You are on page 1of 10

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

Aulia Dwi Nastiti | 0906561452


[Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Kajian Khalayak Media]

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

Kajian khalayak media selalu mengkaji media dari perspektif khalayak. Tema utama yang dibahas di dalamnya berkutat pada dampak yang ditimbulkan media bagi khalayaknya. Secara umum, kita meyakini bahwa media pastilah memiliki efek tertentu bagi khalayaknya. Namun, konten media apa, siapa khalayaknya, dan seberapa besar efek yang ditimbulkan itulah yang selalu menjadi pertanyaan untuk terus selalu dieksplorasi dan dikritisi jawabannya. Dampak yang ditimbulkan konten media bagi khalayaknya bisa sangat beragam. Konten media tertentu bisa saja berdampak siginifikan bagi khalayak yang yang satu, tetapi tidak menghasilkan dampak serupa bagi khalayak yang lainnya. Dampak yang dihasilkan pun bisa berbeda-beda, apakah media tersebut berpengaruh di level kognitif dengan timbulnya kesadaran khalayaknya atau sampai pada level behavioral yang terwujud dalam perilaku tertentu. Adanya differensiasi efek yang ditimbulkan media inilah yang menjadi titik tolak perkembangan riset mengenai efek media. Berbagai kajian mengenai dampak media di awal-awal generasi penelitian mengenai dampak media banyak menyimpulkan bahwa media merupakan institusi yang sangat powerful dalam menetukan perilaku khalayaknya. Penelitian ini seringkali mengasosiasikan media dalam model hypodermic syringe atau dampak media layaknya jarum yang disuntikkan ke tubuh dan menyebar secara langsung ke seluruh pembuluh nadi manusia. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia dengan konsekuensi munculnya berbagai pilihan media yang lebih beragam membawa kajian dampak media pada sebuah kesimpulan yang cenderung mengkritik model jarum hipodermik. Penelitian ini membuktikan bahwa khalayak adalah entitas yang aktif memilih media dan memfilter informasi yang diterima dari media tersebut, sehingga dampak media pada dasarnya tak lain merupakan limited effect. Meskipun demikian, media secara nyata tetap menunjukkan pengaruh yang cukup signifikan dalam membentuk perilaku khalayaknya. Salah satu wilayah penelitian yang seringkali menjadi perdebatan ialah mengenai dampak media yang sarat konten kekerasan dalam membentuk perilaku agresif khalayaknya, terutama khalayak yang masih rentan secara psikologis, seperti khalayak anak-anak dan remaja. Banyak penelitian membuktikan bahwa ekspos terhadap kekerasan yang ditampilkan di media meningkatkan kecenderungan anak untuk berperilaku agresif (Bandura, 1986; Wood, Wong, 1991, dll). Di satu sisi, banyak pula penelitian yang meng-counter argumen ini (McGuire, 1986; Messner, 1986). Atas dasar perdebatan inilah, Berkowitz dan Jo mengadakan suatu kajian yang bertujuan untuk mengetahui kondisi-kondisi yang menyebabkan pengaruh itu terjadi. Untuk mengetahui faktor-faktor determinan ini dibutuhkan spesifikasi proses-proses psikologis yang mengatur
1

