You are on page 1of 11

THEORY OF MASS COMMUNICATION

Take Home Exam


Aulia Dwi Nastiti - 0906561452 Komunikasi Media 2009

UI
2010

2.

Objektivitas pemberitaan merupakan salah satu isu utama yang selalu saja diangkat dan tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji media massa. Dalam konteks interaksi normatif antara media massa dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, objektivitas menempati peran krusial karena dengan menerapkan obejktivitas dalam tataran praktis, akan tercipta suatu simbiosis mutualisme antara media massa dan publik sebagai konsumen media massa. Media massa akan memperoleh kredibilitas dan kepercayaan dari publik karena berita-berita yang disajikan objektif dan dapat mengakomodasi kebutuhan publik akan informasi yang benar dan akurat. Dengan adanmya public trust tersebut, maka dengan sendirinya nilai berita media memiliki market value yang lebih tinggi1. Sementara itu, publik juga akan diuntungkan karena media selalu menyajikan fakta-fakta yang dapat dipercaya dan diajdikan sebagai rujukan. Namun, pada praktiknya, media seringkali gagal dalam menerapkan konsep objektivitas karena apa yang disebut sebagai objektif seringkali masih bias dan abstrak. Oleh karena itu, Westerstahl (1983, dalam McQuail 2005), berdasarkan penelitiannya di stasiun penyiaran di Swedia, merumuskan sebuah model yang menjelaskan konsep objektivitas dengan disertai kriteria komponen-komponen yang terkandung di dalamnya. Gambar Model Objektivitas Weterstahl (1983)2

Objectivity

Factuality

Impartiality

Truth

Informativeness

Relevance

Balance

Neutrality

1 2

McQuail, D. (2005). McQuail's Mass Communication Theory. New York: SAGE Publication. Ibid., 202

Melalui model tersebut, Westerstahl menjelaskan bahwa objektivitas sebuah pemberitaan pada dasarnya memiliki dua dimensi, yang pertama yaitu dimensi Factuality atau dimensi kognitif, dan dimensi Impartiality atau dimensi evaluatif pemberitaan3. Berdasarkan McQuail (2005), faktualitas berarti pemberitaan yang berdasarkan fakta dan kebenaran dari sumber-sumber yang dapat dipercaya dan diperiksa kebenarannya, selain itu dimensi factuality menekankan pada pentingnya pemberitaan yang bebas dari unsur subjektif atau opini pribadi jurnalis. Sedangkan dalam konteks substansinya, dimensi faktualitas mengandung dua jenis fakta, yaitu fakta sosiologis dan fakta subjektif (Siahaan, 2001). Fakta sosiologis mengacu pada berita yang sumbernya adalah kejadian nyata yang diangkat dalam pemberitaan sedangkan fakta psikologis berarti interpretasi subjektif atai opini dari pihakpihak yang terkait dalam kejadian tersebut yang digunakan sebagai sumber dalam pemberitaan (Siahaan, 2001, pp. 100-101)4. Misalnya dalam pemberitaan konflik Ampera, fakta sosiologisnya adalah bentrok antara dua kelompok di Jalan Ampera yang berawal dari pertikaian di klub malam Blowfish. Sementara fakta psikologisnya adalah pendapat pemilik klub atau petugas sekuriti yang berada di tempat kejadian maupun berbagai narasumber ahli yang diminati pendapat sebagai rujukan. Dari bagan tersebut, kita dapat melihat bahwa dimensi faktualitas juga mencakup beberapa subdimensi yaitu, truth dan relevance. Komponen truth mengacu pada pemberitaan yang menyeluruh, cover both sides yang artinya tidak berat sebelah atau memihak pada suatu kepentingan tertentu dalam memberitakan suatu peristiwa, dan ketiadaan niat untuk mengarahkan menekankan bagian tertentu dalam pemberitaan. Sedangkan komponen relevance berarti proses seleksi terhadap suatu peristiwa yang paling signifikan dan berdampak penting terhadap masyarakat (Nordenstreng, 1974 dalam McQuail, 2005). Secara umum, apa yang disebut sebagai pemberitaan yang relevan adalah berita mengenai isu-isu yang memiliki pengaruh paling besar dan paling cepat terhadap kondisi masyarakat, meskipun dalam konteks ini seringkali terjadi bias antara yang apa yang benar-benar berpengaruh signifikan terhadap kepentingan publik dan apa yang dianggap para ahli sebagai hal yang ssiginifikan. Misalkan saja wacana mengenai konversi minyak tanah ke gas, bisa jadi merupakan hal yang tidak benar-benar relevan terhadap kebutuhan publik apalagi setelah melihat fakta bahwa pasca-konversi justru terjadi banyak kasus ledakan gas yang membahayakan masyarakat. Namun isu tersebut menjadi penting dan relevan karena diagendakan oleh para pemilik kepentingan atau para ahli yang menyebut bahwa wacana konversi minyak tanah ke gas merupakan hal yang krusial dan signifikan untuk dilakukan. Media di sini berperan sebagai pengatur agenda (agenda3

