You are on page 1of 46

[HOTD] idul fitRi

October 18th, 2006

Hadist riwayat Umar bin Khathab ra., ia berkata:


Bahwa dua hari ini hari yang dilarang Rasulullah saw. untuk berpuasa, yaitu hari
raya Idul Fitri setelah kalian berpuasa (Ramadhan) dan hari raya makan (daging
kurban) setelah kalian menunaikan ibadah haji

Links:
[shalat-shalat shunnah]
http://www.dzikir.org/b_shalat14.htm
[bagaimana muslimah di haRi Raya]
http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=keluarga&edisi=007&urutan=01
[yang teRlupa di haRi beRbuka]
http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=03
[Hukumnya Puasa 31 hari]
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=835&Itemid=14
[pelajaRan daRi Ramadhan]
http://www.cert.or.id/~budi/articles/khutbah-idul-fitri.PDF
[batasan takbiR idul fitRi dan adha]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5461
[shOlat ied dua kali]
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=818&Itemid=30
[bagaimana tata caRa shOlat ied]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/3721
[haRi Raya beRsama Rasulullah saw]
http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=02
[penyaluRan zakat fitRah]
http://www.fajar.co.id/ramadan/news.php?newsid=114
[ucapan dan jawaban idul fitRi]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/3851
[idul fitRi dan zakat fitRah]
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=987&Itemid=31
[takbiR iedul fitRi dan iedul adha]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/1758

-perbanyakamalmenujusurga-
http://www.dzikir.org/b_shalat14.htm

Tuntunan Shalat
Shalat-shalat Shunnah.

Selain shalat wajib, juga ada shalat sunnah. Macamnya ada lima belas shalat, yaitu :

1. Shalat Wudhu, Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai
wudhu, niatnya :

“Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa” artinya : “aku niat shalat sunnah
wudhu dua rakaat karena Allah”

2. Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika
memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda
“Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk
sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu” (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat
shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah”

3. Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik.
Jumlah rakaatnya miimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah “Barang siapa
shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji
dan Abu Majah). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
dhuha dua rakaat karena Allah”

4. Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu.
Niatnya :

a. Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib.
Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2
atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya:

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku


niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah”

* bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

b. Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu.
Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib
dan 2 rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya :

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Ba’diyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku


niat shalat sunnah sesudah dzuhur dua rakaat karena Allah”

* bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

5. Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah
malam. Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita.
Keutamaan shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur’an. “Dan pada sebagian malam hari
bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan
Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji” (Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya :

“Ushalli sunnatal tahajjudi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat
sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah”

6. Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang
baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan.
Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Istikharah rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat
sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah”

7. Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita
dikabulkan atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat
dengan salam setiap 2 rakaat. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Haajati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
hajat dua rakaat karena Allah”

8. Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga
tidak dibatasi jumlah rakaatnya. “Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau
sedikit” (Al Hadis). Niatnya :

“Ushalli sunnatal rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dua
rakaat karena Allah”

9. Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa
kepada Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya:
“Ushalli sunnatal Taubati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
taubat dua rakaat karena Allah”

10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika
tidak bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak
empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu
salam, Jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

a. Niat :

“Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa” artinya “aku niat shalat
sunnah tasbih dua rakaat karena Allah”

b. Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali.


c. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali
d. Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali
e. Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali
f. Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali.
g. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.

Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali.
Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :

“Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar” artinya : “Maha
suci Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung”.

11. Shalat Tarawih, adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’ pada bulan Ramadhan.
Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. “Yang dikerjakan oleh
Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat”
(H.R. Bukhari). Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka
delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.” (H.R. Ibnu Hiban)

Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20
rakaat dan hal ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian
pada zaman Umar bin Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian
bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada
kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :

“Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam/makmuman) lillahi ta’aallaa”


artinya : “Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah”

12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan
dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub,
berkata Rasulullah “Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima,
kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu
maka kerjakanlah”(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : “Adalah nabi saw. Shalat
sebelas rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua
rakaatdan yang penghabisan satu rakaat“ (H.R. Bukhari dan Muslim)

“Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa”artinya : “Aku niat shalat sunnat witir
dua rakaat karena Allah”

13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10
Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).”Sesungguhnya kami telah memberi
engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan
berqurbanlah karena Tuhanmu – pada Idul Adha - ”(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar
“Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum
berkhutbah.”(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri :

“Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya


: “Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Niat Shalat Idul Adha :

“Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya


: “Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya
matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya
ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :

a. Berjamaah
b. Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
c. Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
d. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
e. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau
surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
f. Imam menyaringkan bacaannya.
g. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at
h. Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha
tentang hukum – hukum Qurban.
i. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
j. Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.

14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari.
Minimal dua rakaat. Caranya mengerjakannya :

a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’
dan I’tidal membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu
sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada rakaat kedua.
b. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu
gerhana bulan harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.

Niat shalat gerhana bulan :

“Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat


gerhana bulan dua rakaat karena Allah”

15. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah
SWT. Niatnya “

“Ushalli sunnatal Istisqaa-I rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya :


“Aku niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a. Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan


berpusa dan meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal
shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan
datangnya murka Allah. “Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah
mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-
hancurnya”(Q.S. Al Isra’ : 16).
b. Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi
kelapangan dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat
Istisqa’
c. Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya
membaca istigfar 9 X dan pada khutbah kedua 7 X.

Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :

a. Khatib disunatkan memakai selendang.


b. Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT
akan mengabulkan permintaan mereka.
c. Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya.

d. Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat


membelakangi makmumnya.
Tuntunan Shalat
Shalat-shalat Shunnah.

Selain shalat wajib, juga ada shalat sunnah. Macamnya ada lima belas shalat, yaitu :

1. Shalat Wudhu, Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai
wudhu, niatnya :

“Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa” artinya : “aku niat shalat sunnah
wudhu dua rakaat karena Allah”

2. Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika
memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda
“Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk
sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu” (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat
shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah”

3. Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik.
Jumlah rakaatnya miimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah “Barang siapa
shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji
dan Abu Majah). Niatnya :

“Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
dhuha dua rakaat karena Allah”

4. Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu.
Niatnya :

a. Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib.
Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2
atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya:

“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku


niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah”

* bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

b. Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu.
Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib
dan 2 rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya :
“Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Ba’diyyatan lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku
niat shalat sunnah sesudah dzuhur dua rakaat karena Allah”

* bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

5. Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah
malam. Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita.
Keutamaan shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur’an. “Dan pada sebagian malam hari
bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan
Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji” (Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya :

“Ushalli sunnatal tahajjudi rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat
sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah”

6. Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang
baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan.
Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Istikharah rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat
sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah”

7. Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita
dikabulkan atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat
dengan salam setiap 2 rakaat. Niatnya :

“Ushalli sunnatal Haajati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
hajat dua rakaat karena Allah”

8. Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga
tidak dibatasi jumlah rakaatnya. “Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau
sedikit” (Al Hadis). Niatnya :

“Ushalli sunnatal rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah dua
rakaat karena Allah”

9. Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa
kepada Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya:

“Ushalli sunnatal Taubati rak’ataini lillahi Ta’aalaa” Artinya : “aku niat shalat sunnah
taubat dua rakaat karena Allah”

10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika
tidak bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak
empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu
salam, Jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

a. Niat :

“Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa” artinya “aku niat shalat
sunnah tasbih dua rakaat karena Allah”

b. Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali.


c. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali
d. Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali
e. Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali
f. Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali.
g. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.

Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali.
Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :

“Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar” artinya : “Maha
suci Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung”.

11. Shalat Tarawih, adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’ pada bulan Ramadhan.
Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. “Yang dikerjakan oleh
Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat”
(H.R. Bukhari). Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka
delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.” (H.R. Ibnu Hiban)

Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20
rakaat dan hal ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian
pada zaman Umar bin Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian
bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada
kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :

“Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam/makmuman) lillahi ta’aallaa”


artinya : “Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah”

12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan
dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub,
berkata Rasulullah “Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima,
kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu
maka kerjakanlah”(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : “Adalah nabi saw. Shalat
sebelas rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua
rakaatdan yang penghabisan satu rakaat“ (H.R. Bukhari dan Muslim)

“Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa”artinya : “Aku niat shalat sunnat witir
dua rakaat karena Allah”

13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10
Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).”Sesungguhnya kami telah memberi
engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan
berqurbanlah karena Tuhanmu – pada Idul Adha - ”(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar
“Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum
berkhutbah.”(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri :

“Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya


: “Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Niat Shalat Idul Adha :

“Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya


: “Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya
matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya
ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :

a. Berjamaah
b. Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
c. Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
d. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
e. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau
surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
f. Imam menyaringkan bacaannya.
g. Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at
h. Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha
tentang hukum – hukum Qurban.
i. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
j. Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.

14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari.
Minimal dua rakaat. Caranya mengerjakannya :

a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’
dan I’tidal membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu
sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada rakaat kedua.
b. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu
gerhana bulan harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.

Niat shalat gerhana bulan :

“Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini lillahita’aalaa” artinya : “Aku niat shalat


gerhana bulan dua rakaat karena Allah”

15. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah
SWT. Niatnya “

“Ushalli sunnatal Istisqaa-I rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa” artinya :


“Aku niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah”

Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a. Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan


berpusa dan meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal
shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan
datangnya murka Allah. “Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah
mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-
hancurnya”(Q.S. Al Isra’ : 16).
b. Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi
kelapangan dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat
Istisqa’
c. Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya
membaca istigfar 9 X dan pada khutbah kedua 7 X.

Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :

a. Khatib disunatkan memakai selendang.


b. Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT
akan mengabulkan permintaan mereka.
c. Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya.

d. Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat


membelakangi makmumnya.
Etika Berhari Raya Laporan: Muhajirin*

[Mimbar]

Oleh Muhajirin*

Hari raya merupakan hari suka cita dan kegembiraan yang telah ditetapkan
Allah SWT. Umat Islam memanfaatkan Idul Fitri dan Idul Adha untuk
mengagungkan assma Allah seraya saling berjumpa, bersilaturahmi antar
sesamanya. Hal ini sudah menjadi budaya yang berakar, khususnya di bumi
pertiwi Indonesia.

Nabi Muhammad SAW telah memberikan tauladan kepada umatnya, bagaimana


hendaknya kedua hari raya tersebut disambut untuk mendapat ridha dan kasih
sayang Allah. Berikut beberapa etika berhari raya:

Niat yang Baik

"Innamal a'malu bin niyah..." kata Nabi dalam sebuah hadis panjang. Sesungguh
amal seseorang itu sesuai dengan niatnya... (HR. Muslim)

Segala pekerjaan haruslah didasari dengan niat yang baik. Karena itu, setiap
muslim selayaknya senantiasa mempunyai niat baik dalam menjalankan segala
aktivitas keseharian, termasuk aktivitas hari raya. Mulai keluar rumah untuk
melaksanakan shalat Id, memakai pakaian yang terbaik, menyediakan berbagai
suguhan untuk para tarnu dan sebagainya, haruslah diniatkan untuk meneladani
perilaku Nabi Muhammad SAW. Memakai pakaian yang baru harus ditujukan
hanya sebagai ekspresi ketaatan terhadap apa yang diperintahkan baginda Nabi
SAW, sekaligus sebagai ungkapan rasa suka cita dalam menyambut suasana
lebaran tersebut. Di samping itu, kegiatan saling berkunjung juga harus
diniatkan untuk menyambung tali siiaturahim, dan untuk membahagiakan orang
yang sedang dikunjungi.

