada Nazi benar-benar suara kebanyakan Yahudi pembaur. Rejim Hitler menyebabkan kekhawatiran yang sangat bagi Yahudi pembaur yang tinggal di negara-negara Barat lain. Bertolak belakang dengan upaya persekongkolan para Zionis, kaum Yahudi pembaur mencari cara-cara melawan Nazi. Mereka ingin bertindak efektif, bersama dengan kelompok-kelompok anti-fasis lainnya, antara lain golongan liberal, sosial demokrat, dan komunis, melawan rejim Hitler. Boikot anti-Nazi bermula ketika Jewish War Veterans (Veteran Perang Yahudi), sebuah organisasi Yahudi pembaur di New York, mengumumkan boikot perdagangan pada tanggal 19 Maret 1933, dan menyelenggarakan pawai protes besar-besaran empat hari kemudian. Gerakan itu kian membesar, dan pada akhirnya menamakan diri Non-Sectarian Anti-Nazi League (Liga AntiNazi Non-Sektarian). Liga ini menerima dukungan dari golongan kiri, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Amerika agar berhenti membeli barang-barang buatan Jerman. Gerakan boikot menyebar ke Eropa, dan cukup efektif. Ini bukan berita baik bagi ekonomi Jerman yang baru mulai pulih, di bawah kepemimpinan Hitler, dari depresi yang berawal di tahun 1929. Karena boikot yang dilakukan para Yahudi pembaur, penjualan barang-barang Jerman anjlok tajam di dua pasar utama: Eropa dan Amerika Serikat. Secara serentak, para penyelamat yang kuat muncul membantu Hitler mengatasi ancaman genting bagi ekonomi Jerman ini. Siapakah mereka? Para Zionis, tentu saja. Ketika orang-orang

h. 31 Yahudi pembaur bergantian berunjuk rasa menggalakkan suatu boikot yang menghancurkan ekonomi Jerman, para Zionis mengulurkan tangan membantu sekutu ganjil mereka itu. Nyatanya, kaum Zionis telah memulai upaya-upaya pro-Nazi mereka melawan boikot itu bahkan sebelum unjuk rasa pertama, menentangnya bahkan sejak tahap perencanaan. Tokoh Yahudi utama penentang boikot di Amerika adalah Rabbi Stephen Wise, pemimpin terpenting gerakan Zionis di Amerika Serikat dan sahabat karib Presiden Franklin D. Roosevelt. Wise adalah pemimpin American Jewish Congress (Kongres Yahudi Amerika), sebuah cabang WZO. Tentang upaya anti-boikotnya ini, Wise menulis kepada seorang teman Zionisnya: Engkau tak bisa membayangkan apa yang sedang kulakukan untuk melawan massa (pendukung boikot). Mereka menginginkan aksi jalanan besar-besaran. WZO juga mencoba sejak awal mencegah boikot. Ketika upayanya gagal, WZO berusaha meringankan masalah-masalah keuangan Jerman. Brenner menulis:[WZO] tak hanya membeli barang-barang Jerman; namun, juga menjualkannya, dan bahkan mencari pelanggan-pelanggan baru bagi Hitler dan para industrialis pendukungnya. Alasan di balik perilaku itu adalah karena WZO memandang kemenangan Hitler sama seperti sejawat Jermannya, ZVfD. Hitler itu ibarat garu perontok untuk mengusir para Yahudi yang bersikeras tidak pulang ke tanah airnya. Seorang yang baru saja menjadi penganut Zionisme, kemudian penulis biografi tersohor dunia, Emil Ludwig, mengungkapkan sikap umum gerakan Zionis: Hitler akan dilupakan dalam beberapa tahun, namun ia akan mendapat sebuah tugu peringatan yang megah di Palestina... Ribuan orang yang tampak sudah meninggalkan Yudaisme telah dibuat tobat berlipat ganda oleh Hitler, dan karena itu, saya amat berterima kasih kepadanya. Seorang Zionis terkenal lainnya, Chaim Nachman Bialik, berkata:Hitlerisme mungkin telah menyelamatkan kaum Yahudi Jerman yang telah membaur menuju kepunahan... begitu pun saya, seperti Hitler, percaya pada gagasan tentang kekuatan darah bangsa. Seorang Yahudi Italia anggota WZO, Enzo Sereni, berbicara senada: Anti-Semitismenya Hitler mungkin akan membawa ke arah penyelamatan kaum Yahudi. Pada kongres WZO di Luceme, Swis, Sereni menyatakan: Kita tak mesti malu atas kenyataan bahwa kita memanfaatkan penganiayaan kaum Yahudi di Jerman demi pembangunan Palestina. Itulah bagaimana orang-orang bijak dan para pemimpin terdahulu mengajari kita ... untuk menggunakan petaka atas kaum Yahudi di Diaspora bagi pembangunan [Palestina]. Pihak Zionis amatlah gembira dengan pemecahan yang ditawarkan Nazisme sehingga merencanakan melakukannya juga di negara-negara lain, demi merayu kaum Yahudi pembaur bahwa kebijakan-kebijakan mereka telah gagal, dan bahwa satu-satunya harapan bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Palestina. Seorang rabbi Amerika, Abraham Jacobson, memprotes pemikiran gila ini di tahun 1936: Berapa kali kita telah mendengar tentang harapan sesat yang dengan putus asa diutarakan terhadap ketaksukaan kaum Yahudi Amerika pada Zionisme, agar seorang Hitler diturunkan kepada mereka? Lalu, mereka baru akan menyadari perlunya Palestina!. Kedekatan yang telah diuraikan di atas, baik secara terbuka maupun terselubung, antara kaum Nazi dan Zionis, membuat kerjasama ekonomi mereka bukan hanya mungkin, melainkan wajar. Kesepakatan ekonomi terpenting antara kaum Nazi dan Zionis adalah sebuah perjanjian, disebut

h. 32 Haavara (pemindahan) dalam bahasa Ibrani, yang mengizinkan Yahudi Jerman mengapalkan tiga juta Reichmark harta kaum Yahudi ke Paletina berbentuk barang-barang ekspor Jerman. (Brenner, h. 64) Perjanjian itu memungkinkan Jerman memasarkan barangnya kepada kaum Yahudi di Palestina. Belakangan, kesepakatan ini diperluas, dan akhirnya, kaum Zionis mengekspor jeruk ke Belgia dan Belanda menggunakan kapal-kapal Jerman. Pada tahun 1936, WZO menjual barangbarang Jerman di Inggris. Para Zionis bahkan bertindak lebih jauh untuk Nazi. Mereka memasok sumber-sumber valas (valuta asing) kepada para produsen senjata Jerman. Albert Norden dalam bukunya So Warden Kriege Gemacht (Bagaimana Perang Dimulai), melukiskan perjanjian dagang NaziZionis lainnya. Norden menulis bahwa bahan-bahan baku strategis bagi negara Jerman dipasok melalui sebuah perusahaan bernama Internatioal Nickel Trust (INT), yang pemiliknya para Zionis. Perusahaan itu menguasai 85 persen nikel yang dihasilkan negara-negara kapitalis. Setahun setelah Hitler berkuasa, sebuah perjanjian ditandatangani antara INT dan perusahaan amanat (trust) Jerman IG Farben. Dengan kesepakatan itu, Farben dibolehkan mengimpor lebih dari setengah kebutuhan nikel Jerman dengan 50 persen potongan valasnya.

Para Zionis Penyokong Dana Hitler


Para pemodal Zionis terkemuka di negara-negara Barat memberikan dukungan keuangan pada Hitler. Bantuan keuangan yang diperantarai WZO ini telah membantu Nazi Jerman bertambah kuat. Seorang peneliti Amerika, Eustace Mullins, memberikan sejumlah keterangan berharga tentang kaitan antara Hitler dan para Yahudi penyokong dananya sebelum dan selama perang dalam bukunya The World Order: Our Secret Rulers (Tatanan Dunia: Para Penguasa Rahasia Kita). Mullins menulis: Untuk memikat Hitler memasuki Perang Dunia II, penting memberinya jaminan pasokan yang cukup akan kebutuhan-kebutuhan seperti roda kelahar (bearings) dan minyak. [Seorang Yahudi] Jacob Wallenber dari Swedish Enskilda Bank, yang mengendalikan pabrik raksasa roda kelahar SKF, memasok barang itu kepada Nazi selama perang. Mullins juga menerangkan bahwa Standard Oil, yang dikendalikan oleh keluarga Rockefeller, mengisi bahan bakar kapal-kapal perang dan selam Nazi di stasiun-stasiun pengisian di Spanyol dan Amerika Latin. Beberapa saat sebelum pecahnya Perang Dunia II, Standard Oil mengapalkan 500 ton timbal etil kepada Kementerian Udara Reich melalui IG Farben, yang pemilik sebenarnya adalah dinasti Yahudi Warburg, dengan pembayaran yang dijamin oleh surat Brown Bros Harriman bertanggal 21 September 1938. Mullins menjelaskan lebih jauh kedekatan rahasia Hitler. Misalnya, tokoh lain yang turut berperan penting mendanai Hitler adalah Clarence Dillon (1882-1979). Dillon, anak Samuel dan Bertha Lapowski (atau Lapowitz), adalah tangan kanan pemodal Yahudi terkenal Bernard Baruch. Perusahaan Dillon berperan penting mempersenjatai Hitler menjelang Perang Dunia II. Mullins juga mengemukakan bahwa penyokong Hitler lainnya adalah Sir Henry Deterding dari Royal Dutch Shell, yang didirikan oleh keluarga Yahudi tekenal, Samuel. Pada Mei 1933, Alfred Rosenberg adalah tamu di tanah rumah tinggal Deterding yang luas, satu mil dari Puri Windsor, Inggris.

h. 33 Setelah pertemuan rahasia itu, Deterding dan para pendukungnya, yaitu keluarga Samuel, memberikan Hitler 30 juta pound. Fakta-fakta ini menunjukkan kaitan erat antara kaum Nazi dan Yahudi, atau lebih tepatnya, para pemodal Yahudi penganut Zionisme. Para pemodal Yahudi ini membiayai Jerman di bawah Hitler. Pendeknya, Nazi Jerman memperoleh dukungan keuangan yang penting dari para pemodal Zionis lewat bantuan WZO dan cabangnya di Jerman, ZVfD. Hubungan antara kaum Nazi dan Zionis berperan penting dalam mengatasi boikot anti-Nazi dan meloloskan Jerman memasuki perang sebagai raksasa industri. Ketika Pemerintah Inggris memutuskan mendukung boikot anti-Nazi, Blackshirt, suratkabar terbitan British Union of Fascist (Persatuan Fasis Inggris) pimpinan Sir Oswald Mosley, menulis: Dapatkah Anda percayai itu! Kita telah memotong hidung kita untuk menyakiti muka sendiri dan menolak berdagang dengan Jerman demi membela kaum miskin Yahudi. Sementara itu, kaum Yahudi sendiri, di negaranya sendiri, terus membuat perjanjian dengan Jerman yang menguntungkan untuk dirinya. Kaum fasis tak bisa menghadapi propaganda jahat untuk menghancurkan hubungan akrab dengan Jerman lebih baik daripada dengan memanfaatkan fakta ini. Kesepakatan yang paling menguntungkan bagi Nazi Jerman adalah perjanjian pemindahan, yang ditandatangani untuk memukimkan Yahudi Jerman di Palestina. Perjanjian itu mungkin dianggap sebagai hasil terpenting persekutuan antara kaum Zionis dan Nazi.

Kesepakatan Nazi-Zionis untuk Meningkatkan Perpindahan Yahudi Jerman


Keuntungan utama yang diharapkan Zionis akan diperoleh dari Nazi adalah dorongan Nazi bagi perpindahan Yahudi Jerman ke Palestina. Di pihaknya, Nazi berkeinginan membersihkan negerinya dari minoritas Yahudi sesegera mungkin. Jadi, tak lama setelah Hitler berkuasa, suatu kesepakatan ditandatangani yang membolehkan kaum Yahudi Jerman berpindah ke Palestina. Perjanjian ini, dibuat antara Anglo-Palestine Bank (yang terkait dengan WZO) dan Kementerian Keuangan Jerman, memungkinkan, secara tak langsung, pemindahan orang dan harta Yahudi ke Palestina, serta menciptakan suatu pasar bagi barang-barang industri Jerman di sana. Seorang cendekiawan dan politikus Irlandia, Conor Cuise OBrien, menjelaskan rincian perjanjian sebagai berikut: Pada tanggal 25 Agustus 1933, Eliezer Siegfried Hoofien (18811957), manajer umum Anglo-Palestine Bank (kini Bank Leumi LYisrael), bersepakat dengan Kementerian Ekonomi Jerman untuk menggunakan harta benda kaum Yahudi (yang jika tidak, akan dibekukan) untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan di Palestina. Pengaturan ini menjadi dasar rencana resmi pemindahan kaum Yahudi. Pada tahun 1933, Anglo-Palestine Bank mendirikan perusahaan Trust and Transfer Office Haavara Ltd di Tel Aviv. Sebuah lembaga mitra juga didirikan di Berlin dengan bantuan dua bankir utama

h. 34 Yahudi, Max Warburg dari MM Warburg di Hamburg dan Dr. Siegmund Wassermann dari AE Wassermann di Berlin. Perusahaan di Berlin, dikenal dengan Palstina Treuhandstelle zur Beratung Deutscher Juden (Paltreu), mengambil tanggung jawab merundingkan dengan penguasa Jerman penyelesaian tagihan-tagihan dan kontrak-kontrak eksportir Jerman dengan Yahudi Jerman yang ingin pindah ke Palestina... Sebagian besar dari 50 ribu orang Yahudi yang meninggalkan Jerman antara tahun 1933 dan 1939 menggunakan jasa Haavara. Lewat kesepakatan Haavara atau pemindahan ini, kaum Zionis mencapai dua tujuan utamanya: memungkinkan perpindahan kaum Yahudi ke Palestina, dan memulihkan ekonomi Nazi, yang tertinggal akibat boikot. Barang-barang hasil industri Jerman yang dibeli oleh para Yahudi yang berpindah, lalu dijual di Palestina, dan keuntungan dari transaksi itu menggantikan modal yang harus ditinggalkan kaum Yahudi di Jerman. WZO tak hanya telah meruntuhkan efektifitas boikot kaum Yahudi, namun juga menjadi penyalur terbesar pabrik-pabrik Nazi di Timur Tengah; bahkan memajukan perdagangan Nazi di Eropa Utara. Melalui Haavara Trust & Transfer Office Ltd, WZO mendapatkan semua hak penjualan atas barang-barang Jerman ke Palestina. Sejumlah besar barang-barang Jerman akan dibeli dengan uang yang diperoleh dari para pemodal Yahudi-Jerman. Jadi, WZO juga membuka jalan bagi Nazi ke peluang pasar yang besar di Timur Tengah. Diperkirakan oleh para cendekiawan pro-Zionis, seperti Conor Cruise O Brien dan Edwin Black (orang Yahudi pengarang The Transfer Agrement atau Perjanjian Pemindahan), setara lebih dari 100 juta dollar (saat itu nilainya jauh lebih besar daripada hari ini) mengalir dari Jerman ke Palestina di bawah Haavara dan perjanjianperjanjian terkait antara 1933 dan 1941. Kesepakatan antara para pemimpin Zionis dan kaum Nazi, khususnya perjanjian Haavara, telah dijelaskan dalam sejumlah buku; Lenni Brenner menceritakan tentang perjanjian ini dalam Zionism in the Age of Dictators. Kesepakatan pemindahan ini juga disebut dalam sebuah buku yang diterbitkan di Israel oleh Moshe Shonfeld: The Holocaust Victims Accuse: Document and Testimony on Jewish Criminal (Korban Holokaus Menuduh: Dokumen dan Kesaksian atas Penjahat Yahudi), maupun buku Francis Nicosia yang dikutip di mukaThe Third Reich and the Palestine Question, serta buku-buku lainnya. Arsip rahasia pada Wilhelmstrasse (kementerian luar negeri Jerman) mengungkapkan bahwa sebuah perjanjian telah tercapai antara pemerintahan Hitler dan agen-agen Zionis untuk memudahkan pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina. Kutipan berikut, dari dokumen kementerian luar negeri Jerman bertanggal 22 Juni 1937, menyatakan bahwa sebuah negara Yahudi mungkin dihasilkan dari kebijakan-kebijakan Nazi: Kedudukan Jerman ini, yang diarahkan sepenuhnya oleh pertimbangan-pertimbangan dalam negeri, dan praktis meningkatkan penyatuan kaum Yahudi di Palestina, serta karena itu memudahkan pembangunan sebuah negara Yahudi, dapat mengantar orang kepada kesimpulan bahwa Jerman menyukai berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina. Dokumen yang sama menegaskan bahwa pemindahan kaum Yahudi diatur oleh Hitler, dan bahwa sang diktator Jerman berkepentingan khusus dalam masalah itu.

h. 35 Kini, fakta-fakta ini masih mengejutkan banyak orang, sebab sejarah resmi telah berupaya amat keras menyembunyikan persekutuan itu. Kaum Zionis dan Nazi sama-sama ingin merahasiakan persekutuan mereka, bahkan ketika persekongkolan itu sedang puncak-puncaknya, dan akibatnya secara umum hubungan itu berhasil disembunyikan. Walau demikian, kedua pihak tak dapat mencegah menyebarnya desas-desus. Dalam bukunya The Lobby: Jewish Political Power in US Foreign Policy (Lobi: Kekuatan Politik Yahudi dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat), penulis Amerika Edward Tivnan menunjukkan bahwa di akhir tahun 1930-an persekutuan rahasia antara kaum Zionis dan Nazi telah menimbulkan desas-desus yang membangkitkan keresahan cukup besar. Perjanjian pemindahan itu terus berlaku dari 1933 hingga pecah perang di tahun 1939. Pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina berakhir pada tahun 1939 bukan karena ketakcocokan kedua pihak, namun karena Jerman sedang berperang dengan Inggris, pemegang mandat di Palestina. Selama kurun 1933-1939, hampir 60 ribu orang Yahudi Jerman dipindahkan ke Palestina, dalam keadaan-keadaan yang luar biasa. Di bulan Oktober 1933, Hamburg-South American Shipping Company (sebuah perusahaan pelayaran) memulai layanan langsung ke Haifa, menyediakan di kapal-kapalnya kosher (makanan khas Yahudi) murni, di bawah pengawasan kerabbian Hamburg. Perjalanan kapal Tel Aviv, yang disebut di awal bab ini, mencakup penghidangan kosher. Sejarawan Amerika Max Weber menyebut Haavara dalam artikelnya Zionism and the Third Reich yang telah dikutip di muka. Weber menyinggung sebuah laporan yang diterbitkan kementerian dalam negeri Jerman di bulan Desember 1937 yang meringkaskan hasil-hasil Haavara: Tak diragukan lagi bahwa Haavara telah memberi sumbangan terpenting pada pembangunan Palestina yang amat pesat sejak 1933. Kesepakatan itu tak hanya memberikan sumber dana yang terbesar (dari Jerman!), namun juga kelompok pemukim paling terpelajar, dan pada akhirnya membawa ke negara itu mesin-mesin dan hasil-hasil industri yang penting bagi pembangunan. Seperti ditegaskan Weber, satu-satunya hal yang mengakhiri perjanjian itu adalah Perang Dunia II. Kalau tidak, tak ada keraguan bahwa proses pemindahan Yahudi yang digalakkan oleh kerjasama Nazi-Zionis akan terus berlanjut, dan seiring dengan waktu, kian cepat. Hal ini dibuktikan oleh naiknya jumlah Yahudi Jerman yang berpindah ke Palestina di tahun 1938 dan 1939. Disepakati bahwa 10 ribu Yahudi Jerman akan dipindahkan ke Palestina di bulan Oktober 1939, namun pesanan ini harus dibatalkan karena perang mulai di bulan September. Perjanjian Haavara berlanjut sampai tahun 1941. Secara keseluruhan, Yahudi Jerman yang dipindahkan ke Palestina sebagai hasil kerjasama Nazi-Zionis membentuk 15 persen penduduk Yahudi di Palestina saat itu. Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, hasil-hasil ekonomis Haavara sangat besar. Edwin Black melaporkan dalam buku The Transfer Agreement, yang diabdikan khusus bagi Haavara, bahwa kesepakatan itu telah menyumbang banyak bagi pendirian negara Israel dengan memicu ledakan ekonomi di Palestina.

h. 36

Undang-undang Nuremberg dan Juden Raus! Auf Nach Palstina


Sambil meningkatkan perpindahan Yahudi Jerman, kaum Nazi dan Zionis juga meluncurkan program-program untuk meningkatkan kesadaran rasial Yahudi Jerman, lagi-lagi dengan persetujuan kaum Zionis. Dalam buku Zionism in the Age of Dictators, Brenner kerap menegaskan betapa gembiranya pihak Zionis dengan kebijakan rasis Nazi. Salah satu contohnya adalah Undangundang Nuremberg tahun 1935 yang melarang perkawinan antara orang Yahudi dan orang Jerman. Undang-undang Nuremberg, yang diumumkan bulan September 1935, ditujukan untuk mengucilkan kaum Yahudi dari kehidupan sosial bangsa Jerman. Dengan aturan baru yang disebut Peraturan bagi Perlindungan Darah dan Kehormatan Jerman, kaum Yahudi dicabut kewarganegaraannya dan menjadi sampah masyarakat. Kaum Yahudi dilarang menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di sekolah, dilarang menulis untuk majalah, dan dilarang bekerja di radio, panggung pertunjukan, maupun film. Perkawinan, dan semua perikatan seksual antara orang Yahudi dan orang Jerman dilarang. Kaum Yahudi tidak diizinkan mengibarkan bendera Jerman. Semua tindakan ini lahir dari konsep bahwa kaum Yahudi tak akan pernah menjadi orang Jerman. Inilah kepercayaan yang sama-sama dipegang oleh Nazi dan Zionis. Brenner mengutip satu ulasan menarik oleh kepala penyunting Kantor Berita Jerman, Alfred Berndt, yang mengenang bahwa, hanya dua pekan sebelumnya, semua pembicara pada Kongres Zionis Dunia di Lucerne telah mengulang lagi bahwa kaum Yahudi di seluruh dunia sudah benar dipandang sebagai satu masyarakat terpisah sendiri, di mana pun mereka berada. Jadi, ia menjelaskan, semua yang telah dilakukan Hitler adalah untuk memenuhi permintaan Kongres Zionis Internasional dengan membuat kaum Yahudi yang tinggal di Jerman bangsa minoritas. Brenner juga mengatakan bahwa hanya dua jenis bendera yang diperbolehkan di wilayah kekuasaan Reich Ketiga, yaitu bendera swastika Nazi dan biru-putih Zionis. Narasumber Brenner tak lain adalah pemimpin Zionis Amerika Rabbi Stephen Wise: Bagaimana pun, tekad membersihkan tubuh bangsa Jerman dari unsur Yahudi, membawa Hitlerisme menemukan persaudaraannya dengan Zionisme, nasionalisme pembebasannya Yahudi. Karena itu, Zionisme menjadi satusatunya partai lain yang disahkan di Reich, bendera Zionis satu-satunya bendera lain yang diperbolehkan di tanah Nazi. Lenni Brenner menamai kebijakan Nazi itu filo-Zionisme (cinta Zionisme), dan menulis bahwa kesemua itu telah membantu Zionisme di segala segi. Jadi, Nazi menerapkan beragam undang-undang yang memungkinkan kaum Yahudi menghindari pembauran dan mempertahankan kesadaran rasialnya. Tahun 1936, Nazi menambahkan bumbu pulang ke Palestina baru dengan tindakan mensyaratkan para rabbi menggunakan bahasa Ibrani, bukan bahasa Jerman, dalam kotbah mereka mulai tanggal 6 Desember (hari Hannukah Yahudi) tahun itu, dan setelah itu menggalakkan upaya-upaya yang mensyaratkan kaum Yahudi menggunakan bahasa Ibrani untuk tujuan-tujuan keagamaan dan budaya. Ini bantuan yang cukup besar bagi para Zionis yang sedang berupaya mengumpulkan kaum Yahudi seluruh dunia di Palestina dan memaksa mereka berbahasa Ibrani. Upaya-upaya Nazi untuk membuat kaum Yahudi sadar rasial tak terbatas pada contoh di atas. Menurut Brenner, di musim

h. 37 semi 1934, Heinrich Himmler, kepala SS, mendapat sajian laporan tentang masalah Yahudi dari stafnya: Mayoritas luas kaum Yahudi Jerman masih menganggap diri bangsa Jerman dan bertekad tetap tinggal. Pemecahan-pemecahan tertentu atas masalah ini telah disarankan. Sebagaimana ditulis Brenner: ... cara mematahkan perlawanan mereka adalah menanamkan jatidiri Yahudi tersendiri di antara mereka dengan secara sistematis memajukan sekolah-sekolah Yahudi, regu atletik, bahasa Ibrani, kesenian dan musik Yahudi, dll. Semua ini menunjukkan bahwa Nazi bersimpati pada tujuan Zionis untuk menciptakan sebuah bangsa. (Umum disadari bahwa kegiatan-kegiatan budaya, seperti pendidikan, seni, musik, dan olahraga berperan penting dalam pembentukan kesadaran ras di benak masyarakat). Kaum Nazi, yang mengabdikan diri untuk menciptakan suatu bangsa yang sadar ras dan murni ras, bekerja baik bersama rekan-rekan Zionis mereka. Menurut Brenner, dalam sebuah unjuk rasa menentang Yahudi pada malam 17 Oktober 1938 di Hannover, semboyan Juden Raus! Auf Nach Palstina (Minggatlah Yahudi! Enyahlah ke Palestina) kali pertama muncul, dan segera menyebar ke seluruh negeri. Semboyan itu tepat mengungkapkan tujuan bersama kaum Nazi dan Zionis mengeluarkan semua orang Yahudi dari Jerman dan memindahkannya ke Palestina.

Perselingkuhan Zionis dengan SS


SS (Schutz-Staffel, Pasukan Pertahanan), sebuah badan Partai Nazi yang mengabdi pada Hitler, sering dianggap sebagai kaki tangan Nazi yang paling radikal, fanatik, dan kejam. SS disusun oleh Heinrich Himmler atas perintah Adolf Hitler, dan juga berfungsi dalam beberapa hal sebagai kumpulan pemikir Nazi. Buku-buku dan film-film yang berhubungan dengan SS biasanya menggambarkan pasukan SS sedang bertindak keras pada kaum Yahudi, dan menugaskan mereka tanggung jawab amat besar untuk genosida Yahudi. Akan tetapi, kenyataannya agak berbeda. Lenni Brenner melukiskan hubungan antara SS dan kaum Zionis sebagai berikut: Di tahun 1934, SS telah menjadi unsur yang paling pro-Zionis dalam partai Nazi. Para Nazi lain bahkan menyebut mereka lembut pada orang Yahudi. Baron von Mildenstein telah pulang dari kunjungan enam bulannya ke Palestina sebagai seorang simpatisan Zionis yang bersemangat. Kini, sebagai kepala urusan Yahudi dari Dinas Keamanan SS, ia mulai mempelajari bahasa Ibrani dan mengumpulkan naskah-naskah bahasa Ibrani; ketika Tuchler mengunjungi kantornya di tahun 1934, rekannya itu disambut dengan untaian lagu rakyat kaum Yahudi yang akrab. Di dinding terpampang peta-peta yang menunjukkan kekuatan Zionisme yang tumbuh pesat di negeri Jerman. Mildenstein tak hanya menulis artikel-artikel yang memuji Zionisme, namun juga membujuk Goebbles agar mencetak laporannya sebagai dua belas seri panjang dalam suratkabar Goebbles, Der Angriff (Serangan), sebuah terbitan utama propaganda Nazi. Laporan itu diturunkan bersambung dari 26 September sampai 9 Oktober 1934. Dalam tulisan bersambung itu, Mildenstein memuji upaya-upaya Zionis di Palestina. Kaum Zionis sedang menunjukkan bagaimana menyelesaikan masalah Yahudi. Menurut Mildenstein, tanah itu telah mengubah kaum Yahudi dalam satu dasawarsa. Orang-orang Yahudi baru akan

h. 38 membentuk sebuah masyarakat baru. Untuk mengenang temuan-temuan sang baron, Goebbels mencetak sebuah medali, di satu sisi bergambar swastika, dan di sisi lain bintang Daud. Di bulan Mei 1935, Reinhard Heydrich, saat itu kepala Dinas Keamanan SS, menulis sebuah artikel yang memuji Zionisme untuk Das Schwarze Korps, suratkabar resmi SS. Heydrich menganggap bahwasanya ada dua golongan orang Yahudi: Zionis dan pembaur. Para Zionis memiliki acuan rasial yang ketat, sama seperti Nazi. Menurut Heydrich, para Yahudi pembaur menghadirkan ancaman namun sepenuhnya masuk akal untuk bekerjasama dengan para Zionis. Heydrich menutup artikelnya dengan suatu pujian menggetarkan hati bagi rekan-rekan Yahudinya: Waktunya tak akan lama ketika Palestina akan kembali mampu menampung anak-anaknya yang telah hilang darinya selama lebih dari seribu tahun. Doa tulus kami beserta niat baik pemerintah kami akan bersama mereka.

Zionis Sebagai Agen SS: Senjata SS untuk Para Zionis


Setelah beberapa saat, pertalian erat berkembang antara SS dan organisasi bersenjata Zionis. Yang terpenting adalah Haganah, sayap militer Jewish Agency di Palestina, yang dikendalikan WZO. (Sebelum Israel berdiri, Haganah membentuk inti cikal-bakal angkatan bersenjata Israel. Beberapa pemimpin Israel, seperti Moshe Dayan dan Yitzhak Rabin, pernah bertugas di Haganah). Di tahun 1937, ada pertemuan rahasia antara Haganah dan SD (Sicherneitsdients), dinas keamanan SS. Pada tanggal 26 Februari tahun itu, Feivel Polkes, seorang agen Haganah, pergi ke Berlin. Orang yang ditugaskan oleh Nazi untuk berunding dengan Polkes adalah Adolf Eichmann. Eichmann telah menjadi anak didik von Mildenstein dan, seperti pembimbingnya, telah belajar bahasa Ibrani, membaca tulisan Herzl, dan menjadi spesialis Zionisme di SD. Pembicaraan Eichmann-Polkes direkam dalam sebuah laporan yang disiapkan oleh atasan Eichmann, Franz Six, yang ditemukan dalam arsip SS yang disita tentara Amerika di akhir Perang Dunia II. Arsip-arsip itu mengungkapkan bahwa Polkes menyatakan bahwa kaum Zionis dapat menemukan sumbersumber baru minyak bumi bagi Reich Jerman; sebagai balasannya, mereka meminta agar pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina jauh ditingkatkan. Six menyukai apa yang harus disampaikan Polkes, dan menyatakan bahwa sebuah persekutuan kerja dengan kaum Zionis akan menjadi kepentingan Nazi: Tekanan dapat dilakukan pada Perwakilan Yahudi Reich di Jerman dengan suatu cara sehingga orang-orang Yahudi yang pindah dari Jerman hanya pergi ke Palestina, tidak ke negaranegara lain. Tindakan-tindakan itu sepenuhnya menjadi kepentingan Jerman dan telah disiapkan lewat tindakan-tindakan Gestapo. Pada saat yang sama, rencana-rencana Polkes menciptakan suatu mayoritas Yahudi di Palestina akan dibantu lewat tindakan-tindakan itu. Kontak-kontak yang dibuat Polkes di Berlin ditindaklanjuti di tahun yang sama. Pada 2 Oktober 1937, kapal penumpang Romania tiba di Haifa dengan dua wartawan Jerman di atasnya. Para wartawan itu sebenarnya dua orang anggota kawakan dinas keamanan SS: Herbert Hagen dan Adolf Eichmann. Mereka bertemu dengan agen Jerman, Reichert, dan Feivel Polkes, yang membawa mereka mengunjungi sebuah kibbutz (lahan pertanian bersama yang dibangun kaum

h. 39 Zionis selama bermukim di Palestina). Eichmann terkesan dengan apa yang dilihatnya. Bertahuntahun kemudian, ketika berada di Argentina, Eichmann merekam kenang-kenangannya ke kaset: Saya sudah cukup melihat sehingga amat terkesan dengan cara para pemukim Yahudi membangun tanah mereka. Saya mengagumi keinginan kuat mereka untuk hidup, terlebih lagi karena saya sendiri seorang idealis. Di tahun-tahun berikutnya, saya sering mengatakan kepada orang-orang Yahudi dengan siapa saya berurusan bahwa, jika saja saya seorang Yahudi, saya akan menjadi seorang Zionis fanatik. Saya tak bisa membayangkan menjadi yang selain itu. Nyatanya, saya mungkin akan menjadi Zionis paling berapi-api yang dapat dibayangkan. Di pihaknya, Polkes membuat beberapa ulasan menarik selama pertemuannya dengan SS. Ia mengatakan Di kalangan nasionalis Yahudi, orang-orang sangat senang dengan kebijakan Jerman yang radikal, karena... di masa dekat, kaum Yahudi dapat bergantung pada keunggulan jumlah atas bangsa Arab di Palestina. Polkes juga kembali menawarkan jasa Haganah memata-matai untuk Nazi. Lebih jauh, seperti ditulis Brenner, Polkes menunjukkan itikad baik Zionis dengan memberikan dua potong informasi intelijen kepada Eichmann dan Hagen tentang kegiatan kaum komunis di Jerman dan hubungan kaum komunis dengan pertemuan Pan-Islamic World Congress (Kongres Dunia Persatuan Islam) pada saat itu di Jerman. Hubungan erat antara SS dan Zionis tanpa diragukan lagi disetujui di tingkat tertingginya, yakni, Fhrer sendiri. Di awal tahun 1938, Otto von Bolschwingh, seorang perantara antara kaum Nazi dan Zionis selama bertahun-tahun, membawa sebuah kabar gembira: Fhrer telah memutuskan bahwa seluruh penghalang yang merintangi perpindahan Yahudi ke Palestina akan dihilangkan. Sementara itu, Mufti Yerusalem, seorang musuh bebuyutan Zionis, yang sebelumnya telah melakukan pendekatan kepada Nazi, ditolak. Mufti itu telah membayangkan bahwa ia dapat membuat suatu persekutuan dengan kaum Nazi berdasarkan pada kesamaan anti-Semitisme mereka. Selagi ia mencoba mendekati kaum Nazi, kaum Nazi sendiri sedang sibuk mencari cara meningkatkan perpindahan orang Yahudi ke Palestina. Jadi, hubungan sang mufti dengan Nazi, yang dibesar-besarkan oleh Zionis setelah perang, sejatinya tidak penting. Mufti itu tidak mendapatkan apa-apa, saat itu atau pun kemudian, dari kerjasamanya baik dengan Roma maupun Berlin. Kaum Nazi bergerak begitu jauh mendukung Zionis sampai menyediakan senjata bagi militan Zionis untuk melawan orang-orang Palestina. Nicosia menunjukkan (dalam The Third Reich and The Palestine Question) bahwa SS memasok senjata kepada Haganah, sayap militer WZO di Palestina, untuk digunakan melawan orang Arab. Nicosia juga menulis bahwa SS dan Mossad leAliyah Bet mencapai kesepakatan dalam menyelenggarakan pemindahan kaum Yahudi secara menyelundup ke Palestina, melebihi batas yang ditetapkan Inggris. Dengan kata lain, batas jumlah perpindahan Yahudi (yang dikenakan karena Inggris takut pada kemarahan bangsa Arab) dilanggar melalui kerjasama antara SS dan Zionis.

h. 40

Kebijakan Penyaringan Yahudi Zionisme


Di halaman-halaman sebelum ini, kami telah menegaskan betapa gembiranya kaum Zionis dengan kebijakan-kebijakan anti-Semit kaum Nazi. Alasannya amat sederhana: semakin menderita kaum Yahudi di Eropa, semakin mudah membujuk mereka agar pindah ke Palestina. Setelah perang, para Zionis memainkan kartu anti-Semitisme untuk menciptakan kesepakatan umum bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan kaum Yahudi adalah membiarkan mereka memiliki negara sendiri. Tidaklah mengejutkan bahwa negara Israel akan disodorkan sebagai sebuah negara bagi korban-korban penganiayaan, sebuah pengungsian bagi kaum Yahudi yang lari dari cengkeraman keji anti-Semitisme. Namun, menampilkan Israel sebagai sebuah tempat perlindungan bagi kaum Yahudi teraniaya tak lebih daripada dusta. Ini mungkin tampak sebuah pernyataan yang tergesagesa, namun akan terbukti benar ketika kebijakan seenaknya-sendiri kaum Zionis dalam meningkatkan pemindahan kaum elit Yahudi dimengerti. Singkatnya, elitisme ini dapat digambarkan sebagai berikut: meskipun mendukung gelombang anti-Semit yang akan mempengaruhi seluruh Yahudi Eropa, kaum Zionis ingin memindahkan hanya orang-orang Yahudi tertentu ke Palestina. Para Zionis tak menginginkan kerumunan Yahudi tak berguna di Palestina. Orang Yahudi yang disukai ke Palestina adalah yang akan berharga bagi tanah air Yahudi: misalnya, kaya, terpelajar, pemuda, dan berbulat tekad. Jelas, para Zionis sangat menentang pemindahan kaum Yahudi yang tak acuh, pasrah, tanpa keahlian, dan di atas segalanya, tua. Sebuah kebijakan yang disebut No Nalewki (Bukan Nalewki) diberlakukan oleh WZO. Nalewki adalah sebuah ghetto besar di Warsawa, yang umumnya diisi oleh orang-orang Yahudi Polandia yang tak terdidik, terabaikan, tua, dan berpenyakit. Para pemimpin WZO menyatakan tegas-tegas bahwa mereka tak ingin menciptakan sebuah Nalewki baru di Palestina. Apa yang akan terjadi dengan Yahudi Nalewki, dan Yahudi lainnya yang tak memenuhi syarat? Mereka akan menderita di bawah kekuasaan Nazi, tentunya dengan bantuan Zionis. Untuk membujuk orang Yahudi yang disukai agar pindah, para Zionis dapat berpura-pura tak melihat penderitaan golongan Yahudi lainnya, bahkan, mereka mampu berperan menyebabkan penderitaan itu. Sebagaimana Brenner menulis: Adalah kebijakan No Nalewki ghetto besar di Warsawa yang menjauhkan Zionisme dari kaum awam Yahudi, yang kebanyakan bukan Zionis, dan bahkan dari kalangan gerakan Zionis Diaspora. Mereka tak memiliki keahlian dan sumber daya yang dibutuhkan di Palestina, dan untuk selanjutnya Zionisme tak akan melayani mereka; para calon pemukim akan disaring ketat demi kepentingan Zionisme. Di Palestina sendiri, WZO memutuskan bahwa para pengangguran harus didorong agar kembali ke negara asal. Hari-hari teror yang dikenakan kepada orang-orang Yahudi oleh kemenangan Nazi dalam pemilu Maret 1933 telah membuat ribuan Yahudi berkerumun di jalan di luar Kantor Palestina di Berlin, namun masih tiada keinginan mengubah Palestina menjadi sebuah pengungsian yang sebenarnya. Pemindahan harus berlangsung demi memenuhi kepentingan Zionisme. Hanya para Zionis muda, sehat, memenuhi syarat, dan bertekad bulat yang diinginkan. German HaChalutz Pioneers menyatakan pemindahan ke Palestina yang tak dibatasi adalah sebuah kejahatan Zionis.

h. 41 Pemimpin WZO Chaim Weizmann termasuk pembuat kebijakan elitis ini. Laporannya di Januari 1934 mendaftarkan sejumlah persyaratan baku yang digunakan memilih pendatang ke Palestina yang berpeluang. Mereka yang berumur lebih dari 30 tahun, tak bermodal, dan tak berkeahlian tidak bisa diserap oleh Palestina. Nyatanya, kebanyakan Yahudi Jerman tak diinginkan bagi Palestina: mereka terlalu tua, atau pekerjaannya tak berkaitan dengan kebutuhan negara, atau tak menguasai bahasa Ibrani, atau tak bertekad ideologis. Jadi, relatif hanya segelintir Yahudi terpilih dipindahkan ke Palestina, sekalipun kebijakan-kebijakan Nazi berat menimpa semua Yahudi Jerman. Tahun 1937, Weizmann mengatakan kepada Kongres Zionis bahwa jawabannya bagi pertanyaan apakah mereka dapat membawa enam juta Yahudi ke Palestina adalah tidak. Ia memaparkan bahwa ia ingin menyelamatkan kaum pemuda, sebab para manula memiliki sedikit sisa umur. Hanya yang muda akan bertahan; para manula harus menanggung takdirnya, entah mampu atau tidak. Sudut pandang ini tak pernah berubah di antara kepemimpinan Zionis. Ketua sebuah panitia Zionis yang dibentuk demi menyelamatkan Yahudi Eropa, Yitzhak Greenbaum, berkomentar pada tahun 1943 bahwa jika ia harus mengambil satu dari dua pilihan masyarakat Yahudi atau tanah Israel ia akan memilih menyelamatkan Israel. Antara 1933 dan 1935, dua pertiga dari seluruh kaum Yahudi Jerman yang melamar surat kepindahan ke Palestina ditolak oleh kaum Zionis, yang mengendalikan penjatahan surat itu. Singkatnya, pintu ke Palestina ditutup bagi Yahudi Jerman yang tak memenuhi syarat-syarat Zionis. Para Yahudi ini lalu berusaha pindah ke negara lain untuk lari dari penindasan Nazi yang meningkat. Mereka mengira dapat selamat dari anti-Semitisme dengan berpindah ke Amerika Serikat atau Inggris. Namun, sekali lagi mereka kecewa, karena pihak Zionis telah menutup pintu tak hanya ke Palestina, melainkan juga ke Amerika Serikat, Inggris, dan setiap tempat pengungsian aman lainnya. Dalam sejarah, ini menjadi salah satu pengkhianatan terbesar atas suatu bangsa oleh para pemimpinnya sendiri.

Zionis Menghalangi Kaum Yahudi Melarikan Diri


Lerni Brenner mengulas dalam Zionism in the Age of Dictators bahwasanya karena gerakan Zionis tak menginginkan kebanyakan kaum Yahudi Jerman di Palestina, mungkin dapat dianggap bahwa para Zionis, setidaknya di Amerika Serikat, berupaya mencari pengungsian lain bagi saudara-saudara mereka, namun hal itu tak terjadi. Nyatanya, para Zionis tak berbuat apa-apa demi menyelamatkan kaum Yahudi Jerman dari kekejaman Nazi. Bahkan ketika desas-desus dan laporan-laporan tentang Holokaus telah mencapai puncaknya, kaum Zionis tak mengubah sikapnya. Di tahun 1938, David Ben Gurion (belakangan menjadi perdana menteri Israel), orang kedua di WZO setelah Weizmann, mengungkapkan pemikiran Zionis dalam sebuah pidato yang diucapkan pada sebuah rapat para pemimpin Zionis Pekerja di Inggris: Jika saya tahu bahwa mungkin untuk menyelamatkan semua anak-anak di Jerman dengan memindahkan ke Inggris, namun hanya setengah jika memindahkan ke Eretz Yisrael, saya akan mengambil pilihan kedua.

h. 42

Segi kebijakan Zionis yang paling terkutuk selama Reich Ketiga bukan kegagalan menyelamatkan kaum Yahudi. Ini, hingga batas tertentu, dapat dijelaskan: misalnya, dapat saja didalihkan bahwa pihak Zionis ingin memusatkan seluruh upaya kaum Yahudi pada Palestina. Kebusukan sebenarnya adalah bahwa kaum Zionis telah membendung upaya-upaya kaum Yahudi pindah dari Jerman ke negara mana pun di dunia selain Palestina. Di tahun 1943, seorang Zionis terkemuka maju ke depan untuk menentang penyelamatan Yahudi Jerman: Rabbi Stephen Wise. Sebagai juru bicara utama bagi Zionisme di Amerika Serikat, Wise melakukan semua yang ia bisa untuk menentang Emergency Committee to Save the Jewish People of Europe (Panitia Darurat Penyelamatan Yahudi Eropa), yang disusun oleh orang-orang Yahudi terkemuka untuk mempropagandakan penyelamatan. Rabbi Wise juga membela jatah imigrasi Amerika di tahun 1938, dalam sebuah surat yang ditulisnya sebagai pemimpin American Jewish Congress (Kongres Yahudi Amerika). Wise menyatakan bahwa ia menentang perubahan dalam undang-undaang yang memungkinkan orang Yahudi mengungsi ke Amerika, sebab khawatir pada anti-Semitisme. Sama seperti di Amerika Serikat, pintu masuk ke Inggris juga telah ditutup bagi Yahudi Jerman oleh para Zionis. Kepemimpinan Zionis di Inggris menentang semua upaya di Parlemen untuk memberikan suaka bagi kaum Yahudi termasuk ditterbitkannya beberapa ratus izin imigrasi ke kepulauan Mauritius! Tidak sulit memahami mengapa kaum Zionis mencegah kaum Yahudi lari dari cengkeraman kaum Nazi. Jika saja pintu masuk ke Amerika atau Inggris terbuka bagi kaum Yahudi, banyak dari mereka yang berkeahlian yang dibutuhkan di Palestina malah menuju ke negara-negara itu. Untuk memastikan perpindahan orang-orang Yahudi bermutu ke Palestina, kaum Zionis menghukum Yahudi Jerman lainnya dengan hidup di bawah penindasan Nazi. Tanpa keraguan, mereka mengkhianati bangsa mereka sendiri. Seorang rabbi Slowakia, Dov Michael Weissmandel, adalah salah seorang yang mengerti dan mengutuk strategi Zionis itu. Weissmandel berusaha menyelamatkan kaum Yahudi dari kekuasaan Nazi selama perang, namun upaya-upayanya dihalang-halangi kaum Zionis. Weissmandel menjadi geram ketika lama setelahnya para Zionis mulai menyebarkan desas-desus holokaus kaum Yahudi. Dalam sepucuk surat untuk para pemimpin Zionis yang ditulisnya di bulan Juli 1944, si rabbi mengungkapkan kemuakannya: Mengapa kalian tidak berbuat apa-apa hingga kini? Siapakah yang bersalah atas kelalaian mengerikan ini? Apakah kalian tak bersalah, saudara-saudara Yahudiku...? ... Kejam, kalian semua, dan juga pembunuh, karena kebisuan berdarah dingin dengan mana kalian menyaksikan, karena kalian duduk berlipat tangan dan tak melakukan apa pun, meskipun kalian dapat menghentikan atau menunda pembunuhan kaum Yahudi jam ini juga. Kalian, saudara-saudara kami, anak-anak Israel, apakah sudah gila? Tidakkah kalian tahu neraka di sekeliling kami? Pembunuh! Orang Gila! Siapakah yang memberi derma: kalian yang

h. 43 melontarkan beberapa perak dari rumah kalian yang tenteram, ataukah kami yang berkorban darah di kedalaman neraka? Naluri Weissmandel sungguh tepat. Pihak Zionis memang percaya bahwa penting bekerjasama dengan musuh kaum Yahudi, untuk mendukung tekanan yang ditimpakan orang-orang anti-Semit pada kaum Yahudi, demi mendirikan sebuah negara Yahudi. Mereka sigap membiayai penganiayaan Nazi terhadap saudara Yahudi mereka sendiri. Terkadang, demi kepastian, para Zionis mencari cara mencapai kebalikannya. Mereka sangat berkepentingan pada perpindahan para Yahudi bermutu ke Palestina, dan memerlukan Nazi agar bersikap terbaik pada golongan itu. Satu contoh adalah 7 ribu Yahudi Denmark yang tak dikirim Nazi ke kamp-kamp konsentrasi di tahun 1943.

Kubu-kubu dalam Zionisme, atau Polisi Baik/Polisi Jahat


Gerakan Zionisme secara umum dikendalikan oleh WZO, yang didirikan pada Kongres Zionis Pertama. Sejak kematian Herzl di tahun 1904 hingga 1911, David Wolffsohn mengetuai WZO; antara 1911 dan 1920, Otto Warburg adalah ketuanya. Setelah itu, Chaim Weizmann memimpin WZO sampai tahun 1946 (kecuali kurun 1931 1935, Nahum Sokolow menjadi ketua). David Ben Gurion adalah tangan kanan Weizmann, dan keduanya akhirnya menduduki jabatan presiden dan perdana menteri Israel pada saat berdirinya. Arah politik WZO adalah sosial demokrat. Akan tetapi, negara yang memiliki hubungan terdekat dengan para pemimpin WZO selama paruh pertama abad ke-20 adalah Inggris. (Tentu saja, hubungan antara Nazi dan ZVfD, cabang WZO di Jerman, dirahasiakan). Suatu kubu pembangkang perlahan-lahan muncul dalam WZO. Sayap WZO ini condong ke kanan, bertentangan dengan kecenderungan kiri organisasi ini secara umum. Kubu baru ini, dipimpin seorang Yahudi Rusia bernama Vladmir Jabotinsky, segera dikenal sebagai Zionisme yang Revisionis. Di tahun 1933, para Revisionis menarik diri dari WZO dan mendirikan organisasi sendiri yang dinamakan New Zionist Organisation (NZO, Organisasi Zionis Baru) sebagai akibat pertentangan yang telah tumbuh sejak pertengahan 1920-an. Jabotinsky menganjurkan garis keras terhadap Inggris, yang telah menetapkan batas bagi jumlah pendatang Yahudi karena khawatir pada kemarahan bangsa Arab. Ideologi Jabotinsky lebih keras dan radikal daripada WZO. Bahkan kadang-kadang ia dirujuk sebagai Vladimir Hitler karena pandangan ekstrim kanannya. Ia meringkaskan ideologinya sebagai berikut: humanisme dungu tak akan berdampak pada kesantunan masa kini; kekuasaan adalah satu-satunya hal yang dapat mempengaruhi politik dunia. Bagi Jabotinsky, mereka yang percaya pada keadilan adalah orang bodoh, sebab keadilan milik orang yang berkuasa dan menggunakan kekuasaan itu untuk meraih keinginannya. Paham Jabotinsky sebenarnya versi Yahudi dari fasisme dan Nazisme yang berkembang di tahun 1920-an dan 1930-an. Ketika membentuk pasukan paramiliternya, Betar, ia meniru Pasukan Seragam Hitamnya Mussolini dan SA-nya Hitler. Anggota-anggota Betar saling menyapa dengan salam cara fasis. Menjelang akhir tahun 1930-an, kaum Revisionis mendirikan

h. 44 suatu pasukan bawah tanah, Irgun Zvei Leumi (Organisasi Militer Nasional). Irgun dan LEHI (Lohamei Herut Yisrael Pejuang Kemerdekaan Israel), yang didirikan oleh Avraham Stern di tahun 1940, melakukan serangan-serangan berdarah di tahun-tahun berikutnya. Pada waktu itu, Menahem Begin, kemudian menjadi pemimpin Partai Likud dan perdana menteri Israel, adalah anggota Irgun; pemimpin Irgun lainnya, Yitzhak Shamir, yang juga menjadi perdana menteri Israel, adalah seorang teroris yang giat dalam Gerombolan Stern. Dengan memandang sayap kanan dan kiri Zionisme, akan beralasan untuk berpikir bahwa masing-masing mencari sekutu-sekutu non-Zionis dengan kecenderungan ideologis serupa. Ini pastilah kedudukan sejarah resmi. Kisah-kisah Zionis mengatakan kepada kita bahwa WZO sepihak dengan Inggris, sementara para Revisionis menentang Inggris dan mengembangkan hubungan dekat dengan Mussolini. Suatu penyelidikan yang lebih menyeluruh mengungkapkan bahwa menarik perbedaan ideologi yang tajam di antara kedua kubu tak bisa dibenarkan. Ini karena keduanya, khususnya WZO, membentuk persekutuan yang tampak bertentangan dengan ideologi yang mereka nyatakan. Hubungan WZO-Nazi yang dibahas di halaman-halaman sebelumnya tentulah sebuah contoh yang baik. Kita juga akan melihat bahwa WZO membangun kaitan-kaitan penting dengan Mussolini, sebagaimana yang dilakukan para Revisionis. Fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang pentingnya perbedaan ideologis di antara para Zionis. Jika kedua pihak mempunyai hubungan dengan kaum Nazi dan Fasis, apa makna sayap kanan dan kiri dalam Zionisme? Seorang Amerika pakar masalah Timur Tengah Richard Curtiss menawarkan sebuah jawaban atas pertanyaan ini dalam Washington Report on Middle East Affairs (Laporan Washington tentang Masalah Timur Tengah), di mana ia menjadi kepala penyuntingnya. Dalam sebuah artikel berjudul The Good Cops and Bad Cops Who Killed the Peace Process (Para Polisi Baik dan Polisi Jahat yang Membunuh Proses Perdamaian), Juni 1955, ia berpendapat bahwa perbedaan di antara kedua kubu dalam sejarah politik Zionisme dan Israel sebenarnya tak lebih dari siasat polisi baik-polisi jahat. Ini sebuah siasat kuno dan terkenal, digunakan di setiap kantor polisi di seluruh dunia. Sang tersangka ditinggalkan sendirian di sebuah ruangan. Tak berapa lama, seorang polisi yang suka menyerang dan pemarah masuk. Ia meneror tersangka, bahkan terkadang memukulnya. Setelah polisi pertama pergi, seorang polisi lain, tampak lebih ramah dan mengasihani, masuk. Ia mengatakan kepada tersangka bahwa polisi yang sebelumnya itu sangat kejam. Jika tersangka mau bercerita padanya, sang polisi baik, apa yang diketahuinya, sang polisi baik mungkin dapat melindunginya dari sang polisi jahat. Tentunya, sandiwara itu telah dilatih baik. Sang polisi baik dan polisi jahat bekerjasama, masing-masing memainkan perannya. Itulah siasat polisi baik-polisi jahat, dan sering kali berhasil. Menurut Ricard Curtiss, dua gerakan politik Israel yang bersaing telah memainkan siasat itu sejak tahun 1930-an. Curtiss menemukan contoh-contoh tercatat pertama siasat mereka mundur ke tahun 1940-an. Pada 16 September 1948, para teroris dari kelompok revisionis Gerombolan Stern membunuh Count Folke Bernadotte di Yerusalem. Bernadotte adalah seorang perunding PBB di Palestina dan terkenal akan kecamannya tehadap kebijakan pendudukan Israel. Perdana Menteri Ben Gurion mengutuk pembunuhan itu dan menyatakan bela sungkawanya yang mendalam di markas besar PBB. Namun, para pemimpin komplotan pembunuh itu, tampaknya, tak dapat ditemukan. Belakangan, mereka muncul di tempat-tempat yang mengejutkan. Joshua Cohen, pembunuh Berhadotte, menjadi

h. 45 pengawal pribadi perdana menteri. Yitzhak Shamir, salah satu pemimpin yang memerintahkan pembunuhan itu, ditunjuk menjadi kepala seksi Eropa dari Mossad (badan intelijen Israel). Selama masa jabatan Ben Gurion sebagai perdana menteri, sejumlah agen Mossad di Eropa membunuh sejumlah musuh-musuh Israel atas perintah Shamir. Hanya terdapat satu penjelasan: air mata Ben Gurion atas kematian Bernadotte adalah palsu. Perdana menteri Israel dari Partai Karya itu amat gembira atas pembunuhan Bernadotte oleh Gerombolan Stern. Ia sedang memainkan peran polisi baik untuk meredakan kemarahan dunia. Curtiss menyebutkan banyak lagi contoh sandiwara polisi baik-polisi jahat Zionis semacam itu, tak semuanya berkaitan langsung dengan perhatian kita berikutnya: mengapa ada dua kubu berbeda dalam gerakan Zionis, sementara keduanya bersekongkol dengan kaum Nazi dan Fasis. Jawaban pertanyaan itu adalah Inggris, karena satu-satunya perbedaan nyata di antara kedua sayap (mengingat keduanya bekerjasama dengan Nazi) adalah sikap mereka terhadap Inggris. Karena keresahan bangsa Arab, Inggris telah menerapkan pembatasan atas perpindahan kaum Yahudi ke Palestina, yang berada di bawah pemerintahan Inggris sebagai mandat dari Liga BangsaBangsa (cikal bakal PBB). Ini membuat geram para Zionis. Mereka perlu bertindak melawan Inggris, namun melecehkan adikuasa ini akan berakibat buruk bagi Zionisme. Maka, kaum Zionis memainkan siasat polisi baik-polisi jahat pada Inggris. Sementara WZO mempertahankan hubungan baik dengan Inggris, para pengikut Vladimir Jabotinsky membom sasaran-sasaran milik Inggris di Palestina. WZO tulus menyatakan bahwa para Zionis akan selalu berpihak kepada Inggris, dan bahwa serangan-serangan itu dilakukan para fanatik. Inggris tidak berpaling menghadapi Zionisme sebagai satu kesatuan. Ketika akhirnya jemu dengan serangan-serangan Revisionis, Inggris mundur dari Palestina. Setelah itu, sebuah negara Yahudi diproklamasikan atas separuh daerah Palestina, menyusul resolusi PBB di tahun 1947. Siasat polisi baik-polisi jahat telah berhasil. Polisi baik dan polisi jahat kembali bersatu ketika NZO, yang didirikan oleh Jabotinsky, dibubarkan dan bergabung dengan WZO. Itulah cerita sebenarnya tentang perbedaan antara para Zionisme Revisionis dan Zionisme sayap kiri, yang diwakili WZO. Kebenarannya nyata: kebijakan-kebijakan mereka, kecuali sikap mereka yang terkenal terhadap Inggris, sebenarnya serupa. Italianya Mussolini memberikan gambaran lain kesepakatan di bawah permukaan di antara kubu-kubu Zionis.

Mussolini, Fasisme Italia, dan Zionisme


Zionisme tak hanya membentuk persekutuan dengan para anti-Semit Jerman. Gerakan ini bercita-cita mendorong semua Yahudi di mana pun pindah ke Palestina. Jadi, pada tahun 1930-an dan 1940-an, para Zionis membuat persekutuan rahasia dengan kekuatan-kekuatan fasis lain. Kesepakatan lain yang paling patut dicatat adalah dengan Mussolini yang kemudian menjadi sekutu terpenting Hitler. Di awal 1920-an, setelah meraih kekuasaan, Mussolini mulai memberlakukan sistem totaliter kanan baru yang disebutnya Fasisme. Ia sangat berminat pada wilayah Laut Tengah (Mediterania), dan akibatnya pada Timur Tengah, sebab sebagian besar daerah itu pernah dikuasai oleh para kaisar Romawi, yang dipandang Mussolini sebagai para pendahulunya. Karena itu, tak mungkin baginya mengabaikan masalah Palestina.

h. 46 Sejak saat tertarik pada Palestina, Mussolini telah berpihak pada Zionis. Ia mengetahui bahwa Zionisme adalah suatu kepentingan besar, dan bermaksud merebut peran pelindung Zionisme dari Inggris. Brenner melukiskan hubungan antara kaum Zionis dan Mussolini secara rinci dalam bukuya Zionism in the Age of Dictators. Menurut Brenner, kaum Yahudi adalah sebuah faktor penting dalam gerakan Fasis Mussolini. Lima orang Yahudi termasuk di antara para pendiri Fasisme. Sekali berkuasa, Mussolini menunjuk sebagai menteri keuangannya wakil presiden Banca Comerciale Italiana, sebuah bank kuat yang dimiliki orang Yahudi. Dua orang menteri luar negeri Mussolini, Sidney Sonnino dan Carlo Schanzar, adalah keturunan Yahudi. Pada paruh kedua 1920-an, Mussolini beberapa kali menemui wakil-wakil WZO. Akan tetapi, tak ada catatan tertulis tentang pertemuan-pertemuan ini. Weizmann berupaya tetap merahasiakannya. Brenner menunjukkan bahwa otobiografi Weizmann sengaja disamarkan, dan sering menyesatkan, tentang hubungannya dengan Mussolini. Pada 17 September 1926, Weizmann diundang ke Roma untuk berbicara dengan Mussolini; Mussolini menawarkan untuk membantu kaum Zionis membangun ekonominya dan pers Fasis mulai menerbitkan artikel-artikel yang mendukung tentang Zionisme Palestina. Sebulan kemudian, orang nomor dua WZO, Nahum Sokolow, mengunjungi diktator Italia itu, dan Mussolini kembali menegaskan dukungannya bagi Zionisme. Beberapa tahun kemudian Mussolini, selama sebuah pertemuan dengan utusan Zionis lainnya, mengungkapkan kepuasannya atas keberhasilan pertemuan dengan Weizmann dan dukungannya bagi Zionisme sebagai berikut: ... Namun, Anda harus mendirikan sebuah negara Yahudi. Saya sendiri seorang Zionis dan saya katakan demikian kepada Dr. Weizmann. Anda harus memiliki suatu negara yang sebenarnya (un vritable Etat), bukan Tanah Air Nasional yang janggal sebagaimana ditawarkan Inggris kepada anda. Saya mesti membantu Anda mendirikan sebuah negara Yahudi.... [huruf-huruf miring sebagaimana naskah aslinya] Hubungan Mussolini dengan kaum Revisionis lebih menyeluruh dan efektif. Brenner membahas kaitan-kaitan yang menarik ini dalam buku-bukunya Zionism in the Age of Dictators dan The Iron Wall: Zionist Revisionism from Jabotinsky to Shamir (Tembok Besi: Revisionisme Zionis dari Jabotinsky ke Shamir). Menurut Brenner, para Revisionis mulai mencari sekutu baru setelah keluar dari WZO. Italia merupakan calon yang alamiah. Jabotinsky memimpikan sebuah tatanan Laut Tengah baru dalam persekutuan dengan Italia. Ia menjelaskan dalam suatu wawancara: Kami menginginkan sebuah Kekaisaran Yahudi. Sama seperti Kekaisaran Italia atau Perancis di Laut Tengah, kami inginkan Kekaisaran Yahudi. Kekaisaran Yahudi itu nantinya mencakup Yordania maupun Palestina, serta sebagian Mesir dan Irak. Jabotinsky menganggap diri versi Yahudi dari Mazzini dan Garibaldi! (Keduanya tokoh nasionalis Italia abad ke-19). Mussolini amat bersimpati kepada para Revisionis. Ia menggambarkan mereka sebagai kaum Fasisnya Zion. Di bulan November 1934, Mussolini mengizinkan Betar, sayap pemuda Jabotinsky, mendaftarkan satu regunya ke akademi maritim di Civitavecchia, yang dikelola oleh Pasukan Seragam Hitam. Para militan Betar berlatih bersama dengan Pasukan Seragam Hitam, dan lalu berangkat ke Palestina untuk berperang dalam pasukan Irgun. Para Revisionis kian akrab dengan Fasisme. Abba Achimeir dan Wolfgang von Weisl, para pemimpin Revisionis di Palestina, menyarankan agar Jabotinsky disebut Duce (pemimpin atau panglima) mereka, sama seperti orang Italia merujuk ke Mussolini dengan Il Duce. Jabotinsky

h. 47 ingin menyelenggarakan kongres internasional pertama NZO di Trieste, di Italia yang Fasis. Tetapi, tempatnya diubah karena khawatir akan kemarahan masyarakat. Di tahun 1935, Mussolini mengatakan kepada David Prato, yang kemudian menjadi ketua rabbi Roma: Agar Zionisme berhasil, Anda harus memiliki negara Yahudi, dengan bendera Yahudi dan bahasa Yahudi. Orang yang benar-benar mengerti hal itu adalah orang fasis Anda, Jabotinsky. Mesti diingat bahwa para Revisionis juga memuji Hitler dan Nazi. Abba Achimeir mengungkapkan pandangannya dalam sebuah pidato: Ya, kami para Revisionis amat mengagumi Hitler. Hitler telah menyelamatkan Jerman. Jika tidak, Jerman mungkin punah dalam tempo empat tahun. Simpati Revisionis pada Nazi bahkan terlihat pada seragam mereka. Para anggota Betar mengenakan seragam coklat yang sama seperti SA-nya Hitler. Di tahun 1931, majalah Amerika mereka, Betar Monthly, menulis: Ketika [Zionis lain] menyebut kami dengan Revisionis dan Betarim Hitlerit (pengikut Hitler), kami tak merasa terganggu... Jika Herzl seorang Fasis dan Hitlerit, jika suatu mayoritas Yahudi terbentuk di kedua sisi sungai Yordan, jika sebuah negara Yahudi di Palestina yang akan memecahkan masalah-masalah ekonomi, politik, dan budaya bangsa Yahudi, adalah Hitlerisme, maka kami Hitlerit. Revisionis, polisi-polisi jahat Zionisme, bermain Hitlerisme apa adanya. Di sisi lain, para polisi baik dari WZO mengadakan hubungan terselubung dengan para fasis Jerman dan Italia, yang membawa mereka ke sekutu ketiga: Fransisco Franco. Franco, yang menaklukkan golongan kiri Republik di Spanyol setelah tiga tahun perang saudara di tahun 1939, dan lalu membangun versi fasismenya sendiri, yang disebut Falangisme, telah dibantu oleh Hitler dan Mussolini. Akhirnya, para Zionis menemukan jalan mereka ke sisi Franco. Sementara telah diketahui bahwa banyak orang Yahudi berperang melawan Franco, mereka ini umumnya Yahudi pembaur. Sebagaimana ditunjukkan Lenni Brenner, para Zionis tak pernah mendukung Yahudi yang melawan Franco; sebaliknya, para Zionis sangat menentang mereka. Satu alasan dari sikap Zionis ini mungkin adalah jatidiri Franco yang sebenarnya. Shalom, sebuah majalah bagi Yahudi Turki melaporkan pada 29 April 1992 bahwa Franco adalah keturunan Yahudi dan leluhurnya adalah Marrano (sebutan bagi orang Yahudi yang beralih ke Nasrani di Spanyol abad pertengahan). Dalam buku The World Order: Our Secret Rulers, sejarawan Amerika Eustace Mullins menulis bahwa penyokong dana utama bagi Franco, yakni Juan March, juga seorang Marrano. Sampai di sini kita telah membahas hubungan Zionis dengan Hitler, Mussolini, dan Franco. Akan tetapi, para ekstrimis kanan tak terbatas pada para pendukung ketiga orang itu. Di seluruh Eropa, dari Spanyol sampai Austria, dari Polandia hingga Rumania, terdapat banyak gerakan fasis yang menjadikan Hitler atau Mussolini sebagai teladan mereka. Di tahun 1920-an dan 1930-an, mereka tumbuh kian kuat. Ini berarti sekutu-sekutu baru bagi Zionisme.

Persekutuan-persekutuan dengan Para Anti-Semit Austria, Rumania, dan Jepang


Kaum Yahudi hanyalah 2,8 persen dari seluruh penduduk Austria, namun sebuah antiSemitisme yang kuat berkembang di sana setelah Perang Dunia I. Sebagian besar Yahudi Austria

h. 48 memilih Partai Sosial Demokrat. Di sayap kanan Austria, anti-Semitisme tumbuh pesat. Engelbert Dollfuss, pemimpin dari Partai Sosial Nasrani dan perdana menteri Austria, dan Kurt von Schuschnigg, yang menduduki tempat Dollfuss setelah kematiannya di tahun 1934, menandatangani undang-undang anti-Yahudi yang serupa dengan yang dibuat Nazi. Para Yahudi pembaur merasa kebijakan-kebijakan baru ini menggusarkan; kaum Zionis, sebagaimana dapat ditebak, senang dengan meningkatnya anti-Semitisme di Austria. Setelah pembunuhan Perdana Menteri Dolfuss yang anti-Semit, pemimpin WZO Nahum Sokolow mengatakan: Dialah salah seorang yang membangun, dengan bantuan saya, organisasi Gentile Friends of Zionism (Sahabat non-Yahudi Zionisme) di ibukota Austria. Dolfuss, sahabat kaum Zionis, telah melembagakan kebijakan keras anti-Semit yang terus berlaku selama 1930-an sebelum Anschluss (penyatuan) Austria oleh Nazi Jerman. Kaum Yahudi disisihkan dari kepegawai-negerian. Di tahun 1935, pemerintah mengumumkan rencana-rencana untuk membangun sekolah-sekolah terpisah untuk orang Yahudi. Para pembaur langsung menentang sekolah-sekolah ghetto baru itu. Akan tetapi, Robert Sticker, satu-satunya wakil Yahudi di parlemen Austria, dan pemimpin gerakan Zionis, mengatakan kepada pemerintah bahwa kaum Zionis di Austria sangat menyambut tindakan-tindakan anti-Semit itu. Para pembaur mencoba memperingatkan negara-negara Barat tentang kecenderungan anti-Semit yang berbahaya di Austria. Dalam tanggapan cepatnya, Die Stimme, suratkabar Austrian Zionist Federation (Federasi Zionis Austria), tergesa-gesa menjelaskan bahwa kaum Zionis mengutuk penyebaran cerita-cerita tentang kekerasan di Austria di luar negeri. Brenner menceritakan bahwa selama masa menyisihkan kaum Yahudi, Pemerintah Austria mampu mendapatkan pendanaan dengan bantuan para Zionis. Peristiwa-peristiwa serupa terjadi di Rumania, di mana kaum Yahudi membentuk 5,46 persen penduduk Rumania. Para ekstrimis anti-Semit mulai aktif di sana sejak 1920-an. Ketika Hitler naik ke kekuasaan di Jerman, arus anti-Semit mengalir kian cepat dan deras, dan kaum anti-Semit menjadi galak dan gemar menyerang. Anti-Semitisme di Rumania dipelopori oleh sebuah partai fasis bernama Legion of the Archangel Michael (Pasukan Malaikat Mikail), pimpinan Corneliu Codreanu. Partai ini memiliki sebuah milisi bernama The Iron Guard (Pengawal Besi). Naiknya Hitler kian menguatkan kedudukan Legion. Di saat ini adalah tugas para pemimpin Yahudi untuk memulai kampanye yang sungguh-sungguh menentang anti-Semitisme dan membentuk suatu persekutuan dengan kekuatankekuatan anti-fasis. Mereka tak melakukannya, karena sebagian besar pemmpin Yahudi adalah Zionis. Sebagaimana diceritakan Brenner, tak satu pun kubu Zionis menunjukkan minat pada perjuangan melawan gelombang anti-Semit di Rumania. Bukannya membantu menyusun perjuangan menentang serangan gencar kaum fasis, WZO malah merencanakan suatu perluasan strategi pembawa petaka Haavara ke Eropa Timur. Jidanii in Palastina! (Yahudi, pergilah ke Palestina!) telah lama menjadi semboyan perang kaum anti-Semit Rumania. Di sisi mereka, para pemimpin WZO menyerukan kaum Yahudi berpindah ke Palestina, dan berbicara secara terbuka tentang perlunya mengurangi tekanan yang disebabkan oleh kehadiran terlalu banyak orang Yahudi. Di bulan Januari 1941, Iron Guard

h. 49 melakukan pogrom berdarah di Bukarest, ibukota Rumania. Ditaksir 100 orang Yahudi terbunuh, dan lebih banyak lagi yang terluka. Sekali lagi, tak ada tanggapan dari kaum Zionis. Persekutuan antara Zionisme dan anti-Semitisme bahkan merambah ke Timur Jauh, di mana kekuatan nasionalis utama adalah Jepang. Jepang telah meningkatkan kebijakan perluasan wilayahnya usai Perang Dunia I, menerapkan rejim yang makin otoriter di negerinya, dan pada akhirnya bergabung dengan Pakta Anti-Comintern-nya Hitler dan Mussolini. (Catatan: Pakta AntiComintern (Comunist International) adalah suatu pakta antara Jerman, Jepang, Hongaria, Spanyol, dan Italia yang isinya menentang komunisme) Alasan Zionis berusaha bersekongkol dengan Jepang akan ditemukan pada pencaplokan Manchuria oleh Jepang di tahun 1931. Ada cukup banyak orang Yahudi di Manchuria; para Zionis berpikir bahwa lewat persekongkolan dengan Jepang, mereka dapat menekan kaum Yahudi itu berpindah. Jadi, negara boneka Manchukuo, sebutan Jepang untuk Manchuria, akan diubah menjadi sekutu Zionis di Timur Jauh. Brenner mencatat bahwa militer Jepang memiliki versi sendiri tentang anti-Semitisme. Para jenderal Jepang percaya pada adanya persekongkolan Yahudi di seluruh dunia, dan melihat orang Yahudi lokal sebagai agen-agennya. Karena itu, mereka berkeinginan mengenyahkan kaum Yahudi dari Manchuria sesegera mungkin. Pemecahan yang mereka peroleh akhirnya sama dengan Hitler: Jepang memutuskan mendukung gerakan Zionisme. Di bulan Desember 1937, masyarakat Yahudi di Timur Jauh mengadakan sebuah konperensi di Harbin. Penyelenggaranya adalah Abraham Kaufman, pemimpin Yahudi Harbin yang Zionis. Mimbarnya dihiasi dengan bendera-bendera Jepang, Manchuria, dan Zionis. Para pemimpin Zionis Revisionis Betarim menghadiri konperensi itu sebagai tamu kehormatan. Pertemuan juga dihadiri Jenderal Higuchi dari Intelijen Militer Jepang; Jenderal Vrashevsky dari White Guard (Pengawal Putih) yang anti-Semit; serta para pejabat negara boneka Manchukuo. Konperensi menerbitkan sebuah resolusi, yang dikirimkan ke berbagai organisasi Yahudi utama di dunia, memohon kerjasama dengan Jepang dan Manchukuo untuk membangun sebuah tatanan baru di Asia. Sebagai balasannya, Jepang mengakui Zionisme sebagai gerakan nasional bangsa Yahudi. Zionisme menjadi bagian dari tatanan baru Manchukuo, dan Betar diberi warna dan seragam resmi. Persekongkolan dengan Jepang yang menarik ini memberikan pihak Zionis sedikit raihan penting. Hanya sejumlah kecil kaum Yahudi dipindahkan dari Manchuria ke Palestina. Di hari-hari terakhir Perang Dunia II, ketika Tentara Merah menyerbu Manchuria, Kaufman dan sejumlah Zionis lain ditangkap dan dibuang ke Siberia.

Anti-Semit Polandia dan Zionis


Di awal tahun 1920-an, masyarakat Yahudi Polandia berjumlah 2,8 juta orang, 10 persen dari seluruh penduduk. Zionisme cukup dikenal dan kuat di Polandia yang memiliki masyarakat Yahudi terbesar di Eropa. Polandia juga rumah bagi sebuah anti-Semitisme yang kuat dan keras. AntiSemitisme kuat dan Zionisme kuat; keduanya, seakan sudah kaidah, terlahir untuk bersekongkol satu sama lain. Lenni Brenner telah mempelajari seksama hubungan antara kaum anti-Semit dan Zionis Polandia. Menurut Brenner, perjanjian pertama, yang disebut Ugoda (Kompromi), dirundingkan

h. 50 oleh para pemimpin Zionis Leon Reich dan Osias Thon di tahun 1925. Mitra runding mereka adalah Wladyslaw Grabski, perdana menteri Polandia dan seorang anti-Semit yang kukuh. Grabski sedang mencari pinjaman dari Amerika Serikat untuk Polandia dan mengira bahwa perjanjiannya dengan para Zionis dapat membantunya. Dengan perjanjian itu, pihak Zionis menerima kelonggaran-kelonggaran penting: para wajib militer Yahudi diizinkan memiliki dapur kosher, dan para pelajar Yahudi tak perlu menghadiri pelajaran atau ujian di hari Sabbath (di hari menulis, maupun bentuk pekerjaan lainnya, dilarang dalam agama Yahudi). Brenner menulis bahwa, karena perjanjian mereka dengan perdana menteri yang anti-Semit, Thon dan Reich dianggap sebagian Yahudi sebagai pengkhianat masyarakat mereka. Joseph Pilsudski menjadi diktator sebagai hasil sebuah kudeta di bulan Mei 1926. Sebagaimana pendahulunya, Pilsudski seorang anti-Semit yang berhubungan dekat dengan para Zionis. Pada 26 Januari 1934, Pilsudski menandatangani pakta tak saling serang selama 10 tahun dengan Hitler. Ia tetap setia kepada para Zionis hingga kematiannya yang mendadak pada 12 Mei 1935. Osias Thon dan Apolinary Hartglas, presiden Polish Zionist Organization, mengusulkan agar Hutan Pilsudski ditanam di Palestina untuk mengenangnya. Para Revisionis Palestina mengumumkan bahwa mereka akan membangun sebuah asrama penampungan para pendatang yang dinamakan Pilsudski untuk menghormatinya. Setelah kematian Pilsudski, anti-Semitisme meningkat di Polandia. Ada sentimen anti-Semit di kalangan angkatan bersenjata, khususnya di antara para kolonel yang menggantikan Pilsudski memerintah Polandia. Para tokoh anti-Semit garis keras dikumpulkan dalam sebuah partai ekstrim kanan bernama Naras (National Radicals). Di akhir 1930-an, Naras mulai menjalankan pogrom. Bund, partai utama Yahudi pembaur yang kiri, menyusun satuan-satuan untuk melawan Naras. Di sisi lain, para Zionis tak pernah menentang Naras: kegiatan-kegiatan Naras sangat menguntungkan bagi mereka. Semboyan para militan Naras adalah Moszku idz do Palestyny! (Yahudi Pulanglah ke Palestina!) sebuah gaung kasar program Zionis sendiri. Brenner menceritakan bahwa salah satu alasan kaum Yahudi di Polandia menjauhi Zionisme adalah karena para Zionis disukai Naras. Sebagaimana dicatat Brenner, para kolonel Polandia selalu menjadi pro-Zionis yang bersemangat. Orang-orang anti-Semit sama pro-Zionisnya sebagaimana orang-orang Zionis pro-anti-Semit! Seorang Zionis terkemuka, Yitzhak Gruenbaum, suatu kali menyatakan bahwa kaum Yahudi sudah begitu menjadi bagasi lebih di Polandia, dan bahwa Polandia kelebihan sejuta orang Yahudi dari yang bisa ditampungnya. Abba Achimeir, seorang pemimpin gerakan Revisionis di Palestina, menyatakan kebencian yang tak terbayangkan berikut ini: Saya mengidamkan sejuta Yahudi Polandia dibantai. Lalu, mereka mungkin akan sadar bahwa mereka tinggal di ghetto.

Gerombolan Stern Menawarkan Sebuah Persekutuan dengan Nazi


Di halaman-halaman sebelumnya, kami telah menyebut-nyebut Zonisme revisionis. Revisionisme, yang berdasarkan ideologi kanan, sebenarnya ultra-kanan, yang bertentangan dengan kecenderungan kiri WZO, meningkatkan serangan bersenjatanya di Palestina di paruh kedua 1930an. Serangan-serangan mereka diarahkan baik kepada bangsa Arab maupun sang pemegang mandat Inggris, yang ketat membatasi perpindahan kaum Yahudi, dan dirancang oleh Irgun atau National

h. 51 Military Organization (NMO). Setelah pecahnya Perang Dunia II, Irgun terbagi dua kubu. Sayap Jabotinsky memutuskan menghentikan operasi militer melawan Inggris selama perang. Kubu kedua yang lebih kecil dan radikal, menganjurkan melanjutkan perjuangan melawan Inggris sampai London mengakui sebuah negara Yahudi yang berdaulat. Kelompok ini, yang dipimpin Avraham Stern, keluar dari Irgun pada bulan September 1940 dan menjadikan dirinya organisasi terpisah. Mereka tetap menganggap diri Irgun atau NMO selama beberapa tahun; lalu mengganti nama menjadi LEHI, sementara di mata musuh-musuhnya, mereka dikenal sebagai Gerombolan Stern. Gerombolan Stern memiliki tujuan-tujuan yang sangat ambisius. Sebagaimana dinyatakan dalam Delapan Belas Prinsip Stern, tujuan utama gerombolan mencakup: sebuah negara Yahudi dengan batas-batas seperti yang dijelaskan di dalam Kitab Kejadian (dari Sungai Nil di Mesir sampai Sungai Sungai Efrat di Irak), pengusiran bangsa Arab, dan akhirnya, pembangunan kembali kuil Yerusalem. Gerombolan Stern telah memutuskan melawan Inggris, dan karena itu mereka segera mencari cara bekerjasama dengan musuh-musuh Inggris. Di bulan September 1940, pemimpin gerombolan mengadakan kontak dengan agen Italia di Yerusalem. Di sana, mereka menyusun suatu kesepakatan dengan mana Mussolini akan mengakui sebuah negara Zionis sebagai balasan atas kerjasama Gerombolan Stern dengan angkatan bersenjata Italia. Akan tetapi, kesepakatan ini tak membawa hasil yang nyata, sebab pihak Italia tak sungguhsungguh menanggapi tawaran itu. Selanjutnya, Stern mengirim Naftali Lubentschik ke Beirut untuk menemui orang-orang Jerman. Lubentschik membuat kontak dengan dua orang Nazi, Rudolf Rosen dan Otto von Hetig, dan menawari mereka sebuah persekutuan militer yang luas. Usai perang, sebuah salinan tawaran Gerombolan Stern ditemukan di antara arsip-arsip di Kedutaan Besar Jerman di Turki. Karenanya, arsip-arsip itu disebut dokumen Ankara. Menurut dokumen itu, organisasi Zionis Stern menawarkan sebuah persekutuan militer resmi dengan Pemerintah Nazi. Secara ringkas, dokumen berisi: 1. Kesamaan kepentingan mungkin ada antara pembentukan sebuah Tatanan Baru di Eropa yang sejalan dengan konsep Jerman, dan cita-cita nasional sejati rakyat Yahudi sebagaimana dilembagakan dalam NMO; 2. Kerjasama antara Jerman baru dan negara bangsa Yahudi yang diperbaharui akan mungkin; dan 3. Pendirian negara Yahudi yang bersejarah atas dasar nasional dan totaliter, dan dibatasi oleh sebuah perjanjian dengan Reich Jerman, akan termasuk dalam kepentingan menjaga dan memperkuat kedudukan Jerman di Timur Dekat. Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan ini, NMO di Palestina, dengan syarat bahwa cita-cita nasional gerakan kemerdekaan Israel yang disebutkan di atas diakui sebagai bagian Reich Jerman, menawarkan diri berperan aktif dalam perang di pihak Jerman. Pada bulan Desember 1941, Stern mengirim Nathan Yalin-Mor untuk mencoba menghubungi orang-orang Nazi di Turki yang netral, namun ia ditangkap dalam perjalanan dan pertemuan pun

h. 52 batal. Menurut Brenner, tak ada petunjuk bagaimana atau apakah Nazi menanggapi tawaran itu. Paling mungkin, kaum Nazi menganggap Stern kelompok kecil dan tak efektif, dan tak terlalu memikirkan tawarannya. Akan tetapi, apa yang penting di sini adalah sebuah organisasi Zionis menawarkan suatu persekutuan militer kepada Jerman di tahun 1941, tahun saat genosida Yahudi disetujui untuk diluncurkan. Pernyataan tegas Stern bahwa kaum Yahudi dan tatanan barunya Nazi secara mendasar berbagi kepentingan tak terbantahkan nilainya. Yalin-Mor belakangan menyimpulkan alasan di balik tawaran organisasinya kepada Nazi di tahun 1941, di tengah-tengah perang. Ia mengakui bahwa tujuan Stern membujuk kaum Yahudi berpindah ke Palestina amat sejalan dengan rencana-rencana Jerman mengusir kaum Yahudi dari Eropa. Fakta penting dan menarik lainnya adalah jatidiri seorang anggota Gerombolan Stern yang terkemuka saat dokumen Ankara terungkap: Yitzhak Shamir, yang awalnya menjadi menteri kabinet, lalu perdana menteri Israel tahun 19771992. Shamir, seperti gurunya Menahem Begin, adalah seorang teroris kejam di tahun 1940-an, ketika ia terkenal jahat karena serangan-serangan berdarahnya pada sasaran-sasaran Inggris dan Arab. Peran Shamir dalam upaya bersekutu dengan Nazi tak diragukan lagi adalah sebuah masalah penting. Bertahun-tahun sejak dokumen Ankara ditemukan, Shamir hanya menjawab beberapa pertanyaan tentangnya. Akan tetapi, hampir segala sesuatu yang diketahui tentang tawaran bersekutu itu menunjukkan bahwa ia termasuk salah seorang perancang utamanya. Brenner mengamati bahwa bertolak belakang, bahkan ganjil, seorang calon sekutu Adolf Hitler bisa naik menjadi pemimpin negara Zionis. Masa lalu Yitzhak Shamir yang kelam disingkapkan oleh temannya sesama orang Israel kali pertama di tahun 1989, saat dokumen Ankara diterbitkan di Jerusalem Post, sebuah koran utama Israel. Kisah itu mengakibatkan keguncangan hebat, dan untuk kali pertama, sepak terjang masa perang Gerombolan Stern yang sembrono menjadi pokok pembicaraan di Israel. Kini, ada banyak buku yang membahas dokumen Ankara. Namun, kebanyakan pengarangnya, khususnya yang Yahudi, memperlakukan hubungan Nazi-Stern sebagai sebuah peristiwa sejarah yang kabur. Misalnya, Yehoshafat Harkabi, seorang pensiunan kolonel Israel, menafsirkannya sebagai sebuah cerita samar dalam sejarah kaum Yahudi dalam bukunya Israels Fateful Hour (Masa-masa Genting Israel). Namun, peristiwa itu tak sepenuhnya samar. Satusatunya hal yang menjadikan kesamaran itu adalah kebanyakan orang hanya mengetahui peran Stern dalam persekongkolan Nazi-Zionis. Hal itu karena cuma dokumen-dokumen Stern yang diterbitkan. Hubungan antara Nazi dan WZO tetap umumnya tak diketahui. Karena itu, para pemimpin Israel, dan masyarakat Zionis masa kini pada umumnya, dapat berkelit dari dokumen Ankara dengan memperlakukannya sebagai penyimpangan yang janggal. Karena tak terbantahkan bahwa Gerombolan Stern itu ekstrimis, simpati mereka pada Nazi dapat dianggap wajar. Menurut istilah kita, mereka polisi jahatnya Zionis. Wajar saja, hal yang sama tak dapat dikatakan tentang WZO yang sosialis, atau tentang Weizmann, Ben Gurion, atau lain-lainnya yang berperan sebagai polisi baik.

h. 53 Fakta-fakta ini memperjelas bahwa kedua sayap gerakan Zionis sebenarnya mengarah ke fasisme, sebab Zionisme itu sendiri fasis dan rasis. Itulah mengapa tak hanya orang-orang radikal dari Gerombolan Stern, namun semua kubu Zionis, telah bersekongkol dengan Nazi dan kaum fasis sejenisnya. Gerombolan Stern sebenarnya cuma puncak gunung es (sekelumit saja dari keseluruhan), Potongan cerita terakhir yang akan dibahas dalam masalah ini diberikan oleh Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil (Eichmann di Yerusalem: Sebuah Laporan tentang Dangkalnya Kejahatan), sebuah buku karangan Hannah Arendt, yang, seperti Lenni Brenner, seorang Yahudi anti-Zionis. Dengan berfokus pada Adolf Eichmann, Arendt menyingkapkan segisegi tertentu persekongkolan Nazi-Zionis yang sebelumnya tersembunyi.

Adolf Eichmann
Buku Arendt Eichmann in Jerussalem adalah salah satu buku terpenting tentang hubungan NaziZionis. Buku ini penting karena Arendt terkemuka di Amerika pasca perang maupun di kalangan Yahudi sebagai seorang pemikir sejarah dan politik. Bukunya menceritakan pengadilan mantan perwira SS Adolf Eichmann, yang diculik di Argentina pada tahun 1960 oleh agen-agen Mossad, dibawa ke Israel, dan diadili. Eichmann itu penting karena dialah orang yang ditunjuk memecahkan masalah Yahudi, atas perintah Reinhard Heydrich. Israel menggunakan pengadilan Eichmann untuk membuat propaganda... Namun pengadilan Eichmann itu suatu cerita yang aneh, sebuah cerita yang sangat tak sejalan dengan propaganda Israel. Arendt membeberkan fakta-fakta yang menarik. Pertama-tama, Arendt menarik perhatian ke Undang-undang Nuremberg, diberlakukan tahun 1935 oleh Nazi, yang mencoba mengucilkan kaum Yahudi dari masyarakat Jerman. Arendt menunjukkan bahwa undang-undang itu sangat cocok bagi kaum Yahudi yang sedang mencoba mempertahankan homogenitas Rumah Israel, dan aturan-aturan yang sama, sekalipun tak tertulis, masih berlaku di Israel. Ia mengingatkan kita bahwa di Israel, orang Yahudi dilarang menikah dengan selain Yahudi. Dalam membahas latar belakang masalahnya, Arendt memaparkan faktafakta mengejutkan tentang Eichmann. Eichmann bukan seorang anti-Semit di masa mudanya, dan bahkan memiliki ipar-ipar orang Yahudi (misalnya, satu orang dari keluarga Weiss, direktur utama Vacuum Oil Company of Vienna). Menurut Arendt, Eichmann tertarik pada gerakan Freemasonry dan selama beberapa waktu mengikuti Schlaffaria Lodge, sebuah cabang gerakan itu. Karir militer Eichmann bermula di tahun 1934 saat memasuki SD, sayap keamanan SS. SD, yang didirikan oleh Reichsfhrer-SS Heinrich Himmler, beroperasi sebagai dinas intelijen di bawah arahan Heydrich. Sesaat setelah bergabung, Eichmann memasuki seksi urusan kaum Yahudi di SD, dan menjadi pakar masalah Yahudi. Selama kurun waktu itu, ia membuat kontak pertamanya dengan para pemimpin Zionis di Jerman. Arendt mengatakan bahwa saat itu Eichmann membaca buku Theodor Herzl The Jewish State (Negara Yahudi) dan amat terkesan dengannya: ...Von Mildenstein... memintanya membaca buku Theodor Herzl Der Judenstaat, karya klasik Zionis yang terkenal, yang segera dan selamanya mengalihkan Eichman ke Zionisme... Sejak

h. 54 itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, ia hampir tidak memikirkan apa pun selain sebuah pemecahan politis... dan bagaimana mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki kaum Yahudi... Untuk membantu upaya ini, ia mulai menyebarkan ajaran itu di antara rekan-rekannya di SS, memberikan ceramah serta menulis pamflet .... Ia lalu bisa sedikit berbahasa Ibrani... Ia bahkan membaca History of Zionism (Sejarah Zionisme) karya Adolf Bohm ... dan ini mungkin sebuah pencapaian besar bagi seseorang, yang menurutnya sendiri, selalu enggan sama sekali membaca apa pun selain suratkabar. Alasan Eichmann begitu tertarik pada Zionisme terletak pada kesejajaran yang dikesaninya ada antara Zionisme dan tujuan-tujuan Nazisme. Sama seperti Nazi, para Zionis ingin memindahkan seluruh Yahudi dari wilayah Reich. Bagi pihak Nazi, itu disebut Judenrein (bebas Yahudi); bagi para Zionis, itu berarti sebuah negara Yahudi. Itulah mengapa Eichmann menyimpulkan tujuannya sebagai mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki kaum Yahudi, untuk menegaskan pentingnya mendukung penciptaan sebuah negara Yahudi. Sebagaimana dikatakan di muka, pada masa ini, dua kubu utama menonjol di kalangan Yahudi: kaum Zionis dan Yahudi pembaur. Kubu kedua menolak perpindahan ke Palestina dan mendukung pembauran ke dalam masyarakat Jerman. Eichmann mengagumi kaum Zionis dan merasa jijik pada para pembaur. Kontak pribadi pertamanya [adalah dengan] para fungsionaris kaum Yahudi, yang semuanya Zionis kawakan yang terkenal... Alasan ia menjadi sangat terpukau oleh masalah Yahudi, dijelaskannya, adalah ... idealismenya sendiri; para Yahudi ini, tidak seperti para pembaur yang selalu dipandangnya hina, sama idealis seperti dirinya ... . Seorang idealis terbesar yang pernah ditemui Eichmann di kalangan Yahudi adalah Dr. Rudolf Kastner, dengan siapa ia berunding selama pengusiran kaum Yahudi dari Hongaria... Apa yang disebut Eichmann idealisme, dan sama dimiliki oleh para Zionis, sesungguhnya rasisme. Para rasis di kedua pihak tak menginginkan kaum Yahudi dan Jerman hidup berdampingan. Tentang hal ini, setidaknya, mereka bersepakat. Itulah alasan bagi bantuan besar yang diberikan Nazi untuk pemindahan kaum Yahudi ke Palestina.

Upaya-upaya Eichmann Memaksa Bangsa Yahudi Pindah ke Palestina


Di tahun 1938, ketika Anschluss (penyatuan Jerman dan Austria) dimulai, kekuasaan Eichmann mengembang ke lingkup yang lebih besar: ia menjadi kepala kantor perpindahan Yahudi dari Austria. Dalam delapan bulan, ia telah mengawasi pemindahan 150 ribu orang Yahudi dari Austria, banyak di antaranya yang akhirnya diarahkan ke Palestina. Eichmann menjalin kerjasama terselubung dengan para pemimpin Zionis dalam prosedur perpindahan. Belakangan Eichmann (seperti dikutip Arendt) akan mengatakan yang berikut tentang operasi pemindahan itu: ... Pemecahan yang sama-sama dapat diterima, sama-sama adil, harus ditemukan. Pemecahan yang saya bayangkan adalah mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki mereka sehingga mereka akan memiliki rumah sendiri, tanah sendiri. Dan saya sedang bekerja ke arah pemecahan itu ... dengan senang hati, karena ini juga jenis pemecahan yang disetujui oleh pergerakan di kalangan Yahudi sendiri, dan saya menganggap inilah pemecahan paling tepat atas

h. 55 masalah. Inilah alasan sejati mereka bekerjasama, alasan upaya mereka didasarkan pada kesamaan kepentingan. Demi kepentingan kaum Yahudi-lah, walau mungkin tidak semuanya mengerti, untuk keluar dari negara itu; seseorang harus membantu mereka, seseorang harus membantu para fungsionaris ini bertindak, dan itulah yang saya lakukan. Arendt, saat mengulas kata-kata Eichmann, mengatakan: Jika para fungsionaris Yahudi itu idealis, yakni, Zionis, ia menghargai mereka, memperlakukan mereka sederajat, mendengarkan semua permintaan, keluhan, dan permohonan dukungan, memenuhi janjinya sebisa mungkin...

Pengarang Yahudi ini melanjutkan:


Karena tak dapat disangkal bahwa selama tahap-tahap pertama kebijakan Yahudi-nya, kaum Nazi mengira bahwa bersikap pro-Zionis itu tepat (Hans Lamm), dan selama tahap-tahap pertama inilah Eichmann memperoleh pemahaman mendalam tentang kaum Yahudi. Ia pastilah tak sendirian dalam menganut sepenuh hati pro-Zionisme ini; kaum Yahudi Jerman sendiri berpikir bahwa akan cukup membalikkan pembauran lewat sebuah proses pemurnian baru dan mengerumun ke barisan gerakan Zionis.

Arendt menyimpulkan:
Selama tahun-tahun pertamanya, kenaikan Hitler ke tampuk kekuasaan tampak bagi para Zionis utamanya sebagai kekalahan yang menentukan bagi paham pembauran. Karena itu, para Zionis mampu, setidaknya selama beberapa saat, dalam tingkat tertentu terlibat kerjasama tak jahat dengan para pejabat Nazi; para Zionis juga percaya bahwa pemurnian, yang digabungkan dengan pemindahan ke Palestina para pemuda dan, mereka harapkan, para pemodal Yahudi, dapat menjadi pemecahan yang sama-sama adil. Arendt juga menulis bahwa, sebagai hasil kebijakan-kebijakan Nazi, kaum Yahudi Jerman mengerumun ke barisan gerakan Zionis. Tiras mingguan Zionis Die Judische Rundschau meningkat dari kira-kira 5-7 ribu menjadi hampir 40 ribu lembar di beberapa bulan pertama rejim Hitler. Nazi mengembangkan hubungan yang sangat baik tak hanya dengan Jewish Agency, yang beroperasi di bawah naungan WZO, melainkan juga dengan kelompok-kelompok Zionis yang mandiri. Lebih jauh, Gestapo dan SS adalah yang paling menbantu bagi para Zionis. Begitu sukarelanya Eichmann, tulis Arendt, sehingga pada suatu kejadian, ia sampai mengusir sekelompok biarawati dari sebuah biara demi menyediakan asrama bagi pelatihan pertanian pemuda Yahudi; pada kejadian lain, serangkaian kerata api khusus disediakan, di mana para pejabat Nazi mendampingi sekelompok calon pemukim ke pusat pelatihan Zionis. (Arendt tak menjelaskan pelatihan apa yang didapat kelompok ini, namun besar kemungkinan termasuk pelatihan pemakaian senjata). Fakta-fakta ini sukar dipercaya sama seperti banyak fakta lain yang disebutkan di muka. Namun demikian, semuanya cermat. Tak diragukan lagi bahwa Hannah Arendt, yang seorang Yahudi, memberikan sumbangan penting dengan mengumpulkan dan mencatatnya.

h. 56

Masa Perang dan Negara-negara Otonom Yahudi di Bawah Perlindungan Nazi


Arendt menceritakan dalam buku Eichmann In Jerusalem bahwa tahap awal kebijakan Yahudinya Nazi berakhir di hari-hari awal perang. Tahap pertama, menurut kata-kata Arendt, adalah tahap pengusiran. Bekerjasama dengan para Zionis, kaum Nazi mengeluarkan kaum Yahudi dari Jerman dan Austria, dan bertindak lebih jauh dengan memindahkan mereka ke Palestina. Menurut Arendt, tahap kedua dimulai bersamaan dengan perang, sebab tak mungkin lagi memukimkan kaum Yahudi ke Palestina. Karena Jerman kini sedang berperang melawan Inggris, dan kapal-kapal Jerman tak dapat mengangkut penumpang melalui laut yang diawasi Inggris ke suatu daerah yang dikuasai Inggris. Arendt mengulas singkat tentang keadaan yang berubah ini: pemindahan paksa telah menjadi rumusan resmi pemecahan masalah Yahudi, namun pemindahan tak lagi mungkin. Karena itu, kata Arendt, kebijakan Nazi memasuki tahap kedua perkembangan: semua kaum Yahudi di Eropa akan dikumpulkan dan dikucilkan. Setelah tahap ini, menurut Arendt, tahap ketiga, atau tahap Pemecahan Akhir, segera menyusul, dan semua orang Yahudi yang telah dikumpulkan akan dijadikan sasaran pemusnahan. Bagaimana pun, Arendt menyampaikan satu fakta menarik lain: karena tak dapat melanjutkan pemukiman kaum Yahudi ke Palestina akibat suasana perang, kaum Nazi mencari pemecahan baru, dan memutuskan untuk mendirikan negara-negara kecil dan sementara bagi kaum Yahudi. Sebenarnya, ini bukan barang baru, sekedar kelanjutan dalam kemasan berbeda kebijakan lama Nazi-Zionis untuk memisahkan kaum Yahudi dari bangsa Jerman. Upaya pertama membangun negara Yahudi seperti itu adalah Rencana Nisko. Rencana ini disusun oleh Eichmann dan Brigadefhrer SS, Franz Stahlecker, menyusul kemenangan Jerman atas Polandia. Polandia lalu dibagi antara Nazi dan Soviet, dan satu juta orang Yahudi Polandia yang berada di daerah pendudukan Jerman menjadi masalah bagi Nazi. Karena itu, Eichmann dan Stahlecker menyusun Rencana Nisko. Rencana ini mencakup pemindahan paksa kaum Yahudi yang tinggal di daerah-daerah yang baru diduduki, dan kaum Yahudi di daerah-daerah Reich lainnya, ke General Government (daerah Polandia yang diduduki Jerman), yang, apa pun daerah itu, tidak dianggap bagian dari Reich. Arendt mengatakan bahwa rencana ini perwujudan sementara tujuan Eichmann untuk menyediakan sebuah daerah bagi kaum Yahudi. Arendt juga menyebutkan bahwa perancang Rencana Nisko lainnya, Stahlecker, biasa berjabat tangan dengan para fungsionaris Yahudi. Rencana Eichmann dan Stahlecker mendapat dukungan Heydrich, sehingga ribuan orang Yahudi dikumpulkan di daerah otonom Nisko dan membangun kerangka kerja awal bagi sebuah pemerintahan. Suatu dewan kaum Yahudi dibentuk atas perintah Nazi, dan Eichmann menyusun sebuah pusat perpindahan kaum Yahudi. Para perwira SS mengatakan kepada kaum Yahudi yang dipindahkan ke daerah itu: Fhrer telah menjanjikan ... kaum Yahudi ... sebuah tanah air baru. Namun demikian, efektifitas rencana ini dihambat oleh suasana perang, dan tak sesuatu pun yang mirip negara sejati dapat terbentuk. Bagaimana pun, orang-orang Yahudi telah terkumpul dan kini akan lebih mudah memindahkan mereka ke Palestina.

h. 57 Sebagaimana diingatkan Arendt, Nazi mencoba mendirikan negara-negara otonom Yahudi di tempat lain. Upaya kedua Eichmann terjadi tahun 1940. Upaya ini dikenal sebagai Rencana Madagaskar, sebab dirancang untuk memindahkan 4 juta orang Yahudi ke Madagaskar, dan pembangunan sebuah negara bagi mereka di bawah perlindungan Nazi. Proyek ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan Proyek Uganda dulu yang dirancang oleh Inggris. Proyek Uganda menawarkan Uganda, bukan Palestina, sebagai tanah air bagi kaum Yahudi. Inggris lebih memilih Uganda karena khawatir pada keresahan bangsa Arab tentang Palestina. Proyek ini bagaimana pun ditolak para Zionis. Kini Nazi sedang mencoba sebuah proyek serupa. Karena tak menguasai Palestina, tak mungkin Nazi menawarkannya pada Zionis. Madagaskar, sebuah jajahan Vichy Perancis, tampaknya lebih mungkin secara politis . Satu contoh lain upaya membentuk sebuah negara Yahudi otonom adalah upaya Heydrich, dengan bantuan Eichmann, di Bohemia dan Moravia. Sebagaimana ditulis Arendt, Heydrich berjanji akan membuat negara itu judenrein jika dia diberikan kekuasaan atas Bohemia dan Moravia. Eichmann bertanya kepada Heydrich bagaimana melakukannya, dan menawarkan untuk mendirikan sebuah negara otonom. Heydrich menerima, dan memerintahkan pengosongan orang Ceko dari daerah Theresienstaadt. Kaum Yahudi Bohemia dan Moravia dipindahkan ke daerah yang dikosongkan itu. Masih ada fakta-fakta menarik lainnya. Mark Weber, dalam artikelnya Zionism and the Third Reich, menunjukkan bahwa di tahun 1942, seorang pengamat melaporkan bahwa ada sebuah kibbutz di Jerman yang berjalan atas izin resmi, yang melatih orang-orang Yahudi yang hendak pindah ke Palestina. Weber juga menyatakan bahwa kibbutz ini mungkin aktif di tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, kebijakan pemindahan, yang menjadi dasar persekongkolan Nazi-Zionis sebelum perang, berlanjut, sejauh dimungkinkan, selama perang. Dengan kata lain, persekongkolan antara Zionis dan Nazi berlanjut di saat mana jutaan kaum Yahudi tak bersalah hidup di bawah kekejaman dan penyiksaan serta jutaan orang dibunuh tanpa belas kasihan di kamp-kamp konsentrasi.

h. 58

BAB DUA: DUSTA KAMAR GAS


Perang Dunia II adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak terbantah. Sejarah juga memberikan petunjuk golongan-golongan tawanan yang dikirim Nazi ke kamp-kamp konsentrasi, termasuk kaum Yahudi, tawanan perang, orang-orang gipsi, para homoseks, dan musuh-musuh politik Reich. Para tawanan kamp-kamp konsentrasi ini memasok tenaga kerja bagi industri perang Jerman. Misalnya, tiga kamp utama dan kira-kira 40 kamp yang lebih kecil di Auschwitz, di Silesia Hulu, adalah sebuah pusat industri besar. Kebanyakan mereka yang bekerja di tambang-tambang, lahan-lahan pertanian, kilang-kilang minyak, pabrik-pabrik peluru, bengkel-bengkel petrokimia dan karet sintetis, serta tambak-tambak di kawasan ini adalah tawanan Auschwitz, di antaranya orangorang Yahudi. Pertanyaan yang harus dipikirkan di sini adalah apakah pembantaian terencana kaum Yahudi benar-benar terjadi, di kamp-kamp konsentrasi atau tempat-tempat lain. Sebab, walaupun keberadaan kamp-kamp konsentrasi itu suatu kenyataan yang tak terbantah, Holokaus tetap sebuah persangkaan yang tak terbukti. Malah, setumpuk petunjuk yang terkumpul di tahun-tahun terakhir menegaskan bahwa Holokaus sering diartikan sebagai pembantaian sengaja orang Jerman terhadap beberapa juta orang Yahudi, sebagian besar di kamar-kamar gas tak lebih dari sebuah dongeng. The Holocaust accusation was leveled during the war, but did not gain currency until after the war (and the war crimes trials), and has been widely accepted ever since. In recent decades, however, a number of historians and researchers who challenge the factuality of Holocaust extermination claims have begun to speak out. These writers, known as "revisionists" (not to be confused with Revisionist Zionists), do not believe in what they call the "official history;" instead they advance their own, revisionist thesis. This has come as a very unwelcome development for the proponents of the theory that the Nazi policy was to exterminate the Jews. Tuduhan Holokaus dilontarkan semasa perang, namun tidak mendapat perhatian hingga setelah perang (dan setelah pengadilan-pengadilan kejahatan perang) serta luas diterima sejak saat itu. Akan tetapi, pada beberapa dasawarsa terakhir, sejumlah sejarawan dan peneliti yang mempertanyakan kebenaran pernyataan-pernyataan tentang pemusnahan Holokaus mulai lantang bersuara. Para penulis ini, disebut dengan kaum revisionis (jangan dikacaukan dengan Zionis Revisionis), tidak mempercayai apa yang mereka istilahkan sejarah resmi; namun malah mengajukan tesis sendiri, yakni tesis revisionis. Ini menjadi perkembangan yang sangat tak diinginkan bagi para eksterminasionis (yakni, pendukung teori bahwa kebijakan Nazi adalah memusnahkan kaum Yahudi). The investigations of revisionist historians, as well of researchers from other fields, and subsequent analysis of their findings show clearly that Holocaust extermination claims are not factual but rather are part of a legend created and sustained through a systematic process of brainwashing. The only evidence of any substance that has been presented to confirm the Holocaust story has come in the form of testimony by perjured witnesses. It is certainly no exaggeration to call

h. 59 them perjurers because their stories wildly contradict the actual facts. For instance, today it is accepted even by the exterminationists that there were no gas chambers in the Dachau concentration camp. Yet many persons who claim to have been inmates at Dachau have stated that they saw a gas chamber there, and have often told sensational stories about it. Millions of people believe in the gas chambers due to the impact of films based on such lurid inventions. Nevertheless, the exterminationist mythologists have produced no hard evidence of a systematic massacre of the Jews by the Nazis. They have failed to produce a single item of forensic evidence to establish that "gas chambers" were utilized for mass murder. Penyelidikan para sejarawan revisionis, maupun para peneliti dari bidang-bidang lain, dan analisis lanjutan atas temuan-temuan mereka menunjukkan dengan jelas bahwa pernyataanpernyataan tentang pemusnahan Holokaus tidak benar, melainkan bagian dari sebuah dongeng yang diciptakan dan dipelihara lewat suatu proses cuci otak yang terencana. Satu-satunya petunjuk yang cukup berarti yang telah disajikan untuk membenarkan kisah Holokaus hadir berbentuk testimoni (kesaksian di bawah sumpah) saksi-saksi yang tak jujur. Mengatakan bahwa mereka saksi tak jujur jelas-jelas tak berlebihan karena cerita-cerita mereka sangat bertentangan dengan kenyataan sesungguhnya. Misalnya, bahwa tidak ada kamar gas di kamp konsentrasi Dachau sekarang ini diterima bahkan oleh para eksterminasionis. Namun, banyak orang yang mengaku pernah menjadi tawanan di Dachau mengatakan melihat sebuah kamar gas di sana, dan sering menuturkan kisahkisah menghebohkan tentangnya. Jutaan orang mempercayai kamar gas karena pengaruh film-film yang didasarkan pada reka-rekaan mengerikan semacam itu. Namun demikian, para pendongeng eksterminasionis tidak menyajikan satu pun petunjuk kuat tentang pembantaian terencana kaum Yahudi oleh Nazi. Mereka gagal memberikan satu saja petunjuk forensik untuk mendukung bahwa kamar gas benar-benar dipakai untuk pembunuhan massal. Constructing a homicidal gas chamber is not a simple matter. Had the Germans wanted to kill million people by gas, they would have had to design and manufacture all the more complicated a device. Yet, up to now not even a single bit of evidence substantiating the construction of such a "mass murder machine" has been found. Surely, designing and operating such machinery would have resulted in plans, budgets, expenditures, operating instructions and the equipment itself. A group of experts, including architects, chemists, physicians, and technicians would have been needed to design such a system. Membangun sebuah kamar gas pembunuh bukanlah masalah sederhana. Jika benar ingin membunuh jutaan orang dengan gas, orang-orang Jerman mesti merancang dan membuat sebuah peranti yang jauh lebih rumit. Namun, hingga kini, tidak sepotong pun petunjuk yang membenarkan pembuatan mesin pembunuh massal semacam itu pernah ditemukan. Pastilah, merancang dan menjalankan mesin seperti itu akan menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan, penganggaran, pembelanjaan, panduan kerja dan peralatan itu sendiri. Sekelompok pakar, termasuk arsitek, kimiawan, fisikawan, dan teknisi, akan dibutuhkan untuk merancang sistem sedemikian. In short, in order to carry out a systematic extermination policy, highly qualified personnel and highly efficient machinery would have been absolutely necessary. Today, however, it is

h. 60 impossible to find a shred of credible evidence for the existence of such an organization or system. It must be understood that today the exterminationists are able to offer no more than irrelevant, indirect, and vague assertions in place of evidence. David Cole, a young Jewish revisionist researcher, has the following to say on this issue: Singkatnya, untuk menjalankan kebijakan pemusnahan yang terencana, orang-orang yang amat ahli dan mesin yang amat efisien mutlak diperlukan. Akan tetapi, saat ini mustahil menemukan sepotong pun petunjuk yang meyakinkan tentang adanya organisasi atau sistem seperti itu. Harus dimengerti bahwa sekarang ini para eksterminasionis tak mampu menawarkan lebih dari pernyataan-pernyataan tegas yang tak berkaitan, tak langsung, dan samar-samar sebagai ganti bukti. David Cole, seorang peneliti revisionis Yahudi, mengatakan sebagai berikut tentang masalah ini: I know from years of my own research and the research of others that proofs of the Holocaust are few. Literally, all there is are the 'eyewitness' testimonies and the postwar confessions. There's no picture, plan or wartime document dealing with homicidal gas chambers or a plan to exterminate Jews. And we can't use the excuse the Nazis destroyed all the evidence because after we had broken the German code, we were able to intercept their secret transmissions, including those that came from Auschwitz. The key to understanding the Holocaust story is understanding the true nature of the things passed off as proofs. Everything that is used as evidence of the Holocaust also can be said to have a perfectly normal explanation Saya tahu dari bertahun-tahun penelitian saya sendiri dan orang-orang lain bahwa bukti-bukti Holokaus amat sedikit. Sederhananya, yang tersedia adalah testimoni para saksi mata dan pengakuan-pengakuan pascaperang. Tiada foto, rencana, atau dokumen masa perang mengenai kamar gas pembunuh atau rencana memusnahkan orang-orang Yahudi. Dan kita tak dapat memakai alasan bahwa Nazi memusnahkan semua bukti karena setelah memecahkan sandi Jerman, kita mampu menyadap komunikasi rahasia mereka, termasuk yang datang dari Auschwitz. Kunci bagi pemahaman kisah Holokaus adalah mengerti sifat sebenarnya hal-hal yang diajukan sebagai bukti. Segala sesuatu yang digunakan sebagai petunjuk Holokaus juga dapat dikatakan mempunyai penjelasan yang sepenuhnya wajar And some of the proofs they present actually work against the concept. For example, they have one of several aerial photographs taken at Auschwitz by the Allies during the war. They don't mention, however, that when blown up, these photographs don't show people being gassed or bodies being burned, even though these were taken during the time killings were said to be going on almost non-stop.1 In Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence, Wilhelm Stglich, a revisionist historian, writes: Because there are no documents from German official files which directly substantiate the existence of 'gas chambers' at Auschwitz, the extermination mythologists have attempted to deduce the presence of 'gas chambers' indirectly, from other documents.2

h. 61 Dan sebagian bukti yang mereka sajikan sebenarnya membantah gagasan dasar. Misalnya, mereka memiliki satu dari beberapa foto udara yang diambil di Auschwitz oleh tentara Sekutu semasa perang. Akan tetapi, mereka tak menyebutkan bahwa ketika diperbesar, foto-foto ini tak menunjukkan orang-orang yang sedang digas atau tubuh-tubuh yang sedang dibakar, walaupun diambil semasa pembunuhan dikatakan sedang berlangsung hampir tanpa henti.1 Di dalam buku Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence (Auschwitz: Seorang Hakim Memeriksa Bukti), Wilhelm Stglich, seorang sejarawan revisionis, menulis: Karena tiada dokumen dari arsip-arsip pejabat Jerman yang langsung membenarkan keberadaan kamar-kamar gas di Auschwitz, para pendongeng pemusnahan berupaya menarik kesimpulan adanya kamar gas dari dokumen-dokumen lain.2 Holocaust mythologists successfully supported their position through more devious means, as well, such as propagandized Holocaust movies and TV "docudramas," adding to a seemingly endless stream of false witnesses and misinterpreted documents. Over the years, they have convinced nearly the whole world that another Jewish genocide had occurred. Because of their techniques, the extermination legend has had an incredible impact on million people, an impact so powerful that the stories are now accepted without question by all but a few. Para pendongeng eksterminasionis berhasil menguatkan kedudukan mereka lewat cara-cara yang lebih licik pula, semisal film-film layar lebar dan dokumenter televisi propaganda Holokaus, menambah ke deretan saksi palsu yang tampak tanpa ujung dan dokumen-dokumen yang disalahtafsirkan. Selama bertahun-tahun, mereka telah meyakinkan hampir seluruh dunia bahwa satu lagi genosida kaum Yahudi telah terjadi. Karena teknik-teknik mereka, dongeng pemusnahan berpengaruh luar biasa pada jutaan orang, sebuah pengaruh yang begitu kuat sehingga kisah-kisah itu kini diterima tanpa pertanyaan oleh selain segelintir orang. Even so, investigation of extermination claims by a small band of researchers and historians around the world has shown again and again the evidence advanced by the exterminationists to be false. As a result, Holocaust mythologists have rejected elements of their own evidence. While they had formerly championed the existence of gas chambers in concentration camps throughout Germany, today they acknowledge that "there were no gas chambers on German soil." And where they once announced to the media that the number of "extermination victims" at the Auschwitz camp alone was around four million, today the exterminationists put the number of victims at a fraction of that and the figure is steadily being revised downward. Walau demikian, penyelidikan atas pernyataan-pernyataan tentang pemusnahan oleh sekelompok kecil peneliti dan sejarawan di seantero dunia telah menunjukkan lagi dan lagi bahwa petunjuk yang diajukan oleh para eksterminasionis itu keliru. Akibatnya, para pendongeng Holokaus telah menolak unsur-unsur dari petunjuk mereka sendiri. Sementara sebelumnya menyokong keberadaan kamar gas di kamp-kamp konsentrasi di seluruh Jerman, kini mereka mengakui bahwa tidak ada kamar gas di tanah Jerman. Dan sementara dulu mengumumkan di media bahwa jumlah korban pemusnahan di kamp Auschwitz saja sekitar 4 juta, kini para

h. 62 eksterminasionis menorehkan angka korban sebagian kecil darinya dan angka ini masih terusmenerus diturunkan.