Siahaan, H. (2001). Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur. Surabaya: Lembaga Studi Perubahan Sosial. 4 Siahaan merumuskan pandangannya ini berdasarkan hasil studi terhadap pemberitaan media dalam jajak pendapat di Timor Timur. Lebih jauh lihat Siahaan, 2001.

setter) atau hal-hal yang dipentingkan oleh publik. Oleh karena itu, McQuail (2005) menyebut bahwa relevance merupakan komppnen yang sulit untuk didefinisikan dalam konteks factuality dan lebih sulit dilakukan untuk mencapai objektivitas pemberitaan. Selain dua komponen utama di atas, terdapat komponen yang dalam terminologi McQuail (2005) disebut sebagai extra element yaitu komponen informativeness (dinyatakan di tengah dalam garis putus-putus). Menurut McQuail, komponen informativeness ini penting bagi fuller meaning of objectivity atau pemahaman atas makna informasi tersebut pada khalayak karena komponen ini berkaitan dengan kualitas konten informasi yang dapat menjadikan informasi tersebut diperhatikan, dimengerti, diingat dan akhirnya terciptalah pertukaran informasi across-audiences karena khalayak juga menjadi agen persebaran informasi tersebut sehingga informasi tersebut dapat dimaknai secara utuh. McQuail menyebut kompnen ini sebagai sisi pragmatis obejktivitas yang banyak diabaikan oleh media massa dalam pemberitaan tetapi sebenarnya sangat penting bagi tercapainya pemahaman yang utuh terhadap suatu berita 5. Dimensi objektivitas selanjutnya yaitu dimensi Impartiality. Menurut Westerstahl (1983, dalam McQuail 2005), impartiality mensyaratkan sikap netral media dalam memberitakan suatu peristiwa. Sikap netral media dapat dicapai melalui perpaduan antara dua sub-dimensi impartiality, yaitu balance dan neutrality. Balance adalah suatu sikap di mana media harus memiliki proporsi yang sama dan adil bagi dua interpretasi yang saling beroposisi dalam suatu peristiwa sedangkan neutrality ialah mengenai cara penulisan atau pemberitaan pro-kontra isu tersebut dalam media. Sedangkan menurut Siahaan (2001), komponen balance dapat diukur dengan menilai sejauh mana media memberikan equal access atau akses yang sama terhadap para pelaku suatu peristiwa dan even handed evaluation atau pemilihan penilain positif-negatif yang berimbang untuk setiap pihak yang diberitakan 6. Hal ini berarti bisa saja media merujuk pada dua narasumber yang memiliki pendapat yang saling berlawanan terhadap suatu isu (balance), tetapi ketika menuliskannya dalam kolom berita di media massa, pemberitaan pendapat narasumber tersebut diarahkan sedemikian rupa untuk menguatkan satu pihak dan melemahkan pihak yang lain (tidak ada neutrality). Salah satu contoh berita di media yang terkait dengan balance dan neutrality ini adalah pemberitaan mengenai pro-kontra isu Calon Legislatif PDI Perjuangan yang mayoritasnya beragama non-muslim yang dituliskan di tabloid Abadi7. Dalam pemberitaan tersebut, tabloid Abadi menuliskan dua pendapat dari dua narasumber yang saling bertentangan, yaitu dari Theo Sjafei dari pihak PDI-P (pro) dan Hartono Marjono dari kalangan Islam (kontra). Namun, tabloid Abadi
5 6