Mandi

Mandi, merupakan kegiatan keseharian rutin yang dilakukan oleh setiap orang.
Hal ini dimaksudkan, selain untuk membersihkan diri dari berbagai kotoran dan
bau badan, juga untuk menjaga kesehatan dan kesegaran. Mandi rutin ini tidak
memiliki indikasi hukum syar'i. Berbeda dengan mandi untuk menghilangkan
hadats besar yang wajib hukumnya dan ada pula beberapa jenis mandi yang
disunnahkan seperti mandi sebelum melaksanakan shalat jurnat.

Demikian pula mandi sebelum shalat Id adalah sunnah hukumnya. Seorang


muslim/muslimah disunnahkan untuk membersihkan diri (mandi) sebelum
berkumpul dengan saudara-saudaranya guna melaksanakan shalat. Hal ini
diharapkan agar para jamaah lainnya tidak merasa terganggu.
Memakai harum-haruman

Seusai mandi, seorang musllm juga dianjurkan memakai harum-haruman


(parfum) sebagai penyempurna dari kebersihan dan aroma tubuh. Ada dua
pendapat mengenai pemakaian parfum yang bercampur alkohol. Ada yang
mengatakan tidak boleh, ada juga yang membolehkannya. Untuk itu seorang
muslim yang baik, hendaknya tidak menggunakan parfum yang terbuat atau
bercampur dengan alkohol dan jugajangan berlebih-lebihan.

Mengeluarkan zakat fitrah

Zakat fitrah merupakan hal wajib yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim
yang mampu. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan berbagi rasa suka cita
dengan kaum fakir miskin dalam menghadapi hari raya tersebut. Lebih dari itu,
juga sebagai sikap taat kepada Allah SWT. Rasulallah SAW pun senantiasa
menganjurkan kepada pengikutnya untuk menunaikan zakat fitrah sebelum
rnereka berangkat ke tempat shalat Id. (HR. Bukhari)

Di Indonesia, pembayaran zakat fitrah biasa dilakukan mulai lima harian


sebelum hari raya tiba. Bahkan di banyak masjid dan mushalla dibentuk panitia
khusus yang menangani zakat tersebut. Kebiasaan ini sudah menjadi sebuah
budaya tersendiri. Bukan tidak mengikuti keafdhaian yang dianjurkan Rasul.
Tetapi lebih melihat azas manfaat, maksudnya jika ia diberikan sebelum shalat
Id, maka kapan lagi ia akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Sementara mereka juga ingin menikmati hari yang penuh suka cita itu, Dengan
demikian, sebagian ulama membolehkannya. Selain itu juga diharapkan agar
kaum Musiimin tidak lupa/lalai melaksanakannya.

Makan 'kurma' sebelum shalat Idul fitri

Baginda Nabi SAW telah mencontohkan bahwa beliau sebelum berangkat ke


tempat shalat Idul Fitri, terlebih dulu memakan beberapa buah kurma. (Shah
‫ٱ‬hal-J ‫ٱ‬mi: 4865) Juga disebutkan dalam riwayat lain bahwa beliau tidak pergi
ke tempat shalat Idul Fitri sebelum beliau makan. Berbeda dengan hari raya
Idul Adha atau Hari Raya Haji, Pada hari raya ini Rasulallah SAW tidak makan
sampai beliau pulang shalat. (HR.Tirmizi)

Bersegera menuju tempat shalat

Rasulallah SAW bersabda "Sesungguhnya pekerjaan yang pertama kali kita


lakukan pada hari raya adalah shalat, kemudian pulang ke rumah untuk
menyembelih hewan kurban. Barang siapa melakukan yang demikian, maka ia
telah menjalankan sunnahku. Dan barang siapa yang menyembelih sebelum
waktu tersebut, maka sembelihan itu dianggap sebagai daging yang disuguhkan
bagi keluarganya, bukan merupakan tuntunanku (tidak dianggap sebagai daging
hewan kurban), (HR. Bukhari)

Ibn Hajar berkomentar dalam kitabnya, Fathal-B 2:530(‫ٱ‬/‫)ٱ‬, "Hadis ini


menunjukkan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim pada hari raya
menyibukkan diri dengan hal-hal selain untuk mempersiapkan shalat Id. Dan
barang siapa yang tidak mengerjakan sesuatu apa pun kecuali mempersiapkan
pelaksanaan shalat, maka ia harus bersegera melakukannya.

Menyuruh wanita dan anak-anak pergi ke tempat shalat

Rasulallah SAW juga memerintahkan para wanita agar ikut serta dalam
melaksanakan shalat Id. Dan tidak hanya disibukkan dengan urusan rumah
tangga. Bahkan rnereka yang dalam keadaan haidh sekalipun tetap dianjurkan
untuk mendekati tempat shalat, dengan maksud agar mereka dapat
menyaksikan kebaikan, merasakan kemeriahan, dan kegembiraan bersama yang
lainnya pada hari itu, (HR. Bukhari dari Ummu Athiyah)

Selain para ibu dan wanita lainnya, anak-anak dengan pakaian barunya juga
dianjurkan untuk dibawa ke tempat shalat, agar mereka juga merasakan hal
yang sama, kendatipun mereka belum tergolong mumayyiz. Ibn Abbas berkata
"Saya pergi bersama Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
Beliau shalat kemudian berkhutbah, setelah itu beliau menghampiri kaum
wanita dan rnernberikan wejangan dan nasehat kepada mereka, sekaligus
menyuruh mereka untuk bersedekah." (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas)

Di lain riwayat disebutkan "Suatu ketika Ibn Abbas pernah ditanya, 'Apakah
karnu pernah merayakan hari Id bersama Rasulullah SAW?' Beliau berkata,
“Pernah dan ketika Itu aku masih sangat kecil." (HR. Bukhari)

Mengumandangkan Takbir dan Tahlil

Seorang Muslim juga disunnahkan untuk bertakbir dan bertahlil, mulai dari
rumah sampai tiba ke tempat pelaksanaan shalat Id. Sikap ini menunjukkan
syi'ar Islam, seKaligus sebagai ekspresi kegembiraan dalam menyambut hari
raya. Di samping itu, juga untuk menunjukkan kepada sesama Muslim bahwa
hari raya sangat lain dari hari sebelum atau sesudahnya. Rasulallah SAW juga
mengumandangkan takbir pada saat hari raya, sejak beliau keluar dari
rumahnya sampai beliau tiba di tempat shalat. (Shah ‫ٱ‬hal-J ‫ٱ‬mi: 5004).
Adapun mengeraskan suara tahlil dan takbir, dilakukan setelah berkumpul di
tempat shalat.

Tidak Shalat Apapun sebelum Shalat Id

Shalat Id tidak didahului dengan shalat apapun, termasuk tahiyatul masjid.


Nabi Muhammad SAW tidak mengerjakan shalat apapun sebelurn beliau
melaksanakan shalat Id. Setiba di tempat shalat disunnahkan langsung duduk,
berzikir dan mengumandangkan takbir. Akan tetapi setibanya di rumah,
Rasulallah SAW mengerjakan shalat sunnah dua raka'at. (HR. Ibn Majah dari Abi
Sa'id)

Tanpa Azan dan Iqamah

Ini merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Jabir,
bahwasannya tidak ada azan dan iqamah dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri
maupun shalat Idul Adha. (HR. Bukhari)

Shalat sebelum khutbah

Berbeda dengan shalat Jumat, di mana Khatib menyampaikan khutbah sebelum


shalat, maka khutbah Id dilaksanakan setelah shalat. Keduanya selaras dengan
apa yang telah dicontohkan oleh Rasulallah SAW dan para khalifah setelahnya.
Dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata, "Aku pernah merayakan hari raya
bersama Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan AN. Dan rnereka semuanya
melaksanakan shalat terlebih dahulu sebelum khutbah. (HR. Bukhari)

Pada saat khutbah, imam menghadap ke arah jamaah

Imam yang bertugas menyampaikan khutbah Idul Fitri maupun idul Adha
diharuskan untuk menghadap para hadirin. Sebagaimana tertera dalam hadis
yang diriwayatkan Abi Said al-Khadri, dimana ia berkata "Bahwa pekerjaan yang
pertama kali dilakukan oleh Rasulallah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha adalah melaksanakan shalat, kemudian beliau berdiri menghadap ke arah
kaum Muslimin dan menyampaikan berbagai nasehat (tausiyah)."

Menyembelih hewan kurban setelah Shalat

Hal ini disunnahkan pada saat hari raya Idul Adha saja. Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali harus dikerjakan pada hari ini (hari
raya Idul Adha) adalah shalat, kemudian pulang ke rumah untuk menyembelih
hewan kurban. Barang siapa melakukan yang demikian, rnaka ia telah
menjalankan sunnahku. Dan barang siapa yang menyembelih sebelum waktu
tersebut, maka sembelihan itu dianggap sebagai daging yang disuguhkan bagi
keluarganya, dan bukan merupakan tuntunanku (tidak dianggap sebagai daging
hewan kurban).

Pemotongan hewan kurban juga sunnah dikerjakan di tempat shalat. Bukan


berarti tidak boleh dilakukan di tempat lain (selain tempat shalat Id), sesuai
dengan kondisi dan keadaan daerah setempat.

Saling bersalam-salaman
Hal lumrah yang biasa dilakukan seusai shalat adalah saling bersalam-salaman.
Sikap seperti ini akan menimbulkan kegembiraan pada setiap jiwa orang
Muslim, sekaligus agar dapat merasakan keceriaan, sebagaimana yang telah
disebutkan dalarn kandungan hadis yang menganjurkan untuk saling berjabatan
tangan. Dan tidak ada hadis yang menjelaskan tata cara yang dianjurkan dalam
pemberian ucapan selamat. Akan tetapi, bisa saja seorang Muslim mendoakan
dan memberikan ucapan selamat kepada saudaranya dengan mengatakan
kepadanya "Semoga Allah SWT menerirna segala amal perbuatan kita,"

Saling bersilaturahim

Menyambung tali persaudaraan (silaturahim) merupakan kewajiban seorang


Muslim pada setiap kesempatan, tidak hanya pada suasana hari raya. Akan
tetapi kedua hari raya ini sangat dimanfaatkan oleh banyak kaum Muslimin
untuk saling bersilaturahim guna mendapatkan perasaan damai dan suka cita
dalam diri kita dan keluargaterdekat.

Dalam berbagai sabdanya, Rasulallah SAW sangat menganjurkan silaturahim. Di


antaranya beliau bersabda, "Barang siapa yang ingin panjang umurnya, dan
murah rezekinya hendaklah ia bersilaturahim." Bahkan disinyalir bagi mereka
yang memutus tali silaturrahim tidak akan masuk surga.

Selalu mentaati Allah dan meninggalkan maksiat

Semua aktivitas kedua hari raya ini akan bernilai ibadah jika dilakukan semata-
mata karena taat akan segala perintah Allah SWT dan sunnah rasul-Nya, Baik
mempercantik rumah, menyediakan aneka ragam makanan dan minuman,
memakai baju baru. Juga menyenangkan dan menggembirakan hati putra-putri
kita supaya mereka juga dapat merasakan keceriaan di hari lebaran. Baik
dengan cara membelikan mereka mainan baru yang bisa membahagiakannya,
mengajak mereka berekreasi dan sebagainya.