Academics Challenge the 'Gas Chambers' Legend


Claims of the existence of "Nazi gas chambers" are a central part of the Holocaust legend. Consequently, researchers and academicians inquiring into the reality of the "gas chambers" have often been punished by the system that seeks to maintain the status quo. One revisionist scholar who challenged the standard gas chamber stories is Henri Roques, a Frenchman. Roques's doctoral dissertation analyzed the postwar "confessions" of SS officer Kurt Gerstein. On June 28, 1985, Roques was awarded a doctorate by the University of Nantes, with the additional distinction of "Very Good." On April 30, 1986, Ouest-France, a French newspaper, reported on Roques's successful doctorate as though it were a scandal. Five days later Paul Malvy, the provisional administrator of the University of Nantes, was quoted by the same newspaper to the effect that he had been deeply disturbed to read Roques's thesis. At the same time, he did not criticize Roques's findings. Roques and his dissertation became the center of attention for the national press, including radio and TV, after a leftist weekly, La Tribune, published a three-page story on his research under the headline "Very good mark for a thesis rejecting the gas chambers" on May 15, 1986. Roques discussed his research on Gerstein and the gas chambers on various television and radio programs, informing many people, for the first time, that there was a very different point of view on the Holocaust. These broadcasts caused a nationwide uproar.

Para Ilmuwan Membantah Dongeng Kamar Gas


Pernyataan-pernyataan tentang keberadaan kamar gas Nazi adalah titik pusat dongeng Holokaus. Karena itu, para peneliti dan ilmuwan yang mengkaji kebenaran kamar gas seringkali dihukum oleh sistem yang mencoba mempertahankan apa yang ada (status quo). Seorang sarjana revisionis yang membantah kisah-kisah baku kamar gas adalah Henri Roques, seorang Perancis. Disertasi doktor Roques menganalisis pengakuan-pengakuan pascaperang perwira SS Kurt Gerstein. Pada tanggal 28 Juni 1985, Roques dianugerahi gelar doktor oleh Universitas Nantes, dengan pujian tambahan Sangat Baik. Pada tanggal 30 April 1986, Ouest-France, sebuah suratkabar Perancis, melaporkan keberhasilan disertasi doktor Roques seakan itu sebuah aib. Lima hari kemudian, Paul Malvy, pejabat sementara rektor Universitas Nantes, dikutip oleh suratkabar yang sama seakan amat tersinggung membaca tesis Roques. Pada saat yang sama, ia tidak mengecam temuan-temuan Roques. Roques dan disertasinya menjadi pusat perhatian media nasional Perancis, termasuk radio dan televisi, setelah sebuah mingguan sayap kiri, La Tribune, menerbitkan kisah tiga halaman tentang penelitiannya bertajuk Nilai sangat baik untuk sebuah tesis yang menolak kamar gas pada tanggal 15 Mei 1986. Roques membahas penelitiannya tentang Gerstein dan kamar gas pada berbagai acara televisi dan radio, mengabarkan kepada banyak orang, untuk kali pertamanya, bahwa ada sudut pandang berbeda tentang Holokaus. Siaran-siaran ini menyebabkan kegemparan nasional.

h. 63 At length, Alain Devaquet, French minister of education, held a big press conference on the Roques doctorate, and announced that he had "canceled" Roques's doctoral degree. Yet, no one was able to raise any substantive points against the Roques's thesis presenting and analyzing the Gerstein "testimony." Indeed, more than one professor, including the famous historian and concentration camp survivor Michel Board, defended its merits. Despite the intervention of the French state and the French Establishment, the Roques thesis had a measurable impact on the Holocaust controversy in France. Soon there after, France's Holocaust lobby would need to resort to legal measures to contain the rising revisionist tide. Lama kemudian, Alain Devaquet, menteri pendidikan Perancis, menyelenggarakan jumpa pers besar tentang gelar doktor Roques, dan mengumumkan bahwa ia telah membatalkan gelar itu. Namun, tak seorang pun mampu mengangkat hal-hal penting yang menentang tesis Roques yang memaparkan dan mengurai testimoni Gerstein. Malah, lebih dari satu profesor, termasuk sejarawan terkenal dan orang yang selamat dari kamp konsentrasi Michel Board, membela faedah tesis itu. Sekalipun ada campur tangan dari negara dan penguasa Perancis, tesis Roques berpengaruh cukup besar bagi debat tentang Holokaus di negeri itu. Segera setelah itu, lobi Holokaus Perancis perlu memakai langkah-langkah hukum untuk membendung gelombang pasang revisionis.

The Leuchter Report: The First Forensic Examination of the 'Gas Chambers'
Perhaps the most valuable resource on the subject of the "gas chambers" is The Leuchter Report: The First Forensic Examination of Auschwitz. The book is based on and includes the "first forensic examination" of the gas chambers at the Auschwitz concentration in Poland, written by Fred A. Leuchter. Leuchter was a specialist in gas chambers and other means of execution who had worked for many years in American prisons. One day he was contacted by Ernst Zndel, a Canadian of German origins who doubted the Holocaust claims. Zndel had publicly questioned the Holocaust in Canada, and for that he was on trial. Desirous of evidence to rebut the Auschwitz gas chamber claims, as well as to enable his acquittal, Zndel convinced Leuchter, the gas chamber specialist, to conduct a forensic examination of the gas chambers at Auschwitz, the most notorious of the alleged Nazi "killing centers." Leuchter went to Auschwitz and Auschwitz-Birkenau, and later to the Majdanek and Dachau concentration camps, making thorough examinations of the supposed "gas chambers." In due course, he prepared a report in which he concluded that rooms asserted to be "gas chambers" at Auschwitz was not, could not have been, used for that alleged purpose.

h. 64

Laporan Leuchter: Penyelidikan Forensik Pertama atas Kamar Gas


Mungkin sumber paling berharga tentang masalah kamar gas adalah The Leuchter Report: The First Forensic Examination of Auschwitz (Laporan Leuchter: Penyelidikan Pertama atas Auschwitz). Buku ini didasarkan pada dan mencakup penyelidikan forensik pertama kamar gas di kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia, ditulis oleh Fred A. Leuchter. Leuchter adalah seorang spesialis kamar gas dan cara-cara hukuman mati lainnya yang telah bekerja bertahun-tahun di penjara-penjara Amerika. Suatu hari, ia dihubungi oleh Ernst Zndel, seorang Kanada keturunan Jerman yang meragukan pernyataan-pernyataan tentang Holokaus. Zndel secara terbuka mempertanyakan Holokaus di Kanada, dan karena itu ia diadili. Karena sangat menginginkan bukti untuk membantah pernyataan-pernyataan tentang kamar gas Auschwitz, maupun demi membebaskan dirinya, Zndel meyakinkan Leuchter, spesialis kamar gas, agar melakukan penyelidikan forensik kamar-kamar gas di Auschwitz, yang paling tersohor dari yang disangka pusat-pusat pembantaian Nazi. Leuchter pergi ke kamp-kamp konsentrasi Auschwitz dan Auschwitz-Birkenau, lalu ke Majdanek dan Dachau, melakukan penyelidikan menyeluruh atas tersangka kamar-kamar gas. Sambil jalan, ia menyiapkan sebuah laporan yang di dalamnya ia menyimpulkan bahwa yang disangka kamar-kamar gas di Auschwitz tidak, dan tidak bisa, digunakan demi maksud yang disangkakan itu. It is worth noting that previously Leuchter had never questioned the gas chambers or the Holocaust. He arrived at his conclusions only after making a serious scientific examination of Auschwitz. On April 23, 1988, Robert Faurisson, the famous French professor and a leading Holocaust revisionist, wrote of Leuchter's report: Upon return, Fred Leuchter wrote his report of 192 pages including appendices. His conclusions were clear: the evidence was overwhelming that there were no execution gas chambers at Auschwitz, Birkenau and Majdanek and that the alleged gas chambers at these sites could not have been, then or now, utilized or seriously considered to function as execution gas chambers. [] He went to Poland, conducted the forensic examination, wrote his report and testified in a Canadian court on behalf of Mr. Zndel. In so doing he has quietly entered history. 3 Patut dicatat bahwa sebelumnya Leuchter tidak pernah mempertanyakan kamar gas atau Holokaus. Ia mencapai kesimpulannya hanya setelah melakukan penyelidikan ilmiah yang sungguh-sungguh atas Auschwitz. Pada tanggal 23 April 1988, Robert Faurisson, profesor Perancis terkenal dan seorang revisionis Holokaus terkemuka, menulis tentang Laporan Leuchter:

h. 65 Setelah kembali, Fred Leuchter menulis laporan 192 halamannya, termasuk lampiran. Kesimpulannya jelas: petunjuk meyakinkan bahwa tiada kamar gas pembunuh di Auschwitz, Birkenau, serta Majdanek, dan bahwa yang disangka kamar gas di tempat-tempat itu tak pernah bisa, dulu dan kini, dimanfaatkan atau sungguh-sungguh dipertimbangkan untuk berfungsi sebagai kamar gas pembunuh. [] Ia pergi ke Polandia, melakukan penyelidikan forensik, menulis laporannya, dan bersaksi di pengadilan Kanada membela Tuan Zndel. Dengan berbuat demikian, diam-diam ia memasuki sejarah.3 The Leuchter Report caused a shock wave among the exterminationists, for it was the first expert study challenging the historical reality of the alleged Nazi homicidal gas chambers. The results of laboratory analysis of structural material taken from the alleged gas chambers were findings based on chemistry and physics: The "gas chambers" of Auschwitz, examined scientifically, could not have been used for mass killing. In Leuchter's own words: "The purpose of this report and the investigation upon which it is based is to determine whether the alleged execution gas chambers and the crematory facilities at three (3) sites in Poland, namely: Auschwitz, Birkenau and Majdanek, could have operated in the manner ascribed them in Holocaust literature. Laporan Leuchter menyebabkan gelombang kejut di antara para eksterminasionis, sebab laporan itu kajian pakar pertama yang menentang kenyataan sejarah dari yang disangka kamar gas pembunuhnya Nazi. Hasil-hasil analisis laboratorium bahan bangunan yang diambil dari yang disangka kamar gas adalah temuan-temuan yang berdasarkan pada ilmu kimia dan fisika: kamarkamar gas Auschwitz, yang diteliti secara ilmiah, tak bisa digunakan untuk pembantaian massal. Menurut kata-kata Leuchter sendiri: Maksud laporan ini dan penyelidikan atas mana laporan ini didasarkan adalah menentukan apakah yang disangka kamar-kamar gas dan sarana-sarana krematorium di tiga (3) tempat di Polandia, yakni: Auschwitz, Birkenau, dan Majdanek, dapat beroperasi dengan cara yang disangkakan menurut kepustakaan Holokaus. The principal investigator and the author of this report is a specialist on design and fabrication of execution hardware and specifically has worked on and designed hardware in the United States used in the execution of condemned persons by means of hydrogen cyanide gas. The investigator has inspected the facilities at Auschwitz, Birkenau, and Majdanek, made measurements, taken forensic samples, reviewed design and procedural literature on DEGESCH delousing chambers and procedures, Zyklon B gas, and materials on execution procedures. The scope of this report includes a physical inspection and quantitative data obtained at Auschwitz, Birkenau and Majdanek, literature supplied by the officials at the three (3) museum sites, blueprint copies of Kremas I, II, III, IV and V obtained at the museums, material relative to DEGESCH delousing chambers and facilities (including equipment and procedures utilized with

h. 66 Zyklon B gas), a description of operational procedures at the facilities in question and forensic samples taken at the Kremas investigated. Penyelidik utama dan penulis laporan ini adalah seorang spesialis perancangan dan pembuatan perangkat keras hukuman mati dan lebih jauh telah bekerja untuk dan merancang perangkat keras di Amerika Serikat yang digunakan pada penghukuman para terpidana mati dengan pemberian gas hidrogen sianida. Penyelidik telah memeriksa sarana-sarana di Auschwitz, Birkenau, dan Majdanek, melakukan pengukuran, mengambil percontoh forensik, mengkaji rancangan dan buku-buku tentang tatalaksana dan kamar pembasmian tuma DEGESCH, gas Zyklon B, serta tatalaksana hukuman mati. Ruang lingkup laporan ini mencakup pemeriksaan fisik dan data terukur yang diperoleh di Auschwitz, Birkenau, dan Majdanek, kepustakaan yang dipasok oleh para pejabat di ketiga (3) situs museum, salinan cetakbiru krematorium-krematorium I, II, III, dan IV yang didapat di museum-museum itu, bahan-bahan sekitar sarana dan kamar pembasmian tuma DEGESCH (termasuk peralatan dan tatalaksana yang dipakai untuk gas Zyklon B), sebuah penjelasan tatalaksana operasi di saranasarana tersebut dan percontoh-percontoh forensik yang diambil dari krematorium-krematorium yang diselidiki. Utilizing all of the above data, the investigator has limited the focus of this study to a determination of: (a) the capability of the alleged execution chambers to have accomplished the mass murder of human beings by the use of Zyklon B gas in Auschwitz I and Birkenau and carbon monoxide and/or Zyklon B gas in Majdanek; (b) the capability of the investigated kremas to have accomplished the alleged number of human cremations in the alleged time period. After study of the available literature, examination and evaluation of the existing facilities at Auschwitz, Birkenau and Majdanek, with expert knowledge of the design criteria for gas chamber operation, an investigation of crematory technology and an inspection of modern crematories, the author finds no evidence that any of the facilities normally alleged to be execution gas chambers were ever used as such, and finds, further, that because of the design and fabrication of these facilities, they could not have been utilized for execution gas chambers. Menggunakan semua data di atas, penyelidik telah membatasi fokus kajian ini ke penentuan (a) kemampuan dari yang disangka kamar-kamar pembunuh melaksanakan pembunuhan massal manusia memakai gas Zyklon B di Auschwitz I dan Birkenau, serta gas karbon monoksida dan/atau Zyklon B di Majdanek; (b) kemampuan krematorium-krematorium yang diselidiki melaksanakan pengabuan jumlah orang yang disangkakan selama kurun waktu yang disangkakan. Setelah kajian atas bahan-bahan rujukan yang tersedia, penyelidikan, dan penilaian atas sarana-sarana yang ada di Auschwitz, Birkenau, dan Majdanek, dengan pengetahuan mumpuni tentang prasyarat perancangan bagi operasi kamar gas, penyelidikan teknologi pengabuan, dan pemeriksaan kamar-kamar pengabuan mutakhir, penulis tidak menemukan bukti bahwa salah satu sarana yang biasanya disangka kamar gas pembunuh pernah digunakan secara demikian, dan lebih

h. 67 jauh menemukan bahwa karena perancangan dan pembuatannya, sarana-sarana ini tak bisa telah dipakai sebagai kamar gas pembunuh. Additionally, an evaluation of the crematory facilities produces conclusive evidence that contradicts the alleged volume of corpses cremated in the generally alleged time frame. It is, therefore, the best engineering opinion of the author that none of the facilities examined were ever utilized for the execution of human beings and that the crematories could never have supported the alleged work load attributed to them. After reviewing all of the material and inspecting all of the sites at Auschwitz, Birkenau and Majdanek your author finds the evidence as overwhelming. There were no execution gas chambers at any of these locations. It is the best engineering opinion of this author that the alleged gas chambers at the inspected sites could not have then been, or now, be utilized or seriously considered to function as execution gas chambers."4 Tambahan lagi, penilaian atas sarana-sarana krematorium memberikan petunjuk meyakinkan yang menyangkal jumlah mayat yang disangkakan dalam kurun waktu yang disangkakan. Karena itu, pendapat teknis terbaik penulis adalah tak satu pun sarana yang diselidiki pernah dipakai membunuh manusia dan bahwa krematorium-krematorium tak pernah bisa mendukung beban kerja yang disangkakan. Setelah mengkaji semua bahan dan memeriksa semua situs di Auschwitz, Birkenau, dan Majdanek, penulis menemukan bahwa petunjuknya sangat meyakinkan. Tiada kamar gas pembunuh di mana pun di tempat-tempat ini. Pendapat teknis terbaik penulis ini adalah bahwa yang disangka kamar gas di situs-situs yang diperiksa tidak bisa dulu, atau kini, digunakan atau sungguhsungguh dipertimbangkan untuk berfungsi sebagai kamar-kamar gas pembunuh.4 After his first report, Leuchter issued three more reports on the gas chamber issue. The second dealt with "gas chambers" alleged to have existed at Dachau and Mauthausen concentration camps and in the supposed euthanasia center at Hartheim. In his third report, Leuchter examined a functioning execution gas chamber in Missouri and clearly defined the operational prerequisites for a gas chamber. Leuchter's fourth report pointed out fraud and deception in a book by Jean-Claude Pressac, an exterminationist writer attempting to vindicate the existence of the alleged Nazi gas chambers, titled Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers. According to Leuchter, Pressac had completely neglected the basic principles of physics and thus had arrived at conclusions that were logically impossible from the available data. Various incoherent passages from Pressac's book have later been cited to humorous effect in revisionist studies. Setelah laporan pertamanya, Leuchter menerbitkan tiga laporan lain tentang masalah kamar gas. Yang kedua membahas kamar-kamar gas yang disangkakan ada di kamp-kamp konsentrasi Dachau dan Mauthausen dan yang diperkirakan pusat eutanasia (pembunuhan demi alasan kesehatan) di Hartheim. Pada laporan ketiga, Leuchter meneliti kamar gas pembunuh yang berfungsi di Missouri dan menetapkan dengan jelas prasyarat-prasyarat kerja bagi sebuah kamar gas. Laporan keempat Leuchter menunjukkan tipuan dan muslihat di dalam sebuah buku Jean-

h. 68 Claude Pressac, seorang penulis eksterminasionis yang berupaya membenarkan keberadaan dari yang disangka kamar gas Nazi, berjudul: Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers (Auschwitz: Teknik dan Operasi Kamar Gas). Menurut Leuchter, Pressac telah mengabaikan sepenuhnya prinsip-prinsip dasar fisika dan karena itu sampai ke kesimpulankesimpulan yang mustahil secara nalar jika merujuk ke data yang tersedia. Berbagai kutipan yang tak selaras dari buku Pressac belakangan dikutip seakan lelucon di dalam kajian-kajian revisionis.

Gas Chambers: The Most Complicated Technology of Execution


In today's high-tech world, gas chambers, thanks to certain technical shortcomings, are not generally considered a trustworthy means of execution. Considering that these technical failings cannot be eliminated completely even with today's know-how, the claim that gas chambers were used as an effective method of mass murder over half a century ago is questionable, at the least, and clearly calls for further investigation and more evidence. If one looks at the history of execution by gassing in the United States, one easily grasps the difficulty gas chambers present as a means of execution.

Kamar Gas: Teknologi Pembunuh yang Paling Rumit


Dalam dunia teknologi tinggi masa kini, kamar-kamar gas, berkat kendala teknis tertentu, secara umum tak dianggap sebagai alat menghukum mati yang terpercaya. Dengan mengingat bahwa kekurangan-kekurangan teknis ini tidak dapat sepenuhnya ditanggulangi bahkan dengan pengetahuan teknis masa kini, pernyataan bahwa kamar gas digunakan sebagai cara efektif pembunuhan massal lebih dari setengah abad yang lalu setidaknya diragukan, dan jelas-jelas membutuhkan penyelidikan lebih lanjut dan petunjuk lebih banyak. Jika meneliti sejarah hukuman mati dengan gas di Amerika Serikat, orang akan mudah memahami kesukaran yang dihadirkan kamar gas sebagai sebuah sarana hukuman mati. The first execution by gassing in the U. S. took place in Nevada's Carson City Prison on February 8, 1924. Two hours after the execution, it was still possible to smell the odor of gas in the prison yard. The prison's warden, M. Dickerson, stated that gassing was the most humane method of execution. Yet he made it very clear that he would not gas any more condemned prisoners because of the dangers gassing involved; due to leaking gas, witnesses to the execution had had to flee the site. The technical problems that had surfaced in 1924 could not be entirely solved in the years that followed. Thus Robert Faurisson, in his own right a student of American execution procedures by gas, writes in his introduction to the Leuchter Report: "Executions using this gas were carried out for the first time in the United States in 1924, but as late as 1988 major difficulties still existed in the construction of execution gas chambers, including the problem of leakage."5 Hukuman mati pertama dengan gas di Amerika Serikat berlangsung di Carson City Prison, Nevada pada tanggal 8 Februari 1924. Dua jam setelah pelaksanaan, orang masih bisa mencium

h. 69 bau gas di halaman penjara. Sipir penjara M. Dickerson mengatakan bahwa penggasan adalah cara hukuman mati yang paling manusiawi. Namun, ia dengan tegas menyatakan tak akan lagi menghukum terpidana mati dengan gas karena bahaya-bahaya yang dicakupnya; akibat kebocoran gas, para saksi hukuman mati harus melarikan diri dari tempat pelaksanaan. Masalah-masalah teknis yang muncul di tahun 1924 tidak bisa sepenuhnya dipecahkan di tahun-tahun berikutnya. Karena itu, Robert Faurisson, yang juga seorang pengkaji tatalaksana hukuman mati dengan gas di Amerika, menulis pada pengantarnya bagi Laporan Leuchter: Hukuman mati menggunakan gas ini dilakukan di Amerika Serikat kali pertama di tahun 1924, namun, hingga tahun 1988, kesukaran-kesukaran besar dalam pembangunan kamar gas pembunuh masih ada, termasuk masalah kebocoran.5 Execution by gassing is not as simple as it sounds; it requires complex equipment and procedures, making the process both complicated and sophisticated. In his first report Leuchter states: the director of the Missouri State Penitentiary, Bill Armontrout, had given testimony explaining the procedures and practical operation of a cyanide gas chamber. For every attentive listener it was revealed that if it was so difficult to execute a single person in this manner, then the alleged execution of hundreds of thousands of persons by the Germans using Zyklon B would equal the problem of trying to square the circle.6 Hukuman mati dengan gas tidaklah sesederhana kedengarannya; cara ini memerlukan peralatan dan tatalaksana yang rumit, membuat pelaksanaannya sukar sekaligus canggih. Dalam laporan pertamanya, Leuchter mengatakan: Kepala Missouri State Penitentiary, Bill Armontrout, telah memberikan testimoni yang menjelaskan tatalaksana dan operasi lapangan sebuah kamar gas sianida. Bagi setiap pendengar yang menyimak, terungkap bahwa jika begitu sukar menghukum mati satu orang dengan cara ini, maka pembunuhan ratusan ribu orang yang disangkakan dilakukan Jerman menggunakan Zyklon B sama dengan masalah mencoba membuat lingkaran menjadi persegi.6

Laboratory Analysis Rejects Gas Chambers


Hydrogen cyanide gas, which was long sold commercially in the form of an insecticide called Zyklon B, is a highly permeable gas that adheres to the surfaces of the places in which it is used. Its residue can linger for many years. Leuchter gathered thirty-two different samples of materials from the walls, ceilings, and floors of the alleged gas chambers of Auschwitz and for the first time subjected them to a sophisticated laboratory analysis, the results of which refuted charges that the chambers in question had been used for "gassing."

According to Leuchter:
Dr. James Roth [manager of Alpha Analytical Laboratories in Ashland, Massachusetts] reported on the analysis of the samples taken from the walls, floors, ceilings and other structures inside alleged gas chambers of Auschwitz I and Birkenau. These tests revealed either no detection of traces of cyanide or extremely low levels The extremely low levels of cyanide found in some

h. 70 crematoria was likely, in my opinion, to have resulted from disinfection of the premises during the war.7

Analisis Laboratorium Menyangkal Kamar Gas


Gas hidrogen sianida, yang sejak lama diperjualbelikan berbentuk insektisida yang disebut Zyklon B, adalah gas mudah meresap yang melekat ke permukaan tempatnya digunakan. Endapan gas ini dapat bertahan beberapa tahun. Leuchter mengumpulkan 32 percontoh bahan yang berbeda dari dinding, langit-langit, dan lantai dari yang disangka kamar gas di Auschwitz, dan menjadikan bahan-bahan ini untuk kali pertamanya sebagai sasaran analisis laboratorium yang canggih, yang hasil-hasilnya membantah tuduhan-tuduhan bahwa ruangan-ruangan itu pernah digunakan untuk penggasan.

Menurut Leuchter:
Dr. James Roth [pengelola Alpha Analytical Laboratory di Ashland, Massachussets] melaporkan tentang analisis percontoh-percontoh yang diambil dari dinding, lantai, langit-langit, dan bangunan-bangunan lain di di dalam yang disangka kamar gas di Auschwitz I dan Birkenau. Pengujian-pengujian ini mengungkapkan tak tertangkapnya jejak atau amat rendahnya kadar sianida Kadar sianida amat rendah yang ditemukan di beberapa krematorium sepertinya, menurut pendapat saya, berasal dari penyucihamaan tempat-tempat itu semasa perang.7 Side by side with the laboratory analysis of Leuchter's samples, another of his discoveries helped put an end to the gas chamber legend: The light blue traces that normally appear on surfaces in places where Zyklon B was intensively used were not found on the walls of alleged gas chambers. Perhaps surprisingly to many, Zyklon B gas was used for disinfection elsewhere in the concentration camps' delousing chambers. What's more, one can still see the blue traces of cyanic compounds on the walls of these delousing chambers today. This is powerful evidence that Zyklon B was actually used for disinfecting clothes, blankets, and the like in the delousing chambers, and that it was not used in the so-called gas chambers for mass murder. "Ditlieb Felderer [a revisionist researcher from Sweden] published photographs indicating the flimsy construction of vents and doors to the gas chambers and the lack of prussian blue stain on the walls [of the alleged homicidal gas chambers]."8 Bersama dengan analisis laboratorium percontoh bahan, temuan-temuan Leuchter lainnya membantu mengakhiri dongeng kamar gas: jejak biru terang yang biasanya timbul di permukaan tempat Zyklon B digunakan secara terus-menerus tak ditemukan di dinding-dinding dari yang disangka kamar gas. Mungkin mengagetkan banyak orang, Zyklon B digunakan untuk penyucihamaan di tempat lain di kamar pembasmian tuma kamp-kamp konsentrasi. Terlebih lagi, orang masih dapat melihat jejak-jejak biru senyawa sianida di dinding kamar-kamar penyucihamaan ini sekarang. Inilah bukti kuat bahwa Zyklon B sebenarnya dipakai membersihkan baju, selimut, dan sejenisnya di kamarkamar penyucihamaan, dan tidak digunakan di yang disebut kamar gas untuk pembunuhan massal.

h. 71 Ditlieb Felderer [peneliti revisionis dari Swedia] mencetak foto-foto yang menunjukkan ringkihnya bikinan lubang angin dan pintu kamar-kamar gas dan tiadanya noda biru muda di dinding-dinding [dari yang disangka kamar gas].8 Revisionist David Cole, himself Jewish, rejects the Holocaust legend and stresses that blue traces of cyanic compounds have not been discovered in the alleged gas chambers: In 1988, execution equipment expert Fred Leuchter conducted forensic examinations on the gas chambers at Auschwitz to answer that question. He took samples from the four gas chambers at Birkenau, the one at the main camp and the control sample from one of the disinfestation chambers that we know did use Zyklon B. Now, the gas chamber samples showed almost no appreciable traces whereas the disinfestation sample literally went right off the scale.9 Revisionis David Cole, seorang Yahudi, menolak dongeng Holokaus dan menegaskan bahwa jejak-jejak biru senyawa sianida tidak pernah ditemukan di dalam yang disangka kamar gas: Pada tahun 1988, pakar perangkat hukuman mati Fred Leuchter melakukan penyelidikan forensik pada kamar-kamar gas di Auschwitz untuk menjawab pertanyaan itu. Ia mengambil percontoh dari empat kamar gas di Birkenau, satu dari kamp utama dan percontoh pembanding dari satu kamar penyucihamaan yang kita tahu benar menggunakan Zyklon B. Kini, percontohpercontoh dari kamar gas menunjukkan hampir tiada jejak yang teramati, sementara percontoh penyucihamaan secara gamblang berada di atas skala.9

Zyklon B Was Used As a Fumigant


Zyklon B has been used for fumigation since the First World War. Paul Rassinier, a French revisionist, recalls: "Now in fact Zyklon B is a pesticide used for disinfection in the German army since 1924."10 Regarding his visit to the Auschwitz State Museum, David Cole had the following to say about Zyklon B: What about the canisters of gas? No one denies that Zyklon B was used to disinfect clothes and also buildings. Zyklon B was one of the premier pest control agents in Europe at that time. It was present in most of the concentration camps including those that were not said to have had homicidal gas chambers in them. Zyklon B was used for disinfection during the Second World War. David Cole mentions this fact in his video; it is accepted by knowledgeable exterminationists as well: In his book, Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers, published by the (Beate) Klarsfeld Foundation and meant to refute revisionists, Jean-Claude Pressac admits that over 95 percent of the Zyklon B used by the Germans was used to disinfect.11

h. 72

Gas Zyklon B Digunakan sebagai Pembasmi Hama


Zyklon B telah digunakan sebagai pembasmi hama sejak Perang Dunia I. Paul Rassinier, seorang revisionis Perancis, mengenang: Kini, kenyataannya, Zyklon B adalah pestisida yang digunakan untuk penyucihamaan di angkatan bersenjata Jerman sejak 1924.10 Mengenai kunjungannya ke Museum Negara Auschwitz, David Cole mengatakan yang berikut tentang Zyklon B: bagaimanakah dengan tabung gasnya? Tak seorang pun membantah bahwa Zyklon B dipakai menyucihamakan pakaian dan juga bangunan. Zyklon B adalah salah satu zat utama pengendali hama di Eropa di masa itu. Gas ini ada di sebagian besar kamp konsentrasi, termasuk yang dikatakan tak berkamar gas pembunuh. Zyklon B digunakan untuk penyucihamaan semasa Perang Dunia II. David Cole menyebutkan kenyataan ini dalam videonya; kenyataan yang juga diterima oleh para eksterminasionis yang berpengetahuan luas: Di dalam bukunya, Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers, yang diterbitkan oleh (Beate) Klarsfeld Foundation, dan dimaksudkan untuk menyangkal para revisionis, Jean-Claude Pressac mengakui bahwa lebih dari 95 persen Zyklon B yang digunakan Jerman dipakai menyucihamakan.11 The Germans used Zyklon B during the Second World War above all to battle typhus. The pesticide played an important role in disinfecting clothes, one of the main factors in the transmission of typhus germs. Disinfection, in which Zyklon B played the key role, reduced the death rate from typhus and other diseases. There was even a special department in each concentration camp charged with fighting typhus and other diseases, called the "Disinfection Department." These disinfection departments used, among other equipment, fumigation chambers designed by the company DEGESCH to control fleas and lice, the latter of which were the chief transmitters of the typhus bacillus. Prisoners' clothes, placed in fumigation chambers quite small in size, were disinfected with Zyklon B. On this issue, Faurisson says: Di atas segalanya, Jerman menggunakan Zyklon B selama Perang Dunia II untuk memerangi tifus. Pestisida ini berperan penting dalam penyucihamaan pakaian, salah satu perantara utama penularan kuman tifus. Penyucihamaan, di mana Zyklon B memegang peran kunci, mengurangi laju kematian akibat tifus dan penyakit-penyakit lainnya. Malah ada bagian khusus di tiap kamp konsentrasi yang ditugasi memerangi tifus dan penyakit-penyakit lain, dinamakan Bagian Penyucihamaan. Bagian-bagian penyucihamaan ini menggunakan, di antara aneka peralatan, kamar-kamar penyucihamaan yang dirancang oleh perusahaan DEGESCH untuk mengendalikan kutu dan tuma, hama yang terakhir ini adalah penyebar utama basil tifus. Pakaian para tawanan, yang dimasukkan ke kamar-kamar penyucihamaan yang dari segi ukurannya kecil, disucihamakan dengan Zyklon B. Tentang hal ini, Faurisson mengatakan: In Germany, there were different types of gas chambers. The most typical use of Zyklon was for disinfecting rooms and barracks. Everything was sealed and then the necessary amount of

h. 73 Zyklon was emptied in. It is conceded that this gas, that has become the topic of fantastic stories, was used to kill the lice and other insects and pests.12 Millions of people have been led to believe that certain of these fumigation chambers were homicidal gas chambers. Near the end of the war, Allied soldiers at Dachau and elsewhere took photographs of the doors of these fumigation, or delousing, chambers, which were then presented to the public as gas chamber doors. Di Jerman, ada berbagai jenis kamar gas. Penggunaan Zyklon yang paling umum adalah menyucihamakan kamar-kamar dan barak-barak. Semuanya disekat dan lalu sejumlah Zyklon yang diperlukan dituangkan masuk. Disepakati orang bahwa gas ini, yang telah menjadi bahan kisahkisah khayali, dipakai membunuh tuma serta serangga dan hama lainnya.12 Jutaan orang telah dibuat percaya bahwa sebagian kamar penyucihamaan ini adalah kamarkamar gas pembunuh. Mendekati akhir perang, tentara Sekutu di Dachau dan tempat-tempat lain mengambil foto pintu kamar-kamar penyucihamaan, atau pembasmian tuma ini, yang lalu disajikan kepada umum sebagai pintu kamar-kamar gas. In short, as a result of systematic propaganda, certain "fumigation chambers" were described as "gas chambers," just as the lifesaving disinfection agent Zyklon B was claimed to be a "mass murder gas." Because only the doors of the chambers were photographed, the public never had the chance to see how small these chambers actually were. Fred Leuchter stated in his first report that Zyklon B gas was actually used as a lifesaving fumigation chemical and not as a killing device. Singkatnya, akibat propaganda yang terencana, kamar penyucihamaan tertentu dilukiskan sebagai kamar gas, sama seperti zat penyucihamaan penyelamat hidup Zyklon B dinyatakan sebagai gas pembunuh massal. Karena hanya pintunya yang difoto, khalayak ramai tak pernah berkesempatan melihat betapa kecil sesungguhnya kamar-kamar ini. Fred Leuchter menyatakan di dalam laporan pertamanya bahwa gas Zyklon B sebenarnya digunakan sebagai bahan kimia penyucihamaan penyelamat jiwa, bukan sebagai peranti pembunuh. Hydrogen cyanide gas (HCN or hydrocyanic acid) has been utilized as a fumigant since before WWI. It has been used side-by-side with steam and hot air and during WWII with DDT by the United States and its Allies. HCN is generally produced by a chemical reaction of sodium cyanide with dilute sulfuric acid This procedure has been utilized for pest and vermin control on ships, in buildings and in specially designed chambers and structures. Special design and handling considerations must be followed to ensure the safety of the users (technicians). Hydrogen cyanide is one of the most powerful and dangerous of all fumigation chemicals. HCN has been used everywhere for disease control; specifically for plague and typhus i.e. rat, flea and lice control. Special chambers were used

h. 74 since WWI in Europe and the United States. Some of these chambers were used by the German Army in Europe before and during WWII and much earlier by the United States Immigration Service at Ellis Island, New York harbor. Many of these fumigation chambers were made for DEGESCH, a German firm located in Frankfurt-am-Main, Germany Gas hidrogen sianida (HCN, atau asam hidrosianik) telah digunakan sebagai pembasmi hama sejak sebelum Perang Dunia I. Gas ini dipakai bersama dengan uap dan udara panas serta, semasa Perang Dunia I, DDT, oleh Amerika Serikat dan para sekutunya. HCN umumnya dihasilkan oleh reaksi kimia antara natrium sianida dan larutan asam sulfat Tatalaksana ini telah digunakan untuk pengendalian hama di kapal-kapal, gedung-gedung, serta kamar-kamar dan bangunan-bangunan yang dirancang khusus. Pertimbangan-pertimbangan perancangan dan penanganan khusus harus ditaati demi memastikan keamanan pemakai (teknisi). Hidrogen sianida adalah salah satu bahan kimia pembasmi hama yang paling kuat dan berbahaya. HCN telah digunakan di seluruh dunia untuk pengendalian penyakit; khususnya pes dan tifus, dengan kata lain, pengendalian tikus, kutu, dan tuma. Kamar-kamar khusus digunakan sejak Perang Dunia I di Eropa dan Amerika Serikat. Sebagian kamar-kamar ini digunakan oleh angkatan bersenjata Jerman di Eropa sebelum dan selama Perang Dunia II, dan jauh sebelumnya oleh Dinas Imigrasi Amerika Serikat di Ellis Island, pelabuhan New York. Banyak dari kamar-kamar penyucihamaan ini dibuat untuk DEGESCH, sebuah firma Jerman yang berkedudukan di Frankfurtam-Main, Jerman Zyklon B was a special commercial preparation containing hydrocyanic acid. The name 'Zyklon B' was itself a trade name It was supplied either in discoids or snippets and pellets The discoids, snippets or pellets had to be spread on the floor of the area to be fumigated or utilized in a chamber which circulated and heated the air within the chamber in excess of 78.3 [degrees] F (25.7 [degrees] C). If used in buildings, ships, or tents to fumigate trees and produce, the area must be heated to an excess of 78.3 [degrees] F temperature, the boiling point of HCN. Failure to do this will result in a much longer time to complete the fumigation. Fumigation takes a minimum of 24 to 48 hours. After fumigation, the ventilation of the area must take a minimum of 10 hours, depending on the location (and volume), and longer if the building has no windows or exhaust fans.13 That Zyklon B was shipped to the concentration camps is not a controversial matter at all; invoices pertaining to the shipments are not challenged by any party to the Holocaust debate. However, a consideration of the real reason for these shipments is in order. As previously mentioned, Zyklon B was used for disease control: specifically, against typhus. It was thus a hygienic measure against the spread of disease. Zyklon B adalah sediaan kimia khusus yang mengandung asam hidrosianik. Nama Zyklon B itu sendiri sebuah merk dagang Zat ini dipasok berbentuk kepingan dan butiran Kepingan atau butiran ini harus disebar di lantai daerah yang akan disucihamakan atau dipakai di dalam sebuah kamar yang memutar dan memanaskan udara di dalamnya lebih dari 78,3 [derajat] F (25,7 [derajat] C). Jika digunakan di dalam bangunan, kapal, atau tenda untuk menyucihamakan pohon

h. 75 dan tanaman pangan, daerah itu mesti dipanaskan hingga suhunya lebih dari 78,3 [derajat] F, titik didihnya HCN. Kegagalan melakukan hal ini akan berakibat jauh lebih lamanya waktu penyucihamaan. Penyucihamaan memakan waktu sedikitnya 24 sampai 48 jam. Setelah penyucihamaan, pertukaran udara di ruangan mesti memakan waktu sedikitnya 10 jam, bergantung pada tempatnya (dan volumenya), dan lebih lama lagi jika bangunan tak berjendela atau kipas pembuangan.13 Bahwa Zyklon B dikapalkan ke kamp-kamp konsentrasi sama sekali bukan masalah yang dipertentangkan; tagihan-tagihan yang terkait dengan pengapalan itu tak dipertanyakan pihak mana pun dalam debat Holokaus. Akan tetapi, pertimbangan terhadap alasan sejati pengapalanpengapalan ini wajar. Sebagaimana telah disebutkan, Zyklon B digunakan untuk pengendalian penyakit: khususnya, melawan tifus. Jadi, Zyklon B adalah sebuah tindakan kesehatan melawan penyebaran penyakit. Invoices for shipments of Zyklon B to the camps were submitted as evidence of extermination in the postwar trials of the Nazis. These invoices are by no means evidence of gas chambers and homicidal gassing. Revisionists don't deny that Zyklon B was indeed ordered by the concentration camps and shipped there by the manufacturing company DEGESCH. This is no secret. What the exterminationists must establish is not that the gas was shipped: The main issue to be investigated remains whether or not the gas was actually used to kill people. Tagihan-tagihan atas pengapalan Zyklon B ke kamp-kamp diajukan sebagai petunjuk pemusnahan di pengadilan-pengadilan pascaperang kaum Nazi. Tagihan-tagihan ini sama sekali bukan petunjuk kamar gas dan pembunuhan dengan gas. Para revisionis tidak menyangkal bahwa Zyklon B benar-benar dipesan oleh kamp-kamp konsentrasi dan dikapalkan ke sana oleh perusahaan permesinan DEGESCH. Ini bukan rahasia. Apa yang harus dibuktikan para eksterminasionis bukanlah bahwa gas dikapalkan: masalah utama yang mesti diselidiki tetaplah apakah gas ini benar-benar dipakai membunuh orang. In fact, the invoices issued for the shipment of Zyklon B were, significantly, addressed to the Disinfection Department, which operated the chambers in which clothes were disinfected against typhus. There is no evidence to indicate that Zyklon B was used for homicidal gassing. As Judge Wilhelm Stglich has pointed out, the attempt to use deliveries of Zyklon B to Auschwitz as proof that the camp had "gas chambers" in which Jews were murdered with this highly toxic gas is more than questionable. According to the testimony of Arthur Breitwieser, a defendant in the Frankfurt Auschwitz trial, who served as the head of Disinfestation and Disinfection Department at Auschwitz, shipments of Zyklon B had nothing to do with exterminating human beings. Breitwieser was acquitted.14 In recent years, more evidence has emerged to confirm the actual purpose of Zyklon B. Concentration camps generally conceded to have had no (homicidal) gas chambers conceded, that

h. 76 is, by the exterminationists themselves ordered Zyklon B. This suffices to provide evidence enough that Zyklon B was used for disinfection, rather than for "gassing." Paul Rassinier, the French revisionist, who himself was interned in the concentration camps, makes the following observation: "During the Second World War it was used by all the troops and in all the concentration camps, as is shown for example by invoices for deliveries to Oranienburg and Bergen-Belsen where there were no gas chambers."15 Nyatanya, tagihan-tagihan yang diterbitkan untuk pengapalan Zyklon B, sangat menyolok dialamatkan ke Bagian Penyucihamaan, yang mengoperasikan ruangan-ruangan tempat pakaian disucihamakan dari tifus. Ini bukanlah petunjuk yang memperlihatkan bahwa Zyklon B digunakan untuk pembunuhan dengan gas. Sebagaimana ditunjukkan hakim Wilhelm Stglich, upaya-upaya memanfaatkan pengantaran Zyklon B ke Auschwitz sebagai bukti bahwa kamp memiliki kamar gas tempat orang Yahudi dibunuh dengan gas amat beracun ini lebih dari sekedar diragukan. Menurut testimoni Arthur Breitwieser, terdakwa pada pengadilan Auschwitz Frankfurt, yang menjabat kepala Bagian Penyucihamaan di Auschwitz, pengapalan-pengapalan Zyklon B tak berkaitan sama sekali dengan pemusnahan manusia. Breitwieser dibebaskan.14 Di tahun-tahun belakangan, lebih banyak petunjuk telah muncul untuk menegaskan tujuan sebenarnya Zyklon B. Kamp-kamp konsentrasi umumnya mengakui tak memiliki kamar gas (pembunuh) mengakui, yakni, menurut para eksterminasionis sendiri memesan Zyklon B. Ini cukup untuk memberikan bukti bahwa Zyklon B digunakan untuk penyucihamaan, bukannya penggasan. Paul Rassinier, revisionis Perancis, yang pernah ditawan di kamp-kamp konsentrasi, membuat pengamatan berikut: Selama Perang Dunia II, gas itu digunakan oleh semua pasukan dan di semua kamp konsentrasi, sebagaimana ditunjukkan misalnya oleh tagihan-tagihan pengantaran barang ke Oranienburg dan Bergen-Belsen di mana tidak ada kamar gas.15

The Auschwitz Shown to the Public and the Hidden Reality


Auschwitz was the biggest concentration camp. It is also the camp in which, to believe the exterminationist literature, the most dramatic events of the Holocaust took place. There were three components to what is known as the Auschwitz concentration camp. Auschwitz I was the main camp; it housed military barracks built before the First World War. Auschwitz II, also known as Birkenau, was constructed during the war as an expansion of the main camp. Auschwitz III, or Monowitz, was a huge industrial complex which employed the largest number of prisoners. The main camp, Auschwitz I, is now the center of Auschwitz tourism. This part of the camp has been turned into a museum and is the focus of the tours, conducted in English, German, French, and Polish. Over half a million people visit the Auschwitz museum each year. This interesting place resembles a mausoleum in which feelings of great sensitivity mingle with the crassest sentiments of commerce; where a hotel, a restaurant, and a store for souvenirs, film, batteries, and the like are to be found across from the entrance.

h. 77

Auschwitz yang Ditunjukkan kepada Umum dan Kebenaran Tersembunyi


Auschwitz adalah kamp konsentrasi terbesar. Ini juga kamp, jika menuruti buku-buku para eksterminasionis, tempat peristiwa-peristiwa Holokaus yang paling memilukan terjadi. Ada tiga bagian dari yang dikenal sebagai kamp konsentrasi Auschwitz. Auschwitz I adalah kamp utama; kamp ini menaungi barak-barak militer yang dibangun sebelum Perang Dunia I. Auschwitz II, juga dikenal sebagai Birkenau, dibangun semasa perang sebagai perluasan kamp utama. Auschwitz III, atau Monowitz, adalah kawasan industri besar yang mempekerjakan jumlah tawanan terbanyak. Kamp utama, Auschwitz I, kini adalah pusat wisata Auschwitz. Bagian kamp ini telah diubah menjadi sebuah museum dan fokus wisata yang diselenggarakan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Polandia. Lebih dari setengah juta orang mengunjungi museum Auschwitz setiap tahunnya. Tempat yang menarik ini mirip dengan sebuah persemayaman di mana kepekaan yang tinggi bercampur dengan haru-biru paling naif perdagangan; tempat sebuah hotel, sebuah rumah makan, dan sebuah toko penjual cenderamata, film, batere, dan sejenisnya dapat ditemukan di seberang pintu masuknya. At this point we are confronted with a very important question: What do visitors see when they come to Auschwitz, or better, what don't they see? The place that in fact served as the camp prison is displayed to the visitors as the "death block." The doors on the right hand side of the "death block," which open out on the "death wall," are pointed out. Thus visitors are provided with firsthand "confirmation" of the horror stories they had heard previously. It is not difficult to see that special effort is taken by the museum authorities to equate the meaning of detention at the camp with death. Throughout the tour visitors are indoctrinated with a skillfully prepared scenario depicting Auschwitz as a "death factory." Di sini, kita dihadapkan ke sebuah pertanyaan yang amat penting: apakah yang dilihat wisatawan ketika mengunjungi Auschwitz, atau lebih baik, apakah yang tidak mereka lihat? Tempat yang sebenarnya digunakan sebagai penjara kamp dipertontonkan kepada wisatawan sebagai kawasan kematian. Pintu-pintu di sisi kanan kawasan kematian, yang membuka jalan ke dinding kematian, ditunjukkan. Jadi, wisatawan diberi penegasan tangan pertama tentang kisah-kisah seram yang mereka dengar. Tidaklah sulit melihat bahwa upaya khusus telah dilakukan oleh pejabat-pejabat museum untuk menyamakan makna penawanan di kamp dengan kematian. Sepanjang wisata, pengunjung dicekoki dengan alur cerita yang disiapkan dengan lihai yang melukiskan Auschwitz sebagai pabrik kematian.

What they don't see?


One researcher by the name of David Cole who wanted to find out what visitors to Auschwitz aren't shown visited the Auschwitz museum in September 1992. Cole is of further interest in that he is a Jew who found the Holocaust story doubtful, and sought to bring the historical reality to light. His findings aroused great controversy. Cole visited the Auschwitz camp in the guise of a dedicated exterminationist who was seeking to learn everything about the Holocaust, to leave no questions unanswered. With this plan

h. 78 he succeeded in interviewing the director of the Auschwitz State Museum, Dr. Franciszek Piper. Cole recorded the interview on videotape, enraging all the Holocaust prevaricators. For Dr. Piper's answers to Cole's questions were so frank that they put an end to the legend of the gas chamber exhibited at the Auschwitz museum. David Cole starts his story:

Apa yang tidak mereka lihat?


Seorang peneliti bernama David Cole yang ingin menemukan apa yang tidak ditunjukkan kepada pengunjung Auschwitz datang ke museum Auschwitz di bulan September 1992. Cole berminat besar karena ia seorang Yahudi yang merasa cerita Holokaus itu meragukan, dan mencoba membuat terang kenyataan sejarah. Temuan-temuannya merangsang perdebatan hebat. Cole mengunjungi kamp Auschwitz di balik samaran sebagai seorang eksterminasionis setia yang mencoba mempelajari segala sesuatu tentang Holokaus, agar tidak menyisakan satu pun pertanyaan tak terjawab. Dengan rencana ini, ia berhasil mewawancarai kepala Museum Negara Auschwitz, Dr. Franciszek Piper. Cole merekam wawancara itu ke pita video, yang membuat gusar semua pendusta Holokaus. Sebab, jawaban-jawaban Dr. Piper begitu jujur sehingga mengakhiri dongeng kamar gas yang dipamerkan di museum Auschwitz. David Cole memulai kisahnya: I went to Auschwitz in September of 1992 to see for myself this place I had studied for so long. I paid extra for a personal English language tour guide, a young lady named Alicia, who gives tours in Polish, German, and English. And I wore my yarmulke just so nobody missed the point that I'm Jewish. I figured that way I could ask my questions in a manner that would not make me look like a revisionist. You see, in the past, revisionists haven't had much success in getting answers from the Auschwitz officials. But I would come off as a righteous Jew wanting to know the real facts and answer those who say the Holocaust never happened.16 Saya pergi ke Auschwitz di bulan September 1992 untuk melihat sendiri tempat yang telah saya pelajari begitu lama ini. Saya membayar lebih demi seorang pemandu wisata pribadi berbahasa Inggris, seorang perempuan muda bernama Alicia, yang memberikan panduan dalam bahasa Polandia, Jerman, dan Inggris. Dan saya memakai yarmulka (topi Yahudi) agar tak seorang pun gagal mengenali bahwa saya seorang Yahudi. Saya pikir dengan jalan itu, saya dapat mengajukan pertanyaan dengan cara yang tak akan membuat saya tampak seperti seorang revisionis. Anda tahu, di masa lalu, para revisionis tak banyak berhasil mendapatkan jawaban dari para pejabat Auschwitz. Namun, saya akan datang sebagai seorang Yahudi saleh yang ingin mengetahui kenyataan-kenyataan sesungguhnya dan menjawab mereka yang mengatakan bahwa Holokaus tak pernah terjadi. 16 By visiting Auschwitz in this manner, Cole saw places seldom seen before, he heard things not normally told to tourists, and he recorded it all with his video camera in order to reveal it to the public later on. The resulting film demonstrated that the Auschwitz on display to tourists is a fraud.

h. 79 Visitors to Auschwitz are seldom allowed into places that might arouse skepticism. For example, the gas chambers and disinfection units in which Zyklon B was used are most assuredly not shown to visitors. But the "victims" of these gas chambers were not Jews at all, but rather the lice that carried typhus. The reason for this was to safeguard the health of the Auschwitz inmates, including the Jewish inmates. Lewat mengunjungi Auschwitz dengan cara itu, Cole melihat tempat-tempat yang jarang dilihat sebelumnya, mendengar hal-hal yang biasanya tak disampaikan kepada wisatawan, dan merekam semuanya dengan kamera videonya untuk diungkapkan kepada umum nantinya. Film yang dihasilkan menunjukkan bahwa Auschwitz yang dipamerkan kepada wisatawan adalah sebuah penipuan. Pengunjung Auschwitz jarang dibolehkan ke tempat-tempat yang bisa membangkitkan keraguan. Misalnya, kamar-kamar gas dan sarana-sarana penyucihamaan tempat Zyklon B digunakan amat pasti tak diperlihatkan kepada pengunjung. Namun, korban kamar-kamar gas ini bukan sama sekali orang Yahudi, melainkan tuma yang membawa tifus. Alasannya adalah melindungi kesehatan para tawanan Auschwitz, termasuk yang Yahudi. The directors of the Auschwitz State Museum can't deny the actual function of these chambers, so they would rather just not talk about them. Why confuse people? Otherwise, someone might ask: "Why were the Nazis trying to save Jews from an epidemic if they were targeted for genocide?" Visitors to Auschwitz are overwhelmingly either disposed to believe in the Holocaust already, or are returning to refresh their credulity. There is no point in exposing them to sights that might awake their skepticism. According to Cole, the lifesaving gas chambers are not the only sections in the camp that are not shown to people. The Auschwitz camp theater is also kept hidden from the visitors. Photographs taken in this theater building when it was part of the wartime camp confirm what really took place fifty years ago in Auschwitz. They indicate that this camp, today presented as a death camp, was in fact a labor camp, in which a variety of social activities were encouraged. In these photographs, one can see pianos, theatrical costumes, and the stage sets from the plays the prisoners put on. Naturally the exterminationists took measures to prevent confusion in the minds of observant visitors! Taking photographs in this theater, which until recently served as a Catholic convent, is completely prohibited. Para kepala Museum Negara Auschwitz tak dapat menyangkal fungsi sebenarnya kamarkamar gas ini, jadi mereka memilih tidak membicarakannya. Mengapa membingungkan orang? Sebaliknya, orang mungkin bertanya: Mengapa Nazi mencoba menyelamatkan orang-orang Yahudi dari sebuah wabah jika mereka adalah sasaran genosida? Pengunjung Auschwitz sudah secara berlebihan dibuat percaya pada Holokaus, atau kembali datang untuk menyegarkan kebodohannya. Tidak ada gunanya memaparkan mereka ke pemandangan-pemandangan yang mungkin membangkitkan keraguan mereka.

h. 80 Menurut Cole, kamar-kamar gas penyelamat hidup ini bukanlah satu-satunya bagian kamp yang tak ditunjukkan kepada pengunjung. Panggung sandiwara kamp Auschwitz juga disembunyikan dari pengunjung. Foto-foto yang diambil di bangunan panggung ini ketika menjadi bagian kamp masa perang menegaskan apa yang sesungguhnya terjadi 50 tahun yang lalu di Auschwitz. Foto-foto ini menunjukkan bahwa kamp ini, yang kini disajikan sebagai sebuah kamp kematian, sebenarnya sebuah kamp pekerja, tempat beraneka kegiatan sosial digalakkan. Dalam foto-foto ini, orang dapat melihat piano-piano, kostum-kostum, dan peralatan panggung dari sandiwara yang ditampilkan para tawanan. Wajar jika para eksterminasionis mengambil tindakan untuk mencegah kebingungan di benak pengunjung yang jeli! Mengambil foto di panggung ini, yang hingga baru-baru ini dimanfaatkan sebagai biara Katolik, sama sekali tak diperbolehkan. The swimming pool in Auschwitz is yet another place that is ignored by the tour guides. Here again, concealment is a logical precaution. After all, visitors might wonder "Why a swimming pool in a death camp?" Therefore, the swimming pool has been given a wide berth by the tours. If you really want to see the pool, then you need to know about it beforehand, as did David Cole. The swimming pool lies just inside the prison walls, right beside the inmates' barracks. It is still a handsome pool, with a diving board and starters' blocks for races. Kolam renang di Auschwitz adalah tempat lain lagi yang diabaikan oleh para pemandu wisata. Di sini, lagi-lagi penyembunyian adalah pencegahan yang masuk akal. Bagaimanapun, pengunjung mungkin bertanya Mengapa ada sebuah kolam renang di kamp kematian? Karena itu, kolam renang sama sekali dikesampingkan di dalam wisata. Jika benar-benar ingin melihat kolam ini, Anda harus sudah mengetahuinya sebelumnya, seperti David Cole. Kolam renang terletak di dalam dinding-dinding penjara, tepat di samping barak tawanan. Kolam ini masih tetap bagus, dengan papan loncat dan blok-blok pemulai lomba. The answer to the question "Who swam in the pool at Auschwitz?" is also surprising: the inmates, including the Jews. What's more, the pool was not just used for swimming: Water polo games were organized, too! There were other sports facilities at Auschwitz as well. Robert Faurisson quotes from the recollections of Marc Klein, a professor of medicine at Strasbourg University, a former inmate at Auschwitz: Jawaban pertanyaan: Siapa yang berenang di kolam Auschwitz? juga mengejutkan: para tawanan, termasuk orang-orang Yahudi. Lebih lagi, kolam tak hanya dipakai berenang: pertandingan polo-air juga diselenggarakan! Ada sarana olahraga-olahraga lain di Auschwitz. Robert Faurisson mengutip dari kenang-kenangan Marc Klein, seorang profesor farmasi di Universitas Strasbourg yang juga mantan tawanan di Auschwitz: On Sunday afternoons, there were soccer, basketball and water polo matches [Faurisson's emphasis] to the ardent cheers of the spectators: People need very little to distract them from the dangers that threatened them! The SS administration allowed regular amusements for the prisoners, even on weekdays. A movie theater showed Nazi newsreels and sentimental films and a very popular cabaret gave presentations often attended by the SS authorities. Finally there was a very

h. 81 creditable orchestra, made up originally only of Polish musicians and replaced later by a new, highquality group made up of musicians of all nationalities, most Jews.17 Pada Minggu sore, ada pertandingan-pertandingan sepakbola, bolabasket, dan polo-air [penekanan oleh Faurisson] yang memicu sorak-sorai gemuruh para penonton: orang-orang memerlukan sangat sedikit untuk mengalihkan mereka dari bahaya yang mengancam! Kepemimpinan SS mengizinkan hiburan berkala bagi tawanan, bahkan pada hari kerja. Sebuah bioskop menayangkan gulungan berita Nazi dan film-film drama, dan sebuah kabaret yang amat kondang menampilkan pertunjukan yang sering dihadiri oleh para pemimpin SS. Akhirnya, ada orkestra yang amat patut dipuji, tersusun awalnya hanya dari pemusik Polandia dan belakangan digantikan oleh sebuah kelompok baru bermutu tinggi yang tersusun dari pemusik segala bangsa, kebanyakan Yahudi.17 The testimony of Klein, who spent months at Auschwitz, is a clear indication that Auschwitz was not a death camp. It makes no sense that Jewish prisoners, knowing that they would be dead in a few days, would play soccer or water polo or act in plays. All these facts are still withheld from visitors to Auschwitz. Cole makes the important observation that the anti-typhus delousing chambers, the camp theater for social activity, and the swimming pool are left off the Auschwitz tours. That way visitors never raise confusing or contradictory questions. It is difficult to explain the logic behind sending the Jews to gas chambers after creating a recreational environment for them. It is no less illogical to make prisoners compete in swimming races and then send them to death. By the same token, disinfecting the inmates' clothes to prevent typhus just before sending the people who wore them to their deaths is inexplicable. Testimoni Klein, yang melewatkan berbulan-bulan di Auschwitz, adalah sebuah petunjuk terang bahwa Auschwitz bukan sebuah kamp kematian. Tak beralasan bagi para tawanan Yahudi yang mengetahui akan mati dalam beberapa hari, bermain sepakbola atau polo-air, atau bergaya dalam sandiwara. Semua kenyataan ini masih disembunyikan dari pengunjung Auschwitz. Cole membuat pengamatan penting bahwa kamar-kamar pembasmian tuma anti-tifus, panggung kamp untuk kegiatan sosial, dan kolam renang dikesampingkan dari wisata Auschwitz. Dengan demikian, wisatawan tak akan pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan atau bertentangan. Sukar menjelaskan alasan di balik pengiriman orang-orang Yahudi ke kamar gas setelah penciptaan lingkungan tamasya bagi mereka. Tak kurang tidak masuk akalnya membuat para tawanan bersaing dalam lomba renang dan lalu mengirimkan mereka ke kematian. Dengan nalar yang sama, menyucihamakan pakaian tawanan untuk mencegah tifus tepat sebelum mengirimkan orang yang mengenakannya ke kematian tidak bisa dijelaskan. In the light of such evidence, it is impossible to claim the Holocaust took place. Nevertheless, visitors who already believe in the Holocaust and who may well have deep personal feelings about it are told terrible stories about what went on at Auschwitz during the tour. The visitors' beliefs are powerfully reinforced when they are shown a "gas chamber" at the end of the tour. After an

h. 82 emotional buildup that leaves them ready to believe just about anything about the Holocaust during the first two hours of the tour, an aura of suspense envelops the "gas chamber," the lead actor in the drama. In the end, for those visitors who know little about the historical facts, seeing the "gas chamber" seems to provide the crowning evidence for the Nazi Holocaust. Mengingat petunjuk seperti itu, mustahil orang menyatakan bahwa Holokaus terjadi. Namun demikian, wisatawan yang terlanjur percaya pada Holokaus dan mungkin berperasaan pribadi yang mendalam terhadapnya, selama wisata disodori cerita-cerita mengerikan tentang apa yang berlangsung di Auschwitz. Keyakinan pengunjung diperkuat besar-besaran ketika dipameri sebuah kamar gas di akhir kunjungan. Setelah pembentukan emosi yang membuat mereka siap mempercayai hampir apa saja tentang Holokaus selama dua jam pertama wisata, hawa ketegangan membungkus kamar gas, pemain terpenting pada drama ini. Pada akhirnya, bagi wisatawan yang mengetahui sedikit kenyataan sejarah, menyaksikan kamar gas tampak memberikan bukti utama bagi Holokaus Nazi.

The Technical Defects of the 'Gas Chambers'


The buildings at the Auschwitz main camp (Auschwitz I) and at Auschwitz-Birkenau that were designated Crematories I, II, III, IV and V, and are today alleged to have been homicidal gas chambers were, as we have seen above, subjected to forensic examination by Fred Leuchter. The results of his investigation demonstrated that these buildings were actually lacking in features necessary to the safe and efficient operation of an execution gas chamber. Had attempts actually been made to use these facilities as gas chambers, they very probably would have endangered the entire camp. In general, Leuchter described the alleged gas chambers' technical shortcomings as follows:

Cacat-Cacat Teknis Kamar Gas


Bangunan-bangunan di kamp utama Auschwitz (Auschwitz I) dan di Auschwitz-Birkenau yang disebut Krematorium I, II, III, IV, dan V, dan saat ini disangka pernah menjadi kamar-kamar gas pembunuh adalah, seperti telah kita lihat, sasaran penyelidikan forensik oleh Fred Leuchter. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa bangunan-bangunan ini sebenarnya tak memiliki ciriciri yang dibutuhkan bagi operasi kamar gas pembunuh yang aman dan efisien. Jika saja upayaupaya benar-benar pernah dilakukan untuk menggunakan sarana-sarana ini sebagai kamar gas, upaya-upaya itu amat mungkin membahayakan seluruh kamp. Secara umum, Leuchter melukiskan kekurangan teknis yang disangka kamar gas sebagai berikut: The on-site inspection of these structures indicated extremely poor and dangerous design for these facilities if they were to have served as execution gas chambers. There is no provision for gasketed doors, windows or vents; the structures are not coated with tar or other sealant to prevent leakage or absorption of the gas. The adjacent crematories are a potential danger of explosion. The exposed porous brick and mortar would accumulate the HCN and make these facilities dangerous to humans for several years. Krema I is adjacent to the S.S. Hospital at Auschwitz and has floor drains connected to the main sewer of the camp which would allow gas into every building at the facility. There were no exhaust systems to vent the gas after usage and no heaters or dispersal mechanisms for the Zyklon B to be introduced or evaporated. The Zyklon B was supposedly dropped through

h. 83 roof vents and put in through windows not allowing for even distribution of gas or pellets. The facilities are always damp and not heated. As stated earlier, dampness and Zyklon B are not compatible. The chambers are too small to physically contain the occupants claimed and the doors all open inward, a situation which would inhibit removal of the bodies. With the chambers fully packed with occupants, there would be no circulation of the HCN within the room. Additionally, if the gas eventually did fill the chamber over a lengthy time period, those throwing Zyklon B in the roof vents and verifying the death of the occupants would die themselves from exposure to HCN. None of the alleged gas chambers were constructed in accordance with the design for delousing chambers which were effectively operating for years in a safe manner. None of these chambers were constructed in accordance with the known and proven designs of facilities operational in the United States at that time. It seems unusual that the presumed designers of these alleged gas chambers never consulted or considered the United States technology; the only country then executing prisoners with gas.18a Pemeriksaan lapangan di bangunan-bangunan ini menunjukkan rancangan yang amat buruk dan membahayakan bagi sarana-sarana ini jika mesti dipakai sebagai kamar gas. Tiada persiapan bagi pintu, jendela, atau lubang yang berpengedap; bagian-bagian ini tak dilapisi dengan ter atau bahan pengedap lain untuk mencegah kebocoran atau penyerapan gas. Krematorium-krematorium di sebelahnya menyimpan bahaya ledakan. Plesteran berpori batu bata dan semen yang terbuka akan menimbun HCN dan membuat sarana-sarana ini berbahaya bagi manusia selama beberapa tahun. Krematorium I bersebelahan dengan rumah sakit SS di Auschwitz dan bersaluran bawah lantai yang tersambung ke pembuangan air utama kamp yang akan meloloskan gas masuk ke setiap bangunan di kawasan itu. Tiada sistem pembuangan untuk mengeluarkan gas setelah pemakaian, dan tiada pemanas atau mekanisme penyebaran untuk memasukkan atau menguapkan Zyklon B. Zyklon B diperkirakan dijatuhkan lewat lubang atap dan dilemparkan lewat jendela tidak memungkinkan penyebaran merata gas atau butirannya. Sarana-sarana ini selalu lembab dan tidak dipanaskan. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kelembaban dan Zyklon B tidak serasi. Kamar-kamar ini terlalu kecil untuk secara fisik menampung jumlah penghuni sebagaimana disangkakan dan semua pintu terbuka ke arah dalam, suatu keadaan yang akan menghambat pemindahan mayat. Dengan kamar yang penuh sesak dengan manusia, tidak akan ada peredaran HCN di dalam ruangan. Tambahan lagi, jika gas akhirnya memenuhi kamar setelah jangka waktu yang lama, mereka yang melemparkan masuk Zyklon B di lubang atap dan memastikan kematian para korban akan ikut mati akibat terpapar HCN. Tak satu pun dari yang disangka kamar gas dibangun menurut rancangan kamar pembasmian tuma yang bekerja efektif bertahun-tahun dengan aman. Tak satu pun dari ruangan-ruangan ini dibangun dengan rancangan-rancangan yang sudah diketahui dan terbukti pada sarana-sarana yang beroperasi di Amerika Serikat pada saat itu. Tampak tidak biasa bahwa para perancang dari yang disangka kamar gas ini tidak pernah menelaah atau mempertimbangkan teknologi Amerika Serikat; satu-satunya negara yang saat itu menghukum mati terpidana dengan gas.18a

Regarding the "Nazi gas chamber" at Auschwitz Crematory I, Leuchter states:


The alleged execution gas chamber is, as stated earlier, not designed to be used in such a manner. There is no evidence of an exhaust system or fan of any type in this structure. The venting

h. 84 system for the alleged gas chamber consisted simply of four (4) square roof vents exhausting less than two (2) feet from the surface of the roof. Ventilating HCN gas in this manner would undoubtedly result in the poison gas reaching the confines of the SS hospital a short distance across the road, with patients and support personnel being killed. Because of the fact that the building has no sealant to prevent leakage, no gasketed doors to prevent gas reaching the crematory, drains that would permit gas to reach every building in the camp, no heating system, no circulatory system, no exhaust system or venting stack, no gas distribution system, constant dampness, no circulation due to the number of people in the chamber, and no way of satisfactorily introducing the Zyklon B material, it would be sheer suicide to attempt to utilize this morgue as an execution gas chamber. The results would be an explosion, or leaks gassing the entire camp.

Tentang kamar gas Nazi di Krematorium I Auschwitz, Leuchter mengatakan:


Yang disangka kamar gas, sebagaimana telah dinyatakan, tak dirancang untuk digunakan secara demikian. Tiada bukti sebuah sistem atau kipas pembuangan jenis apa pun di bangunan ini. Sistem pertukaran udara bagi yang disangka kamar gas mencakup hanya empat (4) lubang atap berbentuk persegi yang membuang udara kurang dari dua (2) kaki dari permukaan atap. Tak diragukan, membuang HCN dengan cara ini akan berakibat gas beracun ini mencapai batas-batas rumah sakit SS yang tak berapa jauh di seberang jalan, dengan para pasien dan petugas perawat terbunuh. Karena kenyataan bahwa bangunan ini tak berlapis pengedap untuk mencegah kebocoran, tak memiliki pintu berpengedap untuk mencegah gas mencapai krematorium, saluran air yang memungkinkan gas mencapai setiap bangunan di kamp ini, tak bersistem pemanas, tak bersistem peredaran udara, tak bersistem pembuangan atau bercerobong, tak bersistem penyebaran gas, kelembaban yang terus-menerus, tiada peredaran akibat jumlah orang di dalam ruangan, dan tiada cara yang memuaskan untuk memasukkan bahan Zyklon B, adalah bunuh diri mutlak untuk menggunakan kamar mayat ini sebagai sebuah kamar gas pembunuh. Akibatnya bisa sebuah ledakan, atau kebocoran-kebocoran yang menggas seluruh kamp. Further, if the chamber were used thus, (based on DEGESCH figures of 4 oz. or 0.25 lbs. per 100 cu. ft.), 30.4 oz. or 1.9 lbs. of Zyklon B gas (gross weight of Zyklon B is three times that of Zyklon B gas; all figures are for Zyklon B gas only) would be used each time for 16 hours at 41 degrees Fahrenheit (based on German government fumigation figures). Ventilation must take at least 20 hours and tests must be made to determine if the chamber is safe. It is doubtful whether the gas would clear in a week without an exhaust sys-tem.18b Lebih jauh, jika ruangan digunakan (berdasarkan pada angka-angka DEGESCH: 113 gram per 2.8 meter kubik), 860 gram gas Zyklon B (berat kotor Zyklon B adalah tiga kali gas Zyklon B; semua angka hanya untuk gas Zyklon B) akan dipakai setiap kali selama 16 jam pada 41 derajat Fahrenheit (berdasarkan pada angka-angka penyucihamaan pemerintah Jerman). Pertukaran udara harus memakan waktu setidaknya 20 jam dan pengujian-pengujian harus dibuat untuk menentukan apakah ruangan aman. Tanpa sebuah sistem pembuangan, diragukan bahwa gas akan lenyap dalam sepekan.18b

h. 85 The situation at Majdanek concentration camp is little different from that at Auschwitz. Its alleged gas chambers display some of the same technical inadequacies as those at Auschwitz. The designs used at both places reveal that the structures in question were not gas chambers. Leuchter writes: None of the facilities at Majdanek are suitable, or were used, for execution purposes19 Keadaan di kamp konsentrasi Majdanek sedikit berbeda dengan Auschwitz. Yang disangka kamar gas di sana menunjukkan sebagian kekurangan teknis yang sama dengan yang di Auschwitz. Rancangan di kedua tempat mengungkapkan bahwa ruangan-ruangan yang dipermasalahkan bukanlah kamar-kamar gas. Leuchter menulis: Tak satu pun sarana di Majdanek cocok, atau digunakan, untuk maksud hukuman mati.19 It is abundantly evident that mass killings could not have been carried out in the alleged gas chambers. Today there is no trace whatsoever of the kinds of machinery necessary if these "gas chambers" were to have functioned at all. There was evidently no provision for preventing the leakage of gas from these "chambers," for instance. Likewise, there were no systems in place for either pumping in, or otherwise introducing the gas, or for ventilating the chambers after the victims had expired. David Cole points out that the fittings at the locations said to have been gas chambers definitely do not correspond to what would have needed in an actual gas chamber: A flimsy wooden door with a big glass pane in it and a doorway with no door and no fittings for a door leading to the crematory ovens. And I should also mention the big manhole, right in the middle of the gas chamber.20 Sangatlah menyolok bahwa pembunuhan massal tidak dapat dilangsungkan di dalam yang disangka kamar gas. Hari ini, tiada jejak apa pun dari sesuatu perangkat yang diperlukan jika kamar-kamar gas ini mesti sungguh-sungguh berfungsi. Jelas-jelas, tiada persiapan untuk mencegah kebocoran gas dari kamar-kamar ini, misalnya. Juga, tiada sistem terpasang untuk memompa masuk, atau memasukkan dengan cara lain, gas, atau untuk menukar udara kamar-kamar itu setelah para korbannya tewas. David Cole menunjukkan bahwa perkakas pada tempat-tempat yang dikatakan bekas kamar gas dengan pasti tak terkait dengan yang diperlukan di sebuah kamar gas sungguhan. Pintu kayu tipis berjendela besar dari kaca dan sebuah lorong tak berpintu serta tiada perkakas untuk pintu yang mengarah ke tungku-tungku krematorium. Dan saya mesti menyebutkan lubang pembuangan yang besar, tepat di tengah-tengah kamar gas.20 Henri Roques asserts that the locations alleged to be gas chambers were clearly not designed for that purpose: A gas chamber any gas chamber by definition, has to be airtight Even though [the alleged gas chambers] are not airtight and show no signs of ever having been used as gas chambers (e.g. plumbing) the publicity handouts still designate them as gas not

h. 86 vacuum chambers. Since the war, alterations to the rooms have been made to give them a more convincing appearance. It seems that in fact they were storerooms, sometimes garages, and were also used as air-raid shelters.21 Henri Roques menegaskan bahwa tempat-tempat yang disangka kamar gas nyata-nyata tidak dirancang untuk maksud demikian: sebuah kamar gas sembarang kamar gas menurut ketentuan, mestilah kedap udara Sekalipun [yang disangka kamar gas] tak kedap udara dan tak menunjukkan tanda-tanda pernah digunakan sebagai kamar gas (misalnya, pemipaan airnya) selebaran-selebaran pengumuman masih menetapkan ruangan-ruangan itu sebagai kamar gas, bukan kamar hampa udara. Sejak perang, perubahan-perubahan terhadap kamar telah dilakukan untuk memberi penampakan yang lebih meyakinkan. Tampak bahwa sebenarnya ruangan-ruangan itu gudang, kadang garasi, dan juga digunakan sebagai naungan serangan udara.21 Paul Rassinier, the French revisionist who was himself a concentration camp inmate, comments as follows on the plans of the alleged gas chambers at Crematories II, III, IV and V at Auschwitz-Birkenau, which were submitted as evidence to the Nuremberg Court: "In the basement of each building a large room is indicated, which is designated on II and III as 'corpse cellar' and on IV and V as a 'shower room.'22 Another revisionist, Wilhelm Stglich, states the following in Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence: there are building plans for the crematoria in the archives of the Polish State Auschwitz Museum, but they are unavailable to the public I have copies of these plans, and there can be no doubt as to their origin, because they bear the official stamp of the Polish State Auschwitz Museum. These copies show that the model differs from the building plan in several important details and no provision was made for anything like a 'gas chamber' According to the Auschwitz Museum, three smaller rooms in crematoria IV and V, with a total space of 236.78 square meters (2,550 square feet), were used as 'gas chambers.' The plans lend no support to this allegation, and, in any case, such use of the rooms would have been impossible because of their position. Significantly a model of these rooms has not been prepared for display to visitors of the Auschwitz Museum.23 Paul Rassinier, revisionis Perancis yang mantan tawanan kamp konsentrasi, mengulas yang berikut tentang rencana-rencana dari yang disangka kamar gas di Krematorium II, III, IV, dan V di Auschwitz-Birkenau, yang diajukan sebagai bukti ke Pengadilan Nuremberg: Di ruba (ruang bawah-tanah) setiap bangunan, sebuah ruangan besar ditunjuk, yang pada II dan III ditetapkan sebagai ruba mayat dan pada IV dan V sebagai kamar bilas.22 Revisionis lain, Wilhelm Stglich, mengatakan yang berikut di dalam buku Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence: ada rencana-rencana pembangunan krematorium di arsip-arsip Museum Negara Polandia Auschwitz, namun tak dibuka bagi umum Saya memiliki salinan rencana-rencana ini, dan tak ada keraguan atas keasliannya, sebab berstempel resmi Museum Negara Polandia Auschwitz. Salinan-salinan ini menunjukkan bahwa modelnya berbeda dengan rencana pembangunan pada beberapa rincian dan tak ada persiapan dibuat untuk sesuatu yang seperti sebuah kamar gas Menurut Museum Auschwitz, tiga kamar yang lebih kecil di

h. 87 krematorium IV dan V, dengan luas keseluruhan 236,78 meter persegi, digunakan sebagai kamar gas. Rencana-rencana tersebut sama sekali tak mendukung persangkaan ini, dan, bagaimanapun, penggunaan ruangan semacam itu akan mustahil karena lokasinya. Menyoloknya, model ruanganruangan ini belum disiapkan untuk dipamerkan kepada pengunjung Museum Auschwitz. 23

Corpse Multiplication In The 'Gas Chambers'


Another exterminationist mistake is to exaggerate the (actually quite limited) capacity of the alleged execution gas chambers. Moreover, the time span during which these places are supposed to have been used as gas chambers makes it is impossible for six million Jews to have been murdered there. In other words, even if we were to hypothesize that these buildings had been used as execution gas chambers, it would still have been impossible to kill six million persons during the time period in question. Similarly, gas chamber professional Fred Leuchter points out that the number of Jews said to have been killed at Auschwitz-Birkenau is imaginary: "International Military Tribunal document L-022 claims that 1,765,000 Jews were gassed at Birkenau between April 1942 and April 1944. Yet at full capacity, the alleged execution gas chambers could only process 105,688 persons at Birkenau over a greater time period."24

Pelipatgandaan Mayat di Kamar-Kamar Gas


Kekeliruan lain eksterminasionis adalah melebih-lebihkan daya tampung (yang sebenarnya sangat terbatas) dari yang disangka kamar gas. Lebih-lebih, jangka waktu selama mana tempattempat ini diperkirakan telah digunakan sebagai kamar gas membuat mustahil 6 juta orang Yahudi dibunuh di sana. Dengan kata lain, bahkan jika kita berteori bahwa bangunan-bangunan ini telah digunakan sebagai kamar gas, masih mustahil membunuh 6 juta orang selama jangka waktu tersebut. Demikian pula, ahli kamar gas Fred Leuchter menunjukkan bahwa jumlah orang Yahudi yang dikatakan telah dibunuh di Auschwitz-Birkenau itu khayali: Dokumen L-022 Pengadilan Militer Internasional menyatakan bahwa 1,765 juta orang Yahudi dibunuh dengan gas di Birkenau antara April 1942 dan April 1944. Namun, dengan daya tampung penuh, yang disangka kamar gas pembunuh hanya dapat melayani 105,688 orang di Birkenau selama jangka waktu yang lebih panjang. 24

Six Hundred Victims At Once In a Room That Holds Only Ninety-Four?


The exterminationists claim that at the German concentration camp known as Majdanek, near Lublin, Poland, six hundred people were ordinarily led into a certain room in a delousing building for a single gassing. The revelation that this room could hold only 94 persons renders the allegation that six hundred were gassed there at once devoid of credibility. Here is what Leuchter found: "Assuming a 9 sq. ft. area per person to allow for gas circulation, which is nevertheless very tight, a maximum of 94 people could fit into this room at one time. It has been reported that this room could hold up to 600 persons." [emphasis added]25 The exterminationist writer Kazimierz Smolen asserted in his book Auschwitz 1940-1945, that a 210-square-meter room was used to gas two thousand people at a time. This number of persons in a room this size would mean 9.5 persons for each square meter, which is of course

h. 88 absurd. This is one of the more embarrassing tales from the Holocaust. Wilhelm Stglich, the German judge who made a careful study of Holocaust accusations regarding Auschwitz, writes:

600 Korban Seketika di Ruangan yang Menampung hanya 94 Orang?


Para eksterminasionis mengatakan bahwa pada kamp konsentrasi Jerman yang dikenal sebagai Majdanek, dekat Lublin, Polandia, 600 orang biasanya diantar ke sebuah ruangan tertentu di bangunan pembasmian hama untuk sekali penggasan. Pengungkapan bahwa ruangan ini hanya dapat menampung 94 orang membuat persangkaan bahwa 600 orang digas sekaligus di sana hilang nilainya. Inilah yang ditemukan Leuchter: Anggaplah 9 kaki persegi per orang dibutuhkan untuk peredaran gas, yang bagaimanapun sangatlah sempit, paling banyak 94 orang dapat masuk ke ruangan ini bersama-sama. Telah dilaporkan bahwa ruangan ini dapat menampung hingga 600 orang. [penekanan oleh pengarang buku ini] 25 Penulis eksterminasionis Kazimierz Smolen mengatakan di dalam bukunya Auschwitz 19401945, bahwa sebuah ruangan 210 meter persegi digunakan untuk menggas 2 ribu orang seketika. Jumlah orang ini di dalam sebuah ruangan berukuran demikian akan berarti 9,5 orang per meter persegi, yang jelas tak masuk akal. Inilah salah satu cerita yang paling memalukan dari Holokaus. Wilhelm Stglich, hakim Jerman yang membuat telaah cermat atas tuduhan-tuduhan Holokaus terhadap Auschwitz, menulis: The area marked 'corpse cellar,' which is supposed to have measured 7 meters by 30 meters (210 square meters or about 2,260 square feet) would not have been suitable for the 'gassings' to which some 'eyewitnesses' have testified. In particular, it could not have held from 2,000 to 3,000 people at once, as has been claimed.26 Daerah yang ditandai sebagai ruba mayat, yang diperkirakan berukuran 7 meter kali 30 meter (210 meter persegi) tak akan cocok untuk penggasan yang telah diakui disaksikan sebagian saksi mata. Khususnya, ruangan ini tak dapat menampung 2 sampai 3 ribu orang seketika, sebagaimana telah diakui. 26 The description of the "execution gas chambers in Treblinka Camp" offered by Manfred Blank, the chief prosecutor at Germany's Central Office for the Investigation of National Socialist Crimes, is nothing short of astounding. Blank claimed the following: "Therein were 6 or 10 rooms with dimensions of approximately 8 x 4 x 2 meters outfitted as gas chambers, each of them with a capacity of 400 to 700 people."27 Penggambaran kamar-kamar gas pembunuh di Kamp Treblinka yang disodorkan Manfred Blank, penuntut utama Kantor Pusat Jerman bagi Penyelidikan Kejahatan Nazi, tak kurang mengejutkan. Blank menyatakan bahwa: Ada 6 sampai 10 ruangan berukuran kira-kira 8 x 4 x 2 meter yang dirancang sebagai kamar gas, masing-masing berdaya tampung 400-700 orang. 27 This claim, advanced as evidence of the Holocaust, is physically impossible. For all their deviousness, it is obvious from the above assertion that the exterminationists are lacking in

h. 89 fundamental arithmetical skills. Taking into consideration that this room was only thirty-two meters square and two meters high, how could it have held at least four hundred, and at most seven hundred, people? This would mean that there were twenty-one people per square meter again, an impossibility. Holocaust "eyewitnesses" seem to have competed with each other to report the maximum number of Jewish victims executed in the alleged gas chambers! Kurt Gerstein, an SS officer, is a good example of the absurdities people can come up with once they have accepted falsehood as truth. According to Gerstein's statement, twenty-eight to thirty-two persons could fit into one square meter! When French revisionist Henri Roques's doctoral thesis, a careful study of Gerstein's claims, became an object of controversy in France, Gerstein's wild assertions came under widespread scrutiny for the first time. Ordinary Frenchmen, as well as revisionist scholars, expressed their incredulity at Gerstein's testimony in letters to the newspapers and calls to radio and television. Pernyataan yang diajukan sebagai bukti Holokaus ini secara fisik mustahil. Untuk semua tipu-dayanya, jelaslah dari pernyataan-pernyataan di atas bahwa para eksterminasionis itu lemah dalam ketangkasan berhitung dasar. Mengingat bahwa ruangan ini hanya 32 meter persegi dan 2 meter tingginya, bagaimanakah mungkin ruangan menampung sedikitnya 400, dan sebanyaknya 700, orang? Ini berarti 21 orang per meter persegi lagi, sebuah kemustahilan. Para saksi mata Holokaus tampak saling bersaing untuk melaporkan jumlah terbanyak korban Yahudi yang dibunuh di yang disangka kamar gas! Kurt Gerstein, seorang perwira SS, adalah sebuah contoh yang baik mengenai kejanggalan-kejanggalan yang dapat disampaikan orang sekali menerima kepalsuan sebagai kebenaran. Menurut pernyataan Gerstein, 28 sampai 32 orang dapat disesakkan ke satu meter persegi! Ketika tesis doktor seorang revisionis Perancis Henri Roques, sebuah telaah yang telaten atas pernyataan-pernyataan Gerstein, menjadi bahan perdebatan di Perancis, pernyataan-pernyataan liar itu untuk kali pertamanya menjadi sasaran pemeriksaan yang luas. Warga awam Perancis, maupun para cendekiawan revisionis, mengungkapkan ketakpercayaan mereka atas testimoni Gerstein di dalam surat kepada koran-koran dan telepon kepada radio-radio dan televisi-televisi. After the "execution gas chambers" were challenged for the first time in the French press, exterminationist historians, stung by that, launched a counter-campaign. The internal contradictions, however, in the strange evidence offered to prove that the alleged execution gas chambers had actually existed were noticed even by ordinary readers, and the exterminationist counter-attack was quite unsuccessful. As a result, in France the fact that the historical verity of the gas chambers was being challenged by scholars became generally known, and a growing number of the French began to question the Holocaust.

h. 90 Setelah kamar-kamar gas pembunuh dipertanyakan kali pertama di media Perancis, para sejarawan eksterminasionis, yang tersengat oleh hal itu, melancarkan kampanye tandingan. Akan tetapi, pertentangan di antara mereka mengenai petunjuk aneh yang diajukan untuk membuktikan bahwa yang disangka kamar gas sungguh-sungguh ada terlihat bahkan oleh pembaca biasa, dan serangan balik para eksterminasionis sangat gagal. Akibatnya, di Perancis, kenyataan bahwa kebenaran sejarah kamar gas sedang ditentang oleh para cendekiawan menjadi diketahui umum, dan kian banyak orang Perancis mulai mempertanyakan Holokaus. When the exterminationists tried to muzzle the revisionists, they found themselves in an increasingly foolish predicament. First, they expected the public to accept SS officer Kurt Gerstein's statements unquestioningly, despite the Gerstein statements' many contradictions and mistakes. What's more, they tried to argue that exactitude in matters of figures was not his predominant characteristic (which is quite surprising in the case of an engineer). Apart from the strange contradiction between the actual area of the supposed gas chamber and its alleged capacity to accommodate hundreds of persons, there is another weakness in Gerstein's testimony. He claimed that the room's volume was forty-five cubic meters, yet that it was still able to hold as many as seven or eight hundred persons; this would have been impossible. Considering the fact that three persons of average size can occupy one cubic meter, it would take a minimum of 250 cubic meters to accommodate Gerstein's seven hundred fifty or so people. Obviously, they couldn't have fit into the forty-five cubic meters claimed by Gerstein. Ketika mencoba membungkam para revisionis, para eksterminasionis menemukan diri dalam kebingungan dungu yang kian bertambah. Pertama, mereka mengharapkan khalayak ramai menerima tanpa ragu pernyataan perwira SS Kurt Gerstein, sekalipun ada banyak pertentangan dan kesalahan dalam pernyataan itu. Lebih-lebih, mereka mencoba mendebat bahwa kecermatan mengingat angka bukan sifat utama Gerstein (yang amat mengejutkan pada diri seorang insinyur). Terlepas dari pertentangan ganjil antara daerah sebenarnya yang disangka kamar gas dan daya tampung yang disangka menerima ratusan orang, ada kelemahan lain dalam testimoni Gerstein. Ia menyatakan bahwa isi ruangan adalah 45 meter kubik, namun masih juga mampu menampung sebanyak 700 atau 800 orang; ini mustahil. Mengingat kenyataan bahwa tiga orang berukuran tubuh sedang dapat mengisi satu meter kubik, diperlukan sedikitnya 250 meter kubik untuk menampung 700 orang atau lebih. Jelas, orang-orang ini tak akan muat di ruangan 45 meter kubik yang diakui Gerstein. Kurt Gerstein's allegations had surfaced before 1979. His "testimony" was submitted at Nuremberg, although he himself evidently committed suicide in French custody in 1945, and his statements have repeatedly been cited as important testimony on the Holocaust. Despite the reliance of the Holocaust mythologists on Gerstein's statements as essential evidence, many of them were well aware that cramming seven to eight hundred people into a room of twenty-five square meters in area is not possible. Therefore, in quoting Gerstein, they have found it necessary to distort his

h. 91 actual words in order to make them appear more credible. Thus, exterminationist writers have altered Gerstein's statements by increasing the size of the alleged gas chamber, or by lowering the number of victims. These fraudulent manipulations alone would suffice to demonstrate the exterminationists' dishonesty. Some of the exterminationists' "corrections" to Gerstein's "confessions" follow: Persangkaan-persangkaan Kurt Gerstein telah muncul sebelum tahun 1979. Testimoninya diserahkan ke Nuremberg, walaupun ia sendiri jelas-jelas membunuh diri di tahanan Perancis di tahun 1945, dan pernyataan-pernyataannya berkali-kali dikutip sebagai testimoni penting tentang Holokaus. Sekalipun meyakini pernyataan-pernyataan Gerstein sebagai petunjuk penting, banyak pendongeng Holokaus sangat sadar bahwa menjejalkan 7-8 ratus orang ke dalam sebuah ruangan seluas 25 meter persegi itu mustahil. Karena itu, ketika mengutip Gerstein, mereka merasa perlu memelintir kata-katanya yang sebenarnya agar tampak lebih meyakinkan. Jadi, para penulis eksterminasionis mengubah pernyataan-pernyataan Gerstein dengan menaikkan ukuran yang disangka kamar gas, atau menurunkan jumlah korbannya. Pengubahan-pengubahan yang mempedaya ini saja sudah cukup untuk menunjukkan ketakjujuran para eksterminasionis. Sebagian ralat eksterminasionis atas pengakuan-pengakuan Gerstein adalah:

Lon Poliakov changed Gerstein's 25 square meter figure to 93 square meters, also deleting
the 45 cubic meter volume alleged by Gerstein.28

Saul Friedlander and Franois Delpech copied Poliakov's changes (see above).29 Gideon Hausner, the Israeli who prosecuted Eichmann, changed the area of the "gas
chamber" claimed by Gerstein from 25 square meters to "about a hundred square yards," thereby both altering Gerstein's figures and rounding off Poliakov's distorted version of them.30

Lucy S. Dawidowicz supplied another imaginary figure for the area of the "gas chamber"
67.5 square meters so that each of the 750 people alleged by Gerstein would now occupy .093 square meters (one square foot)!31 (The French translation of Dawidowicz's book, La Guerre contre les Juifs, gives still another area, 30 square centimeters, for each Jew.)

Robert Neumann made no alterations in the area or volume of the room, but he made quite a
switch in Gerstein's number of persons in the "gas chamber" the 700-800 people in Gerstein's statement was simply decreased to 170-180 in Neumann's book.32

Lon Poliakov mengubah angka Gerstein 25 meter persegi menjadi 93 meter persegi, juga
menghilangkan isi 45 meter kubik yang disangkakan oleh Gerstein.28

Saul Friedlander dan Franois Delpech menyalin angka-angka ubahan Poliakov (lihat di
atas).
29

h. 92

Gideon Hausner, orang Israel yang menuntut Eichmann, mengubah daerah yang dinyatakan
sebagai kamar gas oleh Gerstein dari 25 meter persegi menjadi kira-kira 100 yard persegi (= 91,5 meter persegi), karena itu, mengubah angka-angka Gerstein sekaligus membulatkan angka-angka pelintiran versi Poliakov.30

Lucy S. Dawidowicz memasok angka khayalan lainnya bagi kawasan kamar gas 67,5
meter persegi sehingga masing-masing dari 750 orang yang disangkakan Gerstein kini akan menempati 0,093 meter persegi (atau 1 kaki persegi)!31 (Terjemahan bahasa Perancis buku Dawidowicz, La Guerre contre les Juifs, memberikan satu luas lainnya, 30 sentimeter persegi, per orang Yahudi)

Robert Neumann tidak membuat perubahan luas atau isi ruangan, namun menukikkan
dengan tajam jumlah orang di dalam kamar gas menurut Gerstein 700-800 orang pada pernyataan Gerstein sekedar diturunkan menjadi 170-180 di dalam buku Neumann.32

'Gas Chamber' Stories and the Facts


The most impressive part of the Holocaust legend is the claim that the Jews were killed in mass gassings. In the Holocaust propaganda that has been spread throughout the world, the extermination gas chambers have always received the most emphasis. As revisionist criticism of the Holocaust has grown, the proponents of the official history have responded with new or altered versions of how the gas chambers functioned. Efforts to reconcile the accounts of the "eyewitnesses" with physical reality, as with the Gerstein statements, have often proved troublesome for the exterminationists.