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

resepsi seseorang terhadap konten media dan mengatur efek yang timbul setelah mengkonsumsi media tersebut. Dan secara lebih general, diperlukan suatu kajian teoritis yang menjawab bagaimana seseorang bisa terpengaruh oleh apa yang dia lihat atau dia dengar dari media. Hasil pembahasan Berkowitz dan Jo inilah yang pada akhirnya menghasilkan suatu kajian teoritis yang disebut analisis priming. FORMULASI TEORITIS Kerangka teoritis analisis priming berawal dari asumsi penelitian awal Berkowitz (1984; Berkowitz & Rogers, 1986) yang membahas tentang media short-run atau efek-efek jangka pendek yang timbul dalam pikiran dan perilaku seseorang setelah mengkonsumsi media. Berkowitz menekankan argumen bahwa konten yang dimuat media massa selalu memiliki pengaruh temporer pada khalayaknya. Sesaat setelah mengkonsumsi media, siapapun khalayak media tersebut, baik anak-anak maupun orang dewasa, pikirannya pasti akan diwarnai oleh apa yang mereka saksikan di media tersebut. Asumsi ini menjelaskan mengapa sesaat setelah menonton film horror pasti kita akan merasa takut dan ngeri, mengapa setelah menyaksikan drama yang melankolis kita akan merasa sedih dan terharu. Berkowitz meyakini bahwa sekecil apapun dan secepat apapun dampak tersebut bertahan, media pasti tetap memberikan dampak pada khalayaknya. Efek Priming, Jaringan Asosiatif, dan Persebaran Aktivasi Dalam merumuskan analisisnya mengenai efek media dalam jangka pendek ini, Berkowitz melandaskan argumennya pada perspektif kognitif-neoasoasiatif. Perspektif ini menyebutkan bahwa memori manusia pada dasarnya merupakan sekumpulan jaringan yang setiap jaringannya terdiri dari unit-unit atau nodus-nodus yang merepresentasikan elemen substantif pemikiran dan perasaan manusia, yang selanjutnya terhubung melalui lintasan asosiatif. Kuat lemahnya hubungan asosiatif ini ditentukan oleh berbagai faktor, meliputi kontinuitas, similaritas, dan keterkaitan makna. Adanya tradisi kognitif-neoasosiatif ini diperkuat dengan fakta bahwa meskipun proses psikologis dalam diri manusia dianggap mempengaruhi dampak media pada dirinya, tetap masih sangat sedikit model-model dampak media yang mempertimbangkan keterlibatan pemikiran atau proses kognitif dalam diri khalayak sebagai faktor determinasi efek media. Hal ini menyebabkan Berkowitz dan Jo merumuskan suatu kajian teoritis tentang faktor yang mempengaruhi kuatnya hubungan asosiatif antara memori manusia dengan apa yang dihadapinya.
2

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

Berkowitz dan Jo meyakini bahwa dalam nodus-nodus pemikiran manusia, terdapat pemikiran yang memiliki makna lebih atau sebagai makna primer (prime meaning). Oleh karena itu, dengan memberikan stimulus yang serupa dengan makna primer tersebut, stimulus tersebut akan merasuk ke pikiran. Seperti yang dikemukakan Collins dan Loftus (1975), bahwa stimulus tersebut akan menyebabkan aktivasi ide primer yang akhirnya menyebar ke seluruh lintasan asosiatif dalam pemikiran kita. Seiring dengan menyebarnya stimulus tersebut ke dalam jaringan emosi seseorang, maka perasaan dan kecenderungan aksi motoriknya akan ikut teraktivasi (Berkowitz, 1990; Bower, 1981; Lang, 1979). Ide pokoknya ialah bahwa pikiran, perasaan, dan perilaku manusia merupakan sistem yang saling berhubungan. Hal ini sesuai dengan adanya kecenderungan bahwa jika pikiran kita sedang depresi, maka perasaan kita turut menjadi lebih tertekan, dan kita cenderung berperilaku depresif. Demikian pula dengan perilaku agresif yang pada dasarnya cenderung ditimbulkan dari ide-ide yang agresif dengan ditunjang perasaan marah dan emosional. Oleh karena itu, ketika berita kekerasan terus menerus menerpa otak kita, otak sepertinya otomatis menyimpan berita ini. Memori blue print proses priming kekerasan itu akan mempengaruhi kognisi, afeksi dan psikomotorik. Suatu saat violence yang tersimpan ini akan dengan mudah diaktifkan dengan pemaparan (exposure) suatu tindakan atau berita yang berbau violence pula. Apa yang dilakukan orang lain terhadap kita, secara tak sadar akan kita gunakan pula terhadap orang-orang di sekeliling kita. Pemaparan yang secara terus menerus dan sistematis ini bisa memengaruhi persepsi sosial, dan sikap serta perilaku dari seseorang. Gejala ini dikenal dengan nama efek priming (priming effect). Secara teori, efek priming merupakan pengaktifan suatu potential knowledge yang telah tertanam dalam memori manusia. Pengaktifan ini bertujuan untuk mempercepat pemrosesan informasi. Berdasarkan argumen psikologis tersebut, Berkowitz dan Jo menjelaskan tentang kemungkinan yang akan terjadi setelah sesorang mengkonsumsi tayangan kekerasan di media massa, yaitu dalam kondisi tertentu dan kurun waktu singkat, akan terdapat kecenderungan peningkatan (a) pikiran negatif yang mewarnai interpretasi mereka terhadap orang lain; (b) kepercayaan bahwa perilaku agresif dapat dibenarkan dan menguntungkan diri mereka; (c) berperilaku lebih agresif. Eksistensi Efek Priming dalam Interaksi Sosial Efek priming pada dasarnya telah menjadi wilayah penelitian yang menarik yang banyak diaktualisasikan dalam interaksi sosial. Penelitian mengenai kecenderungan perilaku agresif
3