Adalah naQf jika hari lebaran dijadikan dalih untuk mengerjakan perbuatan
maksiat demi untuk menggembirakan dan menyenangkan hati. Misalnya banyak
kaum wanita memamerkan aurat dan perhiasan. Anak-anak muda diberikan
kebebasan bergaul tanpa melihat waktu, dengan menghabiskan waktu di
gedung bioskop dan sebagainya, Semua hal ini akan menyebabkan Allah SWT
murka. Oleh karena itu, setiap Muslim senantiasa harus dapat menghindarinya.
Seharusnya perasaan gembira di hari lebaran tidak dengan cara menghalalkan
semua cara. Islam memperbolehkan umatnya untuk bersenang-senang, akan
tetapi hal tersebut tidak sampai melampaui batas-batas yang telah digariskan
oleh Allah.

Seorang Muslim yang teguh dalam memegang etika Islam, akan selalu taat
kepada Allah dan mengetahui haknya dalam keadaan suka maupun duka,
sehingga dengan demikian, ia akan menjadi hamba Allah yang shaleh dalam
berbagai kesempatan.

Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan hari kebahagian itu dengan baik dan
sempurna, sehingga kita benar-benar kembali kepada kesucian jiwa,
sebagaimana makna Idul Fitri.

(Bahan dari berbagai sumber)


*Penulis adalah Dosen IAIN Raden Fatah Palembang

http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=02

HARI RAYA BERSAMA RASULULLAH SAW

Dakwah --- sebelum Rasulullah ` tiba di Madinah, masyarakat jahiliyah


memiliki dua hari raya, hari dimana mereka bermain dan bergembira ria.
Semenjak kedatangan beliau, kedua hari raya itu diganti oleh Allahl
sebagaimana sabda beliau yang berbunyi

"Dahulu kalian memiliki dua hari raya, dimana kalian bermain bersuka ria, kini
Allah telah menggantikan keduanya dengan hari raya yang lebih baik, itulah
hari raya 'idul-fithri dan 'idul adhha" (HR Nasai)

Hari raya dinamakan dengan 'id yang berarti berulang dari waktu ke waktu, bisa
minggu demi minggu, bulan demi bulan atau tahun demi tahun, karena ia selalu
dirayakan berulang-ulang untuk mengenang masa-masa indah dan bahagia.
Setiap ummat tentu memiliki hari raya yang selalu mereka rayakan pada saat-
saat tertentu untuk mengenang masa indah yang pernah terjadi, demikian juga
dengan umat Islam, Allah telah memberikan kepada kita dua hari raya yang
selalu kita rayakan setiap tahunnya, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha,
tidak ada hari raya lain yang dikenal selain kedua hari raya ini. Rasulullah `
memberikan tuntunannya kepada kita bagaimana sebaiknya kita merayakan
hari raya dengan menggabungkan antara ungkapan syukur, zikir, takbir untuk
mengagungkan kebesaran Allah dan bergembiraria dengan bentuk hiburan dan
permainan yang mubah yang tidak bertentangan dengan agama, karena Islam
agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

Pertama, mengumandangkan takbir semenjak matahari terbenam pada malam


'idul fitri sampai dilaksanakannya shalat 'id, sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah atas nikmat ibadah puasa yang telah kita jalankan selama
sebulan, karena melalui ibadah ini dosa-dosa yang pernah kita lakukan selama
sebelas bulan dihapuskan. Allahl berfirman:
"…Agar kalian bertakbir atas apa yang Ia tunjukan kepadamu dan agar kalian
bersyukur" (QS al-Baqarah:185)

Semua kaum muslimin, baik laki-laki, wanita, orang dewasa maupun anak-anak
dianjurkan mengumandangan takbir sejak matahari terbenam sampai
dilaksanakan shalat 'Id , di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan, pasar,
disepanjang perjalanan menuju lokasi shalat dan di tempat-tempat lain dengan
suara keras, sesuai perintah ayat diatas dan sebagaimana yang dilakukan oleh
para sahabat Rasulullah dan para tabi'in.

Ibnu Umar a bertakbir di kemah tempat tinggalnya pada hari Mina (hari raya
Idul Adha dan hari Tasyriq) hingga terdengar oleh orang-orang yang berada di
masjid, merekapun bertakbir dan orang-orang di pasar juga ikut bertakbir
hingga menggoncangkan kota Mina dengan gema takbir. Ibnu Umar juga
bertakbir pada hari Mina setelah shalat, di tempat pembaringannya, tempat
tinggalnya, di tempat duduknya dan di tengah perjalanannya. Maimunah juga
bertakbir pada pada hari raya Idul Adha, dan para wanita bertakbir dibelakang
Abban bin Usman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari tasyriq di masjid-
masjid. (HR. Bukhari). Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ummu Atiyah,
katanya: "Kami diperintahkan keluar pada hari raya, hingga kami keluarkan
para gadis dari pingitannya dan wanita-wanita yang haid, mereka bertakbir
bersama laki-laki, berdoa bersama mereka dan mengharapkan keberkahan hari
ini serta kesucianya." (HR Bukhari)

Kedua, disunnahkan pada hari raya mandi lalu memakai pakaian yang bagus dan
wangi-wangian sebagai tanda rasa syukur kepada Allah dan untuk
menampakkan nikmat-Nya, karena hari ini merupakan hari yang penuh
kebahagian. Ibnu Qayyim berkata: "Rasulullah ` memakai pakaian terbagus
yang beliau miliki ketika akan pergi melaksakan shalat 'idul fithri dan 'idul
adhha, beliau memiliki baju khusus untuk hari raya" (Zadul Ma'ad:1/425). Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amara ia berkata: "Ummar membawa
baju kurung terbuat dari sutra tebal yang dijual di pasar, lalu ia mendatangi
Rasulullah dan berkata kepadanya: "Ya, Rasulullah belilah baju ini untuk
berhias pada hari raya dan menyambut para tamu" Rasulullah menjawab: "Baju
ini adalah milik orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat kelak"
Ummar lalu terdiam dalam beberapa lama sampai Rasulullah mengirimkan
kepadanya baju kurung terbuat dari sutra pula, Ummar lalu membawa baju ini
kepada Rasulullah dan berkata: "Wahai Rasulullah engkau mengatakan bahwa
baju ini adalah milik orang yang tak mendapat bagiannya di akhirat kelak, dan
sekarang engkau kirimkan kepada saya baju ini?" Rasulullah menjawab: "Baju ini
engkau jual dan uangnya engkau gunakan untuk membeli kebutuhanmu" (HR.
Bukhari). Rasulullah tidak mengingkari mengenakan pakaian indah untuk
berhari raya, namun yang beliau ingkari adalah memakai baju terbuat dari
sutra.

Ketiga, melaksanakan shalat dua raka'at. Ibnu Abbasa berkata:


"Kami mengikuti shalat 'id bersama Nabi saw, Abi Bakar, Ummar dan Usman
semuanya shalat sebelum khutbah…" (HR. Muslim).
Sifat shalat 'id: Sebagaimana shalat lainnya diwajibkan niat shalat 'id sambil
mengucapkan takbiratul ihram lalu mem baca doa iftitah lalu takbir sebanyak
tujuh kali pada raka'at pertama selain takbiratul ihram dan takbir ruku'dan lima
kali pada raka'at kedua selain takbir bangun dari sujud dan takbir ruku',
disunnahkan mengangkat kedua tangan pada tiap kali takbir dan diantara takbir
disunnahkan membaca tahlil, takbir dan tahmid.

Setelah itu membaca ta'awuz dan surat al fatihah. Jika sesorang tertinggal
beberapa takbir, maka tidak perlu menggantinya tetapi ia harus diam ketika
imam memulai membaca al-fatihah. Shalat 'id disunnahkan secara berjama'ah
sesuai tuntunan Rasulullah ` dan yang dilakukan oleh para sahabat, namun
dibolehkan shalat 'id dilakukan sendiri di rumah (Al-Majmu':5/31). Bagi orang
yang tertinggal shalat 'id dibolehkan shalat empat raka'at atau dua raka'at
seperti shalat biasa tanpa takbir atau dengan takbir. Ibnu Ma'ud berkata:

"Barangsiapa tertinggal shalat 'id hendaklah shalat empat raka'at" (Fathul


Bahri:2/611) dan diriwayatkan dari Anas, jika ia tidak mengikuti shalat 'id
bersama imam di Bashrah, maka ia mengumpulkan keluarganya dan para
budaknya lalu shalat dua raka'at dengan bertakbir.(Al-Mushannaf:2/183)
Keempat, disunnahkan pergi menuju lokasi shalat 'id dengan berjalan kaki
karena Rasulullah ` tidak pernah pergi menuju ke lokasi shalat 'id atau shalat
janazah dengan berkendara (Ibnu Majah). Ali bin Abi Thaliba berkata:

"Disunnahkan mendatangi shalat 'id berjalan kaki" (HR. Turmizi) Turmizi


berkata: Hadis ini hasan dan banyak ulama yang mengamalkannya.

Kelima, sebaiknya shalat 'id dilaksanakan di tanah lapang kecuali jika ada uzur
seperti karena hujan. Ibnu Qoyyim berkata: "Rasulullah ` shalat 'id di lokasi
shalat (bukan masjid), yaitu lokasi yang berada dekat pintu timur Madinah,
tempat ini merupakan tempat para jama'ah haji menyimpan barang mereka,
beliau belum pernah shalat di masjid kecuali sekali ketika hujan turun" (Zadul
ma'ad:1/425). Imam bukhari meriwayatkan dari Abi Sa'id al-khudri, katanya:

"Rasulullah ` keluar pada hari raya 'idul fithri dan 'idul adhha ke lokasi shalat,
dan pertama yang beliau lakukan adalah shalat…." (HR. Bukahri). Mazhab Syafi'i
mensyaratkan pelaksanaan shalat 'id di tanah lapang jika masjid sempit
sehingga tidak dapat menampung jama'ah, namun jika masjid luas, maka
pelaksanaan shalat 'id tanah lapang termasuk menyalahi keutamaan, karena
para imam selalu shalat 'id di Makah di masjid dan masjid adalah tempat yang
paling mulia dan suci. (Al-Majmu':5/6-7)

Keenam, kaum wanita dan anak-anak dianjurkan pergi ke tempat


diselenggarakannya shalat 'id baik gadis, orang tua dan wanita yang haid. Bagi
wanita haid agar menjauh dari lokasi shalat dan ikut mengumandangkan takbir
bersama serta mengharap berkah hari ini. Ummu Atiyah berkata:

"Dari Ummu 'Atiyah, ia berkata: "Rasulullah ` memerintahkan kepada kami agar


mengeluarkan para wanita pada shalat 'idul fitri dan 'idhul adhha, begitu pula
anak-anak perempuan yang mendekati baligh, gadis-gadis yang dipingit dan
wanita yang sedang haid. Mereka yang haid tidak ikut melaksanakan shalat,
namun hanya mengharap kebaikan dan berdoa bersama kaum muslimin" (HR.
Bukhari)

Ketujuh, disunnahkan menyantap makanan sebelum pergi shalat 'idul fithri dan
setelah shalat 'idul adhha. Dari Buraidah, katanya:

"Rasulullah ` tidak pergi untuk shalat 'idul fitri kecuali beliau menyantap makan
terlebih dahulu dan tidak makan pada hari raya 'idul adhha kecuali setelah
kembali dari shalat 'idul adhha" (HR. Turmizi)

Kedelapan, disunnahkan pergi dan pulang pada shalat 'id melalui jalan yang
berbeda. Dari Abu Hurairahakatanya:

"Rasulullah ` jika keluar pada hari raya kembali melalui jalan yang berbeda
dengan jalan yang dilalui ketika pergi" (HR. Turmizi)
Kesembilan, tidak disyari'atkan azan dan iqamah pada shalat 'id. Ibnu Qoyyim
berkata: "Jika Rasulullah ` tiba di lokasi shalat, beliau memulai shalat tanpa
azan dan iqamah atau mengucapkan: as shalatu jami'ah" (Zadul ma'ad:1/427)

Kesepuluh, tidak ada shalat sunnah yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat
'id. Imam Bukhari menuliskan bab dalam kitabnya: "Bab shalat sebelum 'id dan
setelahnya" Beliau membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbasa ia berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah ` keluar pada hari raya 'idul fithri kemudian beliau
shalat dua raka'at tanpa shalat sebelumnya maupun setelahnya" (HR. Bukhari).
Jika shalat 'id dilaksanakan di masjid, maka boleh shalat sunnah tahiyyatul
masjid dan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah selainnya. Sedangkan jika
dilaksanakan di tanah lapang, maka tidak ada shalat sunnah yang dilakukan
sebelumnya berdasarkan hadis di atas dimana Rasulullah ` setelah tiba di lokasi
shalat 'id beliau tidak melaksanakan shalat sebelum dan setelahnya.