Kisah-Kisah Kamar Gas dan Kenyataannya


Bagian paling mengesankan dongeng Holokaus adalah pernyataan bahwa orang-orang Yahudi dibunuh dengan penggasan massal. Dalam propaganda Holokaus yang telah disebarkan ke seluruh dunia, kamar-kamar gas pembunuh selalu menerima penekanan terbanyak. Karena kecaman para revisionis menguat, para pendukung sejarah resmi membalas dengan versi baru atau ubahan tentang bagaimana kamar gas berfungsi. Upaya-upaya menyelaraskan cerita-cerita para saksi mata dengan kenyataan fisik, seperti pada pernyataan Gerstein, sering kali terbukti menyusahkan bagi para eksterminasionis. In fact, the exterminationists have yet to reach a consensus on how many minutes of gassing normally induced death. On this question, there is evident disagreement among them. Yet the exterminationists claim that various surviving witnesses observed gassings. Despite the existence of "eyewitness" testimony, the Holocaust "experts" are unable to derive consistent conclusions on gassing time and other key questions from the various accounts. For example, the manner in which Zyklon B was released into the gas chambers. Here again, the testimony is contradictory except insofar as the different versions coincide in their technical impossibility. Some Holocaust mythologists assert that Zyklon B was dropped through roof vents. Others have claimed that it was actually piped in through showerheads or otherwise.

h. 93 Then there are descriptions according to which the Germans inserted Zyklon B through the gas chamber windows. Raul Hilberg has written the following of a "gassing" at Auschwitz: "A Red Cross car drove up with the Zyklon, and a masked SS-man lifted the glass shutter over the lattice, emptying one can after another into the gas chamber"33 Nyatanya, para eksterminasionis masih harus mencapai kesepakatan tentang berapa menit penggasan biasanya mengantarkan ke kematian. Tentang masalah ini, ada ketaksepakatan yang nyata di antara mereka. Namun, para eksterminasionis mengaku bahwa rupa-rupa saksi yang selamat mengamati penggasan. Sekalipun adanya testimoni saksi mata, para pakar Holokaus tak mampu menarik kesimpulan yang teguh tentang lama penggasan dan masalah-masalah kunci lainnya dari berbagai cerita. Misalnya, cara Zyklon B dilepaskan ke dalam kamar gas. Di sini, lagi-lagi testimoni saling bertentangan, kecuali sejauh berbagai versi ini menyatu dalam kemustahilan teknisnya. Sebagian pendongeng Holokaus mengatakan bahwa Zyklon B dijatuhkan dari lubang-lubang atap. Yang lain menyatakan bahwa gas ini sesungguhnya disalurkan lewat pipa lewat keran bilas kepala atau cara lain. Lalu, ada penjelasan-penjelasan yang mengatakan orang-orang Jerman memasukkan Zyklon B lewat jendela-jendela kamar gas. Raul Hilberg menulis sebagai berikut tentang penggasan di Auschwitz: Mobil Palang Merah masuk membawa Zyklon, dan seorang SS bermasker membuka daun jendela kaca di depan teralis, mengosongkan satu-per-satu tabung gas ke dalam ruangan.33 Yet Hilberg's method could not have been used due to the characteristics of Zyklon B. As Henri Roques has put it: "Neither of them knew what Zyklon B was, and neither had bothered to check The answer in Hilberg's case is that his idea is pure schoolboy farce. Mask or no mask, the SS man would not have survived to get to the top of the ladder; and because the cans were opened before he started up, neither would any bystanders have survived."34 The clothing of the Auschwitz inmates was regularly disinfected with Zyklon B. The section assigned this duty was called the "Disinfection Department." Arthur Breitwieser, the head of the department, was an expert in the use of Zyklon B. In his postwar testimony he gives particular emphasis to the necessity of ventilation after fumigation with the gas: Namun, cara Hilberg tak bisa digunakan karena sifat Zyklon B. Sebagaimana dikatakan Henri Roques: Tiada seorang pun dari mereka mengenal Zyklon B, dan tak seorang pun peduli untuk mengetahuinya... Jawaban dalam perkara Hilberg adalah gagasannya murni lelucon anak sekolah. Dengan atau tanpa masker, si orang SS tak akan hidup untuk mendaki ke puncak tangga; dan karena tabung-tabung dibuka sebelum mulai orang itu mendaki, tak seorang pun penonton juga bertahan hidup.34 Pakaian para tawanan Auschwitz disucihamakan secara teratur dengan Zyklon B. Bagian yang ditugaskan melakukannya disebut Bagian Penyucihamaan. Arthur Breitwieser, kepala bagian itu, adalah seorang pakar penggunaan Zyklon B. Dalam testimoni pascaperangnya, ia

h. 94 memberikan penekanan khusus bagi pentingnya pertukaran udara setelah penyucihamaan dengan gas: Zyklon B took effect very quickly. I remember that one day, Unterscharfhrer Theurer entered a house that had already been disinfected. The ground floor had been ventilated the night before, and the next morning Theurer wanted to open the windows on the second floor. He must have inhaled lingering vapors, [for he] collapsed and rolled down the stairs unconscious until he was able to breathe fresh air once more.35 As is evident from Breitwieser's words, it is extremely dangerous to enter a room in which Zyklon B has been employed before the room has been ventilated. Yet, according to the exterminationists, very soon after the lethal gas was introduced into the alleged execution chambers, the inmates of the Sonderkommando would enter the "gas chamber" to remove the corpses and clean up the room for the next gassing. Zyklon B bekerja amat cepat. Saya ingat bahwa suatu hari, Unterscharfhrer Theurer memasuki sebuah rumah yang sudah disucihamakan. Lantai dasarnya telah diangin-anginkan malam sebelumnya, dan paginya Theurer ingin membuka jendela-jendela di lantai dua. Ia pasti telah mengisap uap yang tersisa, [sebab ia] pingsan dan terguling menuruni tangga tak sadarkan diri hingga mampu menghirup kembali udara segar.35 Sebagaimana jelas dari kata-kata Breitwieser, amatlah berbahaya memasuki sebuah ruangan yang Zyklon B telah digunakan di dalamnya sebelum diangin-anginkan. Namun, menurut para ekterminasionis, amat segera setelah gas mematikan ini ditebarkan ke dalam yang disangka kamar gas; para tawanan Sonderkommando memasuki kamar gas ini untuk memindahkan mayat-mayat dan membersihkan ruangan untuk penggasan berikutnya. Let's examine how the exterminationists have rationalized this technically impossible story. Rudolf Hss, who served as commandant of Auschwitz and supplied several postwar statements that the exterminationists regard as key testimony in establishing the Holocaust story, said this about the gassing procedure at Auschwitz: "The door was opened a half an hour after the gas was thrown in and the ventilation system was turned on. Work was immediately started to remove the corpses."36 The word "immediately" is striking in Hss's testimony. As stated above, it is extremely dangerous to enter a room that is filled with hydrogen cyanide gas. Despite this fact, exterminationists assert that the corpses were carried out "immediately." In other words, the room had not yet been ventilated. Had that been the case, the men carrying the corpses would have either died or fallen very ill. Holocaust mythologists add more details about the alleged gassings in hopes of lending their stories verisimilitude. In fact, such attempts have worked against them: Their attempts at embellishment have provided additional clues to unravel their lies. For instance, the following claim is repeated by extermination mythologists: "They [the inmate detail charged with clearing out the bodies] would eat and smoke while removing the corpses."37

h. 95 Mari kita telaah bagaimana para ekterminasionis telah membenarkan kisah yang secara teknis mustahil ini. Rudolf Hss, yang bertugas sebagai komandan Auschwitz dan memberikan sejumlah pernyataan pascaperang yang dianggap para ekterminasionis sebagai testimoni kunci dalam mengembangkan cerita Holokaus, mengatakan berikut ini tentang tatalaksana penggasan di Auschwitz: Pintunya dibuka setengah jam sebelum gas dilemparkan masuk dan sistem pertukaran udara dihidupkan. Pekerjaan segera dilakukan untuk memindahkan mayat-mayat.36 Kata segera menyolok dalam testimoni Hss. Sebagaimana dikatakan di atas, sangat berbahaya memasuki ruangan yang dipenuhi gas hidrogen sianida. Sekalipun kenyataan ini, para ekterminasionis menyimpulkan bahwa mayat-mayat segera diangkut keluar. Dengan kata lain, ruangan belum diangin-anginkan. Jika ini yang terjadi, orang-orang yang mengangkat mayat-mayat itu akan mati atau jatuh sakit payah. Para pendongeng Holokaus menambahkan rincian tentang penggasan yang disangkakan dengan harapan memberi cerita mereka penampakan kesejatian. Sejatinya, upaya-upaya semacam itu malah menyusahkan mereka: upaya-upaya mendandani cerita mereka memberikan petunjuk tambahan untuk membuka dusta mereka. Misalnya, pernyataan berikut diulang-ulang oleh para pendongeng Holokaus: Mereka [kelompok tawanan yang ditugaskan menyingkirkan mayat] makan dan merokok sambil mengangkut mayat.37 The mythologists of the Holocaust allege that the inmate detail continued to eat and to smoke while carrying the corpses out. If this allegation is true, we can conclude that they were not wearing gas masks. Yet, it is impossible to enter unventilated rooms without gas masks, so soon after the gassing. Furthermore, hydrogen cyanide gas (produced by Zyklon B) is highly explosive. Entering a room filled with Zyklon B fumes while smoking a cigarette would almost certainly lead to an explosion. Consequently, the claim that inmates cleared the gas chambers of the corpses while smoking is an obvious exterminationist falsehood. Para pendongeng Holokaus menyangka bahwa kelompok tawanan meneruskan makan dan merokok sambil mengangkut mayat keluar. Jika persangkaan ini benar, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak menggunakan masker gas. Namun, mustahil memasuki ruangan yang tak berpenukar udara tanpa masker gas begitu cepat setelah penggasan. Lebih lagi, gas hidrogen sianida (yang dihasilkan Zyklon B) mudah meledak. Memasuki ruangan yang dipenuhi asap Zyklon B sambil mengisap rokok akan hampir pasti memicu ledakan. Akibatnya, pernyataan bahwa para tawanan membersihkan kamar gas dari mayat-mayat sambil merokok itu sebuah tipuan menyolok ekterminasionis. The absurdity of the claim that the Germans used Zyklon B for mass murder is further demonstrated by two additional documents. The first of these is an instruction manual prepared by DEGESCH, the company which manufactured and marketed the insecticide Zyklon B. According to this manual, ventilating with Zyklon B is a very rigorous procedure and requires a considerable amount of time, because Zyklon B readily adheres to surfaces. Therefore, Zyklon B would have been deposited on the corpses, and not just on the skin, but in other organs as well, to remain there for a considerable time. Hence, in dealing with the corpses of victims of hydrogen cyanide, a gas mask and other protective gear are absolutely necessary.

h. 96 Kejanggalan pernyataan bahwa orang-orang Jerman menggunakan Zyklon B untuk pembunuhan massal ditunjukkan lebih jauh oleh dua dokumen tambahan. Yang pertama adalah buku panduan yang disiapkan oleh DEGESCH, perusahaan yang membuat dan memasarkan insektisida Zyklon B. Menurut panduan ini, penukaran udara dengan Zyklon B adalah sebuah tatalaksana yang amat ketat dan memerlukan waktu yang cukup lama, sebab Zyklon B mudah meresap ke permukaan. Karena itu, Zyklon B akan tertimbun pada mayat-mayat, dan tak hanya di kulit, namun di organ lainnya juga, bertahan di sana selama waktu yang cukup panjang. Oleh sebab itu, dalam menangani mayat-mayat korban hidrogen sianida, masker gas dan perlengkapan pelindung lainnya mutlak diperlukan. The second document to be considered is the Directives for the Use of Prussic Acid (Zyklon) for the Destruction of Vermin (Disinfestation), classified as Nuremberg document NI-9912. This guide-book is an instructional manual for using Zyklon B. It states that normally twenty hours are needed for the ventilation of a room that has been fumigated with Zyklon B. Before entering such a room without a gas mask, at least twenty-one hours should have elapsed after ventilation began. The book includes this warning: "When fumigating with Zyklon use only special [gas mask] filters." Another point that is strongly emphasized in both documents is the need for trained personnel whether for applying Zyklon B or for the ventilation of rooms disinfected with Zyklon B. Yet nothing is said in any Holocaust source about any kind of training in safety procedures, either for the men who allegedly dispensed the poison, or for those who removed the corpses from the gas chambers. Dokumen kedua yang mesti diperhatikan adalah Petunjuk Penggunaan Asam Prusik (Zyklon) untuk Pemusnahan Hama (Penyucihamaan), yang dicatat sebagai dokumen Nuremberg NI-9912. Buku petunjuk ini adalah buku panduan bagi penggunaan Zyklon B. Buku ini mengatakan bahwa biasanya dibutuhkan 24 jam untuk penukaran udara sebuah ruangan yang telah disucihamakan dengan Zyklon B. Sebelum memasuki ruangan itu tanpa masker gas, setidaknya 21 jam berlalu sejak pertukaran udara dimulai. Buku ini berisi peringatan: Jika menyucihamakan dengan Zyklon, gunakan hanya saringan-saringan [masker gas] khusus. Hal lain yang tegas ditekankan di kedua dokumen adalah perlunya petugas terlatih baik untuk menggunakan Zyklon B, atau untuk menukar udara ruangan yang disucihamakan dengan Zyklon B. Namun, tak sesuatu pun dikatakan di semua sumber Holokaus tentang jenis pelatihan apa pun dalam tatalaksana keselamatan kerja, baik bagi yang disangka menebarkan racun itu, atau yang memindahkan mayat dari kamar gas.

To summarize, these two documents provide strong evidence that there would have been a high risk of injury or death for anyone:
entering chambers fumigated with Zyklon B without a gas mask before many hours of ventilation; entering fumigated premises without special training in the use of Zyklon B and in the procedure for ventilation;

h. 97 entering gas chambers while eating (i.e. without masks) and smoking (i.e. also risking explosion) just half an hour after a gassing took place; handling corpses recently gassed with Zyklon B, without protective gear.

Sebagai rangkuman, kedua dokumen ini memberikan bukti kuat bahwa ada resiko tinggi cedera atau kematian bagi siapa saja yang:
memasuki ruangan yang disucihamakan dengan Zyklon B tanpa masker gas sebelum beberapa jam penukaran udara; memasuki tempat penyucihamaan tanpa pelatihan khusus dalam penggunaan Zyklon B dan tatalaksana penukaran udara; memasuki kamar gas sambil makan (dengan kata lain, tanpa masker gas) dan merokok (dengan kata lain, juga mengundang resiko ledakan) hanya setengah jam setelah penggasan berlangsung; menangani mayat-mayat yang baru saja digas dengan Zyklon B, tanpa perlengkapan pelindung.

Fantastic Murder Scripts from Holocaust Mythologists


Although it would seem dramatic enough for the Nazis to have carried out the Holocaust by mass killing with gas, the Holocaust mythologists have concocted other tales to make their story even more sensational. Even before the Second World War had ended, alternative scenarios for the Nazi mass murder were surfacing. Their variety fascinates: The methods ranged from killing Jews in the crematory ovens, to boiling, to mass electrocution, to cooking them with jets of steam according to early propagandists of Holocaust extermination myths. Of course, these gory allegations needed to be fleshed out with details that would further grip the public's imagination, so detailed accounts were provided. Here is one of the most lurid.

Alur Cerita Pembunuhan Luar Biasa dari Para Pendongeng Holokaus


Walaupun tampak cukup mengharukan bagi Nazi untuk menjalankan Holokaus lewat pembunuhan massal dengan gas, para pendongeng Holokaus mencekokkan cerita-cerita lain untuk membuat dongeng mereka lebih mencengangkan. Bahkan sebelum Perang Dunia II berakhir, alur-alur cerita pilihan bagi pembunuhan massal Nazi bermunculan. Keanekaragamannya memesona: cara-caranya berkisar dari membunuh orangorang Yahudi di tungku-tungku krematorium, penyetruman massal, sampai perebusan dengan semburan uap menurut para tokoh penganjur dongeng pemusnahan Holokaus. Jelas, persangkaanpersangkaan bersimbah darah ini perlu diberi bobot dengan rincian yang akan lebih mencekam khayalan orang awam, sehingga cerita-cerita yang rinci diberikan. Berikut salah satu yang paling mendebarkan. Dr. Stefan Szendel, a Holocaust "survivor," came up with a story about Jews being electrocuted in 1944, before the war was over. In his book The Promise Hitler Kept, Dr. Szendel

h. 98 describes a building the size of an aircraft hangar, that had a steel floor. Szendel claimed that thousands of Jews were crammed into this structure. The steel floor would then descend like an elevator into a kind of water tank. When the descending floor reached the water level, a jolt of electricity was applied, electrocuting the Jews en masse. Then the corpses were cremated on the steel floor, which had risen up from the water again, whereupon the floor was tilted, and the Jewish ashes poured into an abyss. This nonsense is scarcely worthy of comment. The fantastic electrocution machine described has, of course, never been found because it never existed. This story is not entirely worthless, however: It shows us how Holocaust mythologists were manufacturing lies even before the war was over. Dr. Stefan Szendel, seorang lulusan Holokaus, muncul dengan sebuah kisah tentang orangorang Yahudi yang disetrum di tahun 1944, sebelum perang berakhir. Di dalam bukunya, The Promise Hitler Kept (Janji yang Dipenuhi Hitler), Szendel melukiskan sebuah bangunan seukuran hanggar pesawat terbang, yang berpintu baja. Szendel menyatakan bahwa ribuan orang Yahudi dijejalkan ke dalam bangunan ini. Lantai bajanya lalu akan turun seperti sebuah lift ke sejenis tangki air. Ketika lantai yang turun ini mencapai permukaan air, satu sentakan listrik dialirkan, menyetrum orang-orang Yahudi secara massal. Lalu, mayat-mayat dibakar di lantai baja itu, yang diangkat lagi dari air, kemudian lantai digoyang-goyang, dan abu orang-orang Yahudi ditumpahkan ke sebuah sumur. Omong kosong ini hampir tak bernilai untuk diulas. Mesin penyetrum luar biasa yang digambarkan di sini, tentu saja, tak pernah ditemukan karena memang tak ada. Akan tetapi, cerita ini tak sepenuhnya tak bernilai. Cerita ini menunjukkan kepada kita bagaimana para pendongeng Holokaus membuat dusta bahkan sebelum perang berakhir.

The Reality behind the Crematory Ovens and Pits for Burning Corpses
As is generally known, even today many societies prefer to cremate their dead rather than bury them, according to their religious or cultural tradition. It is thus difficult to maintain that cremation of corpses by the Germans during the war was a major ethical violation. Cremation was by then no novelty: It had precedents that went back many years in Germany and in Europe. During the Second World War cremation rather than burial was the rule in the German concentration camps. This was not done out of a sense of tradition, nor was it done to punish the Nazis' enemies, including the Jews. It was necessary for hygienic purposes, because of limited burial space and as a means of combatting epidemics that were a constant threat in the camps. Cremation, costly and troublesome though it often was, was standard not only for Jews who had died in the camps, but for others as well.

Kenyataan di Balik Tungku-Tungku Krematorium dan Sumur-Sumur untuk Membakar Mayat


Sebagaimana umum diketahui, bahkan pada hari ini banyak masyarakat lebih memilih

h. 99 mengabukan mayat daripada menguburkannya, menuruti adat agama atau budayanya. Jadi, sukar untuk bersikeras bahwa pengabuan mayat oleh orang-orang Jerman selama perang adalah suatu pelanggaran berat etika. Pengabuan mayat pada saat itu bukan barang baru: hal itu ada contohnya bertahun-tahun sebelumnya di Jerman dan Eropa. Selama Perang Dunia II, pengabuan dan bukannya penguburan menjadi kaidah di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Hal ini dilakukan tidak karena adat-istiadat, tidak juga untuk menghukum musuh-musuh Nazi, termasuk orang-orang Yahudi. Hal itu penting bagi maksud-maksud kesehatan, akibat terbatasnya lahan penguburan dan sebagai cara memerangi wabah yang merupakan ancaman abadi di kamp-kamp. Pengabuan, sekalipun sering kali mahal dan sukar, adalah suatu tindakan baku tak hanya terhadap kaum Yahudi yang mati di kamp-kamp, namun juga bagi kaum lain. The major reason for cremation was typhus, which resulted in many deaths in the camps. Burning the corpses helped stop the spread of the epidemic. Contrary to widespread impression (which the Holocaust mongers seem little disposed to dispel), there is no factual basis for the canard that the Nazis burned Jews alive in the crematory ovens the ovens were used only to dispose of corpses. The noted revisionist scholar Arthur Butz describes in his book The Hoax of the Twentieth Centuryhow crematories came to be built at Auschwitz: Alasan besar bagi pengabuan adalah tifus, yang menyebabkan banyak kematian di kampkamp. Membakar mayat membantu menghentikan penyebaran wabah ini. Berlawanan dengan kesan yang tersebar luas (yang tampaknya para penganjur Holokaus kurang sudi menghilangkannya), tiada dasar nyata bagi desas-desus bahwa kaum Nazi membakar hidup-hidup orang Yahudi di tungku-tungku krematorium tungku-tungku digunakan hanya untuk melenyapkan mayat. Sarjana revisionis ternama Arthur Butz melukiskan di dalam bukunya The Hoax of the Twentieth Century (Tipuan Jahat Abad ke-20) bagaimana krematorium-krematorium dibangun di Auschwitz: "The first major relevant event is the typhus epidemic of the summer of 1942 there certainly were typhus epidemics at Auschwitz. It is not at all remarkable that with such death rates, cremation and mortuary facilities anticipating worst period death rates of even hundreds per day existed at Auschwitz.38 Professor Robert Faurisson comments on the construction of the crematories in the camps: "Ovens were built in order to take precautionary measures against the typhus epidemic."39 Peristiwa besar terkait pertama adalah wabah tifus di musim panas tahun 1942 pasti ada wabah tifus di Auschwitz Sama sekali tidak luar biasa bahwa dengan laju kematian yang sedemikian, sarana-sarana pengabuan dan kamar jenazah untuk menghadapi laju kematian masa terburuk yang bahkan mencapai ratusan per hari dibangun di Auschwitz.38 Profesor Robert Faurisson mengulas tentang pembangunan krematorium di kamp-kamp: Tungku-tungku dibangun sebagai langkah pencegahan terhadap wabah tifus.39

h. 100 Fred Leuchter describes the hygienic advantages of cremation: "It becomes advantageous to control disease, free up much needed land in crowded areas and eliminate the need of storing corpses in winter when the ground is frozen."40 The fact that cremation was carried out in the concentration camps as an anti-typhus measure was not a secret at the time. Yet the impression has been created that the Nazis sought to keep cremation a dark secret for their own nefarious purposes. When exterminationists began to claim that six million Jews had been killed, most of them in gas chambers, they of course suggested that large numbers of them were cremated in these ovens. Once again, however, they did-n't consider what was technically feasible. Eventually it was necessary to investigate whether it was possible to cremate so many corpses in the crematories available in the camps. The results exposed another exterminationist imposture, for technical investigation determined that even if the ovens had functioned around the clock (an impossibility), it would not have been possible for them to incinerate more than a small fraction of the six million during the course of the supposed Holocaust. Fred Leuchter melukiskan keuntungan pengabuan dari segi kesehatan: Itu menguntungkan untuk mengendalikan penyakit, meluangkan lahan yang amat dibutuhkan di kawasan yang padat, dan membatasi kebutuhan menyimpan mayat di musim dingin saat tanah membeku.40 Kenyataan bahwa pengabuan dilakukan di kamp-kamp konsentrasi sebagai sebuah langkah anti-tifus bukanlah rahasia pada masa itu. Namun, kesan telah diciptakan bahwa orang-orang Nazi mencoba menyimpan pengabuan sebagai sebuah rahasia kelam demi maksud-maksud jahat mereka. Ketika para ekterminasionis mulai menyatakan bahwa 6 juta orang Yahudi dibunuh, sebagian besar di kamar-kamar gas, mereka tentu menyarankan bahwa sejumlah besar korban diabukan di tungku-tungku itu. Akan tetapi, sekali lagi mereka tidak memikirkan apa yang secara teknis mungkin. Pada akhirnya, penting menyelidiki apakah mungkin mengabukan begitu banyak mayat di krematorium yang tersedia di kamp-kamp. Hasil-hasilnya menyingkapkan penyamaran ekterminasionis lainnya, sebab penyelidikan teknis memastikan bahwa bahkan jika berfungsi seharian penuh (sebuah kemustahilan), tungku-tungku itu tak mungkin mampu membakar lebih dari sebagian kecil dari 6 juta mayat selama berlangsungnya Holokaus yang diperkirakan. The exterminationists often cite an alleged statement by a German officer at Auschwitz as to the capacity of the crematoria there. SS Sturmbannfhrer Karl Bischoff reported, in a document dated June 28, 1943, that the capacity of the five Auschwitz crematoria for incinerating corpses was 4,756 a day.41 Para ekterminasionis sering mengutip yang disangka pernyataan oleh seorang perwira Jerman di Auschwitz tentang daya tampung krematorium-krematorium di sana. SS Sturmbannfhrer Karl Bischoff melaporkan, dalam sebuah dokumen bertanggal 28 Juni 1943, bahwa daya tampung lima krematorium Auschwitz untuk membakar mayat adalah 4,756 orang per hari. 41

h. 101 Even if the document in question is authentic, there are grave doubts as to the accuracy of Bischoff's statement. The fastest crematory muffles, or ovens, operating today far fall short of the efficiency claimed for the (now technologically outmoded) crematories at Auschwitz-Birkenau. According to Stglich: Some indication of the actual capacity of the crematoria may be found in a letter from the firm of Topf & Shne to the Mauthausen concentration camp. It states that in the 'coke-fuelled Topf dual-muffle cremation ovens about ten to thirty-five corpses' could be cremated 'in about ten hours,' and that as many could be 'cremated daily without overloading the ovens,' even if the cremations took place one after the other, day and night.42 Bahkan jika dokumen tersebut asli, ada keraguan mendalam akan kecermatan pernyataan Bischoff. Bilik bakar, atau tungku, krematorium tercepat yang bekerja hari ini masih jauh di bawah efisiensi yang dinyatakan terhadap krematorium-krematorium (yang saat ini secara teknologi kuno) di Auschwitz-Birkenau. Menurut Stglich: Sejumlah petunjuk tentang daya tampung sebenarnya krematorium-krematorium dapat diperoleh di sepucuk surat dari firma Topf & Shne kepada kamp konsentrasi Mauthausen. Surat ini mengatakan bahwa tungku-tungku pengabuan dua bilik Topf berbahan bakar batubara padat kira-kira 10 sampai 35 mayat dapat diabukan dalam kira-kira 10 jam, dan sebanyak itu dapat diabukan setiap hari tanpa terlalu memberatkan tungku, bahkan jika pengabuan berlangsung terusmenerus, siang dan malam. 42 As this letter refers to Mauthausen and not to Birkenau, the question arises: Are the crematories, and their capacities, at Birkenau and Mauthausen comparable? In the report of the SS officer Bischoff, the Mauthausen Camp is mentioned, not Birkenau camp. However, when it is realized that the Topf und Shne Company manufactured only one type of crematory, then the problem is easily solved: Presumably, the cremation ovens manufactured by Topf und Shne were of uniform design, and thus the same type of oven was sent to Auschwitz as to Mauthausen and other camps. (The firm received the German patent number 861,731 for its cremation ovens.)43 According to the calculations of Arthur Butz: "If we allow one hour of cleaning and miscellaneous operations per day, one oven could reduce perhaps 23 bodies per day so 30 ovens could reduce 690 and 46 ovens could reduce 1,058 a day."44 Karena surat ini merujuk ke Mauthausen, dan bukan ke Birkenau, pertanyaan timbul: apakah krematorium-krematorium, dan daya tampungnya, di Birkenau dan Mauthausen sebanding? Dalam laporan perwira SS Bischoff, kamp Birkenau disebut, kamp Mauthausen tidak. Akan tetapi, ketika disadari bahwa perusahaan Topf & Shne membuat hanya satu jenis krematorium, masalah ini dengan mudah dipecahkan: Agaknya, tungku-tungku pengabuan yang dibuat oleh Topf & Shne itu seragam

h. 102 rancangannya, sehingga jenis tungku yang sama dikirimkan ke Auschwitz dan ke Mauthausen maupun kamp-kamp lainnya. (Firma ini menerima nomor paten Jerman 861.731 untuk tungkutungku pengabuannya.) 43 Menurut perhitungan Arthur Butz: Jika kita mencadangkan satu jam untuk pembersihan dan berbagai pekerjaan lainnya per hari, satu tungku dapat mengabukan kira-kira 23 tubuh per hari, sehingga 30 tungku dapat mengabukan 690, dan 46 tungku 1,058 per hari.44 Actually, this estimation is still too high. "Even today, in the most modern facilities, it takes from one and a half to two hours to cremate human remains." 45 So, contrary to Butz's maximum estimate, one hour is not enough for the reduction of a corpse: Even today this operation takes around two hours to be completed. Thus, Butz's estimate of the total number of corpses that could be cremated in a day at Auschwitz 1,058 is reduced by half. Regarding the above, it is certainly difficult to believe that better results could have been achieved with a technology now long since outmoded. A question needs to be put to the exterminationists: If, even with today's state-of-the-art crematory technology, no more than 529 corpses can be burnt a day in facilities comparable to those at Auschwitz, is it not odd to hear exterminationists tell us that fifty years ago, with a technology that can be described as primitive, 4,756 corpses could be burnt a day at Auschwitz? Sebenarnya, taksiran ini masih terlalu tinggi. Bahkan hari ini, di sarana termutakhir, diperlukan satu setengah sampai dua jam untuk mengabukan mayat manusia. 45 Jadi, bertentangan dengan taksiran maksimum Butz, satu jam tidaklah cukup untuk pengabuan sesosok mayat: bahkan hari ini kerja tersebut memakan dua jam untuk selesai. Jadi, taksiran Butz atas jumlah keseluruhan mayat yang dapat diabukan dalam sehari di Auschwitz 1,058 berkurang setengahnya. Tentang hal ini, jelas sukar untuk percaya bahwa hasil-hasil yang lebih bagus dapat dicapai memakai teknologi yang kini sudah ketinggalan zaman. Sebuah pertanyaan harus disodorkan kepada para ekterminasionis: jika, bahkan dengan teknologi krematorium mutakhir masa kini, tak lebih dari 529 mayat dapat dibakar per hari di sarana-sarana yang setara dengan yang di Auschwitz, tidakkah janggal mendengar para ekterminasionis mengatakan bahwa 50 tahun lalu, dengan teknologi yang dapat digambarkan sebagai kuno, 4,756 mayat dapat dibakar per hari di Auschwitz? A related claim of Holocaust historians is that it only took ten minutes for the Nazis to reduce a corpse to ashes in a crematory oven. This is another technical riddle. Fifty years ago, it took 3.5 to 4 hours to cremate a corpse. Fred Leuchter reported: "In the old ovens of gas compression where direct burning was not applied, coal was used as fuel and 3.5 to 4 hours had to pass for burning a corpse to ashes for complete reduction."46 Another bit of exterminationist chicanery accounts for the fact that the crematories in the concentration camps have been, on occasion, presented as "gas chambers" to visitors to the camps. Stephen F. Pinter, who served as an attorney for the U. S. War Department after the Second World War, spent seventeen months at the former Dachau concentration camp after the war and wrote the

h. 103 following: "I was in Dachau for 17 months after the war, as a U. S. War Department Attorney, and can state that there was no gas chamber at Dachau. What was shown to visitors and sightseers there and erroneously described as a gas chamber was a crematory."47 Pernyataan terkait sejarawan-sejarawan Holokaus adalah bahwa hanya memerlukan 10 menit bagi Nazi untuk melenyapkan sesosok mayat menjadi abu di tungku krematorium. Inilah teka-teki teknik lainnya. 50 tahun yang lalu, diperlukan 3,5 sampai 4 jam untuk mengabukan sesosok mayat. Fred Leuchter melaporkan: Di tungku-tungku tua bertekanan gas tempat pembakaran langsung tidak diterapkan, batubara digunakan sebagai bahan bakar dan 3,5 sampai 4 jam diperlukan untuk membakar sesosok mayat menjadi abu demi pemusnahan penuh.46 Kepingan muslihat ekterminasionis lainnya bertanggungjawab atas kenyataan bahwa krematorium-krematorium di kamp-kamp konsentrasi sudah, sekali-sekali, disajikan sebagai kamar gas kepada para pengunjung kamp. Stephen F. Pinter, yang bertugas sebagai pengacara pada Departemen Perang Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, menghabiskan 17 bulan di bekas kamp konsentrasi Dachau setelah perang dan menulis sebagai berikut: Saya di Dachau selama 17 bulan setelah perang, sebagai pengacara Departemen Perang Amerika Serikat, dan bisa menyatakan bahwa tidak ada kamar gas di Dachau. Apa yang dipamerkan kepada pengunjung dan pelancong di sana dan secara keliru dilukiskan sebagai kamar gas adalah sebuah krematorium.47 The exterminationists also claim that the Nazis often burnt corpses in pits not far from the Auschwitz crematories. Investigation of these alleged burning pits has given the lie to these allegations. Fred Leuchter states: "Most remarkable about these pits is a high water table perhaps as high as 1.5 feet from the surface. The historical description of these pits is that they were 6 meters (19.55 feet deep). It is not possible to burn corpses under water, even with the use of an artificial accelerant (gasoline). All pit locations officially designated on museum maps were inspected and as anticipated, since Birkenau was constructed on a swamp, all locations had water within 2 feet of the surface. It is the opinion of this author that no burning pits existed at Birkenau." [emphasis added]48 As a result, we can say of the crematories propaganda that the Nazi concentration camps used crematories to incinerate the corpses of the dead, not to kill the living. Their purpose was principally hygienic, to combat epidemics, above all typhus. Furthermore, the crematories at Auschwitz and the other concentration camps could not possibly have cremated the numbers various exterminationists have claimed. Even if they had operated at maximum capacity, they would have fallen fall short of the figures alleged, due to the limitations of their technology. Para ekterminasionis juga menyatakan bahwa kaum Nazi sering membakar mayat di sumursumur tak jauh dari krematorium Auschwitz. Penyelidikan atas yang disangka sumur-sumur pembakaran ini membukakan kebohongan persangkaan ini. Fred Leuchter menyatakan: Yang paling bisa dikatakan tentang sumur-sumur ini adalah muka air yang tinggi mungkin 1,5 kaki dari permukaan tanah. Gambaran sejarah sumur-sumur ini adalah 6 meter (19.55 kaki) dalamnya. Tidak mungkin membakar mayat di bawah air, bahkan dengan penggunaan bahan pemercepat buatan (bensin). Semua lokasi sumur yang secara resmi ditetapkan pada peta-peta museum diperiksa dan

h. 104 sebagaimana diperkirakan, karena Birkenau dibangun di atas sebuah rawa-rawa, semua lokasi berair dalam jarak dua kaki dari permukaan tanah. Menurut penulis, tidak ada sumur-sumur pembakaran di Birkenau. [penekanan oleh pengarang buku ini]48 Akibatnya, kita dapat mengatakan tentang propaganda krematorium bahwa kamp-kamp konsentrasi Nazi menggunakan krematorium untuk membakar mayat mati, bukan membunuh orang hidup. Tujuannya secara prinsip demi kesehatan, untuk memerangi wabah, utamanya tifus. Lebih jauh, krematorium-krematorium di Auschwitz dan kamp-kamp konsentrasi lainnya tidak mungkin telah mengabukan sejumlah orang yang dinyatakan para ekterminasionis. Bahkan jika dijalankan pada daya tampung terbesarnya, krematorium-krematorium ini masih tak mampu mencapai angkaangka yang disangkakan, akibat keterbatasan-keterbatasan teknologinya.

The Emergence of Millions of Healthy Jews, Who Were Said to Have Been Exterminated, After the War
An estimated fifty-five million people died in the Second World War; only the Jews cried "Genocide!" The claim that six million Jews were killed in an extermination campaign has been drummed into public consciousness since the war by a variety of propaganda methods. Movies and television shows, produced largely by Jews, have played on sentiment, through deft use of atrocity propaganda and sympathetic depictions of Jewish victims, to persuade many million gentiles that "six million Jews were exterminated." While the historical truth was quite different from the stories told on film and television, Hollywood has no interest in telling it.

Kemunculan Pascaperang Jutaan Yahudi Sehat, yang Dikatakan telah Dimusnahkan


Ditaksir 55 juta orang terbunuh di dalam Perang Dunia II; hanya orang-orang Yahudi yang meneriakkan Genosida! Pernyataan bahwa 6 juta orang Yahudi terbunuh dalam kampanye pemusnahan ditabuhkan ke dalam kesadaran umum sejak perang dengan beraneka cara propaganda. Film-film dan acara-acara televisi, dibuat umumnya oleh orang-orang Yahudi, telah memainkan keharuan, lewat penggunaan tangkas propaganda kekejaman dan penggambaran bersimpati korbankorban Yahudi, untuk memikat jutaan orang bukan Yahudi bahwa 6 juta orang Yahudi dimusnahkan. Sementara kebenaran sejarah amatlah berbeda dengan kisah-kisah yang dituturkan pada film dan televisi, Hollywood tak berminat menceritakannya. In order to establish what happened to the six million Jews who lived in Europe before the Second World War, it is necessary to study world Jewish population figures both before and after the war. The figures from country to country, often fragmentary and contradictory, must be carefully investigated by comparative methods and statistical techniques. Untuk menetapkan apa yang yang terjadi terhadap 6 juta orang Yahudi yang tinggal di Eropa sebelum Perang Dunia II, kita perlu mengkaji angka-angka penduduk Yahudi dunia sebelum dan setelah perang. Angka-angka dari negara ke negara, sering kali terpecah-pecah dan bertentangan, mesti hati-hati diselidiki lewat cara-cara pembandingan dan teknik-teknik statistik.

h. 105 According to an article published in the New York Times(January 11, 1945), the total number of Jews living in Europe in 1933 was 5.6 million, excluding the Jews living in the USSR. At least one million of these Jews lived in that part of eastern Poland occupied by the Soviet Union under the terms of the Soviet-German agreement of 1939, which did not come under German control until after June 21, 1941. According to statistics published in the Chambers Encyclopedia, 6.5 million Jews lived in prewar Europe. The Baseler Nachrichten , an independent Swiss newspaper, has estimated that between 1933 and 1945 1.5 million European Jews emigrated to areas that never fell under German control. The 1942 edition of the World Almanac reported that the number of Jews living in Gibraltar, Great Britain, Portugal, Spain, Switzerland, Sweden, Ireland, and Turkey was 413,128. As a result, the maximum number of Jews that the National Socialists had under their control can scarcely have been many more than 4.5 million. Again, the same objective, neutral source, the Baseler Nachrichten, reports that five hundred thousand Jews fled to Siberia after Hitler invaded Russia. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan di dalam New York Times (11 Januari 1945), jumlah keseluruhan orang Yahudi yang tinggal di Eropa di tahun 1933 adalah 5,6 juta, tidak termasuk orang Yahudi yang tinggal di Uni Soviet. Setidaknya, satu juta dari mereka tinggal di bagian timur Polandia yang diduduki Uni Soviet menurut kesepakatan Soviet-Jerman tahun 1939, yang tidak di bawah kendali Jerman hingga setelah 21 Juni 1941. Menurut statistik yang diterbitkan dalam Chambers Encyclopedia, 6,5 juta orang Yahudi tinggal di Eropa pra-perang. Baseler Nachrichten, sebuah suratkabar independen Swiss, telah menaksir bahwa antara 1933 dan 1945, 1,5 juta orang Yahudi Eropa berpindah ke kawasan-kawasan yang tak pernah jatuh ke dalam kekuasaan Jerman. Terbitan tahun 1942 The World Almanac melaporkan bahwa jumlah orang Yahudi yang tinggal di Gibraltar, Inggris Raya, Portugal, Spanyol, Swiss, Swedia, Irlandia, dan Turki adalah 413, 128. Jadi, jumlah terbesar orang Yahudi di bawah kekuasaan Jerman tak mungkin lebih dari 4,5 juta orang. Juga, sumber netral tak berpamrih yang sama, Baseler Nachrichten, melaporkan bahwa 500 ribu orang Yahudi melarikan diri ke Siberia setelah Hitler menyerbu Rusia. Does that mean that it is true to say that as many as four million Jews were exterminated by the Nazis during the Second World War? The answer to this question is of course no, the reason being that in 1948, three years after the death of Hitler and the end of the war, 1,559,600 Jews were still living in Europe, not including the USSR according to the very knowledgeable Jewish Joint Distribution Committee. The magazine Nokta (May 19, 1985) also has estimated the total number of Jews in Europe after 1945 as 1.5 million. American researchers also made investigations after the war to determine the exact number of Jews who died in the concentration camps. According to reports published in 1951, it was found that 1.2 million people died in these camps. However, this number includes Gypsies, Ukrainians, homosexuals, and other groups as well as Jews.

h. 106 Apakah ini berarti benar untuk mengatakan bahwa sebanyak 4 juta orang Yahudi dimusnahkan oleh kaum Nazi selama Perang Dunia II? Jawaban pertanyaan ini tentu saja tidak, alasannya karena di tahun 1948, tiga tahun setelah kematian Hitler dan akhir perang, 1,559,600 orang Yahudi masih tinggal di Eropa, tidak termasuk Uni Soviet menurut sumber yang amat mengetahui, yakni Jewish Joint Distribution Committee. Majalah Nokta (19 Mei 1985) juga menaksir jumlah keseluruhan orang Yahudi di Eropa setelah tahun 1945 adalah 1,5 juta. Para peneliti Amerika juga melakukan penyelidikan-penyelidikan setelah perang untuk menentukan jumlah tepat orang Yahudi yang mati di kamp-kamp konsentrasi. Menurut laporan-laporan yang diterbitkan di tahun 1951, ditemukan bahwa 1,2 juta terbunuh di kamp-kamp ini. Akan tetapi, angka ini mencakup orang gipsi, orang Ukraina, kaum homoseks, dan kelompok-kelompok lain, maupun orang Yahudi. Interpretation of all these figures yields a total of roughly five hundred thousand Jews who perished in the Second World War. It is a tragedy that so many innocent people died in the concentration camps. Yet the grim fact that over fifty million people died in the war demonstrates that Jewish deaths were a small percentage of the whole; there was no special Jewish holocaust. If half a million Jews died during the Second World War, where did the remainder of the 5 to 5.6 million Jews who lived in (non-Russian) Europe before the war go? Penafsiran semua angka ini memberikan jumlah keseluruhan kira-kira 500 ribu Yahudi yang punah dalam Perang Dunia II. Sebuah bencana bahwa begitu banyak orang tak bersalah mati di kamp-kamp konsentrasi. Namun, kenyataan getir bahwa lebih 55 juta orang terbunuh di dalam perang menunjukkan bahwa kematian orang Yahudi adalah bagian kecil dari keseluruhan; tidak ada holokaus khusus Yahudi. Jika setengah juta orang Yahudi tewas selama Perang Dunia II, ke manakah perginya sisa 5 sampai 5,6 juta orang Yahudi yang tinggal di Eropa (selain Rusia) sebelum perang? The answer to this question began to emerge shortly after the war, when large numbers of Jews suddenly swarmed westward from Soviet-occupied eastern Europe. From Czechoslovakia, Poland, and Hungary, great numbers of Jews many of them well-dressed and with ample currency made their way into the Anglo-American zones of Germany and Austria. The most satisfying answers to these questions were given by the President of the American Jewish Committee, Louis Levine. After the war, Levine visited Russia and reported on the current situation of the Jews. According to Levine, large numbers of Jews were evacuated by the Soviets from the regions threatened by Hitler's invading forces, and sent to the Urals and beyond. In this way some two million Jews escaped. With that, all at once two million of the six million dead Jews propagandized to the world from Nuremberg to the present have been traced and found. These two million Jews had emerged from their hiding places deep in Russia, beyond the Ural Mountains. Jawaban pertanyaan ini mulai muncul tak berapa lama setelah perang, ketika sejumlah besar orang Yahudi tiba-tiba mengerumun ke arah barat dari wilayah Eropa Timur yang diduduki Soviet.

h. 107 Dari Cekoslowakia, Polandia, dan Hongaria, rombongan besar orang-orang Yahudi banyak di antara mereka berbaju bagus dan memiliki banyak uang menemukan jalan ke wilayah-wilayah Inggris-Amerika di Jerman dan Austria. Jawaban-jawaban paling memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan ini diberikan oleh presiden American Jewish Committee, Louis Levine. Setelah perang, Levine mengunjungi Rusia dan melaporkan tentang keadaan terkini orang-orang Yahudi. Menurut Levine, sejumlah besar orang Yahudi diungsikan oleh Soviet dari daerah-daerah yang terancam oleh pasukan penyerbu Hitler, dan dikirim ke Ural dan wilayah yang lebih jauh. Dengan cara ini, sekitar 2 juta orang Yahudi melarikan diri. Dengan itu, seketika 2 dari 6 juta orang Yahudi yang dipropagandakan mati kepada dunia dari Nuremberg hingga saat ini telah diketahi jejaknya dan ditemukan. Ke-2 juta orang Yahudi yang muncul dari tempat-tempat persembunyian mereka di pedalaman Rusia, di balik pegunungan Ural. What became of the remaining four million Jews? Where did these other "dead" Jews go? The big growth in the Jewish populations of countries such as America, Canada, and South America provides an answer to this question. We have mentioned above the 1.5 million Jews who immigrated from areas that were then or later came under National Socialist control to other countries in Europe between 1933 and 1945. The immigration to America before and during the Second World War consisted heavily of Jews. During the five year-period following the Second World War, Jewish immigration to America continued at a high rate. Apa yang terjadi dengan 4 juta orang Yahudi lainnya? Ke manakah orang Yahudi mati ini pergi? Pertumbuhan pesat penduduk Yahudi di negara-negara seperti Amerika, Kanada, dan Amerika Latin memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Kami telah menyebutkan di muka 1,5 juta orang Yahudi yang berpindah dari kawasan-kawasan yang saat itu atau kemudian dikuasai Nazi ke negara-negara di Eropa antara tahun 1933 dan 1945. Perpindahan ke Amerika sebelum dan selama Perang Dunia II terdiri dari banyak sekali orang Yahudi. Selama masa lima tahun setelah Perang Dunia II, perpindahan Yahudi ke Amerika berlanjut dengan laju yang tinggi. According to the 1950 World Jewish Congress, the contemporary Jewish population of the world was 11,473,353. Cecil Roth, a Jewish historian and professor at Oxford, while attending a B'nai B'rith conference in Kansas City on March 18, 1952, declared that the Jewish population of the world was not as large as believed, stating that the world Jewish population in 1952 was only ten million. How many Jews lived in regions under German control in the Second World War? Richard Harwood, author of the book Did Six Million Really Die?, writes: "A figure of around 3 million Jews in German-occupied Europe is as accurate as the available emigration statistics will allow. [C]ross-checking confirms the estimate " 49 The noted American revisionist Arthur R. Butz tells the real story of these 6 million Jews in his book The Hoax of the Twentieth Century: Consider a West European observer, who had been familiar with the status of West European Jewry prior to the war, making a survey of West European Jewry in, say, late 1946 He would

h. 108 have found Italian, French, Belgian and Danish Jewry essentially unscratched On the other hand he would have found that large number of Jews, possibly majorities, were missing from Luxembourg, the Netherlands and Czechoslovakia German-Austria Jewry was confused because, although most had emigrated before the war, it was difficult to be precise about what numbers had emigrated to where. In any case large numbers, possibly majorities, of those who had remained were no longer resident in their former homes. Menurut Kongres Yahudi Dunia tahun 1950, penduduk Yahudi dunia saat itu adalah 11.473.353. Cecil Roth, seorang sejarawan Yahudi dan profesor di Oxford, selagi menghadiri konperensi Bnai Brith di Kansas City pada tanggal 18 Maret 1952, mengumumkan bahwa penduduk Yahudi dunia tidaklah sebesar yang dikira, menyatakan bahwa penduduk Yahudi dunia di tahun 1952 hanya 10 juta. Berapa banyak orang Yahudi tinggal di daerah-daerah yang dikuasai Jerman dalam Perang Dunia II? Richard Harwood, pengarang buku Did Six Million Really Die? (Sungguhkah Enam Juta Orang Mati?), menulis: Sebuah angka kira-kira 3 juta orang Yahudi di Eropa yang diduduki Jerman itu secermat yang diperbolehkan oleh statistik perpindahan yang ada [P]emeriksaan silang .. menegaskan taksiran itu 49 Revisionis ternama Amerika Arthur R. Butz mengatakan kisah sebenarnya ke-6 juta orang Yahudi ini dalam bukunya The Hoax of the Twentieth Century: Anggaplah seorang pengamat Eropa Barat, yang telah akrab dengan status kaum Yahudi Eropa Barat sebelum perang, membuat sebuah survai kaum Yahudi Eropa Barat pada, katakan, akhir 1946 Ia akan menemukan kaum Yahudi Italia, Perancis, Belgia, dan Denmark, secara mendasar tak tergores .. Di sisi lain, ia akan menemukan bahwa sejumlah besar orang Yahudi, mungkin sebagian besar, menghilang dari Luksemburg, Belanda, dan Cekoslowakia Kaum Yahudi Jerman-Austria kebingungan, karena, walaupun sebagian besar telah berpindah sebelum perang, sukar mengukur dengan cermat tentang jumlah dan tujuan berpindahnya. Setidaknya, sejumlah besar, mungkin sebagian besar, mereka yang bertahan bukan lagi warga di rumah-rumah mereka dahulu. However, the absences were offset by the obvious facts that displaced persons camps in Germany were full of Jews and that many European Jews had emigrated to the U. S. or Palestine or elsewhere since the beginning of the war. The facts available to the West European observer in late 1946 argued very strongly against the extermination claims which had received such wide publicity during the war and at the recent trial at Nuremberg.50 Akan tetapi, kehilangan ini sering ditimpali dengan kenyataan yang menyolok bahwa kampkamp pengungsi di Jerman penuh dengan orang Yahudi.. dan banyak orang Yahudi Eropa telah berpindah ke Amerika Serikat atau Palestina atau tempat lain sejak awal perang. Kenyataankenyataan yang tersedia bagi si pengamat Eropa Barat di akhir 1946 membantah hebat pernyataanpernyataan pemusnahan yang telah mendapat liputan amat luas selama perang dan pada pengadilan baru-baru ini di Nuremberg.50

h. 109

The Incredible Shrinking Holocaust


SS officer Kurt Gerstein "testified" that the Nazis killed 25 million in the Holocaust. His allegation is ludicrous, and has exposed the reliability of this key witness of the exterminationists to justifiable ridicule. Worldwide, the total population of Jews who for Gerstein were by far the most numerous victims wasn't even close to 25 million. On the eve of the Second World War, there were six million Jews in Europe, and a total of 16.7 million all over the world.51 Nevertheless, despite the fact that there was a maximum of 16.7 million Jews in the world at that time, "Holocaust eyewitness" Kurt Gerstein claimed to know of the extermination of many more! Although exterminationists accept Gerstein as a "source," they have dismissed his ludicrous figures for the extermination, impossible to reconcile with population statistics, and drastically downgraded their own estimate for the Holocaust down to six million.

Holokaus yang Luar Biasa Mengerut


Perwira SS Kurt Gerstein bersaksi bahwa kaum Nazi membunuh 25 juta orang dalam Holokaus. Persangkaannya ini demikian bodoh, dan telah memaparkan keandalan saksi kunci para ekterminasionis ini ke ejekan yang beralasan. Di seluruh dunia, penduduk Yahudi yang bagi Gerstein korban yang terbanyak bahkan tidak mendekati 25 juta. Menjelang Perang Dunia II, ada 6 juta orang Yahudi di Eropa, dan keseluruhan 16,7 juta di seantero dunia.51 Namun demikian, sekalipun kenyataannya paling banyak ada 16,7 juta orang Yahudi sedunia saat itu, saksi mata Holokaus Kurt Gerstein menyatakan mengetahui pemusnahan berkali lipatnya! Walaupun menerima Gerstein sebagai sebuah sumber, para ekterminasionis mengabaikan angka-angka dungunya tentang pemusnahan, mustahil diselaraskan dengan statistik kependudukan, dan secara tajam menurunkan taksiran mereka sendiri terhadap Holokaus ke 6 juta. The exterminationists' first figure for the number of Jewish victims killed at Auschwitz was around 4.1 million. This figure was later refuted, and the exterminationists' current death toll for Auschwitz is now less than half that. According to the American weekly tabloid The Spotlight: "Previous to 1992, anyone who publicly doubted the 4.1 million 'gassing' deaths at Auschwitz was labeled an anti-Semite Quietly, because of revisionist findings, the official figure was decreased to 1.1 million."52 After this change was confirmed by the Polish government, the Auschwitz death registers, or "death books," recording inmate deaths, that had been missing since the end of the war, turned up in Moscow, and a much more accurate picture of the death figures finally emerged. Despite the fact that records for several years are still missing, extrapolating from the records that are available suggests that a maximum death toll in the low hundreds, if not tens, of thousands, at Auschwitz. The death registers contain no references to death by gassing. Angka pertama para ekterminasionis tentang jumlah korban Yahudi yang terbunuh di Auschwitz adalah sekitar 4,1 juta. Angka ini belakangan dibantah, dan angka kematian ekterminasionis untuk Auschwitz saat ini kurang dari setengahnya. Menurut tabloid mingguan Amerika The Spotlight: Sebelum 1992, siapa pun yang secara terbuka meragukan 4,1 juta kematian akibat gas di Auschwitz dicap anti-Semit Diam-diam, akibat temuan para revisionis, angka resmi diturunkan menjadi 1,1 juta.52 Setelah perubahan ini dikuatkan oleh pemerintah Polandia, daftar kematian Auschwitz, atau buku kematian, yang mencatat kematian tawanan, yang hilang sejak akhir perang, muncul di Moskow, dan sebuah gambaran tentang angka kematian yang lebih

h. 110 cermat akhirnya timbul. Sekalipun kenyataan bahwa catatan-catatan dari beberapa tahun masih hilang, dengan menaksir-keluar (ekstrapolasi) dari catatan yang ada mengesankan bahwa tingkat kematian tertinggi berkisar sedikit lebih dari seratusan, jika tidak puluhan, ribu, di Auschwitz. Daftar kematian tak berisi rujukan ke kematian akibat penggasan.

The Real Scourge of the Camps: Typhus Epidemic


During the war years a typhus epidemic broke out in Europe. The harsh conditions of the war and the resultant breakdown in hygienic measures caused numerous deaths. Toward the end of the war, the supply of food and medicine to the camps came to a virtual halt due to the destruction of the German transportation system by air attack. Severe shortages in food and medical supplies, coupled with the increasingly unchecked typhus epidemic, brought havoc, above all in the concentration camps. Small wonder the Jewish people shared the fate of other inmates of the labor camps! Sadly, around half a million of the Jews who struggled to survive in such desperate conditions lost their lives in epidemics exacerbated by the lack of food and the absence of effective medical care.

Momok Kamp yang Sebenarnya: Wabah Tifus


Selama tahun-tahun perang, sebuah wabah tifus pecah di Eropa. Keadaan yang berat di masa perang dan melemahnya langkah-langkah kebersihan yang diakibatkannya menyebabkan banyak kematian. Menjelang akhir perang, pasokan makanan dan obat-obatan ke kamp-kamp boleh dikatakan terhenti akibat kehancuran sistem perhubungan Jerman oleh serangan udara. Kelangkaan parah makanan dan pasokan obat-obatan, ditambah dengan wabah tifus yang kian tak terkendali, membawa bencana, terutama di kamp-kamp konsentrasi. Kurang mengejutkan jika orang Yahudi berbagi nasib dengan tawanan-tawanan lain kamp-kamp kerja! Menyedihkannya, sekitar setengah juta orang Yahudi yang berjuang untuk bertahan hidup pada keadaan yang memilukan itu kehilangan nyawa dalam wabah yang diperhebat oleh kekurangan makanan dan ketiadaan perawatan kesehatan yang efektif.

The Encyclopedia Larousse gives the following information on typhus:


Epidemic typhus is a dangerous and infectious disease transmitted by lice which is diagnosed from the small pink spots covering the body. It appears especially during wartime. Typhus is transmitted only by lice, and man's resistance to this infection lessens due to malnutrition during the times of war. During the Second World War, it was most destructive in the German camps In some instances, the death toll reached thirty percent. The American military forces eliminated the epidemic by the systematic use of an effective new type of drug (DDT).53

Encyclopedia Larousse memberikan keterangan berikut tentang tifus:


Tifus wabah adalah satu penyakit yang berbahaya dan menular yang disebarkan oleh tuma yang didiagnosis dari bintik-bintik merah muda kecil di sekujur tubuh. Penyakit ini muncul khususnya selama masa perang. Tifus disebarkan hanya oleh tuma, dan daya tahan manusia terhadap infeksi ini berkurang akibat kekurangan gizi selama masa-masa perang. Selama Perang

h. 111 Dunia II, inilah penyakit paling menghancurkan di kamp-kamp Jerman Pada sejumlah keadaan, tingkat kematian mencapai 30 persen. Pasukan Amerika melenyapkan wabah ini dengan penggunaan teratur obat jenis baru yang efektif (DDT).53 Typhus tends to develop among persons who do not bathe regularly and who live together under unsanitary conditions. The typhus bacillus is transmitted by body lice that live in body hair and clothing. During the war the Germans waged a campaign against lice by requiring inmates to bathe and by regularly disinfecting clothes with the fumigant Zyklon B. Despite all their efforts, many people of different nations and creeds, including Nazis, as well as Jews perished from typhus. David Cole writes: " there's the usual pictures of sick inmates which proves the ground-breaking thesis that people got sick in the camp. Once again I'll add that nobody denies the typhus epidemic which resulted in many deaths."54 Professor Robert Faurisson states: "Typhus developed in most parts of Europe. The hills of corpses photographed are the consequence of typhus." Arthur R. Butz comments that the death rate at Auschwitz-Birkenau was "unusually high," and attributes it primarily to typhus."55 Tifus cenderung berkembang di antara orang-orang yang tidak mandi secara teratur dan tinggal bersama di bawah keadaan yang tanpa sanitasi. Basil tifus disebarkan oleh tuma tubuh yang hidup di sela-sela bulu tubuh dan pakaian. Selama perang, orang-orang Jerman melakukan sebuah kampanye melawan tuma yang mengharuskan tawanan mandi dan menyucihamakan secara teratur pakaian dengan pembasmi hama Zyklon B. Sekalipun segenap upaya mereka, banyak orang dari berbagai bangsa dan agama, termasuk kaum Nazi, maupun kaum Yahudi, mati oleh tifus. David Cole menulis: ada gambaran biasa tawanan-tawanan sakit yang membuktikan tesis yang mengubah pandangan bahwa orang-orang jatuh sakit di kamp. Sekali lagi, saya akan tambahkan bahwa tak seorang pun menyangkal wabah tifus yang mengakibatkan banyak kematian. 54 Profesor Robert Faurisson menyatakan: Tifus berkembang di sebagian besar Eropa. Timbunan mayat yang difoto adalah akibat tifus. Arthur R. Butz mengulas bahwa laju kematian di Auschwitz-Birkenau tak biasanya tinggi, dan menuding penyebab utamanya tifus.55

Exterminationists Acknowledge: 'There Were No Gas Chambers in Concentration Camps on German Soil'
Certain developments in recent years have clearly foreshadowed the coming collapse of the Holocaust mythology. Yesterday's wild exterminationist allegations have been invalidated by books, articles, and forensic research by revisionist scholars and experts. Faced with the facts uncovered by the revisionists, the exterminationists have felt forced to decrease the number of Holocaust victims from 25 million to a small fraction of that.

Para Ekterminasionis Mengakui: Tiada Kamar Gas di Kamp-Kamp Konsentrasi di Wilayah Jerman
Perkembangan-perkembangan tertentu di tahun-tahun belakangan telah jelas-jelas memberi pertanda datangnya keruntuhan dongeng Holokaus. Persangkaan-persangkaan liar ekterminasionis di hari kemarin telah dibantah oleh buku-buku, artikel-artikel, dan penelitian forensik oleh para cendekiawan dan pakar revisionis. Dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang disingkapkan oleh para revisionis, para ekterminasionis merasa terpaksa untuk menurunkan jumlah korban

h. 112 Holokaus dari 25 juta menjadi sebagian kecil dari angka itu. Today, most informed exterminationists admit that, despite previous claims, not even a single gas chamber ever existed at the concentration camps of Dachau, Bergen-Belsen, Buchenwald, Oranienburg, Mauthausen, Theresienstadt, Gross-Rosen, or anywhere within the prewar territory of Germany. In this regard, the date August 19, 1960, marks a turning point in the gas chamber mythology. On that day, the German weekly newspaper Die Zeit published the words of a leading exterminationist authority, German historian Martin Broszat, who declared: "Neither in Dachau nor Bergen-Belsen nor in Buchenwald were Jews or other inmates gassed. The mass extermination of the Jews by gassing occurred nowhere in the German Reich proper." Professor Broszat, who later served as director of the Institute for Contemporary History, in Munich, was a key figure in postwar Germany's historical establishment. That makes all the more authoritative his letter to Die Zeit declaring that gas chambers never existed at Dachau or any other camp within Germany. In 1975, Nazi hunter and famous exterminationist Simon Wiesenthal wrote a letter to Books & Bookmenin which he admitted that "there were no extermination camps on German soil" Besides such leading exterminationists as Martin Broszat and Simon Wiesenthal, we learn from other sources that gas chambers never existed in Dachau concentration camp. As mentioned above, Stephen F. Pinter wrote in a letter published by the mass circulation Catholic weekly Our Sunday Visitor (June 14, 1959). "I was in Dachau for 17 months after the war, as a U. S. War Department Attorney, and can state that there was no gas chamber at Dachau Nor was there a gas chamber in any of the other concentration camps in Germany."56 Kini, para ekterminasionis yang paling banyak tahu mengakui bahwa, berlawanan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, tidak satu pun kamar gas di kamp-kamp konsentrasi Dachau, Bergen-Belsen, Buchenwald, Oranienburg, Mauthausen, Theresienstadt, Gross-Rosen, atau di mana pun di wilayah Jerman pra-perang. Mengenai hal ini, tanggal 19 Agustus 1960 menjadi titik balik dalam dongeng kamar gas. Pada hari itu, suratkabar mingguan Jerman Die Zeit menerbitkan katakata seorang ekterminasionis terkemuka yang berwibawa, sejarawan Jerman Martin Broszat, yang mengumumkan: Tidak di Dachau, di Bergen-Belsen, atau pun di Buchenwald, kaum Yahudi atau tawanan lainnya digas. Pemusnahan orang-orang Yahudi dengan penggasan terjadi tidak di mana pun di tanah Reich Jerman. Profesor Broszat, yang kemudian menjabat direktur Institut Sejarah Mutakhir di Munich adalah tokoh kunci pengembangan sejarah Jerman pascaperang. Hal ini membuat suratnya kepada Die Zeit yang menyatakan bahwa kamar-kamar gas tak pernah ada di Dachau atau kamp lain di wilayah Jerman kian berbobot. Di tahun 1975, pemburu Nazi dan ekterminasionis ternama Simon Wiesenthal menulis sepucuk surat kepada Books & Bookmen, di dalamnya ia mengakui bahwa tidak ada kamp pemusnahan di tanah Jerman.. Selain para ekterminasionis terkemuka seperti Martin Broszat dan Simon Wiesenthal, kita mengetahui dari sumber-sumber lain bahwa kamar-kamar gas tak pernah ada di kamp konsentrasi Dachau. Sebagaimana disebut di muka, Stephen F. Pinter menulis di dalam sepucuk surat yang diterbitkan oleh mingguan Katolik untuk umum Our Sunday Visitor (14 Juni 1959): Saya di Dachau selama 17 bulan setelah perang, sebagai pengacara Departemen Perang Amerika Serikat, dan bisa menyatakan bahwa tidak ada kamar gas di Dachau Tidak juga ada kamar gas di kamp konsentrasi mana pun di Jerman. 56

h. 113 The reason why, beginning in the 1960s, the exterminationists began to admit no gas chambers had functioned at camps in Germany proper is that many of these places became available for public investigation. Camps such as Dachau, Bergen-Belsen, and Flossenbrg in German territory, and Mauthausen in Austria, were outside the "Iron Curtain," and it was possible for researchers from the Western countries to investigate them. Camps such as Auschwitz, Majdanek, Treblinka, Sobibor, and Belzec all said to have contained gas chambers by such exterminationists as Broszat lay within the territory of Communist Poland, and it was almost impossible for revisionist researchers to gain access to those places during the Cold War. As is pointed out in The Second Leuchter Report, by a strange coincidence all the death camps were located on territory that had come under Communist control. In 1988, Fred Leuchter conducted his research in AuschwitzBirkenau and Majdanek, covertly and under harsh conditions. Yet he was quite successful in turning up evidence enough to conclude the alleged gas chambers could not have been gas chambers. The "Iron Curtain" no longer posed an obstacle. Alasan mengapa, mulai tahun 1960-an, para ekterminasionis mulai mengakui tak ada kamar gas berfungsi di kamp-kamp di tanah Jerman adalah banyak dari tempat-tempat ini menjadi terbuka untuk penyelidikan oleh umum. Kamp-kamp seperti Dachau, Bergen-Belsen, dan Flossenbrg di wilayah Jerman, dan Mauthausen di Austria, berada di luar Tirai Besi, dan para peneliti dari negara-negara Barat berpeluang menyelidikinya. Kamp-kamp seperti Auschwitz, Majdanek, Treblinka, Sobibor, dan Belzec semua dikatakan berisi kamar-kamar gas oleh para ekterminasionis seperti Broszat berada di wilayah Polandia Komunis. Sebagaimana ditunjukkan di dalam Laporan Leuchter Kedua, lewat kebetulan yang aneh, semua kamp-kamp kematian bertempat di wilayah yang dikuasai Komunis. Di tahun 1988, Fred Leuchter melakukan penelitian di Auschwitz-Birkenau dan Majdanek, diam-diam dan di dalam keadaan yang sulit. Namun, ia lumayan berhasil mengungkapkan cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa yang disangka kamar gas bukanlah kamar gas. Tirai Besi tak lagi menghadirkan sebuah penghalang. In fact, long before Leuchter, even before the war had ended, the nonexistence of the gas chambers was widely known. While rumors about the existence of gas chambers were being spread during war, the Red Cross investigated various German camps and reported that no gas chamber was observed in the Auschwitz concentration camp. An important piece of circumstantial evidence that there were no 'gas chambers' in the Auschwitz complex is the report of a Red Cross delegation that visited Auschwitz in September 1944, and found nothing whatever to substantiate this rumor, which had already reached the International Red Cross.57 Nyatanya, jauh sebelum Leuchter, bahkan sebelum perang berakhir, ketiadaan kamar gas sudah luas diketahui. Sementara desas-desus tentang adanya kamar gas disebarkan semasa perang, Palang Merah menyelidiki berbagai kamp Jerman dan melaporkan tidak ada kamar gas teramati di kamp konsentrasi Auschwitz. Potongan penting bukti tak langsung bahwa tidak ada kamar gas di kawasan Auschwitz adalah laporan satu regu utusan Palang Merah yang mengunjungi Auschwitz di bulan September

h. 114 1944, dan tidak menemukan apa pun yang menguatkan desas-desus itu, yang sudah terdengar oleh Palang Merah Internasional.57 These documents, compiled and issued by the Red Cross after the war, were translated into German in 1974 by the Arolsen Tracing Service, and published under the title Die Ttigkeit des IKRK zu gunsten der in den deutschen Konzentrationslagern inhaftierten Zivilpersonen 1939-1945 (The Activity of the ICRC on Behalf of Civilians Interned in the German Concentration Camps 1939-1945). In the following years, further investigations laid to rest canards as to gas chambers at various other concentration camps. Wilhelm Stglich states: "Invoices have been found for deliveries of Zyklon B to the Oranienburg and Bergen-Belsen camps, where as has been proved gas chambers for exterminating human beings did not exist."58 French historian Paul Rassinier, who was a prisoner in more than one concentration camp, stated: "Jewish prisoners of war were gassed neither in Dachau camp nor in Bergen-Belsen and Buchenwald camps."59 A book, albeit an exterminationist one, that dismissed the allegation of gas chambers at Buchenwald was published not long after the war. Titled De l'Univers au Camp de Concentration (On the World of the Concentration Camp), it cited a Romanian linguistics professor, George S., to the effect there were no gas chambers in the Buchenwald concentration camp. Dokumen-dokumen ini, yang dirangkum dan diterbitkan oleh Palang Merah setelah perang, diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman di tahun 1974 oleh Arolsen Tracing Service, dan diterbitkan dengan judul Die Ttigkeit des IKRK zu gunsten der in den deutschen Konzentrationslagern inhaftierten Zivilpersonen 1939-1945 (Kegiatan Palang Merah Internasional atas Nama Warga Sipil yang Ditahan di Kamp-Kamp Konsentrasi Jerman 1939-1945). Di tahun-tahun berikutnya, penyelidikan-penyelidikan lanjutan mematikan desas-desus mengenai kamar gas di berbagai kamp konsentrasi lainnya. Wilhelm Stglich menyatakan: Tagihan-tagihan untuk pengantaran Zyklon B ke kamp-kamp Oranienburg dan Bergen-Belsen telah ditemukan, tempat sebagaimana telah dibuktikan tidak ada kamar gas untuk memusnahkan manusia.58 Sejarawan Perancis, Paul Rassinier, yang menjadi tawanan di lebih dari satu kamp konsentrasi, menyatakan: Para tawanan Yahudi tidak digas di kamp Dachau atau di kamp-kamp Bergen-Belsen dan Buchenwald. 59 Sebuah buku, sekalipun dikarang seorang ekterminasionis, yang mengesampingkan persangkaan tentang kamar gas di Buchenwald, diterbitkan tak lama setelah perang. Berjudul De l'Univers au Camp de Concentration (Tentang Dunia Kamp Konsentrasi), buku ini menyitir seorang profesor ilmu bahasa Rumania, George S., yang menyiratkan bahwa tak ada kamar gas di kamp konsentrasi Buchenwald.

The Auschwitz Trial and the Masonic Lodge


No doubt, a milestone in rekindling popular interest around the world in the Jewish "Holocaust" and in transforming it into a fixture of the postwar era was the Auschwitz Trial. This sensational trial was held for professedly "humanitarian" reasons: to investigate the unfair treatment the Jewish people underwent during the war, to compensate for Jewish suffering, and to obtain the justice that Jews had been denied during the war years. The lengthy hearings also strongly affected public opinion, another purpose of holding them.

h. 115

Pengadilan Auschwitz dan Perkumpulan Masonik


Tak diragukan, sebuah tonggak kemajuan dalam membangkitkan lagi minat orang banyak di seluruh dunia terhadap Holokaus Yahudi dan mengubahnya menjadi sebuah bagian terpadu zaman pascaperang adalah Pengadilan Auschwitz. Pengadilan yang mencengangkan ini diadakan demi alasan-alasan yang diakui sendiri kemanusiaan: menyelidiki perlakuan tak adil yang dialami kaum Yahudi selama perang, mengganti rugi penderitaan kaum Yahudi, dan menegakkan keadilan yang telah diabaikan bagi kaum Yahudi selama tahun-tahun perang. Acara-acara dengar kesaksian yang panjang-lebar juga kuat mempengaruhi pendapat umum, satu tujuan lain mengadakan acaraacara itu. The story of how the Auschwitz Trial came about is of great interest. In 1959 Fritz Bauer, the Jewish chief public prosecutor of the German state of Hesse, received a package containing some signed documents alleged to be execution records from Auschwitz. These documents contained evidence pointing to the identities of a number of alleged Auschwitz "murderers." Bauer quickly launched an investigation. The source of the documents was one Emil Wulkan, a former Auschwitz inmate. Wulkan is supposed to have come into possession of these supposed Auschwitz records after they were "salvaged from the ruins of the Lessing Club in Breslau and been brought to Wulkan for safekeeping."60 This story is scarcely convincing. Even if we entertain the possibility that these documents might be authentic, it is hard to understand how and why they suddenly issued from a Masonic Lodge in Breslau. Even if we don't delve into the matter of the authenticity and actual provenance of these documents, there remains the question of how such dubious documents were accepted and used as evidence by so august an institution as the German Federal Court, and were hailed with great sensation to the world as historical fact. To this day, no one has been able to establish the authenticity of the "documents." Thus, these "documents" remain as shady as the other elements that of the Holocaust legend. Cerita bagaimana Pengadilan Auschwitz diadakan juga amat menarik. Di tahun 1959, Fritz Bauer, seorang Yahudi kepala penuntut umum di negara bagian Jerman Hesse, menerima satu paket yang berisi dokumen-dokumen yang disangka sebagai catatan hukuman mati dari Auschwitz. Dokumen-dokumen ini berisi bukti yang mengarah ke jatidiri sejumlah tersangka pembunuh Auschwitz. Bauer dengan cepat melancarkan penyelidikan. Sumber dokumen-dokumen ini adalah Emil Wulkan, seorang mantan tawanan Auschwitz. Wulkan dianggap berkesempatan memiliki catatan-catatan yang diperkirakan dari Auschwitz ini setelah digali dari reruntuhan Lessing Club di Breslau dan disampaikan ke Wulkan untuk diamankan.60 Kisah ini tak mungkin meyakinkan. Bahkan jika kita menerima kemungkinan bahwa dokumen-dokumen ini asli, sukar dimengerti bagaimana dan mengapa tiba-tiba diterbitkan dari sebuah perkumpulan Masonik di Breslau. Bahkan jika kita tidak menyelami lebih dalam masalah ini, tetap ada pertanyaan bagaimana dokumen yang meragukan semacam itu diterima dan digunakan sebagai bukti oleh sebuah lembaga yang sedemikian terhormat seperti Pengadilan Federal Jerman, dan dengan kegemparan hebat diacungkan kepada dunia sebagai kenyataan sejarah. Sampai hari ini, tak seorang pun mampu memastikan keaslian dokumen-dokumen ini. Jadi, dokumen-dokumen ini sama samarnya dengan anasir lain dongeng Holokaus.

h. 116

Fake Documents, Distorted Minutes


Despite the popular impression, to date concrete evidence proving a Nazi program or measures to exterminate Jews is lacking. The "evidence" submitted turns out to be, on analysis, either unrelated or distorted. As the revisionist jurist Wilhelm Stglich writes: "Not a single document makes reference to an 'extermination plan' or to 'mass gassings' in AuschwitzBirkenau. Otherwise, the extermination mythologists would not have to resort to the technique of verbal and conceptual falsification."61 Holocaust mythologists, concerned that such evidence might meet with little acceptance, sought new ways of influencing public opinion. In their desperate efforts to substantiate the gas chambers, the exterminationists found other unsavory methods, making films that showed imaginary scenes of extermination, enlisting lying witnesses, offering forged documents and faked photographs. Detailed research carried out by revisionist scholars, however, refuted these efforts as well. Wilhelm Stglich continues: Only in a very few contemporaneous 'eyewitness accounts' is it expressly claimed that 'gas chambers' existed at Birkenau. These reports, however, are so questionable and contradictory that after the war one hardly ever dared invoke them as proof, or quoted them only in part.62

Dokumen-Dokumen Palsu, Catatan-Catatan Rekaan


Sekalipun adanya kesan masyarakat luas, sampai hari ini, petunjuk nyata yang membuktikan sebuah program Nazi untuk memusnahkan kaum Yahudi masih kurang. Petunjuk yang diajukan ternyata, setelah dianalisis, tidak berhubungan atau sudah direka-reka. Sebagaimana ditulis hakim revisionis Wilhelm Stglich: Tak satu pun dokumen merujuk ke rencana pemusnahan atau penggasan massal di Auschwitz-Birkenau. Jika ada, para pendongeng pemusnahan tak akan menggunakan teknik muslihat kata dan konsep. 61 Para pendongeng Holokaus, yang khawatir bahwa petunjuk semacam itu akan kurang diterima, mencari cara-cara baru mempengaruhi pendapat umum. Dalam upaya putus asa untuk membenarkan kamar gas, para eksterminasionis menemukan cara-cara menjijikkan lain, membuat film-film yang memperlihatkan adegan-adegan khayalan tentang pemusnahan, membuat daftar saksi yang pembohong, menawarkan dokumen palsu dan foto rekaan. Akan tetapi, penelitian terinci yang dilakukan oleh para cendekiawan revisionis membantah juga upaya-upaya ini. Wilhelm Stglich melanjutkan: Hanya dalam sekelumit kisah saksi mata dari masa itu dinyatakan secara terbuka bahwa ada kamar gas di Birkenau. Akan tetapi, laporan-laporan ini begitu meragukan dan bertentangan sehingga setelah perang, orang hampir tidak berani mengajukan kisah-kisah itu sebagai bukti, atau menyitir sebagiannya saja. 62 One contradictory statement is about the crematories and gas chambers (!) ordered for Auschwitz: At the Nuremberg IMT trial, Soviet prosecutor Alexander Smirnov asserted that 'in the office records of Auschwitz camp there was discovered a voluminous correspondence between the administration of the camp and the firm of Topf and Sons' on the construction of 'four powerful crematoria and gas chambers in Birkenau,' and that these facilities had been completed by the

h. 117 beginning of 1943. Nevertheless, he presented the Tribunal with only a single 'document' in this regard, a letter from the contractor, which lacks any mention of 'gas chambers.'63 Satu pernyataan yang bertentangan adalah tentang krematorium dan kamar gas (!) yang dipesan untuk Auschwitz: Pada pengadilan Nuremberg (IMT, pengadilan militer internasional), jaksa Soviet Alexander Smirnov menyatakan bahwa dalam catatan kantor kamp Auschwitz, ditemukan setumpuk suratmenyurat antara pengelola kamp dan dan firma Topf & Shne tentang pembangunan empat krematorium dan kamar gas besar di Birkenau, dan bahwa sarana-sarana ini telah diselesaikan di awal tahun 1943. Walaupun demikian, Smirnov menyajikan ke depan sidang hanya satu dokumen tentang hal itu, sepucuk surat dari si pemborong, yang tidak menyebutkan kamar gas. 63 Furthermore, this alleged document refers to Auschwitz as a camp for prisoners of war, which it was not on February 12, 1943, the date of the document. 64 There is additional evidence against the document's authenticity: In the 'Report of the Soviet War Crimes Commission, May 6, 1945' another version of letter is to be found. There the wording is 'five tripartite cremation ovens' and a workable contrivance for heating with coal.' And this version includes a final sentence missing from the Smirnov text: 'The installation must be ready for use by April 10, 1942.'65 From the above evidence, it can be concluded that, contrary to the Soviet prosecutor's claim, the document is most dubious and unreliable. Lebih jauh, dokumen yang disangkakan ini merujuk ke Auschwitz sebagai sebuah kamp tawanan perang, yang tidak demikian kenyataannya pada 12 Februari 1943, tanggal dokumen itu. 64 Ada bukti tambahan yang membantah keaslian dokumen ini. Dalam Laporan Komisi Kejahatan Perang Soviet, 6 Mei 1945, versi lain surat ini dapat ditemukan. Di sini, kata-katanya adalah lima tungku krematorium tiga-bagian dan sebuah peranti yang berfungsi untuk pemanasan dengan batubara. Dan versi ini mencakup sebaris kalimat penutup yang hilang dari naskah Smirnov: Sarana harus siap digunakan per tanggal 10 April 1942.
65

Dari petunjuk di atas, dapat disimpulkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan jaksa Soviet, dokumen ini paling meragukan dan tak terpercaya. Years after it came to light, the Wannsee Protocol, that passes for a "key document" in the Holocaust literature, was discovered to be untrustworthy. Proponents of the Holocaust story have continued to insist on using the Wannsee Protocol as evidence for the planning of the alleged extermination of the Jews. The Wannsee Protocol has a very interesting story. It is said to have resulted from a conference held at Am Grossen Wannsee, number 56-58 in Berlin. Reinhard Heydrich was chairman. The exterminationists allege that it was during this meeting that the

h. 118 decision was made to exterminate the Jews, and that this decision and the policy formulated to implement it were part of the "minutes" recorded at the conference. These minutes, designated as the "Wannsee Protocol," were presented as evidence by Chief Prosecutor Robert M. W. Kempner at the "Wilhelmstrasse Trial" (Nuremberg Military Tribunal). Bertahun-tahun setelah diungkapkan, Protokol Wannsee, yang disodorkan sebagai sebuah dokumen kunci di dalam pustaka Holokaus, ditemukan tak layak dipercaya. Para pendukung kisah Holokaus masih terus bersikeras menggunakan Protokol Wannsee sebagai bukti perencanaan dari yang disangka pemusnahan kaum Yahudi. Protokol Wannsee memiliki cerita yang menarik. Dokumen ini dikatakan dihasilkan oleh sebuah konperensi di Am Grossen Wannsee nomor 56-58, Berlin. Reinhard Heydrich adalah ketuanya. Para eksterminasionis menyangka bahwa selama rapat inilah keputusan dibuat untuk memusnahkan orang Yahudi, dan bahwa keputusan dan kebijakan yang dirumuskan untuk menerapkannya adalah bagian catatan rapat yang dibuat selama konperensi. Catatan-catatan ini, dijuluki Protokol Wannsee, diajukan sebagai bukti oleh Jaksa Utama Robert MW Kempner di Pengadilan Wilhelmstrasse (Pengadilan Militer Nuremberg). Yet the Wannsee Protocol is by no means the strong evidence it has been portrayed. These are in fact not minutes, but notes made some time after the conference was held: "First of all, it should be noted that these 'minutes' are not a protocol in the true sense of the word. According to the Institut fr Zeitgeschichte (Institute for Contemporary History), they must actually be notes made after the conference by Eichmann and his colleague Rolf Gnther."66

Wilhelm Stglich states:


There can be little doubt that this aide-memoire has been described as a 'protocol' in order to create the impression that the information it contains about the subject and conclusions of the Wannsee Conference is trustworthy in every respect. At any rate, its authenticity and accuracy were simply taken for granted in the 'Wilhelmstrasse Trial,' and the proponents of the extermination theory have adhered to that assumption ever since. Yet, it is questionable that the document, in its present form, was prepared by Eichmann or any other participant in the conference, if indeed it is genuine. Even the format of the document gives rise to suspicions about its authenticity.67 Namun, dengan cara apa pun, Protokol Wannsee bukan petunjuk kuat seperti yang digambarkan. Dokumen ini nyatanya bukan catatan rapat, melainkan coret-moret yang dibuat beberapa saat setelah konperensi: Yang pertama, perlu diperhatikan bahwa catatan-catatan rapat ini bukan sebuah protokol dalam makna yang sebenarnya. Menurut Institut fr Zeitgeschichte (Institut Sejarah Mutakhir), catatan-catatan ini pasti sebenarnya coret-moret yang dibuat setelah konperensi oleh Eichmann dan rekannya Rolf Gnther.66

Wilhelm Stglich menyatakan:


Ada sedikit keraguan bahwa catatan pembantu ini telah dilukiskan sebagai sebuah protokol untuk menciptakan kesan bahwa informasi yang dikandungnya tentang pokok masalah dan kesimpulan-kesimpulan Konperensi Wannsee dapat dipercaya di setiap seginya. Bagaimanapun, keaslian dan kecermatannya diterima begitu saja di Pengadilan Wilhelmstrasse, dan para pendukung teori pemusnahan telah menganut anggapan ini sejak saat itu. Namun, masih diragukan

h. 119 bahwa dokumen ini, dalam bentuknya yang sekarang, dipersiapkan oleh Eichmann atau peserta lain dalam konperensi itu, jika sungguh-sungguh asli. Bahkan format dokumen menimbulkan kecurigaan tentang keasliannya.67 As Paul Rassinier first pointed out, the Wannsee Protocol does not bear an official date, signature, or stamp. These "minutes" are written by typewriter on small sheets of paper. What's more, it looks as if some parts have been added later, and others deleted. Stglich observes: Sebagaimana ditunjukkan kali pertama oleh Paul Rassinier, Protokol Wannsee tidak memuat tanggal, tandatangan, atau stempel resmi. Catatan-catatan rapat ini ditulis oleh mesin ketik di lembaran-lembaran kertas kecil. Lebih lagi, tampak seakan beberapa bagian ditambahkan belakangan, dan beberapa lainnya dihapus. Stglich mengamati: What strikes one first about the document, as reproduced there, is indeed that it does not bear the name of an agency, nor the serial number under which an official record of the proceedings would have been kept by the agency that initiated them. That is totally out of keeping with official usage, and is all the more incomprehensible because it is stamped 'Geheime Reichssache' (Top Secret). One can only say that any 'official record' of governmental business without a file number or even administrative identification especially a document classified 'Top Secret' must be regarded with the utmost skepticism. Kempner's 'facsimile' of the 'Wannsee Protocol' does bear the designation 'D. III. 29. g . Rs,' on the first page, which may be taken as some kind of official record number. However, the German bureaucracy did not normally classify documents in that way. All these oddities should be enough to arouse suspicion that the Wannsee Protocol is a forgery 68 Apa yang menyolok orang kali pertama tentang dokumen ini, sebagaimana disalin di sini, adalah bahkan dokumen ini tak mengandung nama lembaga, atau nomor urut dengan mana catatan resmi kegiatan akan disimpan oleh lembaga yang memulainya. Ini sepenuhnya di luar kebiasaan pemakaian resmi, dan lebih tak bisa dipahami karena distempel Geheime Reichssache (Sangat Rahasia). Orang hanya bisa mengatakan bahwa catatan resmi urusan pemerintahan tanpa sebuah nomor berkas atau bahkan penanda administrasi khususnya sebuah dokumen yang digolongkan Sangat Rahasia mesti dilihat dengan ketakpercayaan sebesar-besarnya. Faksimili Kempner tentang Protokol Wannsee mengandung penanda D.III.29.g.Rs di halaman pertama, yang dapat dianggap sebagai sejenis nomor catatan resmi. Akan tetapi, birokrasi Jerman tidak biasanya menggolongkan dokumen dengan nomor seperti itu. Semua kejanggalan ini cukup untuk membangkitkan kecurigaan bahwa Protokol Wannsee adalah sebuah pemalsuan68 Although the Wannsee Protocol seems to be quite dubious, postwar German authorities never felt the necessity to establish its authenticity. Moreover, these suspicious "minutes" were presented as evidence at Nuremberg and in subsequent trials. These are just a few examples of the kinds of "documents" offered in "evidence" at the Nuremberg trials. As to the issue of whether the documents that fill up forty-two volumes from the main (IMT) Nuremberg trial (and another fifteen volumes from the trials at Nuremberg held before American military courts) are reliable or not, that is a subject for a different book. Suffice it to say,

h. 120 there is not a single document that proves that the Germans intended, let alone carried out, the annihilation of the Jews. After the war, decades of research in pursuit of just such a document have so far yielded nothing. The archives of the East German intelligence service, opened to investigators for the first time in 1990, were searched thoroughly, but yielded nothing, as Shalom, a journal published by the Jewish community in Turkey, had to acknowledge. Last month, research began after East Germany granted permission to Israel to access its archives. Forty thousand pages from the archives sent to Yad Vashem. These pages will serve as very valuable documents after they are compiled. Dr. Esther Aran, one of the directors of the Yad Vashem Archive, stated: 'We have found no order from Hitler to exterminate the Jews.'69 Walaupun Protokol Wannsee tampak amat meragukan, pemerintahan Jerman pascaperang tak pernah merasa perlu memastikan keabsahannya. Lebih-lebih, catatan-catatan rapat yang mencurigakan ini disajikan sebagai petunjuk di Nuremberg dan pengadilan-pengadilan berikutnya. Ini cuma sekelumit contoh jenis dokumen yang disorongkan sebagai petunjuk pada pengadilan-pengadilan Nuremberg. Tentang masalah apakah dokumen-dokumen yang memenuhi 42 jilid dari pengadilan utama Nuremberg (pengadilan militer internasional) (serta 15 jilid lainnya dari pengadilan-pengadilan di Nuremberg yang diselenggarakan sebelum pengadilan-pengadilan militer Amerika) layak dipercaya atau tidak, itulah bahasan bagi buku yang berbeda. Cukuplah mengatakan, tidak ada satu pun dokumen yang membuktikan bahwa orang-orang Jerman berniat, apalagi menjalankan, pemusnahan orang Yahudi. Setelah perang, beberapa dasawarsa penelitian yang mengejar dokumen seperti itu tak menghasilkan apa-apa sejauh ini. Arsip-arsip dinas rahasia Jerman Timur, yang dibuka kepada para penyelidik kali pertama di tahun 1990, ditelusuri habishabisan, namun tak menghasilkan apa-apa, sebagaimana harus diakui Shalom, sebuah majalah yang diterbitkan oleh masyarakat Yahudi di Turki. Bulan lalu, penelitian dimulai setelah Jerman Timur memberikan izin kepada Israel untuk membuka arsip-arsipnya. 40 ribu halaman arsip dikirimkan ke Yad Vashem. Halaman-halaman ini akan menjadi dokumen-dokumen berharga setelah dirangkumkan. Dr. Esther Aran, salah seorang direktur Yad Vashem Archive, menyatakan: Kami tak menemukan perintah dari Hitler untuk memusnahkan orang Yahudi.69

Fake Photographs As Evidence for Holocaust Mythology


Those photographs taken of heaps of emaciated corpses in the concentration camps are often offered as "proof" by the exterminationists. These pictures have undeniably proved quite effective in evoking public interest, indeed horror. Yet the question at issue here is whether the photographs are actual evidence of deliberate extermination. A well-written caption often suffices to lend a totally different meaning to a photograph, sometimes one that will lead most readers to interpret the photo in a completely different sense than what it actually shows. For instance, if beneath a photo of a dead soldier the caption reads: "He fell in battle," the photo seems to show a hero. But if the caption reads: "He was killed while fleeing the enemy," the photo would seem to offer proof that the same soldier was a coward. In short, it has been the captions written by the exterminationists, rather

h. 121 than the actual photographic evidence, that has made "the pictures" from the death camps so probative in the minds of the public.

Foto-Foto Rekaan sebagai Petunjuk bagi Dongeng Holokaus


Foto-foto yang diambil tentang timbunan mayat kurus di kamp-kamp konsentrasi sering disodorkan sebagai bukti oleh para eksterminasionis. Gambar-gambar ini tak dapat disangkal terbukti amat efektif dalam merangsang minat, bahkan kengerian, masyarakat. Namun, masalahnya di sini adalah apakah foto-foto ini petunjuk sebenarnya pemusnahan yang disengaja. Keterangan gambar yang bagus dikarang sering mencukupi untuk memberikan makna yang sepenuhnya berbeda terhadap sebuah foto, kadang-kadang satu uraian yang akan mendorong sebagian besar pembaca menafsirkan sebuah foto dengan kesan yang bertolak belakang dengan yang diperlihatkan foto itu. Misalnya, jika di bawah sebuah foto seorang prajurit yang tewas terbaca: Ia tewas dalam pertempuran, foto ini akan tampak memperlihatkan seorang pahlawan. Namun, jika keterangannya berbunyi: Ia terbunuh selagi lari dari musuh, foto ini tampak memberikan bukti bahwa prajurit tersebut seorang pengecut. Singkatnya, keterangan-keterangan yang dibuat para eksterminasionis, bukan petunjuk foto sungguhan, yang membuat gambar-gambar dari kamp-kamp kematian demikian mengesahkan di benak masyarakat. Yes, it is clear that there are photographs of piles of corpses, but what we need to know is how these people really died. In other words, were they murdered, or did they die of natural causes? Writing captions for photos before (or instead of!) conducting an autopsy serves propaganda, not truth. When one looks closely at these pictures, so important in establishing the Holocaust extermination legend in the popular mind, one notices immediately that the corpses are quite emaciated. Emaciation is no indication of having been gassed: Gassing doesn't lead to weight loss. On the contrary, emaciation points to the actual reasons for the many deaths that unquestionably occurred in the camps toward the end of, and indeed after, the war: starvation, often in consequence of dysentery, and of course typhus, which gradually ravaged German-occupied Europe as the war came to an end. Another point that needs clarification is that the emaciated corpses that appear in the pictures were not photographed just in the concentration camps, but also in other places subject to the ravages of war. Photographs taken of victims who didn't die in concentration camps, but elsewhere (and who were often German victims of Allied measures) were exploited deliberately to spice up the usual propaganda. Thus heaps of corpses belonging to German war dead, many of them women and children, were described as if they were Jews who had been exterminated in the concentration camps. Benar, pastilah ada foto-foto tumpukan mayat, namun apa yang mesti kita ketahui adalah cara orang-orang ini mati. Dengan kata lain, apakah mereka dibunuh, atau mati karena sebab-sebab alamiah? Menuliskan keterangan foto sebelum (atau bukannya!) melakukan sebuah otopsi (pemeriksaan kedokteran atas jenazah) melayani propaganda, bukan kebenaran. Ketika melihat lekat-lekat ke foto-foto ini, yang demikian penting untuk membenarkan dongeng pemusnahan di benak masyarakat, orang akan segera mencatat bahwa mayat-mayatnya amat tirus. Ketirusan ini bukanlah petunjuk bahwa mereka telah digas: penggasan tidak menyebabkan pengurangan bobot. Sebaliknya, ketirusan ini menunjukkan alasan sebenarnya bagi banyak kematian yang tak terbantahkan terjadi di kamp-kamp menjelang akhir, dan bahkan seusai, perang: kelaparan,

h. 122 seringkali akibat disentri, dan tentu saja tifus, yang pelan-pelan menggerogoti Eropa yang diduduki Jerman seiring perang mulai berakhir. Dan hal lain yang perlu diperjelas adalah mayat-mayat tirus yang tampak di foto diabadikan tak hanya di kamp-kamp konsentrasi, tetapi juga di tempat-tempat lain yang digerogoti perang. Foto-foto yang diambil dari korban-korban yang tidak mati di kampkamp konsentrasi, namun di tempat-tempat lain (dan sering adalah orang-orang Jerman korban tindakan Sekutu) sering dimanfaatkan untuk membumbui propaganda. Jadi, timbunan mayat milik Jerman, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak, digambarkan seakan-akan mereka orangorang Yahudi yang telah dimusnahkan di kamp-kamp konsentrasi.

An Exterminationist Scandal: Kurt Gerstein


As will be recalled from previous sections of this book, SS officer Kurt Gerstein "confessed" that he had personally witnessed mass gassings in gas chambers. After the unrealistic figures he volunteered, such as seven to eight hundred persons standing in rooms 25 square meters in area, came under revisionist scrutiny, however, Gerstein's "confessions" began to embarrass exterminationists, who had previously presented him as a highly reliable eyewitness to the Holocaust. There was more than one good reason for embarrassment. Gerstein's claim that one square meter was able to hold up to thirty-two Jews was not the end of his bizarre arithmetic. Here is another example of Gerstein's "confession": on the stroke of 7 o'clock, a train with 45 cars comes from Lemberg 6,700 persons, 1,450 of whom are already dead on their arrival. A little Jewish boy of three years receives an armful of strings which he pensively distributes to the others; it is for tying the shoes together, for never could anyone retrieve the assorted pairs in a pile 35 to 40 meters high.70

Aib Ekterminasionis: Kurt Gerstein


Sebagaimana akan diingat dari ruas-ruas sebelumnya buku ini, perwira SS Kurt Gerstein mengaku menyaksikan secara pribadi penggasan massal di kamar-kamar gas. Akan tetapi, setelah angka-angka tidak wajar yang diakuinya, seperti misalnya 7-8 ratus orang berdiri di daerah yang luasnya 25 meter persegi, disorot tajam para revisionis, pengakuan Gerstein mulai membikin malu para ekterminasionis, yang sebelumnya menampilkannya sebagai seorang saksi mata atas Holokaus yang amat terpercaya. Ada lebih dari satu alasan kuat untuk malu. Pengakuan Gerstein bahwa satu meter persegi mampu menampung hingga 32 orang Yahudi bukanlah akhir dari ilmu hitungnya yang sangat aneh. Berikut ini contoh lain pengakuan Gerstein. ... pada pukul 7, serangkaian kereta dengan 45 gerbong tiba dari Lemberg 6.700 orang, 1.450 di antaranya sudah tewas pada saat kedatangan Seorang anak laki-laki kecil Yahudi berumur tiga tahun menerima segenggam tali yang dengan murung ia bagikan kepada yang lain; itu untuk mengeratkan sepatu, karena siapa pun tak pernah dapat mengambil sepasang dari sebuah timbunan aneka ragam sepatu yang 35 sampai 40 meter tingginya.70

h. 123 Gerstein used similar wording in other statements that were submitted as evidence at the third and fifth Frankfurt trials. The pile of shoes thirty-five to forty meters high (i.e., from c. 115 feet to c. 132 feet) would be ten to twelve stories high. Because it was a Holocaust tale, there evidently seemed nothing wrong with a little extra embellishment. This time, however, the exterminationists were trapped: impossible to substantiate such a whopper as the "tower of shoes"! After all, in the real world, even when thousands of shoes are heaped together, they do not form a tower, because when piled up, they can only reach a height of four or five meters (c. thirteen-sixteen feet). At that point, the increasing number of shoes can only expand the area, not increase the height. Furthermore, on reading Gerstein's statement, the critical reader cannot help but ask: "How were they able to climb that high on a pile of shoes?" Gerstein menggunakan perkataan yang serupa di dalam pernyataan-pernyataan lain yang diajukan sebagian bukti pada pengadilan-pengadilan Frankfurt ketiga dan kelima. Timbunan sepatu yang 35 sampai 40 meter tingginya (atau 115-132 kaki) akan 10 sampai 12 tingkat tingginya. Karena ini sebuah kisah Holokaus, tampaknya tak ada yang salah dengan sedikit bunga-bunga rincian. Akan tetapi, kali ini para eksterminasionis terjebak: mustahil membenarkan dusta besar semacam menara sepatu itu! Bagaimanapun, di dunia nyata, bahkan ketika ribuan sepatu ditumpukkan, tak akan terbentuk sebuah menara, karena ketika ditumpukkan, sepatu-sepatu hanya dapat mencapai ketinggian 4 atau 5 meter (13-16 kaki). Setelah itu, penambahan jumlah sepatu hanya dapat memperluas daerahnya, tidak menambah ketinggiannya. Lebih jauh, saat membaca pernyataan Gerstein, pembaca yang awas tak dapat menahan diri bertanya: Bagaimana mereka dapat mendaki setinggi itu di sebuah timbunan sepatu? These examples and those cited earlier aren't the end of the weirdness to be found in Kurt Gerstein's "confessions." In fact, nearly every claim has become fodder for satire. Which is to say that he wasn't even a good liar. His fantastic assertions demonstrate very well the type of "witness" exterminationists have used to establish the Holocaust myth. This is why the discrepancies in Kurt Gerstein's "confessions" are worthy of additional investigation. Gerstein relates at some length the story of how he became a witness to the Holocaust and the gas chambers. Gerstein joined the SS voluntarily in March 1941 with the intention of observing the Nazis' crimes against Jews and reporting them to the world. He was trained in the Department of Heath and Hygiene and soon promoted to the rank of "Untersturmfhrer F" in November 1941. In 1942, he became the chief of the SS Disinfection Department. On June 8, 1942, he was charged with an ultra secret mission to transport hydrocyanic acid to the Gouvernement General (occupied Poland), accompanied only by the truck driver. Gerstein's duty was to disinfect clothes with hydrocyanic acid and to operate disinfection gas chambers with hydrocyanic acid. Gerstein visited Belzec, Treblinka, and Majdanek camps, but not Sobibor. Based on what he claims to have observed in those three camps, Gerstein stated that 60,000 people were executed daily in them. On August 19, 1942, he "witnessed" the arrival at Belzec of a train which carried Jewish passengers, who were unloaded and made to undress, and the women's hair cut off. Then, according to Gerstein, seven to eight hundred prisoners were crammed into a room of twenty-five square meters. After a lengthy delay the Diesel engine finally was started, the victims died, and the corpses were carried out by a prisoner detail. Then gold dental work was removed from the corpses.

h. 124

Contoh-contoh ini dan yang dikutip di muka bukanlah akhir kejanggalan yang ditemukan di pengakuan-pengakuan Kurt Gerstein. Nyatanya, hampir setiap pernyataan menjadi umpan bagi cerita ejekan (satire). Yang berarti bahwa ia bukan seorang pembohong yang cerdik. Pernyataanpernyataan tegasnya yang ajaib menunjukkan dengan baik jenis saksi yang telah dipakai para eksterminasionis untuk membenarkan dongeng Holokaus. Inilah mengapa ketimpanganketimpangan di dalam pengakuan-pengakuan Gerstein layak diselidiki lebih lanjut. Gerstein menuturkan cukup panjang-lebar kisah tentang bagaimana ia menjadi seorang saksi Holokaus dan kamar gas. Gerstein bergabung dengan SS secara sukarela di bulan Maret 1941 dengan niat mengamati kejahatan-kejahatan Nazi terhadap kaum Yahudi dan melaporkannya kepada dunia. Ia dilatih di Bagian Kesehatan dan Kebersihan dan segera dinaikkan pangkatnya ke Untersturmfhrer F di bulan November 1941. Di tahun 1942, ia menjadi kepala Bagian Penyucihamaan SS. Pada tanggal 8 Juni 1942, ia diberi sebuah tugas amat sangat rahasia untuk mengangkut asam hidrosianik ke Gouvernement General (wilayah Polandia yang diduduki Nazi), ditemani hanya oleh sopir truk. Tugas Gerstein adalah menyucihamakan pakaian dengan asam hidrosianik dan menjalankan kamar-kamar gas penyucihamaan dengan asam hidrosianik. Gerstein mengunjungi kamp-kamp Belzec, Treblinka, dan Majdanek, namun tidak Sobibor. Berdasarkan pada apa yang diakuinya telah ia amati di ketiga kamp itu, Gerstein menyatakan bahwa 60 ribu orang dibunuh setiap harinya di sana. Pada tanggal 19 Agustus 1942, ia menyaksikan kedatangan di Belzec serangkaian kereta yang membawa penumpang Yahudi, yang diturunkan dan ditelanjangi, dan rambut kaum perempuannya dicukur. Lalu, menurut Gerstein, 7 sampai 8 ratus tawanan dijejalkan ke dalam sebuah ruangan berukuran 25 meter persegi. Setelah jeda yang berkepanjangan, mesin Diesel akhirnya hidup, para korban mati, dan mayat-mayatnya diangkut keluar oleh satu regu tawanan. Lalu, gigi-gigi palsu emas dicabut dari mayat-mayat itu. Among Gerstein's dubious claims are his contradictory statements on the "ultra secret mission" the Nazis gave to him. This assignment, always referred to as the "ultra secret mission" in the trial records, was the delivery of large amounts of hydrocyanic acid to Belzec camp. Gerstein gave contradictory statements on this matter, however. During the first Frankfurt trial, for example, a Gerstein statement was quoted to the effect that he was ordered by his superior, Gnther, to transport one hundred kilograms of hydrocyanic acid to Belzec. In the fourth Frankfurt trial, a different claim by Gerstein was introduced, stating that Gnther had given him a secret order to transport 260 kilograms of hydrocyanic acid.71 Such contradictions, with which his several statements are replete, are enough in themselves to disclose the inaccuracy of the Gerstein "confessions." Di antara pengakuan-pengakuan Gerstein yang meragukan adalah pernyataan-pernyataannya yang bertentangan mengenai tugas amat sangat rahasia yang diberikan Nazi kepadanya. Penugasan ini, selalu dirujuk sebagai tugas amat sangat rahasia di dalam catatan pengadilan, adalah pengantaran sejumlah besar asam hidrosianik ke kamp Belzec. Akan tetapi, Gerstein memberikan pernyataan-pernyataan bertentangan mengenai hal ini. Selama pengadilan Frankfurt pertama, misalnya, sebuah pernyataan Gerstein dikutip yang menyiratkan bahwa ia diperintahkan oleh atasannya, Gnther, untuk mengangkut 100 kilogram asam hidrosianik ke Belzec. Di

h. 125 pengadilan Frankfurt keempat, sebuah pernyataan berbeda oleh Gerstein disodorkan, menyatakan bahwa Gnther telah memberikan perintah rahasia untuk mengangkut 260 kilogram asam hidrosianik.71 Pertentangan-pertentangan seperti itu, yang memenuhi beberapa pernyataannya, sudah cukup untuk mengungkapkan ketakcermatan pengakuan-pengakuan Gerstein. There's still more, though. Gerstein's testimony on how the gassing was carried out clashed with established exterminationist notions, as well as with alleged invoices from the Zyklon B manufacturer DEGESCH presented to the court as evidence of gassing, bringing new problems for defenders of the Holocaust legends. The French scholar Henri Roques writes in his book The "Confessions" of Kurt Gerstein: In all the 'confessions' it is said that the gassing was done with an old Diesel engine. The word Diesel is repeated three or four times, according to the version, in the relevant passage. Previously, Gerstein, when telling of his interview with the SS general Globocnik, said that the latter told him from the start of the conversation that the gas chambers worked with the exhaust gases of an old Diesel engine.72 There is much more such testimony from Kurt Gerstein. Apparently he had so much evidence to prove the Holocaust that he wanted to present it all! Yet he made so many mistakes that, rather than inspiring belief in the Holocaust, his testimony arouses questions and confusion. Another Gerstein allegation is at the heart of the Holocaust literature, his detailed recounting of "how Jews were killed in the gas chambers." Gerstein scholar Henri Roques summarizes: Tetapi, masih ada lagi. Testimoni Gerstein tentang bagaimana penggasan dilakukan bertentangan dengan gagasan mapan eksterminasionis, maupun dengan yang disangka tagihantagihan pembuat Zyklon B DEGESCH yang diajukan ke pengadilan sebagai petunjuk penggasan, yang membuat masalah baru bagi para pembela dongeng Holokaus. Cendekiawan Perancis Henri Roques menulis dalam bukunya The Confessions of Kurt Gerstein (Pengakuan-Pengakuan Kurt Gerstein): Di dalam semua pengakuan, penggasan dikatakan dilakukan dengan sebuah mesin Diesel tua. Kata Diesel diulangi tiga atau empat kali, menurut versinya, di kalimat terkait. Sebelumnya, Gerstein, saat menuturkan wawancaranya dengan Jenderal SS Globocnik, mengatakan bahwa Globocnik menyebutkan dari awal pembicaraan bahwa kamar-kamar gas bekerja dengan gas buang sebuah mesin Diesel tua.72 Masih banyak lagi testimoni seperti itu dari Gerstein. Tampaknya, ia memiliki begitu banyak petunjuk untuk membuktikan Holokaus sampai ingin menyajikan semuanya! Namun, ia membuat begitu banyak kesalahan sehingga, bukannya mengilhami keyakinan pada Holokaus, testimoninya membangkitkan pertanyaan dan kebingungan. Persangkaan Gerstein lainnya ada di jantung kepustakaan Holokaus: pengisahannya yang terinci tentang cara kaum Yahudi dibunuh di kamarkamar gas. Cendekiawan yang membahas Gerstein, Henri Roques, merangkumkan:

h. 126 Gerstein says he is present at the gassing. He coolly consults his stopwatch. The Diesel engine does not start. Unperturbed and inactive, Gerstein counts the passing minutes. Finally, at the end of 2 hours, 49 minutes, the Diesel starts working. He says he records that at the end of 25 minutes most of the victims are dead, that at the end of 28 minutes a few still survive, and at the end of 32 minutes everyone is dead.73 These statements were presented to the first and third Frankfurt trials as "the confessions of a witness to the gas chambers." Gerstein mengatakan bahwa ia hadir pada saat penggasan. Ia dengan tenang memeriksa jam hitung (stopwatch). Mesin Diesel tidak hidup. Tak terganggu dan tenang, Gerstein mencacah menit yang berlalu. Akhirnya, pada 2 jam 49 menit, mesin Diesel mulai bekerja. Ia mengatakan ia mencatat bahwa pada menit ke-25, sebagian besar korban mati, pada menit ke-28 hanya segelintir yang masih hidup, dan pada menit ke-32 semuanya mati.73 Pernyataan-pernyataan ini dibawa ke pengadilan-pengadilan Frankfurt pertama dan ketiga sebagai pengakuan-pengakuan seorang saksi kamar gas. Let us briefly consider his statements and see to what extent they can be accepted as reliable: Gerstein states that he was present at a gassing. He states that the Diesel engine was unable to start for two hours and forty-nine minutes. According to his "confessions," at the end of twenty-eight minutes most of the people were dead, and there was none survived longer than thirty-two minutes. Yet, even supposing one could cram seven to eight hundred people standing upright into a space of twenty-five square meters, these persons would not have been able to survive for two hours and forty-nine minutes they would use up all the oxygen much sooner than that. Finally, even if we suppose that they could have survived, how could Gerstein, looking through a peephole window, tell who was dead and who was alive in such an extraordinarily tightly packed group? The standing dead (with no place to fall) would have blocked his view! Another point that demonstrates Gerstein's inaccuracy is the fact that exhaust from a Diesel engine does not cause death after running for the durations specified (twenty or thirty-two minutes). Henry Roques continues: Mari kita secara singkat mempertimbangkan pernyataan-pernyataannya dan melihat sejauh mana dapat diterima sebagai terpercaya: Gerstein menyatakan hadir saat penggasan. Ia menyatakan bahwa mesin Diesel tak bisa menyala selama 2 jam 49 menit. Menurut pengakuannya, pada menit ke-28, sebagai besar orang tewas, dan tak ada yang bertahan lebih dari 32 menit. Namun, bahkan dengan menganggap bahwa orang dapat menjejalkan 7 sampai 8 ratus orang berdiri tegak di sebuah ruangan 25 meter persegi, mereka ini tak akan mampu bertahan selama 2 jam 49 menit mereka akan menghabiskan semua oksigen lebih cepat dari jangka waktu itu. Akhirnya, bahkan jika kita menganggap mereka dapat bertahan, bagaimana bisa Gerstein, yang melihat lewat jendela pengintip, mengatakan siapa yang mati dan siapa yang hidup di dalam kerumunan yang amat sesak itu? Si mati berdiri (dengan tiada ruang untuk jatuh) akan menghalangi pandangannya! Hal lain yang menunjukkan ketakcermatan Gerstein adalah kenyataan bahwa gas buang sebuah mesin Diesel tidak menyebabkan kematian setelah berjalan selama kurun waktu yang disebutkan (20 atau 32 menit). Henri Roques meneruskan:

h. 127 In all the 'confessions' it is said that the gassing was done with an old Diesel Now the Diesel is an internal combustion engine which gives off little carbon monoxide (CO), an odorless and fatal gas, but a great deal of carbon dioxide (CO2), a suffocating gas which makes a person ill but does not cause death until after a lengthy period of time. It would have been more efficient to use a gasoline engine.74 Di dalam semua pengakuan, penggasan dikatakan dilakukan dengan sebuah mesin Diesel tua Kini, mesin Diesel adalah mesin bakar dalam yang menghasilkan sedikit karbon monoksida (CO), gas tak berbau dan mematikan, namun banyak karbon dioksida (CO2), gas menyesakkan yang membuat orang sakit namun tidak menyebabkan kematian hingga setelah waktu yang panjang. Untuk membunuh, akan lebih efisien jika menggunakan sebuah mesin bensin.74

Deceitful Witnesses at Work to 'Prove' Genocide!