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

akibat efek priming juga dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya. Seperti Wyer dan Srull (1981) yang menunjukkan hubungan antara ekspos terhadap kata-kata yang sifatnya agresif terhadap kata-kata yang terekam di memori otak yang cenderung bersifat agresif ketika diminta menuliskan kembali apa yang terekan dalam memori mereka. Bargh dan Pietromonaco (1982) pun menyebutkan bahwa dampak media terjadi otomatis tanpa disadari oleh khalayak. Dalam merumuskan kajian dampak media jangka pendek, Jo dan Berkowitz mengutip berbagai penelitian dan gagasan lain yang mendukung gagasan dampak media dalam jangka pendek, di antaranya Wilson dan Capitman (1982) tentang dampak romantisme yang merasuki para pemuda setelah membaca buku berjudul Boys-Meet-Girls. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, media pun berdampak pada interaksi sosial. Kemudian peneltian Herr (1986) mengenai korelasi kata agresif dengan tokoh dalam televisi. Khalayak cenderung memposisikan pegulat sebagai tokoh yang agresif dibandingkan dengan juara tenis meskipun dalam realitanya tingkat agresivitas yang dipertunjukkan dalam kedua olahraga tersebut cenderung sama. Selanjutnya, ada penelitian Anderson (1983) menekankan bahwa khalayak yang menempatkan dirinya sebagai karakter dalam tayangan media dan berperilaku seperti tokoh yang mereka tiru dalam tayangan media. KONDISI YANG MENDUKUNG PERILAKU AGRESIF AKIBAT KONSUMSI MEDIA Dalam kaitannya degan media, priming diartikan sebagai proses di mana media massa menekankan konten yang disajikannya pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya. Penekanan terhadap satu peristiwa sekaligus pengabaian terhadap peristiwa yang lain ini menimbulkan konsekuensi berupa perubahan standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271). Adapun kondisi-kondisi yang memfasilitasi atau memungkinkan terjadinya perilaku agresif sebagai akibat priming effect tayangan kekerasan di media antara lain, Makna Komunikasi
Faktor mendasar yang sangat penting dalam mendukung terjadinya pola perilaku agresif ialah makna komunikasi yang disampaikan media bagi diri pribadi khalayak. Pemikiran agresif hanya akan

terstimulasi menjadi aktif hanya jika praktik tindakan agresif yang digambarkan dalam media juga dimaknai agresif oleh para penontonnya. Pemahaman terhadap makna tayangan penting untuk diperhatikan dalam konteks tayangan olahraga yang menunjukkan kontak fisik seperti

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

rugby (American Football). Meskipun perilaku agresif sangat ditonjolkan dalam permainan ini, penonton dapat menilai bahwa tindakan-tindakan ofensif tidak ditujukan untuk melukai lawan, tetapi menunjukkan aturan permainan yang menuntut pemain mempertahankan diri untuk memenangkan pertandingan. Selain itu, perilaku agresif tersebut lebih merupakan simbol kemampuan dan kelihaian pemai. Oleh karena itu, dalam pikiran penonton tidak akan dirangsang secara agresif meskipun hal ini menjadi sebuah pengecualian apabila orang yang menonton seing aktif terlibat dalam kompetisi serupa dan timnya mengalami kekalahan). Penelitian mengenai perilaku agresif dalam olahraga body contact pernah dilakukan Berkowitz dan Alioto (1973). Mereka melakukan eksperimen dengan mengumpulkan beberapa mahasiswa sebagai partisipan, memarahi mereka, dan menayangkan film singkat tentang football. Kemudian mereka diminta untuk menilai film tersebut sebagai adegan agresif alami yang bertujuan melukai orang lain atau perilaku non-agresif yang bermain atas dasar profesionalitas. Hasil eksperimen yang dilakukan membuktikan bahwa para partisipan yang menganggap film tersebut sebagai adegan agresif alami cenderung bersikap lebih agresif kepada orang yang pernah memarahi mereka saat mereka diberi kesempatan untuk membalas dan melampiaskan kemarahan balik. Interpretasi Permisif terhadap Perilaku Agresif yang Disaksikan Selain pemahaman makna tayangan kekerasan, terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi bagaimana proses komunikasi tersebut memicu perilaku agresif khalayak, yaitu tingkat permisivitas. Meskipun khalayak memahami bahwa suatu tindakan dimaknai sebagai tindakan agresif, kecenderungan untuk bersikap agresif dapat dibatasi apabila khalayak berpikir bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan beresiko besar untuk mendatangkan konsekuensi negatif pada dirinya. Sebaliknya, jika penonton menginterpretasikan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan dan justru menguntungkan si agressor, maka penonton cenderung menjadi