Kesebelas, khutbah 'idul fitri dan 'idul adhha dilakukan setelah shalat dengan
dua kali khutbah. Ibnu Ummar berkata: "Sesunggauhnya Rasulullah `, Abu Bakar
dan Usman a semuanya melaksanakan shalat 'id sebelum khutbah" (HR.
Bukhari). Jabir berkata: "Saya menghadiri shalat 'id bersama Rasulullah `,
beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah lalu beliau
berdiri bersandarkan kepada Bilal, memerintahkan (manusia) bertakwa kepada
Allah dan mentaatiNya, memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka
lalu beliau menuju ke tempat kaum wanita untuk memberikan peringatan dan
nasehat kepada mereka" (HR Bukhari Muslim).
Mendengarkan khutbah bukanlah syarat sah shalat 'id, karena itu tidak mengapa
jika seseorang pulang setelah melaksanakan shalat, namun mendengarkanya
adalah lebih baik agar seseorang memperoleh ilmu yang disampaikan khatib.
Abdullah al-musayyib berkata:

"Saya mengikuti shalat 'id bersama Rasulullah saw, ketika telah selesai
melaksanakannya, beliau berkata: "Kami akan menyampaikan khutbah, siapa
yang ingin mendengarkannya duduklah dan siapa yang ingin pulang pulanglah"
(HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Keduabelas, diperbolehkan mengisi hari raya dengan bentuk hiburan dan


permainan yang mubah dan tidak mengandung kemaksiatan untuk menambah
suasana kegembiraan pada hari ini. Imam Bukhari menulis sebuah bab di dalam
kitabnya dengan judul: "Bab sunnah hari raya 'idul fithri dan 'idul adhha bagi
ummat Islam" dalam bab ini beliau membawakan dua buah hadis, salah satunya
sebuah hadis ang diriwayatkan oleh Aisyaha ia berkata:

"Abu Bakar menemui kami ketika dua orang gadis dari kalangan Anshar sedang
bernyanyi menuturkan peristiwa hari Buak (hari kemenangan suku Aus atas suku
Khazraj) yang menjadi buah bibir kalangan Anshar. Aisyah berkata: "Keduanya
bukan penyanyi". Abu Bakar berkata: "Apakah pantas seruling syetan di rumah
Rasulullah?". Hari itu adalah hari raya. Rasulullah saw berkata: "Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya
kita" (HR. Bukhari). Hadis ini juga dibawakan oleh Imam Muslim di dalam kitab
shahihnya dengan judul: "Bab rukhshah (diperbolehkan) permainan yang tidak
mengandung maksiat pada hari raya"

Ketiga belas, Diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya. Ibnu Hajar


berkata dalam Fathul-Bahri: "Kami meriwayatkan dalam Al-Mahamaliyah dengan
isnad yang baik dari Jubair bin Nafir: "Para sahabat Rasulullah jika bertemu
saling mengucapkan kalimat: "Taqabalallahu minna waminkum" semoga Allah
menerima ibadah kita." (Fathul-Bahri 2/575)

Maraji':
1. Ibnu Hajar Al-'Asqalani: Fathul-Bahri Syarhu shahihil-bukhari
2. An-Nawawi: Syarhu shahihi-bukhari
3. Ibnu Shalih Ali Basam: Taisirul'alam
4. An-nawawi: Al-Majmu' syarhul-muhazzab
5. Ibnu-Qoyyim al-jauziyyah: Zadul-Ma'ad fi hadyi khairul-'ibad
6. Sayyid sabiq: Fifhussunnah

http://www.fajar.co.id/ramadan/news.php?newsid=114
Penyaluran Zakat Fitrah
( 30 Oct 2005, 283 kali baca )

Pertanyaan:
1. Mana yang lebih afdal dalam penyaluran zakat fitrah; langsung kepada fakir miskin atau
melalui amil zakat?
2. Apakah amil zakat mendapat pembagian 12,5 persen dari zakat yang dikumpulkan?

Wassalam, Saade, Kabupaten Sidrap

Jawaban:

1. Zakat fitrah merupakan kewajiban umum bagi setiap muslim, baik lelaki, perempuan, kaya,
miskin, dewasa, dan anak-anak. Tidak ada satupun yang bisa terhindar dari kewajiban tersebut,
kecuali orang yang sama sekali tidak memiliki persediaan makanan di rumahnya pada malam
dan hari Idul Fitri.

Pemberian langsung kepada fakir miskin memiliki titik kelemahan, sebab dapat terjadi
ketidakmerataan pembagiannya, sehingga bertumpuk kepada fakir miskin tertentu. Disarankan
diberikan kepada amil zakat yang dapat melakukan pembagian zakat fitrah secara merata dan
membagikannya sebelum salat Idul Fitri berlangsung.

Sebab, apabila dibagikan sesudah salat Idul Fitri, maka hukumnya tidak lagi sebagai zakat
fitrah, melainkan menjadi sedekah biasa (Hadis dari Ibn Abbas).

2. Angka 12,5 persen diambil dari bagian satu per delapan asnaf yang berhak menerima zakat,
seperti tersebut dalam QS al-Tawbah (9): 60. Menurut Yusuf Qardawi, hak amil 12,5 persen
adalah jumlah maksimal, tidak boleh lebih dari itu, agar kepentingan mustahiq lainnya,
terutama hak fakir miskin, tetap terpelihara.

Hak amil yang dimaksud adalah untuk orang yang bekerja sebagai amil, termasuk biaya
operasionalnya. Wallahu ¹alam bissawab.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=987&Itemid=31

Idul Fitri Dan


Zakat Fitrah
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Oleh : Arwani Syaerozi, Lc *
Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita
akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan.
Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua
hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia.
Oleh : Arwani Syaerozi, Lc *
Dalam Islam kita mengenal beberapa hari kebesaran, dalam satu minggu kita
akan bertemu dengan hari Jum`at, sebuah hari raya dalam tarf mingguan.
Untuk level tahunan kita pun mengenal Idul fitri dan Idul adha, merupakan dua
hari kebesaran level tahunan bagi komunitas muslim se-dunia. Mengenai Ied
yang pertama (Idul fitri) lumrahnya kita lebih perhatian dalam menyambut
kedatangannya dan merasakan lebih semarak dalam setiap kali
memperingatinya.

Idul fitri yang dirayakan pada setiap tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih
sakral jika dibandingkan dengan Idul adha yang terjadi pada tanggal 10
Dzulhijjah, sebab jatuhnya Idul fitri tepat setelah satu bulan penuh kita
melaksanakan ibadah puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal kita
seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.

Ibadah lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul fitri adalah
zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari raya
sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi Islam. Zakat
yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses pemerataan kepemilikan ini,
pelaksanaannya tidak lain merupakan perpindahan harta yang dimiliki oleh
kalangan orang-orang kaya ke tangan orang-orang yang tidak berdaya, tentunya
dengan beberapa syarat dan catatan yang dikupas secara detail dalam kajian
fiqh. Diantara hikmah disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari
Idul fitri adalah agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari
kalangan mampu dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang
memiliki kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan
zakat fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang.

Dari sini penulis merasa perlu untuk me-reaktualisasi makna penyambutan


datangnya hari raya Idul fitri itu sendiri, yang terkadang tanpa disadari
maknanya telah dicupetkan oleh sebagian kalangan dan atau bahkan disalah
artikan. Saya yakin bahwa essensi Idul fitri itu sendiri bukan hanya sekedar
media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu, kerabat, atau teman-
teman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau
lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap ketupat serta aneka
macam makanan dan minuman lainnya. Akan tetapi lebih dari itu, rasa
kepekaan sosial semestinya harus lebih dititik beratkan, atau dengan kata lain
perhatian kita pada realisasi zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih
ditonjolkan Sebab pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat
menghapus penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan
motivasi kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang (kekosongan)
akibat dari konflik.

Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara se-iman yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan oleh ketidak stabilan
politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya
manusia. Tengoklah misalnya di negara Afganisthan, Irak, dan Bosnia yang
sampai saat ini rakyatnya terus dirundung ketidak jelasan nasib dan keburaman
sosial yang diakibatkan tidak stabilnya kondisi politik dan ekonomi negara.

Di berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan


mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam mengisi
harian surat kabar dan layar televisi rumah kita. Realitas buruk ini tidak cukup
dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali keterpurukan politik
dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi sumber utama kesengsaraan,
sementara kita yang menjadi saudara se-imannya hanya sibuk dengan urusan
pribadi bahkan dengan kebahagiaan nisbi dalam perayaan-perayaan. Justru
adanya langkah nyata dari kita lah yang akan membantu mengeluarkan mereka
dari belenggu kesengsaraan, tentunya dengan bantuan baik berupa moril
maupun materil. Dan zakat fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil
yang bisa kita salurkan kepada mereka. Apalah artinya kalau kita berbahagia
bersama anak cucu, karabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang
notebene saudara se-iman justru merasakan suasana kebalikannnya. Akankah
fenomena kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat
menghantui mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga
sama sekali tidak membangkitan rasa peduli kita ? atau bahkan kita akan
menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka
dalam menjalani kehidupan berbangsa ? Sungguh sangat naif kalau dalam diri
kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rasul saw pernah mengingatkan
umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, “ bahwa kemiskinan akan
menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran “. Apakah kita rela kekufuran
akan mengganti intisari keimanan mereka ? Bukankah Rasul Saw juga pernah
bersabda bahwa “ orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka
dia tidak termasuk darinya “. Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup
untuk mencambuk kepasifan kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan
kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.

Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan
menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu
tujuan pokok Islam.

Para fuqaha (pakar hukum Islam) secara aklamasi telah menyepakati bahwa
adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya bagi masyarakat muslim
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin Kalau demikian
adanya, mengapa pada kesempatan Idul fitri kali ini nurani kita tidak tergugah
untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara se-iman yang hidup
dalam belenggu kesengsaraan.