It is necessary to study the eyewitness testimony offered at Nuremberg, too, in order to evaluate the documents submitted as evidence for the Holocaust. Earlier in this chapter, a doubtful document attributed to SS officer Karl Bischoff was evaluated. To recapitulate, Bischoff asserted over fifty years ago that, using equipment quite inferior to today's technology, 4,756 corpses could be cremated at Auschwitz daily. The best a comparable number of contemporary crematory ovens can manage is 529 corpses a day.

Saksi-Saksi Penipu Bekerja untuk Membuktikan Genosida!


Kita perlu mempelajari juga testimoni saksi mata yang diajukan di Nuremberg untuk menilai dokumen-dokumen yang diserahkan sebagai petunjuk bagi Holokaus. Di awal bab ini, sebuah dokumen meragukan yang dikaitkan dengan perwira SS Karl Bischoff dinilai. Sebagai rangkumannya, Bischoff menyimpulkan lebih dari 50 tahun yang lalu bahwa, menggunakan sebuah peralatan yang sederhana jika dibandingkan dengan teknologi terkini, 4.756 mayat dapat diabukan di Auschwitz setiap harinya. Angka pembandingan terbaik yang dapat ditangani tungku-tungku krematorium mutakhir adalah 529 mayat per hari. There is another point that deserves mention: Although Bischoff was chief of construction at Auschwitz, he was never called as an eyewitness to the gas chambers by any of the postwar tribunals, including the "Concentration Camps" trial before the Nuremberg Military Tribunal. Instead, people who had never been near a concentration camp were preferred as witnesses. According to Wilhelm Stglich: "The prosecution at the NMT 'Concentration Camp' Trial, for instance, instead of Bischoff, made do with the testimony of one Wolfgang Grosch, who had obviously never laid eyes on the buildings about which he gave evidence."75 Witnesses who claimed that genocide took place in Auschwitz and Birkenau also swore that they witnessed the extermination. Sigismund Bendel, one of these "witnesses," stated the following: Thick, black smoke rises up. Everything happens so fast and is so unimaginable that I think I'm dreaming An hour later everything is normal again. The men remove the ashes from the pit, and heap them up. An additional transport is brought to Crematorium IV.76

h. 128 Ada hal lain yang layak disebutkan: walaupun menjabat kepala pembangunan di Auschwitz, Bischoff tak pernah dipanggil sebagai saksi mata kamar gas oleh pengadilan pascaperang mana pun, termasuk pengadilan kamp konsentrasi sebelum Pengadilan Militer Nuremberg. Malahan, orangorang yang tak pernah mendekati sebuah kamp konsentrasi lebih disukai sebagai saksi. Menurut Wilhelm Stglich: Penuntutan pada Pengadilan Kamp Konsentrasi di Pengadilan Militer Nuremberg, misalnya, mengambil testimoni seorang Wolfgang Grosch, yang jelas-jelas tak pernah melihat bangunan-bangunan yang tentangnya ia bersaksi.75 Para saksi yang mengaku bahwa genosida berlangsung di Auschwitz dan Birkenau juga bersumpah bahwa mereka menyaksikan pemusnahan. Sigismund Bendel, salah seorang saksi, menyatakan yang berikut: Asap tebal, hitam membubung. Semuanya terjadi demikian cepat dan demikian tak terbayangkan sehingga saya pikir saya sedang bermimpi... Satu jam kemudian, semuanya kembali biasa. Sekelompok laki-laki memindahkan abu dari sumur, dan menimbunnya. Sebuah angkutan tambahan disorongkan ke Krematorium IV.76 Most likely Sigismund Bendel was dreaming, because when corpses are cremated in open air, they do not reduce to ashes in an hour. Bendel continued with an even more incredible assertion: "Prisoners of war were collecting the burnt human fat and pouring it on corpses in order to make corpses burn even better."77 But it is impossible to collect fat from burning corpses from such a pyre: The fat is the first thing to be consumed! Bendel also stated that the Sonderkommando entered the gas chambers without putting on gas masks, just half an hour after the gassing, to remove gold fillings from the corpses. This is another impossibility, for, as we have seen, one cannot enter premises fumigated with Zyklon B after such a short while without a gas mask. Sangat mungkin Sigismund Bendel bermimpi, sebab ketika diabukan di udara terbuka, mayat tak akan menjadi abu dalam satu jam. Bendel meneruskan dengan pernyataan yang lebih luar biasa: Para tawanan perang mengumpulkan lemak mayat hangus dan menuangkannya ke mayat-mayat yang dibakar untuk membuatnya terbakar lebih cepat. 77 Namun, mustahil untuk mengumpulkan lemak mayat-mayat terbakar dari timbunan kayu bakar semacam itu: lemak adalah unsur pertama yang akan duluan habis! Bendel juga menyatakan bahwa Sonderkommando memasuki kamar gas tanpa memakai masker, hanya setengah jam setelah penggasan, untuk mencabut gigi-gigi emas para mayat. Ini kemustahilan lain, karena, sebagaimana telah kita lihat, orang tak dapat memasuki tempat-tempat yang disucihamakan dengan Zyklon B setelah waktu yang sebentar itu tanpa masker gas. Yet another unreliable "witness" to the Holocaust who has lost his credibility is the late president of the German Protestant Church Council, Pastor Martin Niemller. Niemller fervently preached a fantastic exaggeration regarding the death toll at Dachau: "Pastor Niemller testified that 238,756 persons had been exterminated at Dachau, although we know today that in reality there were about 30,000 [deaths]; he confirmed the existence of a gas chamber, and we know today there was not one there."78

h. 129 Masih juga, seorang saksi Holokaus yang tak andal yang telah kehilangan nilai kepercayaannya adalah mantan presiden Dewan Gereja Protestan Jerman, Pastor Martin Niemller. Niemller dengan berapi-api mengotbahkan pelebih-lebihan ajaib tentang tingkat kematian di Dachau: Pastor Niemller bersumpah bahwa 238,756 orang telah dimusnahkan di Dachau, walaupun hari ini kita mengetahui bahwa dalam kenyataannya ada kira-kira 30 ribu [kematian]; ia membenarkan keberadaan sebuah kamar gas, dan kita mengetahui hari ini tidak ada satu pun di sana.78 Another highly flawed Holocaust "document" is a famous report issued by the U. S. War Refugee Board. Published in November 1944, it was based on statements by inmates who had escaped from Auschwitz-Birkenau, and aroused interest all over the world: Yet, after a short while, the dubious nature of the document began to evoke suspicion. After all, the WRB report's informants were anonymous. This was supposedly to protect them during wartime. Yet it is interesting to note that none of them was called to testify at the Nuremberg trials. Surprisingly enough, however, two persons who claimed to be sources for the WRB Report emerged in the 1960s: Dr. Rudolf Vrba and Alfred Wetzler, both Czechoslovak Jews. These two witnesses testified at the main Frankfurt Auschwitz trial, twenty years after the alleged facts, driven by the inevitable desire see "justice" done. Their testimony, however, did little to vindicate the report: "It is worth noting that after the war the WRB Report was consigned to oblivion. The document was not presented in evidence at the Nuremberg IMT trials, or at any of the other postwar trials conducted by the Allied victors."79 Dokumen cacat Holokaus lainnya adalah sebuah laporan terkenal yang diterbitkan oleh War Refuge Board (WRB, Dewan Pengungsi Perang) Amerika Serikat. Diterbitkan di bulan November 1944, dokumen ini didasarkan pada pernyataan para tawanan yang melarikan diri dari Auschwitz-Birkenau, dan membangkitkan minat di seluruh dunia. Namun, setelah beberapa saat, sifat meragukan dokumen ini mulai merangsang kecurigaan. Bagaimanapun, para pemasok informasi bagi laporan WRB itu tanpa nama. Ini diduga untuk melindungi mereka selama masa perang. Namun, menarik dicatat bahwa tak seorang pun dari mereka pernah dipanggil untuk bersaksi di pengadilan-pengadilan Nuremberg. Akan tetapi, cukup mengejutkan, dua orang yang mengaku narasumber laporan WRB muncul di tahun 1960-an: Dr. Rudolf Vrba dan Alfred Wetzler, keduanya Yahudi Cekoslowakia. Kedua saksi ini bersaksi di pengadilan utama Frankfurt Auschwitz, 20 tahun setelah kenyataan-kenyataan yang disangkakan, terdorong oleh keinginan tak terbendung melihat keadilan ditegakkan. Akan tetapi, testimoni mereka hanya sedikit memperkuat laporan itu: Patut dicatat bahwa setelah perang, laporan WRB disingkirkan untuk dimusnahkan. Dokumen itu tak pernah diajukan sebagai bukti di pengadilan-pengadilan militer Nuremberg, atau di pengadilan-pengadilan pascaperang lainnya yang diselenggarakan oleh para pemenang Sekutu.79 That the War Refugee Board report was not read into evidence, however, did not end its exploitation by the exterminationists; they continued to make propaganda from the WRB report, and to rely on the testimonies of other "witnesses" at postwar trials. The inevitable "guilty" verdicts in

h. 130 Holocaust trials have become, particularly in Germany, the "proof" of the gas chambers and the Holocaust regardless of the historical facts.80 Akan tetapi, bahwa laporan WRB tidak dibacakan sebagai petunjuk tak mengakhiri pemanfaatannya oleh para eksterminasionis; mereka terus membuat propaganda dari laporan WRB, dan bergantung pada testimoni saksi-saksi lain di pengadilan-pengadilan pascaperang. Vonis bersalah yang tak terbendung di pengadilan-pengadilan Holokaus menjadi, khususnya di Jerman, petunjuk kamar-kamar gas dan Holokaus tanpa memandang kenyataan-kenyataan sejarah.80 Another method that worked well on public opinion was to use the alleged testimony of dead persons to support the existence of the gas chambers. In fact, one can never be sure whether such persons themselves ever existed. Even if they did, of course, it would still be impossible to crossexamine them on the authenticity of their alleged assertions. This being the case, a variety of gas chambers and other Holocaust accusations have been offered from beyond the grave (allegedly!) and have proved particularly difficult to refute, stemming from the victims of Nazism and antiSemitism as they supposedly do. Exterminationists have presented the WRB report as key evidence of the gas chambers and the Holocaust, although it played no role in the main Nuremberg trial. Dr. Rudolf Vrba subsequently wrote a book on his experiences during the trials at which he testified in support of the contents of the WRB report. He titled his book, dramatically enough, I Cannot Forgive. The book, written with the help of fellow Auschwitz escapee Alfred Wetzler, reveals its unreliability by its numerous internal contradictions. For those who are unsatisfied with the preceding arguments against gratuitously accepting the testimony of any and every Holocaust witness, Robert Faurisson has a straightforward answer: "Testimony is not regarded as evidence. If I am not mistaken, for thirty-five years no 'eyewitness' has been accused of perjury. This approach inevitably made it safe for anyone to perjure himself." It should be further noted that years later some of the very witnesses who had testified to gas chambers confessed that their testimony had been totally imaginary and untrue. For instance Monsignor Piguet, the archbishop of Clermont-Ferrand, wrote that Polish clergymen had perished in "gas chambers" at Dachau, but later admitted that gas chambers had never existed in that camp. Cara lain yang berjalan baik dalam mempengaruhi pendapat umum adalah menggunakan yang disangka testimoni orang-orang yang sudah meninggal dunia untuk mendukung keberadaan kamar gas. Nyatanya, kita tak pernah dapat yakin apakah orang-orang itu sendiri benar-benar ada. Jika ya, tentu masih mustahil memeriksa silang mereka tentang keaslian dari yang disangka pernyataan mereka ini. Karena ini masalahnya, beraneka tuduhan kamar gas dan Holokaus telah disodorkan (yang disangka!) keluar dari liang kubur dan terbukti sukar dibantah, berasal dari korban-korban Nazi dan anti-Semitisme sebagaimana diperkirakan. Para eksterminasionis telah mengajukan laporan WRB sebagai petunjuk kunci kamar gas dan Holokaus, walaupun tidak berperan di pengadilan utama Nuremberg. Dr. Rudolf Vrba kemudian menulis sebuah buku tentang pengalaman-pengalamannya selama sidang-sidang pengadilan tempat ia bersaksi mendukung isi laporan WRB. Ia memberi judul bukunya, cukup menyentuh, I Cannot

h. 131 Forgive (Tak bisa Kumaafkan). Buku ini, ditulis dengan bantuan sesama pelarian Auschwitz Alfred Wetzler, mengungkapkan ketak-andalannya dengan berbagai pertentangan di dalamnya. Bagi mereka yang tidak puas dengan pendapat-pendapat di muka yang menolak habis untuk menerima testimoni setiap dan semua saksi Holokaus, Robert Faurisson memiliki sebuah jawaban langsung: Testimoni tidak dipandang sebagai sebuah petunjuk. Jika saya tidak salah, selama 35 tahun, tak seorang saksi mata pun pernah dituduh berbohong di depan pengadilan. Pendekatan ini pada akhirnya membuat aman bagi siapa pun untuk berdusta di depan pengadilan. Perlu dicatat juga bahwa bertahun-tahun kemudian, sebagian saksi mata utama yang bersaksi tentang kamar gas mengakui bahwa testimoni mereka sepenuhnya khayalan dan tidak benar. Misalnya, Monsignor Piguet, uskup Clermont-Ferrand, menulis bahwa para pendeta Polandia hilang di kamar-kamar gas di Dachau, namun kemudian mengakui bahwa kamar gas tak pernah ada di kamp itu. In this section, we have recounted how people who never witnessed a gassing or a gas chamber would suddenly emerge to give false testimony, distorting facts without hesitation or scruple. But the chicanery of the exterminationists is not yet exhausted by fudging documents or countenancing perjury. Because as far as they are concerned, "proving" the Jewish genocide comes before all else, anything goes, ethical or not. The next aspect of the Holocaust propaganda we shall consider is the biographical, or "autobiographical" hundreds of Holocaust "life stories" compiled from dubious documents and mendacious imaginings sometimes even those of the "author" named on the book's cover. Di ruas ini, kita telah menuturkan kembali bagaimana orang-orang yang tak pernah menyaksikan sebuah penggasan atau kamar gas tiba-tiba muncul memberikan kesaksian palsu. Namun, muslihat para eksterminasionis belum lagi habis dengan memelintir dokumen atau menerima kesaksian bohong. Sebab, sejauh kepentingan mereka, pembuktian genosida Yahudi itu di atas segalanya, etis maupun tidak. Segi berikutnya propaganda Holokaus yang akan kita tinjau adalah atau biografi, atau otobiografi ratusan kisah hidup Holokaus yang dirangkum dari dokumen-dokumen yang meragukan dan pencitraan-pencitraan yang dusta kadang kala bahkan dari pengarang yang namanya disebutkan di sampul buku.

Holocaust Biographies
Dr. Rudolf Vrba wrote a book on his Auschwitz "ordeal" and his experiences as a witness at postwar trials, where he testified to the stories in the War Refugee Board report. As mentioned in the previous section, the book's title is a dramatic one: I Cannot Forgive. Wilhelm Stglich comments acerbically on the book in his Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence.81 As to the value of the WRB Report, aside from Vrba and Wetzler's errors, Stglich observes regarding the alleged report of a "Polish major" appended to the WRB Report: In several passages of his report Birkenau is equated with Raisko, though these were two different camps, separated from each other by about 5 kilometers. When this 'authority' tells us that Raisko was the 'Polish name' for Birkenau, he is simply demonstrating his ignorance of the facts.82

Biografi-Biografi Holokaus
Dr. Rudolf Vrba menulis sebuah buku tentang penderitaan Auschwitz-nya dan

h. 132 pengalaman-pengalamannya sebagai seorang saksi di pengadilan-pengadilan pascaperang, tempat ia bersaksi terhadap kisah-kisah di dalam laporan WRB. Sebagaimana disebutkan di ruas sebelumnya, judul bukunya amat menyentuh: I Cannot Forgive (Tak bisa Kumaafkan). Wilhelm Stglich mengulas tajam buku ini di dalam bukunya Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence.81 Mengenai nilai Laporan WRB, di luar kesalahan-kesalahan Vrba dan Wetzler, Stglich mengamati tentang yang disangka laporan seorang mayor Polandia yang dilampirkan ke Laporan WRB: Di beberapa bagian laporannya, Birkenau disamakan dengan Raisko, walaupun keduanya kamp yang berbeda, terpisah satu sama lain kira-kira 5 kilometer. Ketika menuturkan bahwa Raisko adalah nama Polandia bagi Birkenau, narasumber ini sekedar menunjukkan pengabaiannya atas kenyataan.82 The errors Dr. Vrba has made in his book are many. One historical blunder certainly reveals his carelessness. He has badly misdated a visit Himmler paid to Birkenau. In his first chapter, Vrba gives a detailed account of Himmler's visit, and says it took place in January 1943.83 In fact, it is certain that Himmler did not visit Birkenau in January 1943. Himmler came to Birkenau twice: the first time on March 1, 1941, and the second on July 17, 1942. Despite these well-established historical facts, Dr. Vrba claims not only that Himmler was in Birkenau in January 1943, but also that the SS commander witnessed the cremation of three thousand Polish Jews during his visit. Yet the sources agree that at Birkenau none of the crematories had been completed, let alone were functioning, in January 1943. The first crematory in Birkenau began operating no earlier than March 1943.84 Nor is that the only such imaginary claim in Dr. Vrba's book. He more than once states that Rudolf Hss was the commandant of Auschwitz in 1944.85 However, Hss left Auschwitz in November 1943 for a post in Berlin.86 Kekeliruan-kekeliruan Dr. Vrba yang telah dibuat di dalam bukunya banyak. Satu kesalahan sejarah jelas-jelas mengungkapkan kesembronoannya. Ia amat salah memberi tanggal sebuah kunjungan Himmler ke Birkenau. Di bab pertamanya, Vrba menuturkan cerita terinci tentang kunjungan Himmler, dan mengatakan itu terjadi di bulan Januari 1943.83 Nyatanya, jelas bahwa Himmler tidak mengunjungi Birkenau di bulan Januari 1943. Himmler datang ke Birkenau dua kali: kali pertama pada tanggal 1 Maret 1941, dan yang kedua 17 Juli 1942. Sekalipun ada kenyataan sejarah yang amat mapan ini, Dr. Vrba menyatakan tak hanya bahwa Himmler di Birkenau di bulan Januari 1943, namun juga bahwa panglima SS ini menyaksikan pengabuan 3 ribu orang Yahudi Polandia selama kunjungannya. Namun, berbagai sumber sepakat bahwa di Birkenau, tidak satu pun krematorium telah selesai dibangun, apalagi dijalankan, di bulan Januari 1943. Krematorium pertama di Birkenau mulai beroperasi tak lebih dini daripada bulan Maret 1943.84 Tidak hanya pernyataan khayalan demikian di dalam buku Dr. Vrba. Ia lebih dari sekali menyatakan bahwa Rudolf Hss adalah kepala kamp Auschwitz di tahun 1944.85 Akan tetapi, Hss meninggalkan Auschwitz di bulan November 1943 untuk sebuah tugas di Berlin.86 In other words, Dr Vrba asserts that he spent more than a year in the Birkenau camp, yet he demonstrates that he had no idea when Rudolf Hss, commandant of Auschwitz (including Birkenau), left. What's more, despite Dr. Vrba's claim to have been in the camp for over a year, he was not able to accurately describe the camp's layout. Thus, he refers to the camp for men at

h. 133 Birkenau as the "A Camp," and the family camp as the "B Camp," and represents that the two camps were divided by a fence. Yet the Hungarian camp lay between the men's camp (actually designated B II d) and the family camp (actually designated B II b), and there was only a street, not a fence, between the men's camp and the Hungarian camp. For that matter, Dr. Vrba did not even know where the crematories were located at Birkenau. All these errors go to show one thing in particular: that Dr. Vrba is just another fraudulent Holocaust eyewitness. Other authors have surfaced to prove Holocaust extermination claims. The Austrian Socialist leader and Jew, Benedikt Kautsky, was at Auschwitz and was thus an "eyewitness"; he tells a number of interesting tales in his book. Dengan kata lain, Dr. Vrba menyatakan telah menghabiskan lebih dari setahun di kamp Birkenau, namun terlihat tak mengetahui kapan Rudolf Hss, kepala Auschwitz (termasuk Birkenau), pergi. Lebih lagi, sekalipun mengaku berada di kamp lebih dari setahun, ia tak mampu secara cermat menggambarkan tataletak kamp. Jadi, ia merujuk ke kamp bagi laki-laki di Birkenau sebagai Kamp A, dan kamp keluarga sebagai Kamp B, dan menyajikan keduanya terpisah oleh pagar. Namun, kamp orang Hongaria terletak di antara kamp kaum laki-laki (yang sebenarnya disebut B II d) dan kamp keluarga (sebenarnya disebut B II b), dan hanya ada jalan, bukan pagar, di antara kamp laki-laki dan kamp orang Hongaria. Untuk hal ini, Dr. Vrba bahkan tidak tahu lokasi krematorium-krematorium di Birkenau. Semua kesalahan ini menuju ke satu hal secara khusus: Dr. Vrba sekedar saksi mata Holokaus penipu lainnya. Para pengarang lain telah muncul untuk membuktikan pernyataan-pernyataan pemusnahan Holokaus. Seorang pemimpin sosialias Austria yang juga Yahudi, Benedikt Kautsky, berada di Auschwitz dan karena itu seorang saksi mata; ia menuturkan sejumlah cerita menarik di dalam bukunya. According to Kautsky's account, the victims were forced to undress in a special room, then 'crowded into another room, which was tiled and furnished with showerheads in the ceiling.' From these showerheads not water, but gas, was released, 'usually carbon monoxide, so that the people suffocated in a few minutes.' These unfortunates allegedly screamed and moaned during this time, went into contortions and were 'found with blue lips, with bloody mouths, noses, ears, and eyes.' The gas chamber, according to Kautsky, had a capacity of up to 2,000 people. The maximum 'daily output' was between 6,000 and 8,000 people.87 Menurut penuturan Kautsky, para korban dipaksa menanggalkan pakaian di sebuah ruangan khusus, lalu dijejalkan ke sebuah ruangan lain, yang bergenteng dan dilengkapi dengan keran bilas kepala di langit-langitnya. Dari keran-keran bilas ini bukan air, namun gas, disemburkan, biasanya karbon monoksida, sehingga orang mati tercekik dalam hitungan menit. Orang-orang malang ini disangka menjerit dan mengerang selama waktu itu, menjadi terkejang-kejang dan ditemukan dengan bibir biru, dengan mulut, hidung, telinga, dan mata berdarah. Kamar gas, menurut Kautsky, berdaya tampung hingga 2 ribu orang. Keluaran harian tertinggi adalah antara 6 sampai 8 ribu.87

h. 134 The dramatic picture painted by Kautsky proved influential in the development of the propaganda. The incidents Kautsky claimed to have personally witnessed have been used more than once in Holocaust films for propaganda purposes in the years that followed. Millions of people have watched such scenes with tears in their eyes, vicariously experiencing the cruelty of the Nazis on the one hand and becoming thoroughly convinced that the Jews are above all a nation of victims on the other. However, when Kautsky's assertions are subjected to the critical method rather than the emotional point of view, they yield totally different conclusions. Medical and technical investigation clearly establishes that Benedict Kautsky is just one more perjurer. Whereas Kautsky asserts that the gas asphyxiated the victims in a few minutes, and that bleeding was observed at various places on the corpses, research published in more recent years proved the opposite: Gambaran mengharukan yang dilukiskan oleh Kautsky terbukti berpengaruh dalam perkembangan propaganda. Peristiwa-peristiwa yang diakui disaksikan secara pribadi oleh Kautsky telah digunakan lebih dari sekali dalam film-film Holokaus untuk maksud-maksud propaganda di tahun-tahun berikutnya. Jutaan orang telah menyaksikan pemandangan-pemandangan semacam itu dengan air mata di mata mereka, membayangkan di kepala mengalami kekejaman kaum Nazi di satu sisi, dan menjadi sepenuhnya yakin bahwa kaum Yahudi adalah korban yang lebih utama daripada bangsa-bangsa lainnya di sisi lainnya. Akan tetapi, ketika menjadi bahan pemeriksaan yang telaten dan bukan sudut pandang emosional, pernyataan-pernyataan Kautsky memberikan kesimpulan-kesimpulan yang sepenuhnya berbeda. Penyelidikan medis dan teknis jelas-jelas menguatkan bahwa Benedikt Kautsky hanya seorang saksi palsu lainnya. Sementara Kautsky menyatakan bahwa gas mencekik para korbannya dalam beberapa menit, dan bahwa perdarahan teramati di berbagai bagian tubuh mayat, penelitian yang diterbitkan di tahun-tahun belakangan membuktikan yang sebaliknya: Gas streaming from a showerhead would have to be heavier than air to reach the victims. Carbon monoxide (CO) gas, however, is lighter than air. It does not cause death in just a few minutes nor has bleeding ever been observed in a death caused by carbon monoxide poisoning. Thus Kautsky's report proves to be a product of pure fantasy.88 More "evidence" advanced to prove the existence of gas chambers in Birkenau camp is contained in the book Der SS-Staat, written by Eugen Kogon. Eugen Kogon writes: Birkenau, which belonged to Auschwitz included together with five modern crematoriums four gas bunkers [sic] constructed underground with an average capacity of 12001500 persons per bunker The path from the undressing room went directly to the "bath," into which the hydrocyanic acid streamed from the showerheads and the ventilator columns According to the amount of gas present, the death by asphyxiation came in four or five minutes. Meanwhile the terrible cries of children, women, and men, whose lungs were slowly torn apart, could be heard from within.89

h. 135 Gas yang mengalir dari keran bilas kepala harus lebih berat daripada udara untuk mencapai korbannya. Akan tetapi, gas karbon monoksida (CO) lebih ringan daripada udara. Gas ini tidak menyebabkan kematian di dalam beberapa menit, tidak juga perdarahan teramati di sebuah kematian akibat keracunan karbon monoksida. Jadi, laporan Kautsky terbukti sebuah hasil khayalan murni.88 Petunjuk lain yang diajukan untuk membuktikan keberadaan kamar gas di kamp Birkenau terkandung di dalam buku Der SS-Staat (Negara SS), oleh Eugen Kogon. Eugen Kogon menulis: Birkenau, yang menjadi bagian dari Auschwitz dicakup bersama dengan 5 krematorium mutakhir, 4 bungker gas yang dibangun di bawah tanah dengan daya tampung rata-rata 1,200-1,500 orang per bungker Jalur dari ruangan ganti baju langsung menuju ke ruangan mandi, ke dalam mana asam hidrosianik dialirkan dari keran-keran bilas kepala dan tiang-tiang penukar udara .. Menurut kadar gas yang ada, kematian akibat tercekik terjadi dalam 4 sampai 5 menit. Sementara itu, jeritan-jeritan mengerikan anak-anak, perempuan, dan laki-laki, yang paru-parunya pelan-pelan robek, dapat terdengar dari dalam.89 The actual properties of hydrocyanic acid discredit Kogon's allegations. As Wilhelm Stglich points out: "Hydrocyanic acid gas is also lighter than air, and, therefore, cannot pour down on the victims; even under pressure it would not reach them! That the gas 'tore apart the lungs' of the victims, though it sounds very dramatic, is utter nonsense."90 These are only a few of the more striking examples of Holocaust books written to serve as propaganda. There is much more such Holocaust literature, of course. These examples, though, should serve to indicate the typical content of such books. If mass exterminations had in fact taken place, it would have produced real witnesses capable of testifying truthfully to what they saw. The abundance of mendacious witnesses is in itself striking evidence that mass exterminations didn't happen. Sifat-sifat sejati asam hidrosianik membantah persangkaan-persangkaan Kogon. Sebagaimana ditunjukkan oleh Wilhelm Stglich: Gas asam hidrosianik juga lebih ringan daripada udara, dan, karena itu, tidak dapat ditumpahkan ke para korban bahkan dengan bertekanan, gas itu tidak akan mencapai mereka! Bahwa gas ini merobek paru-paru korbannya, sekalipun terdengar amat mencengangkan, sepenuhnya omong kosong.90 Ini hanyalah sekelumit contoh yang menyolok dari buku-buku Holokaus yang ditulis demi propaganda. Ada lebih banyak kepustakaan Holokaus, tentu saja. Walau demikian, contoh-contoh ini bisa menunjukkan isi yang biasanya dari buku-buku semacam itu. Jika benar terjadi, pemusnahan massal akan menelurkan saksi-saksi nyata yang mampu bersaksi dengan sungguhsungguh atas apa yang dilihatnya. Melimpahnya para saksi pendusta itu sendiri adalah bukti menyolok bahwa pemusnahan massal tidak terjadi.

h. 136

Alterations Made to Places Alleged to Have Been 'Gas Chambers'


Earlier we named some of the buildings alleged to have housed gas chambers and analyzed in detail certain comments revisionist experts have made about these places. Their remarks clearly indicate that these "gas chambers" cannot have been actual gas chambers because they are clearly lacking in the essential technical features of a gas chamber. There is, perhaps, an even more interesting aspect of this issue: that deliberate alterations were subsequently made to certain of these places in an effort to make them resemble gas chambers. The changes to the structures, however, did not suffice to make good the technical shortcomings that revisionist researchers have discovered in these "gas chambers." Nevertheless, were we able to see these places in their original state, we would very probably be able to see immediately that they were not gas chambers, without need of further investigation. Henri Roques writes in The "Confessions" of Kurt Gerstein that the locations described as "gas chambers" are not "original" and they underwent some architectural "retouching" for propaganda purposes after the war.91

Perubahan-Perubahan atas Tempat-Tempat yang Disangka Kamar Gas


Di awal, kami menyebutkan sejumlah bangunan yang disangka telah menaungi kamar-kamar gas dan menguraikan secara rinci ulasan-ulasan tertentu yang telah dibuat para pakar revisionis tentang tempat-tempat ini. Kata-kata mereka jelas menunjukkan bahwa kamar-kamar gas ini tak mungkin benar-benar kamar gas karena nyata-nyata tidak berciri-ciri teknis penting sebuah kamar gas. Mungkin inilah segi yang lebih menarik lagi dari masalah ini: bahwa perubahan-perubahan sengaja kemudian dibuat atas tempat-tempat tertentu dalam upaya membuatnya mirip kamar gas. Akan tetapi, perubahan-perubahan atas bangunan tidak memadai untuk menutupi kekurangan teknis yang telah ditemukan para peneliti revisionis di kamar-kamar gas ini. Bagaimanapun, kalau mampu melihat tempat-tempat ini dalam keadaan aslinya, kita amat mungkin mampu segera melihat semua itu bukan kamar gas, tanpa perlu penyelidikan lebih jauh. Henri Roques menulis di dalam The Confessions of Kurt Gerstein bahwa tempat-tempat yang digambarkan sebagai kamar gas tidak asli dan mengalami sejumlah sentuhan arsitektur setelah perang demi maksud-maksud propaganda.91 The young Jewish revisionist David Cole explains the purpose for which the location shown as a gas chamber to tourists at the Auschwitz main camp was used during the war: Revisionists don't dispute that this was a real building from during the war. We say that it was indeed a crematorium and a mortuary which also was used as an air-raid shelter for the SS men in the hospital and restaurant right across the street from it. 92 Fred Leuchter, the gas chamber specialist, has written: It appears, through investigation of the available historical documents and the facilities themselves, that most of the alleged execution gas chambers were converted from an earlier design, purpose and structure. This is true except for the so-called experimental chambers at Majdanek, which were allegedly specifically built as gassing facilities.

h. 137 Bunkers I and II are described in Auschwitz State Museum literature as converted farm houses with several chambers and windows sealed. These do not exist in their original condition and were not inspected. Kremas I, II, III, IV and V are described historically and on inspection were verified to have been converted mortuaries or morgues connected and housed in the same facility as crematories.93 Seorang revisionis Yahudi muda, David Cole, menjelaskan demi maksud apa tempat di kamp utama Auschwitz yang dipamerkan sebagai kamar gas kepada wisatawan digunakan selama perang. Para revisionis tidak memasalahkan bahwa ini sebuah bangunan sungguhan dari masa perang. Kami katakan bahwa itu sejatinya sebuah krematorium dan kamar jenazah yang juga digunakan sebagai naungan serangan udara bagi orang-orang SS di rumah sakit dan rumah makan di seberang jalan.92 Fred Leuchter, seorang spesialis kamar gas, telah menulis: Tampaknya, lewat penyelidikan atas dokumen-dokumen sejarah yang tersedia dan sarananya sendiri, sebagian besar yang disangka kamar gas telah diubah dari rancangan, maksud, dan bentuk aslinya. Ini benar kecuali untuk yang disebut kamar percobaan di Majdanek, yang disangka dibangun khusus sebagai sarana penggasan. Bungker I dan II yang dijelaskan di kepustakaan Museum Negara Auschwitz sebagai gudang pertanian yang diubah dengan beberapa kamar dan jendela ditutup. Ruangan-ruangan ini tidak dalam keadaan aslinya dan tak diperiksa. Krematorium-krematorium I, II, III, IV, dan V digambarkan menurut sejarah dan, pada pemeriksaan, dipastikan sebagai kamar jenazah yang telah diubah yang dihubungkan dan ditempatkan di dalam sarana yang sama sebagai krematorium.93

The revisionist historian Wilhelm Stglich makes the following comments:


Even today, visitors to the Auschwitz Museum are shown a 'gas chamber' in the old crematorium of the parent camp. But this is as the French scholar Robert Faurisson discovered merely a reconstruction, something of which Auschwitz Museum tourists are, of course, not informed.94 When this crematorium was shut down in July 1943, the building was converted into an airraid shelter, with an operating room for the SS sick-bay. At that time, the chimney was razed. I have in my possession an unpublished photo which shows the back of this building in its present state. One can readily see that the 'restored' chimney is purely window-dressing. It is not even attached to the structure. Likewise, the gas chamber is a prop in the show.95

Sejarawan revisionis Wilhelm Stglich mengulas sebagai berikut:


Bahkan hari ini, pengunjung Museum Auschwitz diperlihatkan sebuah kamar gas di krematorium tua kamp induk. Namun, ini sebagaimana ditemukan cendekiawan Perancis Robert Faurisson cuma sebuah rekaan ulang, sesuatu yang pengunjung Museum Auschwitz, tentu saja, tidak diberi tahu.94

h. 138 Ketika ditutup di bulan Juli 1943, krematorium ini diubah menjadi naungan serangan udara, dengan sebuah ruangan operasi bagi SS yang sakit. Pada waktu itu, cerobongnya diruntuhkan. Saya memiliki sebuah foto yang tidak diterbitkan yang menunjukkan bagian belakang bangunan ini dalam keadaan yang sekarang. Orang dengan dengan mudah melihat bahwa cerobong hasil pemulihan murni dandanan. Cerobong ini bahkan tak menempel ke bangunan. Seperti itu juga, kamar gas adalah tambahan di dalam pertunjukan ini.95 David Cole observes, based on his interview of the director of the Auschwitz State Museum: "And, they have, in the past, admitted that the large brick chimney at the side of the building is a reconstruction, which is no big shock to anybody because it clearly isn't connected to the building in any way."96 There is still more misleading evidence, at the Birkenau camp, for those who visit Auschwitz. If only because of its size, the rubble pictured could not be the ruins of one or more 'gas chambers' that each had a capacity of 2,000 to 3,000 people If four gigantic crematoria really existed in Birkenau, they would have left behind a proportionately large expense of ruins. One would expect the Soviet occupation forces to have made as many photographs as possible of this testimony in stone to an extermination program that allegedly claimed 12,000 to 20,000 victims daily. Yet no photos of such massive ruins seem to exist.97 Finally, there remains the puzzling question: How was it is possible to squeeze two thousand persons into a room 210 square meters in area? David Cole mengamati, berdasarkan pada wawancara dengan direktur Museum Negara Auschwitz: Dan, mereka telah, di masa lalu, mengakui bahwa cerobong besar hitam di sisi bangunan adalah sebuah rekaan ulang, yang bukan kejutan besar bagi siapa pun karena nyata tidak terhubung dengan bangunan dengan cara apa pun.96 Masih lebih banyak lagi petunjuk yang menyesatkan, di kamp Birkenau, bagi mereka yang mengunjungi Auschwitz. Jika hanya karena ukurannya, puing-puing yang difoto tidak mungkin reruntuhan satu atau lebih kamar gas yang masing-masing berdaya tampung 2 sampai 3 ribu orang Jika empat krematorium raksasa sungguh-sungguh ada di Birkenau, keempatnya akan meninggalkan reruntuhan yang jumlah lumayan banyak. Orang akan berharap tentara pendudukan Soviet membuat sebanyak mungkin foto tentang testimoni ini untuk menegaskan sebuah program pemusnahan yang disangka meminta 12 sampai 20 ribu korban tiap harinya. Namun, foto-foto reruntuhan besar seperti itu tampaknya tak ada.97 Akhirnya, masih ada pertanyaan yang membingungkan: bagaimana mungkin menjejalkan 2 ribu orang ke dalam sebuah ruangan yang luasnya 210 meter persegi?

Inaccurate Translations by the Exterminationists


From the foregoing it is clear that proponents of the Holocaust myth will stoop to any sort of deception to prove their case. Thus they have deliberately mistranslated important words and

h. 139 passages from German to English. More than one of these distortions of the original meaning has been discovered by revisionist researchers. The only document from the German official files in which the term gassing (Vergasung) is used in connection with the Birkenau crematoria (Nuremberg Document NO-4473) owes its interpretation as proof that a "gas chamber" for killing Jews existed at Auschwitz to a mistranslation. As Butz has shown, the word Vergasungskeller (carburation cellar) was rendered into English as 'gas chamber.'98

Penerjemahan tak Cermat oleh Para Eksterminasionis


Dari awal, sudah jelas bahwa para pendukung dongeng Holokaus akan menjual diri terhadap jenis apa pun muslihat demi membuktikan pendapat mereka. Jadi, mereka telah sengaja salah menerjemahkan kata-kata dan kalimat-kalimat penting dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris. Lebih dari satu pemutarbalikan makna asli ini telah ditemukan oleh para peneliti revisionis. Satu-satunya dokumen dari arsip pejabat Jerman di dalam mana istilah penggasan (Vergasung) dipakai dalam kaitan dengan krematorium-krematorium Birkenau (Dokumen Nuremberg NO-4473) berutang penafsirannya sebagai petunjuk adanya sebuah kamar gas untuk membunuh kaum Yahudi di Auschwitz kepada salah penerjemahan. Sebagaimana ditunjukkan Butz, kata Vergasungskeller (ruba pencampuran bahan bakar) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai kamar gas.98

Anne Frank's Dubious Diary


One method the Holocaust lobby has used to impose its propaganda has been to make it both dramatic and personal. An excellent example of this has been the exploitation of a teenage girl named Anne Frank, who allegedly kept diaries during the war, then died in a concentration camp. The diary of Anne Frank has been presented to the public with such fanfare that it has passed for "proof of the Holocaust." Published in book form, the diary has sold over sixteen million copies in thirty countries. A play based on the book was written and performed on Broadway in the 1950s; a movie soon followed. The building in which Anne Frank and her family hid during the war was turned into a museum and opened to the public. In 1957, the Anne Frank Foundation was founded, and through it numerous exhibitions, symposiums, panels, and conferences were organized in her name. Thanks to the efforts of the Holocaust lobby, Anne Frank became a symbol and a legend. Her diary has been elevated to the level of a memorial and a testimony to the Holocaust. The name of Anne Frank has been indissolubly linked with the Holocaust. Anne Frank has thus become a martyr to a much exaggerated massacre. Her story has been drummed into the public many times and in many ways. Now and again it has been noted, even in the Turkish press, that the diary of Anne Frank whether genuine or not has been used to help further Zionist aims.99

Buku Harian Anne Frank yang Meragukan


Satu cara yang telah digunakan lobi Holokaus untuk memaksakan propagandanya adalah membuatnya menyentuh sekaligus pribadi. Sebuah contoh yang baik hal ini adalah pemanfaatan

h. 140 seorang gadis remaja bernama Anne Frank, yang disangka menyimpan catatan harian selama perang, lalu mati di sebuah kamp konsentrasi. Catatan harian Anne Frank telah disajikan kepada masyarakat dengan keriuhan sedemikian sehingga diterima sebagai bukti Holokaus. Diterbitkan berbentuk buku, catatan harian ini terjual lebih dari 16 juta salinan di 30 negara. Sebuah sandiwara yang berdasarkan pada buku ini ditulis dan dimainkan di Broadway di tahun 1950-an, sebuah film segera menyusulnya. Bangunan tempat Anne Frank dan keluarganya bersembunyi selama perang diubah menjadi museum dan dibuka untuk umum. Di tahun 1957, Yayasan Anne Frank didirikan dan melaluinya banyak pameran, lokakarya, dengar pendapat, dan konperensi diselenggarakan atas namanya. Berkat upaya-upaya lobi Holokaus, Anne Frank menjadi sebuah lambang dan legenda. Catatan hariannya telah diangkat ke tingkat sebuah memoar dan testimoni bagi Holokaus. Nama Anne Frank telah terkait tak terpisahkan dengan Holokaus. Karena itu, Anne Frank menjadi seorang pahlawan bagi pembantaian yang sangat dibesar-besarkan. Kisahnya telah ditabuhkan kepada umum berkali-kali dan dengan banyak cara. Berulang-ulang telah dicatat, bahkan di media Turki, bahwa buku harian Anne Frank apakah asli atau tidak telah digunakan untuk memajukan tujuan-tujuan Zionis.99

Who Was Anne Frank?


Anne Frank was a teenage Jewish girl who lived in German-occupied Netherlands during the war. It is claimed that she hid with her family from the Nazis in the attic of a building in Amsterdam for 29 months, and that during this period she kept a diary. Not long after Anne Frank had completed her diary's final lines, she was arrested by the Nazis, in August 1944. She was transported first to Auschwitz, then to Bergen-Belsen in October 1944, where she died in March 1945 of typhus.

Siapakah Anne Frank?


Anne Frank adalah seorang gadis remaja Yahudi yang tinggal di wilayah Belanda yang diduduki Jerman selama perang. Ia dikatakan bersembunyi bersama keluarganya dari kaum Nazi di loteng sebuah bangunan di Amsterdam selama 29 bulan, dan selama itu, menyimpan sebuah catatan harian. Tak lama setelah menuntaskan baris-baris akhir catatan hariannya, Anne Frank ditangkap oleh Nazi, di bulan Agustus 1944. Ia dipindahkan pertama ke Auschwitz, lalu ke Bergen-Belsen di bulan Oktober 1944, tempat ia meninggal dunia di bulan Maret 1945 karena tifus. When Holocaust propagandists make the above statements about Anne Frank, they once again contradict, quite unintentionally, the classic Holocaust scenario. How is that possible, you wonder? Because as soon as we consult the Holocaust literature, we encounter the claim that Auschwitz was primarily an extermination camp, in which women and children were almost always killed in the gas chambers as soon as they arrived. Anne Frank and her sister, however, spent two months in Auschwitz (August 1944-October 1944). Although Anne Frank was only fifteen, she was not "selected" for gassing on arrival at Auschwitz, as the Holocaust legend claims was the standard

h. 141 practice for underage Jews. She and her sister were sent out of Auschwitz, the so-called extermination camp, alive. Anne survived another five months in Bergen-Belsen, a camp to which many sick inmates were sent to recover, until her death from typhus in March 1945. Ketika membuat pernyataan-pernyataan tentang Anne Frank, para juru propaganda Holokaus sekali lagi membantah, sangat tak sengaja, alur cerita Holokaus yang biasa. Bagaimana mungkin, Anda ingin tahu? Karena sesegera kita memeriksa kepustakan Holokaus, kita mendapati pernyataan bahwa Auschwitz utamanya sebuah kamp pemusnahan, tempat kaum perempuan dan anak-anak hampir selalu dibunuh di kamar gas seketika tiba di sana. Akan tetapi, Anne Frank dan saudara perempuannya menghabiskan dua bulan di Auschwitz (Agustus-Oktober 1944). Walaupun hanya berumur 15 tahun, Anne Frank tidak dipilih untuk penggasan saat kedatangan di Auschwitz, sebagaimana diakui dongeng Holokaus sebagai perlakuan baku bagi orang Yahudi di bawah umur. Ia dan saudara perempuannya dikirim ke Auschwitz, yang disebut kamp pemusnahan, hidup-hidup. Anne bertahan 5 bulan lagi di Bergen-Belsen, sebuah kamp ke mana banyak tawanan yang sakit dikirimkan agar kembali sehat, hingga kematiannya akibat tifus di bulan Maret 1945. Anne Frank's experience definitely contradicts the exterminationist version of Auschwitz. The fact that she tragically died of typhus is stark testimony to the reality that it was typhus, not imaginary gas chambers, that was the real scourge of the "death camps." The story of how Anne Frank's diary was discovered is rather suspect. According to this, Miep Gies, who helped the Frank family hide from the Nazis, wanted to take a look at their hiding place just after they had been arrested. As she was leaving the "secret annex," Gies saw Anne Frank's diary lying just where Anne had dropped it as she and her family were being taken away. Needless to say, the diary did not surface so simply. The story of how Anne Frank's diary was found has been transmitted laden out with additional emotional freight. Here is how Shalom tells it: Pengalaman Anne Frank dengan pasti membantah versi eksterminasionis atas Auschwitz. Kenyataan bahwa ia secara menyedihkan tewas oleh tifus adalah testimoni menyolok bagi kebenaran bahwa tifuslah, bukan kamar gas khayalan, yang menjadi momok sebenarnya kampkamp kematian. Kisah bagaimana buku harian Anne Frank ditemukan agak mencurigakan. Menurut kisah itu, Miep Gies, yang menolong keluarga Frank bersembunyi dari Nazi, ingin memeriksa tempat persembunyian mereka setelah mereka ditangkap. Sambil meninggalkan kamar tambahan rahasia itu, Gies melihat buku harian Anne Frank tergeletak tepat di tempat Anne menjatuhkannya saat ia dan keluarganya digelandang keluar. Tak perlu dikatakan, buku harian ini tidak muncul begitu mudah. Kisah bagaimana buku harian Anne Frank ditemukan tersebar berat dengan beban emosi tambahan. Berikut bagaimana Shalom mengatakannya:

h. 142 After her friends were taken away, Miep Gies, who was hiding the Frank family from the Nazis, visited the hiding place at the risk of her life. Gies found the pages of the notebook scattered all around the floor. She gathered them together neatly and kept them that way, without reading them. Most likely not to relive her still fresh memories 100 The story of Anne Frank's diary does not end here, however. The more one looks into the diary, the fishier it and its story seem. To illustrate, we continue from Shalom: "[Anne's father] Otto Frank visited Miep Gies after the war. When Miep Gies presented him with the diary, Otto Frank saw his daughter's diary, written in her own handwriting, for the first time in his life."101 That is to say that the Frank family lived together in a very small space for more than two years without ever going out, while Anne made regular entries to her diary throughout that entire period but her father had never seen the diary. He only learned of the diary when his former employee and helper handed it to him after the war. How credible is this? Setelah para sahabatnya ditangkap, Miep Gies, yang menyembunyikan keluarga Frank dari Nazi, mengunjungi tempat persembunyian dengan mengambil resiko nyawanya. Gies menemukan halaman-halaman buku catatan berserakan di seantero lantai. Ia mengumpulkan semuanya dengan rapi dan menyimpannya demikian, tanpa membacanya. Kemungkinan besar untuk tak membangkitkan kembali kenang-kenangannya yang masih segar 100 Akan tetapi, kisah buku harian Anne Frank tak berakhir di sini. Semakin orang melihatnya, semakin tampak mencurigakan buku harian itu dan kisahnya. Untuk memberikan gambaran, terusan dari Shalom: [Ayah Anne Frank] Otto Frank mengunjungi Miep Gies setelah perang. Ketika Miep Gies memberikan buku harian itu kepadanya, Otto melihat buku harian puterinya, ditulis tangan oleh Anne sendiri, untuk kali pertama seumur hidupnya.101 Ini mengatakan bahwa keluarga Anne Frank tinggal bersama di sebuah ruangan yang amat sempit selama 2 tahun tanpa pernah keluar, sementara Anne menulis catatan secara berkala selama itu namun ayahnya tidak pernah melihat buku hariannya itu. Ia baru mengetahui buku itu ketika mantan pegawai dan pembantunya menyerahkannya kepadanya setelah perang. Seberapa meyakinkan hal ini? The Holocaust legend is "proved" by the same kind of internally contradictory evidence that underlies the story of Anne Frank and her diary. Meanwhile, of late Jewish organizations have started to demean a contemporary, and undeniable holocaust, namely the brutal "ethnic cleansing" that has been carried out against the Bosnian Muslims, in order to inflate and aggrandize their own capital-H Holocaust story. While shedding crocodile tears over the massacre of Muslims in Bosnia, these Jewish groups, who never cease pushing the imaginary "Holocaust," promoted a "real" war diary by a thirteen-year-old Bosnian girl named Zlata Filipovic, whom they dubbed a "second Anne Frank." When the traditional hostility of these organizations toward Muslims is considered, the insincerity behind this propaganda is easily grasped. Indeed Osman Brka, one of Alija Izetbegovic's advisors, explicitly

h. 143 said as much. While visiting Turkey, Brka declared that "the Jews try to keep the Holocaust claims alive by means of the oppressed and unjustly treated Bosnians, andthey are trying to do their own advertising at Bosnia's expense." Dongeng Holokaus terbukti dengan petunjuk sejenis dengan pertentangan di dalamnya yang mendasari kisah Anne Frank dan catatan hariannya. Sementara itu, belakangan organisasi-organisasi Yahudi mulai mengecilkan arti sebuah holokaus mutakhir yang tak terbantah, yakni pembersihan etnis yang kejam yang diterapkan kepada kaum Muslim Bosnia, untuk menggelembungkan dan membesar-besarkan kisah Holokaus (dengan huruf besar H) mereka sendiri. Sambil meneteskan air mata buaya atas pembantaian kaum Muslim Bosnia, kelompok-kelompok Yahudi ini, yang tak pernah berhenti mendesakkan Holokaus khayalan, menggembar-gemborkan sebuah buku harian perang nyata seorang gadis 13 tahun Bosnia bernama Zlata Filipovic, yang mereka gelari Anne Frank kedua. Ketika permusuhan turun-temurun organisasi-organisasi ini terhadap kaum Muslim dipertimbangkan, ketidaktulusan di balik propaganda ini dengan mudah ditangkap. Bahkan, Osama Brka, salah seorang penasehat Alija Izetbegovic, secara terbuka mengatakannya demikian. Sambil mengunjungi Turki, Brka menyatakan bahwa Orang-orang Yahudi mencoba menjaga pernyataan Holokaus tetap hidup dengan memperalat orang-orang Bosnia yang tertindas dan diperlakukan tak adil, dan mereka mencoba mengiklankan diri sendiri atas biaya Bosnia.

Millions of People Fooled by Holocaust Films


When the Jewish Holocaust is mentioned, people immediately think of the gas chambers and the gas chambers remind them how terrible the Holocaust was for the Jews. This notion certainly didn't become common currency in the popular mind all at once. The average person, who has never stooped to wonder why all the Holocaust movies and shows seem to be directed by Jews, has been unwittingly very effectively indoctrinated. Hollywood Holocaust productions seldom without their gas chambers never give the audience a minute's chance to question whether these gas chamber scenes might be invented. For the audience, Holocaust movies and the Holocaust become one and the same, to be seen from the identical emotional perspective. Small chance the "historical" Holocaust might be viewed as fiction when the cinematic Holocaust is taken for historical fact! Unquestionably, Hollywood has become a chief source of the propaganda that has sown the seeds of "Holocaustomania" in so many American minds.

Jutaan Orang Dibodohi oleh Film-Film Holokaus


Ketika Holokaus Yahudi disebutkan, orang segera berpikir tentang kamar gas dan kamar gas mengingatkan mereka betapa mengerikannya Holokaus bagi kaum Yahudi. Gagasan ini jelas tidak menjadi pemikiran umum di benak masyarakat dengan seketika. Rata-rata orang, yang tidak pernah berhenti untuk bertanya mengapa semua film dan pertunjukan Holokaus tampaknya disutradarai oleh orang Yahudi, telah tanpa sadar secara efektif dicuci otak. Produksi Holokaus Holywood jarang yang tanpa kamar gas tidak pernah memberi pemirsanya satu menit kesempatan untuk mempertanyakan apakah adegan-adegan kamar gas ini hasil rekaan. Bagi para pemirsa, film-film Holokaus menjadi satu dan sama, untuk dilihat dari sudut pandang emosi yang serupa. Sedikit peluang Holokaus sejarah akan dipandang sebagai cerita khayalan ketika

h. 144 Holokaus film diterima sebagai kenyataan sejarah! Tak dapat dibantah, Holywood telah menjadi sumber utama propaganda yang menanamkan benih Holokausmania di benak banyak orang Amerika. The makers of Holocaust movies and mini-series have made their motto "art for politics' sake." Nana Tarablus, writing in Shalom on November 22, 1989, acknowledged that the "Holocaust is used as an instrument by the Jews, especially in the film industry." How could he have denied it? Hollywood was largely organized by Jews, and has played an influential role in shaping the political and cultural propaganda of the twentieth century. Thanks to a Hollywood founded by Jewish film producers such as Adolf Zukor, Carl Laemmle, Louis B. Mayer, the Warner brothers, and Harry Cohn, a Holocaust mythology has been created on film. A book by Neal Gabler, a historian of cinema whose articles are regularly published in the American press, offers striking confirmation of our point: Its title is An Empire of Their Own: How the Jews Invented Hollywood. Para pembuat film dan serial pendek Holokaus telah menjadikan seni untuk kepentingan politik sebagai semboyan. Nana Tarablus, yang menulis di dalam Shalom pada 22 November 1989, mengakui bahwa Holokaus digunakan sebagai alat oleh kaum Yahudi, khususnya di industri film. Bagaimana ia dapat membantah hal itu? Holywood sebagian besar diatur kaum Yahudi, dan telah memainkan peran berpengaruh di dalam membentuk propaganda politik dan budaya abad ke20. Berkat Holywood yang didirikan oleh para Yahudi produser film seperti Adolf Zukor, Carl Laemmle, Louis B. Mayer, Warner bersaudara, dan Harry Cohn, sebuah dongeng Holokaus telah diciptakan pada film. Sebuah buku oleh Neal Gabler, seorang sejarawan film yang artikelartikelnya secara teratur diterbitkan di media Amerika, menyodorkan penegasan menyolok terhadap pendapat kami. Judulnya An Empire of Their Own: How the Jews Invented Hollywood (Kekaisaran Tersendiri: Bagaimana Kaum Yahudi Menciptakan Holywood). The fact that the real inventors of Hollywood have been Jews is further confirmed by a paragraph from a Jewish professor's popular history of his people: "Since the early days, Jews have continued to play major roles in the business, management and executive producing ends of the movie industry. Among the pioneer producers of films were an impressive number of Jews: Sigmund Lubin, Carl Laemmle, the four Warner brothers, William Fox, Marcus Loew, Adolf Zukor, Jack and Harry Cohn, Louis B. Mayer, Jesse Lasky, Samuel Goldwyn, Louis J. Selznick, Nicholas and Joseph M. Schenck and others."102 The Jews who ran and still run Hollywood have worked together to produce dozens of Holocaust films. The screenplays, dramatizations designed to pander to the emotions, have, as directed by movie professionals and acted by sympathetic, attractive film stars, attained the stature of historical fact. "Holocaust history" came to life at the movies. Kenyataan bahwa para pendiri sesungguhnya Holywood orang-orang Yahudi lebih jauh

h. 145 dibenarkan oleh satu alinea dari sejarah populer dari seorang profesor Yahudi tentang bangsanya sendiri: Sejak awal, kaum Yahudi telah berperan utama di dalam bisnis, manajemen, dan pucuk kepemimpinan industri film. Di antara para produser film pelopor adalah orang-orang Yahudi yang jumlahnya mengesankan: Sigmund Lubin, Carl Laemmle, empat bersaudara Warner, William Fox, Marcus Loew, Adolf Zukor, Jack dan Harry Cohn, Louis B. Mayer, Jesse Lasky, Samuel Goldwyn, Louis J. Selznick, Nicholas dan Joseph M. Schenck, serta lain-lainnya.102 Orang-orang Yahudi yang dulu dan kini masih menjalankan Holywood telah bekerja bersama untuk menghasilkan lusinan film Holokaus. Permainan layar lebar, pembesar-besaran yang dirancang untuk mengguncang emosi telah, sebagaimana diarahkan oleh para ahli perfilman dan dimainkan oleh bintang-bintang film yang menarik simpati dan elok, meraih harkat kenyataan sejarah. Holokaus sejarah menjadi hidup di dalam film. In Dalia Sayah's series "The Holocaust and the Movies," she describes how Hollywood opened her heart to the Holocaust: "'They have no tombs, but their memory will last until the end of time' Hollywood and its cinema circles have embraced this idea so strongly that there have been many films with overblown scripts and distorted episodes from the [German] camps of the Second World War."103 In the October 13, 1989 issue of Shalom one reads: "the inevitable rise of the independent Jewish movie producers is celebrated in the Fifth Jewish Film Festival As in the preceding years, Holocaust movies were the top movies." Di dalam serialnya The Holocaust and The Movies (Holokaus dan Film), Dalia Sayah melukiskan bagaimana Holywood membuka hatinya bagi Holokaus. Mereka tak bernisan, namun kenangan mereka akan abadi sampai akhir zamanHolywood dan lingkaran filmnya telah menganut gagasan ini demikian kuatnya sehingga ada banyak film dengan alur-alur yang digelembungkan dan peristiwa-peristiwa yang disimpangkan dari kamp-kamp [Jerman] Perang Dunia II.103 Dalam Shalom terbitan tanggal 13 Oktober 1989, tertulis: kebangkitan tak terbendung para produser Yahudi yang mandiri dirayakan di Festival Film Yahudi Ke-5 Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, film-film Holokaus adalah film-film puncak. Here are some of the most important of the movies which were produced by such Jewishowned or -run companies as Warner Bros., Golan-Globus, Metro Goldwyn Mayer, Twentieth Century Fox, Paramount Pictures, and Columbia Pictures. Berikut ini beberapa film terpenting yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau dijalankan oleh orang-orang Yahudi seperti Warner Bros, Golan-Globus, Metro Goldwyn Mayer, Twentieth Century Fox, Paramount Pictures, dan Columbia Pictures.

h. 146

Genocide (1981): This documentary, which earned (well, gained) its producer, the Simon
Wiesenthal Center, an Oscar, is narrated by Orson Welles and Elizabeth Taylor. Available with subtitles in six different languages. Night and Fog (1956): Directed by Alain Resnais, one of the more effective, though no less deceitful, Holocaust documentaries. Relies heavily on post-capture footage from the concentration camps. Escape from Sobibor(1987): Survivor derring-do in a mass uprising and escape from the alleged extermination camp. Shoah (1985): This two-part film, directed and produced by Claude Lanzmann, lasts a numbing nine and a half hours. Shoah, one of the most celebrated films on the Holocaust, includes the "testimony" of the mendacious "eyewitness" Abraham Bomba. Lanzmann described this film to the public as not simply a movie, but a documentary. If people understood that the "memories," such as those of Bomba, on which the film is largely based, are false, what would be left of Shoah's credibility?

Genocide (Genosida, 1981): Film dokumenter ini, yang memenangkan (ya, meraihkan)
sebuah piala Oscar bagi produsernya Simon Wiesenthal Center, dibintangi Orson Elles dan Elizabeth Taylor. Tersedia dengan teks di dalam enam bahasa. Night and Fog (Malam dan Kabut, 1956): Disutradarai oleh Alain Remais, salah satu dokumenter Holokaus yang lebih efektif namun tak kurang menipunya. Sangat mengandalkan pada pengambilan gambar pasca-penaklukan kamp-kamp konsentrasi. Escape from Sobibor (Pelarian dari Sobibor, 1987): Tindakan kepahlawanan tawanan dalam sebuah pemberontakan massal dan pelarian dari yang disangka kamp kematian. Shoah (Holokaus, 1985): Film dua bagian ini, disutradarai dan diproduksi oleh Clause Lanzmann, bermasa putar yang membuat badan kaku 9,5 jam. Shoah, salah satu film Holokaus yang paling terkenal, mencakup testimoni dari saksi mata pembohong Abraham Bomba. Lanzmann menggambarkan film ini kepada umum sebagai bukan sekedar sebuah film, namun sebuah dokumenter. Jika orang mengetahui bahwa kenang-kenangan, seperti milik Bomba, pada mana sebagian besar fim ini didasarkan, adalah kebohongan, apa yang akan tertinggal dari nama harum Shoah?

Kitty Return to Auschwitz: A drama embellished by delirious allegations about Auschwitz. Warsaw Ghetto (1969): Black and white, 51 minutes long, produced in 1969, this film tells
the story of the 1943 Jewish uprising. War and Love (1984): This film, written by Abby Mann, directed by Moshe Mizrahi, and based on Jack Eisner's kitschy book The Survivor, jerks many a simple-minded tear. Reunion: Jason Robards plays a Jew returning home to Stuttgart, where he grew up as the Nazis came to power. Flashbacks supply the obligatory jackboots and armbands. Directed by Jerry Schatzberg, screenplay by Harold Pinter. War and Remembrance (1988): Jane Seymour (as "Natalie") played the lead, amid a cast of thousands, in this (much bloated) television mini-series, perhaps more memorable for the (albeit wooden) performance of erstwhile Holocaust skeptic Robert Mitchum. The Boat Is Full (1983): This movie launched the Jewish onslaught on Switzerland. It blames the Swiss for not taking in enough Jews during the war.

h. 147

Kitty Return to Auschwitz (Kitty Kembali ke Auschwitz): Sebuah sandiwara yang


dipenuhi dengan persangkaan-persangkaan mengigau tentang Auschwitz. Warsaw Ghetto (Ghetto Warsawa, 1969): Film hitam-putih bermasa putar 51 menit, tentang kisah pemberontakan Yahudi tahun 1943. War and Love (Perang dan Cinta, 1984): Film ini, ditulis oleh Abby Mann, disutradarai oleh Moshe Mizrahi, dan berdasarkan pada buku berselera rendah Jack Eisner The Survivor (Yang Selamat), mengucurkan air mata banyak orang berpikiran sederhana. Reunion (Berkumpul Kembali): Jason Robard memerankan seorang Yahudi yang pulang ke rumah di Stuttgart, tempat ia dibesarkan selagi Nazi merebut kekuasaan. Kilas-kilas balik memasok sepatu lars dan pita lengan [pasukan SS] yang wajib. Disutradarai oleh Jerry Schatzberg, alur cerita oleh Harold Pinter. War and Remembrance (Perang dan Kenang-Kenangan, 1988): Jane Seymour (sebagai Natalie) memainkan peran utama, dari antara ribuan calon, pada serial pendek televisi (yang banyak dipuji) ini, mungkin lebih dikenang untuk penampilan (sekalipun kaku) orang yang sebelumnya ragu akan Holokaus, Robert Mitchum. The Boat is Full (Perahunya Penuh, 1983): Film ini meluncurkan pembantaian Yahudi di Swiss. Film ini menyalahkan Swiss karena tidak menampung cukup Yahudi selama perang.

Au Revoir les Enfants (1987) (Good-bye, Children): Director Louis Malle recounts the story
of the escape of a Jewish child sheltered at a Catholic boarding school in France. No attempt to explain why the great majority of French Jews were never deported. The Twisted Cross(1953): Hitler and the Nazis in the by now (even by then!) hackneyed "documentary" format point of view can only be described as twisted. Hanna's War: Maruschka Detmers in the role of Hanna Senesh, a young Jewish woman from Palestine executed as a spy by the Germans in 1944. The Wannsee Conference (1984): Affects to dramatize the conference that supposedly plotted the genocide from the Wannsee documents, but in fact is based on much postwar material such as alleged quotes from Eichmann while in Israeli captivity. Mephisto (1981): Saga of an egomaniacal German actor who makes a devil's bargain with the Nazis to further his career. No chance of anything like that in today's Hollywood! The Murderers Among Us(1989): This movie is based on the "Nazi hunter's" life story not the firmest guarantee of historical authenticity. Ben Kingsley portrays Wiesenthal.

Au Revoir les Enfants (Selamat Tinggal Anak-anak, 1987): Sutradara Louis Malle
mengisahkan kembali cerita pelarian seorang anak Yahudi yang ditampung di sebuah sekolah asrama Katolik di Perancis. Tidak ada upaya untuk menjelaskan mengapa sebagian terbesar Yahudi Perancis tidak pernah diusir keluar. The Twisted Cross (Salib yang Tertekuk, 1953): Hitler dan kaum Nazi di dalam format dokumenter yang kini (bahkan dulu!) basi sudut pandangnya hanya dapat digambarkan sebagai menyimpang. Hannas War (Perang bagi Hanna): Maruschka Detmers berperan sebagai Hanna Senesh, seorang perempuan muda Yahudi dari Palestina yang dihukum mati sebagai seorang mata-mata oleh

h. 148 Jerman di tahun 1944. The Wannsee Conference (Konperensi Wannsee, 1984): Hasrat untuk membesar-besarkan konperensi yang diperkirakan merancang genosida dari dokumen-dokumen Wannsee, namun nyatanya banyak berdasarkan pada bahan-bahan pascaperang seperti yang disangka penuturanpenuturan Eichmann selagi ditawan Israel. Mephisto (1981): Hikayat seorang bintang peran Jerman yang egomaniak (amat memuja diri) yang membuat kesepakatan jahat dengan kaum Nazi untuk memajukan karirnya. Tak ada kesempatan sesuatu yang seperti ini di Holywood masa kini! The Murderers Among Us (Para Pembunuh di Antara Kita, 1989): Film ini berdasarkan pada kisah hidup pemburu Nazi bukan jaminan terkuat bagi keaslian sejarahnya. Ben Kingsley memotret Wiesenthal. Numerous other movies, all exploiting the emotions with false versions of the Holocaust, have been watched and mistaken for documentary evidence by many more millions. In April 1990 a filmography listing virtually all of the movies devoted to the Holocaust to date was published by the Jewish Films Archive at the Hebrew University in Jerusalem. The book, titled Films of the Holocaust, was compiled by the director of the Israel Film Institute, Sheba F. Skirball, and subsequently published in the United States. Most of the films listed are held at Yad Vashem and at Beit Lohamei Hagetaot (the Ghetto Fighters Museum). This filmography, which includes films in twenty-four languages, comprises around a thousand titles and a general description of each. There is also a Spielberg Jewish Films Archive, which includes Holocaust movies and is a branch of the World Zionist Organization. Thanks to all this filmmaking, and despite the fact that not a single Jew was gassed during the Second World War, over the decades that have followed the war vast audiences in theaters and in their homes have watched spellbound as Holocaust film after Holocaust film brought the gas chamber stories to life. By the end of each showing, most viewers accepted the allegation that "6 million Jews died in the gas chambers" as fact. Six million Jews weren't killed in gas chambers, but many more than six million onlookers have been deceived into thinking they had been. Banyak film lain, semuanya mempermainkan emosi dengan versi keliru Holokaus, telah ditonton dan salah dianggap sebagai bukti dokumenter oleh jutaan orang. Di bulan April 1990, sebuah filmografi yang mendaftarkan hampir semua film yang diabdikan demi Holokaus hingga saat itu diterbitkan oleh Arsip Film Yahudi di Universitas Hebrew di Yerusalem. Buku itu, berjudul Films of the Holocaust, disusun oleh sutradara Institut Film Israel, Sheba F. Skirball, dan selanjutnya diterbitkan di Amerika Serikat. Kebanyakan film yang terdaftar disimpan di Yad Vashem dan Beit Lohamei Hagetaot (Museum Pejuang Ghetto). Filmografi ini, yang mencakup film-film di dalam 24 bahasa, berisi sekitar seribu judul beserta uraian umum masing-masing. Ada juga Arsip Film Yahudi Spielberg, yang mencakup film-film Holokaus dan merupakan sebuah cabang World Zionist Organization (WZO). Berkat semua pembuatan film ini, dan sekalipun kenyataan bahwa tak seorang Yahudi pun digas selama Perang Dunia II, selama beberapa dasawarsa setelah perang, jutaan penonton di bioskop-bioskop dan rumah-rumah telah menyaksikan dengan ternganga sambil satu demi satu film

h. 149 Holokaus menghidupkan kisah-kisah kamar gas. Di akhir tiap pertunjukan, sebagian besar penonton menerima persangkaan bahwa 6 juta orang Yahudi mati di kamar-kamar gas sebagai kenyataan. 6 juta orang Yahudi tidak dibunuh di kamar-kamar gas, namun lebih dari 6 juta penonton telah ditipu agar berpikir demikian. What consequences does accepting the Holocaust myth entail? One of them is very simple: Accepting the legend serves to justify Israel's occupation of Palestine. Thus while Israel, often by resorting to aggressive and terrorist measures, has usurped the homeland of an innocent people, it is Israel that passes for the haven of the innocent and oppressed. That way those who have risen up in legitimate rebellion against the Israeli occupiers can be easily equated with the alleged Nazi executioners and their imaginary gas chambers. The Holocaust legend is used to justify Jewish control not just of Israel, but also in other countries. Whoever criticizes the extraordinary influence Jews exercise in American politics is easily painted as a Nazi. A power strong enough to write the official history of the Second World War and beyond is also able to conceal its role. Apakah akibat-akibat yang dilibatkan oleh penerimaan dongeng Holokaus? Salah satunya amat sederhana: menerima dongeng ini berguna untuk membenarkan pendudukan Israel atas Palestina. Jadi, selagi Israel, sering dengan memakai cara-cara kasar dan teroris, merampas tanah air orang-orang yang tak bersalah, Israel-lah yang diajukan sebagai penampungan bagi orang-orang yang tak bersalah dan tertindas. Dengan demikian, mereka yang bangkit di dalam pemberontakan yang sah terhadap orang-orang Israel penjajah dapat dengan gampang disamakan dengan para tersangka algojo Nazi beserta kamar-kamar gas khayal mereka. Dongeng Holokaus dipakai untuk membenarkan kekuasaan Yahudi tidak hanya atas Israel, namun juga di negara-negara lain. Siapa pun yang mengecam pengaruh luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi di dalam politik Amerika dengan mudah dicap sebagai seorang Nazi. Sebuah kekuatan yang cukup kuat untuk menulis sejarah resmi Perang Dunia II dan sesudahnya juga mampu untuk menyembunyikan perannya.

'Schindler's List'
The most recent Holocaust movie blockbuster, Schindler's List, differs from the usual Holocaust film fare in an important respect. Directed by the Jewish filmmaker Steven Spielberg, Schindler's List did not include the obligatory gas chamber scene, and could even be said to have, in an indirect way, denied the gas chambers! The audience for this film encountered some novel dialogue, including an interesting exchange among a group of Jewish women in a concentration camp. One of them claims that she has heard that the Nazis would be not satisfied by putting them to work, but would send them to the death camp at Auschwitz. She explains that the Nazis have set a trap for them there, that they will drive them into the shower room and then kill them all by releasing gas instead of water. Another Jewish woman interrupts to say that the first woman needn't worry. She claims that the Nazis need

h. 150 Jewish labor to continue the war, and that they will continue to exploit Jews for their work instead of exterminating them.

Schindlers List
Film Holokaus terlaris yang terbaru, Schindlers List (Daftar Schindler), berbeda umpan dengan film Holokaus yang biasanya pada sebuah segi penting. Disutradarai oleh Steven Spielberg, Schindlers List tidak mengandung adegan wajib kamar gas, dan bahkan boleh dikatakan, secara tak langsung, menyangkal kamar gas! Para penonton film ini mendapati sejumlah percakapan baru, mencakup satu perbincangan menarik sekelompok perempuan Yahudi di sebuah kamp konsentrasi. Salah seorang dari mereka mengaku telah mendengar bahwa kaum Nazi tidak akan puas sekedar menyuruh mereka bekerja, namun akan mengirimkan mereka ke kamp kematian di Auschwitz. Ia menjelaskan bahwa kaum Nazi telah membuat sebuah jebakan bagi mereka di sana, bahwa Nazi akan menghalau mereka ke kamar bilas dan lalu membunuh mereka semua dengan menyemprotkan gas, bukannya air. Seorang perempuan Yahudi lainnya menyela untuk mengatakan bahwa perempuan pertama tak usah cemas. Ia menyatakan bahwa kaum Nazi memerlukan buruh Yahudi untuk meneruskan perang, dan akan terus memeras kaum Yahudi untuk bekerja, bukan memusnahkannya. Toward the end of the film, Jewish women are indeed sent to Auschwitz. There they are led into the showers. The audience awaits their gassing. Just then the tempo of the music increases, suddenly the electricity goes off, and the Jewish women start to scream. Then, with tension at a peak, not gas but water! springs from the pipes, and the Jewish women's mortal fear gives way to relief. In other words, in Steven Spielberg ' s Schindler's List the gas chambers never make an appearance. On the contrary, Jews that the Holocaust literature mandates be killed in the gas chambers receive, instead, a cleansing shower. As might have been expected, Claude Lanzmann, producer-director of the well-known Shoah, protested vigorously to Spielberg after the release of Schindler's List. Lanzmann said that a film without a gas chamber scene would not be Holocaust film. What is the significance of Spielberg's omitting a gas chamber scene from Schindler's List? One answer that may make sense: Spielberg was aware of the recent blows to the gas chamber lie, and didn't want his film to suffer from similar criticism. In place of the increasingly vulnerable gas chamber claims, he preferred to stir up emotions by focusing on Nazi psychopaths whose weapons were whips, rifles, and the like. Menuju akhir film, para perempuan Yahudi benar-benar dikirim ke Auschwitz. Di sana mereka dibawa ke ruang bilas. Para penonton menantikan penggasan mereka. Saat itulah, tempo musik bertambah, tiba-tiba listrik mati, dan para perempuan Yahudi mulai menjerit. Lalu, dengan ketegangan mencapai puncaknya, bukan gas namun air! memancar keluar dari pipa-pipa, dan ketakutan kaum perempuan Yahudi akan kematian berganti menjadi kelegaan.

h. 151 Dengan kata lain, di dalam film Steven Spielberg Schindlers List, kamar-kamar gas tidak pernah tampil. Sebaliknya, orang-orang Yahudi yang ditetapkan kepustakaan Holokaus untuk dibunuh di kamar-kamar gas menerima, malahan, bilasan mandi. Sebagaimana dapat diharapkan, Claude Lanzmann, produser-sutradara film terkenal Shoah, berapi-api mengecam Spielberg setelah peluncuran Schindlers List. Lanzmann mengatakan bahwa sebuah film tanpa adegan kamar gas tidak akan menjadi film Holokaus. Apakah arti penting penghilangan adegan kamar gas dari Schindlers List oleh Spielberg? Satu jawaban yang masuk akal: Spielberg sadar akan pukulan-pukulan terakhir terhadap dusta kamar gas, dan tidak ingin filmnya menderita kecaman serupa. Menggantikan pengakuanpengakuan kamar gas yang kian mudah diserang, ia lebih memilih mengaduk emosi dengan memusatkan perhatian kepada para psikopat (penderita kelainan jiwa) Nazi yang senjatanya adalah cambuk, senapan, dan yang sejenisnya.

The Truth About the Piles of Hair and Clothes


Everything that has been said so far has demonstrated many times over that the exterminationists haven't a shred of evidence with which to back up the Holocaust myth. That's why they have been forced to exploit the emotions. One prominent means of this has been the collections of large quantities of clothes, shoes, and human hair, long presented to the public as relics of the six million Jews massacred in the Holocaust. The press has given this sensational coverage, and the piles of hair, clothes, and shoes have become staples at Holocaust museums, where they have been viewed by throngs of reverential visitors. The sight is an emotional one, and for the "man in the street" it suffices. Faced with such tangible proof, who can doubt the Holocaust?

Kebenaran tentang Tumpukan Rambut dan Pakaian


Semua yang telah dikatakan sejauh ini telah berkali-kali menunjukkan bahwa para eksterminasionis belum menyerahkan sepotong pun petunjuk untuk mendukung dongeng Holokaus. Itulah mengapa mereka terpaksa bermain emosi. Satu cara terkemuka hal ini adalah kumpulan sejumlah besar pakaian, sepatu, dan rambut manusia, lama disajikan kepada khalayak sebagai sisasisa 6 juta orang Yahudi yang dibantai semasa Holokaus. Media telah menyiarkan liputan menghebohkan ini, dan tumpukan rambut, pakaian, dan sepatu telah menjadi bahan pokok di museum-museum Holokaus, tempat tumpukan itu disaksikan oleh kerumunan pengunjung yang menaruh hormat. But do these clothes, shoes, and hair serve as evidence of the Holocaust when considered, not from an emotional, but a rational, scientific, and legal point of view? To whom did this alleged evidence belong? To answer this question, we must remember the conditions in the concentration camps. All the inmates, not just Jews, were subject to routine measures as soon as they arrived at the camps. To combat the spread of typhus and other contagions, the camp authorities mandated the following hygienic steps: The prisoners' hair was cut off, next they were showered and deloused, and then issued uniforms to wear. Wilhelm Stglich notes:

h. 152 What is never mentioned is that, for hygienic reasons, the hair was cut off all incoming prisoners before they were sent to the showers. Afterwards, they were given a uniform to wear. Their street clothes had to be turned over to the authorities, as is standard procedure in all prisons.104 Tetapi, apakah semua pakaian, sepatu, dan rambut ini berguna sebagai petunjuk Holokaus ketika ditelaah, tidak dari sudut pandang emosi, namun sudut pandang nalar, ilmiah, dan hukum? Milik siapakah yang disangka petunjuk ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengingat keadaan-keadaan di kamp konsentrasi. Semua tawanan, bukan hanya kaum Yahudi, adalah sasaran tindakan-tindakan rutin seketika mereka tiba di kamp. Untuk memerangi penyebaran tifus dan penyakit menular lainnya, pengelola kamp menetapkan langkah-langkah kesehatan berikut: rambut para tawanan dipangkas, lalu mereka dimandikan dan disucihamakan, dan selanjutnya diberikan seragam untuk dipakai. Wilhelm Stglich mencatat: Yang tidak pernah disebutkan adalah bahwa, demi alasan-alasan kesehatan, rambut dipangkas dari semua tawanan yang datang sebelum mereka dikirim ke ruangan bilas. Setelah itu, mereka diberikan seragam untuk dipakai. Pakaian jalan mereka harus diserahkan kepada pengelola, sebagaimana tatalaksana baku di semua penjara.104 The reason for these precautions lies in the manner in which typhus is transmitted. The typhus bacillus is chiefly borne by lice which infest, in particular, hair, and clothing. Thus people who don't or can't bathe often and who live at close quarters are particularly vulnerable to epidemics of typhus. That is why the new inmates were immediately showered, their hair cut, and their clothes exchanged for uniforms. The clothing, shoes, and hair that are exhibited in glass cases to museumgoers are not the relics of martyred Jews. On the contrary, they are evidence of the Germans' attempts to save Jewish lives from typhus. As David Cole comments: Everything that is used as evidence of the Holocaust also can be said to have a perfectly normal explanation. Alasan bagi tindakan kewaspadaan ini terletak pada cara tifus ditularkan. Basil tifus utamanya dibawa oleh tuma yang menetap di, khususnya, rambut, dan pakaian. Jadi, orang-orang yang tidak atau tidak bisa sering mandi dan hidup berdesakan khususnya mudah diserang wabah tifus. Inilah mengapa para tawanan baru segera dimandikan, rambut mereka dipangkas, dan pakaian mereka ditukar dengan seragam. Pakaian, sepatu, dan rambut dipamerkan di kotak-kotak kaca kepada pengunjung museum bukanlah sisa-sisa orang Yahudi yang berkorban. Sebaliknya, semua itu adalah petunjuk upaya-upaya Jerman menyelamatkan nyawa orang-orang Yahudi dari tifus. Sebagaimana diulas David Cole: Semua yang digunakan sebagai bukti Holokaus juga dapat dikatakan memiliki sebuah penjelasan yang sepenuhnya wajar. For example, these exhibits are said to be the material proofs of exterminations. There are the piles of human hair. But what does that prove? It is acknowledged that each inmate had his or her

h. 153 head shaved because of the lice problem. That's not denied, so why wouldn't there be piles of human hair? What about the piles of shoes and clothing? Is that a proof? It's a fact that the prisoners were issued a uniform upon arrival, including shoes. So why wouldn't there be piles of inmates' shoes and clothing? It doesn't prove anybody was killed.105 When considered rationally, it can be seen that the hair piles that the Holocaust promoters offer as "evidence" are in fact "anti-evidence." Jews brought to the camps had their hair cut. This, if anything, is an indication that the inmates were cared for in the death camps. Why cut the hair of people who would soon be killed in the gas chambers? Haircuts for the six million, one by one, before exterminating them in the gas chambers? Misalnya, benda-benda pamer ini dikatakan sebagai bukti material oleh para eksterminasionis. Ada tumpukan-tumpukan rambut manusia. Namun, apa yang dibuktikannya? Setiap tawanan diakui dicukur kepalanya karena masalah tuma. Itu tidak dibantah, jadi, mengapa di sana tak akan ada timbunan rambut manusia? Bagaimana dengan tumpukan sepatu dan pakaian? Apakah itu sepotong bukti? Adalah kenyataan bahwa para tawanan diberikan sepotong baju seragam saat kedatangan, termasuk juga sepatu. Jadi, mengapa tidak akan ada tumpukan sepatu dan pakaian tawanan? Hal ini tidak membuktikan seseorang dibunuh.105 Ketika menimbang secara nalar, tumpukan rambut yang disodorkan para penganjur Holokaus sebagai petunjuk dapat dilihat sebenarnya lawan petunjuk. Orang-orang Yahudi yang dibawa ke kamp-kamp dipangkas rambutnya. Ini, jika mesti berarti sesuatu, adalah sebuah petunjuk bahwa para tawanan diperhatikan di kamp-kamp kematian. Mengapa mencukur rambut orang-orang yang segera akan dibunuh di kamar-kamar gas? Mencukur 6 juta orang, satu per satu, sebelum memusnahkan mereka di kamar-kamar gas?

The Essence of the 'Jewish Soap' Story


One of the most fascinating and lurid stories to emerge from the alleged Holocaust is the claim that the Nazis made soap from the bodies of Jews they killed in the gas chambers. This wellknown tale has had an undeniable impact on people, and to this day millions are sure that it is true.

Saripati Cerita Sabun Yahudi


Salah satu kisah yang paling memukau dan mengerikan yang muncul dari yang disangka Holokaus adalah pernyataan bahwa kaum Nazi membuat sabun dari tubuh orang-orang Yahudi yang mereka bunuh di kamar-kamar gas. Cerita yang terkenal ini berpengaruh yang tak dapat dipungkiri pada masyarakat, dan hingga hari ini, jutaan orang yakin bahwa itu benar. In fact, similar rumors about the production of soap from human corpses were spread during the First World War, but they were admitted to be false soon after the war. At the Nuremberg trials

h. 154 held after the Second World War, however, the soap claims were "proved," and this awful calumny was repeated by historians for decades afterward. Rumors about Jews being made into soap were fostered by the initials RIF, which appeared on bars of soap distributed in the German area of occupation. Soon after the appearance of this soap, there was a shocking "discovery": The letters RIF stood for Rein Jdisches Fett, that is, "Pure Jewish Fat"! According to the story spawned by this imaginative interpretation, the Nazis were not satisfied with killing the Jews in gas chambers, but went on to make soap from their remains and finally, and perhaps most repellently, distributed this soap to surviving Jews for their personal use. Nyatanya, desas-desus serupa tentang pembuatan sabun dari mayat manusia telah beredar selama Perang Dunia I, namun diakui sebagai dusta segera setelah perang. Akan tetapi, di pengadilan-pengadilan Nuremberg yang diselenggarakan setelah Perang Dunia II, pernyataanpernyataan sabun ini dibuktikan, dan fitnah mengerikan ini telah diulang oleh para sejarawan selama berpuluh-puluh tahun setelahnya. Desas-desus tentang orang Yahudi dibuat menjadi sabun ditimbulkan oleh inisial RIF, yang tampak pada batangan sabun yang diedarkan di wilayah pendudukan Jerman. Segera setelah kemunculan sabun ini, ada penemuan mengejutkan: singkatan RIF berkepanjangan Rein Jdisches Fett, yakni, Lemak Yahudi Murni! Menurut cerita yang dikembangkan penafsiran khayali ini, kaum Nazi tidak puas dengan membunuh kaum Yahudi di kamar gas, dan melanjutkan dengan membuat sabun dari mayat-mayat mereka dan akhirnya, serta, mungkin yang paling menjijikkan, mengedarkan sabun ini kepada orang-orang Yahudi yang masih hidup untuk pemakaian pribadinya. The soap rumor spread rapidly during 1941 and 1942. The American Zionist leader and head of the American Jewish Congress (AJC), Stephen Wise, stated in 1942 that Jewish corpses "were being processed into soap, fats and fertilizer" by the Nazis. Toward the end of that year, the AJC's Congress Weekly published a grisly story about the transformation of Jews into "fertilizer, soap and glue." Another article in the same issue reported that Jews from France and Holland had been turned into "train oil" in German factories. At the beginning of 1943, the influential New Republic wrote that the Nazis were producing soap from Jewish corpses in a factory in Siedlce (Poland). In 1943, leading Russian Jew Solomon Mikhoels addressed mass meetings in various cities across America at which he displayed soap allegedly made from Jews. After the war, bars of this "Jewish soap" bearing the initials "RIF" were collected. Some of the alleged human soap was brought to Nuremberg for the trials, where it received the evidence number USSR-393. After minimal consideration of the evidence, the Nuremberg judges ruled that human remains had been used in the production of this soap. Desas-desus sabun cepat menyebar selama tahun 1941 dan1942. Pemimpin Zionis Amerika dan ketua American Jewish Congress (AJC), Stephen Wise, menyatakan di tahun 1942 bahwa mayat-mayat Yahudi sedang diolah menjadi sabun, gemuk, dan pupuk oleh kaum Nazi.

h. 155 Menjelang akhir perang, media AJC Congress Weekly menerbitkan sebuah kisah menyeramkan tentang pengubahan orang Yahudi menjadi pupuk, sabun, dan lem. Artikel lain di terbitan yang sama melaporkan bahwa orang-orang Yahudi dari Perancis dan Belanda telah diubah menjadi oli kereta di pabrik-pabrik Jerman. Di awal tahun 1943, suratkabar berpengaruh New Republic menulis bahwa kaum Nazi menghasilkan sabun dari mayat-mayat orang Yahudi di sebuah pabrik di Siedlce, Polandia. Di tahun 1943, seorang Yahudi Rusia terkemuka Solomon Mikhoels berpidato di rapat-rapat umum di berbagai kota seantero Amerika di mana ia memamerkan sabun yang disangka dibuat dari orang Yahudi. Setelah perang, batangan-batangan sabun Yahudi yang mengandung singkatan RIF dikumpulkan. Sebagian dari yang disangka sabun manusia ini dibawa ke Nuremberg untuk disidangkan, tempat sang sabun menerima nomor petunjuk USSR-393. Setelah pemeriksaan sebentar petunjuk ini, para hakim Nuremberg menetapkan bahwa sisa-sisa manusia telah digunakan di dalam pembuatan sabun ini. In the postwar years, a number of interesting rites took place, centering on bars of soap. In 1948, a number of "RIF" soap bars were buried in a cemetery in Haifa, Israel to the accompaniment of Jewish rituals and many tears. Numerous bars of "Jewish soap" have been displayed at various places, including Holocaust museums in Israel, in Europe, and in America. Jewish concentration camp "survivors" have provided additional dramatic embroidery to the Jewish soap story. Di tahun-tahun pascaperang, sejumlah upacara menarik berlangsung, berpusat pada batanganbatangan sabun. Di tahun 1948, beberapa batang sabun RIF dikuburkan di sebuah pemakaman di Haifa, Israel dengan iringan upacara-upacara agama Yahudi dan linangan air mata. Banyak sekali batangan sabun Yahudi telah dipamerkan di berbagai tempat, termasuk museum-museum Holokaus di Israel, Eropa, dan Amerika. Orang-orang Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi memberikan tambahan renda memilukan bagi cerita sabun Yahudi. Ben Edelbaum, in his book Growing Up in the Holocaust, tells us how it felt to find out that the bar of soap he was using was made from the fat of his fellow Jews. Another survivor, Nesse Godin, told how Jewish inmates would break down on hearing they were washing with soap made from their dead kin. A former inmate of Auschwitz, Mel Mermelstein, is portrayed in a made-fortelevision movie, Never Forget(April 1991), proclaiming that it is an indisputable fact that Jews were converted to soap. Various "memoirs" from the Holocaust relate that the SS derived special pleasure from using "Jewish soap" in their personal ablutions. Journalist and popular historian William L. Shirer's vastly successful Rise and Fall of the Third Reich is only one example of the many books on the Holocaust that have given the Jewish soap canard the stamp of authenticity. Yet the facts are otherwise. American revisionist historian Mark Weber treats the soap story in detail in his article "Jewish Soap," which appeared in the summer 1991 issue of The Journal of Historical Review. As Weber establishes, the RIF abbreviation on German wartime soap did not stand for "Rein Jdisches Fett," but rather for Reichsstelle fr Industrielle Fettversorgung, that is, the Reich Office for Industrial Fat Provisioning. The RIF was a German agency responsible for

h. 156 producing and distributing soap and cleaning materials. RIF soap was of poor quality and contained no fat at all, human or otherwise.106 Ben Edelbaum, di dalam bukunya Growing Up in the Holocaust (Dibesarkan di dalam Holokaus), menuturkan bagaimana rasanya mendapati batang sabun yang dipakainya dibuat dari lemak sesama Yahudi. Orang yang selamat lainnya, Nesse Godin, bertutur bagaimana para tawanan Yahudi akan hancur hatinya mendengar mereka mencuci dengan sabun yang dibuat dari saudarasaudaranya yang mati. Mantan tawanan Auschwitz, Mel Mermelstein, dilukiskan di dalam sebuah sinetron Never Forget (Jangan Lupakan, April 1991), mengumumkan bahwa kaum Yahudi diubah menjadi sabun adalah sebuah kenyataan tak tersangkalkan. Berbagai memoar dari Holokaus menceritakan bahwa SS memperoleh kesenangan khusus dari menggunakan sabun Yahudi sewaktu berbersih diri. Buku wartawan dan sejarawan terkenal William L. Shirer yang amat laris Rise and Fall of the Third Reich (Bangkit dan Jatuhnya Reich Ketiga) hanyalah satu contoh dari banyak buku tentang Holokaus yang telah memberikan desas-desus sabun Yahudi stempel keabsahan. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Sejarawan revisionis Amerika Mark Weber membahas kisah sabun secara rinci di dalam artikel Jewish Soap (Sabun Yahudi), yang muncul di terbitan musim panas 1991 The Journal of Historical Review. Sebagaimana dibuktikan Weber, singkatan RIF pada sabun masa perang Jerman bukan berkepanjangan Rein Jdisches Fett, melainkan Reichsstelle fr Industrielle Fettversorgung (Kantor Reich bagi Penyediaan Lemak Industri). RIF adalah sebuah badan Jerman yang bertanggungjawab bagi pembuatan dan peredaran sabun dan bahan-bahan pembersih. Sabun RIF bermutu rendah dan tidak mengandung lemak sama sekali, baik lemak manusia maupun lemak lainnya.106 The reality regarding RIF soap began to emerge not long after the war. The public prosecutor's office in Flensburg, Germany, began an investigation into whether Dr. Rudolf Spanner had made soap from human fat at the Danzig Institute, as charged at Nuremberg. After a short while the investigation was quietly dropped. In 1968 the Flensburg prosecutor's office declared that the inquiry had found no evidence to indicate that the soap in question had been produced from human remains.107 Kenyataan mengenai sabun RIF mulai muncul tak lama setelah perang. Kantor penuntut umum di Flensburg, Jerman, memulai sebuah penyelidikan mengenai apakah Dr. Rudolf Spanner telah membuat sabun dari lemak manusia di Institut Danzig, sebagaimana dituduhkan di Nuremberg. Tak berapa lama kemudian, diam-diam penyelidikan ini dipeti-eskan. Di tahun 1968, kantor penuntut umum Flensburg mengumumkan bahwa penyelidikan itu tidak menemukan petunjuk bahwa sabun yang menjadi masalah telah dihasilkan dari sisa-sisa manusia.107 The public collapse of the Jewish soap lie, however, came when several leading exterminationist historians came clean, so to speak, on the matter. In his book The Terrible Secret, published in 1980, the noted Jewish historian Walter Laqueur acknowledged that the Jewish soap rumor was not true. A second Jewish writer on the Holocaust, Gitta Sereny, made a similar admission in her book Into That Darkness, writing: "The universally accepted story that the corpses

h. 157 were used to make soap and fertilizer is finally refuted by the generally very reliable Ludwigsburg Central Authority for the Investigation of Nazi Crimes." Another Jewish historian, Deborah Lipstadt, declared in 1981: "The fact is that the Nazis never used the bodies of Jews, or for that matter anybody else, for the production of soap." Finally, in 1990 the renowned Holocaust scholar Professor Yehuda Bauer, of the Hebrew University in Jerusalem, was constrained to confess that the claim that Jews were made into soap was quite untrue.108 Why, during the 1980s, did the leading Holocaust promoters begin abandoning a lie they had been defending, or at least countenancing, for years? Mark Weber answers this question as follows: "The Jewish soap allegation relied upon no proof and it was even less logical than the gas chamber allegation. It was thought that it would be inappropriate to defend such an absurd allegation as Jewish soap in a period when the revisionist historians were proving false all the issues of the holocaust allegation one by one, including the gas chambers." Israeli scholar Shmuel Krakowski, director of archives at Yad Vashem, has admitted as much, writing that to defend such an incredible claim as the Jewish soap story would only help the revisionists. As Mark Weber makes clear, the mythologists of the Holocaust seem to have decided to jettison their most obvious lies in order to try and save the good ship "Holocaust" from going down. Akan tetapi, keruntuhan umum dusta sabun Yahudi datang ketika sejumlah sejarawan eksterminasionis terkemuka berkata jujur, boleh dikatakan begitu, tentang masalah ini. Di dalam bukunya, The Terrible Secret (Rahasia yang Mengerikan), yang terbit tahun 1980, sejarawan Yahudi tersohor Walter Laqueur mengakui bahwa desas-desus sabun Yahudi tidak benar. Seorang penulis Yahudi kedua tentang Holokaus, Gitta Sereny, membuat pengakuan yang sama di dalam bukunya Into That Darkness (Memasuki Kegelapan Itu), dengan menulis: Kisah yang luas diterima bahwa mayat-mayat dipakai membuat sabun dan pupuk akhirnya dibantah oleh Otoritas Pusat bagi Penyelidikan Kejahatan Nazi Ludwigsburg yang secara umum amat terpercaya. Sejarawan Yahudi lainnya, Deborah Lipstadt, mengumumkan di tahun 1981: Kenyataannya adalah kaum Nazi tak pernah memakai tubuh-tubuh orang Yahudi, atau dalam hal itu, orang mana pun, untuk pembuatan sabun. Akhirnya, di tahun 1990, cendekiawan Holokaus ternama Profesor Yehuda Bauer dari Universitas Hebrew di Yerusalem, terpaksa mengakui bahwa pernyataan orang Yahudi diolah menjadi sabun amat tidak benar.108 Mengapa, selama 1980-an, para penganjur terdepan Holokaus mulai melepaskan sebuah dusta yang telah mereka bela, atau setidaknya mereka akui sebagai mungkin, selama bertahun-tahun? Mark Weber menjawab pertanyaan ini sebagai berikut: Persangkaan sabun Yahudi tidak bersandar pada bukti dan bahkan lebih tak masuk akal daripada persangkaan kamar gas. Terpikir oleh mereka bahwa tak patut membela persangkaan yang seganjil sabun Yahudi di sebuah masa ketika para sejarawan revisionis sedang membuktikan keliru semua masalah persangkaan holokaus satu per satu, termasuk kamar gas. Cendekiawan Israel Shmuel Krakowski, direktur arsip di Yad Vashem, telah mengakui demikian, dengan menulis bahwa membela pernyataan yang seluar biasa sabun Yahudi hanya akan membantu para revisionis. Sebagaimana diterangkan Mark Weber, para pendongeng Holokaus tampak telah memutuskan untuk membuang dusta-dusta mereka yang paling menyolok demi mencoba menyelamatkan kapal bagus Holokaus dari keterkaraman.

h. 158

'Final Solution' Did Not Mean 'Mass Extermination'


Holocaust mythologists have ascribed great importance to the dubious documents of the Wannsee Conference, supposedly held on January 20, 1942, as mentioned previously, because they maintain that these alleged proceedings contained the decision to exterminate the Jews. The exterminationists claim that the term "final solution" in the Wannsee "Protocol" confirms their point. On closer examination, however, it is evident that the "final solution" referred to in the Wannsee papers had nothing to do with exterminating the Jews. Section Three of the Wannsee "protocol" has some things to say about the "final solution." After it is stated in the first paragraph that "Instead of emigration the evacuation of the Jews to the east has arisen as a further possible solution," it is stressed in the second paragraph of the same section that in evacuating the Jews to the east "practical experience will be acquired, which, in respect to the coming final solution of the Jewish question, will be of great importance." Obviously future expertise in transport, rather than mass murder, is meant.