permisif terhadap agresi, bahkan sampai titik tertentu justru meningkatkan tendensi mereka untuk bertindak agresif. Dalam riset yang eprnah dilakukannya, Goranson (1969) menguji tingkat interpretasi permisivitas khalayak terhadap tindakan kekerasan dengan cara meminta partisipan untuk menyaksikan tayangan perkelahian di actor yang kalah dihajar sampai babak belur dan setelahnya mereka diminta menyerang tormentor (objek yang disiksa). Namun, beberapa partisipan yang menganggap bahwa actor tersebut pada akhirnya mati karena luka-luka
5

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

menunjukkan keengganan untuk menyerang. Eksperimen ini pada dasarnya membuktikan bahwa keinginan seseorang untuk menyerang setelah menonton tayangan kekerasan dapat dipengaruhi oleh pemikiran menegnai akibat apa yang mungkin ditimbulkan oleh si penyerang. Bagi penonton, tayangan apa yang dimuat di media mungkin saja terjadi pada diri mereka sehingga setelah melihat penderitaan yang dialami oleh penyerang sebagai akibat dari tindakannya, penonton menjadi enggan meniru hal tersebut. Identifikasi terhadap Karakter Identifikasi karakter pribadi penonton terhadap karakter actor yang ditampilkan di media juga turut membentuk perilaku khalayak sebagai akibat dari konsumsi terhadap tayangan media. Penonton yang mengasosiasikan dan menempatkan dirinya sebagai peran agressor dalam suatu adegan kekerasan di media cenderung akan melakukan perilaku yang sama agresifnya dalam realita. Hal ini berusaha dibuktikan oleh Turner dan Berkowitz (1972) dalam eksperimennya. Mereka mengumpulkan beberapa mahasiswa yang sebelumnya telah diprovokasi untuk menyaksikan sebuah film perkelahian. Selama menonton film tersebut, sebagian partisipan diminta untuk berpikir dan menempatkan dirinya sesuai dengan karakteristik tertentu dalam tayangan tersebut, apakah sebagai pihak pemenang, pihak kalah, atau sebagai juri.. Sebagian lagi hanya diminta menonton saja tanpa ada perintah spesifik. Selain itu, sebagian partisipan juga diminta mengatakan hajar (dalam pikiran) tiap kali si pemenang memukul dan menyerang lawannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa partisipan yang memosisikan diri sebagai pemenang dan berpikiran hajar menunjukkan tendensi untuk bersikap lebih agresif dan kejam terhadap tormentor. Realitas Tayangan Media Realitas yang ditampilkan melalui media pada dasarnya merupakan hasil interpretasi media tersebut atau dengan kata lain sebuah representasi yang diinterpretasi secara subjektif. Interpretasi ini melibatkan identifikasi yang dilakukan penonton terhadap tokoh aggressor dalam tayangan media. Realitas yang diterima dan terbentuk dari interpretasi terhadap tayangan media menentukan seberapa besar tingkat keterlibatan penonton secara psikologis dalam kejadian yang ditayangkan media tersebut. Berkowitz dan Alioto (1973) menemukan fakta bahwa setelah menonton film perang, seseorang diprovokasi emosinya akan mengalami kemarahan yang lebih lama dan bertindak secara lebih agresif. Sejalan dengan Berkowitz, Atkin (1983) menemukan bahwa para siswa kelas 5 dan 6 sekolah dasar yang telah menonton liputan berita perkelahian di televisi memiliki kecenderungan menjadi lebih agresif daripada
6