Sekali lagi, makna Idul fitri bukan hanya “perayaanâ€‌ sepihak, hari raya ini
bukan milik segelintir orang saja akan tetapi kebahagiaan tersebut harus
dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia
lintas profesi dan tingkat strata sosial.
Wallahu A`lam

* Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana Syari`ah Islamiyah Spesifik


Ushul Fiqh Universitas Ezzitouna Tunis, Peminat masalah-masalah sosial dan
keagamaan

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5461

Batasan Takbir Idul Fitri Dan Adha

Pertanyaan:

kapan batasan takbir idul adha & fitri, apakah disunnahkan membaca takbir
selesai sholat wajib, kalau disunnahkan apa bacaan setelah takbir, apakah kita
membaca dzikir-dzikir seperti selesai sholat wajib.

Abdullah

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil
Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Para fuqaha bersepakat atas disyariatkan takbir pada dua hari raya �Idul Fithri
dan �Iedul Adh-ha ketika berangkat shalat. Begitu juga selesai melakukan
shalat 5 waktu pada hari-hari tasyrik yaitu hingga tanggal 13 Zulhijjah.

Dasar pensyariatan takbir pada dua hari raya �Idul Fithri dan �Iedul Adh-ha
ketika berangkat shalat adalah firman Allah SWT :

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu


mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah : 185)

Sedangkan dasar pensyariatan takbir pada tiap-tiap selesai shalat fardhu


selama hari tasyrik adalah firman Allah SWT berikut ini.

Dan berdzikirlah kepada Allah (bertakbir) dalam beberapa hari yang


berbilang . Barangsiapa yang ingin cepat berangkat sesudah dua hari, maka
tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan , maka tidak
ada dosa pula baginya , bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya. (QS.Al-
Baqarah : 203)

Selain itu ada hadits Rasulullah SAW yang menegaskan dasar perintah untuk
bertakbir di hari tasyrik.

Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW bertakbir pada shalat fajar hari Arafah
hingga shalat Ashar di hari terakhir tasyrik (13 Zulhijjah) yaitu setelah
selesai shalat maktubah . (HR. Ad-Daruquthuny)

Dalam riwayat lainnya juga disebutkan :

Adalah Rasulullah SAW bila shalat shubuh pada hari Arafah mengahdap
kepada para shahabat dan berkata,�Tetaplah di tempat kalian dan ucapkan
(Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar
Wa lillahilhamd). Maka beliau bertakbir sejak dari pagi hari Arahaf hingga
shalat Ashar di akhir hari tasyrik setiap ba;da shalat). >

Secara hukum dan rinciannya, para ulama memang berbeda pendapat, baik
secara hukum maupun waktu-waktunya :

1. Al-Hanafiyah

Al-Hanafiyah bukan hanya menyunnahkan melainkan malah mewajibkan


bertakbir pada setiap selesai shalat lima waktu selama hari tasyrik ini. Dan
tidak boleh terselingi oleh pekerjaan lain selesai shalat. Artinya harus segera
setelah shalat membaca takbir. Baik shalat sendiri maupun shalat jamaah.

Sedangkan shalat yang wajib setelahnya membaca takbir itu adalah sejak
shalat shubuh di hari Arafah hingga shalat ashar keesokan harinya (tanggal 10
Zulhijjah), menurut Al-Hanafiyah. Namun menurut dua shahabatnya, hingga
shalat Ashar di hari terakhir tasyrik. Hingga jumlahnya menjadi 23 kali shalat.
Tanggal Shubuh Zhuhur Ashar Maghrib 'Isya'
10 Zulhijjah 1 2 3 4 5
11 Zulhijjah 6 7 8 9 10
12 Zulhijjah 11 12 13 14 15
113
16 17 18 19 20
Zulhijjah
14 Zulhijjah 21 22 23 - -

2. Al-Malikiyah

Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa takbir itu dilakukan sebanyak 15


kali shalat fardhu, yaitu sejak shalat zhuhur tanggal 10 Zulhijjah hingga
terakhir shalat shubuh pada hari ketiga.
Tanggal Shubuh Zhuhur Ashar Maghrib 'Isya'
9 Zulhijjah - 1 2 3 4
10 Zulhijjah 5 6 7 8 9
11 Zulhijjah 10 11 12 13 15
12 Zulhijjah 16 - - - -
13 Zulhijjah - - - - -

3. Asy-Syafi�iyah

Mereka mengatakan sunnah untuk bertakbir setelah shalat wajib sejak hari 10
Zulhijjah di Mina hingga shalat shubuh tanggal 13 zulhijjah. Ini persis seperti
yang disebutkan oleh Al-Malikiyah.

Namun berbeda dengan dengan mazhab gurunya, Asy-Syafi�iyah tidak hanya


mengkhususnya takbir pada selesai shalat fardhu saja, melainkan disunnahkan
juga pada setiap selesai shalat sunnah seperti dhuha, tahiyyatul masjid dan
lainnya. Sebab menurut mereka takbir adalah syiar.

4. Al-Hanabilah

Waktunya sama dengan pendapat Al-Hanafiyah yaitu sebanyak 23 kali shalat


fardhu sejak shubuh hari Arafah hingga shalat Ashar di hari tasyrik yang
terakhir.

Bedanya adalah bila shalat sendirian, maka tidak disunnahkan untuk bertakbir.
Dasarnya adalah qaul Ibnu Ma�ud :
Takbir itu hanyalah untuk mereka yang shalat secara berjamaah. (HR. Ibnul
Munzir)

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/3851

Ucapan Dan Jawaban Idul Fitri

Pertanyaan:

ucapan idul fitri yang saya tahu adalah: 'taqabbalallahu mina wa minkum' dan
jawaban yang saya tahu adalah: 'taqabbal yaa karim' dan 'shiyamana wa
shiyamakum' dan 'amin' saja, diantara semua jawaban manakah haditsnya yang
paling shahih? dan apakah ucapan 'taqabbalalahu mina wa minkum' itu sudah
benar?

Syamila

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin,


wa ba`du,

Ucapan atau doa tahniah ied yang dianjurkan untuk diucapkan ketika kaum
muslimin saling bertemu pada hari raya fithri adalah do�a �Taqobbalallahu
Minnaa Wa Minkum�.

Dari Jabir bin Nufair Ra ia berkata: �Para sahabat Nabi SAW apabila mereka
saling bertemu pada hari raya, sebagian dari mereka berkata kepada yang
lainnya: �Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum� (Semoga Allah menerima amal
ibadah kami dan kalian)� (HR. Al-Muhamili dalam kitab Sholatul �Idain. Lihat
Tamamul Minnah karya Al-Bany hal 354-356)

Jika kita melihat hadis diatas, maka jawaban do�a tahniah �Ied adalah sama
yaitu �Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum� juga.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/3721

Bagaimana Tata Cara Sholat Ied

Pertanyaan:

Assalamu'alikum
Ustadz,bagaimana tata cara sholat ied?apakah ada bacaan antara
takbir?Jazakallah atas jawabannya.
Wassalam

Tono

Jawaban:

Assalamu �alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil �Alamin, Washshalatu Wassalamu �Ala sayyidil Mursalin

Wa �alaa �Aalihi Wa Ashabihi ajma�ien. Wa Ba�du

Sholat Ied merupakan sholat sunah mu�akkad yang dilaksanakan sebanyak dua
rakaat dan dilakukan sebelum pelaksanaan khutbah Ied.

Dari Ummu �Athiyyah Ra ia berkata: �Rasulullah SAW memerintahkan kepada


kami untuk mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita
yang dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang
sedang haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan
kebaikan dan dakwah kaum muslimin� Aku bertanya: �Wahai Rasulullah,
salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab� Beliau menjawab:
�Hendaklah saudaranya memberikan pakaian kepadanya� (HR. Bukhori 324
dan Muslim 890)

Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata: �Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama
Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya
melaksanakan sholat sebelum khutbah� (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884)

Waktu Pelaksanaan Sholat

Sholat Iedul fitri dilaksanakan pada saat matahari telah meninggi seukuran dua
tumbak sedangkan pelaksanaan sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu
seukuran satu tombak.
Dari Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang
untuk melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam
imam yang selalu terlambat dan berkata: �Sesunguhnya ketika kami bersama
Nabi SAW maka pada saat ini kami telah selesai� dan hal tersebut terjadi
ketika sholat sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005)

Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat Ied.

Dalam pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan,


iqomah maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya.

Dari Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: �Aku pernah melaksanakan sholat Ied
bersama Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun
iqomah� (HR Muslim 887)

Shifat Sholat

Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di


rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: �Takbir ketika
sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua� (HR
Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan
Shohih Sunan Ibnu Majah 1056)

Dari Aisyah Ra : �Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan takbir di sholat


Iedul Fithri dan Iedul Adhaa tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat
yang kedua� (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)

Menurut Imam Malik ra dan Auza�i tidak disunnahkan untuk membaca zikir
apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari
Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam
As-Syafi�i ra menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan
lafaz yang tidak ditentukan.

Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum atau sesudahnya.

Dari Ibnu Abbas Ra, berkata : �Ssesungguhnya Nabi SAW keluar untuk
melaksanakan sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat
(sholat Ied), beliau tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau
sesudahnya dan Bilal Ra ada bersama beliau� (HR. Bukhari 989 dan Muslim
884)

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/1758

Takbir Iedul Fitri Dan Iedul Adha

Pertanyaan:

Pak Ustad yang saya hormati, saya akan bertanya tentang masalah pembacaan
takbir, baik pada malam takbiran maupun menjelang sholat Ied Fitri maupun
Ied Qurban dimana oleh Ustad kami pembacaan takbir hanya boleh dibaca 2
kali, sedangkan yang kami dengar dan lakukan selama ini sebanyak 3 kali,
kalaupun ada jamaah yang membacakan 3 kali, itu akan langsung
dipotong/diambilalih oleh ustad kami. Akhirnya para Jamaah lebih banyak
bertakbir didalam hatinya.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah dasar hukum dan dalilnya karena sayapun
ingin masjid dimana saya tinggal menjadi makmur kembali tapi karena ada
perbedaan itu salah satunya jamaah lebih suka ke mesjid di luar RW kami.
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalam
efruddin

Efruddin

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu Was-


Salamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d,

Sebenan\rnya masah jumlah kalimat takbir saat menjelang Idul Fithri atau Iedul
Adha merupakan salah satu khilaf di antara para ulama. Khilaf itu sendiri tidak
akan terjadi bila memang ada dalil yang qathi` yang memastikan julah
bilangannya. Namun �atas kehendak Allah- ternyata dalil-dalil yang ada
memang demikian adanya, dimana ada keterangan dari hadits Rasulullah SAW
yang menyebutkan dua kali dan ada pula yang tiga kali. Sedangkan kedudukan
masing-masing dalil itu sama-sama kuat dan sama-sama punya hujjah yang
�paling tidak- menurut masing-masing pendukungnya memang cukup kuat.

Karena itu, wajarnya kedudukan seorang muslim dalam masalah yang memang
dasar hukumnya (hadits) tidak seragam, tidak menyalahkan atau menganggap
sesat orang yang tidak sependapat dengannya. Apalagi sampai harus pindah
masjid dan pisah shalat `ied-nya. Karena amat mustahil untuk memaksakan
kehendak sesuai dengan selera masing-masing selama memang ada dalil yang
juga kuat dari hadits-hadits nabawi.

Lagi pula masalah takbir itu bukanlah perkara aqidah yang harus dibela mati-
matian sampai-sampai harus mengorbankan ukhuwah dan persatuan. Padahal
ukhuwah dan persatuan itu adalah wajib sedangkan bertakbir itu tidak pernah
sampai pada derajat wajib. Bagaimana mungkin untuk mengejar yang sunnah,
harus mengorbankan yang wajib ???