Pemecahan Akhir tidak Berarti Pemusnahan Massal


Para pendongeng Holokaus telah menyematkan nilai teramat penting pada dokumendokumen meragukan dari Konperensi Wannsee, yang diperkirakan diselenggarakan pada 20 Januari 1942, sebagaimana telah disebutkan, sebab mereka berpendapat bahwa yang disangka laporanlaporan rapat ini mengandung keputusan untuk memusnahkan kaum Yahudi. Para eksterminasionis menyatakan bahwa istilah pemecahan akhir di dalam Protokol Wannsee membenarkan pendapat mereka. Akan tetapi, pada pemeriksaan yang teliti, jelas bahwa pemecahan akhir yang dirujuk dokumen-dokumen Wannsee tidak berkaitan dengan pemusnahan kaum Yahudi. Bagian Tiga protokol Wannsee berbicara sedikit tentang pemecahan akhir. Setelah dinyatakan di alinea pertama bahwa Bukannya pemindahan ke luar negeri pengungsian kaum Yahudi ke arah timur telah muncul sebagai pemecahan lanjutan yang mungkin, hal ini ditekankan di alinea kedua ruas yang sama bahwa di dalam mengungsikan kaum Yahudi ke timur pengalaman langsung akan diperoleh, yang, mengingat datangnya pemecahan akhir masalah Yahudi, akan jadi amat penting. Jelas, kepakaran masa depan di dalam pengangkutan, bukan pembunuhan massal, yang dimaksudkan. Section Two of the Wannsee "protocol" provides evidence of the underlying motive for the "transfer of Jews to the east." In his book Was ist Wahrheit? (What Is Truth?), Paul Rassinier points out that Reinhard Heydrich, who convened the Wannsee Conference, stated the real purpose of the transfer of the Jews to east: It was to remove the Jews from the homeland of the German people. The exterminationists claim that the transfer of the Jews to the east was an initial stage in the extermination process, because the alleged extermination camps were in the east, i.e. in occupied Poland. Yet it is clear that the camps in question were not used for extermination. Hence, it is evident that the more likely objective of the transfer of the Jews eastward was simply, as Heydrich stated, to rid Germany of them. This was a new stage in the process of segregating Jews from Germans, and vice versa, which had been in effect for much of the preceding decade, thanks to the cooperation of Nazis and Zionists.

h. 159 Bagian Dua protokol Wannsee memberikan petunjuk niat yang mendasari bagi pemindahan Yahudi ke timur. Di dalam bukunya Was ist Wahrheit? (Apakah Kebenaran itu?), Paul Rassinier menunjukkan bahwa Reinhard Heydrich, yang mengetuai Konperensi Wannsee, menyatakan maksud sebenarnya pemindahan Yahudi ke timur: tujuannya adalah memindahkan kaum Yahudi dari tanah air rakyat Jerman. Pernyataan eksterminasionis bahwa pemindahan kaum Yahudi ke timur adalah sebuah tahap awal dalam proses pemusnahan, sebab yang disangka kampkamp pemusnahan ada di timur, yakni, di daerah Polandia yang diduduki. Namun, jelas bahwa kamp-kamp yang dipermasalahkan tidak dipakai untuk pemusnahan. Karena itu, nyatalah bahwa tujuan yang lebih mungkin dari pemindahan kaum Yahudi ke timur adalah sekedar, sebagaimana dinyatakan Heydrich, membersihkan Jerman dari mereka. Inilah tahap baru di dalam proses pemisahan kaum Yahudi dari bangsa Jerman dan sebaliknya, yang telah berlangsung sepanjang dasawarsa sebelumnya, berkat kerjasama kaum Nazi dan kaum Zionis. Yet these Jews were not merely to be isolated and transferred to the east. This was a temporary solution stemming from wartime circumstances. The "final solution" was to send these Jews to a Jewish state. The German government had earlier hoped to found a Jewish state in Madagascar through a project called the "Madagascar Plan." However, passages in the "protocol" that deal with this undertaking of the German government may well have been surreptitiously deleted from the pages that surfaced after the war: Thus one cannot rule out the possibility that a portion of the original typescript dealing with the Madagascar Plan was omitted in order to prevent the obvious identification of the term 'final solution,' which appears repeatedly in the 'Wannsee protocol,' with the plan of founding a Jewish homeland.109 The existing version of the Wannsee "protocol" contains significant illogicalities in the information it provides on the "final solution." For example, in the "protocol" one reads remarks such as: "The evacuated Jews are brought first group by group into the so-called transit ghettos, in order from there to be transported farther to the east," and "the Jews capable of work are, building roads, brought to these areas." Clearly the "protocol" gives contradictory information on the purpose of the transfer of the Jews to the east. It is difficult to decide whether the Jews were to be transferred east simply to await transfer farther eastward, or to be employed in building roads. Wilhelm Stglich makes the following observation on this confusion: Namun, orang-orang Yahudi ini tidak sekedar dikucilkan dan dipindahkan ke timur. Inilah pemecahan sementara yang timbul dari keadaan masa perang. Pemecahan akhir adalah mengirimkan orang-orang Yahudi ini ke sebuah negara Yahudi. Pemerintah Jerman sebelumnya telah berharap mendirikan sebuah negara Yahudi di Madagaskar lewat sebuah proyek yang disebut Rencana Madagaskar. Akan tetapi, kalimat-kalimat di dalam protokol yang berurusan dengan upaya pemerintah Jerman ini mungkin telah diam-diam dihapuskan dari halaman-halaman yang dimunculkan setelah perang. Jadi, orang tak dapat meniadakan kemungkinan bahwa satu bagian ketikan asli yang terkait dengan Rencana Madagaskar dibuang untuk mencegah penafsiran pasti istilah pemecahan akhir,

h. 160 yang muncul berkali-kali di dalam protokol Wannsee, dengan rencana mendirikan sebuah tanah air Yahudi.109 Versi kini protokol Wannsee mengandung ketidaknalaran cukup besar di dalam informasi yang diberikannya tentang pemecahan akhir. Misalnya, di dalam protokol orang membaca kata-kata seperti: Orang-orang Yahudi yang diungsikan dibawa dulu kelompok demi kelompok ke yang disebut ghetto alihan (transit), untuk dari sana diangkut lebih jauh ke timur, dan orang-orang Yahudi yang mampu bekerja membangun jalan, dibawa ke daerah-daerah ini. Jelas, protokol memberikan keterangan yang bertentangan tentang maksud pemindahan orang Yahudi ke timur. Sukar memutuskan apakah kaum Yahudi yang dipindahkan ke timur sekedar untuk menunggu pemindahan lebih jauh ke timur, atau dipekerjakan dalam pembangunan jalan. Wilhelm Stglich membuat pengamatan berikut tentang kebingungan ini: In fact one of the participants in the conference, State Secretary Bhler, brought up the transport problem the second time If one planned on having the Jews march to the east while building roads, transportation would not have been that much of a problem. This glaring contradiction would not appear in a completely authentic record of such an important conference. From it alone one must conclude that these two paragraphs of the Wannsee protocol, which are constantly invoked as a proof of extermination thesis, did not exist in the original document. Moreover, no plans for this combined death march and construction project are discussed in any other part of the 'Wannsee protocol.'110 Nyatanya, seorang peserta konperensi, Sekretaris Negara Bhler, mengangkat masalah pengangkutan kali kedua Jika orang merencanakan menyuruh kaum Yahudi berjalan kaki ke timur sambil membangun jalan, pengangkutan tidak akan menjadi masalah yang begitu berat. Pertentangan yang menyolok ini tidak akan tampak di dalam sebuah catatan yang sepenuhnya asli dari konperensi yang sedemikian penting. Dari itu sendiri, orang harus menyimpulkan bahwa kedua alinea protokol Wannsee ini, yang terus-menerus diangkat sebagai sebuah bukti tesis pemusnahan, tidak ada di dalam dokumen asli. Lebih-lebih, tidak ada rencana bagi proyek gabungan jalan kaki kematian dan pembangunan dibicarakan di bagian lain mana pun protokol Wannsee.110 Nowhere in the Wannsee "protocol" does one encounter the word "extermination." Therefore, the Holocaust mythologists have "decoded" "final solution" to mean "mass extermination," a totally fanciful interpretation. Even if we were to put all its contradictions aside, and suppose that the "protocol" were authentic despite those and other questions, the only conclusion we could safely derive from the document would be that the Jews were to have been transferred to the east, some of them to be employed as road workers, in order to remove them from the Germany. This was a fairly ordinary policy given the wartime circumstances, and had nothing to do with an extermination program. Some proponents of the Holocaust myth have acknowledged that the term "final solution" does not mean "mass extermination" at all. For example, the voice of Turkish Jewry, Shalom, declared in its April 10, 1991 issue: " The second important evidence is the Wannsee

h. 161 Conference protocol dated January 20, 1942, designated document no. 117. The most interesting aspect of this protocol is that it does not include any indication that 'final solution' means mass extermination." Tak di mana pun di dalam protokol Wannsee orang menemukan kata pemusnahan. Karena itu, para pendongeng Holokaus telah menguraikan pemecahan akhir sebagai bermakna pemusnahan massal, sebuah penafsiran yang sepenuhnya lucu. Bahkan jika kita menyisihkan semua pertentangannya, dan menganggap bahwa protokol ini asli sekalipun hal-hal itu dan masalah lainnya, satu-satunya kesimpulan yang dengan aman dapat kita tarik dari dokumen adalah orang-orang Yahudi harus dipindahkan ke timur, sebagian dipekerjakan sebagai pembangun jalan, untuk memindahkan mereka dari Jerman. Inilah kebijakan yang cukup biasa mengingat keadaankeadaan masa perang, dan tak berkaitan dengan program pemusnahan. Sebagian pendukung dongeng Holokaus telah mengakui bahwa istilah pemecahan akhir sama sekali tidak berarti pemusnahan massal. Misalnya, suara kaum Yahudi Turki, Shalom, menyatakan di dalam terbitan 10 April 1991: Bukti terpenting kedua adalah protokol Konperensi Wannsee bertanggal 20 Januari 1942, dengan nomor dokumen yang ditetapkan 117. Segi paling menarik protokol ini adalah tidak mencakup petunjuk apa pun bahwa pemecahan akhir berarti pemusnahan massal. Certain other documents pertaining to evacuating Jews to the east contain another expression beloved of the Holocaust mongers: "Special treatment." In the absence of anything like proof, the exterminationists have interpreted the term "special treatment" to mean "gas chambers." Like the previous "deciphering" of "final solution," this fanciful explanation is no more than an unsupported, and false, allegation. ("Special treatment," as used in the jargon of German officials during the war, could mean good treatment as well as ill in the camps.) As Arthur R. Butz writes, in The Hoax of the 20th Century: Dokumen-dokumen tertentu lainnya yang menyangkut pengungsian kaum Yahudi ke timur mengandung ungkapan lain yang disukai oleh para pengusung Holokaus: Perlakuan khusus. Di dalam ketiadaan sesuatu yang seperti bukti, para eksterminasionis menafsirkan istilah perlakuan khusus sebagai kamar gas. Seperti penguraian sebelumnya mengenai pemecahan akhir, penjelasan lucu ini tak lebih daripada persangkaan yang tanpa dasar dan keliru. (Perlakuan khusus, sebagaimana jargon di kalangan pejabat Jerman selama perang, bisa berarti perlakuan baik maupun buruk di kamp-kamp.) Sebagaimana ditulis Arthur R. Butz di dalam The Hoax of the 20th Century: Summarizing the situation with respect to documents which speak of Sonderbehandlung [special treatment], we may say that, while one can certainly raise questions regarding the authenticity of the relevant documents, it is nevertheless the case that even if all of the relevant documents are assumed authentic, they do not require an 'extermination' interpretation of those that apply to Auschwitz.111 Merangkum keadaan mengenai dokumen-dokumen yang membicarakan Sonderbehandlung

h. 162 [perlakuan khusus], kami bisa mengatakan bahwa, sementara orang pasti bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar keaslian dokumen terkait, demikianlah kejadiannya bahwa bahkan sekalipun dianggap asli, semua dokumen terkait tak meminta sebuah penafsiran pemusnahan seperti yang diterapkan kepada Auschwitz.111

The French academic Robert Faurisson comments on the term "final solution":
In short, one of the most important components of the Holocaust legend, the claim that the term 'final solution' designated a plan for the extermination of the Jews, turns out be totally unfounded. The last word on the subject could well be William Stglich's advice to 'bear in mind that the German Government never thought of "extermination" as the "Final Solution," but, at least since the beginning of the Madagascar Plan, understood it as settlement of the Jews in an independent State '112 Recent findings have strengthened the case against the interpretation of "final solution" as a codeword for mass extermination. Not long ago the renowned English historian David Irving obtained the memoirs of Adolf Eichmann in manuscript form. The thousand-page-long Eichmann memoirs, which Irving received after difficult negotiations with the government of Argentina, reveal the reality underlying the "final solution," in other words the essence of the Holocaust story. The London Observer (January 12, 1992) reports that Eichmann stated in his memoirs that he believed that in order to solve the Jewish problem the Jews should be sent to Madagascar.113

Akademisi Perancis Robert Faurisson mengulas istilah pemecahan akhir:


Singkatnya, salah satu unsur terpenting dongeng Holokaus, yaitu pernyataan bahwa istilah pemecahan akhir menetapkan sebuah rencana bagi pemusnahan kaum Yahudi, ternyata sepenuhnya tanpa dasar. Kata terakhir tentang masalah ini bisa jadi nasehat Wilhelm Stglich untuk mengingat bahwa Pemerintah Jerman tak pernah memikirkan pemusnahan sebagai Pemecahan Akhir, namun, setidaknya sejak awal Rencana Madagaskar, memahaminya sebagai pemukiman kaum Yahudi di sebuah negara tersendiri112 Temuan-temuan terkini telah memperkuat alasan menentang penafsiran pemecahan akhir sebagai sebuah kata sandi bagi pemusnahan massal. Belum berapa lama, sejarawan terkemuka Inggris David Irving memperoleh memoar Adolf Eichmann berbentuk naskah. Memoar seribu halaman Eichmann, yang diterima Irving setelah perundingan yang alot dengan pemerintah Argentina, mengungkapkan kenyataan yang mendasari pemecahan akhir, dengan kata lain, saripati kisah Holokaus. The London Observer (12 Januari 1992) melaporkan bahwa Eichmann menyatakan di dalam memoarnya bahwa ia percaya bahwa untuk memecahkan masalah Yahudi, kaum Yahudi harus dikirim ke Madagaskar.113

Zionists in the Holocaust Years


All the evidence we have examined so far discloses that a "Jewish Holocaust" certainly did not take place in the Nazi concentration camps during the Second World War. During and after the war, however, certain people devised a well-contrived Holocaust myth by skillfully distorting the

h. 163 facts. We must concede that these fabricators possessed both imagination and ingenuity. For example, it was cunning to misrepresent Zyklon B, used by the Germans to protect the Jews from typhus, as an instrument of mass murder. It was ingenious to create "homicidal gas chambers" after the war by making a few simple alterations in a few of the concentration camps. Certain stories invented during the war fantasies such as that of the "Jewish soap" and the testimony of some of the perjurers from the postwar show every sign that they were actually devised by skilled propagandists. Today these lies have been exposed, one by one; but we should acknowledge the talent of their creators, who have so successfully imposed so a big lie on the consciousness of so much of the world.

Kaum Zionis di Tahun-Tahun Holokaus


Semua bukti yang telah kita pelajari sejauh ini mengungkapkan bahwa sebuah Holokaus Yahudi jelas-jelas tak berlangsung di kamp-kamp konsentrasi selama Perang Dunia II. Akan tetapi, selama dan sesudah perang, orang-orang tertentu mengarang sebuah dongeng Holokaus yang disusun dengan baik dengan memutarbalikkan kenyataan secara piawai. Kita harus mengakui bahwa para pengarang ini memiliki baik khayalan maupun kelihaian. Misalnya, salah menyajikan Zyklon B, yang digunakan Jerman untuk melindungi orang-orang Yahudi dari tifus, sebagai alat pemusnahan massal itu licik. Menciptakan kamar-kamar gas pembunuh setelah perang dengan membuat sedikit perubahan sederhana di beberapa kamp konsentrasi itu lihai. Kisah-kisah tertentu yang dibuat semasa perang khayalan-khayalan seperti sabun Yahudi dan testimoni sejumlah saksi pembohong dari pascaperang menunjukkan setiap tanda bahwa mereka sebenarnya diciptakan oleh para juru propaganda yang tangkas. Hari ini semua dusta ini telah diungkapkan, satu per satu, namun kita harus mengakui bakat para penciptanya, yang telah begitu berhasil memaksakan sebuah dusta yang begitu besar pada kesadaran begitu banyak orang di dunia. Who were they, the men and women who fostered the Holocaust story, the product of such meticulous and comprehensive calculation, including so much faked evidence and perjured testimony? Clearly, they must have had an important purpose to justify so costly an enterprise. At this point, inevitably, we encounter the Zionists. For the Holocaust legend primarily, if not exclusively, served them. In the postwar years their only means of convincing the Western public of the necessity for an independent Jewish state in Palestine was through the moral blackmail created by this legend. The Zionists were also able to exploit the Holocaust story against assimilationist Jews, advancing it as the clearest evidence that Jews were not safe among the so-called "goyim" (non-Jews). (The frictions between the assimilationalist and the Zionist Jews were explored in Chapter One). In short, no one else but the Zionists had the motive and the means to concoct the Holocaust tale in so meticulous and organized a fashion. Siapakah mereka, para laki-laki dan perempuan yang membiakkan kisah Holokaus, hasil perhitungan yang demikian rapi dan menyeluruh, termasuk begitu banyak bukti palsu dan testimoni bohong? Jelas, mereka pastilah memiliki maksud penting untuk membenarkan upaya yang demikian mahal. Di sini, tanpa dapat dicegah, kita menemukan kaum Zionis. Sebab, dongeng Holokaus

h. 164 utamanya, jika bukan hanya, menguntungkan mereka. Di tahun-tahun pascaperang, satu-satunya alat mereka untuk meyakinkan masyarakat Barat akan pentingnya sebuah negara Yahudi yang terpisah di Palestina adalah lewat pemerasan moral yang diciptakan dongeng ini. Para Zionis juga mampu memanfaatkan kisah Holokaus melawan para Yahudi pembaur, mengajukannya sebagai bukti paling menyolok bahwa kaum Yahudi tidak aman di kalangan yang disebut goyim (nonYahudi). (Perselisihan antara Yahudi pembaur dan Zionis dijelaskan di Bab Satu). Singkatnya, tak seorang pun selain para Zionis yang memiliki niat dan alat untuk mencekokkan cerita Holokaus sedemikian rapi dan terkelola. When one looks at the policies the Zionists pursued during the war years, the indications that Holocaust extermination stories are of Zionist manufacture are clear. The American Jewish historian Lenni Brenner writes, in Zionism in the Age of Dictators, that non-Zionist Jewish leaders reacted vigorously to the rumors of Nazi persecution which sprang up during the war, and did their best to rescue their people from the territories occupied by the Germans. As Brenner has emphasized, however, Zionists made no effort to rescue Jews from the grip of the Nazis; indeed, they even obstructed certain rescue efforts. Brenner writes that many Jews were offended by the passive attitude of WZO (World Zionist Organization): "There were many in Palestine who were appalled at the WZO's defeatism and its continuing preoccupation with the goals of Zionism while their relatives were being slaughtered, and these people cried out for action."114 The Polish Zionist leader Izak Gruenbaum describes the accusations directed at the Zionists in this regard, and makes his reply, in an article he wrote in 1943: Ketika orang melihat kepada kebijakan-kebijakan yang dikejar kaum Zionis selama tahuntahun perang, petunjuk-petunjuk bahwa kisah-kisah pemusnahan Holokaus adalah rekaan Zionis itu jelas. Sejarawan Yahudi Amerika Lenni Brenner menulis di dalam Zionism in the Age of Dictators bahwa para pemimpin Yahudi non-Zionis menanggapi dengan keras desas-desus tentang pembantaian Nazi yang muncul selama perang, dan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan rakyat mereka dari wilayah-wilayah yang diduduki Jerman. Akan tetapi, sebagaimana ditegaskan Brenner, para Zionis tidak berbuat apa pun untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari cengkeraman Nazi; sebaliknya, mereka bahkan menghalangi upaya-upaya tertentu penyelamatan. Brenner menulis bahwa banyak orang Yahudi dibuat geram oleh sikap ogah-ogahan WZO: Ada banyak orang di Palestina yang tercengang akan sikap pasrah WZO dan keterbenamannya yang menerus pada tujuan-tujuan Zionisme sementara kerabat mereka sedang dibantai, dan para kerabat ini menyerukan pengambilan tindakan.114 Pemimpin Zionis Polandia Izak Gruenbaum menggambarkan tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada kaum Zionis tentang hal ini, dan membuat tanggapannya, di dalam sebuah artikel yang ditulisnya di tahun 1943: And this time in Eretz Yisrael, there are comments: 'Don't put Eretz Yisrael in priority in this difficult time, in the time of destruction of European Jewry.' I do not accept such a saying. And when some asked me: 'Can't you give money from the Keren Hayesod to save Jews in the Diaspora?' I said: No! And again I say no! And because of this, people called me an anti-Semite, and concluded that I am guilty, because we do not give priority to rescue actions.115

h. 165 At the end of his article, Gruenbaum concluded that "Zionism is above all." The rationale of the Zionists was evident: According to them, rescuing European Jews would be a betrayal of Zionism. The Zionists were using all their resources to found a Jewish state in Palestine. They made it very clear that they would make no move to save European Jews who wouldn't make good Zionists from the Nazi persecution. In view of the historical facts surveyed in the preceding pages, and recalling that there was no Jewish mass extermination, the behavior of the Zionists becomes understandable. The Zionists made no move to rescue European Jewry from the concentration camps, because the Jews were not being exterminated in these camps. The Nazis were employing them as labor and taking what measures they could to preserve their health. As noted, they used tons of Zyklon B to protect the Jews from typhus. The Jews faced few dangers other than illness in the camps, and were able to participate in athletic and cultural activities bear in mind the soccer fields, theater, and swimming pool at Auschwitz. The Zionists knew this, and knew that there was little need to worry about these Jews. They also knew that the Holocaust stories were false; after all, they were the ones who had made them up! Dan saat ini di Eretz Israel, ada ulasan-ulasan: Jangan tempatkan Eretz Israel sebagai yang utama di masa sulit ini, di masa penghancuran kaum Yahudi Eropa. Saya tidak menerima perkataan seperti itu. Dan ketika beberapa orang meminta saya, Tak bisakah Anda menyisihkan sejumlah uang dari Keren Hayesod [Dana Zionis di Palestina] untuk menyelamatkan kaum Yahudi di Diaspora? Saya jawab, Tidak! Dan sekali lagi saya katakan tidak! Dan karena ini, orangorang menyebut saya seorang anti-Semit, dan menyimpulkan bahwa saya bersalah, karena kami tidak mengutamakan tindakan-tindakan penyelamatan.115 Pada akhir artikelnya, Gruenbaum menyimpulkan bahwa Zionisme adalah di atas segalanya. Nalar kaum Zionis itu terang. Menurut mereka, menyelamatkan kaum Yahudi Eropa akan merupakan pengkhianatan pada Zionisme. Kaum Zionis menggunakan semua sumberdaya mereka untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Mereka menjadikannya amat jelas bahwa mereka tak akan bergerak untuk menyelamatkan kaum Yahudi Eropa yang bukan penghasil Zionis yang baik dari pembantaian Nazi. Dengan bersudut pandang kenyataan sejarah yang ditelaah di bab sebelumnya, dan mengingat bahwa tak ada pemusnahan massal kaum Yahudi, perilaku para Zionis menjadi dapat dimengerti. Kaum Zionis tidak bergerak untuk menyelamatkan kaum Yahudi Eropa dari kamp-kamp konsentrasi karena orang-orang Yahudi tidak dimusnahkan di kamp-kamp ini. Kaum Nazi mempekerjakan mereka sebagai buruh dan mengambil tindakan apa pun yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesehatan mereka. Sebagaimana dicatat, mereka menggunakan berton-ton Zyklon B untuk melindungi kaum Yahudi dari tifus. Kaum Yahudi menghadapi sedikit bahaya selain penyakit di kamp-kamp, dan bisa ikut serta dalam kegiatan-kegiatan olahraga dan budaya ingatlah lapangan-lapangan sepakbola, panggung sandiwara, dan kolam renang di Auschwitz. Kaum Zionis mengetahui hal ini, dan mengetahui bahwa sedikit sekali kebutuhan untuk mencemaskan para Yahudi itu. Mereka juga mengetahui bahwa kisah-kisah Holokaus itu dusta; pada akhirnya, merekalah yang menciptakannya! Why did they invent such stories? A wartime letter written by Nathan Schwalb, the Swiss representative of the Zionist HeChalutz organization, gives a strong hint as to the answer. Schwalb wrote:

h. 166

Mengapa mereka menciptakan kisah-kisah semacam itu? Sepucuk surat masa perang oleh Nathan Schwalb, wakil Swiss dari organisasi Zionis HeChalutz, memberikan petunjuk kuat akan jawabannya. Schwalb menulis: After their victory they will divide the world again between the nations, as they did at the end of the First World War. Then they unveiled the plan for the first step and now, at the war's end, we must do everything so that Eretz Yisrael will become the state of Israel, and important steps have already been taken in this direction. About the cries coming from your country, we should know that all the Allied nations are spilling much of their blood, and if we do not sacrifice any blood, by what right shall we merit coming before the bargaining table when they divide nations and lands at the war's end? for only with blood shall we get the land.116 In short, the Zionists thought that the alleged extermination of the Jews would justify their claim to settle and to establish a state in Palestine after the war. In reality, of course, there was no extermination of the Jews. In fact, the Zionists had no desire to shed Jewish blood, but instead to pretend that Jewish blood had been shed, to gain sympathy for their cause. That is why they made up the Holocaust extermination tales. Its authors started out from the fact that many Jews several hundred thousand died in the concentration camps in the last two years of the war. Next, they denied the fact that the great majority of these Jews had died of typhus and other ills arising from the deteriorating conditions, claiming instead that they had been killed intentionally by the Nazis. The Zionists exaggerated the number of Jews alleged to have died by about ten fold, and manufactured the "gas chamber" and other extermination scenarios. They spread the story during the war through rumors; after the war, the lie campaign was launched in earnest. That's why the Zionists themselves paid no attention to the rumors of the murder of Jews in the gas chambers, or of their transformation into soap, or the other stories, but persisted unswervingly in their efforts to found a Jewish state in Palestine. Setelah kemenangan, mereka akan membagi lagi dunia di antara negara-negara, sebagaimana mereka lakukan di akhir Perang Dunia I. Lalu, mereka akan mengungkapkan rencana itu bagi langkah pertama dan kini, di akhir perang, kita harus melakukan apa pun sehingga Eretz Israel akan menjadi Negara Israel, dan langkah-langkah penting telah diambil ke arah itu. Tentang jeritanjeritan yang datang dari negara Anda, kita harus sadar bahwa semua bangsa Sekutu sedang menumpahkan banyak darah, dan jika kita tidak menumpahkan darah setetes pun, atas hak apakah akan pantas kita memperoleh saat maju ke depan meja perundingan ketika mereka membagi bangsa dan negeri di akhir perang?... karena hanya dengan darah akan kita peroleh tanah.116 Singkatnya, kaum Zionis berpikir bahwa yang disangka pemusnahan kaum Yahudi akan membenarkan tuntutan mereka untuk bermukim dan mendirikan sebuah negara di Palestina setelah perang. Yang sesungguhnya, tentu saja, tiada pemusnahan kaum Yahudi. Nyatanya, kaum Zionis tidak bernafsu untuk menumpahkan darah Yahudi, namun berpura-pura bahwa darah Yahudi telah tumpah, untuk meraih simpati demi cita-cita mereka. Itulah mengapa mereka mengarang-ngarang cerita-cerita pemusnahan Holokaus. Para pengarangnya memulai dari kenyataan bahwa banyak

h. 167 orang Yahudi beberapa ratus ribu mati di kamp-kamp konsentrasi di dua tahun terakhir perang. Selanjutnya, mereka menyangkal kenyataan bahwa sebagian besar orang Yahudi ini mati karena tifus dan penyakit-penyakit lain yang timbul akibat keadaan yang memburuk, malah menyatakan bahwa orang-orang ini telah sengaja dibunuh oleh kaum Nazi. Para Zionis melebih-lebihkan jumlah orang Yahudi yang disangka mati dengan berlipat sepuluh kali, dan mengarang jalan cerita kamar gas dan pemusnahan lainnya. Mereka menyebarkan cerita ini selama perang lewat desas-desus, setelah perang, kampanye dusta diluncurkan secara terbuka. Itulah mengapa kaum Zionis sendiri tidak memberikan perhatian kepada desas-desus pembunuhan kaum Yahudi di kamar-kamar gas, atau pengubahan mereka menjadi sabun, atau cerita-cerita lain, namun bersikeras tak goyah di dalam upaya mereka mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. The leader of the Zionist movement in America, Stephen Wise, vigorously opposed the activities of the "Emergency Committee to Save the Jewish People of Europe," which had been founded by assimilationist Jews and crusaders for human rights, and worked to transfer Jews from German-occupied territories to safe havens. Wise did so because the Jews who were to be rescued were not headed for Palestine, but somewhere else. Peter Bergson, one of the rescue committee's executives who was frustrated by Wise's opposition, appealed to him: "Bergson tried to reason with Wise: 'If you were inside a burning house, would you want the people outside to scream "Save them," or to scream "Save them by taking them to the Waldorf Astoria?" 117 Bergson, of course, was right within the limitations of his reasoning. But he didn't know what Wise knew: There was no burning house! Pemimpin gerakan Zionis di Amerika, Stephen Wise, dengan berapi-api menentang kegiatankegiatan Panitia Darurat untuk Penyelamatan Orang-orang Yahudi di Eropa, yang telah didirikan oleh para Yahudi pembaur dan pekerja hak azasi manusia dan bekerja untuk memindahkan kaum Yahudi dari wilayah-wilayah pendudukan Jerman ke penampungan-penampung yang aman. Wise berbuat demikian karena orang-orang Yahudi yang akan diselamatkan bukan diarahkan ke Palestina, namun ke tempat lain. Peter Bergson, salah seorang pengurus panitia yang dibuat geram oleh penentangan Wise, berseru kepadanya: Bergson mencoba mendebat Wise: Jika Anda berada di sebuah rumah yang terbakar, apa yang Anda ingin orang-orang di luar teriakkan, Selamatkan orang-orang yang terbakar itu. atau Selamatkan orang-orang yang terbakar itu dan bawa mereka ke Hotel Waldorf Astoria?117 Bergson, tentu saja, benar di dalam batas-batas penalarannya. Namun, ia tidak mengetahui apa yang diketahui Wise. Di sana tidak ada rumah yang terbakar!

War's End And The Liberation Of The Jews


Near the end of the war, the American and Red armies entered the German concentration camps. Much of what the American and Russian soldiers first observed in these camps is of great interest. They discovered things which give the lie to the claims that Holocaust promoters have made in the years since. Thus, it is quite useful to examine and to compare the actual observations of the soldiers and the claims of the mythologists.

h. 168

Akhir Perang dan Pembebasan Kaum Yahudi


Menjelang akhir perang, pasukan Amerika dan Tentara Merah memasuki kamp-kamp konsentrasi Jerman. Banyak dari apa yang pertama diamati oleh pasukan Amerika dan Rusia di kamp-kamp sangat menarik. Mereka menemukan hal-hal yang memberikan dasar bagi pernyataanpernyataan yang dibuat para penganjur Holokaus di tahun-tahun semenjak itu. Jadi, amat bermanfaat untuk meneliti dan membandingkan pengamatan para serdadu yang sesungguhnya dan pernyataan-pernyataan para pendongeng. As we have seen, one of the allegations of the Holocaust mythologists is that Jewish women and children were normally killed in the gas chambers as soon as they arrived at the extermination camps. If this claim were true, the Russian soldiers should not have encountered any Jewish children or women at Auschwitz or Majdanek. The truth is that the Soviet troops discovered many women and children when they captured the Auschwitz camp: The child prisoners who were found alive by the Soviet Army on the capture of Auschwitz are an important proof against the continually repeated statement made again at the Auschwitz trial that children were regularly gassed together with their mothers upon their arrival in Birkenau.118 As noted earlier, Anne Frank spent almost two months at Auschwitz and then some five months at Bergen Belsen. This shows, at least, that she wasn't thrown into the gas chambers on her arrival at Auschwitz as the Holocaust promoters claim was standard operating procedure. The "gas chamber" legend was introduced during the war, but it was only after the war that it was imposed on the masses by means of a systematic and elaborate propaganda. The considerable exertions of the Jews (most of them unaware of the hoax), guided by the Zionist leadership, led most of the world to believe that six million Jews had been butchered by the Nazis. In the aftermath of such a catastrophe, nobody in the victor nations whether capitalist or Communist could begrudge the Jews their own nation-state in Palestine. Sebagaimana telah kita lihat, salah satu persangkaan para pendongeng Holokaus adalah bahwa kaum perempuan dan anak-anak biasanya dibunuh di kamar gas sesegera mereka tiba di kamp pemusnahan. Jika pernyataan ini benar, serdadu-serdadu Rusia seharusnya tidak menemukan perempuan atau anak-anak Yahudi di Auschwitz atau Majdanek. Kebenarannya adalah bahwa pasukan Soviet menemukan banyak perempuan dan anak-anak ketika merebut kamp Auschwitz: para tawanan anak-anak yang ditemukan hidup oleh pasukan Soviet pada pembebasan Auschwitz adalah bukti penting yang membantah pernyataan yang terus-menerus diulang yang juga dibuat di pengadilan Auschwitz bahwa anak-anak digas secara berkala bersama dengan ibu-ibu mereka saat tiba di Birkenau.118 Sebagaimana telah dicatat, Anne Frank melewatkan hampir dua bulan di Auschwitz dan lalu lima bulan di Bergen-Belsen. Ini menunjukkan, setidaknya, bahwa ia tidak dilemparkan ke kamar gas pada saat kedatangannya di Auschwitz yang merupakan tatalaksana baku sebagaimana dinyatakan para penganjur Holokaus. Dongeng kamar gas diperkenalkan di masa perang, namun tidak hingga akhir perang dongeng ini dipaksakan kepada khalayak ramai lewat propaganda yang terencana dan terinci. Penggusuran sejumlah besar orang Yahudi (sebagian besar tidak sadar akan kebohongan ini), yang dipandu oleh kepemimpinan Zionis, membawa dunia untuk mempercayai bahwa 6 juta orang Yahudi telah dibantai oleh kaum Nazi. Setelah bencana seperti itu, tak seorang pun di negara-negara pemenang kapitalis maupun komunis bisa mendengki kaum Yahudi atas negara mereka sendiri di Palestina.

h. 169 Israel was founded within three years of the war's end. In that year, 1948, began a real holocaust of the Palestinians. The real drama of the Jews of the concentration camps began with the end of the war, as the former Jewish inmates of the concentration camps were put in camps for "displaced persons" that were organized for those considered to have nowhere else to live. The administration of these camps came into the hands of fervent Zionists. Each camp turned into a purgatory for the non-Zionist Jews who resided there, because the hardcore Zionist organizations Stern, Irgun, Haganah, Betar, and others controlled the camps and tried to pressure Jewish DPs to emigrate to Palestine. However, most of these Jews had no desire to go to Palestine, but wished to immigrate to America instead. The Zionist militants would not tolerate that; they brought intense pressure to bear on these "sick" Jews, in accord with the judgment of Rabbi Klausner, who stated in 1948: "It must be borne in mind that we are dealing with a sick people. They are not to be asked, but to be told, what to do." We shall elaborate on this subject in the next chapter. Israel didirikan dalam tiga tahun setelah perang. sebenarnya dimulai terhadap orang-orang Palestina. Di tahun itu, 1948, holokaus yang

Drama sesungguhnya kaum Yahudi di kamp-kamp konsentrasi dimulai dengan berakhirnya perang, ketika para mantan tawanan kamp konsentrasi dimasukkan ke kamp-kamp pengungsi yang diselenggarakan bagi mereka yang dianggap tak punya rumah untuk pulang. Pengelolaan kamp-kamp ini jatuh ke tangan para Zionis yang bergairah tinggi. Setiap kamp diubah menjadi penyaring bagi orang Yahudi non-Zionis yang tinggal di dalamnya, sebab organisasi-organisasi Zionis garis keras Stern, Irgun, Haganah, Betar, dan lain-lainnya mengendalikan kamp dan mulai menekan para pengungsi Yahudi supaya berpindah ke Palestina. Akan tetapi, kebanyakan orang Yahudi ini tidak berhasrat pergi ke Palestina, malah ingin berpindah ke Amerika Serikat. Kaum militan Zionis tidak akan menenggang hal itu; mereka melakukan tekanan bersinambungan pada para Yahudi sakit ini, mengikuti Rabbi Klausner, yang menyatakan di tahun 1948: Harus ditanamkan di benak bahwa kita sedang berurusan dengan orang-orang sakit. Mereka tak perlu ditanya, melainkan diperintahkan, tentang apa yang harus dilakukan. Hal ini akan dirinci lebih jauh di bab berikutnya.

A Fiasco for the Holocaust Lobby: Pressac's Book


The information we have reviewed in this chapter is based on research conducted by Western revisionists largely over the past quarter century. Through the contributions of experts such as Fred Leuchter, the revisionist school of history has demonstrated with objective research and sound evidence that the Nazis did not carry out a policy of exterminating the Jews in the Second World War. The exterminationists have proved unable to offer a serious academic response to the revisionists, preferring to combat them with accusations of anti-Semitism, lawsuits, and prosecutions, and occasionally with violent attacks.

h. 170

Kegagalan bagi Lobi Holokaus: Buku Pressac


Informasi yang ditinjau di bab ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh para revisionis Barat terutama seperempat abad terakhir. Lewat sumbangan para pakar seperti Fred Leuchter, pranata sejarah revisionis telah menunjukkan dengan penelitian yang tak berpihak dan petunjuk yang kuat bahwa kaum Nazi tidak melaksanakan sebuah kebijakan pemusnahan kaum Yahudi pada Perang Dunia II. Para eksterminasionis telah membuktikan tak mampu menyajikan tanggapan akademik yang sungguh-sungguh terhadap revisionis, lebih memilih memerangi mereka dengan tuduhan anti-Semit, tuntutan hukum, dan pengadilan, dan kadang-kadang serangan dengan kekerasan. Yet there is a one exception. The exterminationist school produced a single scientific response to the revisionist movement. This was pharmacist Claude Pressac's book Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers, published in 1989. The purpose of the book was to reply to the revisionists with proof of the existence and an explanation of the functioning of the gas chambers of Auschwitz. Defending so big a lie is a difficult task, however, and Pressac's book soon gave new scandal. Indeed, the book had so many inconsistencies and errors in reasoning that some began to suspect that Pressac was an agent provocateur in the employ of the revisionists. One of the most prominent revisionists, Robert Faurisson, presented a detailed discussion of the deficiencies of Pressac's arguments and of the so-called "criminal traces" Pressac claimed to have found in the Auschwitz crematories, which in reality supported the revisionist case, in a lengthy two-part article published in the Journal of Historical Review. As Faurisson observes: the author, far from presenting the expected proof, has unintentionally proved that the revisionists were correct to conclude from their own research that the gas chambers were mythical. As will be seen, the Pressac book is a calamity for the exterminationists, a windfall for the revisionists.119 "Namun, ada satu perkecualian. Kelompok eksterminasionis menghasilkan satu tanggapan ilmiah terhadap gerakan revisionis. Itulah buku seorang ahli farmasi Jean-Claude Pressac Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers, diterbitkan di tahun 1989. Maksud buku ini adalah menjawab para revisionis dengan bukti keberadaan dan sebuah penjelasan tentang berfungsinya kamar gas di Auschwitz. Akan tetapi, membela kebohongan yang sebesar itu sebuah tugas yang sukar, dan buku Pressac segera menjadi aib baru. Malah, buku ini memiliki begitu banyak ketakserasian dan kesalahan dalam penalaran sehingga sebagian orang mulai mencurigai Pressac sebagai penghasut yang bekerja untuk para revisionis. Salah seorang revisionis paling terkemuka, Robert Faurisson, menyajikan pembahasan terinci kelemahan-kelemahan alasan Pressac dan yang disebut jejak-jejak kejahatan yang dinyatakan Pressac telah ditemukan di krematorium-krematorium Auschwitz, yang pada kenyataannya mendukung pendapat revisionis, di dalam sebuah artikel panjang dua seri yang diterbitkan di The Journal of Historical Review. Sebagaimana diamati Faurisson:

h. 171 .. si pengarang, jauh dari menyajikan bukti yang diharapkan, telah tak sengaja membuktikan bahwa para revisionis benar untuk menyimpulkan dari penelitian mereka sendiri bahwa kamarkamar gas itu cuma dongeng. Sebagaimana akan terlihat, buku Pressac adalah sebuah bencana bagi para eksterminasionis, durian runtuh bagi para revisionis.119 The list of Pressac's blunders compiled and exposed by Faurisson makes for lengthy reading. Here, we have been able to present only the most conspicuous of them. For example, in describing how lethal Zyklon B was, Pressac relates the experiences of a Jewish Auschwitz inmate named Rablin to prove his point. According to Pressac, Rablin had worked in the disinfection department. Once, while disinfecting clothing with Zyklon B, he was exposed to the gas for a short time, and had to be treated at the camp hospital for two months. Whether Pressac knows it or not, this incident proves, if anything, that there was no extermination program. If the Nazis had killed one and a half million Jews in the gas chambers in Auschwitz, they would not have wasted two months of treatment in the hospital on a single Jew injured by Zyklon B. Why treat a man for two months for exposure to Zyklon B when they would sooner or later be killing him with the same gas? The Jewish worker's hospitalization is no evidence of the Nazis' intention to kill the Jews, but on the contrary an indication of their desire to keep them alive, and in good health. Daftar kesalahan Pressac yang disusun dan diungkapkan oleh Faurisson menjadi bacaan yang panjang. Di sini, penulis mampu menyajikan hanya yang paling menyolok. Misalnya, dalam melukiskan betapa mematikannya Zyklon B, Pressac menceritakan pengalaman seorang tawanan Auschwitz Yahudi bernama Rablin untuk membuktikan pendapatnya. Menurut Pressac, Rablin telah bekerja di bagian penyucihamaan. Sekali waktu, selagi menyucihamakan pakaian dengan Zyklon B, ia terpapar gas itu sebentar, dan harus dirawat di rumah sakit kamp selama dua bulan. Apakah Pressac mengetahui atau tidak, kejadian ini, jika benar, membuktikan bahwa tiada program pemusnahan. Jika ingin membunuh 1,5 juta orang Yahudi di kamar-kamar gas Auschwitz, kaum Nazi tak akan memboroskan dua bulan perawatan di rumah sakit untuk seorang Yahudi yang dicederai Zyklon B. Mengapa merawat satu orang selama dua bulan karena paparan Zyklon B ketika mereka cepat atau lambat akan membunuhnya dengan gas yang sama? Perawatan rumah sakit bagi pekerja Yahudi ini bukanlah petunjuk niat Nazi membunuh kaum Yahudi, namun, sebaliknya, petunjuk hasrat mereka menjaga para tawanan tetap hidup, dan sehat. There is a photograph in Pressac's book that was taken in Birkenau's main bath, called the Zentral Sauna. The picture shows healthy looking Jewish inmates leaving a shower room equipped with fifty showerheads; they are carrying their shoes in their hands and are headed to a "drying room" next to the shower room. In light of the postwar extermination camp propaganda, this is an extraordinary photograph. The exterminationists have always fostered the belief that the Nazis used the shower heads to spray Zyklon B on the Jews. This picture demonstrates Jews who were not killed in the showers, but were headed to dry off and get dressed again after a refreshing cleansing. Pressac has to make an another important concession on page 512 of his book, regarding the German plan for the construction of a large medical complex, designed to safeguard the health of Birkenau camp inmates, in the projected "Mexico" extension of Birkenau. It is certainly most inconsistent to build a hospital for inmates in an extermination camp. Pressac writes that "there is an

h. 172 INCOMPATIBILITY [his capitals] in the creation of a health camp a few hundred yards from four Krematorien where, according to official history, people were exterminated on a large scale," noting that the plan for this health camp in the Auschwitz archives "is a real godsend to the revisionists." How does Pressac explain this evidence that contradicts his position? Faurisson writes: "We await his parry. It does not come. Pressac's embarrassment is plain to see."120 Ada sebuah foto di buku Pressac yang diambil di kamar mandi utama Birkenau, yang disebut Zentral Sauna. Foto ini menunjukkan para tawanan Yahudi yang kelihatan sehat meninggalkan sebuah kamar bilas yang dilengkapi dengan 50 keran bilas kepala; mereka sedang membawa sepatu di tangan dan menuju ke kamar pengeringan di sebelah kamar bilas. Menimbang propaganda pascaperang tentang kamp pemusnahan, ini sebuah foto yang luar biasa. Para eksterminasionis selalu mencekokkan keyakinan bahwa kaum Nazi menggunakan keran bilas kepala untuk menyemprotkan Zyklon B kepada orang-orang Yahudi. Foto ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi tidak dibunuh di kamar-kamar bilas, namun diarahkan untuk mengeringkan tubuh dan berpakaikan kembali setelah mandi yang menyegarkan. Pressac harus membuat kelonggaran penting lain di halaman 512 bukunya, tentang rencana Jerman bagi pembangunan sebuah kawasan rumah sakit yang luas, yang dirancang untuk melindungi kesehatan para tawanan kamp Birkenau, di rencana perluasan Meksiko di Birkenau. Membangun sebuah rumah sakit bagi para tawanan di sebuah kamp pemusnahan jelas sangat tak sejalan. Pressac menulis bahwa ada KETAKSESUAIAN [huruf besar oleh Pressac] di dalam pembangunan sebuah kamp kesehatan beberapa ratus yard dari empat krematorium tempat, menurut sejarah resmi, manusia dimusnahkan secara besar-besaran, mencatat bahwa rencana bagi kamp kesehatan ini di dalam arsip-arsip Auschwitz merupakan sebuah karunia Tuhan bagi para revisionis. Bagaimana Pressac menjelaskan petunjuk yang membantah kedudukannya ini? Faurisson menulis: Kami menunggu jawaban berkelitnya. Jawaban itu tidak muncul. Rasa malu Pressac mudah dilihat.120 Pressac's only explanation for the planned medical complex is "the capacity for 'doublethink' of the SS hierarchy, who blindly executed orders even when they were totally contradictory." That is, we must believe that the SS was foolish enough to plan a large hospital for the inmates of Auschwitz during the bitterest, most draining time of the war for Jews whom they planned to exterminate very shortly. It is far more logical to dismiss Pressac's exterminationist position than to try to justify such nonsense. Satu-satunya penjelasan Pressac bagi kawasan rumah sakit yang direncanakan ini adalah kemampuan berpikir ganda kepemimpinan SS, yang membabibuta menjalankan perintah bahkan ketika sepenuhnya saling bertentangan. Yakni, kita mesti mempercayai bahwa SS itu cukup bodoh untuk merencanakan sebuah rumah sakit besar bagi para tawanan Auschwitz selama masa perang yang paling getir, paling melelahkan bagi kaum Yahudi yang mereka rencanakan untuk dimusnahkan dengan amat segera. Jauh lebih masuk akal menolak kedudukan eksterminasionisnya Pressac daripada mencoba membenarkan omong kosong semacam itu.

h. 173 The effect of Pressac's book has been not only to demonstrate that scientific and technical methods could not substantiate the gas chambers and the exterminations at Auschwitz, but also to arm the revisionists with new evidence and new arguments. On the other hand, the promoters of the Holocaust have long since disdained scientific and technical methods. Their preferred method has always been forgery, suppression, intimidation, and even physical violence. It remains so today. Surveying the exterminationists' legal and physical assaults goes a long way in revealing their real "arguments" against the revisionists. Pengaruh buku Pressac tak hanya telah menunjukkan bahwa cara-cara ilmiah dan teknis tidak dapat membuktikan kamar gas dan pemusnahan di Auschwitz, namun juga mempersenjatai para revisionis dengan petunjuk baru dan alasan baru. Di sisi lain, para penganjur Holokaus telah lama menjijiki cara-cara ilmiah dan teknis. Cara yang lebih mereka sukai selalu pemalsuan, penekanan, ancaman, dan bahkan kekerasan fisik. Hal itu masih berlangsung hari ini. Meneliti seranganserangan hukum dan fisik para eksterminasionis berjalan seiring dengan mengungkapkan alasan mereka yang sebenarnya terhadap para revisionis.

The Price Of Telling The Truth


Our research consistently discloses an astonishing and striking reality: The Nazis cooperated with the Zionists before and during the Second World War, and in that war there was no Jewish Holocaust. It is surprising to learn, at this late date, the actual facts regarding the alleged Jewish Holocaust: to find out that we have been deliberately fed a lie, which has become part of the official history, is even more disconcerting. An agency powerful enough to so manipulate world opinion would be influential enough to control and direct international institutions, important media channels, international tribunals, and even governments. The methods this powerful entity employs are in essence illegitimate ones, as we have seen. Lies, forgery, inflammatory propaganda, brainwashing techniques, fake documents, and perjured witnesses, and even atrocity museums are components of their complex lie.

Harga bagi Mengungkapkan Kebenaran


Penelitian kami selalu menyingkapkan sebuah kenyataan yang mencengangkan dan mengejutkan. Kaum Nazi bekerjasama dengan para Zionis sebelum dan selama Perang Dunia II, dan di dalam perang itu, tidak ada Holokaus Yahudi. Mengetahui, pada hari-hari terakhir ini, kenyataan-kenyataan sesungguhnya tentang yang disangka Holokaus Yahudi itu mengejutkan; mendapati bahwa kita telah sengaja disuapi sebuah dusta, yang menjadi bagian sejarah resmi, bahkan lebih menggusarkan. Sebuah badan yang cukup kuat untuk begitu mempermainkan pendapat dunia akan cukup berpengaruh untuk mengendalikan dan mengarahkan lembaga-lembaga internasional, saluran-saluran media penting, pengadilanpengadilan internasional, dan bahkan pemerintah-pemerintah. Cara-cara yang dipakai badan yang berkuasa ini pada intinya tidah sah, sebagaimana telah kita lihat. Dusta, pemalsuan, propaganda yang menghasut, teknik-teknik cuci otak, dokumen-dokumen palsu, dan saksi-saksi pembohong, dan bahkan museum-museum kekejaman adalah unsur-unsur dari dusta mereka yang rumit.

h. 174

In these circumstances, we need to focus on the way this power call it the Zionist lobby, or Zionist capital, or international Zionism deals with the revisionist historians who are working to overthrow the Holocaust legend. If this power already has recourse to every kind of base method and controls much of the media, international organizations, and even governments, it will unhesitatingly use all these means, all its power against the revisionists. That's just what has happened. The power that spawned the Holocaust legend has used and continues to use the dirtiest methods, including pressuring governments to enforce allegiance to their Holocaust lies. In the previous pages we have quoted from the books of many revisionist historians and researchers. While working on this book, we faced no difficulty; as you read it, you probably face none. Most revisionists can expect trouble if not in the actual research and writing of their books, then after they are published. A revisionist scholar must take into account that he faces jail for speaking out or publishing on the Holocaust, especially in France and Germany, because challenging, or "denying," the Holocaust is a crime in these countries. Holocaust revisionism has been prosecuted elsewhere as a "hate crime," as spreading "false news," and in other ways punishable by imprisonment. No matter if revisionist research is published as a scholarly book, with numerous citations; no matter if the author's style and tone are mild, inoffensive, and academic: The penalties remain the same. Di dalam keadaan-keadaan ini, kita harus memusatkan perhatian kepada cara kekuatan ini apakah itu lobi Zionis, atau modal Zionis, atau Zionisme internasional menghadapi para sejarawan revisionis yang bekerja menggulingkan dongeng Holokaus. Jika kekuatan ini memiliki jalur ke semua jenis cara dasar dan mengendalikan sebagian besar media, organisasi internasional, dan bahkan pemerintahan, kekuatan ini tak akan ragu menggunakan semua alat ini, semua kekuatannya menghadapi para revisionis. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Kekuatan yang membiakkan dongeng Holokaus telah menggunakan dan terus menggunakan cara-cara terkotor, termasuk menekan pemerintahpemerintah untuk memaksakan persangkaan terhadap dusta Holokaus mereka. Di halaman-halaman sebelumnya, penulis telah mengutip dari buku-buku banyak sejarawan dan peneliti revisionis. Selagi menyelesaikan buku ini, penulis tidak menghadapi kesusahan; sambil anda membacanya, mungkin anda tidak menghadapi satu kesusahan pun. Sebagian besar revisionis boleh menantikan masalah jika tidak di saat penelitian dan penulisan buku mereka, maka setelah buku-buku itu terbit. Seorang cendekiawan revisionis harus memperhitungkan bahwa ia menghadapi penjara karena berbicara lantang atau menerbitkan buku tentang Holokaus, khususnya di Perancis dan Jerman, sebab mempertanyakan, atau membantah, Holokaus adalah sebuah kejahatan di negaranegara ini. Revisionisme Holokaus telah diadili di tempat lain sebagai sebuah kejahatan kebencian, sebagai penyebaran berita bohong, dan dengan cara-cara lain yang dapat dihukum dengan kurungan. Tak masalah apakah penelitian revisionis diterbitkan di sebuah buku ilmiah, dengan ratusan kutipan; tak masalah apakah gaya dan nada di pengarang tenang, tak menyerang, dan ilmiah: sangsinya tetap sama.

h. 175 In view of the persecution revisionist scholars have undergone for their research on the Holocaust and the gas chambers, it is evident that the "international thought police" has widened its authority to a fearful extent. The historians and researchers who have exposed the Holocaust myth have endured the following: They have been worn down by pressure campaigns; dismissed from university faculties, or had their studies terminated; had their academic salaries lowered or withdrawn; suffered assaults to their property and their persons; been threatened (together with their families) in person, by telephone, and otherwise; been subjected to lengthy criminal and civil investigations, and had their private archives seized or damaged. Dengan memandang penganiayaan yang dialami para cendekiawan revisionis karena penelitian mereka tentang Holokaus dan kamar gas, jelas bahwa polisi pemikiran internasional telah melebarkan kekuasaannya hingga rentang yang mengerikan. Para sejarawan dan peneliti yang memaparkan dongeng Holokaus sudah menderita yang berikut: mereka telah diletihkan dengan kampanye penekanan; dipecat dari jabatan di universitas, atau penelitian mereka dihentikan; gaji akademik diturunkan atau ditahan; menderita serangan-serangan terhadap harta dan orang-orang mereka; diancam (bersama dengan keluarga mereka) secara langsung, lewat telepon, dan cara-cara lain; dijadikan tersangka dari penyelidikan panjang pidana dan perdata; dan arsip-arsip mereka disita atau dirusak. Revisionist historians, especially in Europe, but even in America and other "Anglo-Saxon" countries, face great difficulties. They have been victims of a latter-day Inquisition. To sum up, the men and women who challenge the Holocaust and the gas chambers must often defy the laws and the governments of their own countries as well. In France, for example, the Gayssot Law was passed in 1990. This statute provides that any attempt to question the alleged gas chambers can end in imprisonment, as well as in heavy fines. Shalom discusses these "positive" developments in its May 9, 1990, issue: "The new French law declares that denying the Holocaust is a crime. France's National Assembly enacted the law against Holocaust denial on May 3, 1990." In democratic countries there is a principle which is frequently invoked: freedom of thought, or opinion. In fact, in many democracies this principle ceases to function at all when the opinion concerns the Holocaust if it is a dissenting one. In Germany, there have been numerous instances in which dissent from the cult of the Holocaust has been prosecuted. When the leader of Germany's National Democratic Party, Gnter Deckert, questioned the Holocaust mythology publicly in 1991, he was arrested, convicted, and eventually sentenced to one year in prison. Para sejarawan revisionis, khususnya di Eropa, namun bahkan di Amerika dan negara-negara Anglo-Saxon lainnya, menghadapi kesusahan-kesusahan besar. Mereka telah menjadi korbankorban Inkuisisi (pemurnian pemikiran) mutakhir. Sebagai rangkuman, para laki-laki dan perempuan yang menantang Holokaus dan kamar-kamar gas harus sering menantang undangundang maupun pemerintah negara mereka.

h. 176

Di Perancis, misalnya, Undang-Undang Gayssot disahkan di tahun 1990. Peraturan ini mengatakan bahwa upaya apa pun untuk mempertanyakan yang disangka kamar gas dapat berakhir di pemenjaraan, maupun denda yang tinggi. Shalom membahas perkembangan bagus ini di terbitan 9 Mei 1990: Undang-undang Perancis yang baru menyatakan bahwa menyangkal Holokaus adalah sebuah kejahatan. Majelis Nasional Perancis memberlakukan undang-undang terhadap penyangkalan Holokaus pada 3 Mei 1990. Di negara-negara demokratis, ada prinsip yang sering kali dikumandangkan: kebebasan berpikir, atau berpendapat. Nyatanya, di banyak negara itu, prinsip ini berhenti berfungsi sama sekali ketika pendapatnya menyangkut Holokaus jika membantahnya. Di Jerman, ada banyak contoh di mana bantahan terhadap pemujaan Holokaus telah diadili. Ketika mempertanyakan dongeng Holokaus secara terbuka di tahun 1991, pemimpin Partai Demokratik Nasional Jerman Gnter Deckert ditangkap, didakwa, dan akhirnya dipidana satu tahun penjara. Deckert has not been the only victim of tyrannical laws imposed by the powerful lobby that enforces Holocaust orthodoxy in Germany. Revisionist historian David Irving has run afoul of these laws as well. As we noted earlier, Irving published an edition of The Leuchter Report with his own preface. In the preface Irving dared to refer to the alleged Holocaust as a good publicity campaign prepared after a well-financed, clever and successful war! Deckert bukan satu-satunya korban undang-undang penindas yang dipaksakan oleh lobi berkuasa yang mendesakkan kekolotan Holokaus di Jerman. Sejarawan revisionis David Irving telah melanggar undang-undang ini juga. Sebagaimana kita catat di muka, Irving menerbitkan satu jilid The Leuchter Report dengan kata pengantar dari dirinya. Di pengantar itu, Irving berani merujuk ke yang disangka Holokaus sebagai kampanye pemberitaan yang baik yang disiapkan setelah sebuah perang yang cukup dibiayai, cerdas, dan berhasil! Publishing The Leuchter Report was reason enough for Irving's arrest in Germany. Irving's belief that the gas chamber in Auschwitz I was built after the war, is, according to German laws, grounds for conviction as well. In May 1992 Irving was fined the equivalent of seven thousand dollars by a Munich court for violating the law against "defaming the dead." Menerbitkan The Leuchter Report adalah alasan yang mencukupi bagi penangkapan Irving di Jerman. Keyakinan Irving bahwa kamar gas di Auschwitz I dibangun setelah perang, menurut undang-undang Jerman, juga dasar bagi pendakwaan. Di bulan Mei 1992, Irving didenda yang setara dengan 7 ribu dolar oleh pengadilan Munich bagi pelanggaran undang-undang anti-penghinaan terhadap si mati. Nor did Irving's punishment end with payment of his fine. At this time, he continues to be excluded from several different countries. The author of The Leuchter Report Fred Leuchter has reaped his own share of punishment from written and unwritten laws against doubting Holocaust

h. 177 extermination stories. He was forbidden to enter England on grounds of threatening to disturb public order. As Shalom reported: "The British government has forbidden the entrance of Fred Leuchter to the country because of his report denying the Holocaust. The British Home Ministry stated that admitting Leuchter, who has written a report denying gas chambers and concentration camps, to England would disturb the public order, so his entry was forbidden."121 In Canada, a country known for its freedom and democracy, denying the Holocaust has been cause for criminal prosecution. For those who challenge the Holocaust, democratic freedoms in Canada give way to Her Majesty's courts. Ernst Zndel, who distributed Did Six Million Really Die?, a booklet of twenty-eight pages, was taken to court and originally sentenced to nine months imprisonment for violating the Canadian law against willfully spreading "false news." In view of the above examples, it is evident that the democratic images of such Western countries as England, France, Germany, and Canada are misleading. Noam Chomsky's interpretation, that in democratic countries thought is controlled and consensus manufactured through media propaganda, turns out to be correct. Expression, opinion, even thought, on the question of the Holocaust, is controlled by the power that created the Holocaust legend. Tidak juga hukuman terhadap Irving berakhir dengan pembayaran dendanya. Saat ini, Irving terus dikucilkan dari beberapa negara. Penulis The Leuchter Report Fred Leuchter telah menuai bagian hukumannya sendiri dari undang-undang tertulis dan tak tertulis terhadap meragukan ceritacerita pemusnahan Holokaus. Ia dilarang memasuki Inggris atas dasar mengancam untuk mengganggu ketertiban umum. Sebagaimana dilaporkan Shalom: Pemerintah Inggris telah melarang masuknya Fred Leuchter ke negara itu karena laporannya yang menyangkal Holokaus. Menteri Dalam Negeri Inggris mengatakan bahwa mengizinkan Leuchter, yang telah menulis sebuah laporan yang menyangkal kamar-kamar gas dan kamp-kamp konsentrasi, masuk ke Inggris akan mengganggu ketertiban umum, jadi kedatangannya terlarang.121 Di Kanada, negara yang dikenal akan kebebasan dan demokrasinya, menyangkal Holokaus telah menjadi penyebab penuntutan pidana. Bagi mereka yang menantang Holokaus, kebebasan demokratis di Kanada memberi jalan bagi pengadilan Paduka Yang Mulia (Ratu Inggris). Ernst Zndel, yang menyebarkan buku Did Six Million Really Die?, sebuah buku mini 28 halaman, diajukan ke pengadilan dan awalnya dihukum 9 bulan penjara karena melanggar undang-undang Kanada terhadap menyebarkan dengan sengaja kabar bohong. Melihat contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa citra demokratis negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan Kanada itu menyesatkan. Tafsiran Noam Chomsky, bahwa di negara-negara demokratis pikiran dikendalikan dan kesepakatan umum dibentuk lewat propaganda media, ternyata benar. Pengungkapan, pendapat, bahkan pemikiran, tentang masalah Holokaus, dikendalikan oleh kekuatan yang menciptakan dongeng Holokaus. In yet another "democratic" country, Austria, "denial of the Holocaust" is likewise a criminal offense. The Jewish Chronicle (London) reports with pleasure: "Gerd Honsik, 50, has been sentenced to 18 months' imprisonment by a Vienna court for denying the Holocaust. A suspended

h. 178 sentence from an earlier trial will be added to this, so Honsik will now spend three years behind bars."122 Di sebuah negara demokratis lainnya, Austria, penyangkalan Holokaus juga tindak pidana. The Jewish Chronicle (London) melaporkan dengan gembira: Gerd Honsik, 50 tahun, telah dihukum 18 bulan penjara oleh sebuah pengadilan Wina karena menyangkal Holokaus. Hukuman percobaan dari sebuah pengadilan sebelumnya akan ditambahkan ke hukuman ini, jadi Honsik kini akan menghabiskan 3 tahun di balik terali besi.122 The question arises: Why is the dark power behind the Holocaust myth so sensitive to (and intolerant of) the "danger" of examination of the alleged gas chambers? The answer is very simple: The Holocaust, with the gas chambers as its chief props, is the basis of contemporary Zionism. Therefore, to criticize the gas chambers and the Holocaust is to criticize Zionism. Even when the criticism is based on academic research, there is an immediate, hysterical reaction, and "Holocaustdenial" laws are quickly passed and enforced. Roger Garaudy, who was prosecuted under France's "Holocaust-denial" law, writes of them: Here we are tackling a 'forbidden' subject: Zionism and the State of Israel. In France you can criticise Catholic dogma or Marxism, attack atheism or nationalism, condemn the regimes of the Soviet Union, the United States or South Africa, preach anarchism or monarchism, all without running any risks beyond the usual ones of getting involved in a polemic or being refuted. If, however, you undertake to analyze Zionism you enter into a different world. You pass from the realm of literature into that of the courts. By virtue of a law of July 29, 1981 which, very properly, forbids the defamation of any person on account of belonging to a particular ethnic group, nation, race or religion, any criticism of the policy of the State of Israel and of the political Zionism which is its basis renders you liable to prosecution. The author of this essay can bear witness to this fact, having himself experienced, for this reason, prosecution, the charge of "Nazism" and threats of death.123 Pertanyaan muncul: mengapa kekuatan gelap di balik dongeng Holokaus begitu peka (dan tak menenggang) terhadap bahaya peninjauan atas yang disangka kamar gas? Jawabannya amat sederhana: Holokaus, dengan kamar gas sebagai tiang utamanya, adalah basis Zionisme mutakhir. Karena itu, mengecam kamar gas dan Holokaus sama dengan mengecam Zionisme. Bahkan ketika kecaman itu berdasarkan pada penelitian akademik, ada reaksi segera dan gaduh, dan undangundang penyangkalan Holokaus segera disahkan dan diberlakukan. Roger Garaudy, yang diadili di bawah undang-undang penyangkalan Holokaus Perancis, menulis: Di sini kita menangani sebuah topik terlarang: Zionisme dan Negara Israel. Di Perancis, Anda boleh mengecam dogma Katolik atau Marxisme, menyerang ateisme atau nasionalisme, mengutuk rejim-rejim Uni Soviet, Amerika Serikat, atau Afrika Selatan, mendakwahkan anarkisme atau monarkisme, semuanya tanpa menghadapi selain resiko biasa tercebur ke sebuah polemik atau disangkal. Akan tetapi, jika berupaya menganalisis Zionisme, Anda memasuki sebuah dunia yang berbeda. Anda bergerak dari alam kepustakaan ke alam pengadilan. Dengan kearifan undangundang 29 Juli 1981 yang, amat pas, melarang penghinaan terhadap pribadi atas dasar asal

h. 179 kelompok etnis, bangsa, ras, atau agama tertentu, kecaman apa pun terhadap kebijakan Negara Israel dan Zionisme politik yang mendasarinya menjadikan Anda dapat dituntut. Penulis esai ini bisa menjadi saksi kenyataan ini, sebab telah mengalami sendiri, atas alasan ini, penuntutan, dakwaan Nazisme, dan ancaman-ancaman pembunuhan.123 France, as noted earlier, metes out some of the sternest punishment to those who question the Holocaust. Here are some of the travails that revisionist academics have endured in France: After pass[age of] the infamous "Gayssot Law" in 1990 to question the existence of the World War II gas chambers is punishable by jail and high fines A special police force was developed to arrest real and imagined Holocaust doubters, phone lines were tapped without court orders. Revisionist academics such as Robert Faurisson were fired from their tenured university posts and financially wiped out by a series of heavy fines. For good measure they were repeatedly mugged in the streets and in their homes by the thugs of Betar a Jewish terrorist gang with the full approval of the Mitterand government.124 Perancis, sebagaimana telah dicatat, menebarkan sebagian dari hukuman terkeras terhadap mereka yang mempertanyakan Holokaus. Inilah beberapa derita yang dijalani para akademisi revisionis di Perancis: Setelah pengesahan Undang-Undang Gaysott yang kondang di tahun 1990 mempertanyakan keberadaan kamar-kamar gas Perang Dunia II dapat dihukum penjara atau denda yang tinggi Sebuah satuan polisi khusus dibentuk untuk menangkap para penolak Holokaus terbuka maupun tersamar, jalur-jalur telepon disadap tanpa perintah pengadilan. Para akademisi revisionis seperti Robert Faurisson dipecat dari jabatan tetap di universitasnya dan secara keuangan dihabisi dengan setumpuk denda yang besar. Sebagai tambahan, mereka berkali-kali diancam di jalan-jalan dan rumah-rumah mereka oleh preman-preman Betar sebuah kelompok teroris Yahudi dengan persetujuan penuh pemerintahan Mitterand.124 Establishment historians who support the Holocaust cannot tolerate it being challenged by scholarly research. French scholar of texts and documents Professor Faurisson is one of those who has been convicted of the "crime" of making research findings that contradict the Holocaust; in consequence he has had many woes. The next step after criminalizing research that challenges Holocaust extermination stories is to stop or hinder the sale of revisionist literature. How? By outlawing or restricting it. For example, the general circulation of a translation of the American revisionist Dr. Arthur Butz's book The Hoax of the Twentieth Century has been effectively prevented in Germany through its being placed on an index of literature judged "dangerous" to youth. Incessant psychological pressure is brought to bear on academics who challenge the gas chambers. One method of this is by a non-stop barrage of insults and harassment. Henri Roques, who became famous with his doctoral thesis that destroyed the credibility of Holocaust gassing "eyewitness" Kurt Gerstein, was subjected to such a campaign in the spring of 1986. The revocation

h. 180 of Roques's doctoral thesis after it had been duly awarded, the first such instance in the 700-yearlong history of French universities, was of course the apex or the nadir of the smear operation, but he was insulted, personally and as a scholar, in many other ways. In this regard, too, the case of Henri Roques is historic. Para sejarawan pemerintah yang mendukung Holokaus tidak tahan ditantang oleh penelitian yang ilmiah. Cendekiawan naskah dan dokumen Perancis Profesor Faurisson adalah salah satu dari mereka yang telah didakwa atas kejahatan membuat temuan penelitian yang membantah Holokaus; akibatnya ia mengalami banyak kesusahan. Langkah selanjutnya setelah mempidanakan penelitian yang menentang cerita pemusnahan Holokaus adalah menghentikan atau mencegah penjualan kepustakaan revisionis. Bagaimana? Dengan melarang atau membatasinya. Misalnya, peredaran umum sebuah terjemahan buku revisionis Amerika Dr. Arthur R. Butz The Hoax of the Twentieth Century secara efektif telah dicegah di Jerman lewat menempatkannya pada kelompok pustaka yang dianggap berbahaya bagi kaum muda. Tekanan psikologis yang terus-menerus ditimpakan kepada para akademisi yang menantang kamar gas. Satu cara adalah dengan gempuran tanpa henti penghinaan dan pelecehan. Henri Roques, yang menjadi terkenal dengan tesis doktoralnya yang menghancurkan keterpercayaan saksi mata penggasan Holokaus Kurt Gerstein, dijadikan sasaran kampanya semacam itu di musim semi 1986. Pembatalan tesis doktoral Roques setelah dianugerahkan dengan sah, kejadian pertama seperti itu di dalam 700 tahun sejarah universitas Perancis, adalah titik puncak atau titik terendah operasi penistaan, namun ia dihina, secara pribadi atau sebagai seorang cendekiawan, dengan banyak cara. Tentang hal ini, perkara Henri Roques juga bersejarah. Another interesting example of intimidation took place recently in Japan. In January 1995 the Japanese weekly magazine Marco Polo, with a circulation of two hundred thousand, published an article by Masanori Nishioka titled "The Greatest Taboo of Postwar World History: There Were No Nazi 'Gas Chambers.'" The article presented much of the information and arguments advanced here, concluding that the Holocaust was a fabrication. The Holocaust lobby immediately assailed both author and publisher. The article was quickly denounced by Israel's embassy in Japan, the Simon Wiesenthal Institute of Los Angeles, and other Jewish groups. As a result of such pressure, companies such as Volkswagen and Mitsubishi withdrew their advertising from Marco Polo. Cartier went so far as to announce that it was withdrawing all its advertising from every publication of the corporation that put out Marco Polo. (These companies were among the magazine's most important advertisers). As the pressure increased, the magazine's parent corporation, Bungei Shunju, stated that it was ceasing publication of Marco Polo, and all issues on sale were recalled. Thus questioning the Holocaust brought an end to the existence of a Japanese magazine with two hundred thousand readers. Contoh menarik lainnya pengancaman berlangsung baru-baru ini di Jepang. Di bulan Januari 1995, sebuah majalah mingguan Jepang Marco Polo, dengan tiras 200 ribu, menerbitkan sebuah artikel oleh Masanori Nishioka berjudul Tabu Terbesar Sejarah Pascaperang Dunia: Tidak Ada

h. 181 Kamar Gas Nazi. Artikel ini menyajikan sebagian besar informasi dan alasan yang diajukan di dalam buku ini, menyimpulkan bahwa Holokaus itu sebuah penipuan. Lobi Holokaus segera menyerang baik pengarang maupun penerbitnya. Artikel ini dengan cepat dikutuk oleh kedutaan Israel di Jepang, Institut Simon Wiesenthal di Los Angeles, dan kelompok-kelompok Yahudi lainnya. Akibat tekanan itu, perusahaan-perusahaan seperti Volskwagen dan Mitsubishi menarik iklannya dari Marco Polo. Cartier bertindak lebih jauh dengan mengumumkan sedang menarik semua iklannya dari setiap penerbitan perusahaan yang menerbitkan Marco Polo. (Ketiga perusahaan ini termasuk para pengiklan terpenting majalah). Sambil tekanan meningkat, perusahaan induk majalah ini, Bungei Shunju, menyatakan menghentikan penerbitan Marco Polo, dan semua tiras yang sedang dijual akan ditarik. Jadi, mempertanyakan Holokaus membawa akhir bagi keberadaan sebuah majalah Jepang dengan 200 ribu pembaca. The pressure the exterminationists brought to bear on revisionist researchers has gone as far as terrorist acts, including bombing. Thus the Institute for Historical Review was firebombed because it had brought together scholars who worked to find the truth about the Holocaust and the gas chambers. Unable to counter the revisionists' arguments, exterminationists put their writings to the torch. Opposing the official history can be a hazardous calling. Tekanan para eksterminasionis yang ditimpakan kepada para peneliti revisionis melangkah jauh hingga ke tindakan-tindakan teroris, termasuk pemboman. Jadi, The Institute for Historical Review telah dibom molotov karena menyatukan para cendekiawan yang bekerja untuk menemukan kebenaran tentang Holokaus dan kamar gas. Tak mampu melayani pendapat para revisionis, para eksterminasionis menorehkan tulisan mereka ke obor. Menantang sejarah resmi bisa menjadi pekerjaan yang berbahaya.

Death Throes of the Holocaust Legend


Israel and its Western allies are doing their best to keep the Holocaust legend alive. A recent example is the case of "Ivan the Terrible," which was milked for its propaganda value for years. A person alleged to resemble one (so-called) "Ivan the Terrible," a guard supposed to have operated the alleged "gas chambers" at Treblinka, was deported from America to Israel in 1986 to stand trial in Israel. After seven years' imprisonment, John Demjanjuk was finally found not guilty of these charges and set free. Throughout the years of his imprisonment and before, the Western media published an endless stream of stories about his terrible deeds in the supposed gas chambers, virtually all of them in the service of the Holocaust propaganda. Yehuda Bauer, professor at the Hebrew University in Jerusalem, explains the importance of the Demjanjuk affair: "The Demjanjuk trial is very important for Israel, as it has revived the Holocaust issue for the new generation." The Holocaust legend, however, for all the efforts of Israel and its Western associates to maintain it, has begun to collapse. This is surely due to the efforts of the revisionist historians. The official history, in all its lies and contradictions, is today being overthrown by the revisionists.

Sekarat Kematian Dongeng Holokaus


Israel dan para sekutu Baratnya sedang melakukan yang terbaik untuk menjaga dongeng Holokaus tetap hidup. Sebuah contoh baru-baru ini adalah kasus Ivan Nan Keji, yang diperah demi nilai propaganda selama bertahun-tahun. Seorang laki-laki apa yang disangka menyerupai

h. 182 (yang dijuluki) Ivan Nan Keji, seorang pengawal yang diduga menjalankan yang disangka kamar gas di Treblinka, diusir dari Amerika ke Israel di tahun 1986 untuk menghadapi pengadilan di Israel. Setelah 7 tahun pemenjaraan, John Demjanjuk akhirnya ditemukan tak bersalah atas tuduhan-tuduhan itu dan dibebaskan. Sepanjang tahun-tahun pemenjaraannya dan sebelumnya, media Barat menerbitkan satu aliran tak putus cerita-cerita tentang perbuatan-perbuatan kejinya di yang diduga kamar gas, hampir semuanya untuk melayani propaganda Holokaus. Yehuda Bauer, seorang profesor di Universitas Hebrew di Yerusalem, menjelaskan pentingnya perkara Demjanjuk: Pengadilan Demjanjuk amat penting bagi Israel, sebab menghidupkan kembali masalah Holokaus bagi generasi muda. Akan tetapi, dongeng Holokaus, sekalipun segenap upaya Israel dan para sekutu Baratnya untuk mempertahankannya, mulai runtuh. Ini pastilah karena upaya-upaya para sejarawan revisionis. Sejarah resmi, di dalam semua dusta dan pertentangannya, hari ini sedang digulingkan oleh para revisionis. For example, English historian David Irving, known for his expertise on the Second World War, spoke at Portland Community College in Portland, Oregon on October 16, 1992. Irving explained that the generally accepted version of the treatment of European Jewry at the hands of the Nazi was untrue. Irving, one of the leading revisionists, believes and argues that the Holocaust needs to be re-evaluated. Irving, 60, has authored more than a dozen books on the Second World War. When Irving does his research, he goes to the primary sources rather than depending on books by other historians. Irving has studied the German records from the Second World War for several decades. He states that he has never come across a document that gives any indication that Hitler ordered the extermination of European Jewry. Nor has he been able to discover any documentary evidence for the existence of the gas chambers. Not even in the top-secret, coded German radio transmissions deciphered by the Allies during the war was there any mention of gas chambers or extermination although these messages contained much information about the concentration camps. On the basis of his research, Irving offered a monetary reward to anyone who could present him with a written order from Hitler to exterminate the Jews. Irving has become increasingly bolder in proclaiming that the Holocaust was a legend. He points out that historians who support Holocaust extermination allegations tend to quote from one another rather than going to the sources. Gradually, the professors have come to realize the truth, and began to fear that someone would come to prick their Holocaust bubble. That someone, Irving adds, was himself. Misalnya, sejarawan Inggris David Irving, yang dikenal atas kepakarannya tentang Perang Dunia II, berbicara di Portland Community College di Portland, Oregon pada tanggal 16 Oktober 1992. Irving menjelaskan bahwa versi yang umum diterima tentang perlakuan kaum Yahudi Eropa di tangan kaum Nazi tidak benar. Irving, salah seorang revisionis pelopor, meyakini dan mendebat bahwa Holokaus perlu ditinjau kembali. Irving, 60 tahun, telah menulis lebih dari selusin buku tentang Perang Dunia II. Ketika tidak melakukan penelitian, Irving memilih pergi ke sumbersumber tangan pertama daripada bergantung pada buku-buku oleh sejarawan lainnya.

h. 183 Irving telah mempelajari catatan-catatan Jerman dari Perang Dunia II selama beberapa dasawarsa. Ia menyatakan tidak pernah memperoleh sebuah dokumen yang memberikan petunjuk apa pun bahwa Hitler memerintahkan pemusnahan kaum Yahudi Eropa. Tidak juga ia mampu memperoleh petunjuk dokumenter apa pun mengenai keberadaan kamar gas. Bahkan di dalam komunikasi sangat rahasia radio Jerman yang sandinya dipecahkan oleh tentara Sekutu selama perang tidak juga disebutkan sesuatu tentang kamar gas atau pemusnahan walaupun pesan-pesan ini mengandung banyak informasi tentang kamp-kamp konsentrasi. Berdasarkan pada penelitiannya, Irving menawarkan hadiah uang bagi siapa pun yang dapat memberinya sebuah perintah tertulis dari Hitler untuk memusnahkan kaum Yahudi. Irving telah makin terbuka di dalam mengumumkan bahwa Holokaus adalah sebuah dongeng. Ia menunjukkan bahwa para sejarawan yang mendukung persangkaan pemusnahan Holokaus cenderung saling mengutip daripada langsung menemui sumber-sumbernya. Pelan-pelan, para profesor mulai menyadari kebenaran, dan mulai khawatir bahwa seseorang akan menusuk balon Holokaus mereka. Orang itu, tambah Irving, adalah dirinya. David Irving was not the first person systematically to question the Holocaust. That honor goes to the Frenchman Paul Rassinier, himself an inmate in the concentration camps. His experiences, which were quite different from the official version of what went on in the camps, led him to further research on the Holocaust. He wrote several books devoted to revising the history of the camps and Germany's treatment of the Jews during the war. In his books Le Mensonge d'Ulysse(The Lie of Ulysses) and Le Drame des Juifs Europeens (The Drama of the European Jews), Paul Rassinier demonstrated that there was no solid evidence for the existence of gas chambers in the concentration camps. David Irving bukanlah orang pertama yang secara terencana mempertanyakan Holokaus. Kehormatan itu jatuh kepada orang Perancis Paul Rassinier, seorang mantan tawanan di kamp-kamp konsentrasi. Pengalaman-pengalamannya, yang amat berbeda dengan versi resmi tentang apa yang terjadi di kamp-kamp, membawanya ke penelitian lebih jauh tentang Holokaus. Ia menulis beberapa buku yang diabdikan untuk memperbaiki sejarah kamp-kamp dan perlakuan orang-orang Jerman terhadap kaum Yahudi selama perang. Di dalam bukunya Le Mensonge dUlysse (Dusta Ulysses) dan Le Drama des Juifs Europeens (Drama Yahudi Eropa), Paul Rassinier menunjukkan bahwa tidak ada petunjuk kuat bagi keberadaan kamar gas di kamp-kamp konsentrasi. The Holocaust debate began in the United States when Arthur Butz, a professor at Northwestern University, published his book The Hoax of the Twentieth Century in 1977. Butz conceded that the Jews had been persecuted by the Nazis, but he presented a powerful case that the Holocaust the mass extermination of the Jews, principally in gas chambers was a hoax. Butz estimated actual Jewish losses in the war at perhaps five hundred thousand. The spell of the Holocaust legend is beginning to lose its credibility among the people. Even some American Jews who once believed in the Holocaust with great zeal are losing faith in it. The newsletter New American View has reported that the Holocaust legend has started its decline, and that even Holocaust true believers recognize this.125 The Jerusalem Post, a mouthpiece for the

h. 184 Holocaust lobby, has also conceded that the Holocaust is attracting less interest lately. A publication of Turkish Jewry, Shalom, citing the Post, complains regretfully that "Holocaust Programs Have Not Created Enough Interest" (the article's title) among the public: Debat Holokaus mulai di Amerika Serikat ketika Arthur R. Butz, seorang profesor di Northwestern University, menerbitkan bukunya The Hoax of the Twentieth Century di tahun 1977. Butz mengakui bahwa kaum Yahudi telah dianiaya oleh kaum Nazi, namun ia menyajikan sebuah alasan kuat bahwa Holokaus pemusnahan massal kaum Yahudi, utamanya di kamar-kamar gas adalah kebohongan. Butz menaksir bahwa korban Yahudi di dalam perang mungkin sekitar 500 ribu. Mantra dongeng Holokaus mulai kehilangan keterpercayaannya di kalangan awam. Bahkan sebagian Yahudi Amerika yang pernah meyakini Holokaus dengan gairah tinggi mulai kehilangan keyakinannya. Majalah berita New American View melaporkan bahwa dongeng Holokaus memulai keruntuhannya, dan bahkan para pemeluk sejati Holokaus mengakui ini.125 The Jerusalem Post, corong suara lobi Holokaus, juga mengakui bahwa Holokaus menarik lebih sedikit minat akhirakhir ini. Sebuah terbitan Yahudi Turki, Shalom, yang mengutip harian itu, mengeluh sedih bahwa: Acara-Acara Holokaus tidak Cukup Menarik Minat (judul artikelnya) di kalangan awam: Holocaust programs have failed to arouse interest. Recently, the Austrian government has sponsored several symposiums, commemorations and exhibitions on the Holocaust to revive popular interest in the subject. Although some forty million schillings were spent on these programs, it was discovered that these efforts had had little impact. A survey of public opinion on the Holocaust revealed that two out of three Austrians did not want to hear any more about the Holocaust. What was strange about the survey was that an identical poll conducted in 1988 had made the same findings. This shows that the features on the Holocaust in newspapers and on television, as well as in movies and documentaries, have had no influence on the Austrians. Andreas Kirschofer, director of the IMAS, or Social Sciences Institute, who had launched the campaign, finally admitted that the entire educational effort had failed.126 Acara-acara Holokaus telah gagal membangkitkan minat. Baru-baru ini, pemerintah Austria telah mendanai beberapa lokakarya, peringatan, dan pameran tentang Holokaus untuk menghidupkan kembali minat masyarakat atas masalah ini. Walaupun sekitar 40 ribu schilling (uang Austria) dihabiskan demi acara-acara ini, upaya-upaya ini dirasakan berpengaruh kecil. Sebuah jajak pendapat umum tentang Holokaus mengungkapkan bahwa dua dari tiga orang Austria tidak ingin lagi mendengar tentang Holokaus. Yang aneh tentang jajak ini adalah sebuah jajak pendapat serupa yang diselenggarakan di tahun 1988 menghasilkan temuan yang sama. Ini menunjukkan bahwa berita-berita ringan tentang Holokaus di suratkabar dan televisi, maupun film layar lebar dan dokumenter, tidak berpengaruh pada orang Austria. Andreas Kirschofer, direktur IMAS, atau Institut Ilmu-ilmu Sosial, yang melancarkan kampanye ini, akhirnya mengakui bahwa keseluruhan upaya pendidikan [Holokaus] telah gagal.126

h. 185

40 Questions and Answers on the Holocaust


The information we have inspected so far can be summarized with the 40 questions and answers below: 1. What proof exists that the Nazis killed six million Jews? None. All we have is postwar testimony, mostly of individual "survivors." This testimony is contradictory, and very few claim to have actually witnessed any "gassing." There are no contemporaneous documents or hard evidence: no mounds of ashes, no crematories capable of disposing of million corpses, no "human soap," no lamp shades made of human skin, and no credible demographic statistics. 2. What evidence exists that six million Jews were not killed by the Nazis? Extensive forensic, demographic, analytical and comparative evidence demonstrates the impossibility of such a figure. The widely repeated "six million" figure is an irresponsible exaggeration.

40 Pertanyaan dan Jawaban tentang Holokaus


Informasi yang telah ditinjau sejauh ini dapat dirangkumkan menjadi 40 pertanyaan dan jawaban di bawah ini: 1. Bukti apakah yang tersedia bahwa kaum Nazi membunuh 6 juta orang Yahudi? Tidak ada. Semua yang kita miliki adalah testimoni pascaperang, sebagian besar dari perorangan yang selamat. Testimoni ini saling bertentangan, dan amat sedikit orang yang telah benar-benar menyaksikan penggasan. Tidak ada dokumen dari masa itu atau petunjuk kuat: tidak ada timbunan abu, tidak ada krematorium yang mampu mengabukan jutaan mayat, tidak ada sabun manusia, tidak ada penutup lampu dari kulit manusia, dan tidak ada statistik kependudukan yang terpercaya. 2. Petunjuk apakah yang tersedia bahwa 6 juta orang Yahudi tidak dibunuh oleh kaum Nazi? Petunjuk forensik, kependudukan, hasil analisis, dan pembandingan yang melimpah menunjukkan kemustahilan angka itu. Angka 6 juta yang sering diulangi adalah pembesarbesaran yang tak bertanggungjawab. 3. Was it ever confessed that there were no homicidal gas chambers in concentration camps which were originally labelled "death camps"? Yes. On August 19, 1960, the German weekly newspaper Die Zeit published a letter by leading exterminationist authority, German historian Martin Broszat, who wrote: "Neither in Dachau nor Bergen-Belsen nor in Buchenwald were Jews or other inmates gassed. The mass extermination of the Jews did not take place anywhere in the German Reich proper." Professor

h. 186 Broszat, who later served as director of the Institute for Contemporary History, in Munich, was a key figure in postwar Germany's historical establishment. That makes all the more authoritative his letter to Die Zeit declaring that gas chambers never existed at Dachau or any other camp within Germany. In 1975, Nazi hunter and famous exterminationist Simon Wiesenthal wrote a letter to Books & Bookmen in which he admitted that " there were no extermination camps on German soil " 3. Pernahkan diakui bahwa tidak ada kamar gas pembunuh di kamp-kamp konsentrasi yang sebelumnya dicap kamp-kamp kematian? Ya. Pada tanggal 19 Agustus 1960, suratkabar mingguan Jerman Die Zeit menerbitkan sepucuk surat dari tokoh eksterminasionis terkemuka, sejarawan Jerman Martin Broszat, yang menulis: Tidak di Dachau, di Bergen-Belsen, atau pun di Buchenwald, kaum Yahudi atau tawanan lainnya digas. Pemusnahan orang-orang Yahudi dengan penggasan terjadi tidak di mana pun di tanah Reich Jerman. Profesor Broszat, yang kemudian menjabat direktur Institut Sejarah Mutakhir di Munich adalah tokoh kunci pengembangan sejarah Jerman pascaperang. Hal ini membuat suratnya kepada Die Zeit yang menyatakan bahwa kamar-kamar gas tak pernah ada di Dachau atau kamp lain di wilayah Jerman kian berbobot. Di tahun 1975, pemburu Nazi dan ekterminasionis ternama Simon Wiesenthal menulis sepucuk surat kepada Books & Bookmen, di dalamnya ia mengakui bahwa tidak ada kamp pemusnahan di tanah Jerman.. 4. If Dachau was in Germany, and even Wiesenthal says that it was not an extermination camp, why do many American veterans say it was an extermination camp? With the end of the war, the allies took photographs of the doors of the fumigation chambers and presented them as the doors of homicidal gas chambers where the massacre of Jews took place. As a result of this propaganda, "fumigation chambers" became "homicidal gas chambers," and the life-saving disinfection agent Zyklon B was claimed to be a "mass murder gas." Because only the doors of the chambers were photographed, the public never had the chance to see how small these chambers actually were. 5. What about Auschwitz? Is there any proof that gas chambers were used to kill people there? No. Auschwitz, captured by the Soviets, was modified after the war, and a room was reconstructed to look like a large "gas chamber." After America's leading expert on gas chamber construction and design, Fred Leuchter, scientifically examined these and other alleged gassing facilities, he reported that it was an "absurdity" to claim that they were, or could have been, used for mass executions. 6. If Auschwitz wasn't a "death camp," what was its true purpose? It was an internment center and part of a large-scale manufacturing complex. Synthetic fuel was produced there, and its inmates were used as a workforce.

h. 187

4. Jika Dachau di Jerman, dan bahkan Wiesenthal menyatakan bahwa itu bukan kamp pemusnahan, mengapa banyak veteran Amerika mengatakan itu sebuah kamp pemusnahan? Dengan berakhirnya perang, serdadu-serdadu sekutu memfoto pintu kamar-kamar penyucihamaan dan menyajikannya sebagai pintu kamar-kamar gas pembunuh tempat pembantaian kaum Yahudi berlangsung. Akibat propaganda ini, kamar-kamar penyucihamaan menjadi kamar-kamar gas pembunuh, dan bahan kimia pembasmi hama penyelamat hidup Zyklon B diaku sebagai gas pembunuh massal. Karena hanya pintu kamar yang difoto, masyarakat tak pernah mendapatkan kesempatan melihat betapa kecil sesungguhnya kamar-kamar itu. 5. Bagaimanakah dengan Auschwitz? Apakah ada bukti bahwa kamar-kamar gas digunakan untuk membunuh manusia di sana? Tidak. Auschwitz, direbut oleh pasukan Soviet, diubah setelah perang, dan sebuah ruangan direka-ulang agar terlihat seperti sebuah kamar gas. Setelah secara ilmiah meneliti ruangan itu dan yang disangka sarana-sarana penggasan lainnya, pakar terkemuka Amerika atas pembangunan dan perancangan kamar gas, Fred Leuchter, melaporkan bahwa sungguh tak masuk akal menyatakan bahwa sarana-sarana itu dipakai, atau bisa dipakai, untuk pembunuhan massal. 6. Jika Auschwitz bukan sebuah kamp kematian, lalu apakah manfaatnya yang sebenarnya? Itu sebuah pusat penahanan dan bagian dari sebuah kawasan pabrik berskala besar. Bahan bakar sintetis dihasilkan di sana, dan para tawanannya digunakan sebagai tenaga kerja. 7. Who set up the first concentration camps? During the Boer War (1899-1902), the British set up what they called "concentration camps" in South Africa to hold Afrikaner women and children. Approximately 30,000 died in these hellholes. 8. If the Jews of Europe were not exterminated by the Nazis, what happened to them? After the war million Jews were still alive in Europe. Hundreds of thousands (perhaps as many as one and a half million) had died of all causes during the war. Others had emigrated to Palestine, the United States, and other countries. Still more Jews left Europe after the war. 9. If Auschwitz was not an extermination camp, why did the commandant, Rudolf Hss, confess that it was? He was tortured by British military police, as one of his interrogators later admitted.

h. 188 10. Is there any evidence of American, British and Soviet policy to torture German prisoners to extract "confessions" for use at the trials at Nuremberg and elsewhere? Yes. Torture was used to produce fraudulent "evidence" for the infamous Nuremberg trials, and in other postwar "war crimes" trials. 7. Siapakah yang membangun kamp konsentrasi pertama? Selama Perang Boer (1899-1902), Inggris membangun apa yang mereka sebut kamp konsentrasi di Afrika Selatan untuk menahan kaum perempuan dan anak-anak Afrikaner (warga Afrika Selatan keturunan Belanda). Kira-kira 30 ribu orang mati di lubang-lubang neraka ini. 8. Jika kaum Yahudi Eropa tidak dimusnahkan oleh kaum Nazi, apa yang terjadi dengan mereka? Setelah perang, jutaan orang Yahudi masih hidup di Eropa. Ratusan ribu (mungkin sebanyak 1,5 juta) terbunuh akibat berbagai sebab selama perang. Yang lain berpindah ke Palestina, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Kaum Yahudi masih juga meninggalkan Eropa setelah perang. 9. Jika Auschwitz bukan sebuah kamp pemusnahan, mengapa komandannya, Rudolf Hss, mengakui demikian? Ia disiksa oleh polisi militer Inggris, sebagaimana diakui belakangan oleh salah seorang pemeriksa. 10. Apakah ada petunjuk tentang kebijakan tentara Amerika, Inggris, dan Soviet untuk menyiksa para tawanan Jerman demi memeras pengakuan untuk digunakan di pengadilanpengadilan seperti di Nuremberg dan tempat-tempat lainnya? Ya. Penyiksaan digunakan untuk memperoleh petunjuk palsu bagi pengadilan Nuremberg yang kondang itu, dan di pengadilan-pengadilan pascaperang tentang kejahatan perang lainnya. 11.How does the Holocaust story benefit Zionist leaders today? The Jewish genocide has been the basis of the Zionism for the last half century. Exterminationists have created the impression that Jews would not be safe unless they gathered together, and that they required a state where they would live in security. With the famous Zionist slogan "land with no nation, for a nation with no land," they founded the state of Israel, with the terrorist methods, exterminating hundred thousands of Palestinians whose families had been living in Palestine for hundreds of years. In short, the Zionist leaders legitimized the establishment of the state of Israel on the basis of the so-called Jewish genocide. Another benefit the Holocaust story provides for the Jews is that it deflects criticism against Zionism. If, today, you criticize any aspect of Zionism, you must deal with "the Holocaust." The media has promulgated the image of Jews as an oppressed, wronged, injured, expelled, denigrated people. Therefore, if you insist on discussing

h. 189 Israeli state terror or the extraordinary power of the Jewish lobby, you will be labelled anti-Semitic! Thus, using the shield of the "Jewish genocide," Zionists and Zionism achieve immunity. 11. Bagaimanakah kisah Holokaus menguntungkan para pemimpin Zionis saat ini? Genosida Yahudi telah menjadi dasar bagi Zionisme selama setengah abad terakhir. Para eksterminasionis telah menciptakan kesan bahwa orang-orang Yahudi tidak akan aman kecuali dikumpulkan bersama, dan mereka memerlukan sebuah negara tempat mereka akan tinggal dengan damai. Dengan semboyan Zionis yang terkenal negeri tanpa bangsa, untuk bangsa tanpa negeri, mereka mendirikan negara Israel, dengan cara-cara teroris, memusnahkan ratusan ribu bangsa Palestina yang keluarganya telah tinggal di Palestina selama ratusan tahun. Singkatnya, para pemimpin Zionis mengesahkan pendirian negara Israel atas dasar yang disebut genosida Yahudi. Manfaat lain yang diberikan kisah Holokaus bagi kaum Yahudi adalah kisah itu membelokkan kecaman terhadap Zionisme. Jika, hari ini, Anda mengecam segi apa pun Zionisme, Anda harus berhadapan dengan Holokaus. Media telah menggembar-gemborkan citra kaum Yahudi sebagai orang-orang yang tertindas, terfitnah, teraniaya, terusir, dan terhina. Karena itu, jika bersikeras membahas teror negara Israel atau kekuasaan luar biasa lobi Yahudi, Anda akan dicap anti-Semit! Jadi, dengan menggunakan tameng genosida Yahudi, Zionis dan Zionisme menggapai kekebalan. 12. Is there any evidence that Hitler ordered the extermination of Europe's Jews? No. On the contrary, forty thousand pages released from the secret archives of the former East Germany in February 1990 included evidence that certain Jews held high posts in the Nazi armed forces and developed personal friendships with Hitler. 13. For what purpose was "Zyklon B" manufactured? It was a pesticide used to fumigate clothing and buildings to kill typhus-bearing lice and other pests. 12. Apakah ada petunjuk bahwa Hitler memerintahkan pemusnahan kaum Yahudi Eropa? Tidak. Sebaliknya, 40 ribu halaman yang dikeluarkan dari arsip-arsip rahasia bekas Jerman Timur di bulan Februari 1990 mencakup petunjuk-petunjuk bahwa orang-orang Yahudi tertentu memegang jabatan-jabatan penting di ketentaraan Nazi dan memupuk persahabatan pribadi dengan Hitler. 13. Untuk maksud apakah Zyklon B dibuat? Itu adalah pestisida yang dipakai menyucihamakan pakaian dan bangunan untuk membunuh tuma pembawa tifus dan hama-hama lainnya. 14. Could there be any reason for using Zyklon B for mass murder instead of a more convenient poison?

h. 190

No. The absurdity of the claim that the Germans used Zyklon B for mass murder is demonstrated by two additional documents. The first of these is an instruction manual prepared by DEGESCH, the company that manufactured and marketed Zyklon B. According to this manual, ventilating with Zyklon B is a rigorous procedure and requires a considerable amount of time, because Zyklon B readily adheres to surfaces. Therefore, Zyklon B would have been deposited on the corpses, and not just on the skin, but in other organs as well, to remain there for a considerable time. Hence, in dealing with the corpses of victims of hydrogen cyanide, a gas mask and other protective gear is absolutely necessary. The second document to be considered is the Directives for the Use of Prussic Acid (Zyklon) for the Destruction of Vermin (Disinfestation), classified as Nuremberg document NI-9912. This guide-book is an instructional manual for using Zyklon B. It states that normally twenty hours is needed for the ventilation of a room that has been fumigated with Zyklon B. Before entering such a room without a gas mask, at least 21 hours should have elapsed after ventilation began. The book includes this warning: "When fumigating with Zyklon use only special filters [i.e., while wearing the gas mask]." Another point that is strongly emphasized in both documents is the need for trained personnel whether for applying Zyklon B or for the ventilation of rooms disinfested with Zyklon B. Yet nothing is said in any Holocaust source about any kind of training in safety procedures for the men who removed the corpses from the gas chambers. 14. Apakah ada alasan bagi penggunaan Zyklon B untuk pembunuhan massal dan bukannya sejenis racun yang lebih mudah? Tidak. Kejanggalan pernyataan bahwa orang-orang Jerman menggunakan Zyklon B untuk pembunuhan massal ditunjukkan oleh dua dokumen. Yang pertama adalah sebuah panduan penggunaan yang ditulis oleh DEGESCH, perusahaan yang membuat dan memasarkan Zyklon B. Menurut panduan ini, pertukaran udara dengan Zyklon B adalah sebuah tatalaksana yang amat hatihati dan sulit serta memerlukan waktu yang cukup lama, sebab Zyklon B mudah meresap ke permukaan. Karena itu, Zyklon B akan mengendap pada mayat, dan tidak hanya pada kulit, namun juga di organ-organ lainnya, bertahan di sana selama waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dalam menangani mayat-mayat korban hidrogen sianida, masker gas dan pakaian pelindung lainnya mutlak perlu. Dokumen kedua yang mesti dipertimbangkan adalah Petunjuk Penggunaan Asam Prusik (Zyklon) untuk Pemusnahan Hama (Penyucihamaan), yang dicatat sebagai dokumen Nuremberg NI-9912. Buku panduan ini adalah sebuah petunjuk penggunaan Zyklon B. Buku ini menyatakan bahwa biasanya 20 jam diperlukan untuk pertukaran udara sebuah ruangan yang telah disucihamakan dengan Zyklon B. Sebelum memasuki ruangan itu tanpa masker gas, setidaknya 21 jam harus diluangkan setelah pertukaran udara dimulai. Buku ini mencakup peringatan ini: Jika menyucihamakan dengan Zyklon, gunakan hanya saringan-saringan [dengan kata lain, selagi memakai masker gas] khusus. Hal lain yang dengan kuat ditegaskan di kedua dokumen adalah perlunya petugas yang terlatih apakah untuk penerapan Zyklon B atau pertukaran udara ruanganruangan yang disucihamakan dengan Zyklon B. Namun, tak sesuatu pun dikatakan di bacaan Holokaus mana pun tentang jenis pelatihan dalam tatalaksana keselamatan bagi mereka yang memindahkan mayat-mayat dari kamar gas.

h. 191 15. The ventilation of a chamber after fumigation with Zyklon B normally takes about 20 hours. However, Auschwitz commandant Hss said that men would enter the "gas chambers" to remove bodies ten minutes after the victims had died. How is it possible to explain this? This is impossible. Zyklon B would have been deposited on the corpses, and not just on the skin, but in other organs as well, to remain there for a considerable time. Hence, in dealing with the corpses of victims of hydrogen cyanide, a gas mask and other protective gear is absolutely necessary. Rudolf Hss made this statement under the torture by British military police. 15. Pertukaran udara sebuah kamar setelah penyucihamaan dengan Zyklon B biasanya membutuhkan 20 jam. Akan tetapi, komandan Auschwitz Hss mengatakan bahwa orang-orang akan memasuki kamar gas untuk memindahkan mayat 10 menit setelah korban mati. Bagaimanakah hal ini mungkin dijelaskan? Ini mustahil. Zyklon B akan mengendap di mayat-mayat, dan tidak hanya dikulit, namun juga di organ-organ lain, bertahan di sana selama waktu yang cukup lama. Karena itu, dalam menangani mayat-mayat korban hidrogen sianida, masker gas dan pakaian pelindung lainnya mutlak diperlukan. Rudolf Hss membuat pernyataan ini di bawah penyiksaan oleh polisi militer Inggris. 16. Hss said in his "confession" that men would smoke cigarettes as they pulled bodies out of gas chambers, ten minutes after gassing. Isn't hydrocyanic gas explosive? The mythologists of the Holocaust allege that the inmate detail continued to eat and to smoke while carrying the corpses out. If this allegation is true, we can conclude that they were not wearing gas masks. Yet, it is impossible to enter unventilated rooms without gas masks, so soon after the gassing. Furthermore, hydrogen cyanide is a highly explosive gas. Entering a room filled with Zyklon B fumes while smoking a cigarette would create a grave risk of an explosion. Consequently, clearing the gas chambers of the corpses while smoking is nothing but a figment of the exterminationist imagination. 16. Hss mengatakan di dalam pengakuan-nya bahwa orang-orang akan merokok sambil menarik keluar tubuh-tubuh dari kamar gas, 10 menit setelah penggasan. Bukankah gas hidrosianik mudah meledak? Para pendongeng Holokaus menyangka bahwa pasukan tawanan meneruskan makan dan merokok sementara mengangkat mayat-mayat keluar. Jika persangkaan ini benar, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak memakai masker gas. Namun, mustahil memasuki ruangan yang tak berpenukar udara tanpa masker gas, begitu cepat setelah penggasan. Lebih jauh, hidrogen sianida adalah gas yang mudah meledak. Memasuki sebuah ruangan yang berisi asap Zyklon B sambil mengisap rokok akan mengundang resiko besar ledakan. Karena itu, membersihkan kamar gas dari mayat sambil merokok tak lebih daripada kepingan khayalan eksterminasionis. 17. What was the exact procedure the Nazis allegedly used to exterminate Jews?

h. 192 The stories range from dropping gas canisters into a crowded room from holes in the ceiling, to piping gas through shower heads, to "steam chambers," to "electrocution" machinery. Millions are alleged to have been killed in these ways. 18. If Jews scheduled for execution knew the fate in store for them, why did they go along with the Germans without resisting? They didn't fight back because they did not believe there was any intention to kill them. 19. About how many Jews died in the concentration camps? Competent estimates range from about 300,000 to 500,000. 20. How did these Jews die? Mainly from recurring typhus epidemics that ravaged war-torn Europe during the war, as well as from starvation and lack of medical attention during the final months of the conflict, when virtually all road and rail transportation had been bombed out by the Allies. 17. Apakah persisnya tatalaksana yang disangka digunakan Nazi untuk memusnahkan kaum Yahudi? Cerita-cerita merentang mulai dari menjatuhkan tabung-tabung gas ke sebuah kamar yang sesak lewat lubang di langit-langit, pemipaan gas lewat keran bilas kepala, kamar uap, hingga perangkat penyetrum. Jutaan orang disangka telah dibunuh dengan cara-cara ini. 18. Jika orang-orang Yahudi yang dijadwalkan untuk dibunuh mengetahui nasib yang disiapkan untuk mereka, mengapa mereka mematuhi orang-orang Jerman tanpa melawan? Mereka tidak melawan karena tidak percaya bahwa ada niat untuk membunuh mereka. 19. Kira-kira berapa banyakkah orang Yahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi? Taksiran-taksiran yang mumpuni berkisar antara 300 ribu dan 500 ribu. 20. Bagaimanakah orang-orang Yahudi ini terbunuh? Utamanya dari wabah tifus yang berulang-ulang yang menggerus Eropa yang tercabik perang semasa perang, maupun juga kelaparan dan kurangnya perawatan kesehatan selama bulan-bulan akhir pertikaian, ketika hampir semua angkutan jalan dan kereta api telah dibom pasukan Sekutu. 21. What is typhus?

h. 193 This disease always appears when many people are jammed together under unsanitary conditions. It is carried by lice that infest hair and clothes. Ironically, if the Germans had used more Zyklon B, more Jews might have survived the camps. 21. Apakah tifus itu? Penyakit ini selalu muncul ketika banyak orang dijejalkan dalam keadaan-keadaan yang tidak bersih. Penyakit ini dibawa oleh tuma yang menghuni rambut dan pakaian. Ironisnya, jika Jerman menggunakan lebih banyak Zyklon B, lebih banyak orang Yahudi mungkin selamat di kamp-kamp. 22. What is the difference if six million or 300,000-500,000 Jews died during the Second World War? Above all, it should be stated that even the life of a single person, and the life of a single Jew, is very important. Therefore, the death of 500,000 Jews is so sad. The intention with this study is not reduction of 6 million Jews to 500 thousand and making an impression such as "not so many Jews died." We want to stress the point that the Nazis did not kill the Jews intentionally, and thus there were no "Jewish genocide." There is great difference between people being killed by Nazis in "gas chambers" and dying because of disease or starvation, with the Nazis trying to save them. As an ally of the Zionists, Nazis never had a mission to exterminate the Jews. 22. Apakah perbedaan jika 6 juta atau 300-500 ribu kaum Yahudi mati selama Perang Dunia II? Di atas segalanya, harus dinyatakan bahwa bahkan nyawa satu orang, dan nyawa satu orang Yahudi, amat berarti. Karena itu, kematian 500 ribu orang Yahudi amat menyedihkan. Maksud pengkajian ini bukanlah pengurangan 6 juta menjadi 500 ribu orang Yahudi dan membuat kesan bahwa tidak begitu banyak orang Yahudi tewas. Kami ingin menekankan bahwa kaum Nazi tidak membunuh mereka secara sengaja, jadi, tidak ada genosida Yahudi. Ada perbedaan besar antara orang yang dibunuh oleh Nazi di kamar-kamar gas dan yang mati karena penyakit atau kelaparan sambil Nazi berupaya menyelamatkan mereka. Sebagai sekutu Zionis, Nazi tidak pernah mempunyai sasaran memusnahkan kaum Yahudi. 23. What is the real case behind the myth of making soap from Jewish corpses? American revisionist historian Mark Weber treats the soap story in detail in his article "Jewish Soap," which appeared in the Summer 1991 issue of The Journal of Historical Review. As Weber establishes, the RIF abbreviation on German wartime soap did not stand for "Rein Judisches Fett" (Pure Jewish Fat), but rather for Reichsstelle fur Industrielle Fettversorgung, that is, the Reich Office for Industrial Fat Provisioning. The RIF was a German agency responsible for producing and distributing soap and washing materials. RIF soap was of poor quality and contained no fat at all, human or otherwise. The reality regarding RIF soap began to emerge not long after the war. The public prosecutor's office in Flensburg, Germany began an investigation into whether Dr. Rudolf Spanner had made soap from human fat at the Danzig Institute, as charged at Nuremberg. After a

h. 194 short while the investigation was quietly dropped. In 1968 the Flensburg prosecutor's office declared that the inquiry had found no evidence to indicate that the soap in question had been produced from human remains.The public collapse of the Jewish soap lie, however, came when several leading exterminationist historians came clean, so to speak, on the matter. In his book The Terrible Secret, published in 1980, the noted Jewish historian Walter Laqueur acknowledged that the Jewish soap rumor was not true. A second Jewish writer on the Holocaust, Gitta Sereny, made a similar admission in her book Into That Darkness, writing: "The universally accepted story that the corpses were used to make soap and fertilizer is finally refuted by the generally very reliable Ludwigsburg Central Authority for the Investigation of Nazi Crimes." Another Jewish historian, Deborah Lipstadt, declared in 1981: "The fact is that the Nazis never used the bodies of Jews, or for that matter anybody else, for the production of soap." 23. Apakah perkara sebenarnya di balik dongeng pembuatan sabun dari mayat Yahudi? Sejarawan revisionis Amerika Mark Weber membahas kisah sabun ini secara terinci di dalam artikelnya Sabun Yahudi, yang muncul di terbitan musim panas 1991 The Journal of Historical Review. Sebagaimana dibuktikan Weber, singkatan RIF pada sabun masa perang Jerman bukan berarti Rein Judisches Fett (Sabun Yahudi Murni), melainkan Reichsstelle fur Industrielle Fettversorgung, yakni, Kantor Reich bagi Penyediaan Lemak Industri. RIF adalah sebuah lembaga Jerman yang bertanggungjawab menghasilkan dan mengedarkan sabun dan bahan-bahan pencuci. Sabun RIF bermutu rendah dan tidak mengandung lemak sama sekali, baik lemak manusia atau lemak lainnya. Kenyataan menyangkut sabun RIF mulai terangkat tidak lama setelah perang. Kantor penuntut umum di Flensburg, Jerman, memulai sebuah penyelidikan atas apakah Dr. Rudolf Spanner telah membuat sabun dari lemak manusia di Institut Danzig, sebagaimana didakwakan di Nuremberg. Tak berapa lama, penyelidikan ini diam-diam dihentikan. Di tahun 1968, kantor penuntut umum Flensburg menyatakan bahwa penyelidikan tidak menemukan petunjuk yang mengarah ke sabun yang dipermasalahkan telah dihasilkan dari sisa-sisa manusia. Akan tetapi, keruntuhan umum dusta sabun Yahudi terjadi ketika sejarawan eksterminasionis ternama berkata jujur, boleh dikatakan begitu, tentang hal ini. Di dalam bukunya The Terrible Secret yang diterbitkan di tahun 1980, sejarawan Yahudi terkemuka Walter Laqueur mengakui bahwa desasdesus sabun Yahudi tidak benar. Penulis Yahudi kedua tentang Holokaus, Gitta Sereny, membuat pengakuan serupa di dalam bukunya Into That Darkness, dengan menulis: Kisah yang secara luas diakui bahwa mayat-mayat dipakai untuk membuat sabun dan pupuk akhirnya dibantah oleh Otoritas Pusat bagi Penyelidikan Kejahatan Nazi Ludwigsburg yang secara umum amat terpercaya. Sejarawan Yahudi lainnya, Deborah Lipstadt, mengumumkan di tahun 1981: Kenyataannya adalah kaum Nazi tidak pernah memakai tubuh-tubuh orang Yahudi, atau pada masalah itu, orang mana pun, untuk pembuatan sabun. 24. Can bodies be burned in pits? No. It is impossible for human bodies to be totally consumed by flames, in this manner, under water, even with the use of an artificial accelerant (gasoline).

h. 195 25. Holocaust historians claim that the Nazis were able to cremate bodies in about ten minutes. How long does it take now to incinerate one body, according to professional crematory operators? About an hour and a half, although the larger bones still remain intact. A related claim of Holocaust historians is that it only took ten minutes for the Nazis to reduce a corpse to ashes in a crematory oven. This is another technical riddle. According to Fred Leuchter: "In the old ovens of gas compression where direct burning was not applied, coal was used as fuel and 3.5 to 4 hours had to pass for burning a corpse to ashes for complete reduction." 24. Dapatkah mayat dibakar di sumur-sumur? Tidak. Mustahil bagi tubuh manusia sepenuhnya dimakan api, dalam hal ini, di bawah air, bahkan dengan penggunaan bahan pemercepat buatan (bensin). 25. Para sejarawan Holokaus menyatakan bahwa kaum Nazi mampu mengabukan mayat dalam waktu 10 menit. Berapa lamakah sekarang ini untuk mengabukan satu mayat, menurut para petugas krematorium yang mumpuni? Sekitar satu setengah jam, walaupun tulang-tulang besar akan tetap utuh. Pernyataan terkait para sejarawan Holokaus adalah bahwa hanya memerlukan 10 menit bagi Nazi untuk menghabisi satu mayat menjadi debu di sebuah tungku krematorium. Inilah teka-teki teknik lainnya. Menurut Fred Leuchter: Di tungku-tungku tua dengan tekanan gas tempat pembakaran langsung tidak diterapkan, batubara digunakan sebagai bahan bakar dan 3,5 sampai 4 jam diperlukan untuk membakar sesosok mayat menjadi abu demi pemusnahan penuh. 26. Why did German concentration camps have crematory ovens? During the Second World War cremation rather than burial was the rule in German concentration camps. This was not done out of a sense of tradition, nor was it done to punish the Nazis' enemies, including Jews. It was necessary for hygienic purposes, both because of limited burial space, and to combat the epidemics which were a constant threat in the camps. Cremation, costly and troublesome though it often was, was standard not only for Jews who had died but for all others. The major reason for cremation was the typhus epidemic, that resulted in many deaths in the camps. Burning the corpses helped stop the spread of the epidemic. Contrary to widespread impression (which the Holocaust mongers seem little disposed to dispel), there is no factual basis for the canard that the Nazis burned Jews alive in crematory ovens. 26. Mengapa kamp-kamp konsentrasi Jerman memiliki tungku-tungku krematorium? Selama Perang Dunia II, pengabuan dan bukannya penguburan menjadi kaidah di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Langkah ini dilakukan tidak karena adat-istiadat, tidak juga untuk menghukum musuh-musuh Nazi, termasuk orang-orang Yahudi. Hal itu penting bagi maksud-maksud kesehatan, akibat terbatasnya lahan penguburan dan sebagai cara memerangi wabah yang

h. 196 merupakan ancaman abadi di kamp-kamp. Pengabuan, sekalipun sering kali mahal dan sukar, adalah suatu tindakan baku tak hanya terhadap kaum Yahudi yang mati di kamp-kamp, namun juga bagi kaum lain. Alasan besar bagi pengabuan adalah tifus, yang menyebabkan banyak kematian di kamp-kamp. Membakar mayat membantu menghentikan penyebaran wabah ini. Berlawanan dengan kesan yang tersebar luas (yang tampaknya para penganjur Holokaus kurang sudi menghilangkannya), tiada dasar nyata bagi desas-desus bahwa kaum Nazi membakar hidup-hidup orang Yahudi di tungku-tungku krematorium. 27. Given a 100-percent duty cycle of all the crematories in all the camps in Germancontrolled territory, what is the maximum number of corpses it would have been possible to incinerate during the entire period such crematories were in operation? About 430,600. 28. Can a crematory oven be operated 100 percent of the time? No. Fifty percent of the time is a generous estimate (12 hours per day). Crematory ovens have to be cleaned regularly when in heavy operation. 29. Do Allied wartime aerial reconnaissance photos of Auschwitz (taken during the period when the "gas chambers" and crematories were supposedly in full operation) show evidence of extermination? No. In fact, these photographs do not reveal even a trace of the enormous amount of smoke that supposedly was constantly over the camp, nor do they show evidence of the "open pits" in which bodies were allegedly burned. 30. What did the International Red Cross report with regard to the "Holocaust" question? An official report on the visit of an IRC delegation to Auschwitz in September 1944 pointed out that internees were permitted to receive packages, and that rumors of gas chambers could not be verified. 27. Anggap daur kerja 100 persen bagi semua krematorium di semua kamp di wilayah kekuasaan Jerman, berapakah jumlah terbanyak mayat yang dapat diabukan selama seluruh jangka waktu krematorium-krematorium itu beroperasi? Kira-kira 430,600 orang. 28. Dapatkah sebuah tungku krematorium bekerja 100 persen waktu? Tidak. 50 persen waktu adalah taksiran yang optimis (12 jam per hari). Tungku-tungku krematorium harus dibersihkan secara berkala saat bekerja berat.

h. 197 29. Apakah foto-foto pengintaian udara Auschwitz oleh Sekutu di masa perang (diambil semasa ketika kamar-kamar gas dan krematorium-krematorium diduga bekerja penuh) memberikan petunjuk pemusnahan? Tidak. Nyatanya, foto-foto ini bahkan tidak mengungkapkan jejak bubungan asap yang luar biasa yang diduga berkesinambungan di atas kamp, tidak juga memberikan petunjuk tentang sumur terbuka tempat mayat disangkakan dibakar. 30. Apakah yang dilaporkan Palang Merah Internasional tentang masalah Holokaus? Sebuah laporan resmi tentang kunjungan utusan Palang Merah Internasional ke Auschwitz di bulan September 1944 menunjukkan bahwa para tawanan diizinkan menerima kiriman, dan bahwa desas-desus kamar gas tidak dapat dipastikan. 31. What evidence is there that Hitler knew of an on-going Jewish extermination program? None. 32. Did Nazis and Zionists collaborate? As early as 1933, Hitler's government signed an agreement with the Zionists permitting Jews to emigrate from Germany to Palestine, taking large amounts of capital with them. 33. Is the Anne Frank Diary genuine? Evidence compiled by Dr. Robert Faurisson of France establishes that the famous "diary" is a literary hoax. 34. What about the familiar photographs and film footage taken in the liberated German camps showing piles of emaciated corpses? Are these faked? It's easy to add a misleading caption to a photo or commentary to a piece of footage. Piles of emaciated corpses do not mean that these people were "gassed" or deliberately starved to death. Actually, these were tragic victims of raging epidemics or of starvation in the camps toward the end of the war. 31. Petunjuk apakah yang ada bahwa Hitler mengetahui sebuah program pemusnahan Yahudi sedang berlangsung? Tidak ada. 32. Apakah kaum Nazi dan Zionis berkomplot? Sedini tahun 1933, pemerintah Hitler menandatangani sebuah kesepakatan dengan kaum

h. 198 Zionis yang mengizinkan orang-orang Yahudi berpindah dari Jerman ke Palestina, membawa sejumlah besar modal bersamanya. 33. Apakah buku harian Anne Frank asli? Petunjuk yang dikumpulkan oleh Dr. Robert Faurisson dari Perancis menegaskan bahwa buku harian yang terkenal ini sebuah tipuan sastra. 34. Bagaimana dengan foto-foto dan liputan film yang luas dikenal yang diambil di kampkamp Jerman saat dibebaskan dan memperlihatkan tumpukan mayat kurus? Apakah ini pemalsuan? Mudah untuk menempelkan keterangan gambar yang menyesatkan ke sebuah foto atau ulasan menyesatkan ke sebuah liputan. Tumpukan mayat kurus tidak berarti bahwa orang-orang ini digas atau sengaja dibuat kelaparan sampai mati. Sebenarnya, inilah korban-korban menyedihkan dari wabah yang mengamuk atau kelaparan di kamp-kamp menjelang akhir perang. 35. Who originated the term "genocide"? Raphael Lemkin, a Polish Jew, in a book released in 1944. 35. Dari siapakan asal istilah genosida? Raphael Lemkin, seorang Yahudi Polandia, di dalam sebuah buku yang diterbitkan di tahun 1944. 36. Are films such as "Schindler's List" or "The Winds of War" documentaries? No. Such films are fictional dramatizations loosely based on history. Unfortunately, all too many people accept them as accurate historical representations. 36. Apakah film-film seperti Schindler's List" (Daftar Schindler) atau "The Winds of War" (Badai Perang) itu dokumenter? Bukan. Film-film sejenis itu adalah pembesar-besaran fiktif yang secara longgar berdasarkan pada sejarah. Sayangnya, terlalu sering kebanyakan orang menerima film-film itu sebagai sajian cermat sejarah. 37. How many books have been published that refute aspects of the standard "Holocaust" story? Dozens. More are in production. You are currently reading the first book published in Turkey refuting the "Holocaust" story.

h. 199 38. What happened when the Institute for Historical Review offered $50,000 to anyone who could prove that Jews were gassed at Auschwitz? No proof was submitted as a claim on the reward, but the Institute was sued for $17 million by former Auschwitz inmate Mel Mermelstein, who claimed that the reward offer caused him to lose sleep and his business to suffer, and represented "injurious denial of established fact." 37. Berapa banyakkah buku telah diterbitkan yang menyangkal segi-segi dari kisah baku Holokaus? Puluhan. Lebih banyak lagi akan terbit. Anda sekarang sedang membaca buku pertama di Turki yang menyangkal kisah Holokaus. 38. Apakah yang terjadi ketika The Institure for Historical Review menawarkan 50 ribu dolar AS kepada siapa pun yang dapat membuktikan bahwa kaum Yahudi digas di Auschwitz? Tiada bukti yang diserahkan sebagai tanggapan atas hadiah ini, namun lembaga ini digugat 17 juta dolar oleh mantan tawanan Auschwitz Mel Mermelstein, yang menyatakan bahwa tawaran hadiah itu menyebabkan ia tak bisa tidur dan bisnisnya hancur, dan mewakili penyangkalan yang melukai atas kenyataan yang mapan. 39. What about the charge that those who question the Holocaust story are merely antiSemitic or neo-Nazi? Although there is no other intention than seeking what is true as a historian, exterminationists call revisionist researchers "anti-Semitic" or "neo-Nazi." This smear is designed to draw attention away from facts and honest arguments. There is no correlation between "Holocaust" refutation and anti-Semitism or neo-Nazism. Zionists label all critics "anti-Semitic" and try to stop their research. We assume that some will make the similar accusations for this book. But what correlation could there be between academic studies and anti-Semitism? Isn't it ridiculous to define someone who believes that Nazism and all kinds of fascism are heretic ideologies as "neo-Nazi"? 39. Bagaimanakah dengan tuduhan bahwa mereka yang mempertanyakan kisah Holokaus adalah sekedar anti-Semit atau neo-Nazi? Walaupun sebagai seorang sejarawan, tiada maksud selain mencari apa yang benar, para eksterminasionis menyebut para revisionis sebagai anti-Semit atau neo-Nazi. Penistaan ini dirancang untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan-kenyataan dan alasan-alasan yang jujur. Tidak ada kaitan antara penyangkalan Holokaus dan anti-Semitisme atau neo-Nazisme. Para Zionis mencap semua pengecam anti-Semit dan mencoba menghentikan penelitian mereka. Penulis menduga bahwa sebagian orang akan melontarkan tuduhan serupa kepada buku ini. Namun, apakah kaitan yang mungkin antara kajian akademis dan anti-Semitisme? Tidakkah janggal menetapkan seseorang yang yakin bahwa Nazisme dan semua jenis fasisme adalah pemikiran-pemikiran takhyul sebagai neo-Nazi?

h. 200

40. What has happened to revisionist historians who have challenged the Holocaust story? They have been worn down by pressure campaigns; dismissed from university faculties, or had their studies terminated; had their academic salaries lowered or withdrawn; suffered assaults to their property and their persons; been threatened (together with their families) in person, by telephone, and otherwise; been subjected to lengthy criminal and civil investigations, and had their private archives seized or damaged. 40. Apakah yang terjadi pada diri para sejarawan revisionis yang menantang kisah Holokaus? Mereka telah diletihkan dengan kampanye penekanan; dipecat dari jabatan universitas, atau penelitian mereka dihentikan; gaji akademik mereka diturunkan atau ditahan; menderita seranganserangan terhadap harta dan orang-orang mereka; diancam (bersama dengan keluarga mereka) secara pribadi, lewat telepon, atau cara-cara lain; dijadikan sasaran penyelidikan pidana dan perdata yang panjang, dan arsip-arsip pribadi mereka disita atau dirusak.