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

teman-teman seumuran mereka yang menonton konten fantasi, iklan komersial, ataupun hiburan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin audiens merasa bahwa tayangan media secara nyata menggambarkan realita kekerasan, maka semakin kuat pula kecenderungannya untuk bersikap agresif. Reaktivasi Jaringan Asosiatif Di faktor-faktor sebelumnya, kita dapat melihat bahwa hal-hal yang mendukung terciptanya perilaku agresif lebih banyak ditekankan pada situasi aktual pemikiran dan perilaku manusia yang terjadi pada saat ia mengkonsumsi tayangan media. Meskipun begitu, terdapat faktor lain yang terbentuk melalui proses pembelajaran. Memori manusia sebenarnya merekam dan menyimpan apa yang pernah dipelajarinya. Apabila disajikan kembali tayangan visual atau kejadian serupa yang pernah ia saksikan atau ia alami sebelumnya, seorang manusia dapat bereaksi lebih terhadap suatu isu daripada isu yang lain karena penyangan kembali tersebut pada dasarnya merupakan stimulus untuk memanggil kembali memori tentang hal tersebut yang pernah terekam dalam pemikiran manusia. Hal inilah yang disebut dengan pengaktivasian kembali jaringan asosiatif manusia. Meskipun rangsangan kembali dapat mempermudah pengaruh media untuk membentuk perilaku manusia, perlu diingat bahwa tidak semua stimulus memiliki kualitas rangsangan yang sama. Proses reaktivasi atau mengingatkan kembali merupakan proses yang lebih mudah terjadi ketika hal stimulusnya berupa gambar visual daripada verbal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa media massa visual seperti televisi dan film memiliki kemampuan mempengaruhi pikiran masyarakat banyak secara lebih kuat dan menciptakan gambaran baru terhadap suatu gambaran realitas yang cepat. Selain faktor internal yang berkaitan dengan reaktivasi memori, terdapat pula faktor eksternal yang mempengaruhi, seperti karakteristik komunikasi yang bersifat agresif tersebut. Karakteristik sebuah komunikasi yang agresif dapat menjadi faktor yang krusial dalam menentukan seberapa kuat komunikasi agresif tersebut dapat me-reaktivasi ide-ide agresif dan tendensi agresivitas. Fenomena memori juga menajdi faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk mengetahuan seberapa lama pengaruh tayangan media dapat bertahan dalam diri publik, baik itu terwujud dalam pemikiran atau telah sampai tindakan. AKTUALISASI KONSEP EFEK PRIMING DALAM REALITA Efek priming bisa terjadi melalui dua cara. Pertama, terjadinya di atas ambang kesadaranya (supraliminal priming) yakni kita tahu bahwa kita sedang mencerna suatu informasi yang
7