Lebih jauh tentang perbedaan dalil masing-masing pendapat itu adalah :

1. Pendapat pertama : Jumlah takbir itu dua kali.

Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Jabir. Pendapat ini didukung oleh
sebagian shahabat diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu
Masud. Juga para fuqoha seperti Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah.

Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallah Wallahu akbar,
Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahil-hamd)

Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW mengucapkan takbir setelah
shalat shubuh hari arafah sampai shalat ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik
setelah selesai dari pelaksanaan shalat wajib�. Dalam lafaz lain disebutkan
bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat shubuh pada hari
arafah beliau menghadap kepada para shahabat dan berkata,�Diamlah kalian
di tempat�, lalu bertakbir,�Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah
wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd�. Beliau bertakbir mulai dari
shalat shubuh pada hari arafah sampai Ashar di hari terakhir ayyamuttasyrik�.
HR. Ad-Daruquthuny.

2. Pendapat kedua : jumlah takbir itu tiga kali

Pendapat ini didukung oleh para fuqoha diantaranya adalah Al-Malikiyah dan
Asy-Syafi`iyyah dalam qaul jadid.

Dasarnya adalah hadits diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Sakman dengan


sanad shahih bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Bertakbiralah Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar Kabiiro)�.

Selain itu juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir dan Ibnu Abbas ra.

Lafaznya adalah (Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar). Menurut Al-Malikiyah
lafaz ini lebih baik. Dan bila ditambahkan dengan (Laa ilaaha illallah Wallahu
Akbar Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd) maka baik.

Dan Asy-Syafi`iyyah mengatakan disunnahkan untuk menambah dengan lafaz


(Allahu Akbar Kabiro Wal hamdulillahi katsiro Wa Subhanallahi Bukratan Wa
Ashila). Lafz ini pernah dibaca oleh Rasulullah SAW ketika beliau ada di bukit
Safa.

Dan disunnahkan pula untuk membaca lebih panjang yaitu (Laa Ilaaha Illallahu
La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun. Laa
Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza
Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah. Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar).
Lafaz ini boleh dibaca bila mau menurut Al-Hanafiyah.

Wallahu A`lam Bish-Showab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=818&Itemid=30

Sholat Ied
Dua Kali
Ditulis oleh Dewan Asatidz
-------
Tanya
-------
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saat ini saya dipercaya untuk menjadi panitia Iedul Fitri dan Zakat 2002. Saya
dapat informasi dari Teman yang aktif di Muhammadyah, bahwa Muhammadyah
sudah menetapkan bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 5 Desember (29 hari
bulan Hijrian) maju 1 hari dari kalender Nasional. Kami/ Panitia sudah
memutuskan apabila terjadi perbedaan, Yang kami ikuti adalah Pemerintah.

Yang saya tanyakan :


1. Bisa atau tidak apabila Secara pribadi sudah melaksanakan Sholat di hari
Raya mengikuti Muhammadyah lalu memimpin sholat atau ikut sholat pada
lebaran yang ditetapkan pemerintah. hukumnya apa ikut atau memimpin atau
khotbah di Dua Perayaan yang berbeda.

2. Mengenai Zakat bagaimana pengaturan pendistribusiannya. Masalah lain.


Saya pernah dengar ceramah (Maaf saya sendiri belum mencari hadits) Istri itu
sunahnya kalau sholat harus dirumah. Pertanyaan : Bisa atau tidak kita sholat di
dua tempat satu di masjid satu di rumah mengimami Istri untuk Sholat.
Hukumnya apa?
Didi S.

---------
Jawab
---------
Assalamu'alaikum wr. wb.
Fenomena shalat ied dua kali dalam satu negara, karena perbedaan pendapat
dalam menentukan tanggal 1 Syawwal, akhir-akhir ini muncul di beberapa
negara Islam. Tidak hanya di Indonesia, di Pakistan juga demikian. Mudah-
mudahan ini tidak sampai menimbulkan perpecahan antar umat Islam. Mudah-
mudahan perbedaan seperti itu bisa dijadikan penggugah kesadaran umat Islam
bahwa mereka memang terkadang berbeda dalam masalah furu'iyah, atau
amalan ibadah , namun hati mereka tetap satu, tidak pernah berbeda.

Secara hukum fiqh, hari raya yang benar adalah yang diumumkan oleh
pemerintah, sesuai hadist A'isyah bahwa Rasulullah bersabda "Hari raya Idul Fitri
kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Fitri, hari Idul Adha kalian adalah
dimana mereka semua ber-Idul Adha dan hari Arafat kalian adalah dimana
mereka semua melaksanakan wukuf" (H.R. Tirmidzi).

Para Fuqaha juga sepakat mengatakan bahwa apabila ada satu atau dua orang
melihat hilal, sehingga belum kuat untuk dijadikan landasan bagi pemerintah
untuk menentukan hari ied, ia wajib berbuka puasa sendiri dan mengikuti shalat
Ied besoknya bersama masyarakat. Namun kalau kita mengatakan bahwa
saudara-saudara kita yang melaksanakan shalat ied sebelum pemerintah tidak
sah shalatnya, tentu ini juga tidak akan membawa maslahah, selain akan
memicu perpecahan juga akan membuka prasangka buruk antar sesama muslim,
toh mereka yang melaksanakan shalat Ied lebih dulu mempunyai alasan dan
dalil yang cukup kuat.

Bagi orang awam, tentu tidak ada masalah, sebab mereka hanya melaksanakan
shalat ied sekali itu saja, sesuai yang mereka ikuti. Bagaimana dengan Pak Imam
yang terkadang harus mengimami dua masjid yang berbeda waktu pelaksanaan
Ied-nya, seperti kasus yang saudara kemukakan? Kalau kita kaji secara fiqh,
permasalahannya kembali pada masalah apakah boleh seseorang melaksanakan
satu shalat sunnah dua kali, padahal seharusnya dilaksanakan sekali? Kalau itu
shalat witir, jelas ada nash hadist yang mengatakan "Tidak ada dua witir dalam
satu malam" (Tirmidzi diperkuat oleh Bukhari).

Namun bila itu shalat Ied, tidak ada nash yang menyinggungnya. Di sini kita bisa
mengambil kaidah fiqh yang cukup populer bahwa "al-Aslu fil ibadah al-Hurmah
maalam yarid daliilun 'ala masyru'iyatih" (pada dasarnya ibadah yang tidak ada
dalilnya adalah haram). Melihat pertimbangan ini, jelas shalat Ied pak Imam
yang sah adalah yang waktunya sesuai dengan Ied resmi pemerintah. Adapun
shalatnya yang kedua, belum jelas hukumnya. Bisa saja kita katakan sah,
dengan alasan maslahah, namun ini belum jelas ukurannya. Melihat dari
beberapa pertimbangan tersebut, saya melihat, bahwa imam yang dimintai
menjadi khatib atau imam di dua masjid yang berbeda waktu shalat iednya,
sebaiknya ia menjadi imam hanya pada masjid yang waktu iednya bersamaan
dengan waktu resmi pemerintah. Untuk masjid yang kedua, ia ikut cukup
menjadi ma'mum saja.

Masalah khutbah, ia bisa menyampaikan di kedua masjid. Alasannya adalah


mengambil yang lebih maslahah dari beberapa kemungkinan di atas. Untuk
menjadi imam tentu banyak yang berkemampuan, tidak halnya menjadi khatib
yang memerlukan kemampuan khusus. Wallahu a'la bissowab.

Masalah pendistribusian zakat diberikan kepada penerima zakat sesuai dengan


ketentuan ayat surah Taubah : 60 yaitu sebagai berikut :

1. Fakir, yaitu mereka yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, untuk
mencukupi kebutuhan sehari-harinya

2. Miskin, yaitu mereka yang mempunyai harta dan pekerjaan, namun tidak
mencukupi kebutuhan primer mereka,

3. Amil Zakat, mereka yang mengumpulkan dan mendestribusikan zakat,

4. Muallaf, mereka yang baru masuk Islam,

5. Hamba Sahaya yang diberi kesempatan oleh majikannya untuk membeli


dirinya, 6. Mereka yang terjerat hutang,

7. Sabilillah, untuk mujahidin di jalan Allah,

8. Ibnu Sabil, mereka yang kehabisan bekal dalam perjalanan di jalan Allah,
Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan menjelang di akhir bulan Ramadhan.
Hukumnya wajib. Karena zakat fitrah termasuk zakat wajib, maka penerima
zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat harta.

Sedangkan orang-orang yang dianjurkan untuk diberi sedekah adalah : 1.


Kerabat 2. Tetangga 3. Fakir Miskin 4. Orang-orang soleh 5. Sedekah boleh
diberikan kepada orang berkecukupan dan orang fasiq demi untuk tujuan baik.

Zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang nafkahnya menjadi tanggungan
pemberi zakat, seperti anak dan keturunanya, orang tua dan isteri, karena ini
tidak bisa merealisasikan maksud pemberian zakat dalam arti sesungguhnya.
Zakat diberikan kepada orang yang memerlukan, sedangkan mereka itu tidak
termasuk orang yang memerlukan, karena masih ada yang memberinya nafkah,
yaitu pemberi zakat. Namun para ulama berpendapat, boleh memberikan zakat
kepada orang yang menjadi tanggungan tersebut, apabila ia termasuk golongan
orang yang terjerat hutang atau anggota pasukan yang berjihad di jalan Allah.
Artinya mereka menerima zakat atas nama kelompok ini, bukan atas nama fakir
miskin. Masalah kedua : Memang ada hadist yang mengatakan bahwa "Shalat
perempuan di rumahnya lebih baik dari shalat selainnya" (ABu Dawud dll),
namun khusus pada waktu shalat Ied, Rasulullah memerintahkan wanita-wanita
tua, mereka yang sedang haid, dan gadis-gadis agar keluar pada waktu Ied,
mereka yang sedang haid tidak ikut shalat, namun mereka semua menyaksikan
kebaikan dan do'a umat Islam" (H.R. Tirmidzi dll dari Umi Atiyah). Ini
menunjukkan, sebaiknya kaum wanita juga ikut memeriahkan shalat Idul Fitri.

Bolehkah Shalat Ied sendiri? Ulama Maliki dan Hanafi mengatakan barang siapa
ketinggalan shalat Ied bersama imam, ia tidak boleh melakukannya sendiri,
karena shalat sunnah tidak boleh di-qadla. Shalat ied juga tidak boleh dilakukan
sendiri tanpa berjamaah bersama imam di masjid jami' Ulama Syafi'i dan
Hanbali mengatakan boleh mendirikan shalat ied sendiri dan boleh meng-
qadlanya bila ketinggalan berjamaah.

Wassalam

Muhammad Niam

http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=keluarga&edisi=007&urutan=01

BAGAIMANA MUSLIMAH DI HARI RAYA

Dakwah --- Islam telah mengentaskan kaum wanita dari lembah kebodohan,
kehinaan, keterbelakangan serta penganiayaan dan mengangkatnya ke derajat
yang tinggi, mulia lagi terhormat, mensejarjarkan kedudukannya sama dengan
laki-laki dalam asal penciptaannya sebagai manusia dan dalam mengemban
kewajibannya, iapun memberikan pahala yang sama atas semua amal yang
dilakukannya selama mereka beriman. Rasulullah ` bersabda:

"Sesungguhnya wanita adalah saudara kandung laki-laki". (HR.Abu Daud, Ahmad


dan Turmuzi).