Pertanyaan-Pertanyaan bagi Para Eksterminasionis


1. Apakah beralasan meyakini pernyataan-pernyataan tentang pemusnahan 6 juta orang Yahudi, tanpa sepotong pun bukti? 2. Mengapakah mustahil menemukan sebagai foto bahkan satu saja orang Yahudi yang dibunuh di kamar gas? 3. Untuk menjalankan pemusnahan 6 juta orang Yahudi, petugas yang amat cakap dan mesin yang amat efisien akan mutlak diperlukan. Mengapakah mustahil menemukan secarik petunjuk yang terpercaya tentang keberadaan organisasi atau sistem seperti itu? 4. Bagaimanakah orang memberi dalih bagi pengungkapan Fred Leuchter (seorang spesialis kamar gas dan cara-cara lain hukuman mati yang telah bekerja bertahun-tahun di Amerika) yang menyatakan bahwa 32 percontoh bahan yang berlainan dari dinding, langit-langit, dan lantai dari yang disangka kamar gas Auschwitz secara ilmiah membantah tuduhan-tuduhan bahwa ruanganruangan itu telah digunakan untuk penggasan mati? 5. Even in today's high-tech world, gas chambers, thanks to certain technical shortcomings, are not generally considered a trustworthy means of execution for individuals. Considering that these technical failings cannot be eliminated completely even with modern know-how, is it reasonable to claim that gas chambers were used as an effective method of mass murder over half a century ago? 5. Bahkan di dunia teknologi tinggi masa kini, kamar gas, berkat beberapa kesukaran teknis, tidak umum dipandang sebagai cara andal menghukum mati. Dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan teknis yang tak bisa sepenuhnya dihilangkan bahkan dengan keterampilan

h. 201 mutakhir, apakah beralasan menyatakan bahwa kamar gas digunakan sebagai cara efektif pembunuhan massal lebih dari setengah abad yang lalu? 6. Zyklon B was used for disinfesting in the concentration camps' delousing chambers. What's more, one can still see the blue traces of Zyklon B on the walls of these delousing chambers today. This is a powerful evidence that Zyklon B was actually used for disinfesting clothes, blankets and the like in the delousing chambers. Isn't the lack of blue traces on the walls of so-called gas chambers a powerful indication that Zyklon B was not used in these rooms for mass murder? 6. Zyklon B digunakan untuk menyucihamakan di kamar pembasmian tuma kamp-kamp konsentrasi. Lebih lagi, hari ini orang masih dapat melihat jejak-jejak biru Zyklon B di dindingdinding kamar pembasmian tuma. Ini petunjuk kuat bahwa Zyklon B sebenarnya digunakan untuk menyucihamakan pakaian, selimut, dan sejenisnya di kamar-kamar pembasmian hama. Bukankah ketiadaan jejak-jejak biru di dinding-dinding dari yang disangka kamar gas sebuah penanda kuat bahwa Zyklon B tidak digunakan di sana untuk pembunuhan massal? 7. If there were homicidal gas chambers in which millions died, as has been claimed for years, why are the only photos of of non-homicidal delousing chambers, and why are these photos passed off as homicidal gas chambers? 8. Exterminationists point to invoices of Zyklon B shipments as evidence of extermination. However, massive amounts of Zyklon B were ordered by concentration camps that even exterminationists concede had no homicidal gas chambers. The invoices issued for these shipments were, significantly, addressed to the Disinfection Department, which operated the chambers in which clothes were disinfected against typhus. Wouldn't it be more realistic to accept that Zyklon B gas was used for disinfection, rather than for "gassing" in all concentration camps? 7. Jika ada kamar gas pembunuh tempat jutaan orang mati, sebagaimana telah dinyatakan bertahun-tahun, mengapakah hanya ada foto-foto kamar pembasmian tuma yang tak membunuh, dan mengapakah foto-foto ini disodorkan sebagai foto kamar gas pembunuh? 8. Para eksterminasionis menunjuk ke pengapalan Zyklon B sebagai petunjuk pemusnahan. Akan tetapi, sejumlah besar Zyklon B dipesan oleh kamp-kamp konsentrasi yang bahkan diakui para eksterminasionis tidak memiliki kamar gas. Tagihan atas pengapalan-pengapalan ini, amat menyolok, dialamatkan ke Bagian Penyucihamaan, yang menjalankan kamar-kamar gas tempat pakaian disucihamakan terhadap tifus. Tidakkah akan lebih wajar menerima bahwa di semua kamp konsentrasi, gas Zyklon B digunakan untuk penyucihamaan, bukan penggasan? 9. It is obvious that no provision for gasketed doors, windows or vents in the so-called gas chambers and that the structures are not coated or sealed to prevent leakage or absorption of gas. There were no special systems to vent the gas after usage. Would it be possible to claim that million Jews were exterminated in these rooms despite all these technical deficiencies?

h. 202 10. There are floor drains that connect the alleged "gas chambers" to the hospital and other areas in the camps. Wouldn't it be inevitable for the gas to reach other areas and cause the unintended deaths of others in the camp, including the guards? 9. Jelas bahwa tidak ada persiapan bagi pintu, jendela, atau lubang angin berpengedap di yang disebut kamar gas dan bahwa bangunan-bangunan tidak dilapisi atau dikedapkan untuk mencegah kebocoran atau penyerapan gas. Tidak ada sistem khusus untuk mengeluarkan gas setelah pemakaian. Apakah mungkin untuk menyatakan bahwa jutaan orang Yahudi dimusnahkan di kamar-kamar ini sekalipun semua kekurangan teknis ini? 10. Ada saluran pembuangan bawah lantai yang menghubungkan yang disangka kamar gas ini ke rumah sakit dan daerah-daerah lain kamp. Tidakkah gas tak dapat dicegah mencapai daerahdaerah lain dan menyebabkan kematian yang tak diinginkan pada orang-orang lain di kamp, termasuk para penjaganya? 11. Furthermore wouldn't it be inevitable that gas leaking from the unsealed "gas chambers" would reach the crematories, and would ignite or explode? 12. Even if we accept that these rooms were exposed to intensive gas, it would obviously be impossible to enter these rooms and gather the corpses because of the absence of a proper ventilation system to supply clean air into the room. Then, how would it be possible to explain the ridiculous exterminationist claim which states that "the corpses were collected immediately"? 13. For best results, the gas should be evenly distributed throughout the "gas chamber." But there were no systems in these places for doing so. How would it be possible to explain the absence of such a distribution system in the room? 14. How would it be possible to circulate the Zyklon B gas in a room packed tight with people? 15. What would the exterminationists who claim that Zyklon B gas was released through openings in the roof say against the fact that it would be impossible for the gas to be distributed evenly throughout the room this way? 11. Lebih jauh, tidakkah dapat dicegah bahwa kebocoran gas dari kamar-kamar gas yang tak berpengedap akan mencapai krematorium-krematorium, dan akan membakar atau meledak? 12. Bahkan jika kita menyepakati bahwa ruangan-ruangan ini lama terpapar gas, jelas mustahil masuk ke sana dan mengumpulkan mayat-mayat karena ketiadaan sistem pertukaran udara untuk memasok udara segar ke dalam ruangan. Lalu, bagaimanakah mungkin menjelaskan pernyataan janggal eksterminasionis yang menyatakan bahwa mayat-mayat langsung dikumpulkan? 13. Untuk hasil terbaik, gas harus disebarkan merata ke semua sudut kamar gas. Namun,

h. 203 tidak ada sistem untuk melakukan hal ini di ruangan-ruangan itu. menjelaskan ketiadaan sistem penyebaran semacam itu di ruangan? Bagaimanakah mungkin

14. Bagaimanakah mungkin mengedarkan gas Zyklon B di sebuah ruangan yang sesak dengan manusia? 15. Apakah yang akan dikatakan para eksterminasionis yang menyatakan bahwa gas Zyklon B dilepaskan lewat lubang di langit-langit terhadap kenyataan bahwa mustahil bagi gas disebarkan merata ke seluruh ruangan dengan cara ini? 16. There were no channels to release enough Zyklon B and no pumps to spray the gas into the room. Would it be possible to ignore the fact that it was impossible for the people in these rooms to expire under these conditions in the short period of time claimed by the "eyewitnesses"? 17. As it is acknowledged areas treated with Zyklon B should be dry, and heated to a certain temperature for best results. The rooms which were claimed to be used as gas chambers were damp and were not heated. Wouldn't these facts refute the claim that states Zyklon B was immediately fatal in the "gas chambers"? 16. Tidak ada saluran untuk melepaskan cukup Zyklon B dan tidak ada pompa untuk menyemprotkan gas ke dalam ruangan. Dengan keadaan-keadaan ini, apakah mungkin mengabaikan kenyataan bahwa mustahil bagi orang-orang di dalam ruangan ini tewas di dalam waktu yang amat pendek sebagaimana dinyatakan oleh para saksi mata? 17. Sebagaimana diakui daerah-daerah yang diterapkan Zyklon B harus kering, dan dipanaskan ke suhu tertentu demi hasil terbaik. Ruangan-ruangan yang dinyatakan digunakan sebagai kamar gas basah dan tidak dipanaskan. Tidakkah kenyataan-kenyataan ini membantah pernyataan yang mengatakan bahwa Zyklon B langsung membunuh di kamar-kamar gas? 18. How would the extreminationists who claim that the "gas chambers" were continuously used in the concentration camps, explain the technical obligation of ventilating a room used as a gas chamber for twenty hours after each usage? 19. What kind of an explanation is there about the confessions of the manager of Auschwitz Museum who stated that rooms presented as "gas chambers" today had been architecturally altered after the war in order to create the required dramatic effect, even though the rooms are presented to visitors as being in their original state? 20. What kind of an "explanation" could there be made for fact that it is technically impossible for million Jews to be killed during the time in question even if the rooms claimed to be "gas chambers" were used in full capacity? 21. Is it rational to claim that 600 Jews were exposed to gas in a room which could only take 94 people?

h. 204 18. Bagaimanakah para eksterminasionis yang menyatakan bahwa kamar-kamar gas terusmenerus digunakan di kamp-kamp konsentrasi, menjelaskan kewajiban teknis menukar udara di sebuah ruangan yang dipakai sebagai kamar gas selama 24 jam setelah pemakaian? 19. Penjelasan macam apakah yang ada tentang pengakuan pengelola Museum Auschwitz yang menyatakan bahwa ruangan-ruangan yang disajikan sebagai kamar-kamar gas hari ini telah diubah secara arsitektur sesudah perang supaya menciptakan pengaruh mengharukan yang diinginkan, sekalipun ruangan-ruangan diperlihatkan kepada pengunjung seakan dalam keadaan aslinya? 20. Penjelasan macam apakah yang dapat dibuat atas kenyataan bahwa secara teknik mustahil bagi jutaan orang Yahudi dibunuh selama kurun waktu yang dipermasalahkan bahkan jika ruangan-ruangan yang dinyatakan sebagai kamar gas dijalankan dengan kemampuan maksimalnya? 21. Apakah masuk akal menyatakan 600 orang Yahudi dipaparkan ke gas di sebuah ruangan yang hanya mampu menampung 94 orang? 22. According to another claim of the exterminationists 2000 Jews were killed in a 210 m2 gas chamber, meaning 9.5 people occupied every 1 m2. Can this claim be anything but ridiculous? 23. According to the "confession" of an SS officer Kurt Gerstein, 700-800 naked people in a room measuring 25 m2 had been killed by Zyklon B gas." Is it possible for 32 people simultaneously to occupy 1 m2? 24. The time required for the exposure of gas to cause death is an other subject that the exterminationists can not agree on. Don't the existence of deep conflicts concerning what should be a fundamental aspect of homicidal gassing prove that Holocaust gassing claims are imaginary? 22. Menurut pernyataan lain eksterminasionis, 2 ribu orang Yahudi dibunuh di dalam sebuah kamar gas berukuran 200 meter persegi, yang berarti 9,5 orang menempati 1 meter persegi. Dapatkah pernyataan ini bermakna sesuatu selain ngawur? 23. Menurut pengakuan perwira SS Kurt Gerstein, 700-800 orang yang bugil di sebuah ruangan berukuran 25 meter persegi dibunuh dengan gas Zyklon B. Apakah mungkin bagi 32 orang secara bersamaan menempati 1 meter persegi? 24. Waktu yang diperlukan bagi pemaparan gas agar menyebabkan kematian adalah masalah lain yang tak bisa disepakati para eksterminasionis. Tidakkah adanya pertikaian mendalam menyangkut apa yang seharusnya menjadi segi mendasar penggasan mati ini membuktikan bahwa pernyataan-pernyataan penggasan Holokaus itu khayalan?

h. 205 25. It is potentially fatal to enter a room that has been fumigated with Zyklon B before it has been ventilated. Doesn't the exterminationist claim that "the doors were opened after 30 minutes and that the corpses were emptied from the gas chambers" proof of their lies about the subject? 26. We are told that those removing corpses from the "gas chambers" ate and smoked as they worked. This means these people entered the room without wearing gas masks. How could these workers enter the rooms without taking any precautions, without themselves being poisoned? How could these workers smoke cigarettes in an atmosphere saturated with Zyklon B gas without causing an explosion? Why didn't Zyklon B gas, which adheres to the surfaces cling to the food they were eating and poison them? 27. According to the directions for using Zyklon B, after fumigation it is necessary to ventilate for 20 hours. How could the soldiers enter these rooms immediately according to the declarations of exterminationists to take the corpses out? 25. Memasuki sebuah ruangan yang telah disucihamakan dengan Zyklon B sebelum ditukar udaranya berpeluang mematikan. Tidakkah pernyataan para eksterminasionis bahwa pintu-pintu dibuka setelah 30 menit dan mayat-mayat diangkut keluar dari kamar-kamar gas bukti dusta mereka tentang masalah ini? 26. Kita dikabari bahwa mereka yang memindahkan mayat-mayat dari kamar gas makan dan merokok sambil bekerja. Berarti orang-orang ini memasuki ruangan tanpa memakai masker gas. Bagaimanakah para pekerja ini memasuki ruangan tanpa melakukan pengamanan apa pun, tanpa ikut keracunan? Bagaimanakah para pekerja ini mengisap rokok di udara yang jenuh dengan Zyklon B tanpa menyebabkan sebuah ledakan? Mengapakah tidak gas Zyklon B, yang meresap ke permukaan, menempel ke makanan yang sedang mereka makan dan meracuni mereka? 27. Menurut panduan penggunaan Zyklon B, setelah penyucihamaan, penting untuk menukar udara selama 20 jam. Bagaimanakah para tentara bisa memasuki langsung ruangan-ruangan itu menurut pernyataan para eksterminasionis untuk mengeluarkan mayat-mayat? 28. Workers using Zyklon B were to be specifically trained. What explains the absence of any indication that these workers were so trained? 29. How rational is it to believe that thousands of Jews were electrocuted in a special elevator, which also cremated them electronically, which is another unbelievable Holocaust story? 30. How could anyone claim that it is not a reasonable hygenic precaution to burn the corpses of the Jews who might have been exposed to typhus? 31. Shouldn't claims that Jews were thrown into crematory ovens alive be evaluated as propaganda?

h. 206 32. What kind of an explanation could be made for the technical impossibility of cremating 6 million people in those crematories during the claimed amount of time, even if the crematories had been used 24 hours a day which is also technically impossible? 28. Para pekerja yang menggunakan Zyklon B harus dilatih khusus. menjelaskan ketiadaan petunjuk bahwa para pekerja ini amat terlatih? Apakah yang

29. Seberapa masuk akalkah mempercayai bahwa ribuan orang Yahudi disetrum di sebuah lift khusus, yang juga mengabukan mereka secara elektronik, yang merupakan satu kisah mencengangkan Holokaus lainnya? 30. Bagaimanakah seseorang dapat menyatakan bahwa membakar mayat-mayat orang Yahudi yang mungkin telah terpapar tifus itu bukan sebuah langkah pencegahan yang masuk akal? 31. Tidakkah pernyataan bahwa orang Yahudi dilemparkan ke tungku krematorium hiduphidup seharusnya dinilai sebagai propaganda? 32. Penjelasan macam apakah yang dapat dibuat bagi kemustahilan teknis mengabukan 6 juta orang di krematorium-krematorium itu selama kurun waktu yang dinyatakan, bahkan jika krematorium digunakan 24 jam sehari yang secara teknis juga mustahil? 33. Modern crematories take 1.5 to 2 hours to reduce a corpse to ashes. The charcoal-fueled crematories of 50 years ago took 3.5 to 4 hours to do the same thing. How realistic is it to claim that the Nazis burned corpses in those furnaces in 10 minutes? 34. It has been claimed that pits were used for burning corpses in Birkenau, even though Birkenau is located on swamping ground that has a very high water table. How would it be possible to burn corpses under water? 35. Exterminationists claim that 6 million European Jews were exterminated by the Nazis. Why do they disregard the statistical evidence that the maximum number of the European Jews under National Socialist control was 4.5 million? 36. Despite statistics in Baseler Nachrichten that 2 million of those 4.5 million European Jews emigrated to England, Sweden, Spain, Portugal, Australia, China, India, Palestine and Russia, how can it be denied that only 2.5 million Jews could possibly have perished? 33. Krematorium-krematorium mutakhir memerlukan 1,5 sampai 2 jam untuk melenyapkan sesosok mayat menjadi abu. Krematorium-krematorium berbahan bakar batubara dari masa 50 tahun lalu memerlukan 3,5 sampai 4 jam untuk melakukan yang sama. Seberapa wajarkah menyatakan bahwa kaum Nazi membakar mayat di perapian-perapian itu dalam 10 menit? 34. Telah dinyatakan bahwa sumur-sumur dipakai membakar mayat di Birkenau, walaupun Birkenau berada di tanah berawa yang berpermukaan air tinggi. Bagaimanakah mungkin membakar

h. 207 mayat di bawah air? 35. Para eksterminasionis menyatakan bahwa 6 juta kaum Yahudi Eropa dimusnahkan oleh kaum Nazi. Mengapakah mereka tidak mempertimbangkan petunjuk statistik bahwa jumlah maksimum kaum Yahudi Eropa di bahwa kendali Nazi hanya 4,5 juta? 36. Sekalipun statistik di Baseler Nachrichten bahwa 2 dari 4,5 juta kaum Yahudi Eropa berpindah ke Inggris, Swedia, Spanyol, Portugal, Australia, Cina, India, Palestina, dan Rusia, bagaimanakah dapat disangkal bahwa hanya 2,5 juta orang Yahudi yang mungkin telah punah? 37. A European census showed that of these 2.5 million Jews, 1,559,600 were still alive at the conclusion of the war. How can scholars disregard statistics that a maximum of 940,400 Jews died from all causes? 38. Research done by American authorities after the war shows that only 1.2 million persons died in concentration camps during the war, and this number consisted of Jews, homosexuals, gypsies, Ukrainians, and others. Doesn't this fact bolster the position that the claim of 6 million Jewish deaths is a lie? 37. Sebuah sensus Eropa menunjukkan bahwa dari 2,5 juta orang Yahudi ini, 1.559.600 masih hidup di akhir perang. Bagaimanakah para cendekiawan mengabaikan statistik bahwa maksimum 940,400 orang Yahudi mati akibat beraneka sebab? 38. Penelitian yang dilakukan oleh penguasa Amerika setelah perang menunjukkan bahwa hanya 1,2 juta orang mati di kamp-kamp konsentrasi selama perang, dan angka ini mencakup kaum Yahudi, para homoseks, kaum gipsi, orang-orang Ukraina, dan bangsa-bangsa lain. Tidakkah kenyataan ini memperkuat kedudukan bahwa pernyataan tentang kematian 6 juta orang Yahudi itu sebuah dusta? 39. As a result, shouldn't we accept the statistical information which indicates that the maximum number of Jews who had died in the concentration camps were 500,000? Is there any reason (other than sentimental) to carry on the 6 million sophistry by ignoring these statistics? 40. We already showed statistically that 2 million of the 4.5 million European Jewish population emigrated to safe districts in peace. Doesn't the post-war census of the "safe areas," which show an additional 2 million Jewish population, support this statistical analysis? 41. Louis Levine, president of the American Jewish Committee, stated in a report he prepared after personally visiting the above mentioned regions, that "2 million Jews took refuge in these regions, as they escaped from the Nazi threat in Europe." Doesn't this provide further support for the fact that 2 million of the 6 million Jews, who were claimed to have been killed, actually survived?

h. 208 42. SS Officer Kurt Gerstein, who is accepted as key eyewitness, and whose "confession" was accepted by the Nuremberg tribunal, declared that the number of European Jewish victims was 25 million. As during those years there were only a total of 16.5 million worldwide, and about 5.5 million Jews in Europe, is this not a striking example of how Holocaust historians attempt to support their claims with unreliable sources? 39. Sebagai akibatnya, tidakkah kita harus menerima informasi statistik yang menunjukkan bahwa jumlah maksimum kaum Yahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi sekitar 500 ribu? Adakah alasan (dari sekedar keterharuan) mempertahankan pendapat salah 6 juta dengan mengabaikan statistik-statistik ini? 40. Kami telah menunjukkan secara statistik bahwa 2 dari 4,5 juta kaum Yahudi Eropa berpindah ke tempat-tempat yang aman dengan damai. Tidakkah sensus pascaperang daerahdaerah aman, yang menunjukkan tambahan 2 juta penduduk Yahudi, mendukung analisis statistik ini? 41. Louis Levine, presiden American Jewish Committee, menyatakan di dalam sebuah laporan yang disiapkannya setelah secara pribadi mengunjungi daerah-daerah yang disebutkan di atas, bahwa 2 juta orang Yahudi mengungsi ke daerah-daerah ini, sambil melarikan diri dari ancaman Nazi di Eropa. Tidakkah ini memberikan dukungan lebih jauh bagi kenyataan bahwa 2 dari 6 juta orang Yahudi, yang dinyatakan telah dibunuh, sebenarnya selamat? 42. Perwira SS Kurt Gerstein, yang diterima sebagai saksi mata kunci, dan yang pengakuan-nya diterima di pengadilan militer Nuremberg, menyatakan bahwa jumlah korban kaum Yahudi Eropa adalah 25 juta. Karena selama tahun-tahun perang hanya ada seluruhnya 16,5 juta orang Yahudi di seluruh dunia, dan kira-kira 5,5 juta orang Yahudi di Eropa, tidakkah ini sebuah contoh menyolok bagaimana sejarawan Holokaus berupaya mendukung pernyataan mereka dengan menggunakan sumber-sumber yang tak terpercaya? 43. After which "unfortunate" developments did the exterminationist circles have to downgrade their own estimate of 25 million Holocaust victims to the 12 million? 44. Who was the Jewish journalist who warned, "With such absurdities, we will only damage ourselves," after the revision to 12 million from 25 million victims? Why was the new figure not 12 million but 6 million? 45. For years the figure for the number of people claimed to have been killed in Auschwitz gas chambers was 4.5 million. What developments led the Polish Government to downgrade this figure officially to 1.1 million? 43. Setelah perkembangan tak menguntungkan manakah kalangan eksterminasionis harus menurunkan taksiran mereka sendiri dari 25 juta korban menjadi 12 juta? 44. Siapakah wartawan Yahudi yang memperingatkan, Dengan kejanggalan-kejanggalan

h. 209 semacam itu, kita hanya akan merusak diri sendiri, setelah perbaikan ke 12 juta dari 25 juta korban? Mengapakah angka baru bukan 12, melainkan 6 juta? 45. Selama bertahun-tahun angka jumlah orang yang dinyatakan terbunuh di kamar-kamar gas Auschwitz adalah 4,5 juta. Perkembangan apakah yang membawa Pemerintah Polandia menurunkan angka ini secara resmi menjadi 1,1 juta? 46. Even though the Auschwitz "death books" which had been missing since the end of the war were found in Moscow, why hasn't it come to light that the number of Jews who died in Auschwitz was not 1.1 million but maximum 150,000, and that none of them died in gas chambers? 47. When we look at photographs of Jewish concentration camp inmates liberated by American soldiers at the end of war, we see that they appear healthy. On the other hand, when we look at the photographs of the Jews died in those camps, we see that were emaciated. This emaciation is a well-known indication of typhus, which was wide-spread in concentration camps in those years. Is this not an indication that most Jews who died in the camps in fact died of typhus? 48. Today, it is accepted even by exterminationists that there were no gas chambers in any concentration camps built in German land. Who, then, fabricated the story of of gas chambers at the Dachau concentration camp (north of Munich), and why? 46. Walaupun buku kematian Auschwitz yang hilang sejak akhir perang ditemukan di Moskow, mengapa tidak menjadi luas diketahui bahwa jumlah orang Yahudi yang mati di Auschwitz bukanlah 1,1 juta melainkan paling tinggi 150 ribu, dan bahwa tak satu pun dari mereka mati di kamar gas? 47. Ketika mencermati foto-foto orang Yahudi tawanan kamp konsentrasi yang dibebaskan oleh tentara Amerika di akhir perang, kita melihat mereka tampak sehat. Di sisi lain, ketika mencermati foto-foto orang Yahudi yang mati di kamp-kamp itu, kita melihat mereka kurus. Kekurusan ini adalah petunjuk terkenal tifus, yang merajalela di kamp-kamp konsentrasi di tahuntahun itu. Tidakkah ini sebuah petunjuk bahwa sebagian besar orang Yahudi yang tewas di kampkamp sesungguhnya mati karena tifus? 48. Kini, diterima bahkan oleh para eksterminasionis bahwa tiada kamar gas di kamp konsentrasi mana pun yang dibangun di wilayah Jerman. Lalu, siapakah yang mengarang cerita kamar gas di kamp konsentrasi Dachau (di utara Munich), dan mengapa? 49. Stephen F. Pinter, who served as an attorney for the U.S. War Department after the Second World War, spent seventeen months at the former Dachau concentration camp after the war. Did not he state that what was shown to the visitors and the sightseers in Dachau and erroneously described as a gas chamber was a crematory, and that he had not seen even a single gas chamber there?

h. 210 50. While rumors about the existence of gas chambers were being spread during war, did not the Red Cross investigate Auschwitz in September 1944, and report that there was no substantiation to these rumors? 51. It has been claimed that the official policy of the Nazi government was to exterminate Jews, and this policy was carried out in a systematic, planned and coordinated manner. If such a coordinated state policy had been implemented, there would have been correspondence among the different branches of the state hierarchy. However, there isn't a single such document anywhere to be found. How, then, is it possible to support such claims? 49. Stephen F. Pinter, yang bertugas sebagai seorang jaksa Departemen Perang Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, menghabiskan 17 bulan di bekas kamp konsentrasi Dachau setelah perang. Tidakkah ia menyatakan bahwa yang dipamerkan kepada pengunjung dan pelancong di Dachau dan keliru digambarkan sebagai kamar gas adalah sebuah krematorium, dan bahwa ia belum pernah melihat bahkan satu pun kamar gas di sana? 50. Sementara desas-desus tentang keberadaan kamar gas disebarkan selama perang, tidakkah Palang Merah menyelidiki Auschwitz di bulan September 1944, dan melaporkan bahwa tidak ada pembenaran bagi desas-desus ini? 51. Telah dinyatakan bahwa kebijakan resmi pemerintah Nazi adalah memusnahkan kaum Yahudi, dan kebijakan ini dijalankan dengan cara yang tertata, terencana, dan terselaraskan. Jika sebuah kebijakan yang terselaraskan semacam itu telah dijalankan, pastilah ada surat-menyurat di antara berbagai cabang dari hirarki negara. Akan tetapi, tidak ada satu pun dokumen sedemikian ditemukan di mana pun. Lalu, bagaimanakah mungkin mendukung pernyataan tersebut? 52. Proponents of the Holocaust story use the Wannsee Protocol as evidence for the planning of the alleged extermination of the Jews. Isn't it suspicious that there is no official date, signature, stamp, serial number or name of an agency on the papers? 53. Although the War Refugee Board (WRB) Report was not presented in evidence either at Nuremberg or at any of the other post-war trials, exterminationists continue to present it as evidence of the gas chambers. If there is real evidence of Holocaust extermination claims, why do exterminationists resort to such deception? 52. Para pendukung kisah Holokaus menggunakan Protokol Wannsee sebagai petunjuk bagi perencanaan dari yang disangkakan pemusnahan kaum Yahudi. Tidakkah mencurigakan bahwa tidak ada tanggal, tanda tangan, cap, nomor urut resmi, atau nama lembaga di kertas-kertas itu? 53. Walaupun Laporan War Refugee Board (WRB, Dewan Pengungsi Perang) tidak disajikan sebagai petunjuk di pengadilan pascaperang Nuremberg maupun yang lainnya, para eksterminasionis terus menyodorkannya sebagai petunjuk kamar gas. Jika ada petunjuk nyata bagi pernyataan pemusnahan Holokaus, mengapakah para eksterminasionis berpaling ke muslihat yang demikian?

h. 211

54. Another method exterminationists have used to support their baseless claims is to attribute statements to dead persons. Is this a legitimate approach? 55. Some witnesses who once testified about gas chambers years later confessed that their testimony was untrue, and that in fact they had never saw gas chambers. Doesn't this reveal that perjury on this issue was prevalent? 56. SS officer Kurt Gerstein claimed to have seen a pile of shoes thirty-five to forty meters high (10 to 12 stories). Is it possible to accept a claim that is totally against common sense? 57. Does not the way Nuremberg court accepted such absurd and ridiculous claims as judicial evidence, reveal that these courts are not neutral courts trying to bring the facts to light, but politically biased courts that were established in order to justify the demonization of Germany? 54. Cara lain yang telah digunakan eksterminasionis untuk mendukung pernyataanpernyataan tak berdasar mereka adalah menyematkan pernyataan ke orang yang sudah mati. Apakah ini pendekatan yang sah? 55. Sebagian saksi yang pernah bersaksi tentang kamar gas belakangan mengakui bahwa kesaksian mereka tidak benar, dan bahwa sesungguhnya mereka tak pernah melihat kamar gas. Tidakkah ini mengungkapkan bahwa dusta tentang masalah ini demikian meluas? 56. Perwira SS Kurt Gerstein mengaku telah melihat setumpukan sepatu yang tingginya 35 sampai 40 meter (10 sampai 12 tingkat). Mungkinkah menerima pernyataan seperti itu yang sepenuhnya bertentangan dengan akal sehat? 57. Tidakkah cara pengadilan Nuremberg menerima pernyataan yang janggal dan ngawur seperti itu sebagai petunjuk hukum, mengungkapkan bahwa pengadilan-pengadilan ini bukanlah pengadilan yang tak berpihak yang mencoba mengungkapkan kenyataan, namun pengadilan yang secara politis menyimpang? 58. Does not the book I Cannot Forgive, by Dr. Rudolf Vrba, written to propagate Holocaust myths, reveal how unreliable it is with numerous errors even on simple place names and dates? Is not a clear example that in this book Birkenau was equated with Raisko, although Raisko was in fact a separate camp that was about 5 kilometers away from Birkenau? 59. In the same book, does not the author get caught red handed as he claims Himmler paid a visit to Birkenau in January 1943, although it is well established that Himmler came to Birkenau only twice, first on March 1, 1941, and second on July 17, 1942? 60. In the same book, it is claimed that three thousand Polish Jews were killed in the crematories in Birkenau camp in January 1943. Yet, records prove that the first crematory was not completed until April 1943. What does this reveal about the author?

h. 212

58. Tidakkah buku I Cannot Forgive oleh Dr. Rudolf Vrba yang ditulis untuk menyebarkan dongeng Holokaus mengungkapkan betapa tak andalnya buku ini dengan banyaknya kesalahan bahkan tentang hal sesederhana nama tempat dan tanggal? 59. Di buku yang sama, tidakkah si penulis tertangkap basah ketika mengaku Himmler berkunjung ke Birkenau di bulan Januari 1943, walaupun telah diketahui bahwa Himmler datang ke Birkenau hanya dua kali, yang pertama pada 1 Maret 1941, dan yang kedua 17 Juli 1942? 60. Di buku yang sama, dinyatakan bahwa 3 ribu orang Yahudi Polandia dibunuh di krematorium-krematorium di kamp Birkenau pada bulan Januari 1943. Namun, catatan-catatan membuktikan bahwa krematorium pertama belum selesai dibangun sampai April 1943. Apakah yang diungkapkan hal ini tentang si penulis? 61. Again in the same book, it is claimed that Hss was the commander in the Auschwitz Camp in 1944. Yet, Hss left Auschwitz in October 1943 and moved to Berlin. Does not the fact that the author is so ignorant on such simple matters, reveal the degree of unreliability of the book? 62. In his book, Benedikt Kautsky, the Austrian socialist who presents himself as a Holocaust eyewitness, claimed that the Jews were suffocated in a few minutes with the carbon monoxide gas released from the showerheads and bleeding was observed at various places on the corpses. However it is known that carbon monoxide gas is lighter than air, therefore it does not cause death in just few minutes as claimed. Besides it does not cause bleeding. Is not it clear that this Zionist leader was propagating lies? 63. Another exterminationist writer, Eugen Kogon, in his book Der SS-Staat , claimed that hydrocyanic acid streamed from the showerheads in Birkenau gas chambers and consequently the victims' lungs were torn apart. Yet, the hydrocyanic acid gas is also lighter than air, and, therefore, can not pour down on the victims as claimed, even if pressure is used. Additionally, this gas does not tear apart lungs. Is there any reason not to suspect that is just another exterminationist book adorned with lies? 61. Lagi-lagi di buku yang sama, dinyatakan bahwa Hss adalah komandan di kamp Auschwitz di tahun 1944. Namun, Hss meninggalkan Auschwitz di bulan Oktober 1943 dan pindah ke Berlin. Tidakkah kenyataan bahwa si penulis begitu abai pada urusan-urusan yang sepele ini, mengungkapkan derajat ketak-andalan buku ini? 62. Di dalam bukunya, Benedikt Kautsky, seorang sosialis Austria yang mengajukan diri sebagai seorang saksi mata Holokaus, mengaku bahwa kaum Yahudi telah dicekik dalam beberapa menit dengan gas karbon monoksida yang dilepaskan dari keran bilas kepala dan perdarahan terlihat di berbagai bagian tubuh mayat. Akan tetapi, diketahui bahwa gas karbon monoksida lebih ringan dari udara, karena itu, tidak menyebabkan kematian hanya dalam beberapa menit seperti yang dinyatakan. Di samping itu, gas ini tidak menyebabkan perdarahan. Tidakkah jelas bahwa pemimpin Zionis ini sudah menyebarkan dusta?

h. 213

63. Penulis eksterminasionis lainnya, Eugen Kogon, di dalam bukunya Der SS Staat (Negara SS), menyatakan bahwa asam hidrosianik dialirkan dari keran bilas kepala di kamar-kamar gas Birkenau dan akibatnya paru-paru korban tercabik. Namun, gas asam hidrosianik juga lebih ringan dari udara, dan karena itu, tidak dapat dituangkan ke korban sebagaimana dinyatakan, bahkan jika tekanan digunakan. Tambahan lagi, gas ini tidak merobek paru-paru. Apakah ada alasan untuk tidak mencurigai bahwa buku ini sekedar buku lain eksterminasionis yang dipercantik dengan dusta? 64. When interviewed by David Cole, a Jewish revisionist researcher, the director of the Auschwitz State Museum Dr. Franciszek Piper revealed that in the room at Auschwitz presented as a gas chamber, structural changes had been made, but that these changes were not mentioned to visitors. Is there any reason not to suspect that this reconstructed gas chamber is in fact fabricated from an earlier structure to make it appear to have been a gas chamber originally? 65. Isn't it the right of anyone to question the condition and characteristics of rooms presented as "homicidal gas chambers"? 66. The word Vergansungskeller, which appears in one German document relating to Birkenau, means "carburation cellar," although it is translated into English by exterminationists as "gas chamber." Is this error made due to unfamiliarity with German and/or English, or to deliberate distortion? 67. There are two different types of handwriting in the originals of the diary of Anne Frank. Is it possible that two different persons wrote portions of this diary? 64. Ketika diwawancarai oleh seorang peneliti Yahudi David Cole, direktur Museum Negara Auschwitz Dr. Franciszek Piper mengungkapkan bahwa di dalam ruangan di Auschwitz yang disajikan sebagai kamar gas, perubahan-perubahan bangunan telah dibuat, namun hal ini tidak disebutkan kepada pengunjung. Apakah ada alasan untuk tidak mencurigai bahwa kamar gas yang direka-ulang ini sesungguhnya dibuat dari bangunan asalnya supaya mengesankan bahwa aslinya kamar gas? 65. Tidakkah hak bagi tiap orang mempertanyakan keadaan dan sifat-sifat ruangan-ruangan yang disajikan sebagai kamar gas pembunuh? 66. Kata Vergansungskeller, yang tampak di salah satu dokumen Jerman yang terkait dengan Birkenau, berarti ruba pencampuran bahan bakar, walaupun diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh para eksterminasionis sebagai kamar gas. Apakah kesalahan ini dibuat karena ketakakraban dengan bahasa Jerman dan/atau bahasa Inggris, atau menyengajakan pemutarbalikan? 67. Ada dua jenis berbeda tulisan tangan di dalam naskah asli buku harian Anne Frank. Mungkinkah dua orang berbeda menulis bagian-bagian dari buku harian itu?

h. 214 68. People brought to the concentration camps were given hair cuts for hygienic reasons. This hair is now exhibited in Holocaust museums as "the only remaining parts of those 6 million exterminated Jewish crowd!" But don't the hair cuts indicate that Germans were interested in a more healthy environment for camp inmates? Why would the Nazis cut the hair of millions of people one by one, and then exterminate them in gas chambers? 69. The Wannsee Protocols indicate the "Final Solution" was a policy of transferring Jews out of Europe to the east, similar to the earlier "Madagascar Plan" which aimed at establishing a Jewish State in Madagascar. Is it proper to interpret these relocation attempts as a Holocaust of the Jews? 68. Orang-orang yang dibawa ke kamp-kamp konsentrasi dicukur rambutnya demi alasan kebersihan. Rambut ini kini dipamerkan di museum-museum Holokaus sebagai satu-satunya yang tersisa dari 6 juta orang Yahudi yang dimusnahkan! Namun, tidakkah potongan rambut menunjukkan bahwa orang-orang Jerman berminat pada lingkungan yang lebih sehat bagi para tawanan kamp? Mengapa Nazi memotong rambut jutaan orang satu per satu, dan lalu memusnahkan mereka di kamar-kamar gas? 69. Protokol Wannsee menunjukkan bahwa Pemecahan Akhir adalah sebuah kebijakan memindahkan kaum Yahudi keluar Eropa ke timur, serupa dengan Rencana Madagaskar yang lebih dahulu yang ditujukan untuk membangun sebuah negara Yahudi di Madagaskar. Apakah layak menerjemahkan upaya-upaya pemindahan ini sebagai sebuah Holokaus bagi kaum Yahudi? 70. Isn't it difficult to equate the "Final Solution" with what we have been told about the "Holocaust" considering that extermination is not mentioned any place in the Wannsee Protocol? 71. How realistic would it be to interpret the phrase "special treatment" in the Wannsee Protocol with "extermination"? 72. It is known that Eichmann considered establishing a Jewish state in Madagascar as a solution for the Jewish problem. Doesn't it reveal that the "final solution" had no further meaning than to relocate the Jews? 73. Why did the Soviets keep the Auschwitz camp closed to the researchers and independent reporters for years after they had occupied the camp? 74. Photos taken at liberation, and numerous "survivor" stories in the years since the war, prove that many women and children survived the Nazi concentration camps. What does this say about the claim that Jewish women and children were sent directly to the gas chambers as soon as they arrived at the camps? 70. Tidakkah sukar menyamakan Pemecahan Akhir dengan apa yang telah disampaikan kepada kita tentang Holokaus dengan mempertimbangkan bahwa pemusnahan tidak disebutkan di bagian mana pun Protokol Wannsee?

h. 215 71. Seberapa wajarkah menerjemahkan ungkapan perlakuan khusus di dalam Protokol Wannsee dengan pemusnahan? 72. Diketahui bahwa Eichmann mempertimbangkan untuk membangun sebuah negara Yahudi di Madagaskar sebagai sebuah pemecahan bagi masalah Yahudi. Tidakkah ini mengungkapkan bahwa pemecahan akhir tidak bermakna lebih jauh daripada memindahkah kaum Yahudi? 73. Mengapa tentara Soviet menjaga kamp Auschwitz tertutup bagi para peneliti dan wartawan independen selama bertahun-tahun setelah menduduki kamp itu? 74. Foto-foto yang diambil saat pembebasan, dan banyak kisah orang yang selamat di tahun-tahun sejak perang, membuktikan bahwa banyak perempuan dan anak-anak selamat dari kamp-kamp konsentrasi Nazi. Apakah yang disimpulkan dari hal ini tentang pernyataan bahwa kaum perempuan dan anak-anak Yahudi langsung dikirim ke kamar gas sesegera tiba di kamp? 75. None of the top secret, German radio transmissions decoded by the Allies during the war mention gas chambers or extermination, although these messages contained much other information about the camps. Doesn't this absence imply there were no gas chambers, and no program or policy of extermination? 76. Countries around the world have passed laws against impartial examinations of Holocaust claims. Doesn't this seem to be a violation of the basic human right of freedom of speech? 75. Tidak ada dari komunikasi sangat rahasia radio Jerman yang dipecahkan oleh tentara Sekutu selama perang menyebutkan kamar gas atau pemusnahan, walaupun pesan-pesan ini mengandung banyak informasi lain tentang kamp. Tidakkah ketiadaan ini menyiratkan tidak ada kamar gas, dan tidak ada program atau kebijakan pemusnahan? 76. Negara-negara di seluruh dunia telah mengesahkan undang-undang menentang penyelidikan tak berpihak atas pernyataan-pernyataan Holokaus. Tidakkah ini tampak sebagai sebuah pelanggaran hak azasi dasar atas kebebasan berbicara? 77. In Germany, anyone who states "there were no gas chambers" risks two years in jail. Do you approve of such restrictions? 78. France's Gayssot Law decrees that those questioning the alleged gas chambers are subject to fines and imprisonment. Is the the proper way to handle historical inquiries? 79. Are you aware then even academics who question Holocaust extermination stories are slandered in France, England and America, are thrown out of the universities and hindered in their academic pursuits?

h. 216 77. Di Jerman, siapa pun yang menyatakan tidak ada kamar gas mengambil resiko dua tahun dipenjara. Apakah Anda menyetujui pembatasan semacam itu? 78. Undang-undang Gaysott Perancis menetapkan bahwa mereka yang mempertanyakan yang disangka kamar gas menjadi sasaran denda dan pemenjaraan. Apakah ini cara yang pantas untuk menghadapi peneliti-peneliti sejarah? 79. Apakah Anda sadar bahwa bahkan para akademisi yang mempertanyakan kisah-kisah pemusnahan Holokaus diumpat di Perancis, Inggris, dan Amerika, dipecat dari universitasuniversitas, serta dihalangi dari pengejaran akademik mereka? 80. The revisionist historians have been the victims of a variety of assaults, all the way from threatening phone calls to murder. Do you condone the actions of the attackers? 81. Prof. Bernard Notin from Jean Moulin University who was a leading economist in France was fired from his tenured position by the Mitterand Government because of his studies questioning aspects of the Holocaust. Is it possible to reconcile this action with France's stated committment to freedom of thought? 82. The doctoral thesis of Henri Roques was revoked after it had been duly awarded by the Nantes University, the first time in the 700 year-long history of French universities. The underlying reason of this scandal was that his thesis dealt with errors and contradictions in the various "confessions" of SS officer Kurt Gerstein (and thus, by extension, Holocaust claims). Does this seem to have been fair treatment? 80. Para sejarawan revisionis telah menjadi korban beraneka serangan, mulai dari ancaman telepon sampai pembunuhan. Apakah Anda menyokong tindakan-tindakan jahat para penyerang ini? 81. Prof. Bernard Notin dari Universitas Jean Moulin yang seorang ahli ekonomi terkemuka di Perancis dipecat dari jabatan tetapnya oleh pemerintahan Mitterand karena penelitianpenelitiannya mempertanyakan segi-segi Holokaus. Mungkinkah menyerasikan tindakan ini dengan janji tertulis Perancis bagi kebebasan berpikir? 82. Tesis doktoral Henri Roques dibatalkan setelah secara pantas dianugerahkan oleh Universitas Nantes, yang pertama di dalam 700 tahun sejarah universitas-universitas Perancis. Alasan yang mendasari aib ini adalah bahwa tesisnya membahas kesalahan-kesalahan dan pertentangan-pertentangan di dalam berbagai pengakuan perwira SS Kurt Gerstein (jadi, dengan pemikiran serupa lebih jauh lagi, pernyataan-pernyataan Holokaus). Apakah ini tampak sebagai perlakuan yang adil? 83. Do you approve the terrorist attempts against the Institute for Historical Review, in California, which ended the arson destruction of their offices and warehouse on July 4, 1984?

h. 217 84. With all the evidence to the contrary, is it prudent to believe all Holocaust claims blindly? Does it seem normal or natural to demand that everyone believe all Holocaust claims blindly? Is it reasonable to label those who do not believe all Holocaust claims blindly as Nazis, neo-Nazis or anti-Semites? 83. Apakah Anda menyetujui upaya-upaya teroris terhadap The Institute for Historical Review di California yang berakhir dengan pembakaran kantor dan gudangnya pada tanggal 4 Juli 1984? 84. Dengan semua petunjuk yang menentang, bijaksanakah mempercayai semua pernyataan Holokaus secara membuta? Apakah tampak wajar atau alamiah meminta setiap orang mempercayai semua pernyataan Holokaus secara membuta? Apakah beralasan mencap mereka yang tidak mempercayai semua pernyataan Holokaus secara membuta sebagai Nazi, neo-Nazi, atau anti-Semit?

h. 218

BAB TIGA: HOLOKAUS KAUM YAHUDI


Kegelapan menyelimuti Jerman di tahun 1933. Partai Nazi meraih kekuasaan di sebuah Jerman yang bertahun-tahun menjadi ajang perkelahian jalanan, pawai penuh kebencian, serangan rasis, dan pekikan keras untuk berperang. Pemimpin Nazi, Hitler, telah memenangkan suara terbanyak dalam pemilu dan diangkat menjadi kanselir. Segera ia menjadi diktator Jerman yang tak terbantahkan. 13 tahun yang sulit antara 1933 dan 1945 akan menyaksikan kebengisan yang terus meningkat. Kaum Nazi memulainya dengan membunuh musuh-musuh politiknya. Lalu, mereka mulai bersemangat membunuh orang-orang tak bersalah yang mereka anggap membahayakan menurut teori-teori rasial dangkal mereka. Mereka mulai menindas dan menyiksa kaum Yahudi dan minoritas lain yang tinggal di Jerman. Itu lalu berubah menjadi pembunuhan massal di tahun 1939. Kaum Nazi membunuh 11 juta orang di kamp-kamp konsentrasi mereka yang mengerikan, tanpa belas kasihan. Kamp-kamp ini berubah menjadi mesin-mesin genosida, tempat teknologi secara sistematis dimanfaatkan membunuh dengan sadis para bayi, manula, dan orang sakit. Selama Perang Dunia II, yang dikobarkan demi ideologi gila mereka, kaum Nazi melaksanakan tak terhitung pembunuhan massal di negara-negara yang mereka duduki, khususnya di negara-negara Eropa Timur, yang penduduknya mereka pandang sebagai anggota ras rendahan. Total 55 juta orang tewas dalam perang itu, sedikitnya 30 juta di antaranya adalah kaum sipil tak bersalah yang dibunuh Nazi. Singkatnya, antara tahun 1933 dan 1945, dunia adalah sebuah tempat kebuasan yang hingga saat itu tak dikenal. Seluruh umat manusia berbag tanggung jawab untuk memastikan bahwa pembunuhan dan genosida sejenis tak pernah lagi terjadi, dan bahwa gagasan-gagasan gila tak pernah lagi dibiarkan tumbuh. Karena itulah, penting untuk selalu mengingat kebiadaban Nazi di mana pun di dunia, mengenang para korbannya yang tak bersalah, dan tentunya memaparkan selengkap-lengkapnya kebodohan dan kebusukan gagasan-gagasan yang memunculkan kebuasan itu. Itulah yang kami lakukan di bab ini.

Ideologi Nazi dan Musuh-Musuhnya


Partai Nazi didirikan dan tumbuh di tahun 1920-an. Di kurun waktu itulah Hitler dan para dedengkot Nazi lainnya muncul. Namun, tak terbantahkan bahwa ideologi partai memiliki sejumlah pendahulu yang berpengaruh. Teori ras adalah ajaran dasar Nazisme. Seluruh ideologinya disandarkan pada premis (pokok gagasan) keunggulan ras Jerman, bahwa keunggulan itu terancam oleh ras rendahan, dan bahwa suatu rumusan rasis harus diterapkan demi melenyapkan ancaman. Sumber pemikiran itu, pada akhirnya, adalah temuan abad ke-19 yang disebut Darwinisme Sosial.

h. 219

Darwinisme Sosial tak lain dari teori evolusi Darwin yang diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dalam bukunya The Orgin of Species (Asal Mula Spesies), diterbitkan tahun 1859, dan The Descent of Man (Leluhur Manusia), diterbitkan tahun 1871, Darwin menyatakan bahwa makhluk-makhluk hidup berkembang sebagai hasil dari pertarungan rasial, dan bahwa alam membuat ras-ras kuat mengungguli ras-ras lain. Darwin menolak gagasan tatanan dan keserasian Ilahiah di alam, malah menyatakan bahwa semua ras dan mahluk hidup terus-menerus berada dalam keadaan bertikai. Ia juga menyatakan bahwa ras kulit putih mengungguli ras-ras lain, dan akan segera menghapuskan ras-ras lain itu dari muka bumi. Teori ini didukung mentah-mentah demi alasan-alasan ideologis, meskipun kurang memiliki bukti ilmiah apa pun. Teori Darwin mendorong kebangkitan kembali yang tiba-tiba rasisme di kalangan cendekiawan Eropa. Seorang pemikir Inggris, Herbert Spencer, menerapkan teori Darwin, yang dirumuskan lebih secara biologi, ke dalam ilmu-ilmu sosial, sehingga memunculkan Darwinisme Sosial. Pendukung-pendukung teori itu yang paling bersemangat adalah pengarang Perancis, Arthur de Gobineau, yang umum dipandang sebagai bapak rasisme modern, dan penulis Inggris Houston Stewart Chamberlain, yang membawa teori rasis Gobineau ke tingkat fanatisme yang lebih tinggi lagi. Meskipun orang Inggris, Chamberlain pengagum berat semua yang berbau Jerman. Ia juga secara terbuka menyatakan diri musuh kaum Yahudi, dan membela pendapat bahwa ras Arya (ras-ras kulit putih keturunan Indo-Eropa) mengungguli ras-ras Semit (bangsa-bangsa Timur Tengah seperti Yahudi dan Arab). Kebencian Chamberlain terhadap kaum Yahudi sebenarnya ungkapan permusuhannya terhadap agama-agama Ilahiah. Ia membenci bangsa Israel, dari mana begitu banyak nabi muncul sepanjang sejarah, dan memandang bangsa itu lebih rendah daripada leluhur-leluhur bangsa Jerman yang pagan. Chamberlain meninggal di tahun 1922, namun menerima seorang pelawat terkenal saat terbaring di ranjang kematiannya: Adolf Hitler. Di bawah pengaruh Chamberlain dan ideologi Darwinisme Sosial lain yang serupa, Hitler merumuskan ideologi Nazinya. Ia memberi judul bukunya Mein Kampf, di dalam mana ia beberkan pandangan-pandangan rasisnya, dari tesis pertarungan antar-rasnya Darwinisme Sosial. Dalam pandangan Hitler, seluruh sejarah dunia terbentuk di sekitar ras Jerman: 1. Hitler percaya bahwa ras Jerman unggul secara fisik dan mental terhadap ras-ras lain. Ia menganggap ras-ras Semit dan Slavia secara khusus lebih rendah. Dalam pandangannya, ras Jerman membutuhkan ruang lebih luas untuk hidup, dan perlu memperolehnya dengan menghabisi orang-orang Semit dan Slavia (Yahudi, Polandia, Rusia dll) di timur Jerman . 2. Hitler amat mementingkan kemurnian ras Jerman. Ia berpikir bahwa kewaspadaankewaspadaan secara fisik penting untuk menjaga kemurnian itu (dengan kata lain, orang Jerman harus dicegah dari mengawini atau pun berikatan dengan orang-orang lain ras), maupun kemurnian budaya (semua pemikiran dan kepercayaan non-Jerman harus dihancurkan).

h. 220 3. Pada saat yang sama, konsep kemurnian ras Hitler mencakup perbaikan ras Jerman seakan ras itu spesies hewan, oleh karenanya para pengidap penyakit keturunan perlu disisihkan dari masyarakat dan dibersihkan. 4. Penghancuran pemikiran dan kepercayaan non-Jerman berarti akan berakibat penghancuran semua pemikiran dan kepercayaan yang tak bisa sejalan dengan ideologi Nazi. Kaum Nazi memandang orang Nasrani yang taat, kaum liberal, dan para anggota aliran agama lainnya sebagai unsur-unsur yang harus disingkirkan. Jadi, ideologi rasis tak berbelas kasihan dari Darwinisme Sosial itulah yang melahirkan genosida dan pembantaian terburuk yang pernah disaksikan dunia. Pada halaman-halaman berikut, kita akan menelaah kisah para korban tak bersalah kebiadaban Nazi itu. Pertama kita akan membahas kaum Yahudi, sasaran utama Nazi, dan lalu mengungkapkan bangsa-bangsa lain, korban-korban genosida yang terlupakan, yang penderitaannya, yang tak kurang pedihnya daripada kaum Yahudi, telah terabaikan

Jejak-Jejak Holokaus Kaum Yahudi


Setelah berkuasa, Nazi melakukan penindasan sistematis atas bagian-bagian masyarakat yang mereka anggap musuh. Berada di urutan pertama adalah kaum Yahudi, yang digambarkan sebagai sumber segala kejahatan di dunia dalam ideologi Nazi. Bahkan sebelum berkuasa, gerombolan jalanan Nazi, dikenal sebagai SA (Pasukan Badai), telah melancarkan sejumlah serangan pada rumah-rumah dan toko-toko orang Yahudi. SA hilang kendali ketika Nazi berkuasa. Seorang Yahudi tua yang sedang berjalan kaki atau bocah Yahudi yang sedang berangkat ke sekolah, dapat dengan mudah diserang oleh SA dan gerombolan Nazi lainnya. Pada tahun yang sama, Nazi memulai sebuah boikot yang ditujukan pada toko-toko dan usaha-usaha kaum Yahudi. Posterposter yang menggambarkan orang Yahudi sebagai monster jelek dan mengerikan, dan bertulisan Jangan beli barang Yahudi, ditempelkan di seluruh Jerman. Sebuah undang-undang yang diterbitkan bulan September di tahun yang sama melarang kaum Yahudi memiliki tanah. Pada bulan November, kaum Yahudi dilarang menjadi penyunting suratkabar. Undang-undang lanjutan diterbitkan di tahun 1934, yang mengeluarkan orang Yahudi dari serikat persatuan dagang dan asuransi kesehatan, dan melarang mereka bekerja sebagai pengacara atau hakim. Di tahun 1935, seluruh orang Yahudi dikeluarkan dari angkatan bersenjata. Dengan undang-undang Nuremberg tahun 1935, orang Yahudi tak lagi bisa bekerja di berbagai bidang masyarakat Jerman. Mereka dilarang menikahi atau berikatan dengan orang Jerman. Di tahun 1937, orang Yahudi tak lagi diizinkan menjadi guru, dokter umum, atau dokter gigi, dengan dalih bahwa mereka akan secara fisik atau kejiwaan meracuni orang Jerman. Pada bulan November tahun itu, film anti-Semit The Eternal Jew (Yahudi Abadi) mulai diputar di bioskop-bioskop seantero Jerman. Di sekolah-sekolah, guru memperingatkan murid-muridnya tentang apa yang disebut ancaman kaum Yahudi. Kaum Yahudi secara fisik dan mental dicerca selama pelajaran. Cuplikan

h. 221 di bawah ini adalah sebuah cerminan menarik tentang bagaimana masyarakat telah dicuci otaknya di Jerman: Kelas tujuh Pak Birgmann sangat bersemangat hari ini. Sang guru sedang membicarakan kaum Yahudi. Pak Birgmann menggambar sejumlah bentuk di papan tulis, dan setiap orang melihat bentuk-bentuk itu luar biasa memukaunya. Pak Birgmann melihat arlojinya, Sudah siang, anakanak. Kini kita harus simpulkan apa yang telah kita pelajari. Apakah yang terakhir kita bahas? Setiap anak mengangkat tangan, dan Pak Birgmann mengangguk ke arah Karl Scholtz, yang duduk di barisan depan. Kita belajar bagaimana mengenali orang Yahudi. Bagus sekali! Dapatkah kamu jelaskan sedikit? Karl kecil berdiri dan menunjuk bentuk-bentuk di papan tulis: Mudah sekali mengenali orang Yahudi dari hidungnya. Hidung mereka tampak seperti angka enam dan disebut enam Yahudi. Beberapa bangsa yang bukan Yahudi berhidung besar, namun hidung mereka mengarah ke atas, bukan ke bawah. Hidung seperti itu disebut paruh atau elang. Tidak ada yang seperti hidung orang Yahudi. Bagus sekali! ujar sang guru. Richard, majulah dan jelaskan lagi tentang bagaimana mengenali orang Yahudi. Richard si rambut pirang dan periang mendekati papan tulis. Kalian dapat mengenali orang Yahudi dari gerak dan perilakunya. Orang Yahudi selalu menganggukkan kepala ke depan. Cara mereka berjalan juga lucu. Mereka berlenggak-lenggok. Mereka menggerak-gerakkan tangan saat berbicara. Mereka memiliki suara yang ganjil, seakan-akan berbicara lewat hidung. Bau mereka manis dan menjijikkan. Kalian selalu dapat mengenali orang Yahudi jika berpenciuman yang baik. Sang guru tampak amat puas. Baiklah anak-anak. Waspadalah! Jika kalian mengingat itu semua saat meninggalkan sekolah, orang Yahudi tak akan pernah mampu menipu kalian!. Sang guru lalu membalik papan tulis, dan seorang murid membacakan puisi yang tertulis di sana: Iblis berbicara pada kita Lewat wajah seorang Yahudi Marilah kita bebas dari orang Yahudi Sebuah wabah di setiap negeri Marilah kita bergembira dan senang lagi Segenap pemuda harus melawan

h. 222 Para iblis ini sungguh menyesatkan! (97) Permusuhan terhadap kaum Yahudi meningkat pesat dalam sebuah masyarakat yang dididik sepanjang baris-baris puisi seperti itu. Setiap penindasan oleh Nazi terhadap kaum Yahudi memperoleh persetujuan dari masyarakat. Di tahun 1938, seluruh barang-barang, tanah, dan uang milik Yahudi didaftar, dan sanksi-sanksi baru diterapkan. Sebuah babak baru penindasan kaum Yahudi dibuka dengan peristiwa Kristallnacht (Malam Kaca) di malam 9-10 November 1938. Peristiwa itu dipicu pada 7 November, ketika seorang Yahudi Polandia berumur 17 tahun, Herschel Grynszpan, yang keluarganya telah dianiaya oleh Nazi, menembak seorang pejabat Kedutaan Besar Jerman di Paris. Kaum Nazi menggunakan peristiwa ini sebagai sebuah tindakan memancing rusuh, dan melancarkan serangan-serangan pada tempat-tempat ibadah, rumah-rumah, dan toko-toko milik Yahudi di seluruh Jerman. Dalam semalam saja 1350 sinagog dihancurkan. Lebih dari 90 orang Yahudi terbunuh. Sekitar 30 ribu orang Yahudi dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. 7 ribu tempat usaha Yahudi dijarah, serta ribuan rumah dirusak. Peristiwa malam itu disebut Kristallnacht karena tebaran kaca jendela-jendela yang dipecahkan di bangunan-bangunan yang dijarah. Pemerintah Jerman lalu berhasil menahan orang-orang Yahudi yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi, dan menarik jumlah denda yang mengejutkan sebesar satu juta mark dari orang-orang Yahudi untuk mengganti seluruh kaca yang pecah. Penindasan yang diderita orang Yahudi meningkat setelah Kristallnacht. Ketika Jerman menyatu dengan Austria di tahun 1938, sekitar 200 ribu Yahudi Austria ditambahkan ke 55 ribu orang lebih yang telah tinggal di Jerman, dan semua orang ini terus hidup dalam ketakutan, kecuali segelintir Zionis yang bersekongkol dengan Nazi. Namun, kebiadaban sebenarnya dimulai bersamaan dengan pecahnya perang.

Masa Perang dan Awal Genosida


Tentara Nazi menyerbu Cekoslowakia pada 15 Maret 1936. Pada 1 September 1939, ketika mereka menyerbu Polandia, Inggris dan Perancis mengumumkan perang, dan Perang Dunia II dimulai. Penyerbuan ke Polandia membawa dimensi baru pada gagasan-gagasan sesat Nazi yang dikenal dengan masalah Yahudi. Bagian Polandia yang diduduki Jerman (sebagian lagi diduduki Uni Soviet), berisi lebih dari 1 juta orang Yahudi. Dekrit-dekrit berturutan yang diterbitkan Nazi mengurung kaum Yahudi di dalam ghetto-ghetto, atau kamp-kamp konsentrasi yang baru dibangun. Semua orang Yahudi diperintahkan menyematkan bintang Daud berwarna kuning di pakaian mereka agar mudah dikenali. Reinhard Heydrich, kepala Gestapo, memberikan perintah-perintah kepada pasukan pembunuh yang dikenal sebagai SS Einsatzgruppen (Satuan Tindakan Khusus SS) untuk mencari kaum Yahudi di daerah-daerah pendudukan. Kematian, atau yang lebih buruk lagi, menunggu kaum Yahudi di ghetto-ghetto dan kamp-kamp.

h. 223 Menjelang musim gugur tahun 1940, tentara Nazi menduduki Denmark, Norwegia, Perancis, Belgia, Belanda, Luksemburg, Bulgaria, Yugoslavia, dan Yunani. Sebagai tambahan untuk Italia dan Jepang, yang telah membentuk persekutuan dengan Jerman, mereka juga menyatakan bahwa Hongaria, Rumania, dan Slowakia adalah sekutu-sekutu Jerman. Penyerbuan terbesar yang dilakukan tentara Nazi adalah ke Uni Soviet, yang dimulai pada 22 Juni 1941. Dalam 12 pekan, Jerman telah merebut Kiev, dan sebulan kemudian mendekati pinggiran Moskow. Ringkasnya, dalam dua tahun pertama Perang Dunia II, Hitler atau sekutu-sekutunya telah merebut sebagian besar benua Eropa, dari pesisir Perancis sampai Moskow, dari Denmark sampai Yunani. Beberapa saat sebelum keruntuhan mereka di tahun 1945, kaum Nazi memulai kampanye genosida yang kejam di semua daerah yang mereka duduki. Kaum Yahudi khususnya dan juga, sebagaimana yang akan kita lihat, etnis-etnis dan kelompok-kelompok agama lainnya mulai secara sistematis dibersihkan. Bahkan setelah tahun 1944, pada saat sudah jelas bahwa Jerman akan kalah perang, kaum Nazi meneruskan genosidanya. Nyatanya, pada tahap akhir perang itu, pemusnahan kaum Yahudi, dan juga gipsi, Polandia, dan Slavia, semuanya anggota ras rendahan, menjadi sasaran utama Nazi. Hitler mengetahui bahwa ia akan kalah perang, namun ingin terlebih dahulu memusnahkan seluruh kaum Yahudi. Genosida ini memiliki sejumlah bidang pelaksanaan utama: 1) Ghetto-ghetto: Penjara-penjara terbuka tempat orang-orang Yahudi dikurung ini digunakan untuk membunuh secara bertahap. 2) Kamp-kamp konsentrasi: Didirikan kali pertama sebagai tempat orang-orang Yahudi dan tawanan-tawanan lain dikurung sebagai budak pekerja. Namun, di awal tahun 1942, pemusnahan massal para tawanan dimulai. Total 11 juta orang (5,5 juta orang Yahudi, 500 ribu orang gipsi, 3 juta orang Polandia, 400 ribu penyandang cacat, serta ratusan ribu orang Rusia dan tawanan perang lainnya) dimusnahkan secara sistematis di kamp-kamp ini. 3) Pembunuhan massal di daerah-daerah pendudukan: Unit pasukan khusus Jerman, terutama SS Einsaztgruppen yang bertanggung jawab atas pencarian dan pembunuhan kaum Yahudi, telah membantai orang-orang sipil di banyak sekali tempat.

Hidup dan Mati di Dalam Ghetto


Ghetto terbesar adalah ghetto di Warsawa. Sebelum kedatangan Nazi, kaum Yahudi membentuk kira-kira sepertiga jumlah penduduk Warsawa. Menyusul pendudukan Nazi, kaum Yahudi dimasukkan ke kota ini dari daerah-daerah lain, dan jumlah mereka meningkat dari 330 ribu menjadi 450 ribu orang. Akan tetapi, Nazi menyesakkan jumlah yang besar ini ke suatu daerah bertembok yang hanya menempati 2,3 persen luas kota. Distrik kota terkumuh disisihkan untuk kaum Yahudi, dan orang-orang Yahudi dari kota lain dipindahkan paksa ke sana. Semua uang dan benda berharga mereka dirampas sebelum mereka dijebloskan. Kehidupan di ghetto berlangsung dalam keadaan yang mengerikan. Rata-rata tujuh keluarga dijejalkan ke satu kamar. Sangat sedikit makanan diberikan, dan tiap orang hidup di tepi kelaparan.

h. 224 Bangunan-bangunan di sana dipenuhi tikus dan serangga. Setiap hari, mereka yang tinggal di ghetto dapat menjadi korban tamparan, ejekan, dan siksaan dari para Nazi, yang menyuruh orangorang Yahudi yang sudah amat lemah sampai tak sanggup berjalan agar menggosok jalan dengan sabun dan air, dan menertawakan penderitaan mereka. Orang-orang yang hidup di ghetto dipukuli secara acak, dan para Nazi gemar menariki janggut dan ikalan rambut para manula yang dibiarkan tumbuh karena kewajiban agama. Rata-rata 100 orang mati tiap harinya karena kelaparan, sakit, atau penganiayaan. Foto-foto anak-anak yang kelaparan, sakit, dan memilukan di ghetto kota Warsawa dengan jelas menyingkapkan penderitaan mereka. Kenang-kenangan seorang Yahudi yang pernah tinggal di ghetto Warsawa akan amat penting dalam menunjukkan keadaan sebenarnya di kota itu: Penindasan dimulai sesegera pasukan Jerman memasuki kota, dengan pembunuhan 34 orang Yahudi tak bersalah. Tentara SS Jerman sekedar mencari-cari alasan untuk membunuh orang Yahudi. Mereka bertanya pada seorang bukan Yahudi di mana orang Yahudi tinggal. Ia menunjuk rumah Itzhak Goldfliess. Tentara SS memasuki rumah sahabat saya itu dan membunuh kedua orang tua, istri, dan dua anaknya. Pada hari Sabbath pertama di masa pendudukan, pasukan Jerman mengumpulkan semua orang Yahudi dan memerintahkan mereka mengeruk sebuah parit yang panjang dan lebar di pusat kota. Lalu mereka diperintahkan pulang, memakai pakaian Sabbath, dan kembali lagi. Dan membuat sangat terkejut setiap orang, mereka dibariskan dalam parit kotor itu. Mereka dipaksa berada seharian di dalam parit, yang penuh kotoran. Para tentara Jerman memukuli mereka dengan tongkat, kadang mengizinkan orang-orang Ukraina menyerang mereka dengan tongkat dan balok kayu. Kapan saja ada yang mencoba keluar dari parit ia akan dipukuli oleh perwira SS Jerman atau orang-orang sipil Ukraina dan dipaksa masuk kembali. (98). Di tahun 1942, sekitar 300 ribu orang dari ghetto tewas. Sebagian karena kelaparan dan penyakit, sebagian lain di kamp-kamp konsentrasi ke mana mereka dikirim. Di bulan April 1943, 60 ribu atau lebih sisa orang Yahudi di dalam ghetto memulai sebuah pemberontakan yang gagal. Meskipun hampir tak memiliki senjata, mereka melawan tentara Nazi selama tiga minggu. Pada akhirnya, tentara Nazi kembali mengendalikan keadaan dan membunuh semua Yahudi yang mereka temukan. Dari awalnya 450 ribu orang di dalam ghetto, hanya segelintir yang tetap hidup. Ratusan ribu orang Yahudi di ghetto-ghetto lain yang didirikan Nazi terbunuh setelah menderita kelaparan parah, ketakutan. dan penyiksaan.

Pemecahan Akhir dan Pendirian Kamp-kamp Konsentrasi


Pada permulaan tahun 1942, Hitler dan para stafnya memutuskan Pemecahan Akhir bagi masalah Yahudi. Pemecahan Akhir itu berarti pemusnahan sistematis semua kaum Yahudi, dan tak membiarkan seorang Yahudi pun hidup di daerah yang dikuasai Nazi. Sejalan dengan keputusan itu, kamp-kamp konsentrasi diubah menjadi kamp pemusnahan. Dimulai dengan kaum Yahudi di Jerman, kaum Yahudi di semua negara yang diduduki Nazi, seperti Polandia, Perancis, Cekoslowakia, Kroasia, Rumania, Serbia, Yunani, Rusia, Ukraina, dan Hongaria, mulai dipindahkan ke kamp-kamp itu oleh satuan-satuan SS yang khusus bertugas demikian. Cerita resminya adalah mereka akan dijadikan pekerja di kamp-kamp itu. Akan tetapi,

h. 225 ketika tiba, sebagian besar mereka langsung dibunuh seketika, dan sisanya belakangan, setelah dimanfaatkan sebagai pekerja paksa. Bahkan proses pemindahan kaum Yahudi ke kamp-kamp itu cukup untuk menunjukkan kekejaman tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi. Keluarga-keluarga Yahudi dikumpulkan dari rumah-rumah atau ghetto-ghetto dengan todongan senapan, disertai pukulan dan pelecehan, kemudian dijejalkan ke dalam gerbong-gerbong kereta api yang sebelumnya digunakan mengangkut hewan. Foto-foto zaman itu jelas-jelas menunjukkan ketakutan di wajah-wajah mereka yang dipaksa naik kereta-kereta itu, dan kebencian bengis di wajah-wajah para Nazi yang meneriakkan perintah pada mereka. Anak-anak kecil, manula laki-laki dan perempuan yang hampir tak mampu berjalan, dan perempuan-perempuan hamil, semuanya tanpa belas kasihan diseret ke sana ke mari oleh tentara Nazi, disertai tendangan, hantaman popor senapan, bahkan cambukan. Cerita dari seorang Yahudi yang lolos dari genosida ini mengungkapkan kengerian proses pemindahan itu: Mereka mengumpulkan kami pada pukul sembilan pagi. Ketika kami tiba di Chortkow, hari sudah petang. Kami menghabiskan seharian itu berjalan di salju, kelaparan, dan tanpa istirahat sama sekali. Setiap orang jatuh karena kelelahan. Lalu mereka memasukkan kami ke penjara. Di sana, kami harus lewat di depan seorang perwira SS dan para perwira polisi Ukraina. Setiap orang memegang tongkat di tangannya dan memang sedang menunggu untuk menghantam kepala orang Yahudi. Jumlah mereka kira-kira 80 orang, dan butuh waktu lama bagi seorang Yahudi untuk lewat di depan 80 orang, sambil dipukuli sepanjang waktu. Badan saya babak belur dan berlumuran darah ketika saya dilemparkan ke dalam sel. Apakah para tentara Jerman ingin membunuh kami, ataukah sekedar bersenang-senang? Setelah peristiwa itu, saya dimasukkan ke dalam sebuah sel kecil berisi 60 orang. Tidak ada ruang untuk duduk atau berbaring. Kami harus tetap berdiri, berdesak-desakan, berlumuran darah, kelaparan, haus, dan kesakitan... Kami yakin bahwa mereka akan mengeluarkan kami di pagi hari dan memberi kami sesuatu makanan. Namun, kami salah menduga. Tak ada yang berubah di pagi harinya. Kami menghabiskan hari kedua itu, bahkan malam itu, berdiri dan berdesak-desakan... Banyak orang yang mulai menggumamkan doa Shema Israel, yang diucapkan sebelum mati. Pada saat itu, tentara Jerman membukakan pintu dan mengeluarkan kami semua dari sel. Semua orang mencoba menggeliatkan badannya dan bernapas dalam-dalam... Kemudian, salah seorang tentara Jerman mulai melemparkan potongan-potongan roti kepada kami, seakan melemparkan makanan kepada anjing liar. Orang-orang menerkam roti seperti binatang, menjejalkannya ke mulut sebelum orang lain sempat merebutnya. Mereka mengisi penuh sebuah lodong minum ternak, dan kami semua minum darinya seperti hewan ternak. Saat kami baru mulai minum, seorang tentara datang dan mulai memukuli kami: Ayo, cepat!...

h. 226 Mereka menyuruh kami berlari dari penjara ke stasiun kereta api kira-kira satu kilometer jauhnya. Para tentara Jerman melakukan apa yang mereka inginkan dengan tongkat di tangannya. Engkau bisa mendapati dirimu terjatuh kapan pun, karena sebuah pukulan di tengkuk atau tendangan di perut. Itulah mengapa, meskipun lemah, kami berusaha berlari secepat-cepatnya. Ketika tiba di stasiun, kami melihat gerbong hewan ternak di jalur rel. Namun, tak ada tangga atau undakan naik ke pintunya. Karena itu, pasukan SS mulai memukuli mereka yang datang lebih dulu dan memerintahkan, Merunduk! Merunduk!, untuk membuat undakan untuk pijakan naik ke gerbong bagi yang datang belakangan... Ketika merasa telah mengisi gerbong dengan cukup orang, tentara Jerman melemparkan beberapa potong roti ke dalam dan menutup pintunya. Kami mendengar mereka menguncinya dari luar. Pada waktu itu, kami tak mendengar apa pun tentang kamp maut Auschwitz atau Majdanek di kota saya. Kami tak terpikir apa makna Pemecahan Akhir. Kami mengira bahwa tentara Jerman ingin menjadikan orang Yahudi sebagai kuda beban. Kami tak tahu tentang rencana pemusnahan. (99).

Kereta Api Maut


Kereta api yang digunakan Nazi mengangkut para tawanan ke kamp-kamp konsentrasi merupakan bentuk lain penyiksaan. Lusinan laki-laki, perempuan, anak-anak, dan manula dimasukkan ke dalam satu gerbong barang yang kecil, dikunci, dan dibiarkan tanpa makanan dan minuman selama berhari-hari perjalanan, dan diangkut bahkan tanpa kesempatan menghirup udara segar. Banyak orang tewas karena kelaparan, kehausan, atau tak dapat bernapas dalam keadaan yang mengerikan itu, bahkan hanya beberapa menit saja sudah tak tertahankan. Yang lain tetap harus melanjutkan perjalanan, walaupun mayat orang-orang yang mereka sayangi terbaring di sisi mereka. Pernyataan seorang saksi mata yang mengalami keadaan yang mengerikan ini merincikan lebih jauh kebiadaban Nazi: Para polisi melambai-lambaikan senjata mereka dan menembak ke udara, memaksa lebih banyak orang mendesakkan diri ke dalam gerbong yang sudah penuh sesak. Tembakan berlanjut, dan seluruh kerumunan didorong ke depan. Mereka yang terdekat dengan kereta remuk oleh tekanan yang tak terbayangkan dari belakang...Tak ada yang dapat dilakukan mereka yang berada di depan, dan mereka menanggapi dengan jerit kesakitan ke orang-orang yang menarik rambut dan pakaian mereka untuk tumpuan, mencengkam bahu, leher dan muka, mematahkan tulang-tulang dan memekik. Meskipun gerbong telah kelebihan muatan, beberapa laki-laki, perempuan, dan anakanak, masih bisa masuk. Lalu, polisi datang dan menutup pintu di depan muka orang-orang yang hampir terdesak keluar teralis. Sebelum menjejalkan 120 orang Yahudi seperti ikan sarden ke dalam satu gerbong hewan ternak, tentara Jerman menaburi lantai dengan 7 cm bubuk kapur bakar. Bubuk ini biasanya dipakai dalam pekerjaan konstruksi, dan membakar kulit jika tersentuh. Ini berakibat kematian ratusan orang Yahudi bahkan sebelum mencapai Belzec...

h. 227 Lantai gerbong dilapisi dengan bubuk tebal berwarna putih. Bubuk itu kapur bakar. Kulit telanjang yang menyentuhnya akan langsung mengering dan terbakar. Orang-orang di dalam gerbong sebenarnya terbakar sampai mati. Daging pada tulang mereka meleleh. Kapur itu dimaksudkan menghentikan penyebaran penyakit. Ada dua pasu di setiap gerbong. Satu berisi air, yang lain dimaksudkan sebagai toilet, jika saja sempat buang air di tengah-tengah saling dorong dan desak ini. (100). Setelah berhari-hari perjalanan dengan keadaan seperti itu, tujuan akhir adalah kamp-kamp maut yang mengerikan seperti Auschwitz, Treblinka, Majdanek, dan Belsen: Para tentara Jerman berteriak Los schnell (Cepat)! Mereka memukuli kami dengan tongkat dan senapan. Karena tidak ada undakan atau pijakan, kami harus melompat turun dari ketinggian satu atau satu setengah meter. Kami berusaha bangkit secepatnya untuk menghindari ditendang tentara Jerman yang menunggu di sana. Kami kelaparan, kehausan, dan lemah. Meski demikian, kami disuruh berlari sejauh 2 kilometer menuju kamp kerja setelah gerbong-gerbong dikosongkan. Beberapa orang menangis karena ketakutan, yang lain karena lega. Kami begitu terpana sampai tak memperhatikan sekeliling. Ketika sampai di kamp, semua orang terdiam. Kami memandang dan mendengarkan dengan amat seksama. Seluruh daerah itu sangatlah sunyi. Kebisuan maut mengawang di atas kamp di hadapan kami. (101).

Kamp-kamp Maut
Tanpa keraguan, daerah utama tempat kebiadaban Nazi dilancarkan adalah kamp-kamp maut, yang di dalamnya sekitar 11 juta orang kehilangan nyawa. Kamp-kamp ini sebuah bukti sejarah betapa dahsyat dan kejam jadinya orang-orang yang berpaling dari agama dan mematikan suara hati nuraninya. Kamp-kamp itu kali pertama didirikan sebagai kamp kerja. Hampir semua, dan khususnya Auschwitz, dibuka di sisi kompleks industri besar, dan para tawanan yang dibawa ke sana dipaksa melayani mesin perang Jerman sebagai pekerja paksa. Namun ideologi Nazi yang kejam itu tidaklah membatasi diri dengan penindasan pragmatis (bermanfaat dan sederhana) itu, melainkan juga mengubahnya menjadi kamp-kamp maut, dan melancarkan pemusnahan ras yang tak dikehendaki. Selama tiga tahun atau lebih antara bulan-bulan akhir tahun 1941 dan akhir 1944, total sebelas juta orang, 5,5 juta di antaranya Yahudi, dibunuh di kamar-kamar gas dan cara-cara pembantaian massal lainnya, atau mati karena kelaparan, sakit, dan penganiayaan. Kaum Nazi tak berbelas kasihan sedikit pun pada bayi kecil, anak-anak tak bersalah, manula, dan orang-orang lemah; mereka melakukan pemusnahan terkeji dalam sejarah dengan kebrutalan yang sadis. Masih ada perdebatan apakah gas Zyklon B digunakan di kamp-kamp itu, dan hal ini dijelaskan di edisi pertama buku ini. Namun, pada akhirnya, akankah menjadi persoalan apakah Zyklon B digunakan atau tidak? Telah jelas bahwa Nazi Jerman adalah mesin pembunuh yang mengerikan. Mereka mungkin saja telah menggunakan sesuatu selain Zyklon B untuk maksud pembunuhan. Catatan-catatan yang ada memang menunjukkan bahwa percobaan kamar gas pertama dilakukan dengan menggunakan karbon monoksida, setelah itu Zyklon B lebih disukai.

h. 228 Meskipun tak ada kamar gas di kamp-kamp konsentrasi itu, kebengisan Nazi dan holokaus kaum Yahudi adalah fakta-fakta sejarah. Mayat-mayat manusia dan para tengkorak hidup yang teramati ketika kamp-kamp itu dibebaskan oleh tentara sekutu adalah bukti cukup atas tragedi yang sukar dipercaya telah terjadi itu. Genosida benar-benar dimulai ketika para tawanan menginjakkan kakinya di kamp. Kehidupan yang dianggap pantas bagi orang-orang ini sebenarnya tak beda dengan kematian perlahan-lahan. Seorang tawanan Yahudi yang selamat dari kamp Kamionka menggambarkan taraf kehidupan itu dalam biografinya: Ketika melewati gerbang kamp, saya melihat sejumlah pemandangan yang mengerikan. Para tentara Jerman sedang memperhatikan kami dari menara-menara dengan senapan mesin di tangan. Semua yang di dalam, sekitar 50 orang Rusia, 100 orang Polandia, dan mungkin 1000 orang Yahudi, semuanya dalam keadaan menyedihkan. Setiap orang memakai potongan kain ukuran 5 x 5 cm. Bagi orang Rusia dan Polandia berwarna merah, dan orang Yahudi berwarna kuning. Mereka semua sangatlah kurus, hampir mati. Mereka berjalan-jalan di taman yang kotor seakan sedang berjalan sambil tidur. Pada sebagian besar mereka, tubuhnya tampak masih hidup, namun semangatnya sudah mati. Kelompok kami berhenti di pintu masuk. Ada seorang tentara Jerman yang jangkung di depan kami. Ia terus memperhatikan kami. Ia menelan ludah sebelum berbicara kepada kami Serahkan arloji, barang-barang berharga dan perhiasan kalian! Kalian akan langsung ditembak jika masih ada barang ditemukan pada kalian. Saya mencopot arloji, dan ketika mencari-cari uang receh di sakusaku saya, para tentara Jerman mulai menampari kami, atau memukul perut kami dengan tongkat. Mereka tak pernah menghentikan bentuk hiburan yang sadis itu... Malam pertama itu, kami dibawa ke barak setelah meminum semangkuk sup. Sulit melukiskan betapa memilukannya tempat itu. Tempat yang sebenarnya dibuat untuk binatang, dan satu-satunya kelonggaran bagi manusia adalah telah ditambahkannya 2-3 baris dipan bertingkat setengah jadi. Angin masuk melalui retak-retakan dinding. Kutu-kutu berlompatan di mana-mana, dan merayapi tubuh kami hanya dalam beberapa hari! Saya segera terbiasa hidup bersama hama ini. Meskipun membawa penyakit tifus, kutu-kutu itu tidak sebanding dengan masalah-masalah lain di dalam kamp... Setelah kami dibangunkan pada jam lima pagi, mereka memberi kami dua menit untuk berpakaian. Siapa pun yang belum siap dipukuli. Ketika setiap orang sudah siap, kami bisa menggabung ke antrian pembagian secangkir kopi. Sebenarnya, yang mereka sebut air cuma air panas yang menjijikkan. Mereka juga memberi kami sekerat roti. Roti keras dan basi, terbuat dari tepung dan pasir yang sukar ditelan... Karena hanya itu yang diberikan kepada kami untuk satu hari, sebagian orang menyembunyikan sebagian roti untuk makan siang, meskipun sebagian lainnya tak mampu menahan diri dan langsung menghabiskannya. Saya biasa menyisihkan untuk sisa hari itu. Saya tahu bahwa kami akan bekerja sepanjang hari, bahwa segenap tenaga saya akan habis, dan bahwa rasa lapar saya akan kian memburuk. (102).

h. 229 Taraf kehidupan tak berbeda di kamp-kamp konsentrasi lainnya. Mereka yang dipaksa bekerja tak diberi belas kasihan atau kasih sayang, dan hidup bertahun-tahun bagai budak, menderita akibat gerak hati yang berubah-ubah para perwira Nazi, ancaman dan siksaan, digerus kelaparan dan kelelahan. Bahkan hal-hal yang lebih buruk telah dilakukan terhadap para tawanan sejumlah kamp. Di urutan pertama adalah percobaan-percobaan yang dilakukan pada manusia oleh si monster Josef Mengele, dokter di kamp terbesar, Auschwitz, tempat 1,5 juta orang tewas. Mengele melakukan percobaan-percobaan yang mengerikan pada kelinci percobaan orang dewasa dan anak-anak yang dipilih dari antara tawanan, untuk mengetahui seberapa besar rasa sakit atau dingin yang dapat ditahan tubuh manusia. Orang didorong masuk ke dalam air penuh es di hari-hari musim dingin yang membeku, dan diperiksa berapa lama bertahan hidup. Juga sebuah fakta yang diketahui bahwa Mengele melakukan operasi pembedahan tanpa pembiusan pada para korbannya, memotong tangan dan kaki, dan membuka perut. Percobaan terkejam Mengele adalah yang dilakukan pada orang-orang kembar yang datang ke kamp. Ia biasa memisahkan orang-orang kembar dari para tawanan lain, dan melakukan percobaan pada mereka untuk menaksir akibat-akibat pewarisan sifat. Cara-cara yang digunakan tak terbayangkan mengerikannya. Ia menyuntik para kembar dengan darah pasangannya dan mengukur pengaruhnya, salah satu atau kedua kembar biasanya akan menderita sakit yang amat sangat dan suhu tubuh tinggi. Mengele ingin menentukan apakah warna mata yang diturunkan dapat diubah, dan menyuntikkan tinta ke mata para kembar. Hampir semua korban percobaan itu sangat menderita, dan banyak menjadi buta. Anak-anak disuntik dengan beragam penyakit, dan diperiksa berapa lama dapat bertahan hidup. Banyak anak-anak tak bersalah disiksa si monster Nazi Mengele, dan menjadi cacat atau mati. Kebiadaban mengerikan itu hanya diketahui setelah sekutu mengalahkan Nazi di akhir perang dan merebut daerah-daerah yang berisi kamp-kamp. Satuan-satuan Inggris, Amerika, dan Soviet yang membebaskan kamp-kamp itu terguncang oleh pemandangan yang menyambut mereka. Satu catatan dari satuan Inggris yang membebaskan kamp Bergen-Belsen berbunyi: Inilah kamp konsentrasi Belsen yang terkenal itu, dibebaskan Inggris pada 15 April1945. 10 ribu mayat yang belum dikubur ditemukan di sini. 13 ribu orang tewas antara saat itu dan kini. Mereka semua korban Tatanan Baru Jerman di Eropa. Dan tiap orang sebuah contoh budaya Nazi.

Einsatzgruppen: Pasukan Maut Nazi


Unsur lain holokaus kaum Yahudi, selain ghetto-ghetto dan kamp-kamp konsentrasi, adalah pasukan-pasukan maut yang telah kami sebutkan. Mereka ini regu-regu Einsatzgruppen yang didirikan oleh Reinhard Heydrich, kepala Gestapo, dengan wewenang yang diberikan Hitler kepadanya di saat penyerbuan Polandia. Tugas

h. 230 satuan-satuan khusus ini adalah memasuki daerah pendudukan di belakang pasukan reguler, dan mencari serta menghancurkan kelompok-kelompok yang harus dimusnahkan. Orang Yahudi menempati urutan pertama. Setelah Polandia, regu-regu Einsatzgruppen melakukan penyisiran rumah-ke-rumah di kota-kota dan desa-desa di wilayah Soviet yang diduduki, dan membunuh siapa pun yang mereka temukan, tanpa mengecualikan perempuan maupun anak-anak. Tingkat keberhasilan yang dilaporkan para komandan Einsatzgruppen ke Berlin menyingkapkan skala pembantaian itu. Menurut angka-angka laporan, lebih dari sejuta orang Yahudi ditembak di daerah-daerah yang diduduki Nazi, khususnya Polandia dan Rusia. Ketika memasuki sebuah kota, satu regu Einsatzgruppe (gruppe adalah bentuk tunggal gruppen) mengumpulkan semua orang Yahudi, lalu mengeluarkan mereka dari kota, menyuruh mereka menggali lubang besar, lalu mengubahnya menjadi kuburan massal setelah menembak semua tawanan dan mencampakkannya ke lubang itu. Beberapa yang belum mati segera tercekik napasnya ketika tanah ditimbunkan ke atas tubuh mereka. Menyusul pendudukan kota Kiev pada 19 September 1941, pembantaian kaum Yahudi oleh Einsatzgruppen di kota itu akan memberikan bayangan tentang kebiadaban yang mereka praktikkan. Pengumuman-pengumuman dibuat pada 29 September, dan semua orang Yahudi dipanggil ke pemakaman di pinggiran kota, dan dikatakan bahwa mereka akan dimukimkan. Mereka diperintahkan membawa makanan, baju hangat, dokumen-dokumen, uang ,dan barang berharga, dan itu memupus kecurigaan siapa pun bahwa perintah ini mengarah ke suatu pembantaian. Peristiwa ini digambarkan oleh seorang pejabat Ukraina yang bersekongkol dengan Nazi dan belakangan diadili: Itu bagai perpindahan massal... Kaum Yahudi itu berjalan menyenandungkan puji-pujian. Ketika sampai di lintasan kereta api, makanan dan barang-barang berharga mereka diambil. Orangorang Jerman lalu mendorong mereka ke jalur-jalur sempit. Mereka bergerak amat lamban. Setelah berjalan jauh, mereka dibawa ke semacam lorong dengan para polisi Jerman di kedua sisi. Para tawanan itu dipukuli dengan tongkat dan cambuk, dan beberapa perwira juga menyuruh anjinganjing mereka menyerang para tawanan. Orang-orang Jerman menyuruh mereka berjalan sedikit lebih jauh, dan membawa mereka ke Babi Yar. Di sana ada sebuah lembah panjang di hadapan mereka. Dengan perintah orang-orang Jerman, pasukan milisi Ukraina menyuruh para tawanan melepaskan seluruh pakaian. Mereka menyerang siapa pun yang menolak dan menghantam kepalanya. Suara-suara jeritan dan tawa terdengar bersamaan. (103). Orang-orang Yahudi lalu ditembak semuanya,dan tubuh-tubuh mereka terhempas ke dalam lembah. Catatan menunjukkan bahwa sekitar 33.700 orang terbunuh hari itu. Pembantaian yang dilakukan regu-regu Einsatzgruppen itu sebuah pokok bahasan yang umumnya diabaikan oleh para revisionis yang menyangkal bahwa holokaus pernah terjadi. Mereka cenderung memusatkan pernyataan pada kemampuan teknis kamar-kamar gas atau fungsi Zyklon B, dan tak pernah mempersoalkan apa yang pernah terjadi di dalam ghetto-ghetto maupun pembunuhan-pembunuhan oleh Einsatzgruppen. Namun faktanya adalah keberadaan sesungguhnya

h. 231 regu-regu itu cukup untuk menunjukkan bahwa kaum Nazi merencanakan memusnahkan kaum Yahudi, dan bahkan benar-benar melakukannya. Cukup jelas bahwa sebuah rejim yang membunuh orang-orang tak bersalah, bahkan perempuan dan anak-anak, dan membentuk regu-regu khusus untuk melaksanakan pembunuhan itu, pasti mampu melakukan yang serupa di kamp-kamp konsentrasi.