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

tersaji. Contohnya, ketika dengan antusias melihat iklan di televisi, atau dengan semangat membaca berita pembunuhan, peperangan, perkosaan yang diekspos secara vulgar. Kedua, terjadinya di bawah ambang kesadaran (subliminal priming). Contoh sederhananya adalah pembicaraan sepintas lalu dari tetangga tentang seseorang, tanpa sadar kita akan menilai orang tersebut sesuai dengan informasi yang kita dengar. Sedangkan menurut sumbernya, efek priming bisa dibedakan atas beberapa kategori. Pertama, material priming dimana sumber priming adalah suatu objek, benda, dan teks. Kay dkk (2004) menyimpulkan bahwa pemaparan suatu material semata, walau tanpa dibumbui oleh kata-kata mampu memengaruhi sikap dan perilaku dari mereka yang terkena pemaparan. Selain benda, yang termasuk ke dalam material priming ini adalah kata, kalimat, dan teks, nama. Kedua adalah procedural priming, yakni sumber priming adalah suatu prosedur atau tata cara yang cenderung berulang-ulang dilakukan. Cara penanganan kasus yang sama walau salah akan cenderung dinilai wajar karena seringnya dilakukan tanpa ada kesadaran untuk meninjau ulang keabsahannya. Implikasi dari fenomena priming bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini ada dua macam. Pertama, terciptanya suatu pelembagaan kekerasan (violence institutionalism). Kedua, akibat yang pertama, violence priming menjadi katalisator bagi perubahan perilaku masyarakat dari masyarakat santun menjadi masyarakat yang beringas (violence society). Pelembagaan kekerasan terjadi karena adanya pemaparan kekerasan melalui prosedural dan material priming yang tak pernah dievaluasi kewajarannya dalam kehidupan bernegara. Banyak kasus di tengah masyarakat dimana konflik diselesaikan dengan kekerasan atau di bawah todongan senjata (procedural priming). Ketidaksesuain politik antara dua kubu partai politik yang berseteru, diselesaikan dengan pengerahan massa alias tukang pukul kedua belah pihak. Pendemo harus dipukuli karena dengan cara ini lah diyakini bisa menyurutkan tuntutan mereka. Sepertinya tak ada cara lain dalam menyelesaikan masalah kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Akibatnya kekerasan menjadi suatu alternatif yang utama dan menjadi solusi ampuh yang pertama kali muncul dalam benak kita. KESIMPULAN Pada dasarnya tayang kekerasan di media dan efeknya terhadap khalayak merupakan isu yang sangat sering dikaji dalam berbagai penelitian mengenai media. Berbagai riset yang ada pada dasarnya membentuk konsen atau menyetujui bahwa tayangan kekerasan yang ditayangkan di media massa dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan. Penelitian yang
8

|ANALISIS EFEK PRIMING DALAM MEDIA|

2010

dilakukan Berkowitz dan Jo dalam kerangka analisis priming ini merupakan penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan bagaimana media tetap memiliki pengaruh pada khalayaknya, baik dalam tataran kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk

menjelaskannya, mereka melandaskan asumsi dan argumennya pada perspektif kognitifneoasosiatif yang membahas mengenai kemampuan memori manusia yang secara psikologis menentukan perilaku manusia tersebut. Dalam perspektif psikologis, efek priming sendiri berarti aktivasi suatu potential knowledge yang telah tertanam dalam memori manusia untuk melakukan suatu tindakan tertentu yang disebabkan oleh adanya rangsangan repetitive dan sistematis dari luar. Media yang memiliki konten kekerasan dapat mengaktivasi ide-ide dan sikap agresif serta memunculkan kecenderungan perilaku anti sosial. Hal ini dikarenakan adanya sikap permisif atas tindakan agresif dengann menganggapnya menguntungkan dan diperbolehkan. Pemikiran seperti ini jamak muncul sebagai konsekuensi penggambaran media. Efek priming tidak hanya muncul akibat dari ekspos pada tayangan kekerasan dan kekejaman yang terjadung dalam konten visual seperti film dan televisi, tetapi juga merupakan hasil interaksi dengan media-media lain yang mengandung elen verbal seperti video games, komik, radio, komik, sampai tayangan olahraga. Analisis priming juga mencatat bahwa efek priming yang dihasilkan merupakan efek yang sifatnya temporer dan bertahan dalam kurun waktu yang singkat. Namun, yang perlu diingat ialah, adanya stimulus serupa yang merangsang pemikiran sesorang dapat mengakibatkan terjadinya reaktivasi atau pemanggilan ulang memori yang berkaitan dengan kejadian yang pernah dialami sebelumnya. Oleh sebab itulah, pengulangan stimulus atau pemaparan gambaran visual kekerasan yang dilakukan secara berulang-ulang dapat meningkatkan probabilitas seseorang untuk berpikir dan bertindak agresif. Di atas segala penjelasan tersebut, terdapat satu hal yang perlu diingat yaitu realita bahwa media massa bukan semata-mata sarana komunikasi, menyampaikan informasi secara luas, sumber pengetahuan, dan hal-hal positif lainnya. Media haruslah dipandang secara kritis sebagai sebuah institusi yang memiliki berbagai kepentingan. Oleh karena itu, konsekuensinya, konten media di sisi lain dapat memberikan pencerahan dan informasi serta pengetahuan yang bermanfaat bagi publik. Namun, di sisi lain, tak terelakkan, konten media tentu mengandung suatu nilai-nilai yang justru kontraproduktif terhadap kehidupan normative yang melahirkan sikap-sikap negatif seperti kekerasan.

You might also like