Yah, ia adalah saudara kandung laki-laki, karena keduanya berasal dari


keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Dan jika kita membuka lembaran
sejarah kehidupan generasi awal ummat ini, maka kita akan mendapatkan para
wanita senantiasa berlomba bersama kaum laki-laki dalam melakukan aktivitas
amal kebaikan; mereka menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh
Rasulullah dalam memberikan pengajaran kepada manusia, ikut menghadiri
shalat berjama'ah, shalat jum'at, shalat 'id, i'tikaf di masjid-masjid, dan
bergabung bersama pasukan Islam berjihad di medan perang; menolong dan
mengobati orang-orang yang terluka bahkan sebagian dari mereka ada yang ikut
mengangkat senjata terjun dalam kancah peperangan. Peran dan aktivitas ini
dilakukan berkat dorongan Rasulullah yang senantiasa mendorong wanita untuk
menuntut ilmu, memperbanyak amal kebaikan dan menghadiri pertemuan-
pertemuan yang beliau selenggarakan, serta memerintahkan mereka melakukan
amar ma'ruf dan nahi munkar. Rasulullah ` bahkan memerintahkan kepada
kaum wanita seluruhnya, baik gadis, janda, orang tua bahkan wanita yang
sedang haid, semuanya diperintahkan ikut serta menghadiri shalat i'dul fitri dan
'idul adhha, dan kepada mereka yang memiliki kelebihan jilbab beliau
perintahkan untuk meminjamkan kepada saudarinya yang tak punya.

Dari Ummu 'Athiyah, ia berkata: "Rasulullah ` memerintahkan kepada kami agar


mengeluarkan para wanita pada shalat 'idul fitri dan 'idhul adhha, begitu pula
anak-anak perempuan yang mendekati baligh, gadis-gadis yang dipingit dan
wanita yang sedang haid. Mereka yang haid tidak ikut melaksanakan shalat,
namun hanya mengha rap kebaikan dan berdoa bersama kaum muslimin" Aku
(Ummu 'Atiyah) bertanya: "Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami ada
yang tidak memiliki jilbab?" Beliau menjawab: "Hendaklah saudarinya
meminjamkan jilbabnya kepadanya" (HR. Muslim). Dalam shahih Bukhari ada
riwayat lain yang juga dari Ummu 'Atiyah, ia berkata: "Kami diperintahkan
untuk keluar pada hari raya sehingga kami mengeluarkan anak-anak gadis dari
pingitannya dan wanita-wanita yang sedang haid, mereka berada di belakang
orang-orang ikut bertakbir dan berdoa bersama mereka serta ikut mengharap
berkah kebaikan hari ini dan kesuciannya" (HR. Bukhari). Al-Hafiz Ibnu Hajar
berkata: "Hadist ini telah dijadikan dalil (oleh sebagian ulama) dalam
mewajibkan shalat 'id bagi wanita, namun pendapat ini perlu ditinjau kembali,
karena diantara mereka yang diperintahkan menghadirinya ada orang yang
belum terkena taklif atau beban perintah agama (misalnya: gadis-gadis yang
belum baligh dan wanita yang haid). Tetapi yang nampak dari perintah ini
adalah dalam rangka menyemarakan syiar Islam dengan menekankan kepada
semua wanita hadir berkumpul bersama agar kebaikan hari ini dapat dirasakan
oleh semua orang" (Fathul bari 2/606). Menurut Al-Hafiz, "Hadis ini menunjukan
disunnahkannya semua wanita menyaksikan dua hari raya, baik gadis atau
bukan, wanita terhormat atau bukan." (Fathul bari 2/606)

Hari raya 'idul fitri dan 'idul adhha merupakan hari yang penuh dengan
kebaikan, saat dikumandangkannya syiar Islam dan terekatnya tali ukhuwah
Islamiyah dikalangan kaum muslimin, semuanya bersatu di tanah lapang dalam
suasana kegembiraan dengan hati dipenuhi oleh rasa kasih sayang dan
hilangnya sekat-sekat yang menjauhkan mereka dari sesama saudaranya, kini
semua bersatu mengumandangkan takbir, tahlil dan tasbih serta mengingat
keagungan Allah atas nikmat yang Ia anugrahkan kepada mereka dalam
melaksanakan ibadah puasa sebagai arena untuk membersihkan jiwa dan
fasilatator penghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan, oleh karena itulah
Rasululllah memerintahkan kepada semua wanita untuk keluar menghadiri hari
raya ini agar mereka bisa bergabung bersama kaum muslimin dalam suasana
suka dan ria yang kini sedang dirasakan, memperoleh ilmu yang berguna dari
khutbah yang disampaikan, ikut mengumandangkan gema takbir bersama,
berdoa bersama bagi kebaikan ummat dan kejayaannya, berdoa untuk saudara-
saudara mereka seiman yang saat ini tengah dirundung duka akibat kemiskinan,
kelaparan dan penganiayayan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah, berdoa
agar mereka diberikan ketabahan dan kesabaran dan Allah segera
mengeluarkan mereka dari kesulitan ini. Maka dengan ikutsertanya seluruh
kaum wanita di tempat-tempat penyelenggaraan shalat 'id bersama kaum
muslimin lainnya, mereka akan memahami apa yang sedang dihadapi oleh
ummat ini sehingga akan terbentuk rasa solidaritas sesama muslim, karena
kaum muslimin ibarat tubuh yang satu, jika salah satu anggota lainnya terluka
maka seluruh anggota yang lain ikut terluka pula. Disinilah nilah sosial yang
akan didapati wanita dengan ikut menghadiri penyelenggaraan 'id bersama
walaupun sebagian mereka tidak ikut melaksanakan shalat, disamping nilai
ibadah lainnya, berupa takbir dan doa bersama. Hal ini juga memberikan
gambaran kepada kita bahwa wanita adalah bagian masyarakat yang harus
berperan aktif dalam melakukan kebaikan terhadap saudaranya, aktifitas
mereka tidak hanya terbatas di rumah, namun merekapun bisa melakukan
bahkan sangat dianjurkan melakukan aktifitas sosial. Kepedulian Rasulullah
terhadap wanita sehingga beliau menganjurkan kepada mereka untuk keluar
menghadiri shalat 'id juga ditunjukan dari sikap beliau yang memberikan waktu
khusus bagi mereka setelah belaiu menyampaikan khutbah 'id. Ibnu Juraj
berkata: "Aku diberitahu 'Atha dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:
"Sesungguhnya pada 'idul fitri Rasulullah ` bangun lalu shalat. Beliau
mendahulukan shalat sebelum khutbah, kemudian berkhutbah dihadapan orang-
orang. Selesai khutbah beliau turun dan mendatangi tempat para wanita dan
menyampaikan peringatan kepada kereka sambil bersandarkan tangan Bilal,
sementara Bilal membentangkan tangan kanannya dan para wanita
melemparkan shadakah ke kain Bilal" Aku (Juraj) bertanya kepada 'Atha:
"Apakah itu zakat fithrah?", ia menjawab: "Bukan, tetapi sedekah yang mereka
berikan pada hari itu, mereka lemparkan cincin yang mereka miliki" Aku
bertanya lagi: "Apakah menurutmu seorang pemimpin harus memberikan
peringatan kepada kaum wanita?" Ia menjawab: "Ya, itu adalah kewajiban
seorang pemimpin" (HR. Bukhari)

Ibnu Taimiyah berkata: "Rasulullah ` menyampaikan kepada para kaum wanita


beriman bahwa shalat mereka di rumah lebih utama dari pada ikut menghadiri
shalat berjama'ah dan jum'at kecuali shalat 'id, beliau memerintahkan kepada
semua kaum wanita untuk keluar menghadirinya, karena beberapa alasan:
Pertama: Shalat 'id diselenggarakan hanya sekali dalam setahun, berbeda
dengan shalat berjama'ah dan jum'at.
Kedua: Shalat 'id tidak dapat diganti dengan shalat lain, berbeda dengan shalat
jama'ah atau jumu'ah, karena shalat zuhur yang dilakukanya di rumah
merupakan shalat jumu'ah baginya.
Ketiga: Karena shalat 'id yang dilaksanakan di tanah lapang untuk mengingat
asma' Allah hampir menyerupai ibadah haji pada beberapa segi. (Majmu' Fatawa
6/458)
Yang Perlu Diperhatikan

Seorang wanita ketika keluar untuk menghadiri shalat 'id hendaklah menjaga
beberapa etika berikut:

Pertama, Niat menyemarakan syiar Islam pada hari yang penuh berkah ini dan
mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua, Mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan
telapak tangan. Aisyah a berkata "Para wanita shalat bersama Rasululah `
dengan tubuh terbalut pakaian terbuat dari bulu, mereka tidak dapat dikenal
karena gelapnya malam" (Muttafaqqun'alaih). Busana muslimah yang sesuai
dengan agama disamping harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan
tangan, juga tidak boleh membentuk poster tubuh sehingga nampak lekukan-
lekukannnya dan tidak tipis sehingga nampak warna kulit yang ada dibalik
busana yang dikenakan serta pakaian itu sendiri tidak menjadi hiasan. Oleh
karena itu wahai saudariku, hati-hatilah terhadap dirimu agar engkau tidak
termasuk golongan orang yang disebutkan Rasulullah ` dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah a Rasulullah ` bersabda: "Ada dua golongan
penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya: pertama: kaum yang
memiliki pecut seperti ekor sapi yang mereka pakai untuk memukul orang-
orang, kedua: wanita yang berpakain tetapi telanjang, mereka berjalan
berliak-liuk seperti punduk unta kurus, mereka tidak dapat masuk surga dan
mencium aromanya, dan sesungguhnya aroma surga didapat dalam jarak
perjalanan sekian dan sekian" (HR. Muslim). Mereka berpakaian tetapi
telanjang, karena tidak memenuhi kriteria busana muslimah.

Ketiga, Keluar tanpa memakai parfum. Dari Abi Hurairaha berkata: Rasulullah `
bersabda: "Wanita manasaja yang memakai parfum tidak boleh ikut menghadiri
shalat Isya bersama kami" (HR. Muslim, Abu Daud dab Nasa'i) Keempat, Tidak
keluar dengan bersolek atau berpakaian yang menapkanan perhiasan. Aisyah ra
berkata: "Seandainya Rasulullah ` melihat keadaan para wanita seperti yang
kami lihat, tentu beliau akan melarang mereka keluar ke masjid seperti orang-
orang Bani Israel melarang para wanita mereka" (Muttafaqqun'alaih).

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&
id=835&Itemid=14

Hukumnya Puasa
31 hari
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pak.. teman saya ada memberikan pertanyaan, dan setelah saya dengar dan
pertanyaan itupunmenjadi pertanyaan bagi saya. pertanyaannya yaitu. Si fulan
tinggal di Jerman dan melaksanakan Puasa Ramadhan di sana. dan pada
Ramadhan hari 30 ia mudik ke Indonesia. menurut hitungan dia sudah puasa 30
hari, tapi sampai di indonesia Ramadhan baru hari ke 29. Seharusnya di tanah
air besoknya ia sudah menikmati lebaran. Eh ternyata masih puasa. Sedangkan
di Jerman sudah lebaran. apakah dia ikut puasa lagi dengan masyarakat di
tanah air, sehingga ia berpuasa 31 hari. atau tidak berpuasa, karena ia sudah
menjalankan puasa selama 30 hari. atau berlebaran saja (tetapi dengan siapa,
wong orang masih berpuasa) Mohon penjelasannya, saya tunggu jawabannya
dari Bapak.

wassalam

Zul.