Kebencian Nazi terhadap Agama


Jawaban ke satu pertanyaan penting harus ditemukan saat menilai Holokaus kaum Yahudi: mengapa Nazi sangat membenci kaum Yahudi? Jawabannya terletak dalam ideologi Nazi. Sebagaimana kita lihat di pengantar buku ini, Nazisme adalah sebuah gerakan yang dapat digambarkan sebagai neo-paganisme. Para ideolog Nazi seperti Hitler dan Rosenberg merasakan kenang-kenangan manis akan kebudayaan pra-Nasrani pagan Jerman. Ciri mendasar kebudayaan itu adalah pengagungan kebanggaan diri, kekerasan, dan perang. Ajaran Nasrani, yang menekankan kerendahhatian, kedamaian, dan kasih sayang, merupakan sebuah konsep moral yang bertolak belakang dengan kebudayaan itu. Kebencian terhadap ajaran Nasrani lahir bersama Nietzsche, sinambung bersama muridnya Martin Heidegger, dan memuncak bersama Hitler dan Rosenberg, yang mewarisi ide-ide mereka. Salah satu akibat alamiah kebencian terhadap ajaran Nasrani adalah permusuhan terhadap Kaum Yahudi. Hal ini karena Nazi (dan para neo-pagan lainnya) menganggap ajaran Nasrani sebagai penyerbuan Eropa oleh kebudayaan Yahudi. Alasannya adalah Nasrani itu sebuah agama yang lahir dari Yudaisme. Banyak bagian Injil, dengan kata lain Perjanjian Lama, berasal dari Taurat, kitab suci Yudaisme. Para pemeluk Nasrani mencintai dan menghormati semua nabi kaum Yahudi. Lebih jauh, Nabi Isa dan para muridnya secara etnis orang Yahudi. Semua ini mengantar Nazi beranggapan bahwa ajaran Nasrani suatu persekongkolan Yahudi. Tambahan bagi kebencian rasis itu, kaum Nazi mencampurkan kebencian Darwinis Sosial yang menganggap kaum Yahudi suatu ras rendahan, sehingga merumuskan suatu kejijikan fanatik yang tak terobati. Kenang-kenangan orang-orang Yahudi yang menjadi korban kebengisan Nazi berisi ceritacerita yang menunjukkan bahwa kebencian yang dirasakan Nazi terhadap kaum Yahudi adalah kebencian terhadap agama. Contoh hal ini adalah cara Nazi menyerang pakaian, rambut, dan janggut panjang orang Yahudi, yang dibiarkan tumbuh sebagai lambang dan ketaatan agama. Banyak pemeluk Yahudi yang taat, khususnya manula, diberhentikan di jalan-jalan oleh anggota SS dan kelompok Nazi lainnya, lalu janggut dan ikalan rambut, lambang-lambang agama mereka, dipangkas. Kitab-kitab suci Yahudi dibakar dan dicabik-cabik. Satu peristiwa di ghetto Warsawa digambarkan oleh seorang saksi mata: Sambil pulang ke rumah suatu sore, saya melihat sekelompok pemuda dibariskan sepanjang tembok dengan tangan terangkat. Apa yang sedang terjadi? Saya sedikit mendekat. Apa yang telah dilakukan para pemuda itu? Mengapa tentara Jerman membariskan mereka seperti itu? Seorang perwira SS dengan sepatu hitam dan cambuk kuda berdiri di sana. Dia mengingatkan saya akan seorang pelatih anjing yang sedang memperoleh hiburan dari penderitaan

h. 232 makhluk di hadapannya. Seorang anggota SS lain memegang gunting, dan sedang berusaha memotong janggut-janggut dari wajah-wajah berdarah, penuh kesakitan itu. (104). Kebencian Nazi terhadap agama sebenarnya menunjukkan bahwa kebengisan Nazi adalah contoh baru dari yang ditunjukkan para penindas ateis, seperti Firaun, Namrud, dan Nero. Kaum Nazi berusaha menyingkirkan siapa pun yang menolak menerima ideologi mereka, khususnya orang-orang yang saleh. Kelompok ini mencakup orang-orang Katolik dan Saksi Yehova, dan juga Yahudi. Kita akan membahas masalah ini lebih rinci di halaman-halaman selanjutnya. Jika juga menguasai dunia Islam, kaum Nazi mungkin akan menganggap kaum Muslim sebagai ras Semit dan berupaya membuatnya menderita, bahkan mungkin juga akan memusnahkannya. Penting bagi orang-orang Yahudi yang selamat dari kekejaman-kekejaman Nazi untuk membandingkan Nazi dengan Firaun. Dalam kaitan ini, cerita seorang Yahudi yang bekerja di kamp-kamp konsentrasi berikut khususnya layak diperhatikan: ...Kami menghunjamkan garu ke dalam lumpur, dan terkejut akan beratnya saat mencoba menariknya keluar. Lumpur itu berjatuhan dari antara gigi-gigi garu saat kami mendekati gerobak sorong, dan amat sedikit sisa yang terbawa. Kami akan membungkuk lagi untuk menyerok gumpalan tebal lumpur. Lagi-lagi amat sedikit yang terbawa saat kami sampai di gerobak. Lagi dan lagi, kami meregangkan tubuh kami yang melemah. Saya mengamati teman-teman saat kami melakukan tugas yang memuakkan, tak masuk akal, dan sia-sia itu, dan sebuah pemandangan menyedihkan melintas di benak saya: para budak Yahudi yang membangun kota Firaun di Mesir... Orang-orang Yahudi dipaksa bekerja di tepi kelaparan. Asupan harian mereka mencakup sekerat roti hitam seukuran ibu jari orang dewasa, seulas mentega, dan semangkuk cairan yang diperkirakan adalah sup. Kadang-kadang mungkin ada sedikit potong-potongan mengapung di permukaan cairan itu. Hanya itulah yang mereka dapat untuk 24 jam. Tiang-tiang gantungan sederhana disusun. Enam pemuda berdiri di atas tataran. Sang algojo mengeratkan simpul ke leher-leher mereka. Saya pikir saya kenal dua dari para pemuda itu. Bukankah mereka Spielman bersaudara? Ya, itulah mereka! Inilah hukuman Nazi yang lebih ringan. Perintah-perintah agar tiap orang menyaksikan datang dari segala penjuru. Inilah yang akan terjadi pada siapa pun yang mencoba kabur!. Saya menjadi jeri. Salah seorang dari Spielman bersaudara tiba-tiba mulai berbicara. Ia menantang para Nazi, dan dengan bangga menyambut maut di wajahnya: Kalian bisa membunuh kami, dan memusnahkan ribuan kaum Yahudi. Namun, kalian takkan pernah bisa menghancurkan bangsa Yahudi. Mereka akan bertahan hidup sebagaimana biasanya. Yehova akan membalas darah orangorang yang tak bersalah!

h. 233 Kemudian mereka mulai mengucapkan doa Shema Israel, dan mampu menggumamkan Satu Tuhan... sebelum mati. (105).

Para Zionis Selama Holokaus


Fakta-fakta yang telah kita lihat di bab ini menunjukkan bahwa kaum Yahudi menjadi korban sebuah genosida yang mengerikan selama Perang Dunia II. Menjadi tugas setiap orang yang berhati nurani untuk mengutuk tanpa pamrih tragedi mengerikan itu, salah satu perbuatan biadab terburuk dalam sejarah umat manusia. Namun ada sebuah fakta menarik bahwa bukannya menentang, sejumlah orang yang juga Yahudi malah bersekongkol dengan Nazi yang bertanggungjawab atas kebengisan itu. Sebagaimana yang kita lihat di bab pertama buku ini, orang-orang ini adalah para Zionis, yang menjalin perjanjian kotor dengan Nazi Jerman untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mendukung kaum Nazi bahkan selama tahun-tahun holokaus, dan tak sedikit pun berusaha menyelamatkan kaum Yahudi dari kekejaman-kekejaman Nazi. Catatan sejarah membuktikannya. Di dalam bukunya Zionism in the Age of Dictators, sejarawan Yahudi Amerika Lenni Brenner mengatakan bahwa selama Perang Dunia II sejumlah organisasi Yahudi pembaur berupaya semampu mereka menyelamatkan orang-orang Yahudi di negara-negara yang diduduki Nazi. Akan tetapi, seperti ditegaskan Brenner secara khusus, kaum Zionis sama sekali tak tertarik membebaskan kaum Yahudi yang berada di tangan Nazi, bahkan menghalangi sejumlah prakarsa yang diarahkan ke sana. Brenner menyatakan bahwa banyak orang Yahudi memprotes jinaknya WZO dengan mengatakan, Bagaimana kalian dapat membalikkan punggung pada saudara-saudara Eropa kita saat mereka sedang dibantai? (106) Pemimpin Zionis Polandia Izak Gruenbaum menjelaskan tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada para Zionis dan tanggapan mereka di tahun 1943: Sejumlah ulasan sedang diberikan atas wilayah Israel saat ini. Mereka berkata: Jangan jadikan wilayah Israel prioritas utama di masa sulit ini. Jangan prihatinkan diri kalian hanya dengan Palestina ketika kaum Yahudi sedang dimusnahkan. Saya tak menerima pandangan itu. Orangorang meminta kami, Tak bisakah Anda menyisihkan sejumlah uang dari Keren Hayesod [Dana Zionis di Palestina] untuk menyelamatkan kaum Yahudi Eropa? Saya jawab, Tidak. Dalam pandangan saya, kita harus menentang kecenderungan menurunkan Zionisme ke tempat kedua. Itulah mengapa mereka menyebut kami anti-Semit, sebab kami tidak menjadikan penyelamatan kaum Yahudi sebagai prioritas. (107). Di akhir naskah, Gruenbaum menulis, Zionisme lebih penting dari apa pun. Logika kaum Zionis jelas: menurut jalan pemikiran mereka, berusaha menyelamatkan kaum Yahudi Eropa merupakan pengkhianatan terhadap Zionisme. Mereka menggunakan segala daya dan upaya yang mereka miliki untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, dan secara terbuka menyatakan tak akan mengangkat jari satu kali pun untuk menyelamatkan kaum Yahudi Eropa dari Nazi.

h. 234 Mengapa mereka dapat bersikap begitu kejam terhadap bangsanya sendiri? Sebuah surat yang ditulis kepada sahabat-sahabat Zionis oleh Nathan Schwalb, perwakilan organisasi Zionis HeCHalutz di Swiss, adalah yang terpenting dalam menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan itu. Schwalb menulis: Sama seperti setelah Perang Dunia I, negara-negara pemenang akan menggambarkan peta geografi baru dunia ketika perang kali ini usai. Karena alasan itu, kita harus melakukan segala yang kita mampu untuk mengubah wilayah Israel menjadi Negara Israel di saat perang berakhir. Namun, kita juga harus sadar bahwa pihak sekutu telah kehilangan, dan sedang kehilangan banyak darah selama perang. Karena itulah, jika darah kita sendiri tak tumpah, maka hak apakah yang dapat kita miliki untuk meminta tanah di meja perundingan pasca perang?... Kita hanya akan memiliki tanah sendiri dengan menyebabkan darah kita sendiri mengalir. (108). Pendeknya, para Zionis berpikir bahwa pembunuhan massal kaum Yahudi akan memperkuat kartu mereka saat meminta daerah Palestina di akhir perang. Karena alasan itu, mereka tak berbuat sedikit jua menyelamatkan kaum Yahudi Eropa dari Holokaus. Ada bukti cukup kuat untuk hal ini. Misalnya, pemimpin gerakan Zionis di Amerika, Stephen Wise, langsung menentang keras upaya-upaya Emergency Committee to Save the Jewish People of Europe (Panitia Darurat untuk Menyelamatkan Kaum Yahudi Eropa), sebuah organisasi yang didirikan para Yahudi pembaur dan pembela HAM, untuk menyelundupkan orang-orang Yahudi di wilayah Nazi ke daerah-daerah aman, sebab mereka tidak dikirim ke Palestina, namun ke tempat lain. Peter Bergson, salah seorang pengurus panitia itu, menjadi geram, dan berkata kepada Wise: Jika Anda berada di sebuah rumah yang terbakar, apa yang Anda ingin diteriakkan orangorang di luar, Selamatkan orang-orang yang terbakar itu? atau Selamatkan orang-orang yang terbakar itu dan bawa ke Hotel Waldorf Astoria? (109). Ringkasnya, para pemimpin Zionis jelas-jelas mengkhianati bangsanya sendiri yang menderita dan mati karena kebengisan Nazi. Kenyataan itu masih diungkapkan sekarang ini oleh orang-orang Yahudi yang menentang Zionisme, yang juga meminta penjelasan atas pengkhianatan itu. Contohnya, terbitan-terbitan organisasi Yahudi Neturei Karta, yang dibentuk oleh kaum Yahudi saleh penentang Zionisme dan negara Israel, kerap merujuk ke persekutuan Nazi-Zionis. Menurut pandangan Neturei Karta, Zionisme itu gerakan tak beragama yang disusun para ateis, yang bertanggungjawab atas pengkhianatan terhadap kaum Yahudi yang terburuk dalam sejarah. Pengkhianatan itu termasuk persekongkolan Nazi-Zionis dan kebijakan pendudukan negara Israel yang membahayakan keselamatan kaum Yahudi. (Untuk rinciannya, lihat http://www.netureikarta.org). Sejarah kelam Zionisme ini menyingkapkan satu fakta terpenting: Zionisme dan negara Israel tak berhak sama sekali mengambil keuntungan dari Holokaus Yahudi yang mengerikan itu dan menggunakannya sebagai alat propaganda sambil menutupi kejahatan sendiri. Pada dasarnya, Zionisme tak berhak mengeruk keuntungan dari Holokaus untuk kepentingan sendiri.

h. 235

Pemanfaatan Holokaus oleh Kaum Zionis


Holokaus kaum Yahudi itu sebuah fakta, sebuah tragedi kemanusiaan yang tak boleh pernah dilupakan atau diremehkan. Ini sebuah luka terbuka bagi seluruh umat manusia, tak hanya kaum Yahudi, dan harus dipandang demikian. Akan tetapi, pemanfaatan Holokaus untuk tujuan-tujuan politik atau ekonomi, dan penggunaannya sebagai alat propaganda, sepenuhnya tak dapat diterima. Perbuatan itu akan menjadi pengkhianatan terburuk yang terbayangkan terhadap para korban, khususnya jika para pelakunya kaum Zionis yang pernah bersekongkol dengan kaum Nazi. Apa yang kami maksudkan dapat dipahami dari pernyataan-pernyataan resmi Israel. Telah diketahui bahwa Israel adalah negara penjajah yang menduduki tanah-tanah Arab sejak 1967. Lebih lagi, Israel telah mempertahankan pendudukan itu dengan cara-cara paling kejam dan melancarkan pemusnahan jangka panjang bangsa Palestina. PBB telah mengeluarkan banyak resolusi yang mengecam Israel, namun tak satu pun berhasil menghentikan terornya. Sebagai tukaran kebijakan itu dan memenangkan simpati dunia, Israel bergantung kepada Holokaus. Tragedi 5,5 juta orang Yahudi yang mati dibunuh Nazi digunakan Israel sebagai propaganda psikologis untuk mengecilkan kejahatannya sendiri. Setiap presiden atau perdana menteri negara lain yang mengunjungi Israel akan dibawa ke Museum Holokaus Yad Vashem. Penulis Israel, Benjamin Beit-Hallahmi, menyingkapkan tujuan di baliknya: Setiap perjalanan resmi ke Israel dimulai dengan kunjungan ke Yad Vashem. Itulah persinggahan pertama di jalan dari bandara ke hotel mana pun di Yerusalem. Alasan upacara itu adalah menegaskan hubungan Israel dan Holokaus, dan memperlihatkan negeri ini sebagai sebuah surga bagi mereka yang selamat darinya. Tujuan kedua adalah menimbulkan rasa bersalah dalam diri pengunjung. (110). Cara ini tak hanya digunakan oleh Israel, namun juga lobi Israel di negara-negara Barat. Cara ini mendapat banyak kecaman dari orang-orang Yahudi yang memandang keadaan ini dengan lebih jujur. Misalnya, Esther Benbassa, direktur mata kuliah Kajian Yahudi Modern di Ecole Pratique des Hautes Etudes di Perancis, menyatakan dalam sebuah artikel harian Liberation terbitan 11 September 2000 bahwa Holokaus kaum Yahudi telah diubah menjadi sebuah agama. Ia melanjutkan: Menempatkan diri sebagai korban telah menyelamatkan setiap orang Yahudi dari kecaman, sehingga juga melindungi Israel dari kecaman. (111). Kajian terpenting untuk menegaskan bagaimana Holokaus kaum Yahudi telah dijadikan alat propaganda ekonomi dan politik adalah sebuah buku terbitan tahun 2000 The Holocaust Industry: Reflections on the Exploitation of Jewish Suffering (Industri Holokaus: Renungan-renungan atas Pemanfaatan Penderitaan Kaum Yahudi) oleh Norman G. Finkelstein, seorang sejarawan dari New York University, yang juga seorang Yahudi. Nenek Finkelstein sendiri seorang korban Holokaus, sebab pernah dikirim ke sebuah kamp konsentrasi. Ia menggambarkan bagaimana konsep Holokaus

h. 236 telah dimanfaatkan sebenar-benarnya baik oleh Israel maupun organisasi-organisasi Yahudi di Barat. Luas diketahui orang bagaimana pengadilan-pengadilan internasional yang dibentuk usai Perang Dunia II memerintahkan Jerman membayar ganti rugi kepada seluruh kaum Yahudi korban penindasan Nazi. Jerman telah membayar miliaran dolar secara mengangsur kepada Israel dan kaum Yahudi di berbagai negara di dunia selama beberapa dasawarsa, dan masih melakukannya hari ini. Sebagaimana Jerman, berbagai negara Eropa lainnya, khususnya Swiss yang bank-bank internasionalnya membentuk sebuah kekaisaran keuangan, dan negara-negara Eropa Timur yang gagal membantu kaum Yahudi di masa pendudukan Nazi, telah berkali-kali diminta membayar ganti rugi. Dalam bukunya, Finkelstein menjelaskan betapa luar biasanya penyelewengan dalam penggunaan uang ganti rugi itu, bagaimana sejumlah besar uang telah diterima dari Jerman dan pemerintah-pemerintah lainnya untuk dibagikan kepada para Yahudi korban Nazi, namun bukannya disalurkan kepada yang berhak, melainkan dipakai membiayai organisasi-organisasi Zionis. Contohnya, sejumlah organisasi Yahudi baru-baru ini meminta suatu pembayaran baru dari Jerman sebagai ganti rugi bagi kaum Yahudi yang dipaksa bekerja sebagai pekerja rodi di kampkamp Nazi. Mereka memberikan jumlah orang Yahudi yang harus mendapatkannya sebanyak 135 ribu orang. Akan tetapi, berdasarkan angka-angka resmi, Finkelstein memberikan jumlah Yahudi yang selamat yang pernah dipaksa bekerja di kamp-kamp itu sekitar 14 sampai 18 ribu. (112). Finkelstein menyatakan secara terbuka bahwa organisasi-organisasi, bahkan perorangan, Yahudi, telah terlibat sejumlah besar penipuan untuk membangun apa yang disebut industri Holokaus dan menjaganya tetap hidup. Dalam pandangannya, (kutipan 113). Contoh pertama yang diberikan Finkelstein adalah buku The Painted Bird (Burung Bercat) oleh etnis Polandia, Jerzy Kosinki, yang dilukiskan sebagai salah satu renungan terbaik atas penderitaan kaum Yahudi selama tahun-tahun Holokaus. Di buku itu, Kosinski merinci amat jelas siksaan-siksaan mengerikan dan penganiayaan seksual yang ditimpakan kepada kaum Yahudi yang tinggal di Polandia oleh kaum Nazi dan para penduduk desa Polandia selama Perang Dunia II. Elie Wiesel, pakar Holokaus terbaik dunia, menggambarkan buku ini sebagai salah satu kajian terbaik tentang masa Nazi dalam sebuah artikel di New York Book Review. Buku itu diterjemahkan ke sejumlah bahasa dan dimasukkan ke daftar bacaan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Akan tetapi, lambat laun mulai disadari bahwa peristiwa-peristiwa yang dilukiskan oleh Kosinski tidak berdasarkan pada fakta, dan akhirnya disetujui bahwa ia merekayasa sebagian besar peristiwa yang dilukiskannya. Kini, buku itu dikenal sebagai sebuah penipuan. Contoh lain yang dijelaskan oleh Finkelstein adalah buku Fragments (Kepingan-kepingan) oleh pengarang Binjamin Wilkomirski. Si penulis mengatakan bahwa ia dibesarkan di panti asuhan sebagai seorang Yahudi tanpa keluarga, dan berujung di kamp-kamp konsentrasi Nazi, dan menderita amnesia parsial (sebagian) sebagai akibat besarnya kekejaman yang dialaminya, oleh sebab apa bukunya tersusun dari keping-keping kenangan yang melintas di benaknya. Karena

h. 237 itulah ia sedikit sekali menyebutkan tempat-tempat, nama-nama, dan uraian-uraian peristiwa. Buku itu digunakan sebagai alat propaganda selama bertahun-tahun. Diterjemahkan ke lebih dari sepuluh bahasa, dan memenangkan penghargaan-penghargaan penting yang diberikan organisasi-organisasi Yahudi, termasuk Jewish National Book Award, The Prix de Memorie de la Shoah dan Jewish Quarterly Award. Akan tetapi, pelan-pelan terungkap bahwa buku ini pun sebuah pemalsuan. Akhirnya disadari bahwa Wilkomirski, yang menguraikan diri sebagai anak laki-laki Yahudi yang besar di panti asuhan dan telah disiksa di kamp-kamp konsentrasi, sama sekali bukan Yahudi dan tak pernah melihat sebuah kamp Nazi. Nyatanya, ia tak pernah meninggalkan Swiss selama masa Perang Dunia II, dan keluarganya tak berdarah Yahudi. (144) Sejarawan terkenal, Raul Hillberg, menekankan keanehan cara bahwa penipuan orang ini tak diketahui dalam jangka waktu yang lama. (115) Organisasi-organisasi Yahudi menolak mengakui penipuan itu untuk jangka waktu yang lama, dan sebagian bahkan mengajukan pembelaan-pembelaan yang aneh seperti Meskipun tak secara fisik mengalami peristiwa-peristiwa yang diceritakannya, si penulis mengalaminya secara psikologis, dan itu mencukupi. Akhirnya, buku itu ditarik diam-diam oleh sebuah rumah penerbitan di Jerman, dan belakangan juga di negara-negara lain, di tahun 1999. Finkelstein mengatakan bahwa bagian besar mereka yang menyatakan diri korban-korban Holokaus dan menarik cukup besar perhatian dengan banyak kisah yang menghebohkan sebenarnya tak mengatakan kebenaran, dan Finkelstein memberikan alasan untuk itu (kutipan 116). Kecaman serupa tentang pemanfaatan Holokaus dibuat dalam buku Selling the Holocaust: From Auschwitz to Schindler, How History is Bought, Packed and Sold (Menjual Holokaus: Dari Auschwitz Hingga Schindler, Bagaimana Sejarah Dibeli, Dikemas, dan Dijual) oleh Regu Cole, seorang pejabat US Holocaust Memorial Museum. Di buku terbitan tahun 1999 itu, Cole menjelaskan bagaimana Holokaus telah dijadikan barang dagangan dan mengecam keras gejala ini.

Kesimpulan
Dalam bab ini, kita telah membahas tentang garis-garis besar Holokaus kaum Yahudi di Jerman zaman Nazi. Ratusan buku tentunya dapat ditulis tentang masalah itu yang merinci kebengisan Nazi. Namun, bahkan informasi yang dirangkum di sini cukup untuk menunjukkan bahwa Holokaus adalah salah satu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah. Akan tetapi, kita harus waspadai satu hal. Sejumlah orang berupaya mengeruk keuntungan dari peristiwa mengerikan itu dan menggunakannya demi tujuan-tujuan ekonomi dan politik mereka. Mereka sama sekali tak berhak berbuat demikian, sebab sesungguhnya merekalah yang mengipasi api anti-Semitisme dengan bersekongkol dengan Nazi sepanjang tahun 1930-an, dan meninggalkan kaum Yahudi Eropa sendirian ketika genosida dimulai. Mereka, para Zionis, berharap menggunakan satu tindakan genosida untuk membenarkan genosida lainnya (pembersihan etnis yang sedang dilakukan Israel di Palestina), dal itu sama sekali tak dapat diterima. Dua hal yang harus dilakukan untuk menunjukkan ketaksahihan propaganda Zionis:

h. 238 1) Mengungkapkan persekongkolan NaziZionis, 2) Menghentikan pemanfaatan genosida yang dilancarkan selama Perang Dunia II sebagai alat pengeruk keuntungan dan menyingkapkan fakta-fakta sejarah. Di bab pertama buku ini, kita membahas rincian persekongkolan NaziZionis. Di bab kedua ini, kita berurusan dengan genosida yang dilancarkan selama Perang Dunia II. Akan tetapi, satu fakta penting lainnya perlu diperjelas untuk memahami fakta-fakta sejarah dan menghentikan masalah ini dipakai sebagai alat pengeruk keuntungan: Kaum Yahudi bukanlah satu-satunya korban Nazi.

h. 239

BAB EMPAT: HOLOKAUS-HOLOKAUS YANG TERLUPAKAN


Di urutan pertama kesalahan yang dibuat orang saat melukiskan Holokaus adalah melupakan korban-korban lain Nazi selain kaum Yahudi. Nazi tak hanya membatasi kampanye genosidanya pada kaum Yahudi, tetapi juga kelompok-kelompok etnis seperti gipsi, Polandia, dan Slavia, para penyandang cacat fisik dan mental, dan masyarakat-masyarakat agama seperti Katolik dan Saksi Yehova. Pada bab ini, kita akan membahas Holokaus yang terlupakan yang menimpa kelompokkelompok ini dan secara umum diabaikan sama sekali.

Kebengisan terhadap Mereka yang Malang: Genosida Penyandang Cacat


Kebanyakan orang berpikir Holokaus Nazi dimulai dengan pembantaian kaum Yahudi. Namun sebenarnya, sebuah kelompok lain telah menjadi korban pembunuhan Nazi sebelum kaum Yahudi: yaklni, para penyandang cacat fisik dan mental, serta para pengidap penyakit keturunan di dalam masyarakat Jerman. Dalam bukunya The Origin of Nazi Genocide (Asal Mula Genosida Nazi), sejarawan Henry Friedlander menulis (kutipan 117). Untuk memahami alasan genosida itu, kita harus menelaah ideologi Nazi, yang kita tahu telah disandarkan pada rasisme. Salah satu terapan praktis rasisme adalah konsep eugenik. Saat menerapkan teori eugenik, yang meramalkan perbaikan ras manusia lewat cara yang sama seperti suatu spesies hewan, kaum Nazi memutuskan untuk menyingkirkan para penyandang cacat dan pengidap penyakit keturunan yang mereka rasa akan merusak ras. Konsep eugenik muncul bersama dengan teori evolusi Darwin. Dalam bukunya yang terkenal The Origin of Species, Darwin kukuh merujuk ke perbaikan spesies hewan, dan dalam The Descent of Man, ia berpendapat bahwa umat manusia hanya spesies lain hewan. Keponakan Darwin, Francis Galton, membawa pernyataan pamannya itu ke undakan lebih tinggi, dan merumuskan teori eugenik. Galton menyingkapkan pemikiran itu di tahun 1869, dalam bukunya Heredity Genius (Jenius Pewarisan Sifat). Buku itu membahas sejumlah orang jenius (amat pandai) dalam sejarah Inggris, dan berpendapat bahwa mereka memiliki sifat-sifat rasial khusus. Menyusul pernyataan itu, Galton menyarankan bahwa darah bangsa Inggris secara genetik mengungguli bangsa-bangsa lain, dan langkah-langkah perlu diambil untuk melindunginya. Teori itu berlaku pada semua ras, tak hanya orang Inggris. Setelah Galton, penyokong paling sengit konsep eugenik adalah ahli biologi Darwinis Jerman, Ernst Haeckel, yang dianggap sebagai salah seorang bapak ideologi Nazi. Haeckel-lah orang pertama yang berbicara terbuka tentang membunuh demi maksud-maksud eugenik. Dalam bukunya Wonders of Life (Keajaiban Kehidupan), ia berpendapat bahwa bayi-bayi cacat harus dibunuh tanpa ditunda-tunda, dan menyatakan bahwa itu bukanlah pembunuhan karena bayi-bayi

h. 240 tadi belum lagi sadar. (118) Haeckel tak hanya menginginkan bayi-bayi untuk dibunuh, namun juga, sebagai bagian hukum evolusi, para pengidap penyakit dan penyandang cacat yang mungkin merintangi apa yang disebut evolusi masyarakat. Ia menentang memberi mereka perawatan kesehatan dan menulis bahwa itu akan mencegah seleksi alam: Ratusan ribu orang yang tak tersembuhkan, misalnya, para pengidap sakit mental, lepra, dan yang menderita kanker, semuanya dipertahankan hidup secara buatan, meskipun hal itu tak bermanfaat bagi mereka maupun masyarakat secara umum ... Agar terbebas dari kenaasan ini, para pasien itu harus diberi racun yang bekerja cepat dan efektif, dengan sengaja dan di bawah pengawasan dewan yang berwewenang. (119). Kebiadaban yang membentuk teori Haeckel ini dipraktikkan oleh Nazi Jerman. Sebagai praktisi Darwinisme Sosial yang taat, kaum Nazi berpaling ke teori eugenik dengan ketaatan serupa. Laporan Forgotten Crimes (Kejahatan yang Terlupakan) dari organisasi Disability Rights Advocates (Pembela Hak-hak Penyandang Cacat), yang menggambarkan pembunuhan massal para penderita sakit dan penyandang cacat oleh kaum Nazi, membeberkan pandangan Nazi yang mengerikan tentang orang-orang tak bersalah ini: (kutipan 120). Tahap pertama kampanye kaum Nazi untuk menyingkirkan para penyandang cacat adalah pemandulan (sterilisasi). Sebulan setelah berkuasa, mereka menerbitkan Undang-undang Pencegahan Berketurunan bagi Pengidap Penyakit Genetik pada tanggal 14 Juli 1933. Dengan undang-undang itu, Suatu operasi pembedahan dapat dilakukan pada siapa pun yang mengidap penyakit keturunan untuk menghilangkan kemampuannya menurunkan anak. Di tahun 1935, undang-undang kedua diterbitkan, meluncurkan kewajiban menggugurkan kandungan bagi para perempuan penyandang cacat atau pengidap penyakit keturunan. Antara tahun 1933 dan awal Perang Dunia II di tahun 1939, kebijakan pemandulan itu diterapkan dengan kekejaman yang amat sangat. Ratusan ribu penyandang cacat dikumpulkan dari rumah-rumah sakit, klinik-klinik, atau rumah-rumah mereka, dikirim ke pusat pemandulan, dan dibedah paksa. Pembedahan-pembedahan itu menghentikan fungsi organ-organ perkembangbiakan mereka. Pada perempuan, rahim dan indung telur diangkat, atau jika tidak, saluran rahim dirusak dengan gas karbon monoksida. Yang laki-laki, buah zakarnya diangkat atau diradiasi (disorot sinar berenergi tinggi). Sebagai hasil operasi-operasi janggal dan kejam itu, banyak penderita sakit yang tewas, dan mayoritas merasakan sakit parah selama bertahun-tahun. Lebih lagi, mayoritas korban tidak mampu pulih dari luka psikologis yang diakibatkannya selama bertahun-tahun. Sebuah kajian yang dilakukan seusai perang menunjukkan bahwa sebagian korban pemandulan masih menderita rasa sakit yang sangat sampai 10 tahun kemudian, dan bahwa sepertiga korban masih menderita luka psikologis. Sesudah pemandulan, pembunuhan para penyandang cacat dimulai lewat perintah yang dikeluarkan oleh Hitler kepada para stafnya, yang dikenal sebagai perintah Aktion T-4 (Tindakan T4):

h. 241 Strategi Hitler berkembang tahap demi tahap. Pertama, pemandulan. Dari tahun 1933, lebih dari 400 ribu penyandang cacat dimandulkan paksa. Pemandulan terkadang dilakukan dengan mengangkat buah zakar para laki-laki, terkadang dengan meradiasi alat kelamin, cara yang malah menimbulkan rasa sakit yang lebih parah. Lalu, program pembunuhan resmi yang dikenal sebagai Aktion T-4 dimilai. Program itu telah dirancang khusus bagi penyandang cacat. Sejumlah cara pemusnahan yang akan digunakan Nazi pada korban-korban Yahudinya, misalnya penyemprotan gas pada orang-orang yang dipaksa masuk ke kamar mandi, kali pertama dikembangkan di bawah program kaum penyandang cacat. Akibatnya, lebih dari 275 ribu orang terbunuh dalam kerangka kerja program Aktion T-4. Angka itu tak mencakup para penyandang cacat yang kehilangan nyawa di kamp-kamp setelah Aktion T-4 berakhir. Selama perang, sejumlah tak diketahui penyandang cacat terbunuh di daerah-daerah yang diserbu dan diduduki Nazi. Sambil wilayah yang dikuasainya meluas, Nazi membunuh para laki-laki, perempuan, dan anak-anak penyandang cacat tanpa memandang ras, agama, atau pandangan politik. (122). Para dokter dan banyak pegawai negeri lainnya yang telah dicuci otak oleh propaganda Nazi melakukan perbuatan biadab yang tak terpikirkan itu, sebab mengira itulah tugas mereka. Tersebarnya ajaran-ajaran para Darwinis Sosial ke masyarakat, yang semuanya membentuk inti Nazisme, secara alamiah mendorong hilangnya nilai-nilai akhlak seperti kasih sayang dan welas asih sebagaimana diajarkan oleh agama. Rangkuman berikut melukiskan sebuah peristiwa di Hadamar, satu dari enam tempat yang dibangun untuk membunuh para penyandang cacat menuruti Aktion T-4, dan menyingkapkan sejauh mana masyarakat Jerman telah dibawa oleh ideologi Nazi: Misalnya, pembantaian penyandang cacat di Hadamar (satu dari enam pusat pembunuhan) berlangsung karena daya produksi dan aturan birokratis. Menjaga semangat tetap tinggi dianggap paling penting bagi keberhasilan operasi ini. Demi mempertahankan daya produksi dan semangat para staf rumah sakit di taraf tertinggi, para pengelola secara berkala menekankan pentingnya program. Di musim panas 1941, sebuah upacara yang diadakan di aula sayap kanan rumah sakit Hadamar menancapkan satu tonggak kemajuan program pembunuhan itu. Seluruh staf rumah sakit hadir dan dijamu dengan bir dan anggur. Setelah gegap-gempita pembukaan, semua hadirin diajak turun ke lantai bawah tanah rumah sakit dan ikut serta dalam sebuah upacara memperingati pengabuan pasien ke-10 ribu. Sang mayat dihiasi bunga dan bendera kecil Nazi, dan seorang dokter menyampaikan sebuah pidato pendek dan menggelora tentang pentingnya pekerjaan yang dilakukan di Hadamar. Mayat lalu dibakar, dan beberapa hadirin mengucapkan pidato-pidato mengejek untuk mengenang si mendiang. Yang lain mendengarkan dan tertawa, dan pesta diadakan dengan iringan musik polka. (123) Pembantaian anak-anak dan bayi cacat adalah tragedi lain tersendiri. Meskipun persiapan telah menuju ke arah sana sejak 1933, penggerak yang sebenarnya diberikan oleh dekrit eutanasia (pembunuhan demi alasan kesehatan) anak yang dikeluarkan oleh Panitia Reich bagi Penelitian Ilmiah terhadap Penyakit Berat karena Keturunan dan Sebab-Musabab Protonik pada tanggal 18 Agustus 1939. (Protonik: terkait dengan keseimbangan kimiawi.) Dengan dekrit itu, keterangan tentang semua bayi yang baru lahir atau yang berumur kurang dari tiga tahun, dan diduga memiliki penyakit keturunan yang parah harus disampaikan kepada komite ini. Penyakit keturunan berat mencakup Sindrom Down (sejenis penyakit genetik), kelainan bentuk fisik, kelumpuhan, dan

h. 242 golongan-golongan seperti kebutaan dan ketulian. Bayi-bayi yang dilaporkan sebagai diduga berpenyakit tersebut di atas akan dijadikan peserta uji kesehatan. Jika terbukti, surat-surat mereka akan diberi tanda + dan mereka dikirim ke pusat-pusat pembunuhan. Seorang dokter Nazi pada waktu itu, dr Karl Brandt, berkata, Maksud di balik pengumpulan bayi adalah membunuh mereka secepat mungkin. Duapuluh delapan bangsal eutanasia anak dibuka di rumah sakit-rumah sakit seantero Jerman, dan diketahui bahwa ratusan bayi dibunuh di setiap bangsal itu. Bayi-bayi itu kadang-kadang dibunuh dengan racun yang disuntikkan ke jantung mereka. Akan tetapi, sejumlah dokter Nazi bahkan berperilaku lebih kejam lagi, dan sekedar membiarkan mereka kelaparan sampai mati. Salah seorangnya adalah Dr. Hermann Pfanmuller, yang dilaporkan pernah memegang seorang bayi yang kelaparan pada tumitnya dan berkata Yang satu ini tinggal beberapa hari lagi. (124). Salah satu segi terburuk kebiadaban iblis yang tak manusiawi ini adalah cara kebiadaban itu secara umum terlupakan. Satu laporan dari organisasi Disability Rights Advocates menekankan fakta ini: (kutipan 125). Pendeknya, genosida para penyandang cacat, yang membentuk satu dimensi penting kebiadaban Nazi, telah secara umum dilupakan. Satu akibat berbahaya dari hal ini adalah hilangnya kepekaan terhadap masalah itu, dan para neo-Nazi yang bermimpi mengulang pembunuhanpembunuhan Nazi mencoba memanfaatkan kealpaan ini. Lebih lagi, jalan pikiran para Darwinis Sosial yang mendasari pandangan buruk terhadap para penyandang cacat masih bertahan, yang membuat keadaan bahkan lebih gawat. Laporan Disability Rights Advocates, Forgotten Crimes, mempertegas bahwa permusuhan terhadap orang-orang cacat ini disayangkan masih berpengaruh di Jerman: (kutipan 126). Fakta-fakta pedih ini membawa kita ke satu kesimpulan penting. Genosida para penyandang cacat itu tak boleh pernah dilupakan, dan semboyan-semboyan seperti Never Again (Jangan Pernah Lagi), yang diulang-ulang di seluruh dunia berkaitan dengan Holokaus kaum Yahudi, juga harus ditanamkan di benak orang terhadap para penyandang cacat. Sebuah strategi yang jauh lebih efektif harus diterapkan di seluruh dunia untuk melindungi hak-hak para penyandang cacat.

Genosida Kaum Gipsi


Satu genosida terlupakan lainnya adalah yang diarahkan Nazi terhadap kaum gipsi. Ideologi rasis Nazi menempatkan tak hanya kaum Yahudi dalam golongan ras rendahan yang harus dilenyapkan, namun juga kaum gipsi. Ketika Nazi meraih kekuasaan, sebuah kebijakan penindasan terhadap kaum gipsi yang tinggal di Jerman mulai diterapkan. Dengan kemampuan seni dan gaya hidup perorangannya, kaum gipsi dihormati sebagai suatu unsur budaya yang penting dan disambut di banyak negara, namun menjadi sasaran kebencian yang tak manusiawi di Nazi Jerman. Tesis doktoral tahun 1936 oleh Eva Justin dari Bagian Penelitian Rasial Kementerian Kesehatan Jerman menggambarkan kaum gipsi sebagai sebuah ancaman besar terhadap kemurnian ras Jerman. Sebuah dekrit yang diterbitkan pada 14 Desember 1937 melukiskan kaum gipsi sebagai

h. 243 penjahat yang tak dapat dibina, dan memutuskan mereka harus dikucilkan dari masyarakat Jerman. Sejak awal tahun 1938, kaum gipsi mulai dikumpulkan oleh para pejabat Nazi dan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Sebuah seksi khusus untuk menangani kaum gipsi didirikan di kamp Buchenwald. Sebagian besar kaum gipsi yang dikirim ke kamp-kamp Mauthausen, Gusen, Dautmergen, Natweiler, dan Flosennburg tewas. Kaum gipsi juga menjadi korban program pemandulan paksa. Para perempuan gipsi yang menikah dengan laki-laki non-gipsi dimandulkan paksa dalam operasi-operasi di sebuah rumah sakit di Dusseldorf-Lierenfeld. Pemandulan berarti pengangkatan organ-organ perkembangbiakan si pasien, dan sebuah proses yang sangat menyakitkan. Sejumlah pasien mati selama pemandulan. Sebagian besar perempuan hamil yang dioperasi kehilangan nyawanya. (127). Di tahun 1938, Heinrich Himmler, kepala SS dan tokoh paling kawakan kedua dalam hirarki Nazi, menangani langsung masalah gipsi ini, dan memindahkan Pusat Urusan Gipsi dari Munich ke Berlin. Sejak itu, pemusnahan kaum gipsi, seperti halnya kaum Yahudi, menjadi salah satu tujuan Nazi. Pemusnahan massal kaum gipsi dimulai pada musim gugur tahun 1941. Regu-regu khusus Einsatzgruppen dibentuk pada waktu itu untuk menemukan orang-orang gipsi dan membunuh atau mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi. Puluhan ribu kaum gipsi (termasuk kaum perempuan, manula, anak-anak, serta bayi) dikirim dari Jeman ke Polandia, dan dari sana ke kampkamp konsentrasi di Belzec, Treblinka, Sobibor, dan Majdanek. Sekitar 30 ribu orang gipsi dari Belanda, Perancis, dan Belgia dikirim ke Auschwitz. Mayoritas mereka terbunuh oleh Nazi. Menurut Dr. Franciszek Piper, direktur Departeman Sejarah Museum Auschwitz, 23 ribu orang gipsi dipindahkan ke Birkenau [yang merupakan bagian dari Auschwitz], 21 ribu di antaranya tewas. Ini membuat tingkat kematian kaum gipsi sama tingginya dengan kaum Yahudi. Sebagaimana ditulis komandan kamp Auschwitz, Rudolf Hss, dalam buku hariannya, terdapat banyak anak-anak, manula yang hampir berumur 100 tahun, dan perempuan-perempuan hamil di antara orang-orang gipsi yang dibunuh. Seperti kaum Yahudi, kaum gipsi adalah sasaran rencana pemusnahan massal. Semua cara pemusnahan yang diarahkan pada kaum Yahudi juga diterapkan pada kaum gipsi. Regu-regu Einsatzgruppen membunuh orang gipsi di mana pun mereka menemukannya. Sebuah artikel UNESCO berjudul Gypsy Victims of the Nazi Terror (Korban-Korban Gipsi dari Teror Nazi) memberikan keterangan berikut: (kutipan 128). Sulit menaksir berapa banyak orang gipsi yang dibunuh Nazi, meskipun statistik memberikan sedikit gambaran. Menurut sejarawan Raoul Hilberg, ada 34 ribu orang gipsi yang tinggal di Jerman sebelum Holokaus, sebagian besarnya tewas. Laporan dari Einsatzgruppen yang bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian di Rusia, Ukraina, dan Crimea menunjukkan bahwa sekitar 300 ribu orang gipsi dibantai di negara-negara itu. Menurut para pejabat Yugoslavia, di perbatasan Serbia saja, 28 ribu orang gipsi tewas. Tak ada taksiran dapat dibuat tentang jumlah korban di Polandia. Sejarawan Joseph Tenenbaum mengatakan bahwa paling tidak seluruhnya 500

h. 244 ribu orang gipsi dibunuh oleh Nazi. setinggi satu juta. (129). Para sejarawan lain berpendapat bahwa angkanya dapat

Sekalipun tragedi mengerikan ini, genosida orang gipsi secara umum diabaikan. Dalam buku-buku, film-film, dan artikel-artikel tentang Holokaus, genosida ini tak dibahas sama sekali, atau digambarkan sebagai soal sepele. Ian Hancock dari Romany Archive and Documentation Center (Pusat Arsip dan Dokumentasi Gipsi) di Texas, mengatakan ada sebuah gerakan untuk meremehkan genosida kaum gipsi. (130). Dalam artikel tahun 1997, sejarawan Amerika Ward Churchill mengulas yang berikut: (kutipan 131) Sebaliknya, sebagaimana ditegaskan oleh sejarawan, tak ada perbedaan antara cara kaum gipsi dan kaum Yahudi diperlakukan. Kedua kelompok dikucilkan dari masyarakat Jerman lewat Undang-undang Nuremberg tahun 1936. Keputusan Nazi bagi pemusnahan massal ditujukan kepada keduanya. Adolf Eichmann, salah satu tokoh terpenting dalam Holokaus, menulis, Masalah Yahudi dan gipsi harus dipecahkan sekaligus dalam waktu yang sama, yang secara efektif berarti pemusnahan kedua kaum itu. Di kamp-kamp konsentrasi wilayah pendudukan Nazi, kaum gipsi dibunuh sama kejamnya seperti kaum Yahudi.

Genosida yang Ditujukan kepada Bangsa Polandia


Bangsa Polandia adalah salah satu bangsa utama sasaran program pemusnahan massal Nazi. Selama Perang Dunia II, pihak Nazi membunuh sekitar 6 juta penduduk Polandia. 3 juta di antaranya orang Yahudi, dan sisanya penganut Katolik. Namun, drama pembantaian kaum Katolik Polandia secara umum dilupakan atau diabaikan. Kebencian Hitler terhadap bangsa Polandia lahir dari anggapannya bahwa mereka untermenschen (orang rendahan), dan dari kepercayaan bangsa Jerman bahwasanya bangsa Polandia telah menduduki lebensraum (ruang hidup) bangsa Jerman. Itulah mengapa serangan militer pertama ditujukan pada Polandia. Pada tanggal 22 Agustus 1939, tentara Jerman tiba-tiba menyerbu Polandia, sebuah gerakan yang memicu Perang Dunia II. Beberapa hari sebelum penyerbuan, Hitler memberi para komandannya pesan ini: Kalian harus tanpa ampun membunuh semua laki-laki, perempuan, dan anak-anak keturunan Polandia atau berbahasa Polandia. Hanya dengan cara itu kita dapat mengamankan ruang yang kita perlukan untuk hidup. (13). Dalam beberapa pekan pasukan Nazi telah menduduki seluruh Polandia, dan melancarkan sebuah genosida sistematis yang sejalan dengan perintah Hitler. Seluruh tanah dirampas dari para pemiliknya, lalu penjatahan makanan diperkenalkan. Anak-anak Polandia yang berciri-ciri mirip bangsa Jerman diambil paksa dari keluarganya dan dikirim ke Jerman untuk dilatih sebagai tentara. Suatu pembantaian menyeluruh terhadap kaum terpelajar Polandia dimulai. Ratusan pemimpin masyarakat, walikota, pegawai negeri, pendeta, guru, hakim, anggota senat, dan dokter dihukum mati secara terbuka. Selama masa perang, Polandia kehilangan 45 persen dokter, 57 persen

h. 245 pengacara, 40 persen guru, 30 persen teknisi dan insinyur, dan sejumlah besar pendeta dan wartawan. Hitler juga ingin menghancurkan kebudayaan Polandia. Seluruh sekolah menengah dan kampus ditutup. Semua suratkabar berbahasa Polandia diberangus. Perpustakaan-perpustakaan dan toko-toko buku dibakar. Seluruh karya tulis budaya dan karya seni dihancurkan. Tokoh-tokoh agama adalah sasaran terpenting. Gereja-gereja dan tempat-tempat suci lainnya diruntuhkan. Mayoritas pendeta di negara itu ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Nama-nama jalan diubah: nama-nama Polandia diganti dengan nama-nama Jerman. Hitler ingin menghancurkan apa pun yang terkait dengan Polandia. Hasilnya, Nazi membunuh 6 juta penduduk Polandia. Setengahnya adalah kaum Yahudi, dan setengah lainnya kaum Katolik Polandia. Korban-korban pertama kamp Auschwitz dan kamp-kamp maut lainnya adalah para Katolik Polandia ini. Seorang sejarawan Richard C. Lukas menulis, Begitu banyak orang Polandia dikirim ke kamp-kamp konsentrasi hingga hampir setiap keluarga Polandia mempunyai satu anggota yang pernah disiksa atau terbunuh di kamp-kamp. (134). Sebagaimana yang terjadi di Polandia, banyak pengikut Katolik di Jerman, khususnya para pendeta, menjadi korban Holokaus Nazi. Kaum Nazi membenci ajaran Nasrani dan ingin mengembalikan kebudayaan pagan pra-Nasrani, selalu bersikap tak suka pada kaum Katolik, dan mengumpulkan sejumlah besar tokoh-tokoh agama serta mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi setelah Nazi merebut kekuasaan. Sebuah seksi dibentuk di kamp Dachau khusus untuk para pendeta, dan ribuan mereka mati perlahan-lahan di sana, karena kelaparan atau sakit. Dengan cara serupa, para penganut Saksi Yehova ditahan di Jerman dan daerah-daerah pendudukan Jerman, lalu dikirim ke kamp-kamp dan dibunuh, sebab mereka menganggap bersumpah setia kepada Nazi Jerman tak sejalan dengan kepercayaan mereka. (135).

Korban-korban Lainnya
Seperti yang telah tersingkap dari apa yang telah kita lihat, kebuasan Nazi ditujukan pada sejumlah kelompok etnis, tak hanya kaum Yahudi. Di dasar perbuatan ini terletak teori rasis Hitler yang dikenal sebagai lebensraumpolitik (kebijakan ruang hidup). Ruang hidup yang menjadi masalah adalah suatu tanah-tanah baru yang dipercaya penting bagi bangsa Jerman. Hitler berpendapat bahwa Jerman tak cukup luas untuk bangsa Jerman dan bahwa ras Arya sedang terjepit. Ia lalu mengatakan bahwa tanah yang dimiliki negara-negara di timur harus dirampas dan ruang hidup baru dibangun untuk bangsa Jerman. Tanah-tanah yang dipilih adalah negara-negara di timur seperti Polandia dan Ukraina. Penduduk yang utamanya bangsa Slavia di daerah-daerah itu harus dimusnahkan untuk menyediakan tambahan ruang itu. Dokumen-dokuman Nazi menunjukkan bahwa ruang hidup di perbatasan Uni Soviet saja berisi sekitar 75 juta penduduk, dan Nazi bermaksud menguranginya hingga tinggal 30 juta orang. 30 juta orang itu akan digunakan sebagai pekerja paksa untuk memenuhi kebutuhan bangsa Jerman

h. 246 yang akan pindah ke sana. Nazi berencana memindahkan 45 juta sisanya lebih jauh ke timur, atau membunuh mereka dengan berbagai cara. Pembantaian yang dilakukan Nazi terhadap penduduk sipil di daerah-daerah yang mereka duduki menunjukkan bahwa rencana itu telah dijalankan. Satu alasan tindakan ini adalah bahwa penduduk sipil itu telah mendukung partisan. Partisan adalah satuan-satuan perlawanan yang didirikan untuk memerangi Nazi di negara-negara yang didudukinya. Seluruh penduduk sebuah desa atau kota akan disapu dan dinyatakan telah membantu pihak partisan. Menurut taksiran sejarawan Heinz Kuhnrich, 5.900.225 orang terbunuh sebagai akibat dari perang anti-partisan. Dari jumlah itu, 4,5 juta orang Ukraina. Jumlah mereka yang tewas selain perang di Polandia antara tahun 1939 dan 1945 lebih dari 6 juta. Jumlah itu terdiri dari 3 juta orang Yahudi, 200 ribu gipsi, dan sisanya orang Slavia Polandia penganut Nasrani. Hampir seluruh kaum cendekiawan Polandia dibunuh. Sekitar 1,2 juta orang sipil tewas di Yugoslavia, atau 9 persen dari seluruh penduduk. Jumlah ini tak termasuk sekitar 330 ribu tentara Yugoslavia yang tewas selama perang. Korban terbesar diderita Uni Soviet. Sampai 10 Mei 1943, Nazi telah menangkap sekitar 5,4 juta tentara Soviet, 3,5 juta di antaranya kelaparan, kedinginan sampai mati, digantung atau ditembak atau dimusnahkan di kamp-kamp konsentrasi. Ketika Tentara Jerman telah benar-benar mundur dari wilayah Soviet di tahun 1944, penduduk Ukraina menurun dari 42 juta menjadi 27,4 juta, berkurang 14,6 juta. Jika kita kurangi jumlah itu dengan mereka yang berpindah dan selamat selama perjalanan selama perang, masih ada 7 juta orang kehilangan nyawa. Ditaksir bahwa di dalam perbatasan Uni Soviet, 11 juta orang menjadi korban kebijakan penghancuran dan genosidanya Nazi. (136). Jika semua pembantaian yang kita telah lihat dijumlahkan, tampaklah bahwa total 26 juta orang kehilangan nyawa akibat pembantaian orang sipil oleh Nazi. Dari jumlah ini, 6 juta orang Yahudi, sampai sekitar 750 ribu orang gipsi, dan sisanya bangsa Slavia yang tinggal di sejumlah negara seperti Polandia, Ukraina, Rusia, dan Yugoslavia. Jumlah seluruh orang yang tewas pada Perang Dunia II adalah angka yang cukup mengerikan: 55 juta Jumlah ini termasuk korban dari pihak militer maupun sipil. Karena alasan-alasan inilah sikap yang diperlihatkan oleh sebagian peneliti sebagai keistimewaan Yahudi, dengan kata lain, menggambarkan kebiadaban Nazi sepenuhnya ditujukan pada kaum Yahudi dan mengabaikan seluruh korban lainnya, amat sangat salah. Sebagaimana yang kami jelaskan di muka, analisis itu hasil gerakan Zionis, yang berupaya menggunakan tragedi Holokaus demi tujuan-tujuan politik, dan perbuatan ini sangat tak bermoral. (Persekongkolan antara kaum Zionis dan kaum Nazi tak boleh dilupakan.) Menurut pandangan kami, sikap yang tepat terhadap Holokaus harus berlandaskan pada fakta-fakta mendasar ini:

h. 247 1.) Nazi Jerman adalah salah satu rejim terkejam dalam sejarah. Mesti ada kerjasama luas demi memastikan bahwa ideologi rasis dan fasis yang telah memunculkan rejim itu tak pernah lagi menyebabkan bencana bagi umat manusia. 2.) Kaum Yahudi menderita kekejaman Nazi lebih daripada bangsa-bangsa lain. Nazi telah membunuh 5,5 juta orang Yahudi, tanpa mengindahkan perempuan dan anak-anak. Agar tragedi itu tak pernah terulang, lagi-lagi harus ada kerjasama seluruh dunia dan kampanye budaya melawan kelompok-kelompok yang memusuhi kaum Yahudi, dan ideologi yang mengerikan itu harus ditinggalkan selama-lamanya. 3.) Korban-korban lain kebengisan Nazi tak boleh dilupakan. Tak ada ganjaran harus diberikan pada konsep keistimewaan kaum Yahudi. Nazi berupaya melenyapkan para penyandang cacat mental dan fisik, kaum gipsi, Katolik, bangsa Polandia, dan bangsa Slavia, dan anggota-anggota banyak kepercayaan dan bangsa lainnya. Mereka semua harus dikenang dengan cara yang sama. Tak ada kepedihan satu kelompok pun yang lebih sedikit atau kurang penting daripada yang lain. 4.) Tak seorang pun boleh berupaya menggunakan Holokaus demi tujuan-tujuan politik. Hal ini khususnya merujuk ke Zionisme dan Israel. Fakta bahwa kaum Nazi membunuh 5,5 juta orang Yahudi tak memberikan kaum Yahudi hak membunuhi bangsa lain (misalnya, bangsa Palestina). Tragedi Holokaus tak bisa dijadikan pembenaran untuk mengampuni tragedi lain yang dilakukan Israel di Timur Tengah. Perilaku demikian merupakan ketiadaan penghargaan terburuk yang mungkin bagi para korban Holokaus. 5.) Orang-orang Israel dan kaum Yahudi di negara-negara lain yang mendukung ideologi Zionis menerima sisi-sisi di balik layar tragedi Holokaus. Kaum Zionis saat itu telah bersekongkol dengan Nazi. Mereka diam-diam mendukung Nazi demi mendirikan negara Israel, dan mencegah kaum Yahudi selamat dari Holokaus dengan mengatakan bahwa darah kaum Yahudi harus tumpah demi tujuan-tujuan pasca-perang mereka. Kebenaran ini, yang diungkapkan terbuka oleh sejumlah pemeluk Yahudi yang taat dan cendekiawan Yahudi, harus dijelaskan dan diperdebatkan dengan suatu cara yang lebih terbuka. Dalam kesempatan itu, kita akan bisa mempertanyakan ideologi resmi Israel dan sikap mental kaum Zionis yang mengingkari hak hidup bangsa Palestina, dan menggantinya dengan versi damai dan manusiawinya Zionisme yang bercita-cita hidup damai dengan bangsa Palestina. Demikianlah jalan ke perdamaian di Timur Tengah.

h. 248

BAB LIMA: KEBIJAKAN ANTI SEMITISME ISRAEL


Dalam bab satu, kita membahas upaya-upaya para pemimpin Zionis mendirikan negara Israel, dan khususnya bagaimana kaum Zionis bekerjasama dengan para anti-Semit sejak permulaan abad ke-20 demi mencapai tujuan mereka. Tentunya, contoh yang paling menarik persekongkolan ini adalah kesepakatan antara kaum Zionis dan Nazi Jerman. Cita-cita para Zionis adalah mengasingkan kaum Yahudi Eropa ke Palestina bagaimana pun caranya dan membuat mereka mendirikan sebuah negara Yahudi yang terpisah. Kebijakan itu terbukti berhasil dalam dua hal. Pertama, sebagai akibat kebijakan anti-Yahudi negara Jerman, sejumlah besar orang Yahudi dipindahkan ke Palestina. Kedua, berkat kepercayaan yang telah menyebar luas bahwa kaum Yahudi mengalami pembantaian paling mengerikan dalam sejarah selama Perang Dunia II, dunia bersedia memberi mereka negara sendiri di Palestina. Kaum Yahudi yang berpindah ke Palestina dengan kapal Exodus membawa plakat bertuliskan: Kaum Nazi telah memisahkan keluarga kami, jangan kalian hancurkan harapan kami. Pesan membuncah rasa ini disebarkan ke seluruh dunia Barat oleh media (yang banyak dikuasai Yahudi). Akhirnya, di tahun 1948, negara Israel didirikan. Negara itu tidak tepat sebagaimana yang diharapkan para pemimpin Zionis, karena PBB telah membagi Palestina menjadi dua negara yang terpisah satu Yahudi, satu Arab memberi masing-masing sekitar setengah wilayah asalnya. Akan tetapi, menyusul perang ArabIsrael yang pecah setelah negara Israel diproklamasikan di tahun 1948, negara Yahudi menduduki sisa daerah Palestina, kecuali Tepi Barat dan Jalur Gaza. Selama perang Enam Hari di tahun 1967, Israel menduduki seluruh Palestina, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Sebagai tambahan, Israel juga menduduki Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan Semenanjung Sinai milik Mesir. Pada tahun 1982, giliran Lebanon diserbu Israel. Menyusul serangan itu, Israel menyatakan sebuah daerah perbatasan di selatan Lebanon (memakan 10 persen daerah Lebanon) sebagai zona keamanan. Penyerbuan-penyerbuan ini mencerminkan mimpi-mimpi Israel Raya para pendiri Zionisme. Mereka membayangkan bahwa wilayah dari Tanah yang Dijanjikan sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Lama dari sungai Eufrat ke sungai Nil harus diduduki oleh kaum Yahudi dan dibersihkan dari orang-orang non-Yahudi. Berkat mimpi ini, Israel bersikeras menolak menarik diri dari daerah-daerah pendudukannya, terutama pusat dari Tanah yang Dijanjikan di Tepi Barat, yang disebut kaum Yahudi Judea dan Samaria, nama-nama dalam Perjanjian Lama. Untuk memperkuat tuntutan dan kendali Israel, para pendatang Yahudi telah dimukimkan di daerahdaerah ini. Banyak di antara pemukim ini orang fanatik agama, dan sebagian besar berasal dari Diaspora. Pendirian negara Israel tak mengakhiri kebutuhan akan pendatang Yahudi. Akan tetapi, kaum Yahudi yang berpindah ke negara Zionis sejak tahun 1948, mewakili hanya sebagian kecil dari seluruh Yahudi di dunia. Sebagian besar kaum Yahudi lebih memilih hidup di tengah-tengah

h. 249 orang non-Yahudi. Tujuan Zionis dan mimpi Israel Raya terus menjadi alasan para pemimpin Israel untuk mendorong kepindahan kaum Yahudi di dunia ke Israel. Walau demikian, setelah beberapa dasawarsa berlalu, mereka kecewa. Setiap tahun para pemimpin Zionis menetapkan angka sasaran bagi kaum Yahudi yang ingin berpindah ke Israel, namun sambil tahun dan dasawarsa berlalu, tujuan itu kian terlihat sebagai khayalan. Upaya Ben Gurion membujuk 4 juta kaum Yahudi berpindah ke Israel antara tahun 1951 dan 1961 gagal total; hanya 80 ribu orang menanggapi seruannya itu. Di tahun 1975 dan 1976, jumlah kaum Yahudi yang keluar dari Israel melebihi yang masuk ke tanah air kaum Yahudi ini. Meir Merhav, dalam sebuah artikel yang berjudul The General with a Phantom Army (Jenderal dengan Pasukan Hantu), yang terbit di Jerusalem Post 7 Oktober 1978, melukiskan betapa enggan kaum Yahudi berpindah ke Israel: Dalam sejarah Zionisme dan negara Israel, tak pernah terjadi perpindahan besar-besaran. Para Yahudi Zionis atau radikal selalu datang ke negara itu dalam kelompok-kelompok kecil dan jumlah sedikit. Ketika menyadari bahwa keadaan sebenarnya tak seperti yang diimpikan, para idealis ini meninggalkan Israel. Seluruh masyarakat kaum Yahudi lebih memilih berpindah ke tempat lain daripada ke Israel, bahkan di masa tersulit. Hanya 60 ribu dari 300 ribu Yahudi Jerman berpindah ke sana selama kurun waktu 19331939. Kebanyakan bahkan tak membayangkan berpindah ke Israel. Ini berlaku juga pada masyarakat Yahudi lainnya. 50-60 persen Yahudi Rusia yang paling menderita bahkan ingin pergi ke mana pun selain Israel. Kita tak menyukai fakta-fakta ini, namun tiada cara menyangkalnya. Kita mesti mengerti satu hal: tiada perpindahan besarbesaran ke Israel akan terjadi. Kaum Yahudi terus menentang perpindahan ke Israel setelah pendirian negara Zionis, tak kurang daripada yang mereka lakukan di tahun 1920-an dan 1930-an. Lalu, apakah pemecahan para Zionis? Sederhana saja, jawabannya adalah mengulangi kebijakan sebelumnya: memancing sekali lagi ancaman anti-Semitisme sebagai tongkat gembala untuk menghalau kaum Yahudi keluar dari Diaspora menuju ke Israel. Kaum Zionis tak segan-segan mengatakannya tepat demikian. Sebagaimana dikatakan rabbi Amerika Serikat Leo Pfefter, seorang pejabat American-Jewish Congress, di tahun 1959, Mungkin suatu anti-Semitisme diperlukan untuk menjamin kaum Yahudi bertahan hidup. Di tahun 1958, Nahum Goldmann, presiden WZO, memperingatkan bahwa penurunan anti-Semitisme saat ini, dapat membangun bahaya baru bagi keselamatan kaum Yahudi;....lenyapnya anti-Semitisme dalam pengertian yang biasa, sementara bermanfaat bagi keadaan politik dan harta masyarakat Yahudi, berpengaruh negatif pada kehidupan dalam negeri kita. Sebelumnya, kaum Nazi sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan yang membantu keselamatan kaum Yahudi. Kali ini, kaitan-kaitan baru akan dipatrikan dengan beragam kelompok anti-Semit, atau, jika gagal, Israel sendiri akan mengarahkan operasi-operasi untuk menciptakan suatu anti-Semitisme rekayasa. Di halaman-halaman berikut, kami akan menceritakan agak terinci perang negara Yahudi itu melawan kaum Yahudi Diaspora di beberapa garis depan.

h. 250

Ancaman Terhadap Kaum Yahudi Diaspora dari Para Pemimpin Israel


Sejak hari pelantikannya, perdana menteri pertama Israel, David Ben Gurion, mencoba-coba dengan aneka cara untuk meningkatkan perpindahan ke Israel. Pada 31 Agustus 1949, ia mengatakan kepada sekelompok orang Amerika yang mengunjungi Israel: Meskipun telah mewujudkan mimpi mendirikan sebuah negara Yahudi, kami masih pada tahap permulaan. Saat ini hanya ada 900 ribu orang Yahudi di Israel, sementara bagian lebih besar kaum Yahudi masih di mancanegara. Masa depan mencakup membawa semua orang Yahudi ke sini. Bahkan jika mereka menolak membantu, kami akan membawa para pemuda ke Israel; namun saya berharap ini tak usah dilakukan. Dalam Kongres Zionis Dunia ke-25 (Desember 1960) di Yerusalem, Ben Gurion kembali mencaci kaum Yahudi yang menolak pindah ke Israel. Ia mencemooh kaum Yahudi yang tinggal di luar Israel dan menyebutnya sebagai Yahudi tanpa Tuhan, dan menambahkan bahwa kaum Yahudi yang tinggal di Amerika bahkan tak tahu bagaimana menjadi seorang Yahudi yang sebenarnya. Di bulan Juli 1968, seorang mantan tentara dan politisi terkenal, Moshe Dayan, berbicara keras terhadap mereka yang berpikir bahwa sudah cukup jumlah kaum Yahudi yang pindah ke Israel: Selama seratus tahun terakhir, kaum kita tengah dalam proses membangun negara dan bangsa kita, memperluasnya, mencoba menambah orang dan pemukiman Yahudi untuk memperlebar batas-batasnya. Jangan biarkan satu orang Yahudi pun berkata bahwa proses itu usai sudah. Jangan biarkan seorang Yahudi pun berkata kita hampir di ujung jalan. Di bulan Mei 1948, dalam sebuah laporan yang diserahkan kepada American Jewish Congress, Rabbi Joseph Klausner mendesak bahwa kaum Yahudi yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi Nazi agar ditekan berpindah ke Israel. Klausner mengakui bahwa di masa lalu, para pemimpin Zionis telah mengembangkan suatu kecemasan akan penindasan untuk menekan kaum Yahudi berpindah ke Israel, dan ia terus terang mendukung agar kebijakan ini dilanjutkan: Langkah pertama program semacam itu adalah penggunaan prinsip bahwa orang-orang itu harus pergi ke Palestina merupakan keyakinan masyarakat Yahudi dunia ... Secara kebetulan, kita memahami bahwa cara apa pun yang tersedia bagi rakyat mesti dianggap sebuah peluang kuat. Mereka yang tak tertarik bukan lagi bagian dari masyarakat Yahudi untuk dipertahankan di kampkamp, diberi makan dan pakaian tanpa menyumbang bagi kebutuhan mereka. Untuk menjalankan program ini, keluarga besar kaum Yahudi perlu mengubah kebijakannya dan bukan menciptakan kenyamanan bagi orang-orang yang terdampar ini, melainkan membuat mereka setak-nyaman mungkin. Pasokan-pasokan The American Joint Distribution Committee (Panitia Penyebaran Bersama Amerika) harus ditarik ... Suatu prosedur lanjutan akan memerlukan sebuah organisasi mirip Haganah untuk mengganggu kaum Yahudi... Harus ditanamkan di benak bahwa kita sedang berurusan dengan orang-orang sakit. Mereka tak perlu ditanya, melainkan diperintahkan, tentang apa yang harus dilakukan.... Jika program ini tak diterima, izinkan saya meyakinkan konperensi ini bahwa suatu peristiwa akan terjadi yang memaksa masyarakat Yahudi Amerika memikirkan ulang

h. 251 kebijakannya dan membuat perubahan-perubahan yang disarankan di sini. Jika tidak, sebuah kecelakaan mungkin terjadi di sana, yang akan membawa bersamanya banyak kepedihan. Sebagaimana diinginkan Klausner, kebijakan Israel adalah menggalakkan perpindahan kaum Yahudi lewat membujuk bahwa mereka terancam. Klausner berkata tanpa tedeng aling-aling tentang bagaimana hal itu diterapkan di lapangan: membuat mereka setak-nyaman mungkin. Jika, sekalipun ada tekanan itu, perpindahan ke Israel masih di bawah harapan, jalan pintas tak bermoral terakhir Klausner adalah dengan memperingatkan tentang apa yang akhirnya akan menimpa Yahudi Diaspora: kaum Yahudi akan menghadapi gelombang anti-Semitisme lebih besar, sebuah kecelakaan yang akan membawa banyak kepedihan bersamanya. Bencana seperti itu mungkin menyerupai yang diakibatkan persekongkolan kaum Nazi dan kaum Zionis dalam Perang Dunia II terhadap kaum Yahudi Eropa yang gagal berpindah ke Israel di tahun 1930-an. Pemimpin Zionis, Dr. Israel Goldstein, mengeluhkan kurangnya semangat kaum Yahudi terhadap perpindahan ke Israel. Pesannya kepada para Yahudi itu dapat dilukiskan sebagai satu ancaman: Apakah yang sedang ditunggu kaum Yahudi Amerika? Apakah mereka sedang menunggu seorang Hitler mendepak mereka keluar? Apakah mereka berpikir tidak akan merasakan tragedi yang telah memaksa berpindah kaum Yahudi di negara-negara lain? Ben Gurion menyatakan bahwa bagi Israel, menyelamatkan kaum Yahudi dari perbudakan adalah sebuah tugas suci. Setelah pemilu Israel tahun 1949, ia merujuk kepada kaum Yahudi yang tinggal di luar Israel sebagai sisa-sisa: Kita harus menyelamatkan sisa-sisa Israel di Diaspora. Kita juga harus menyelamatkan harta benda mereka. Tanpa keduanya, kita tak akan bisa membangun negara ini. Ben Gurion telah menerjemahkan ke dalam kata-kata kebijakan Israel. Sisa-sisa Diaspora pertama yang berpindah sebenarnya adalah kaum Yahudi yang selamat dari kamp-kamp Nazi.

Teror Yahudi Terhadap Yahudi di Kamp-kamp Pengungsi Pasca-Perang


Pada akhir Perang Dunia II, kaum Yahudi dari kamp-kamp konsentrasi yang tak mampu atau tak mau kembali ke rumah-rumah asal mereka dimukimkan di kamp-kamp pengungsi oleh pasukan pendudukan Sekutu. Kaum Zionis berwewenang besar di kamp-kamp itu. Tragedi kaum Yahudi Eropa, yang ditimbulkan secara terukur oleh kebijakan-kebijakan para Zionis sebelum dan selama perang, berlanjut setelah perang terhadap banyak kaum Yahudi yang tak mau pindah ke Israel. Bagi para pengungsi Yahudi ini, ada sedikit perubahan dalam keadaan kehidupan karena pihak Zionis tak akan memperlakukan dengan baik kaumnya sendiri. Rabbi Klausner telah bersikeras memaksa kaum Yahudi pindah ke Palestina. Keyakinan ini adalah dasar bagi beragam siasat teror yang diterapkan di kamp-kamp pengungsi oleh organisasi Zionis Irgun. Kebijakan Zionis menggertak kaum Yahudi yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi agar pindah ke Israel terlihat baru beberapa tahun kemudian. Akan tetapi, laporan intelijen mutakhir yang dibuat untuk OMGUS (Office of Military Government for GermanyUS, Kantor Pemerintahan Militer Amerika Serikat bagi Jerman) lebih dari sekali menyampaikan

h. 252 tindakan-tindakan brutal yang dilakukan Irgun untuk menggalang dana dan merekrut tentara bagi Palestina di antara orang Yahudi di kamp-kamp pengungsi. Berikut sejumlah contoh yang diambil dari laporan OMGUS, sebagaimana dirangkum peneliti Amerika, Stephen Green: Meski demikian, laporan-laporan intelijen OMGUS berikutnya kembali lagi dan lagi ke siasat-siasat brutal yang dipakai Irgun untuk menggalang dana dan merekrut tentara bagi Palestina di antara penghuni kamp. Pada bulan Juli 1948, para penghuni kamp di Berlin yang menyatakan diri baru tiba dari Polandia malah ditemukan telah melarikan diri dari wilayah pendudukan Amerika untuk menghindari kampanye perekrutan Irgun. Di Duppel Center DP Camp, para perekrut Irgun memukuli beberapa orang dari mereka yang menolak menjadi sukarelawan memerangi orangorang Arab di Palestina, sementara yang lain diancam dibunuh jika menolak berangkat. Sementara calon-calon yang berpotensi sedang dibujuk-bujuk, pintu-pintu utama ke kamp ditutup demi mencegah pelarian. Mungkin pembaca menyangka bahwa teror Irgun terhadap sesama Yahudi karena radikalismenya, bukan mewakili perilaku umum Zionis. Namun, tidak demikian kejadiannya. Tak hanya Irgun yang Revisionis (sayap kanan), namun juga militan Haganah (sering disebut sayap kiri), yang bertindak atas arahan WZO, memakai kekerasan terhadap saudara-saudara mereka sesama Yahudi. Stephen Green menulis: Sejumlah kamp saat itu mulai melaporkan bahwa Haganah sedang menerapkan siasat-siasat kejam yang sama dengan Irgun. Suatu kelompok paramiliter khusus dalam Haganah yang disebut Sochnut mulai muncul di dalam laporan demi laporan tentang ancaman, pemukulan, dan penekanan... Meskipun para pejabat OMGUS baru mulai memperhatikan proses seleksi itu pertengahan tahun 1948, sebenarnya teror itu telah dipraktikkan berbulan-bulan, khususnya oleh Irgun... Kaum Yahudi korban teror Nazi kembali terpaksa meninggalkan sahabat dan kerabatnya, menghindari teror Zionis. Peter Rodes, Direktur Intelijen OMGUS, merasa bingung dan geram oleh kegiatan-kegiatan Zionis di kamp-kamp Yahudi, dan mengulas tentang teror Zionis itu: Dilaporkan bahwa 300 orang meninggalkan Tikwah menuju Israel. Dari jumlah tersebut, sekitar 65 persen telah dipaksa pergi melalui penerapan beragam cara penekanan. Pada pertengahan 1948, laporan intelijen OMGUS menyebutkan perekrutan Zionis di kampkamp pengungsi itu sebagai siasat-siasat teror. Siasat-siasat teror ini telah menjadi prosedur operasi baku bagi para perekrut baik dari Haganah maupun Irgun. Sebuah peristiwa lazim terjadi di Kriegslazarett Camp di Traunstein, Bavaria: Sekitar pukul 01.30, tanggal 14 Juni, sekelompok enam sampai delapan orang... dari organisasi perekrutan Palestina Amt memasuki kamar Aaron Stanner dan menyerang enam orang penghuninya, diduga karena salah seorang putera Stanner menolak masuk angkatan bersenjata Yahudi. Selama waktu ini, para polisi kamp berjaga-jaga di sekitar gedung untuk mencegah siapa pun masuk atau keluar. Pada saat yang sama, Josef Fisch, seorang penghuni kamp, memasuki kamp dan bermaksud menuju ke kamarnya di gedung yang sama. Para Zionis baru saja akan

h. 253 meninggalkan gedung saat ia tiba. Karena berpikir bahwa Fisch akan menolong keluarga Stanner, mereka memukulinya sampai pingsan. Orang-orang Yahudi, yang menjadi korban beragam tekanan, termasuk fisik, di kamp-kamp pengungsi, bersalah hanya karena menolak Zionisme. Agar mereka berpindah ke Tanah yang Dijanjikan, para pemimpin Zionis terpaksa menjadikan mereka Zionis lewat kekerasan. Tindakan-tindakan teror dan penyisihan dilakukan di kamp-kamp pengungsi terhadap Yahudi nonZionis maupun Zionis. Kebijakan penekanan Zionis terhadap kaum Yahudi yang tinggal kamp-di kamp pengungsi perlahan-lahan diketahui. Teror yang dilakukan pada orang Yahudi penghuni kamp telah ditambah dengan sebuah kampanye propaganda yang bersemangat. Pada tanggal 21 Agustus 1948, majalah Amerika The New Leader menerbitkan sepucuk surat dari Louis Nelson, saat itu manajer Knit Goods Workers Union (Persatuan Pengrajin Barang Tenunan) dan kemudian wakil presiden International Ladies Garment Workers Union (Persatuan Pekerja Busana Perempuan Internasional). Nelson melaporkan bahwa kampanye Zionis mencoba memaksa para pengungsi Yahudi menerima Zionisme, bergabung dengan tentara Yahudi Palestina, dan menghentikan perselisihan hukum. Seorang anti-Zionis Amerika terkenal, Alfred Lilienthal, melukiskan penekanan Zionis di kamp-kamp pengungsi sebagai berikut: Ini berarti penyitaan jatah makanan, pemecatan dari pekerjaan, penghancuran mesin-mesin yang dikirim oleh Amerika untuk melatih penghuni kamp keahlian-keahlian berguna, mencabut perlindungan hukum, dan hak-hak visa para pembangkang, bahkan sampai pada pengusiran mereka dari kamp, dan pada satu kejadian, pemukulan di depan umum para calon anggota angkatan bersenjata Israel yang berkeras kepala. Tambahan lagi, cerita-cerita yang telah menyebar luas tentang pogrom yang bahkan terjadi di Amerika disampaikan kepada para penghuni kamp yang tak peduli dan dilecehkan sampai-sampai seorang seniman terkenal Jerman dan istrinya tak dapat berhenti mempercayai kenyataan tentang kekerasan anti-Semit di Amerika hingga mengunjungi sendiri negara itu. Kebijakan Zionis, dengan beragam akibatnya, akhirnya membuahkan hasil. Masyarakat Yahudi, yang terkuras selama perang, merasa sulit bertahan. Orang-orang Yahudi yang dilepaskan dari kamp dengan bantuan para Zionis memenuhi perintah mereka dan pergi ke Israel, sekalipun sebagaimana ditulis oleh Lilienthal, Mayoritas lebih menyukai pergi ke mana saja selain Palestina, meskipun propaganda terus-menerus dilakukan Jewish Agency di antara para penghuni kamp-kamp pengungsi. Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, kebijakan para pemimpin Zionis adalah menekan orang Yahudi di satu sisi, dan di sisi lain, menyalahkan penderitaan para Yahudi pada antiSemitisme negara-negara sekutu, seperti Inggris dan Amerika, yang telah mengalahkan Nazi.

h. 254

Penulis Israel Amos Perlmutter mengamati bahwa:


Ben Gurion dan para Zionis lalu memutuskan untuk menggabungkan Holokaus dan kemerdekaan, penderitaan orang-orang Yahudi yang mengungsi dan yang selamat dari kamp-kamp dengan konsep pembagian (daerah Palestina). Bahkan bagi para Zionis, ini semacam awal perjalanan, sebab mereka terlambat menangani penderitaan korban-korban Holokaus. Pencapaian kebijakan pengungsi bukan salah satu tujuan utama Zionis (betapa pun para sejarawan bersikeras tentang hal ini). Kini, di tahun 1946, derita para pengungsi Yahudi di kamp-kamp Inggris bertepatan dengan politik pragmatis di beberapa tingkatan. Di garis depan terdekat, perpindahan ke Eretz Israel selalu menjadi tujuan utama Zionis, dan kaum Yahudi Eropa yang selamat mewakili ratusan ribu calon pemukim Yahudi berpotensi yang tak memiliki tempat tujuan lain sejak pintupintu ke banyak negara, termasuk Amerika Serikat, ditutup bagi mereka. Karena itu, para pengungsi Yahudi juga menghadirkan satu jalan singkat menggabungkan keprihatinan kemanusiaan dan politik pragmatis. Berkat kemenangan pada perang tahun 1948, Israel berhasil memperluas daerah yang dihibahkan kepadanya oleh PBB dalam pembagian Palestina di tahun 1947. Pencaplokan ini membesarkan hati para pemimpin Israel dan mengantarkan ke rencana mendatangkan lebih banyak kaum Yahudi untuk bermukim di Tanah yang Dijanjikan. Di tahun 1949, kaum Yahudi di seluruh dunia dengan terang-terangan dihimbau berpindah ke Israel. Di tahun berikutnya, seruan ini bahkan didukung oleh sebuah undang-undang: The Law of Return (Undang-undang Kepulangan). Undangundang itu menyatakan bahwa seorang Yahudi (diartikan sebagai ia yang lahir dari seorang ibu Yahudi atau beralih menganut Yudaisme kuno / ortodoks) dari mana pun di dunia berhak bermukim di Israel. Undang-undang ini telah diperdebatkan di Israel selama bertahun-tahun. Sejumlah cendekiawan Israel percaya bahwa peraturan ini jelas-jelas rasis. Namun, baik undang-undang maupun kebijakan yang diungkapkannya tak pernah berubah. Pandangan orang Israel akan undangundang kepulangan ini diutarakan oleh Shimon Peres dalam harian Davar terbitan 25 Januari 1972: Penerapan Undang-undang nomor 125 (Undang-undang Kepulangan) ... adalah sebuah kelanjutan perang untuk membuat kaum Yahudi datang ke tanah ini dan bermukim di sini. Pernyataan Peres bahwa membuat kaum Yahudi bermukim di Israel merupakan perang adalah benar sepanjang Israel menggunakan paksaan terhadap kaum Yahudi Diaspora akibat keengganan ber-aliyah, atau berpindah ke Israel. Jadi, Israel memerangi tak hanya negara-negara atau kelompok-kelompok yang memusuhinya, namun juga sebagian kaum Yahudi di dunia yang membalikkan punggung terhadap Zionisme. Sejalan dengan itu, Perdana Menteri Ben Gurion, pada Kongres Yahudi Dunia Ke-25 di Yerusalem tahun 1960, mengartikan kaum Yahudi yang menolak pulang ke Israel sebagai kaum Yahudi tanpa Tuhan dan mengucilkan mereka semua. Serangan pertama dari perang melawan kaum Yahudi tanpa Tuhan itu adalah persekongkolan kaum Zionis dengan kaum Nazi terhadap kaum Yahudi pembaur Eropa, yang telah kehilangan kesadaran rasialnya. Seketika negara Israel berdiri, perang terhadap kaum Yahudi di seluruh dunia dikobarkan langsung oleh pasukan-pasukan Israel. Untuk mengobarkan perang demi perpindahan kaum Yahudi ke Israel, didirikanlah Mossad le-Aliyah Bet.

h. 255

Penyelenggara Perpindahan: Mossad ie-Aliyah Bet


Sebagaimana dikutip di muka, Rabbi Klausner mengatakan di depan Kongres Yahudi Amerika pada 2 Mei 1948, bahwa kaum Yahudi Diaspora mesti dipaksa berpindah ke Palestina. Ia juga membahas tentang membuat kaum Yahudi ini setak-nyaman mungkin. Klausner adalah seorang tokoh penting dalam gerakan Zionis: ia pernah menjadi calon dalam pemilihan presiden pertama Israel. Pemikiran-pemikirannya tentang penekanan kaum Yahudi tak hanya mencerminkan pandangan pribadinya, namun juga mewakili kebijakan umum negara Israel maupun gerakan Zionis. Pidato-pidato para pemimpin seperti Ben Gurion dan Israel Goldstein juga mengungkapkan gagasan serupa. Israel merencanakan dan menjalankan suatu program canggih untuk menekan kaum Yahudi Diaspora berpindah ke Israel. Cara-cara meresahkan yang dipakai dalam operasi-operasi itu adalah contoh-contoh pertama anti-Semitisme rekayasa. Israel tak hanya bekerjasama dengan antiSemitisme sebagaimana dijelaskan di muka, bahkan juga menciptakan gerakan itu dalam segala seginya. Operasi-operasi paling efektif, seperti serangan pada sejumlah sinagog dan tempat orang Yahudi berkumpul, dilakukan oleh Mossad dan Aliyah Bet, cabang khusus Mossad untuk menggalakkan kepulangan kaum Yahudi. Dengan cara ini, kaum Yahudi diarahkan agar percaya bahwa mereka dalam bahaya di tempat mereka tinggal, dan diharapkan mereka akan mencari keselamatan melalui perpindahan. Aliyah Bet, yang berfungsi sebagai dinas Israel yang paling berpengaruh, telah berhasil mendorong perpindahan ratusan ribu kaum Yahudi ke Israel dengan cara-cara kotor seperti itu. Dalam upayanya meyakinkan kaum Yahudi yang enggan berpindah keTanah yang Dijanjikan, Aliyah Bet tak pernah menggunakan cara pembujukan. Turkkaya Ataov, dalam buku Zionism and Racism (Zionisme dan Rasisme), menulis: Lebih dari 80 persen pendatang ke Israel berasal dari Eropa Timur, Asia Barat, dan Afrika Utara. Meskipun para Yahudi itu tak berniat pindah, sebuah kebijakan yang cerdik dan propaganda memaksa mereka melakukannya. Para Yahudi Mesir yang tak sudi bergabung merasa diri terancam ketika 700 ribu orang dari Irak, Yaman, Suriah, Maroko, dan Aljazair dipaksa berpindah lewat ancaman dan seruan berkobar-kobar. Aliyah Bet, dinas Israel yang paling efisien, menciptakan banyak siasat kotor untuk meyakinkan kaum Yahudi yang tinggal di luar Israel berpindah ke Tanah yang Dijanjikan. Operasi-operasi Aliyah Bet terhadap masyarakat Yahudi di luar Israel mencakup: Operasi Permadani Ajaib (19481950), di mana 50 ribu kaum Yahudi Yaman dipikat ke Israel oleh Aliyah Bet, dengan pernyataan bahwa Sang Messiah telah muncul di sana pada pendirian negara Israel; Operasi Ali Baba (19501959), di mana 120 ribu kaum Yahudi Irak dipengaruhi berpindah ke Israel oleh sejumlah kekejaman, termasuk pemboman sinagog-sinagog di Baghdad, yang dilakukan Aliyah Bet;

h. 256 Operasi Musa (1984), sebuah operasi rahasia di mana 7 ribu orang Yahudi Ethiopia dibawa dari daerah timur Sudan ke Israel oleh Aliyah Bet; dan Operasi Sulaiman (1991), di mana 15 ribu lebih kaum Yahudi Ethiopia dibeli bagai budak dari para pemimpin rejim Ethiopia dan dikirim ke Israel. Siasat-siasat kotor Aliyah Bet menciptakan suasana yang diperlukan bagi sebagian besar orang Yahudi untuk membayangkan aliyah (kepulangan) sebagai penyelamatan. Wartawan Israel Dan Raviv dan Yossi Melman menulis tentang Aliyah Bet: Para anggota masyarakat intelijen tegas menyangkal telah menggunakan siasat-siasat teroris, namun bangga berkata bahwa mereka terus mendapatkan cara-cara baru dan asli untuk memindahkan kaum Yahudi ke Israel. Lagipula, semua itu demi keselamatan bangsa mereka yang baru ... Berkat jasa para agen rahasia Aliyah Bet, penduduk Israel hampir berlipat dua, sampai lebih dari 1 juta orang Yahudi, dalam empat tahun pertama setelah kemerdekaan. Sungguh, agen-agen dari Aliyah Bet telah berhasil dalam meningkatkan penduduk Israel dalam empat tahun pertamanya. Namun, keberhasilan itu bergantung pada siasat-siasat yang sama jahatnya dengan yang digunakan dalam operasi-operasi awal Zionisme untuk menekan kaum Yahudi berpindah ke Palestina.

Mossad Membom Kaum Yahudi Irak: Operasi Ali Baba


Sekalipun segenap upaya yang dilakukan kaum Zionis, tekanan beruntun mereka pada kaum Yahudi di kamp-kamp pengungsi Eropa tak menyebabkan banjir pendatang Yahudi ke Israel sebagaimana yang diharapkan. Hasil ini mendorong para pemimpin Zionis mengambil tindakan mendesak masyarakat Yahudi lain. Sebagaimana ditunjukkan buku Zionism and Racism: Ketika serbuan perpindahan kaum Yahudi yang diharapkan tak terwujud, menimbulkan masalah bagi kaum Yahudi Diaspora menjadi kebijakan terukur Pemerintah Israel dan WZO, demi membujuk atau bahkan memaksa mereka berpindah dan menduduki tanah-tanah yang telah ditinggalkan kaum Arab Palestina. Para pemimpin Israel memilih kaum Yahudi Irak sebagai yang pertama yang menderita keadaan-keadaan buruk, yang, sebagai keturunan Yahudi zaman para Nabi yang diasingkan ke Babilonia, memiliki 2.500 tahun sejarah di Mesopotamia. Mereka berjumlah 150 ribu orang, dan telah membangun 60 sinagog. Para Yahudi ini hidup damai bersama para tetangga Muslimnya sampai datang para agen Mossad. Sekalipun penerapan Undang-undang Kepulangan di tahun 1950, para Yahudi Irak ini tak mau pulang ke Israel. Para agen Mossad yang menyadari penolakan ini, tanpa ragu meledakkan sejumlah bom untuk mengabarkan kepada kaum Yahudi Irak bencana yang diramalkan mengancam mereka dari para anti-Semit Irak. Sebuah bom yang ditaruh di sinagog Masouda Shemtov di Baghdad menewaskan tiga orang Yahudi Irak dan melukai sepuluh lainnya. Di hari-hari berikutnya, terungkap bahwa para pembom adalah agen-agen Mossad. Peristiwa ini dijelaskan rinci dalam buku Every Spy a Prince (Setiap Mata-mata Seorang Pangeran), sebuah sejarah tentang Mossad yang ditulis oleh wartawan-wartawan Israel, Dan Raviv dan Yossi Melman.

h. 257

David Reuben, seorang Yahudi Irak, menyaksikan bahaya-bahaya yang dipaparkan pada kaum Yahudi Irak oleh Operasi Ali Baba. Ia menceritakan pandangannya akan operasi itu di Jerusalem Post terbitan 21 Juli 1964. Reuben menegaskan bahwa kaum Zionis mengobarkan perang psikologis terhadap kaum Yahudi Irak semasa operasi itu. Tujuan utamanya adalah menciptakan permusuhan antara kaum Muslim dan Yahudi guna memaksa kaum Yahudi berpindah ke tanah air mereka, Israel. Selain perang psikologis, cara perang fisik, menurut Reuben, juga digunakan. Sejumlah sinagog dibom, mengakibatkan kerusakan dan korban kaum Yahudi. Kaum Muslim dituduh atas perbuatan-perbuatan itu. Akhirnya, kaum Yahudi percaya bahwa tak aman di rumah mereka sendiri. Menurut Reuben, para Zionis bertanggung jawab atas semua kejadian itu. Operasi kotor ini direncanakan dan diperintahkan oleh para pemimpin Israel. Fakta ini akhirnya terungkap ketika operasi pemindahan berdarah itu, salah satu rahasia terkotor Zionisme, dibeberkan dalam pers Israel. Suratkabar mingguan Israel Haolam Hazeh terbitan 20 April dan 1 Juni 1966, serta harian Yedioth Aharonot terbitan 8 November 1977, menyatakan bahwa Mossad telah melakukan pemboman-pemboman itu, sebagaimana juga penulis Israel Ilan Halevi dalam bukunya La Question Juive (Masalah Yahudi) yang terbit tahun 1981. Operasi Ali Baba juga diungkapkan pada bulan Agustus 1972 oleh Kokhavi Shemesh dalam sebuah suratkabar Israel Black Panthers. Sebagai tambahan, pada 7 November 1977, atas permintaan Pengadilan Tinggi Tel Aviv, wartawan Baruch Nadel ditanyai: jawaban-jawabannya menguatkan pengungkapanpengungkapan di atas. Kaum Yahudi Irak yang takut pada bom-bom Mossad itu menemukan pelarian lewat perpindahan ke Israel. Pada akhir Operasi Ali Baba, yang direncanakan dan dilaksanakan oleh para pemimpin Israel, 120 ribu Yahudi Irak telah berpindah ke Israel. Faktor lain yang berpengaruh dalam membawa kaum Yahudi Irak ke Israel adalah hubungan diplomatik terselubung antara Pemerintah Israel dan Irak. Para agen Aliyah Bet bisa menyuap perdana menteri Irak untuk membeli kaum Yahudi. Shlomo Hillel [seorang agen senior Aliyah Bet] tampil sebagai usahawan Inggris Richard Amstrong, yang mewakili perusahaan Near East Air Transport Corporation dari Amerika Serikat dalam pembicaraan dengan pemimpin Irak. Perusahaan penerbangan Amerika yang ganjil itu menutupi jejaknya dengan amat hati-hati demi menyamarkan hubungan dekatnya dengan Pemerintah Israel. Tak seorang pun yang tahu bahwa selama tahun 19481949, perusahaan itu telah menerbangkan seluruh 50 ribu kaum Yahudi Yaman di Aden ke Israel ... Setelah dua tahun penindasan anti-Semit yang giat, parlemen Irak mengesahkan sebuah undang-undang di bulan Maret 1950 yang mengizinkan setiap orang Yahudi yang ingin meninggalkan negara itu. Mereka cuma mesti melepaskan kewarganegaraan Iraknya. Lunaknya aturan ini mengejutkan bagi sebuah rejim yang telah menyatakan perang terhadap Israel dan menahan ratusan orang Yahudi karena kegiatan Zionis. Penjelasannya ada pada sejumlah bayaran yang ditawarkan pada perdana menteri Irak yang membukakan pintu kepindahan, Taufik al-Sawidi. Ia juga direktur Iraqi Tours, yang bukan tak sengaja ditunjuk sebagai agen bagi Near East Air Transport Corporation. Dengan kata

h. 258 lain, lewat cara berputar, kepala pemerintahan Irak menerima sogokan dan komisi dari intelijen Israel. Naeim Giladi saat ini sedang menulis sebuah buku tentang kekejaman dan kebijakan muka dua Israel tehadap Yahudi Irak. Giladi seorang Zionis aktif di masa mudanya. Kemudian, selagi masih menjadi Zionis yang taat, ia menjadi saksi serangan-serangan mematikan yang dilakukan terhadap masyarakat Yahudi Irak dan lalu menyadari bahwa semua itu dilakukan Israel. Rincian yang diberikannya di masa kini tentang peristiwa-peristiwa masa lalu adalah pengakuan-pengakuan yang berharga, sebab ia saksi hidup atas apa yang terjadi di balik layar. Buku New American View (Pandangan Baru Amerika) melaporkan bahwa Giladi dilahirkan di Irak di tahun 1930. Setelah Perang Dunia II, ia bekerja pada Operasi Ali Baba untuk memindahkan Yahudi Irak ke Israel. Di tahun 1992, Giladi menerbitkan sebuah buku berjudul Ben Gurions Scandals (Skandal-skandal Ben Gurion), di mana ia mengakui peransertanya dalam operasi-operasi bawah tanah Zionis di Irak dan melukiskan siasat-siasat teror yang dijalankan Mossad untuk menakut-nakuti kaum Yahudi agar berpindah ke Israel. Jadi, Yahudi Irak dipaksa, dengan tipu daya Zionis, meninggalkan daerah yang telah menjadi tanah air mereka selama 25 abad. Tragedi kaum Yahudi Irak berlanjut hingga Israel masa kini: Para Yahudi asal Irak di Israel sudah geram, menyalahkan kepemimpinan negara Yahudi yang kelahiran Eropa karena memasukkan mereka ke gubuk-gubuk tenda sederhana dengan sedikit harapan mendapatkan pemukiman atau pekerjaan yang layak. Para pendatang Sephardi dari Timur baru ini merasa dipermalukan karena disemprot dengan insektisida dan tak diberikan kebebasan memilih. (Catatan: Sephardi adalah Yahudi keturunan Spanyol atau Portugis yang mempertahankan adat-istiadat Yahudi Babilonia.)

Memindahkan Kaum Yahudi Ethiopia dari Tanah Airnya, atau Operasi Musa dan Sulaiman
Kaum Yahudi kulit hitam yang telah berabad-abad tinggal di Ethiopia (kaum Falasha) adalah sebuah sasaran upaya memulangkan kaum Yahudi yang terasing ke tanah airnya Israel. Pemindahan kaum Falasha dari Ethiopia ke Israel dilaksanakan dalam dua operasi utama Aliyah Bet, Operasi Musa tahun 1984, dan Operasi Sulaiman tahun 1991. Pihak Israel membayar sogokan cukup besar kepada para pemimpin Ethiopia demi melancarkan operasi tahun 1984. Israel tak hanya membayar rejim Ethiopia, tapi juga menyuap presiden Sudan dan para sejawat terdekatnya, karena kaum Yahudi Ethiopia harus dipindahkan lewat Sudan. Presiden Sudan, Gafar Numeiri, Wakil Presiden, Umar Tayib, dan konsultan khusus mereka Baha Idris, yang berjuluk Mr. Sepuluh Persen karena keterlibatannya yang luas diketahui dalam menerima suap dan segala bentuk kegiatan tidak sah lainnya, menerima 56 juta dollar supaya mengizinkan kaum Falasha dipindahkan lewat Sudan. Singkatnya, para pemimpin Israel membeli kaum Falasha bagai budak setelah melakukan tawar-menawar dengan para pemimpin Ethiopia dan Sudan. Pihak-pihak yang berunding tak merasa perlu bertanya tempat kaum Yahudi Ethiopia akan tinggal nantinya. Harga kaum Falasha dibayar kepada para pemimpin Ethiopia, dan kemudian para

h. 259 Yahudi Ethiopia itu diterbangkan ke Israel. Majalah Nokta melukiskan suatu gambaran dramatis kedatangan kaum Falasha di Israel: Ketika kaum Falasha, dengan tempelan nomor di dahi, turun dari pesawat, mereka memberikan kesan pucat dan lelah, muda namun lemah. Hampir 14 ribu kaum Falasha tiba di Zion dengan nomor-nomor di dahi, dan mereka menyerupai tak kurang dari para Yahudi yang dikurung di kamp-kamp konsentrasi. Perlakuan yang diterima kaum Falasha segera menjadi perhatian organisasi-organisasi internasional. Sebuah kelompok pembela hak asasi manusia bernama French Solidarity Union mengecam Pemerintah Israel, menyatakan bahwa para pemimpin Israel tak mempunyai alasan kemanusiaan untuk memindahkan kaum Yahudi Ethiopia ke Tanah yang Dijanjikan: French Solidarity Union menyatakan bahwa Pemerintah Israel memindahkan kaum Yahudi Ethiopia bukan karena pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dan menyatakan bahwa alasan sebenarnya operasi penyelamatan ini adalah membangun pemukiman-pemukiman baru di wilayahwilayah pendudukan agar Israel dapat melanjutkan kebijakan perluasannya. Pada saat yang sama, penentangan terhadap pemindahan ribuan orang Yahudi Falasha ke Israel terus berlanjut. Karena kegemparan yang ditimbulkan peristiwa ini, Pemerintah Israel terpaksa mengakhiri pemindahan itu. Di tahun 1991, dalam Operasi Sulaiman, sekelompok lain kaum Yahudi Ethiopia dipindahkan ke Israel. Otak di balik operasi ini adalah seorang Yahudi Iran, David Alliance, dan seorang Yahudi Irak, Sami Shamoon, dan dipimpin oleh Uri Lubrani. Tindakan penyuapan kembali muncul dalam peristiwa itu; sebuah perjanjian keuangan antara Uri Lubrani dan Presiden Ethiopia, Mengistu Haile Mariam melancarkan operasi itu. Pemindahan 15 ribu orang Yahudi ke Israel berawal dari pertemuan Lubrani dengan Megistu untuk meminta izinnya. Tawaran pembuka Mengistu adalah 100 juta dollar. Lubrani menawarkan 25 juta, namun Mengistu mengatakan tak bisa menerima tawaran di bawah 57,5 juta dollar. Akhirnya, mereka sepakat dengan pembayaran sebesar 30 juta dollar. Setelah perjanjian disetujui, lebih dari 14 ribu kaum Yahudi Ethiopia dipindahkan lewat udara ke Israel dalam Operasi Sulaiman selama Mei 1991. Tragedi sebenarnya kaum Falasha dimulai di Israel. Setelah janji-janji muluk yang dipakainya memikat kaum Yahudi Ethiopia ke Israel, Pemerintah Israel memberi mereka perumahan yang hampir tak layak huni. Harian Gndem (Agenda) terbitan 10 Oktober1992, menurunkan satu artikel yang amat memberi penjelasan tentang keputus-asaan kaum Falasha, berjudul Mimpi Buruk Ghetto Kaum Yahudi Ethiopia di Tanah yang Dijanjikan, yang melaporkan sebagai berikut: Hidup di Tanah yang Dijanjikan adalah sebuah tragedi ... kehidupan ribuan kaum Yahudi Ethiopia berubah menjadi mimpi buruk tempat mereka dimukimkan di sejumlah kereta karavan dekat gurun tanpa kesempatan bersekolah atau bekerja. Gubuk-gubuk yang lapuk, sulit untuk disebut rumah, kini menyerupai ghetto Yahudi hitam. Tahun lalu, 14 ribu kaum Yahudi hitam tibatiba dipindahkan ke Israel dalam sebuah operasi udara yang berlangsung selama 22 jam, tapi tak ada perumahan yang disediakan bagi mereka. Seribu orang dari mereka tinggal di penginapan-

h. 260 penginapan dan 13 ribu sisanya di karavan-karavan. Karavan-karavan itu benar-benar terpisah dari masyarakat Israel lainnya ... Para pemimpin Yahudi hitam itu menggambarkan keadaan mereka sebagai sebuah tragedi dan sedang menantikan perbaikan segera. Pemimpin Yahudi Ethiopia, Rahamim Elazar, berkata: Karavan ini sama seperti ghetto, dan menambahkan Israel akan dikutuk di seluruh dunia sebagai sebuah negara rasis karena mengucilkan kaum Yahudi kulit hitam ini dari masyarakat. Elazar membandingkan kamp-kamp karavan kaum Falasha dengan kota gubuk orang kulit hitam di Afrika Selatan, dan menambahkan bahwa, karavan-karavan itu demikian kotor dan tak memiliki pembuangan air sehingga saya tak bisa menyebutnya Soweto modern. Ia mengungkapkan keputus-asaan akan masa depan. Maaritesh Kandia, dengan lima orang anak, berkata, Di musim panas udaranya amatlah panas, dan di musim dingin amat dingin. Saya berharap kami memiliki tempat yang wajar untuk dihuni. 13 ribu orang Ethiopia yang datang ke Israel dalam Operasi Sulaiman saat ini hidup dalam 400 karavan yang dibariskan di tepi gurun. Maaritesh Kandia dan teman-temannya sesama Falasha kerap kali mengeluh tentang pengucilan mereka: misalnya, mereka dipaksa mengirimkan anak-anak bersekolah di Yerusalem, dua jam perjalanan jauhnya. Penderitaan kaum Falasha setelah kedatangan ke Israel adalah kenyataan yang bahkan diakui para pejabat Israel, ditegaskan dalam laporan-laporan resmi: Menurut sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh Kementerian Imigrasi, sepertiga dari 8 ribu kaum Yahudi Ethiopia yang dipindahkan ke Israel lima tahun lalu dalam operasi Musa tak bertempat tinggal tetap. Kementerian yang sama menerbitkan sebuah laporan lain yang menyatakan bahwa para pendatang yang dimukimkan di sisi timur Kiryat Arba hidup dalam keadaan papa. Meskipun 10 tahun telah berlalu sejak dibawa ke Israel, kaum Yahudi Ethiopia merasa lebih dekat dengan bangsa Arab daripada kaum Yahudi Israel. Majalah berbahasa Arab El-Mecelle membahas keadaan kaum Falasha dalam sebuah artikel yang memperhatikan perlakuan buruk dan pembedaan perlakuan yang dialami Falasha di Israel, maupun keluhan-keluhan mereka: Dari hari ketibaan di Israel, kaum Yahudi Ethiopia merasa keberatan disebut Falasha, sebab dalam bahasa Amharik Ethiopia, Falasha berarti orang lain, yang berbeda Mereka juga mengeluhkan keadaan memilukan dan perlakuan yang mereka alami sejak di Israel, tidak di tanah air mereka dulu, tempat mereka hidup mapan dan damai ... Yusuf Minka, seorang teknisi ketentaraan Israel, mengatakan, Suatu hari pasti saya akan meninggalkan Israel dan kembali ke Ethiopia. Seorang perempuan Ethiopia yang hamil berkomentar, Penduduk Israel telah menunjukkan bahwa mereka memandang kami berbeda dalam segala hal. Saya merasa lebih dekat kepada bangsa Arab dan lebih memilih dirawat oleh dokter Arab, karena ia pasti akan menghargai saya dan memperlakukan saya selayaknya.

h. 261 Kaum Yahudi Ethiopia yang meninggalkan rumah-rumahnya di luar kehendak, telah menderita banyak luka psikologis. Sebuah artikel berjudul Akankah Yahudi Ethiopia Memperingati Ulang Tahun Kelima Operasi Musa? melaporkan: Masalah terpenting masyarakat ini adalah kerinduan pada keluarga yang ditinggalkan di Ethiopia. Ketidakbahagiaan yang muncul dari pemisahan ini telah berakibat pada sejumlah usaha bunuh diri oleh banyak orang Ethiopia. Hingga saat ini, 25 orang Ethiopia telah melakukan bunuh diri. Karena Operasi Musa, mereka mengalami krisis sosial, dan pemindahan dari satu kebudayaan ke yang lain telah menyebabkan ketertekanan (depresi). Karena perlakuan buruk yang berkelanjutan terhadap kaum Falasha, masalah-masalah percobaan bunuh diri terus ada. Pada 16 Juni 1991, jumlah pelaku bunuh diri yang dilaporkan majalah Nokta mencapai 50 orang. Para pemimpin Israel sedikit memiliki perhatian pada keadaan menyedihkan kaum Yahudi Ethiopia, yang telah mendorong banyak di antara mereka bunuh diri. Kaum Falasha, yang kehilangan simpati dan dukungan di Israel, memutuskan untuk melakukan pendekatan kepada kaum Yahudi Amerika meminta bantuan. Mereka menulis sebuah surat kekecewaan yang mengeluhkan para pemimpin Israel, dan mengirimkannya kepada kaum Yahudi Amerika. Pada tanggal 16 November 1988, Shalom melaporkan tentang surat itu dalam sebuah artikel berjudul, Surat Terbuka untuk Yahudi Amerika Menceritakan Kepedihan Kaum Yahudi Ethiopia Membisu Berarti Membunuh.