Assalamu'alaikum wr. wb.

Seseorang yang bepergian, kemudian ia tinggal di daerah yang masyarakatnya


mulai puasa berbeda dengan daerah ia berasal, ia harus mengikuti masyarakat
tersebut dalam menentukan akhir puasa, meskipun ia hanya berpuasa 28 hari
atau lebih 31 hari.

Demikian ditegaskan oleh para ulama Syafi'iyah. Pendapat ini didasarkan kepada
hadist Kuraib, bahwa Umu Fadl mengutusnya pergi menemui Mu'awiyah di Syam.
Ketika ia berada di Syam masuklah bulan Ramadhan, masyarakat kota Syam
berpuasa mulai hari Jum'at. Kemudian Kuraib pulang ke Madina dimana
masyarakat setempat memulai puasa pada hari Sabtu. Ketika sampai masalah
tersebut kepada Ibnu Abbas, ia disuruhnya mengikuti puasa masyarakat Madina
hingga 30 hari, lalu ia bertanya "Apakah tidak cukup kita berpegang kepada
pendapat Mu'awiyah dan puasanya?". Ibnu Abbas menjawab "Tidak, inilah yang
diperintahkan Rasulullah:". Ini juga diperkuat dengan hadist A'isyah bahwa
Rasulullah bersabda "Hari raya Idul Fitri kalian adalah dimana mereka semua
ber-Idul Fitri, hari Idul Adha kalian adalah dimana mereka semua ber-Idul Adha
dan hari Arafat kalian adalah dimana mereka semua melaksanakan wukuf" (H.R.
Tirmidzi). Ini semua merupakan perintah mengikuti hari raya kepada
masyarakat setempat.

Wassalam

Muhammad Niam

.
http://majalah.aldakwah.org/artikel.php?art=utama&edisi=007&urutan=03

YANG TERLUPA DI HARI BERBUKA

Dakwah --- Hari raya bukanlah waktu sia-sia untuk berleha-leha, permainan
dan lupa diri, akan tetapi hari raya ditetapkan untuk melaksanakan zikrullah,
menampakkan nikmatNya atas hamba-hambaNya, memuji dan bersyukur
kepadaNya atas nikmat-Nya. Allahl telah memerintahkan hamba-hambaNya
ketika telah selesai perhitungan (hari-hari Ramadhan) untuk bertakbir dan
bersyukur kepadaNya. Allahl berfirman:

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu


mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. 2:185). Maka bersyukurlah kepada Zat yang telah memberi
nikmat kepada hamba-hambaNya dengan memberi mereka taufiq dan inayah
agar mampu berpuasa, ampunan dan pembebasan dari api neraka dengan
berzikir dan bersyukur kepadaNya serta bertaqwa kepadaNya dengan taqwa
yang sesungguhnya.

Syeikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin berkata: "Kebanyakan orang menyia-


nyiakan waktu-waktu mereka dihari raya dengan begadang, pesta dansa, leha-
leha dan permainan. Bahkan ada di antara mereka yang tidak mengerjakan
shalat pada waktunya atau dengan berjamaah, seakan-akan mereka
menghendaki hal itu untuk menghapuskan pengaruh Ramadhan dari jiwa
mereka, itupun jika ada pengaruhnya, dan mereka memulai kembali bergaul
dengan setan di mana selama bulan puasa mereka jarang bergaul dengannya."

Hari raya adalah ungkapan rasa syukur, bukan sebagai ajang kefasikan, oleh
karena itu, jagalah anak-anak dan kerabat kita (dari kefasikan), perhatikanlah
pakaian istri, putri dan saudara kita yang dipersiapkan untuk berhari raya,
sarankanlah mereka untuk mengenakan pakaian yang memenuhi aturan agama,
jangan memberikan toleransi terhadap penyimpangan apapun yang berkaitan
dengan pakaian ini. Jadilah anda penolong bagi para pemuda umat agar mereka
dapat menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka (dari
hal-hal yang diharamkan).

Termasuk dalam rangka syukur kepada Tuhan atas taufiq dan inayah-Nya
sehingga bisa melaksanakan ibadah puasa Ramadhan serta maghfirah-Nya atas
segala dosa-dosa hendaklah seorang hamba berpuasa enam hari dibulan Syawal,
maka ia seperti orang yang berpuasa setahun penuh, sebagaimana sabda Nabi
`:
"Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam
hari dibulam Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh."(HR. Muslim).

Hari Raya, Untuk Siapa ?


Hari raya adalah masa berbahagia dan bergembira, sedangkan kebahagiaan dan
kegembiraan kaum mukminin di dunia jika mereka mampu menyempurnakan
ketaatan mereka kepada Pencipta dan Tuhannya dan memperoleh pahala atas
amal yang mereka lakukan berkat anugrah dan maghfirah-Nya. Allahl
berfirman: Katakanlah:
"Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan". (QS. 10:58).
Hari raya diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Allah dan penyesalan bagi
orang yang mendurhakaiNya. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang
melaksanakan puasanya dengan baik disiang hari dan menghidupkan malamnya
dengan melaksanakan shalat malam. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang
begadang untuk membaca al Quran, bukan untuk nyanyian-nyanyian dan musik.

Seorang ulama salaf berkata: "Tidaklah seseorang berbahagia dengan selain


Allah kecuali dengan melupakannya untuk ingat kepada Allah. Karena orang
yang lalai akan merasa senang dengan permainan dan hawa nafsunya,
sedangkan orang yang berakal akan merasakan kebahagiaan dengan Tuhannya.
Hasan Bashri berkata: "Setiap hari yang Allah tidak didurhakai di dalamnya
adalah hari raya. Setiap hari yang seorang mukmin memutuskan untuk taat,
berzikir dan mensyukuri Tuhannya, maka hari itu adalah hari raya baginya."

Wahai saudara-saudaraku ! hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang yang


mengenakan baju baru, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang bertambah
ketaatannya.
Hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang yang menghiasi pakaian dan
kendaraannya, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang dosa-dosanya telah
terampuni.
Hari raya tidaklah diperuntukkan bagi orang memperoleh uang dirham dan
dinar, ia hanya diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Yang Maha Perkasa
dan Yang Maha Pengampun.

Wahai orang yang bergembira dihari raya dengan menghiasi pakaiannya, ia


meyakini kematian, namun tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi
bencananya, ia terpedaya oleh saudara-saudara, kawan-kawan dan teman-
teman duduknya, seakan-akan ia merasa terjamin dari cepatnya kebangkrutan.
Bagaimana mungkin mata yang terhindar dari kebaikan akan merasakan
ketenangan dengan hari raya ? bagaimana mungkin gigi yang tidak pernah
merasakan kebahagiaan akan tertawa ? bagaimana mungkin orang yang selalu
bergelimang dengan perbuatan-perbuatan kotor akan merasakan kebahagiaan ?
bagaimana mungkin orang yang tidak mendapatkan keuntungan yang besar
tidak akan menangis ?

Hindarilah Kelalaian
Seorang ulama pernah melihat orang-orang dengan kelalaian yang mereka
lakukan dihari raya, mereka disibukkan oleh makanan, minuman dan pakaian.
Lalu ia berkata: "Seandainya Allah l menceritakan kepada mereka bahwa Ia
telah menerima puasa dan shalat malam mereka. Oleh karena itu, sebaiknya
mereka menyibukkan diri dengan bersyukur (kepada Allah). Dan jika mereka
kuatir Allah tidak menerima amal mereka tersebut, maka sebaiknya mereka
lebih menyibukkan diri mereka (dengan banyak beribadah) !!

Makanan Halal

Abu Bakr al-Marwazi berkata: "Saya pernah mengunjungi Abu Bakr bin Muslim
pada hari raya. Hidangan yang disuguhkannya hanyalah sedikit Kharnub (sejenis
mentimun berwarna hitam dan kering, ia tumbuh dipegunungan negri Syam)
yang telah ia potong-potong ?, maka saya bertanya: "Wahai Abu Bakr ! hari ini
adalah hari raya Idul Fitri dan anda memakan khurnub ?, lalu ia menjawab:
"Janganlah anda memperhatikan ini, akan tetapi perhatikanlah jika saya
ditanya, dari mana anda mendapatkannya ? Apa yang akan saya katakan ?

Tundukkan Pandangan

Seorang sahabat Sufyan al-Tsauri berkata: "Saya pernah keluar bersama Sufyan
pada hari raya, lalu ia berkata: "Tindakan yang pertama kali kita lakukan hari
ini adalah menundukkan pandangan! Pernah suatu ketika Hassan bin Abi Sinan
pulang dari berhari raya, lalu istrinya bertanya: "Berapa wanita cantik yang
telah kamu lihat ?", ia menjawab: "Sejak keluar sampai kembali, saya hanya
melihat ibu jariku ini."

Jangan Lupa Zakat Fithrah

Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim bahwa Ibnu Umar ra. berkata:
"Rasulullah ` telah mewajibkan zakat fitrah dibulan Ramadhan sebanyak satu
sha' kurma atau satu sha' gandum bagi kaum muslimin; hamba sahaya dan orang
merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa." (mutafaqun
'alaih). Zakat fitrah merupakan pensucian bagi orang yang berpuasa dari
kekeliruan dan dusta dan penolong bagi kaum fuqara agar mereka dapat
merasakan kebahagiaan dan kegembiraan dihari raya. Zakat fitrah wajib
dikeluarkan oleh orang muslim yang merdeka dan berakal untuk diri mereka
dan orang-orang yang menjadi tanggungan mereka.

Waktu yang paling baik (utama) untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah waktu
subuh dihari raya sebelum dilaksanakannya shalat 'Id. Dan boleh juga
mengeluarkannya satu atau dua hari sebelum hari raya. Tetapi tidak boleh
mengakhirkannya setelah shalat 'Id. Barangsiapa mengakhirkannya setelah
shalat 'Id, maka zakatnya tidak diterima.

Hari Raya Kaum Muslimin


Ketika Nabi ` datang ke Madinah, beliau melihat penduduknya bermain-main
selama dua hari, lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik
darinya, yaitu hari raya Fitri dan hari raya Kurban."(HR. Ahmad, Nasa'i, dan
Hakim dan ia menghukumi hadis ini sahih). Allahl mengganti untuk umat ini dua
hari untuk bermain-main dan berleha-leha dengan dua hari untuk berzikir dan
bersyukur, maghfirah dan pengampunan.
Di samping itu ada hari raya yang ketiga yang selalu ada setiap minggu, yaitu
hari Jum'at. Di dunia ini kaum muslimin hanya memiliki ketiga hari raya ini.

Yang Patut Dihindari

Setelah ditetapkan bahwa hari raya kaum muslimini adalah ketiga hari raya di
atas, maka jelaslah bahwa setiap hari yang disebut hari raya selain ketiga di
atas termasuk hari raya bid'ah, seperti hari Niruz (tahun baru bangsa Persia),
pesta besar, tahun baru masehi (chrismas), maulid, hari menghirup angin sepoi-
sepoi, hari ibu atau keluarga dan lain-lain. Seorang muslim diharamkan
merayakan hari raya di atas dan ikut serta dengan orang yang
menyelenggarakannya atau mengucapkan selamat kepada mereka, karena ia
merupakan hari raya bid'ah atau hari raya yang telah dihapus dan sebagiannya
merupakan hari raya orang-orang kafir seperti hari raya kaum Yahudi Nasrani
dan lain-lain.

You might also like