Berikut beberapa baris dari surat itu:


Setiap hari kami mendengar tangisan duka mereka. Semua surat mereka bercerita tentang kematian dan kelaparan. Mereka melaporkan secara terinci tentang anak-anak yang mati karena kelaparan, perempuan-perempuan yang menjanda, kampung-kampung yang sekarat. Namun, selama lebih dari empat tahun, keluarga kami telah ditahan dalam kebisuan, dan dikutuk dengan kemiskinan dan kelaparan. Orang-orang yang hidup di sini adalah kaum Yahudi Ethiopia. Kami berupaya mendekati kaum Yahudi Amerika agar membantu mempersatukan keluarga kami kembali. Tujuan kami adalah mengajukan permohonan kepada sebuah masyarakat yang lebih luas yang akan prihatin pada keluarga kami. Alasan bagi kebisuan para Zionis mungkin karena mereka tak ingin mengulangi kesalahan yang mereka lakukan dalam Operasi Musa. Hal itu berarti bahwa para pemimpin Israel bertekad melanjutkan perlakuan buruk terhadap kaum Yahudi Ethiopia. Sikap kolot mereka itu mengutuk kaum Yahudi Ethiopia untuk hidup bagaikan orang mati. Apakah ini macam perilaku yang pantas dari para pemimpin? Perdebatan sudah usai tak masalah apakah permohonan menyatukan keluarga-keluarga yang terpisah itu disetujui atau tidak. Para Yahudi Ethiopia menunjukkannya dalam petisi mereka: Kami telah bertandatangan di bawah ini sebagai pribadi-pribadi yang mewakili berbagai lapisan masyarakat Ethiopia. Kami menyampaikan kepada Pemerintah Ethiopia bahwa membuat

h. 262 kami terkejut dan menyesal bahwa [para pemimpin Israel] tak mengizinkan anak-anak, ibu, ayah, dan saudara-saudara kami bersatu kembali. Hak-hak asasi manusia yang paling mendasar dicabut dari kaum Yahudi Ethiopia. Keluarga kami dipisahkan. Untuk meningkatkan kepekaan [para pemimpin Yahudi Diaspora] kami telah menandatangani surat ini, namun ini pun ditolak. Apakah para pemimpin Yahudi ini tak berhati nurani? Sikap para pemimpin Yahudi Diaspora telah mengirimkan keluarga-keluarga kami kepada kematian dan perpisahan. Filome Mula (Presiden, Persatuan Pelajar Yahudi Ethiopia); Rahamim Elazar (Presiden, Persatuan Yahudi Ethiopia di Israel); Uri Tekele (Ketua, Asosiasi Beta Israel); Yisrael Yitzhak (Presiden, Asosiasi Imigran Ethiopia). Orang-orang Israel tak hanya memperlakukan kaum Yahudi Ethiopia di Israel dengan buruk, namun juga merahasiakan dan memperpanjang penderitaan kaum Falasha di Ethiopia. Misalnya, di tahun 1987, Pemerintah Ethiopia menahan sejumlah orang Falasha, lalu menyiksa mereka di dalam penjara. Meskipun sangat mengetahui tentang apa yang diderita saudara Ethiopianya, Israel tak berbuat apa pun demi menyelamatkan mereka. Akibatnya, Mesfin Ambaw, sekretaris Asosiasi Pendatang Ethiopia, menyatakan, Pemerintah Israel tak memperhatikan kami sama sekali; orangorang telah dibunuh di desa-desa kami dan hal-hal yang mengerikan telah terjadi. Ketakpedulian yang nampak pada pihak Israel sebenarnya menutupi keinginannya bagi dalih untuk melakukan operasi pemindahan lain yang direncanakannya bagi kaum Yahudi Ethiopia. Mereka menunggu sampai keadaan buruk yang menimpa kaum Falasha semakin memburuk, hingga kaum Falasha sendiri yang memohon untuk meninggalkan Ethiopia dan pindah ke Israel. Majalah Nokta terbitan 16 Juni 1991 menyimpulkan keadaan ini: Pemerintah Israel pada saat itu tak berbuat apa-apa atas perlakuan Pemerintah Ethiopia karena (Israel) ingin memindahkan lebih banyak Yahudi ke Israel. Kaum Falasha tak dipandang sebagai Yahudi sejati oleh warga Israel; tujuan pemindahan mereka utamanya adalah memukimkan mereka di wilayah-wilayah Arab yang diduduki Israel. Selama Operasi Musa di tahun 1984, 7 ribu kaum Falasha dipikat agar meninggalkan Ethiopia dan berpindah ke Israel. Meskipun, dalam upaya menenangkan opini dunia, para pemimpin Israel menyebutnya sebuah operasi penyelamatan, yang terjadi sebenarnya jauh dari membahagiakan. Karena satu hal, kaum Falasha tidaklah benar-benar diselamatkan; terlebih lagi, banyak dari mereka kehilangan nyawa selama operasi itu. Faktanya, Shalom mengakui demikian, melukiskan Operasi Musa sebagai penyebab kematian terbanyak kaum Yahudi Ethiopia di abad terakhir. Shalom juga menambahkan: Operasi Musa menyebabkan kematian ribuan kaum Yahudi Ethiopia... Sebagian besar terjadi selama pemindahan melalui Sudan. Segi menarik lain operasi Israel di Ethiopia adalah bahwa pemindahan kaum Falasha ke Israel itu sejalan dengan perintah di dalam Injil. Jelas bahwa orang-orang Israel menjalankan Operasi Musa dan Sulaiman sebagaimana diperintahkan dalam kitab Perjanjian Lama: Tuhan berkata: Karena hambaku Isaiah telah berjalan tanpa busana dan alas kaki selama tiga tahun mencari sebuah pertanda dan mengembara ke Mesir dan Ethiopia, begitu juga raja Assiria akan memimpin para tawanan Mesir dan tawanan Ethiopia, muda dan tua, tanpa busana dan alas

h. 263 kaki, bahkan dengan pinggul terbuka, untuk mempermalukan Mesir. Dan mereka akan merasa takut dan malu terhadap Ethiopia akan pengharapan mereka, dan terhadap Mesir akan kejayaan mereka. (Isaiah 20: 3-5). Pada kenyataanya, kaum Falasha dihalau ke dalam pengasingan oleh para pemimpin Zionis, tanpa busana dan alas kaki, dengan terpaksa, sebagaimana ayat Taurat di atas. Sebagai tambahan, kaum Yahudi Ethiopia terkejut akan sikap kampung halaman mereka Ethiopia kepada siapa mereka berharap, dan juga merasa malu terhadapnya, karena presiden mereka, Mengistu Mariam, tega menjual mereka kepada orang lain demi uang. Tentu saja, perlakuan buruk yang dialami orang-orang Ethiopia di Israel membuat mereka bertambah malu akan tanah air lama mereka daripada yang sudah mereka rasakan sebelumnya.

Kaum Yahudi Yaman Dipedaya Operasi Permadani Ajaib


Untuk meningkatkan perpindahan ke Israel, siasat-siasat baru diperlukan. Bekerjasama dengan anti-Semitisme bukan lagi perhatian Israel. Sejak awal, nyatanya, perpindahan ke Palestina telah dicapai dengan merangsang, bahkan menyelenggarakan, kegiatan anti-Semit. Namun, caracara lain menipu kaum Yahudi Diaspora juga digunakan. Satu contoh menarik terjadi tahun 1948, ketika sekelompok kaum Yahudi dari Yaman dipedaya dan akhirnya dibawa ke Israel. Di tahun-tahun itu, para pekerja Arab mendapatkan penghasilan tinggi dalam sektor pertanian Israel, dan melakukan pekerjaan tersulit, seperti pembantu rumah tangga atau buruh industri. Suatu rumusan baru diperlukan untuk menurunkan gaji, serta jumlah bangsa Arab, di Palestina. Tak lama kemudian, sebuah pemecahan ditemukan. Dokter Thon, yang bekerja untuk Jewish Agency WZO, telah menjelaskan pemecahan itu dalam sebuah ceramahnya di tahun 1908: Hanya seorang Yahudi dari daerah Timur mau bekerja dengan gaji yang lebih rendah daripada gaji orang Arab. Dengan cara ini, kaum Yahudi dari Timur yang dipindahkan ke Israel akan mendukung pekerja Ibrani, yang merupakan sebuah tujuan Zionisme, dan penyingkiran pekerja Palestina sebagai akibatnya... Jika pemukiman terus-menerus para keluarga pendatang Yaman ke daerah-daerah yang ditetapkan berhasil, masalah lain ikut terpecahkan: para perempuan dan anak perempuan mereka akan menggantikan perempuan-perempuan Arab sebagai pembantu dalam rumah-rumah keluarga pendatang (Yahudi Eropa). Bangsa Arab saat ini mendapat 20-25 franc setiap bulannya. Ya, dalam teori sebuah pemecahan telah ditemukan bagi masalah itu: para pria kaum Yahudi Yaman akan bekerja sebagai buruh dan kaum perempuannya pembantu rumah tangga, dalam pekerjaan-pekerjaan terberat, demi bayaran terendah. Masalahnya adalah bagaimana membujuk para Yahudi itu berpindah ke Israel. Masalah ini dipecahkan dengan suatu cara yang cocok dengan sejarah kelam Israel: Dan di tahun 1911, seorang pendeta gadungan dikirim ke Yaman Warshavsky, seorang Sosialis-Zionis, berganti nama menjadi Rabbi Yavneeli demi tujuan itu guna mengumumkan kepada kaum Yahudi Yaman kedatangan sang Messiah dan Kerajaan Israel ketiga. Jauh kemudian,

h. 264 di tahun 1948, para pendatang Yaman dibawa ke Israel dalam sebuah operasi yang disebut Permadani Ajaib dan bersenandung dalam pesawat yang membawa mereka: David! David! [yaitu: Ben Gurion] Raja Israel! Operasi ini dilakukan dua tahap, antara bulan Desember 1948 dan Maret 1949, serta antara bulan Juli 1949 dan September 1950, serta menelan biaya 5,5 juta dolar. Operasi Permadani Ajaib menghasilkan pemindahan 50 ribu kaum Yahudi Yaman ke Israel antara tahun 1948 dan 1950. Kaum Yahudi Yaman telah dipedaya. Di Israel, petualangan mereka baru saja dimulai. Di Tanah yang Dijanjikan itu, kehidupan mereka akan jauh dari kehidupan nyaman dan saleh sebagaimana telah dijanjikan kepada mereka. Sebaliknya, mereka disambut oleh pekerjaan-pekerjaan tersulit dan terburuk di tanah itu: Sebagian besar para pendatang itu mulai bekerja sebagai petani, dan mereka menjadi angkatan kerja di industri atau perhubungan. Selagi membersihkan rawa-rawa untuk pertanian, banyak pemuda menemui ajalnya. Di tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Israel mulai mencari cara membawa sisa kaum Yahudi Yaman ke Israel. Agen-agen Israel mulai bekerja memompa perpindahan rekayasa baru ke Tanah yang Dijanjikan. Suratkabar Zaman melaporkan pada 21 Agustus 1982: Rencananya, seorang Yahudi Amerika bernama Listen Bismirka, yang bertugas di Yaman, akan mengumpulkan kaum Yahudi Yaman untuk mendorong mereka berpindah ke Israel...Listen Bismirka [bekerja] di daerah pegunungan Yaman, berupaya meyakinkan para Yahudi yang taat agar berpindah. Seluruh kegiatannya itu ditujukan demi membawa kaum Yahudi di Yaman ke Israel. Israel meraih sejumlah keberhasilan dalam operasi-operasinya di Yaman. Sekali lagi, kaum Yahudi Yaman dipedaya dengan kata-kata dan janji-janji manis untuk berpindah ke Israel. Namun, sekali lagi, kehidupan baru menawari kaum Yahudi Yaman hanya kesukaran. Harian Zaman menambahkan: Dilaporkan bahwa keluarga-keluarga yang dipindahkan ke Israel dari Yaman dengan beragam cara licik berada dalam ketertekanan. Dua keluarga Yahudi Yaman mengirimkan sepucuk surat khusus kepada Pemerintah Yaman yang menjelaskan keadaan buruk mereka di Israel. Mereka menyatakan keinginan pulang ke Yaman, dan mengungkapkan kepedihan mereka: Kami sangat tertekan di sini. Mereka menyita 25.ribu dolar dan paspor-paspor milik kami. Harap kirimkan kami paspor baru dan tiket agar dapat kembali ke negara kami. Kemiskinan dan keresahan yang dihadapi kaum Yahudi Yaman dalam kehidupan baru mereka di Israel demikian menyolok sehingga bahkan media Israel meliputnya. Majalah Shalom melukiskan apa yang terjadi pada kaum Yahudi Yaman di Israel dalam sebuah kisah yang dikutip dari media berbahasa Perancis Tribune Juive: Semuanya bermula dengan Operasi Permadani Ajaib. 48 ribu orang ditempatkan di maaborat [kamp pengalihan] yang dibuat tergesa-gesa di Israel. Tingkat kematian di kamp-kamp itu amat tinggi. Makanan yang tak mencukupi, perjalanan ke Israel yang melelahkan, dan menurunnya kesehatan para imigran adalah alasan-alasan utama bagi keadaan menyedihkan ini

h. 265

Pada awal tahun 1949, di tengah keadaan cuaca membeku, sejumlah hal aneh mulai terjadi di kamp Rosh Hashim: Para orangtua mencari bayi-bayi mereka yang hilang. Peristiwa ini terjadi berulangulang. Bayi-bayi berumur 12 sampai 18 bulan didiagnosa dengan penyakit-penyakit yang tak berbahaya, lalu dikirim ke rumah sakit atau diambil dari keluarga mereka. Selanjutnya, keluarga itu dikabari bahwa sang anak telah meninggal dunia. Namun, hanya sedikit keluarga yang menerima surat keterangan kematian. Terlebih lagi, para keluarga itu tak dapat mengetahui di mana anak-anak mereka dikubur. Para orangtua yang bersedih itu dikabari bahwa bayi-bayi mereka telah dikubur tergesa-gesa demi mencegah penyebaran penyakit menular. Menurut pernyataan seorang saksi, seorang ibu berjuang menemui anaknya ... dan berhasil mengambilnya dari rumah sakit. Anak itu ternyata sehat-sehat saja. Pihak rumah sakit hanya meminta maaf dan mengatakan bahwa ada kesalahan dalam catatan rumah sakit. Setelah kejadian itu, desas-desus menyebar di seluruh maaborat: bayi-bayi menghilang di rumah sakit. Dalam keadaan aneh yang tak terjelaskan itu, diyakini bahwa lebih dari 500 bayi hilang. 30 tahun kemudian, di tahun 1980-an, rahasia hilangnya ratusan bayi itu terungkap. Dari Shalom, diketahui: Berita-berita di media Israel telah menggembirakan masyarakat Yahudi Yaman: Mereka anak-anak pendatang dari Yaman yang tiba di Israel 30 tahun yang lalu. Mereka, orang-orang yang diangkat anak oleh keluarga-keluarga Amerika sewaktu bayi, kini pulang mencari orangtua kandung mereka, para Yahudi Yaman yang tinggal di Israel. Shalom melaporkan lebih jauh sembilan tahun kemudian, dalam sebuah kisah yang bertajuk Yahudi Yaman Mencari Hak-hak Mereka di Israel, tentang bayi-bayi kaum Yahudi Yaman yang hilang: Pertanyaan pertama yang masih harus dijawab adalah: Apa yang sebenarnya terjadi pada 613 bayi yang diambil dari keluarga-keluarga mereka dan diberikan kepada keluarga-keluarga yang lebih mapan? Diketahui bahwa mereka hidup di suatu tempat, namun Pemerintah Israel tak mengambil langkah-langkah menyelidiki masalah ini. Di sini, satu pertanyaan penting harus diajukan: apakah penculikan 613 bayi dari keluargakeluarga mereka diketahui oleh para pemimpin Israel? Jika tidak, mengapa Pemerintah Israel tak membantu menyelidiki apa yang terjadi pada bayi-bayi Yahudi ini? Cukup menarik dicatat bahwa Shalom tak sungguh-sungguh mengejar segi masalah ini, mungkin tidak bijak bagi penerbitan ini melangkah sejauh itu. Namun, majalah itu masih menambahkan: Suatu contoh menyedihkan dan penuh makna: tahun lalu dua dari anak-anak ini, kini berumur 40 tahun, datang ke Israel mencari keluarga kandung mereka. Malangnya, tak mungkin memastikan jatidiri keluarga mereka, sebab anak-anak ini hanya tahu sedikit tentangnya. Jadi, para pemimpin Israel memberikan satu pukulan lagi pada kaum Yahudi Yaman. Pertama, mereka memancing kaum Yahudi itu keluar dari tanah air mereka, tempat mereka telah

h. 266 memiliki kehidupan mapan dan damai. Rupanya, iitu belumlah cukup bagi para pemimpin Zionis: mereka menculik ratusan bayi dari kaum Yahudi Yaman, kemudian mengatakan bahwa anak-anak itu telah mati. Ini, tentu saja, hanyalah satu dusta lagi anak-anak itu telah diberikan kepada kaum Yahudi Amerika untuk dijadikan anak angkat. Para pemimpin Israel masih juga melakukan kejahatan lain pada kaum Yahudi Yaman. Mereka menyita kitab-kitab tulisan tangan dan gulungan-gulungan surat kuno, dan tak pernah mengembalikannya. Penyitaan ini dilakukan selama pemindahan kaum Yahudi Yaman ke Israel. Alasannya adalah kitab-kitab itu terlalu berat untuk dibawa dengan pesawat terbang; dan bahwa pengembalian kepada pemiliknya dengan sungguh-sungguh dijanjikan. Tak lama kemudian, para pejabat Israel mengumumkan terjadi kebakaran di hanggar tempat kitab-kitab itu diturunkan dan hanya sedikit yang terselamatkan. Akan tetapi, di tahun-tahun berikutnya, berbagai kitab milik kaum Yahudi Yaman mulai muncul di tempat-tempat seperti Vatikan, British Museum, dan Universitas Yeshiva. Sungguh memalukan, beberapa di antaranya telah dijual oleh para pejabat Israel pada acara lelang. Kisah penuh muslihat tentang penyitaan kitab-kitab dan naskah-naskah milik kaum Yahudi Yaman diungkapkan Shalom pada 27 Nopember 1991, dengan judul Kaum Yahudi Yaman Memperjuangkan Hak-hak Mereka di Israel. Singkatnya, para Yahudi Yaman yang tergoda janji-janji manis para Zionis di tahun 1940-an diangkut dari tempat di mana mereka telah hidup aman dan nyaman, lalu memperoleh segala yang terburuk di Israel. Setelah tertipu janji-janji palsu, mereka mengerjakan pekerjaan paling hina dengan bayaran terendah; kaum perempuan menjadi pembantu rumah tangga dan kaum prianya buruh. Banyak di antara mereka tewas ketika mengeringkan rawa-rawa. Ratusan bayi mereka diculik oleh para pejabat Israel dan dijual kepada kaum Yahudi Amerika. Kitab-kitab doa mereka yang berharga diambil, dan dijual demi keuntungan pribadi orang-orang Israel. Penderitaan kaum Yahudi Yaman di tangan Yahudi Israel terus berlanjut. dilakukan demi menggerakkan sisa kaum Yahudi di Yaman agar berpindah ke Israel. Segala cara

Para pemimpin Israel mencoba cara baru membawa kaum Yahudi Yaman ke Israel. Seketika desas-desus muncul di mana-mana bahwa para Yahudi di Yaman disiksa dan bahkan dibunuh karena agama mereka. Sumber desas-desus ini tak dapat ditentukan. Laporan-laporan resmi pun diterbitkan tentang masalah itu. Tujuan kegiatan itu adalah menciptakan perasaan pada kaum Yahudi yang masih berada di Yaman bahwa mereka tak aman di sana dan harus berpindah ke Israel. Beberapa hari setelah laporan awal itu, terungkap bahwa Israel berada di belakangnya, dan bahwa desas-desus dan laporan itu tak mencerminkan kebenaran: semuanya kebohongan yang diatur. Ketika kebenaran ini terungkap, Pemerintah Israel pun panik. Untuk menyelamatkan muka, mereka mengumumkan bahwa kaum Yahudi di Yaman yang berada di belakang desas-desus itu: Yahudi Yaman dituduh telah menyiapkan laporan palsu dan menyebarkan dess-desus yang tak benar. Nyatanya, kaum Yahudi Yaman paling amat tak mungkin, dan hampir tak bisa, melakukan kampanye yang amat memancing rusuh itu.

h. 267 Sebagaimana telah dicatat, mereka menikmati keberadaan yang tenteram, bebas dari penganiayaan karena agama, di tanah air mereka sendiri karena itu, tak perlu menyebarkan desasdesus sedemikian. Tentunya, pihak Israel menyatakan bahwa kaum Yahudi Yaman telah dianiaya sebelum datang ke Israel tapi ini semata-mata demi membenarkan operasi rahasianya sendiri. Israel ingin dipandang sebagai penyelamat kaum Yahudi Yaman. Namun, majalah Shalom menyangkal dalih Israel bagi operasi itu: Keadaan sebenarnya 1000-1100 orang Yahudi di Yaman adalah: mereka bebas menjalankan agama mereka. Ada banyak sinagog di Yaman yang masih terbuka bagi ibadah umum.

Cara-Cara Lain Pembelian Orang Yahudi oleh Israel


Nasib kaum Yahudi Rumania yang ditekan agar berpindah ke Israel serupa dengan yang dialami Yahudi Ethiopia yang dibeli dari para pemimpin negara mereka. Satu-satunya perbedaan adalah Israel tak berurusan langsung dengan para pejabat Rumania. Ini dilakukan oleh seorang perantara terkenal: Kepala Rabbi Moses Rosen. Kepala rabbi Rumania ini berperan penting, khususnya pada masa pemerintahan Ceauscescu, dalam pemindahan Yahudi Rumania ke Israel: Dalam sebuah artikel suratkabar oleh Andrew Billen baru-baru ini, berjudul Exodus The Last Jews of Romania (Eksodus Yahudi Terakhir Rumania), Billen menceritakan kegiatan Kepala Rabbi Rumania Moses Rosen, dan berkurangnya jumlah Yahudi Rumania, karena ... perpindahan ke Israel, yang tak pernah dicegah selama pemerintahan Sir Nicolae Ceauscescu, yang keluarganya memiliki kaitan Yahudi yang erat... Rabbi Rosen berkata: Merupakan pencapaian paling membanggakan bagi saya bahwa 97 persen orang Yahudi telah pergi... Mungkin, yang lebih menarik adalah fakta bahwa Rabbi Rosen juga anggota parlemen boneka Rumania yang ... membuatnya cermat-cermat diselidiki atas hubungannya dengan keluarga Ceauscescu ... Meskipun Rosen selalu membantah, Israel memang dibolehkan membeli orang Yahudi dari Pemerintah Rumania. Di tahun 1978, menurut Ion Pacepa, mantan kepala keamanan Rumania yang membelot ke Barat, harganya berkisar dari 2 sampai 50 ribu dolar, bergantung pada nilai penduduk itu bagi tiap negara bagian Ana Pauker berperan penting dalam mempersiapkan pemindahan Yahudi Rumania ke Israel. Pauker yang bekerja sebagai menteri hubungan luar negeri Rumania dalam rejim komunis pasca perang, adalah kakak seorang rabbi yang saat ini tinggal di Israel. Di tahun 1952, ia diusir oleh Partai Komunis karena simpatinya pada Zionis dan karena memajukan perpindahan kaum Yahudi dari Rumania ke Israel. Cara lain pembelian Yahudi Diaspora oleh Israel dimungkinkan oleh Perjanjian Luksemburg (Luxemburg Accord). Sebagaimana dinyatakan di Bab Satu, sebelum Perang Dunia II, industri perang Nazi dibiayai usahawan kaya Yahudi di bawah arahan para pemimpin Zionis. Setelah perang, kaum Yahudi menerima sejumlah besar uang dari Jerman sebagai perbaikan berlipat-lipat dari kehilangan uang mereka pada Nazi. Kesepakatan perbaikan ini secara resmi disahkan kedua belah pihak pada tanggal 10 September 1952, dan disebut Perjanjian Luksemburg.

h. 268 Mengalirnya dukungan keuangan dari Jerman Barat merupakan bantuan besar bagi pembangunan Israel. Di bulan Maret 1953, Pemerintah Jerman Barat menyetujui sejumlah 840 juta dolar sebagai dana perbaikan kepada Israel. Pihak Israel menerima 100 juta dari jumlah itu di tahun 1954. Angka itu 30 kali lipat pendapatan ekspor Israel tahun itu. Selama beberapa dasawarsa, Jerman membayar dana perbaikan kepada kaum Yahudi, di Israel dan di tempat-tempat lain, sejumlah lebih dari 80 milyar mark, atau setara lebih dari 30 milyar dolar. Uang Jerman ini berperan penting dalam pembangunan infrastruktur industri dan perhubungan Israel. Pemindahan kekayaan dari Jerman ke Israel dan kaum Yahudi lainnya masih berlanjut, tanpa terlihat kapan berakhirnya.

Hubungan Rahasia Israel dengan Nazi Mutakhir


Setelah Perang Dunia II, Israel memulai sebuah perburuan orang-orang Nazi demi membalaskan dendam para Yahudi korban Holokaus. Akan tetapi, adalah adil jika dikatakan bahwa perburuan Nazi ini bukanlah pencarian keadilan yang sungguh-sungguh, melainkan suatu unsur propaganda. Satu petunjuk terang akan hal ini adalah Israel tak pernah mengejar orang-orang Nazi terkemuka. Mereka memburu hanya anggota-anggota tingkat rendahan Nazi, betapa pun besarnya kehebohan atas mereka (sebagaimana kasus Eichmann): Dengan menimbang hal ini, Jenderal SS Kurt Becher merupakan satu contoh menarik. Becher telah ditunjuk sebagai Specialreicht Commissar (Komandan Khusus) bagi seluruh kampkamp konsentrasi di tahun 1945 oleh Heinrich Himmler. Jika Israel memang memburu seorang musuh, namanya mungkin akan berada di urutan teratas daftar pencarian Israel. Namun, orangorang Israel tak melakukan hal ini. Bukannya menyerukan penahanan dan pengadilan Becher, Pemerintah Israel malah berbisnis dengannya. Seorang peneliti Yahudi Amerika, Ralph Schoenman, telah mengungkapkan hubungan antara Nazi yang satu ini dan Pemerintah Israel. Jenderal SS Kurt Becher... ditunjuk sebagai komandan semua kamp konsentrasi Nazi oleh Heinrich Himmler... Ia menjadi presiden sebuah perusahaan yang merintis penjualan gandum ke Israel. Perusahaannya, Cologne-Handel Orde Gesellschaft, berbisnis luas dengan Pemerintah Israel. Para pemimpin aparteid Afrika Selatan termasuk mereka yang simpatisan Nazi sekaligus teman dekat Israel. Hubungan antara perdana menteri Afrika Selatan, John Vorster, dan Israel secara khusus menarik. Benjamin Bert-Hallahmi, profesor psikologi di Universitas Ibrani Yerusalem dan seorang pengamat tajam hubungan luar negeri Israel, mengulas tentang kunjungan kenegaraan Vorster ke Israel dalam bukunya The Israeli Connection: Who Israel Arms And Why (Kaitan Israel: Siapa yang Dipersenjatai Israel dan Mengapa). Bagi kebanyakan orang Israel, kunjungan Vorster ke Israel cuma sebuah kunjungan resmi seorang pemimpin asing... Ia digambarkan sebagian pers Israel sebagi orang yang taat beragama pada sebuah ziarah pribadi ke Tanah Suci (Yerusalem)... Perlu sepucuk surat kepada penyunting Haaretz, New York Times-nya Israel, untuk mengabarkan kepada umum bahwa Vorster sebenarnya seorang teman sekongkol Nazi yang, menurut undang-undang Israel, harus ditahan dan disidangkan saat menginjakkan kaki di tanah Israel. Sebaliknya, ia mendarat di bandara Tel-Aviv, karpet merah

h. 269 dibentangkan, dan perdana menteri Israel, Yitzhak Rabin, menyambutnya dengan pelukan hangat. Banyak artikel penyambutan dalam pers Israel. Beit-Hallahmi menambahkan: Yang didapat orang-orang kulit putih Afrika Selatan dari Israel, sambil mengobarkan perang untuk mempertahankan keberadaan mereka, pertama dan terpenting adalah ilham. Kedua adalah tuntunan praktis dalam segala segi tindakan militer mereka. (Beit-Hallahmi, h. 121) Sejumlah pemimpin Afrika Selatan yang mengagumi Israel sebenarnya para mantan simpatisan Nazi, sebagaimana dinyatakan Hallahmi. Wartawan Afrika Selatan, Breyten Breytenbach, menjelaskan keadaan menarik ini: Sungguh suatu penyamaan jatidiri aneh yang dirasakan kaum Afrikaner dengan Israel. Bagaimana pun, selalu ada arus kuat anti-Semitisme di negeri ini para pemimpin saat ini adalah keturunan langsung para ideolog pro Nazi. Namun, mereka memiliki kekaguman besar kepada Israel, yang telah menjadi... mitra militer dan politik para pemimpin kulit putih Afrika Selatan dalam persekutuan negara-negara terkucil. Mereka menyamakan diri dengan Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan menurut Injil, sebagai sebuah negara maju yang berjuang dikepung oleh lautan musuh. (Beit Hallahmi, h. 161). Jadi, Israel telah menjaga hubungan baik dengan para pengikut Nazi mutakhir sebagaimana dengan Nazi terdahulu. Zionisme dan fasisme sebenarnya dua ideologi yang bekerjasama dalam kerukunan sempurna. Kerukunan ini telah diubah, tak jarang, menjadi persekongkolan aktif.

Mitos Pengasingan Kaum Yahudi


Pendirian kolot Zionis bahwa kaum Yahudi yang tinggal di luar Israel hidup di pengasingan merupakan semacam dawai batiniah yang telah berkali-kali dipetik. Pernyataan Zionis adalah bahwa kaum Yahudi satu-satunya pemilik sah atas suatu daerah yang disebut Tanah yang Dijanjikan. Jadi, para Zionis berpendapat bahwa, karena berbagai alasan, kaum Yahudi dipaksa keluar dari tanah air di Palestina berabad-abad yang lalu. Pendirian ini menegaskan suatu tuntutan absah atas tanah Israel sekaligus menggambarkan kaum Yahudi yang tinggal di negaranegara lain sebagai kaum terasing dari tanah air sejati Israel. Langkah selanjutnya dalam siasat kaum Yahudi di pengasingan ini adalah menggunakan tekanan pada masyarakat Yahudi di seluruh dunia, untuk menarik mereka berpindah ke Israel. Lagipula, jika benar-benar dalam pengasingan, bukankah para Yahudi ini harus pulang ke tanah airnya, Israel? Namun, tak ada landasan khusus untuk menggolongkan kaum Yahudi Diaspora sebagai orang-orang terasing. Tak diketahui mengapa, kapan, atau demi alasan apa leluhur mereka meninggalkan negerinya atau mengapa begitu banyak dari mereka telah tinggal di luar Palestina selama dua ribu, atau bahkan tiga ribu tahun terakhir. Mengapa kini mereka harus pulang ke Israel? Jika kita perhatikan lebih dekat sejarah kaum Yahudi, jelas bahwa sebagian besar kaum Yahudi Diaspora tak menganggap diri hidup dalam pengasingan. Misalnya, setelah pengasingan Babilonia, sejumlah besar masyarakat Yahudi memilih tetap di Babilonia. Mereka tak ingin pergi

h. 270 ke Yerusalem atau Israel. Ini berarti bahwa kebanyakan kaum Yahudi sudah tinggal di luar Palestina sebelum penyelesaian kuil kedua di Yerusalem (di abad 1 SM). Dengan kata lain, para Yahudi Diaspora ini tak berada di pengasingan. Orang Yahudi yang berjumlah 5 sampai 6 juta itu memilih hidup di luar Palestina. Mereka hidup sejahtera dan seutuhnya, di tanah air mereka, tempat mereka tidak dalam keadaan terasing. Dalam beberapa abad kekuasaan Romawi, kaum Yahudi memiliki kebebasan tinggal di negeri mana pun yang mereka inginkan. Sejumlah besar kaum Yahudi tinggal di Spanyol. Selama lebih dari 500 tahun kekuasaan kaum Muslim, kaum Yahudi adalah sebuah masyarakat makmur dan diistimewakan. Selama kurun waktu itu, Palestina menerima kehadiran pendatang. Meskipun kaum Yahudi berhak pulang ke Israel, namun tak pernah terjadi perpindahan yang sungguh-sungguh ke Palestina. Pada zaman itu, tentu saja, tiada tekanan pada kaum Yahudi agar berpindah ke sana. Sejarawan Yahudi Abram Sachar menjelaskan keadaan ini, menyatakan dalam bukunya History of the Jews (Sejarah Kaum Yahudi) bahwasanya kaum Yahudi di dunia bersikap tak bergairah pada masalah kepulangan ke Palestina, dan pemukiman Zionis pertama hanya mewakili keinginan minoritas kecil kaum Yahudi. Suatu pertanyaan penting muncul atas pandangan bahwa kaum Yahudi di luar Palestina sedang dalam pengasingan: jika merasa terasing, merindukan pulang ke Tanah yang Dijanjikan, mengapa begitu sedikit dari mereka yang kembali saat hal itu diperbolehkan?

Penulis Amerika Andrew J. Hurley menjawab pertanyaan ini:


Jelas bahwa mayoritas kaum Yahudi di dunia tak menganggap diri dalam pengasingan dan tak berniat pulang bermukim di tanah air mereka, Eretz Israel... Yang bisa dikatakan, tanpa keraguan, adalah tiada sama sekali Yahudi Diaspora Eksilik (terasing)... Israel berhak memiliki Undang-undang Kepulangan jika dikehendakinya. Apa yang tak berhak dilakukan Pemerintah Israel adalah memaksakan undang-undang itu, sebagaimana yang ditafsirkan para ekstrimis agama, pada seluruh umat manusia, atau mengumpulkan kaum terasingnya di tanah yang menjadi milik orang lain. Kemungkinan besar, kaum Yahudi di seluruh dunia sebelumnya tidak, dan sekarang tidak, berpikir mereka dalam pengasingan, apa pun yang dipikirkan para pemimpin Zionis. Menurut para Zionis, kaum Yahudi itu orang-orang sakit yang tak perlu ditanya, melainkan diperintahkan, tentang apa yang harus dilakukan, sesuai dengan kata-kata Rabbi Klausner. Bertindak dengan semangat itu, Israel melanjutkan perjuangannya untuk membuat para Yahudi Diaspora berpindah ke Israel. Cara-cara yang digunakan termasuk, sebagaimana di Irak, pemboman sinagog, pembinaan hubungan dengan para anti-Semit asing, dan bahkan pengembangan anti-Semitisme, sebagaimana yang dilakukan di masa Nazi.

Teror Mossad Terhadap Kaum Yahudi


Di halaman-halaman sebelumnya, kami menyebutkan sejumlah operasi yang dijalankan Mossad untuk menghalau kaum Yahudi Irak berpindah ke Israel. Tindakan-tindakan itu mencakup pemboman sinagog-sinagog dan tempat-tempat berkumpul kaum Yahudi lainnya. Mossad terus menerapkan siasat-siasat semacam itu kepada para Yahudi Diaspora, dengan tujuan ganda

h. 271 menciptakan simpati di antara kaum non-Yahudi dan menekan kaum Yahudi berpindah. Garis propaganda ini amat sederhana: orang-orang Israel adalah korban teroris. Untuk memperkuat pernyataan ini, Israel melakukan sejumlah pemboman yang segera mereka persalahkan pada bangsa Arab. Berikut sejumlah contohnya: Sebuah upaya Mossad membom pesawat El-Al di Inggris: Mossad menanam bom itu (yang tak meledak) untuk memfitnah Suriah. Tuduhan ini dilontarkan Jacques Chirac, saat itu perdana menteri Perancis, dalam sebuah wawancara yang diberikan kepada harian Washington Times. Meskipun Chirac berbicara tidak untuk direkam (off the record) tentang peran Mossad ini, pada tanggal 23 Nopember 1986, Times melaporkan pernyataannya, maupun keyakinannya bahwa Mossad telah bertindak agar Suriah dicap sebagai negara teroris. Chirac mengatakan bahwa perdana menteri Jerman Barat Helmut Kohl dan menteri luar negerinya, Hans-Dietrich Genscher, tahu akan peran Israel. Mossad menyerang sebuah sinagog di Perancis: Mossad, yang kondang karena seranganserangannya pada sinagog, muncul di Perancis untuk melaksanakan satu lagi serangan. Agen-agen mereka membom sebuah sinagog di Rue Copernic, Paris, dengan maksud menjelekkan pemimpin Libya, Khadafi. Belakangan, peran Mossad itu terungkap. Menurut majalah Middle East International (Agustus 1981), dinas rahasia Perancis mengungkapkan tanggung jawab Mossad atas peristiwa itu, yang dilakukan untuk memancing Perancis agar memutuskan hubungan dengan Irak. Michael Poniatowski, mantan perdana menteri dan saat itu menjabat menteri dalam negeri Perancis, memasok sejumlah bukti untuk mendukung tuduhan ini.

Serangan pada Sinagog Neve Shalom di Istambul


Pada 7 September 1986, peribadatan di sinagog Neve Shalom di Istambul terganggu oleh dua orang Arab, yang menembakkan senjata otomatis dan melemparkan granat tangan kepada para jamaah. Lebih dari 20 orang Yahudi yang tak berdaya tewas. Buntut dari kejadian itu, pernyataan bahwa para teroris adalah orang-orang Palestina memusatkan kemarahan dunia kepada bangsa Arab. Namun, sejumlah fakta harus ditimbang sebelum tuduhan dilontarkan. Pada 14 Juni 1987, majalah Nokta menerbitkan sebuah pernyataan dari perwakilan PLO Abu Firaz, berjudul Mossad Melakukan Pembantaian Sinagog: Pembantaian sinagog dilakukan pada 7 September 1986. Sesaat setelah pembantaian, Yitzhak Shamir menyampaikan sebuah pidato di radio Istambul pada 22 Oktober, menyatakan bahwa masyarakat Yahudi di Turki hidup makmur dan bahwa perpindahan mereka ke Israel akan amat disambut baik oleh Israel. Jika pihak berwenang Turki melakukan apa pun untuk merintangi perpindahan mereka, Pemerintah Israel akan melakukan yang terbaik demi mengatasi hal itu. Mossad melakukan operasi ini untuk menakut-nakuti Yahudi Turki agar berpindah ke Israel. Setelah Perang Dunia II, Mossad merencanakan sejumlah operasi pemboman dan pembunuhan yang serupa di sinagog-sinagog Eropa untuk meningkatkan perpindahan ke Israel. Ada beberapa petunjuk yang menggoda tentang sinagog-sinagog di bagian lain Turki. Pada hari-hari terakhir bulan Oktober 1986, misalnya, polisi Turki menangkap seorang Israel bernama

h. 272 Michael Herbert di depan sinagog Izmir (Smyrna). Herbert saat itu sedang membawa satu tas bahan peledak. Juga ada kelainan yang janggal mengenai serangan ke Neve Shalom. Cukup aneh, banyak tokoh terkemuka yang diharapkan hadir tak datang pada peribadatan di sinagog terbesar di Istambul di hari Sabbath itu. Di hari yang sama, konsul Israel, yang seharusnya menghadiri upacara, sedang cuti di Cappadocia. Kemudian siapakah yang terbunuh? Orang Yahudi yang kehilangan nyawa dalan peristiwa itu adalah orang-orang miskin dan tua, kebanyakan dari daerah-daerah miskin Istambul, seperti Fener, Eyup, dan Balat. Fakta-fakta di atas diperhatikan oleh polisi Turki. Suratkabar Milliyet (8 Nopember 1986) melaporkan yang berikut mengenai masalah itu: 23 orang terbunuh dalam pembantaian berdarah di sinagog Istambul, Neve Shalom. Sejumlah organisasi berbahaya, maupun dinas rahasia Israel, Mossad, telah dituduh atas pembantaian itu. Polisi di Istambul telah menemukan sejumlah alasan bagi kecurigaan terhadap Mossad, mencakup: hubungan antara kaum Yahudi di Turki dan Israel tidaklah begitu dekat; karena itu, mereka bukan sasaran yang pantas bagi musuh-musuh Israel. Kaum Yahudi Turki bukan penganut Zionisme, dan membina hubungan dekat dengan masyarakat Turki. Pada saat pembantaian itu, para Yahudi kaya memilih mendatangi sinagog-sinagog di Bykoda dan Cihangir daripada Neve Shalom. Serangan teroris terhadap sinagog-sinagog itu mungkin akan mengakibatkan kematian banyak Yahudi Turki yang terpandang. Meskipun sebuah pernikahan dijadwalkan berlangsung di Neve Shalom pada hari berikutnya, para teroris lebih memilih hari pembukaan, saat mana hanya hadir 21 orang Yahudi di sinagog itu, sebagian besar orang tua dan miskin. Mossad ada di urutan puncak daftar tersangka pasukan keamanan Turki. Akan tetapi, kecurigaan mereka terhadap Mossad tak pernah dapat dibuktikan, sebagaimana para teroris yang mati itu tak dapat dikenali oleh polisi. Yang demikianlah cara sinagog Mossad terhadap para Yahudi Diaspora. Dinas rahasia Israel ini memiliki cara-cara lain, seperti membina hubungan dengan orang-orang anti-Semit setempat dan memajukan anti-Semitisme jika perlu. Inilah siasat paling efektif dan telah membantu Mossad di seantero dunia. Sungguh, berbagai kelompok anti-Semit di negara-negara Barat bekerja dalam persekongkolan yang erat dengan Israel dan dinas rahasianya. Satu contohnya adalah pemimpin ekstrim kanan terkenal di Perancis: Jean-Marie Le Pen.

Seorang Anti-Semit yang Ganjil di Perancis: Jean-Marie Le Pen


Penyokong utama anti-Semitisme di Perancis yang diakui secara umum adalah pemimpin Front Nasional Perancis yang rasis, Jean-Marie Le Pen. Selama bertahun-tahun, Le Pen terus mendapatkan dukungan bagi kampanyenya menentang kaum pendatang, dan banyak yang menganggapnya seorang anti-Semit. Namun, sejumlah media barat telah melaporkan beberapa

h. 273 fakta menarik tertentu tentang tokoh yang dianggap pemimpin anti-Semitisme Perancis ini. Sekalipun ketenarannya itu, ia berhubungan rahasia dengan kaum Yahudi. Shalom menyatakan: Partai Le Pen telah memperoleh raihan besar pada pemilu-pemilu daerah, dan menurut jajak pendapat Perancis, satu dari tiga orang di Perancis mendukung Le Pen. Karena Le Pen dikenal antiSemitis, sangatlah mengherankan melihat ada anggota Yahudi dalam partainya. Ada sejumlah orang Yahudi dalam Front Nasional Perancis yang bangga akan keanggotaannya. Kegembiraan sejumlah Yahudi Perancis atas kemenangan Le Pen dilaporkan artikel lain Shalom: Sebagai tambahan atas orang Yahudi di dalam partai, ada banyak orang Yahudi lain yang mendukung Le Pen dengan suaranya. Anti-Semitisme Le Pen khususnya disambut gembira oleh para Yahudi yang taat agama. Para Yahudi Perancis setuju bahwa hari saat Le Pen memenangkan 20 persen suara adalah tanda bagi masyarakat Yahudi untuk mulai meninggalkan Perancis. Sejumlah Yahudi lain di Dimitri Pastry Shop (sebuah toko kue) mengatakan alasan mereka memilih Le Pen: Kami memberikan suara bagi Le Pen ia akan mengenyahkan kami dari Perancis dan kami akan berpindah ke Israel. Robert Hemmerdinger adalah seorang tokoh terkemuka Yahudi dalam partai Le Pen. Apa yang dikatakan Hemmerdinger dalam sebuah wawancara amat menarik: Apa pendapat anda tentang orang Yahudi-nya (partai) Le Pen? Saya tak sendirian. Anda kemungkinan besar tak tahu bahwa kami memiliki suatu masyarakat [Yahudi yang mendukung Front Nasional] sendiri di sini. Maksud anda, yang lain merahasiakan dukungan mereka? ...Tariklah sebuah garis yang menghubungkan [kota-kota] Montpellier, Valence, Merton. Ada 87 sinagog aktif di garis itu, termasuk sinagog tertua setelah sinagog Warsawa dan Carpentras. Iniah daerah di mana Le Pen mendapat persentase suara tertinggi. Suatu kejadian anti-Semit yang mengejutkan di Perancis terjadi di Carpentras, tempat sejumlah kuburan orang Yahudi dibongkar secara mengerikan. Hemmerdinger memberikan sejumlah keterangan menarik tentang peristiwa rasis ini dalam wawancara yang sama. Peristiwa Carpentras dilakukan empat orang pemuda dari keluarga kaya. Dua dari mereka orang Yahudi... nama-nama mereka diketahui oleh polisi, para jaksa, dan juga jaksa agung.

Perpindahan Kaum Yahudi Rusia


Kami telah menyebutkan di depan sejumlah rencana dan cara yang digunakan negara Yahudi untuk mendorong Yahudi Diaspora ke Tanah yang Dijanjikan. Selama hampir 30 tahun, Israel telah gigih menggalakkan Aliyah (bermukim kembali di Israel) pada Yahudi Soviet. Kaum Yahudi Soviet merupakan kumpulan Yahudi terbesar ketiga di dunia (pertama, Yahudi Amerika, dan kedua, Yahudi Israel). Kaum Yahudi Soviet merupakan perhatian utama kaum Zionis.

h. 274 Mengapa demikian? Yang jelas, Yahudi Soviet jumlahnya jauh lebih besar dan dikatakan lebih terpelajar daripada kaum Yahudi di Yaman dan Ethiopia, dan karena alasan terakhir ini, mereka mungkin lebih menarik bagi Israel. Namun, masih ada alasan lain mengapa sebagian orang Israel tertarik pada pemindahan Yahudi Soviet ke Israel: ramalan Perjanjian Lama tentang Jeremiah. Dalam Kitab Jeremiah, kemunculan Messiah dikatakan merupakan tanda kepemimpinan Israel atas dunia. Perjanjian Lama juga membicarakan tanah utara. Diramalkan bahwa tepat sebelum kedatangan Messiah, para Yahudi dari negeri di daerah utara ini akan pindah ke Tanah yang Dijanjikan. Sejumlah orang Israel telah memikirkan dalam-dalam tentang nama tanah utara ini dan memutuskan bahwa tanah itu adalah Rusia. Shalom menjelaskan: Ada ramalan tentang Jeremiah dalam Perjanjian Lama. Ia memerintahkan bangsa Israel untuk meninggalkan tanah utara. Beberapa penafsiran telah dipertimbangkan, akhirnya disimpulkan bahwa tanah utara ini adalah Uni Soviet. Entah terdorong ramalan tentang Jeremiah itu atau bukan, setelah perang Arab-Israel tahun 1967, para pemimpin Zionis mulai melancarkan kampanye untuk meningkatkan perpindahan kaum Yahudi dari Rusia ke Israel. Sementara itu, para pemimpin Soviet mulai menunjukkan sikap antiZionis, bahkan anti-Semit, terhadap masyarakat Yahudi, dan mulai mengizinkan mereka berpindah. Jadi, dengan dukungan tak langsung dari kepemimpinan Soviet, aliyah mulai sungguh-sungguh. Akan tetapi, rejim Soviet, karena prinsip dan citra Tirai Besinya, berhati-hati untuk tidak membiarkan terlalu banyak Yahudi pergi ke Israel sekaligus. Meski demikian, gerakan pengurangan kendali yang dimulai oleh Gorbachev mempengaruhi aliyah juga, dan terjadi peningkatan mendadak jumlah kaum Yahudi yang berpindah. Pihak Israel mendapati diri berhadapan lagi dengan sebuah dilema lama: sebagian besar Yahudi Soviet tak ingin berpindah ke Israel. Pilihan mereka adalah perpindahan ke Amerika, tanah harapan. Israel tak sekondang Amerika karena dipandang sebagai negeri yang terancam perang dan terorisme. Lalu juga, persentase yang mengejutkan tingginya kaum Yahudi Soviet memilih tetap di Uni Soviet. Pendekatan-pendekatan yang biasa pun dipilih untuk memecahkan masalah: para Yahudi terasing ini akan dikumpulkan, di luar kehendak sendiri. Dengan kata lain, kaum Yahudi Soviet yang ingin berpindah ke Israel, akan diperlakukan seperti yang pernah diperintahkan Rabbi Klausner, sebagai orang yang tak perlu ditanya, melainkan diperintahkan, tentang apa yang harus dilakukan. Jadi, mereka harus dibujuk, bahkan dipaksa, berpindah. Israel meminta bantuan dari kaki-tangan tetapnya, organisasi-organisasi Yahudi di Amerika, maupun para pemimpin Yahudi Soviet dan para anti-Semit, dalam menerapkan program perpindahan ini. Dalam sebuah artikel berjudul Soviet Jews: Israeli Wants Them All (Yahudi Soviet: Israel Menginginkan Mereka Semua), majalah Time (22 Nopember 1986) menerangkan hasrat Israel pada saudara-saudaranya dari tanah utara. Israel menggunakan semua cara yang mungkin demi membawa mereka ke Tanah yang Dijanjikan.

h. 275 Penulis Amerika Andrew Hurley merincikan bagaimana Israel menekan kaum Yahudi Soviet berpindah ke Israel dalam bukunya Israel and the New Word Order (Israel dan Tatanan Dunia Baru). Menurut Hurley, masalah terbesar yang dihadapi para pemimpin Israel dari kaum Yahudi Soviet adalah seringnya keinginan mereka berpindah ke Amerika Serikat, Kanada, atau negaranegara Barat lain, bukan Israel. Karena itu, para pemimpin Israel membuat sebuah kesepakatan dengan para penguasa Soviet. Menurut kesepakatan itu, orang Yahudi Soviet hanya akan diberikan visa masuk ke Israel. Jadi, Israel menjadi satu-satunya tujuan yang diizinkan bagi Yahudi Soviet yang ingin meninggalkan Uni Soviet. Akan tetapi, kekangan ini tidaklah cukup, sebab banyak orang Yahudi Soviet masih berusaha mengubah tujuannya agar sampai ke Amerika Serikat atau negara-negara terlarang lainnya. Orang-orang Israel akhirnya membuat sebuah pemecahan atas masalah ini setidaknya bagi para penumpang pesawat udara dengan menyelenggarakan penerbangan langsung dari Moskow ke Tel Aviv. Dengan begitu, kaum Yahudi Soviet akan naik pesawat dan terbang ke Israel tanpa henti, menghilangkan kemungkinan membelot di saat alih jalur (transit). Sementara cara ini cukup baik bagi penerbangan, masalah nyata berlanjut dengan orangorang Yahudi yang pergi menumpang kereta api. Sebagian besar kaum Yahudi yang meninggalkan Uni Soviet lebih memilih kereta api, yang melakukan perhentian pertama di barat blok Soviet di Wina. Kaum Yahudi yang mencapai Wina dengan kereta api, bukan Tel Aviv dengan pesawat udara, cenderung menuju ke Tanah Harapan (Amerika Serikat), bukan ke Tanah yang Dijanjikan (Israel). Karena itu, Israel memutuskan menggunakan lobinya yang berpengaruh di Amerika. Lobi Yahudi berhasil membuat Washington mengurangi jumlah visa masuk Amerika yang diberikan kepada Uni Soviet. Hasilnya, Amerika tak lagi menjadi sebuah alternatif bagi para Yahudi sakit Soviet yang tak berminat pindah ke Israel. Mengapa kaum Yahudi Rusia enggan pergi ke Israel? Buletin Informasi Masalah Kepulangan ke Tanah Air dan Budaya Kaum Yahudi, sebuah terbitan Pusat Informasi Yahudi Moskow, menampilkan sebuah artikel tentang Yahudi Soviet yang telah menganggap Uni Soviet sebagai tanah air, yang sama sekali tak berminat pindah. Seorang Yahudi, Mikhail Jevaneski, menjelaskan mengapa ia menolak pindah ke Israel dengan judul Mengapa Saya Tak Pergi!. Jevaneski mengatakan: Saya senang di sini. Saya tak pernah menganggap diri seorang Yahudi. Mereka ingin menekan saya agar merasa sebagai seorang Yahudi. Hal terburuk adalah bahwa seumur hidup saya mereka mengatakan kepada saya bahwa saya seorang Yahudi, berbeda dengan siapa pun. Namun, saya merasa sama dengan orang lain. Kami telah tinggal di sini selama beberapa keturunan. Siapa yang dapat memaksa saya mempercayai bahwa saya berbeda dan harus pergi? Dan kini, saat glasnost (keterbukaan ala Gorbachev) membuka pintu-pintu kebebasan, yang sedikit-demi-sedikit memberi kami peluang bernapas lega untuk mulai membicarakan apa pun, mereka mengatakan kepada saya bahwa saya harus pindah. Saya tak mengerti mengapa. Kita tak bisa pergi semuanya, bukan!... Saya katakan kepada Anda yang sebenarnya: setiap orang menyesal untuk pergi, namun

h. 276 saya baik-baik saja di sini. Negeri ini memesona. Dengan tanah-tanahnya, dengan udaranya yang kami hirup... Saya punya segalanya di sini. Jadi saya tak akan ke mana-mana. Masih juga Israel bersikeras bahwa para Yahudi sakit ini harus berpindah. Menteri Dalam Negeri Israel Yaacov Tsur menyatakan dalam sebuah pidato yang diterbitkan Jerusalem Post 18 Juni 1988: Para Yahudi yang meninggalkan Uni Soviet dengan visa Israel ternyata tak pergi ke Israel. Perbuatan memalukan para Yahudi Soviet ini berpura-pura pergi ke Israel harus segera dihentikan. Tsur mengakhiri dengan kata-kata: Tujuan utama dari apa yang telah dilakukan atas nama kaum Yahudi Soviet sudah menjadi cita-cita Zionis. Israel menggunakan cara lain demi meningkatkan perpindahan Yahudi Soviet. Cara-cara yang dijelaskan di muka mungkin dapat disifatkan sebagai cara tarik: para Yahudi yang ingin berpindah ke Israel langsung dipindahkan. Namun, agar kebijakan pemindahan ini efektif, siasatsiasat dorong juga diperlukan. Sebab, di saat jalur perpindahan ke Israel kini bebas kebocoran dengan mana para Yahudi Soviet bisa lari ke Amerika Serikat, banyak orang Yahudi lebih memilih kehidupan di tanah air mereka, Rusia, daripada pindah ke Israel. Para Yahudi sakit ini memerlukan bujukan tambahan agar beraliyah ke Israel. Perkakas yang biasa dipakai: anti-Semitisme. Israel dan para pendukungnya menjalin hubungan dengan para fasis dan kelompok-kelompok anti-Semit Rusia. Organisasi nasionalis ekstrim, Pamyat, menyerang kaum Yahudi dengan semboyan Keluar dari sini, pulanglah ke Israel. Lalu, seorang tokoh yang lebih efektif tampil: Vladimir Zirinovsky.

Vladimir Zhirinovsky: Corong Suara Tuannya


Vladimir Zhirinovsky mendapat banyak perhatian dengan raihan besar partainya di pemilu tahun 1993, menjadi tokoh politik paling terkenal di tahun-tahun belakangan ini. Yang membuatnya terkenal, di atas segalanya, adalah gagasan-gagasan mengerikan dan ancamanancaman anehnya. Ia digambarkan sebagai seorang yang sangat fanatik, sangat agresif sehingga tanggapan wajar orang adalah bertanya-tanya Apakah dia ini gila? Citra media dunia atas Zhirinovsky telah membuatnya disetarakan dengan seorang pendahulu terkenal: fasis Rusia gila ini adalah Hitler masa kini. Pemikiran-pemikiran dan perilakunya tampak amat serupa dengan kamerad (kawan) Jermannya itu. Zhirinovsky tak mencemaskan pembandingan ini. Sebaliknya, ia melakukan segalanya agar tampak mirip Hitler. Ketika membicarakan Hitler, tentu saja, sebuah kebijakan Nazi segera terlintas di kepala: anti-Semitisme. Nyatanya, Zhirinovsky tak ragu-ragu menghidupkannya. Kebijakan-kebijakannya memang diprotes keras banyak organisasi Yahudi. Kelompok-kelompok ini telah menekan para pemerintah di seluruh Eropa agar melarang Zhirinovsky masuk ke negara mereka. Sementara segala sesuatu tentang Zhirinovsky tampak mengingatkan kembali kepada Hitler, ada beberapa kekurangan penting dalam penggambaran politisi Rusia ini sebagai seorang antiSemit kejam. Seperti sering terjadi, membaca media Yahudi (yakni, suratkabar terbitan Yahudi untuk pembaca Yahudi) selalu membeberkan keterangan penting yang jarang ditemukan di tempat lain.

h. 277 Sebenarnya, Zhirinovsky sendiri seorang Yahudi. Ia mantan Yahudi taat, yang sampai tahun 1989 adalah pemimpin organisasi Yahudi Rusia bernama Shalom. Lebih lagi, ia seorang Zionis: di tahun 1983 ia diberi visa untuk berpindah ke Israel. Israel, yang menerima hanya Yahudi asli sebagai pendatang, memberi Zhirinovsky izin masuk, kemudian, karena alasan yang tak diketahui, ia memutuskan tetap di Rusia. Suratkabar Jewish Chronicle (London) terbitan 17 Desember 1993 melaporkan bahwa moyang Zhirinovsky adalah Yahudi dan bahwa ia berhubungan baik dengan masyarakat Yahudi di Rusia sebelum keterlibatannya dalam nasionalisme Rusia. Ia dikatakan pernah menjadi pengurus Shalom. Ia lalu meninggalkan perkumpulan itu untuk mendirikan Partai Demokratik Liberal. Terbitan berikutnya Jewish Cronicle mengungkapkan sejumlah fakta di balik lulusnya permohonan bermukim Zhirinovsky di Israel. Kita mengetahui bahwa Zhirinovsky telah mencoba berpindah ke Israel selama 10 tahun dan bahwa di tahun 1983, akhirnya bisa memperoleh izin bermukim di tanah air Israel, izin yang tak pernah dimanfaatkannya. Cerita Jewish Cronicle itu juga mengulangi bahwa Zhirinovsky berhubungan dekat dengan kelompok Shalom. Pertanyaan-pertanyaan secara alamiah muncul, pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban. Mengapa Zhirinovsky berubah mendadak dalam hubungan dan perilakunya? Untuk menemukan jawabannya, kita harus melihat pada gerak-gerik politik Zhirinovsky dan akibatnya, termasuk, di atas segalanya, pendiriannya yang kusut dan penuh pertentangan mengenai kaum Yahudi dan Israel. Zhirinovsky dan partainya meraih keberhasilan mengejutkan dalam pemilu. Ia telah menyarankan suatu kebijakan yang amat anti-Semit yang diarahkan kepada semua Yahudi Rusia, dan menimbulkan keresahan besar pada masyarakat Yahudi. Masyarakat Yahudi Diaspora terbesar kedua ini mulai merasa bahwa Rusia tak lagi aman bagi mereka, dan mulai berpindah ke Israel dengan laju yang sangat meningkat. Jewish Chronicle (17 Desember 1993) melaporkan bahwa makin banyak Yahudi Rusia berpindah ke Israel karena Zhirinovsky dan tampaknya perpindahan itu akan meningkat di waktuwaktu selanjutnya. Sebagian besar orang Yahudi mulai mengemas barang-barangnya untuk meninggalkan Rusia. Media dunia meliput kisah perpindahan orang Yahudi dari Rusia ke Israel karena bangkitnya Zhirinovsky. Turkish Sunday Post melaporkan, cukup menarik, bahwa Israel merasa khawatir akan gelombang perpindahan ini: ... Israel juga menyatakan kecemasannya akan masalah ini. Kemungkinan bahwa gerakan fasis akan mendorong kaum Yahudi Rusia berpindah dalam jumlah besar ke Tanah yang Dijanjikan telah membuat para pemimpin Israel gelisah. Muncul banyak desas-desus bahwa sejumlah persiapan telah mulai dilakukan di Israel bagi arus masuk orang Yahudi yang deras... Nyatanya, ada yang ganjil tentang hal ini: pernyataan Pemerintah Israel bahwa mereka cemas tentang perpindahan kaum Yahudi menunjukkan suatu pertentangan yang besar. Sebagaimana telah kami jelaskan, Israel telah bekerja keras selama bertahun-tahun demi mencapai perpindahan kaum Yahudi. Sebuah arus masuk Yahudi adalah sesuatu yang seharusnya

h. 278 menggembirakan Israel, dan bukannya mencemaskan. Negara Yahudi ini telah berupaya membawa Yahudi Rusia ke Israel, sebab hal itu sebuah pertanda datangnya Messiah. Kaum Yahudi Rusia ditekan berpindah ke Israel, dan bukan ke sembarang tempat. Pendeknya, bagi Israel, berkumpul masuknya kaum Yahudi dari tanah utara (Rusia) ke Israel adalah suatu keharusan. Sayangnya, kaum Yahudi Rusia telah menyebabkan masalah seperti yang dihadapi para pemimpin Zionis sebelumnya: mereka tak ingin meninggalkan tanah air mereka demi Israel. Saat inilah, Zhirinovsky muncul untuk memecahkan masalah para pemimpin Israel itu. Ia mulai menghalau kaum Yahudi Rusia ke tanah yang sekali waktu ia sendiri pernah ingin pindah ke sana. Pernyataan para pemimpin Israel bahwa mereka cemas akan kemajuan ini adalah suatu pemutarbalikan fakta. Ramalan tentang Jeremiah akan berlanjut, bahkan jika tekanan diperlukan. Jelas bahwa Zhirinovsky tak pernah berhenti menjadi seorang Zionis, namun ia mengubah siasat dan menukar penampilannya. Ia seorang sayan (bentuk jamak: sayanim), istilah Israel bagi seorang Yahudi Diaspora yang sudi membantu Mossad. Kini, kita telah melihat siasat-siasat ini sebelumnya yang dengan piawai dilakukan para Zionis sejak awal abad ke-20. Kenyataan penting lain yang membukakan jatidiri dan tujuan asli Zhirinovsky adalah dukungan kuat yang didapatnya dari kepala KGB, seorang Yahudi Rusia, yang berperan penting dalam menempa citra baru Zhirinovsky. Sebenarnya, Zhirinovsky adalah corong suara para tetuanya di Yerusalem. Seorang wartawan Washington, Leon Hadar, telah mengungkapkan peran ganda Zhirinovsky dengan membahas hubungan dekatnya dengan pemimpin Irak Saddam Hussein, di saat Zhirinovsky mendukung Israel dan Amerika dengan menentang fundamentalisme Islam. Zhirinovsky memperingatkan Eropa, Amerika, dan seluruh ras kulit putih akan bahaya hijau, melawan siapa ia mendesak pembentukan persekutuan bersama. Zhirinovsky hanya menyatakan gagasan-gagasan para pemimpinnya. Para pemimpin Zionis lebih memilih mencapai tujuan dengan menyerahkannya pada perkakas dan kakitangannya, sementara mereka bersikap sebagai juru damai. Kepura-puraan proses perdamaian yang berlarut-larut di Timur Tengah harus dinilai dari sudut pandang kenyataan sejarah ini.

Kesimpulan
Fakta-fakta sejarah yang dibahas dalam buku ini membeberkan kebenaran getir tentang Zionisme dan negara Israel. Para pendiri Israel menggunakan cara-cara yang kotor, dan tak termaafkan, demi mencapai berdirinya negara Yahudi: mereka dengan sengaja menghasut antiSemitisme, untuk menekan kaum Yahudi agar pindah ke Israel sekaligus menggoyahkan opini dunia ke arah berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina. Kebijakan ini berlanjut setelah kelahiran Israel, dan masih berjalan hari ini. Paul Findley, seorang anggota Kongres Amerika selama 22 tahun, bercerita banyak dalam bukunya They Dare to Speak Out: People and Institutions Confront Israels Lobby (Mereka Berani Berbicara: Orang-Orang dan Lembaga-lembaga Menentang Lobi Israel). Buku ini membahas

h. 279 besarnya kekuatan yang dimiliki lobi Yahudi di Amerika, memperhatikan bahwa Holokaus digunakan sebagai sebuah senjata melawan mereka yang menentang Israel, dengan mencap mereka neo-Nazi atau anti-Semit. Banyak politisi, wartawan, akademisi atau pendeta yang dibungkam lewat cara-cara ini. Singkatnya, Israel dan agen-agennya di Diaspora mendapat kekuatan politik yang besar dari legenda pemusnahan Holokaus. Apa yang telah kami jelaskan di bagian utama buku ini menunjuk ke arah suatu kebenaran penting: para pemimpin Israel tega memakai teror terhadap bangsanya sendiri, membuat mereka meninggalkan rumah dan negara asal mereka, bersekongkol dengan para anti-Semit melawan Yahudi lain dan bahkan membunuh saudaranya itu jika merasa perlu. Ini bukanlah keadaan yang kita sering temui dalam sejarah: perseteruan biasanya terjadi antar-negara, agama, atau bangsa. Jika kita perhatikan kaum Yahudi, seringkali kita melihat para penganut agama yang sama dan dari bangsa yang sama ini saling menyakiti. Terbukti bahwa kebiasaan mengusir dan membunuh bangsa mereka sendiri ini juga sebuah bagian kenyataan kaum Yahudi. Patut dicatat bahwa Al Quran juga mengungkapkan sifat kaum Yahudi yang satu ini: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang darimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian kepadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah, 2: 84-85).

h. 280

LAMPIRAN
Israel, Fasisme Dunia Ketiga, dan Gladio
Buku ini telah membahas hubungan-hubungan Nazi dan kelompok-kelompok berkecenderungan fasis lainnya dengan pertama, Zionisme, dan lalu, Israel kaitan-kaitan yang pasti mengejutkan banya orang. Fakta lain yang telah ditegaskan adalah kaitan penting antara Israel dan para fasis pasca perang. Selama Perang Dingin, sejumlah diktator dan junta (yakni, pemerintahan militer hasil kudeta) di seluruh dunia dengan senang menjalin hubungan kerja yang akrab, namun sering kali amat rahasia, dengan negara Yahudi itu. Kenyataan bahwa Israel mendukung rejim-rejim dan organisasi-organisasi penindas di seluruh dunia dijelaskan rinci oleh penulis Israel, Benjamin Beit-Hallahmi, dalam bukunya The Israeli Connection: Who Israel Arms and Why. Menurut Beit-Hallahmi, Israel, bekerjasama dengan Amerika, memastikan kemantapan rejim-rejim penindas di seluruh dunia. Sekutu-sekutu Israel di Afrika mencakup beberapa diktator kejam, penindas, dan bahkan biadab seperti Idi Amin, Bokassa, dan Mobutu. Sebagaimana ditunjukkan oleh Hallahmi, Afrika telah menjadi fokus utama Israel di tahun 1950-an. Sejak saat itu, Israel telah mendukung dan mempersenjatai banyak rejim penindas Afrika, dan penasihat-penasihat Israel telah melatih dinas intelijen mereka. Gerilyawan-gerailyawan sayap kanan UNITA dan FNLA di Angola; para pengawal pribadi Idi Amin dan Kaisar Bokassa; pasukan komando OAS Perancis yang memberontak terhadap keputusan De Gaulle memberikan kemerdekaan kepada Aljazair; pasukan penjajahan Portugis di Mozambik, Angola, dan tempat-tempat lain; pasukan raja Ethiopia, Haile Selassie; dan yang terpenting, pasukan keamanan bertangan besi rejim kulit putih rasis di Afrika Selatan. Semuanya dilatih para pakar militer Israel. Kaum fasis di Amerika Tengah dan Selatan juga mendapat tempat penting di antara para sekutu negara Yahudi ini. Selama bertahun-tahun Israel menjadi pemasok terbesar bantuan kepada sejumlah rejim dan partai fasis Amerika Latin, termasuk junta militer dan kartel narkobanya. Menurut Beit-Hallahmi, Israel telah memainkan tiga peran utama di daerah tersebut: memasok senjata kepada kekuatan-kekuatan fasis, melatih pasukan mereka (latihan ini mencakup siasat-siasat gerilya dan anti-gerilya, cara-cara pemeriksaan dan penyiksaan, dan teknik-teknik pengendalian sosial), dan menjadi sumber ilham bagi rejim-rejim itu. Hallahmi menulis: Militer Amerika Latin mengagumi Israel karena kejantanannya, keteguhannya, kekejamannya, dan keampuhannya. Di antara para sekutu rahasia Israel di daerah itu adalah junta militer yang bertahun-tahun memerintah Guatemala. Israel telah lama menjadi sumber pasokan senjata utama junta itu. Negara Yahudi ini juga telah membantu rejim itu mempertahankan kendali politik dan sosialnya. Dilaporkan, 80 persen penduduk Guatemala telah dicakup, dengan nama dan keterangan lain mereka tersimpan di memori komputer. Sumber-sumber gerilyawan menyatakan bahwa sistem komputer itu telah digunakan untuk menyediakan daftar nama bagi pasukan-pasukan maut sayap

h. 281 kanan. Orang-orang yang berbahaya bagi pemerintah telah diculik dan dibunuh oleh pasukanpasukan maut yang dilatih oleh orang-orang Israel. ... 25 sampai 40 orang Israel bekerja pada dinas intelijen Guatemala. Benedicto Lucas Garcia, kepala staf angkatan bersenjata Guatemala (1978-1982), membenarkan keterlibatan mendalam ini dalam wawancara di tahun 1985, termasuk kehadiran penasihat-penasihat militer Israel dan pembuatan sistem pengawasan berbantuan komputer. Sebuah upaya dalam Kongres Amerika untuk mengutuk pelanggaran hak asasi manusia oleh rejim Guatemala, termasuk banyak pembunuhan yang dilakukannya, telah digagalkan oleh upaya-upaya lobi Israel demi kepentingan rejim itu. Tentang rasa terima kasih rejim itu kepada Israel, Noah Chomsky menjelaskan: ... Agaknya hal itu benar...di Guatemala, di mana kepala staf angkatan darat rejim Lucas Garcia yang mirip Nazi berterima kasih kepada Israel atas bantuan militer yang telah diberikan, dengan menytakan bahwa Tentara Israel adalah sebuah model dan teladan bagi kami, sementara rejim baru Rios Montt, yang ditaksir telah membunuh sedikitnyan 5 ribu orang India selama masa perang Lebanon sekaligus memaksa 200 ribu orang meninggalkan rumah mereka, menyatakan bahwa kami berhasil [dalam kudeta militer yang membuat mereka berkuasa] karena tentara kami dilatih oleh orang-orang Israel. Keadaan di El Salvador juga tak jauh berbeda dari tetangganya di utara, Guatemala. Teror negara Salvador yang gemar membunuh itu direkam oleh Oliver Stone dalam filmnya yang terkenal, Salvador. Chomsky menulis bahwa teror yang dilakukan di negara itu berakibat pembantaian sistematis ribuan petani oleh pasukan pemerintah. Sebagai sekutu tetap rejim-rejim sayap kanan, Israel sekali lagi berada di balik teror negara itu. ... Di awal tahun 1980-an, telah luas diketahui bahwa El Salvador menjalin perjanjian rahasia dengan Israel untuk bantuan keamanan anti-gerilya. Arnold Ramos, wakil dari Front Revolusioner Demokratik Salvador, menyatakan bahwa Israel memiliki 50 penasehat militer di El Salvador; laporan-laporan lain menyebutkan jumlahnya 100. Para pelatih Israel itu ikut bertanggung jawab atas perubahan siasat tentara Salvador dalam perang melawan para gerilya. Diilhami oleh pembimbing Israelnya, Kolonel Sigifredo Ochoa menggapai ketenaran sebagai ahli siasat yang agresif. Sejak tahun 1977-1979, saat keterlibatan Israel berada pada puncaknya, orang-orang Israel melatih regu-regu anti-pemberontakan dikenal, secara tak resmi, sebagai pasukan maut. Mantan Kolonel Angkatan Darat Salvador dan Wakil Menteri Dalam Negeri, Rene Francisco Guerra y Guerra, melihat sendiri pelatihan itu di tahun 1970-an dan teringat bahwa salah seorang tarunanya, yang terus maju meraih kecemerlangan politik yang kebersihannya meragukan, adalah Roberto DAubuisson. Pendiri ekstrim kanan Partai ARENA DAubuisson berlatih di bawah bimbingan orang-orang Israel sebagai seorang perwira muda ANSESAL. Dikenal sebagai Mayor Blowtorch, ia menjadi pemimpin pemberi ilham bagi kader-kader pembunuh sewaan dan secara luas diyakini terlibat perencanaan pembunuhan Uskup Agung Romero dari San Salvador oleh pasukan maut (dengan bantuan seorang gerilyawan Chino Lau, yang dikatakan Kepala Staf Honduras, Lopez, juga peserta pelatihan oleh orang Israel) ... Hubungan yang serupa ada antara Israel dan banyak kelompok fasis lain di Amerika Latin. Israel mempersenjatai dan melatih para kontra (gerilyawan) Nikaragua di Honduras, junta militer berdarah di Argentina, kediktatoran Pinochet di Chile, yang terkenal karena penyiksaannya, dan

h. 282 pembunuh-pembunuh sewaan kartel-kartel narkoba Kolombia. Di dalam buku Israeli Connection, Beit-Hallahmi menyebut Amerika Tengah dan Selatan ebagai bayangan jauh Israel dan melanjutkan: Israel tak hanya telah mendapatkan sahabat-sahabat di Amerika Latin, namun juga pengagum yang tulus. Jenderal Augusto Pinochet Ugarte dari Chile, Jenderal Romeo Lucas Garcia dari Guatemala, Roberto DAubuisson dari El Savador, dan Jenderal Alfredo Stroessner dari Paraguay, semuanya pengagum Israel. Demikian pula mendiang Anastasio Somoza Debayle dari Nikaragua.... Para jenderal Amerika Tengah sering mengatakan bahwa mereka mengagumi Israel karena memandang orang-orang Israel yang mereka kenal itu praktis, efisien, dan teguh, dan karena mereka melihat Israel tak merasa terbebani masalah-masalah hak asasi manusia. Orang-orang Israel tak membiarkan masalah hak asasi manusia ini menghalangi urusan mereka, seorang politisi sayap kanan Guatemala yang terkemuka berkata dalam sebuah wawancara barubaru ini: Anda bayar, mereka kirim. Tak ada pertanyaan, tidak seperti orang-orang Barat. Di antara sekutu Israel yang terburuk namanya di Amerika Latin adalah Contra, gerilyawan yang menentang pemerintahan Sandinista di Nikaragua. Contra disusun oleh CIA untuk melawan kaum Sandinista, yang berkuasa setelah menggulingkan kediktatoran Somoza dengan dukungan dari rakyat dan Gereja Katolik di tahun 1979. Contra juga menerima senjata dan pelatihan dari orangorang Israel. Namun, hubungan dekat Israel dengan kaum fasis dan neo-Nazi Eropa tetap berlanjut, sebuah fakta yang sedikit diketahui tetapi tak meragukan. Livia Rokach membeberkan bukti penting tentang hal ini dalam bukunya Israels Sacred Terrorism (Terorisme Suci Israel), yang berdasarkan pada buku harian Moshe Sharett, salah satu perdana menteri pertama Israel. Menurut Rokach, Israel menjalin hubungan akrab dengan organisasi-organisasi dan orang-orang ekstrim kanan di Eropa, dan juga membantu mereka dengan berbagai cara. Misalnya, Rokach mengutip persekongkolan antara negara Yahudi itu dengan mantan jenderal Nazi dan kepala dinas rahasia Jerman Barat, Reinhard Gehlen. Para penulis Israel, Dan Raviv dan Yossi Melman, juga merujuk ke kaitan antara Gehlen dan Israel dalam buku mereka Every Spy a Prince. Mereka melaporkan bahwa Gehlen membina suatu hubungan yang amat dekat antara organisasinya dan Mossad selama menjabat sebagai kepala dinas intelijen Jerman Barat. Di antara kaitan-kaitan Israel yang lebih patut dicatat dengan kalangan ultra-kanan Eropa adalah perkumpulan Masonik P2 (Propaganda Due), dan Gladio, sebuah kelompok yang terkait dengan kegiatan-kegiatan teroris. Mantan mata-mata Mossad, Victor Ostrovsky, mengungkapkan rahasia-rahasia Mossad-P2-Gladio dalam bukunya The Other Side of Deception (Sisi Lain Muslihat), yang diterbitkan tahun 1994 setelah karyanya yang luar biasa, By Way of Deception (Dengan Cara Muslihat). Ostrovsky menulis bahwa pemimpin perkumpulan Masonik P2 yang terkenal jahat, Licio Gelli, adalah sekutu Mossad di Italia, sebagaimana perkumpulan P2 yang dipimpinnya, maupun organisasi Gladio dengan mana ia berhubungan dekat. Sepanjang tahun 1980-an, Mossad berdagang senjata lewat Italia menggunakan jalur Gelli-P2-Gladio.

h. 283 Hubungan Mossad-Gladio yang diungkapkan Ostrovsky adalah penting dan memberi kita petunjuk berharga tentang sekutu-sekutu Mossad di negara-negara lain. Gladio hanyalah cabang Italia dari suatu jaringan besar yang awalnya dibentuk selama Perang Dingin untuk melakukan perlawanan bawah tanah seandainya Soviet menyerbu negara-negara NATO. Selama bertahuntahun, banyak dari cabang-cabang itu disusupi dan diambil alih oleh kaum ekstrim kanan. Karena cabang Italia dari jaringan dunia itu sekutu Mossad dan ikut serta dalam operasi bersama dengan dinas rahasia Israel, kita dapat menganggap bahwa persekutuan serupa ada di negara-negaara lain. Sungguh, buku Ostrovsky The Other Side of Deception memberikan bukti-bukti kuat atas perkiraan di atas. Mantan agen Mossad itu menggambarkan bagaimana Westland New Post, sebuah partai fasis, terkait erat dengan mitra Belgianya Gladio dan bagaimana kedua kelompok Belgia itu terkait erat dengan Mossad. Menurut Ostrovsky, kedua kelompok Belgia itu melakukan sejumlah perampokan, pembajakan, dan pembunuhan politik di pertengahan 1980-an dengan dukungan Mossad. Tujuan tindakan itu adalah menggoyahkan pemerintahan Belgia dan mendorongnya lebih kanan dengan menuduh orang-orang sayap kiri atas semua kejahatan itu maupun pemerintah atas kegagalannya mencegahnya. Ostrovsky menceritakan bahwa tiga anggota kelompok teroris sayap kanan itu, yang terpaksa meninggalkan Belgia, melarikan diri ke Israel dan diberikan jatidiri baru oleh Mossad, sebagai bagian kesepakatan sebelumnya antara orang-orang Israel dan para teroris Belgia. Buku The Other Side of Deceptiion juga menyentuh masalah kerjasama antara Mossad dan kelompok-kelompok fasis Perancis. Dengan demikian, telah jelaslah bahwa Israel menjalin hubungan rahasia yang berpengaruh dengan beberapa organisasi dan rejim fasis di seluruh dunia sebagaimana ditegaskan oleh Profesor Benjamin Beit-Hallahmi, negara Yahudi ini telah mengekspor cara pikir penindas kepada semua pengikut fasisme di seantero dunia. Buku kami New World Order New Masonic Order (1996) memberikan sebuah analisa yang terperinci tentang kaitan erat Israel dengan gerakan fasisme Dunia Ketiga.

Hubungan Israel-Serbia
Persekongkolan Israel dan ideologi Zionismenya dengan gerakan dan pemerintahan fasis di seluruh dunia mulai luas diketahui. Semua menjadi alasan lebih untuk mempelajari dari dekat penyokong utama fasisme saat ini Fasisme Serbia. Untuk mewujudkan tujuan Serbia Raya, pihak Serbia telah melakukan sebuah pembersihan etnis yang mengerikan di Bosnia-Herzegovina. Setelah pecahnya Yugoslavia, orang-orang Serbia pertama-tama menyerbu Kroasia, dan lalu Bosnia-Herzegovina. Serangan Serbia berakibat pada pembantaian lebih dari 200 ribu Muslim Bosnia, yang disertai oleh pemerkosaan, penjarahan, dan tindakan-tindakan kejam lainnya. Mengingat krisis di Bosnia-Herzegovina dan beragam teror yang menyertai serangan itu, kita harus menyelidiki apakah kaitan dengan Israel, yang hampir menjadi suatu bagian baku fasisme, juga ditemukan dalam masalah Serbia ini. Majalah Jerusalem Report (Januari 1995) memberikan jawaban atas pertanyaan ini dalam sebuah artikel karya Profesor Igor Primorac yang mendapat perhatian luas. Artikel itu diterbitkan kembali dalam Jewish Ledger (New York) pada 9 Februari 1995. The Washington Report on

h. 284 Middle East Affairs (April/Mei 1995) juga menurunkan artikel sang profesor itu dengan judul Hebrew University Professor Deplores Israeli Support for Serbs (Profesor Universitas Ibrani Mencela Dukungan Israel bagi Orang Serbia). Sebagaimana dinyatakan judulnya, artikel ini membahas kesepakatan rahasia antara negara Yahudi dan Serbia, sebuah kesepakatan yang memberikan sarana pembunuhan massal di Bosnia. Igor Primorac dilahirkan di Yugoslavia. Ia mengajar di Universitas Beograd sampai awal tahun 1980-an saat berpindah ke Israel. Di sana, ia melanjutkan karir akademiknya pada Universitas Ibrani, tempat ia menjadi seorang profesor filsafat. Dalam artikelnya di Jerusalem Report, Primorac membeberkan kaitan-kaitan rahasia antara negaranya dahulu, Yugoslavia, dan Israel. Menurut Primorac, Mossad menciptakan sebuah strategi dengan mana para pedagang senjata Israel dapat menghindari embargo dunia atas senjata dan amunisi ke Serbia. Profesor itu menyebutkan sebuah peristiwa yang mengungkapkan hubungan Israel-Serbia: Joel Weinberg, seorang Israel anggota organisasi antar-agama yang membantu anak-anak yang terluka di Sarajevo, menceritakan kepada stasiun televisi Channel 2 Israel sebuah kisah yang menarik. Ia mengisahkan bahwa seorang tentara pasukan PBB di Sarajevo tak dapat mengenali asal sebuah pecahan selongsong mortir yang meledak di bandara Sarajevo, dan meminta Weinberg memeriksanya. Weinberg dengan cepat mengenali tulisan pada pecahan itu sebagai huruf Ibrani: pecahan itu dari peluru mortir biasa berukuran 120 mm yang dibuat untuk Angkatan Darat Israel. Selongsong khusus ini telah membuat PBB menunda penerbangan-penerbangan bantuan ke Sarajevo: beberapa peluru seperti itu telah menyebabkan banyak korban. Weinberg juga menyatakan bahwa ia sering melihat pasukan Chetnik Serbia menggunakan Uzi (senjata otomatis buatan Israel). Profesor Primorac menyebutkan dalam artikelnya bahwa ada saksi-saksi mata lain atas penggunaan senjata buatan Israel di Bosnia. Para pejabat Israel telah meyangkal lebih dari sekali bahwa mereka memasok senjata ke pihak Serbia. Terlebih, sementara organisasi-organisasi Yahudi di negara Barat telah membuat banyak pernyataan yang mengutuk serangan Serbia semata-mata demi meningkatkan propaganda Holokaus mereka Israel tak pernah mengecam langsung Serbia. (Setelah penerbitan artikel Profesor Primorac di bulan Januari 1995, perdana menteri Israel, Yitzhak Rabin, bersama Raja Hussein dari Yordan, meluncurkan kampanye membantu Bosnia. Tujuan kampanye itu pastilah mengalihkan perhatian dari terungkapnya hubungan rahasia antara Israel dan Serbia.)

Berikut adalah petikan dari artikel Profesor Primorac:


Kecurigaan terburuk orang-orang Israel yang keberatan terhadap kebijakan cenderung proSerbia pemerintahnya menerima dukungan tambahan: dalam perang penaklukan, genosida, dan pembersihan etnis mereka, orang-orang Serbia telah menggunakan senjata-senjata buatan Israel. Pemerintah Israel bersikap bertentangan dengan sebagian besar dunia sejak Yugoslavia mulai pecah. Pada akhir musim panas dan awal musim gugur 1991, ketika serangan Serbia pada Kroasia sedang gencar-gencarnya dan kekejaman Serbia mendapat perhatian seluruh dunia, Israel menerima tawaran Beograd untuk membina hubungan diplomatik. Hanya sanksi PBB terhadap Serbia sajalah yang mencegah calon duta besar Serbia menyerahkan surat kepercayaannya di Yerusalem dan kedutaan besar Israel dibuka di Beograd. Namun, kedutaan besar Serbia (Yugoslavia) di Tel

h. 285 Aviv dibuka sebelum sanksi, dan terus beroperasi dipimpin kuasa usaha. (Israeli Shells on Sarajevo (Selongsong Peluru Israel di Sarajevo), The Jewish Ledger, Rochester, New York, 9 Februari 1995). Setelah menarik perhatian ke sikap pro-Serbia baik pemerintahan Partai Likud maupun Partai Karya, Profesor Primorac memberikan sedikit wawasan ke sejarah latar belakang kelekatan Serbia-Israel: Para politisi kadang merujuk ke Perang Dunia II: pada perang itu, kata mereka, kaum Serbia melawan Nazi dan membantu kaum Yahudi, sementara kaum Kroasia dan Muslim bersekongkol dengan Nazi dan membantu memusnahkan kaum Yahudi. Ini merupakan suatu pengacauan sejarah Yugoslavia yang nyata, di mana ada antek dan pendukung dari setiap kelompok etnis. Ini juga mempraduga sejenis kebijakan biologis: karena apa yang telah dilakukan moyang kaum Serbia, Kroasia, dan Muslim setengah abad yang lalu, kita seharusnya berpihak ke Serbia saat mereka menjalankan genosida dan pembersihan etnik Kroasia dan Muslim hari ini. Primorac memberikan rincian lain atas hubungan antara orang-orang Serbia dan Israel: Israel telah memasok senjata tak hanya kepada Serbia, namun juga kepada Serbia Bosnia, pelaku sebenarnya pembantaian: Serbia tak pernah memusingkan untuk merahasiakan kaitan Israel mereka. Sebuah buku tahun 1992 oleh Dobrila Gajic-Glisic, seorang mantan pegawai staf kantor kementerian perang di Beograd, menjelaskan sebuah kesepakatan besar senjata dengan Israel di bulan Oktober 1991 sekitar sebulan setelah Dewan Keamanan PBB menimpakan embargo senjata kepada seluruh bagian Yugoslavia... Pada saat itu, orang-orang Serbia sedang menggerus Vukovar dan mulai menggranat Dubrovnik. Media di berbagai bagian bekas Yugoslavia telah berulang-berulang melaporkan pasokan senjata Israel pada Serbia. Pada 3 Juni 1993, The European menurunkan sebuah laporan, mengutip sumber-sumber intelijen Barat, tentang suatu kesepakatan senjata yang dibuat Mossad dengan orang-orang Serbia Bosnia. Primorac menarik sebuah pembandingan antara kaum Serbia dan kaum Nazi dan menambahkan: ... genosida pertama di Eropa sejak Holokaus, diselenggarakan sebagiannya dengan senjata-senjata buatan Israel. Sementara tak ada fakta genosida kaum Yahudi di Eropa, adalah fakta bahwa pembantaian yang terjadi di Bosnia-Herzegovina dijalankan dengan bantuan Israel. Buku kami berjudul The Secret Hand in Bosnia: The Untold Story of the Anti-Islamic International Behind the Serbs (Tangan Siluman di Bosnia: Kisah tak Terungkapkan tentang Gerakan Anti-Islam Internasional di Belakang Kaum Serbia) membahas hubungan terselubung antara kaum Serbia dan Zionisme beserta segenap akibatnya dalam politik dunia saat ini.

h. 286 CATATAN PRAKATA Noam Chomsky, The Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians, Boston: South End Press, 1983, h. 15. PENGANTAR: SEJARAH RESMI VS SEJARAH SEBENARNYA Benjamin Beit-Hallahmi, The Israeli Connection: Who Israel Arms and Why, New York: Pantheon Books, 1986, h. ix. Lenni Brenner, Zionism in the Age of Dictators: A Reappraisal, Chicago: Lawrence Hill Books, 1983, h. 267. BAB SATU: KISAH TAK TERUNGKAP PERSEKONGKOLAN NAZI-ZIONIS Roger Garaudy, The Case of Israel: A Study of Political Zionism, London: Shorouk International, 1983, h. 112. Franois de Fontette, Histoire du racisme, Paris: Presses Universitaires de France. Franois de Fontette, Histoire de lantismitisme, Paris: Presses Universitaires de France, 1993, h. 75. Fontette, h. 75. Anikam Nachmani, Greece, Turkey and Zionism, h. 55. Garaudy, h. 91. Garaudy, h. 91. Dikutip dalam Garaudy, Case, h. 115-116. Dikutip dalam Garaudy, The Case of Israel, h. 92. Dikutip dalam Brenner, Zionism, h. 18. Brenner, h. 24. Brenner, h. 25. Francis Nicosia, The Third Reich and the Palestine Question, Austin: University of Texas Press, 1985, h. 18. Nicosia, h. 20. Brenner, h. 30. Brenner, h. 34. Brenner, h. 30. Nicosia, h. 22. Nicosia, h. 17. Nicosia, h. 25. Nicosia, h. 25. Brenner, h. 45. Brenner, h. 48-49. Brenner, h. 49. Brenner, h. 47. Brenner, h. 50. Brenner, h. 51. Brenner, h. 52.

h. 287 Brenner, h. 53-54. Brenner, h. 54. Brenner, h. 58. Brenner, h. 59. Brenner, h. 59. Brenner, h. 60. Brenner, h. 71. Brenner, h. 61. Eustace Mullins, The World Order: Our Secret Rulers, Staunton, VA: Ezra Pound Institute of Civilization, 1992, h. 93. Mullins, h. 126-127. Mullins, h. 154. Brenner, h. 75. Conor Cruise OBrien, The Siege: The Saga of Israel and Zionism, New York: Simon and Schuster, 1986, h. 196, 198. Nicosia, h. 122. Edward Tivnan, The Lobby: Jewish Political Power in US Foreign Policy, New York: Simon & Schuster, 1987, h. 22. Brenner, h. 83. Edwin Black, The Transfer Agreement, London: Macmillan, 1984, h. 373. Brenner, h. 85. Brenner, h. 85. Brenner, h. 86. Brenner, h. 86. Brenner, h. 84. Brenner, h. 84. Brenner, h. 85. Brenner, h. 94. Brenner, h. 98. Brenner, h. 102. Nicosia, h. 219-220; h. 160-164. Brenner, h. 143-144. Faris Yahia, Zionist Relations with Nazi Germany, Beirut: Palestine Research Center, 1978, h. 55. Yahia, h. 56. Brenner, h. 146. Brenner, h. 149. Ralph Schoenman, The Hidden History of Zionism, San Francisco: Veritas Press, 1988, h. 51. Yahia, h. 59-60. Brenner, h. 114. Meir Michaelis, Mussolini and the Jews, Oxford: The Clarendon Press, 1978, h. 69. Brenner, Zionism, h. 112 Brenner, h. 117. Brenner, h. 125.

h. 288 Brenner, h. 125. Mullins, h. 144. Brenner, h. 162-163. Brenner, h. 170. Brenner, h. 171. Brenner, h. 184. Brenner, h. 184. Brenner, h. 188-189. Brenner, h. 190. Brenner, h. 194-195. Brenner, h. 195. Brenner, h. 267. Nathan Yalin-Mor, Israel-Israel, Histoire du Groupe Stern 1940-1948, Paris: Presse de la Renaissance, 1978, h. 98. Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, New York: Viking, 1963, h. 5. Arendt, h. 33-37. Arendt, h. 37. Arendt, h. 37-38. Arendt, h. 37. Arendt, h. 51-52. Arendt, h. 52, 53, 54. Arendt, h. 54-55. Arendt, h. 61. Arendt, h. 68. Arendt, h. 68. Arendt, h. 69. Mark Weber, Zionism and the Third Reich, The Journal of Historical Review, Juli/Agustus 1993, h. 33. Shalom (Istambul), 14 Maret 1990. BAB DUA: DUSTA KAMAR GAS David Cole & Bradley Smith, David Cole Interviews Dr. Franciszek Piper, Director, Auschwitz State Museum [transkrip], Newport Beach, California: Institute for Historical Review, h. 4-5. Wilhelm Stglich, Auschwitz: A Judge Looks at the Evidence, Newport Beach, California: Institute for Historical Review, 1990, h. 43. Fred A. Leuchter, David Irving, Leuchter Report: The First Forensic Examination of Auschwitz, London, 1989, h. 7-8. Leuchter/Irving, h. 9-10 & 19. Leuchter/Irving, h. 7. Leuchter/Irving, h. 7. Leuchter/Irving, h. 7. Leuchter/Irving, h. 8.

h. 289 Cole/Smith, h. 5. Paul Rassinier, Was ist Wahrheit?, Leoni am Starnberger See, Jerman: Druffel, 1978, h. 94. Cole/Smith, h. 2. Dari wawancara pengarang dengan Prof. Robert Faurisson, Lyon II University. Leuchter/Irving, h. 10. Stglich, h. 52. Rassinier, Was ist Wahrheit?, h. 91-94. Cole/Smith, h. 2. Marc Klein, Observations et rflexions sur les camps de concentration nazis, Etudes Germaniques, no. 3, 1946, h. 31; Robert Faurisson, Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers or Improvised Gas Chambers & Casual Gassings at Auschwitz & Birkenau According to Jean-Claude Pressac, 1989, The Journal of Historical Review, Summer 1991, h. 133134. Leuchter/Irving, h. 13-14. Leuchter/Irving, h. 16. Leuchter/Irving, h. 14. Cole/Smith, h. 3. Henri Roques, The Confessions of Kurt Gerstein, Newport Beach, California: Institute for Historical Review, 1989, h. 190-191. Rassinier, Was ist Wahrheit?, h. 93. Stglich, h. 51-52. Leuchter/Irving, h. 18. Leuchter/Irving, h. 16. Stglich, h. 51. Adalbert Rckerl, NS-Prozesse, Karlsruhe, Jerman: C.F. Mller, 1972, h. 48. Lon Poliakov, Brviaire de la Haine, Paris: Calmann-Levy, edisi-edisi 1951, 1960, dan 1979, h. 223, 1974 edition h. 294; Le Monde Juif (Paris), Jan/ Maret 1964, h. 9. Saul Friedlander, Kurt Gerstein ou lAmbiguit du Bien, Paris: Casterman, 1967, h. 106; Historiens et Gographes, no. 273, Mei/Juni 1979, h. 630. Gideon Hausner, Justice in Jerusalem, New York: Harper & Row, 1966, h. 166. Lucy S. Dawidowicz, The War Against the Jews (1933-1945), New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975, h. 148. Robert Neumann, Hitler: Aufstieg und Untergang des Dritten Reiches, Munich: K. Desch, 1961, h. 174. Raul Hilberg, The Destruction of the European Jews, London, 1961, h. 627. Roques, h. 187. Bernd Naumann, Auschwitz-Bericht uber die Strafsache Mulka und andere vor dem Schwurgericht Frankfurt, Frankfurt: Fischer, h. 70. Death Dealer: The Memoirs of the SS Commandant at Auschwitz, ed. by Steven Paskuly, Buffalo: Prometheus, 1992, h. 44. Broszat, h. 126. Arthur R. Butz, The Hoax of the Twentieth Century, Newport Beach, California: Institute for Historical Review, 1977, h. 125, 127. Dari wawancara pengarang dengan Prof. Robert Faurisson.

h. 290 Leuchter/Irving, h. 14. Stglich, h. 49. Stglich, h. 49. Stglich, h. 50. Butz, h. 118. Stglich, h. 50. Leuchter/Irving, h. 15. American Mercury, Oktober 1959, h. 15. Leuchter/Irving, h. 15-16. Emil Aretz, Hexeneinmaleins einer Lge, Phl, Jerman: Franz von Bebenburg, 1973, h. 25;R. Harwood, Did Six Million Really Die?, England, 1975, h. 6. Butz, h. 10. Menurut sosiolog dan ahli demografi Yahudi terkemuka Arthur Ruppin, dikutip dalam Butz, h. 13. The Spotlight (Washington, DC), 11 Januari 1993, h. 3. Meydan Larousse, v. 12. Cole/Smith, h. 2. Butz, h. 125 American Mercury, Oktober 1959, h. 15. Stglich, h. 312-313. Stglich, h. 52. Butz, h. 47. Bernd Naumann, Auschwitz, New York: Praeger, 1966, h. 7. Stglich, h. 43. Stglich, h. 25. Stglich, h. 43-44. Stglich, h. 44. Stglich, h. 44-45. Stglich, h. 32. Stglich, h. 32. Stglich, h. 33. Shalom, 14 Maret 1990. Dikutip dalam Henri Roques, The Confessions of Kurt Gerstein, Newport Beach, CA: Institute for Historical Review, 1989, h. 60. Chelain, h. 204-205. Roques, h. 150. Roques, h. 159. Roques, h. 150. Stglich, h. 50-51. Hermann Langbein, Menschen in Auschwitz, Vienna: Europa-Verlag, 1972, h. 221. Langbein, h. 221. Paul Rassinier, Le Drame des Juifs Europens, Paris: Les Sept Couleurs, 1964, h. 38. Stglich, h. 94. Stglich, h. 218-220.

h. 291 Stglich, h. 95-96. Stglich, h. 96. Rudolf Vrba, I Cannot Forgive, New York: Grove Press, 1964, h. 16-17. Stglich, h. 48-49. Vrba, dikutip dalam Stglich, h. 161. Broszat, h. 130. Benedikt Kautsky, Teufel und Verdammte, Zurich, 1946, h. 273-275, dikutip dalam Stglich, h. 117. Stglich, h. 117. Eugen Kogon, Der SS-Staat, Stuttgart: Europische Verlagsanstalt, 1959, h. 166-167. Stglich, h. 118. Roques, h. 190. Cole/Smith, h. 3. Leuchter/Irving, h. 13. Stglich, h. 51-52. Stglich, h. 104. Cole/Smith, h. 3. Stglich, h. 104. Stglich, h. 55. Nokta (Istambul), 15 Oktober 1989. Shalom, 20 Mei 1987. Shalom, 20 Mei 1987. Nathan Ausubel, Pictorial History of the Jewish People: From Bible Times to Our Own Day Throughout the World, New York: Crown, 1979, h. 296. Shalom, 8 November 1989. Stglich, h. 54. Cole/Smith, h. 2. Mark Weber, Jewish Soap, The Journal of Historical Review, Summer 1991, h. 217. Weber, Jewish Soap, h. 222. Weber, Jewish Soap, h. 222. Stglich, h. 35. Stglich, h. 38. Butz, h. 115. Dari wawancara pengarang dengan Prof. Robert Faurisson; Stglich, h. 35. The Observer (London), 12 Januari 1992. Brenner, h. 233. Brenner, h. 234. Brenner, h. 237. Brenner, h. 242. Stglich, h. 329. Robert Faurisson, Auschwitz: Technique and Operation of the Gas Chambers or, Improvised Gas Chambers & Casual Gassings at Auschwitz & Birkenau According to Jean-Claude Pressac, 1989, The Journal of Historical Review, Spring 1991, h. 25.

h. 292 Faurisson, Auschwitz: Technique: Part II, The Journal of Historical Review, Summer 1991, h. 139. Hurriyet, 24 Agustus 1994. Shalom, 11 Desember 1991. Jewish Chronicle (London), 8 Mei 1992, h. 2. Garaudy, h. 4-5. The Spotlight, 8 Maret 1993. New American View (Washington, DC), 15 Juli 1993. Shalom, 25 Januari 1989. BAB TIGA: KEBIJAKAN ANTI-SEMITISME ISRAEL The National Jewish Post and Opinion (New York), 6 November 1959. New York Times, 24 Juli 1958. New York Times, 13 Desember 1951. Garaudy, h. 128. Alfred M. Lilienthal, What Price Israel?, Chicago: Regnery, 1953, h. 194-196. Dikutip dalam Garaudy, h. 115. Lilienthal, h. 197. Stephen Green, Taking Sides: Americas Secret Relations with a Militant Israel, New York: William Morrow, 1984, h. 50. Green, h. 50. Salinan dalam berkas-berkas terbitan, catatan-catatan milik Document Library Branch, Office of the Assistant Chief of Staff, G-2, Record Group 319, National Archives, Secret Weekly Intelligence Report 112 dari Office of the Director of Intelligence, OMGUS, bertanggal 3 Juli 1948, dikutip oleh Green, h. 50-51. Green, h. 51. Alfred M. Lilienthal, Zionist Manipulations to Induce Immigration to Israel, in Zionism and Racism, Tripoli, Libya: International Organization for the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1977, h. 50. Lilienthal, Zionist Manipulations, h. 50. Lilienthal, Zionist Manipulations, h. 49. Amos Perlmutter, Israel: The Partitioned State: A Political History since 1990, New York: C. Scribners Sons, 1985, h. 113. Trkkaya Ataov, in Zionism and Racism, h. 56-57. Dan Raviv dan Yossi Melman, Every Spy a Prince: The Complete Story of Israels Intelligence Community, Boston: Houghton Mifflin, 1990, h. 38. Lilienthal, Zionist Manipulations, h. 50. Dikutip dalam Lilienthal, Zionist Manipulations, h. 51-52. Jerusalem Post, 21 Juli 1964. Raviv dan Melman, h. 36. New American View, 1 Agustus 1993. Raviv dan Melman, h. 38. Nokta, 16 Juni 1991. Hurriyet, 10 Januari 1985.

h. 293 Gndem, 10 Oktober 1992. Shalom, 6 September 1989. El-Mecelle, 22 Januari 1994. Shalom, 6 Desember 1989. Shalom, 18 Oktober 1989. Shalom, 5 Agustus 1987. Bukan lagi fakta yang tak dapat disangkal bahwa kebijakan-kebijakan mutakhir Negara Israel bergantung pada Taurat (Perjanjian Lama). Kebijakan perluasan wilayah Israel, strategi-strategi militernya, dan bahkan cara-cara penindasan yang dilakukannya di tanah-tanah pendudukan mencerminkan keputusan-keputusan Taurat. La Question Juive, Ilan Halevi, h. 24. Laporan Dr.Thon kali pertama muncul dalam buku berjudul Zionist Colonization History (Sejarah Penjajahan Zionis) yang diterbitkan oleh Massada Publications di Tel Aviv dalam bahasa Ibrani pada tahun 1970. Garaudy, h. 116. I. Rennap, Anti-Semitizm ve Yahudi Sorunu, Istambul, 1991, h. 88-89. Shalom, 16 September 1982. Shalom, 27 November 1991. Shalom, 2 April 1986. Shalom, 2 April 1986. David Musa Pidcock, Satanic Voices Ancient & Modern: A Surfeit of Blasphemy Including the Rushdie Report, Milton Keynes, England: Mustaqim, 1992, h. 164-165. Schoenman, h. 37. Beit-Hallahmi, h. x-xi. Abram L. Sachar, A History of the Jews, New York: Knopf, 1968, h. 352. Andrew J. Hurley, Israel and the New World Order, Santa Barbara, CA: Fithian Press 1991, h. 25, 292. Shalom, 20 April 1988. Shalom, 11Mei 1988. Interview published in Mensuel dinformations gnerales, September 1992. Shalom, 22 April 1992. Yahudi Kltr ve lkeye Dns Problemleri ile ilgili Haber Blteni, Desember 1990. Jewish Chronicle, 17 Desember 1993. Jewish Chronicle, 24 Desember 1993. Washington Report on Middle East Affairs (Washington, DC), Juni 1994. LAMPIRAN: ISRAEL, KAUM FASIS DUNIA KETIGA, DAN GLADIO Beit-Hallahmi, passim. Beit-Hallahmi, h. 76. Beit-Hallahmi, h. 81. Beit-Hallahmi, h. 82. Andrew dan Leslie Cockburn, Dangerous Liaison: The Inside Story of the U.S.-Israeli Covert Relationship, New York: HarperCollins, 1991. h. 218. Chomsky, h. 290. Beit-Hallahmi, h. 86.

h. 294 Beit-Hallahmi, h. 82. Andrew dan Leslie Cockburn, h. 238. Andrew dan Leslie Cockburn, h. 223-226. Beit-Hallahmi, h. 102. Beit-Hallahmi, h. 99. Andrew dan Leslie Cockburn, h. 212, 262, 266-267. Beit-Hallahmi, h. 76, 78. Andrew dan Leslie Cockburn, h. 233-36, 257-58. Raviv dan Melman, h. 57-58. Victor Ostrovsky, The Other Side of Deception: A Rogue Agent Exposes the Mossads Secret Agenda, New York: HarperCollins, 1994, h. 226. Ostrovsky, h. 4-5. Ostrovsky, h. 242. Beit-Hallahmi, h. 248 Keterangan Foto dan Gambar

You might also like