McQuail, D. (2005). McQuail's Mass Communication Theory. New York: SAGE Publication. Siahaan, H. (2001). Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur. Surabaya: Lembaga Studi Perubahan Sosial. 7 Kasus disadur dari : Eriyanto. (2002). Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS.

menuliskan pendapat Theo Sjafei seolah-olah sebagai pendapat yang salah karena tablod Abadi mengutip rekaman ceramah-ceramah Theo yang bernada menghujat Islam, memojokkan tokoh-tokoh Islam, dan oragnisasi-organisasi Islam. Dalam konsep objektivitas Westerstahl, tabloid Abadi memang menjalankan komponen balance tetapi tidak adanya kombinasi dengan neutrality membuat pemberitaan tersebut menjadi tidak objektif.

4.

Merujuk pada pemikiran Dennis McQuail (2003), media accountability atau akuntabilitas media didefinisikan sebagai kerangka rujukan bagi media yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab yang timbul atas kegiatan media serta cara penyelesaian masalah dan tuntutan yang mungkin muncul atas kegiatan yang dilakukan oleh media8. Ide akan pentingnya akuntabilitas media berangkat dari pemahaman perspektif normatif, yang tertuang dalam Teori Social Responsibility, bahwa fungsi media adalah sebagai pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan berbagai informasi9. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, implikasi yang muncul adalah media memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk menyajikan suatu informasi yang berkualitas dalam artian informasi tersebut memenuhi kriteria benar, akurat, objektif dan relevan dengan isu-isu yang menjadi perhatian publik. Selain itu, kepemilikan media merupakan sebuah public trust, sehingga media harus mempertanggungjawabkan kepercayaan publik tersebut sekaligus dapat

mempertanggungjawabkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh informasi yang dipublikasikan. a) Untuk itulah, dibutuhkan kerangka akuntabilitas media yang lebih spesifik yang mengatur hubungan antara agen media dengan pihak penuntut, serta dengan pihak ketiga yang berhak mengajukan putusan, misalnya pihak pengadilan. Adapun empat macam kerangka akuntabilitas media menurut identifikasi McQuail (2005)10, antara lain : The Frame of Law and Regulation Kerangka akuntabilitas ini merupakan seluruh kebijakan publik, hukum dan peraturan-peraturan tertentu yang mempengaruhi struktur media dan kegiatan operasional media. Tujuan pokok kerangka ini adalah untuk memastikan bahwa kebebasan pemberitaan (freedom of publication) yang dimiliki media tidak boleh merugikan kepentingan individu dan masyarakat. Mekanisme dan prosedur yang terdapat dalam kerangka ini terdiri dari hukum atau peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan media, dengan isu utama yang diangkat berkaitan dengan
8 9

McQuail, D. (2003). Media Accountability and Freedom of Publication. Oxford: Oxford University Press. McQuail, D. (2002). McQuail's Reader in Mass Communication Theory. New York: SAGE Publication. 10 McQuail, D. (2005). McQuail's Mass Communication Theory. New York: SAGE Publication.

pencemaran nama baik individu atau hal lain yang kiranya dapat mengganggu kepentingan publik. Aturan-aturan ini bisa menyangkut konten maupun struktur media (misalnya kepemilikan media)11. Contoh pelaksanaan kerangka hukum di Indonesia antara lain, Undang Undang Pers Nomor 40/1999 yang mengatur perilaku pers dan wartawan dalam pemberitaan. Untuk media elektronik yang menyelanggarakan penyiaran, terdapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyusun Standar Program Siaran (SPS) dan mengeleuarkan sanksi berupa surat-surat teguran kepada media-media elektronik. Salah satu contoh kasus penindakan media melalui kerangka hukum yang terjadi pada tayangan Empat Mata yang berkali-kali mendapatkan teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Program ini dianggap telah melakukan beberapa pelanggaran Undang-undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) karena Empat Mata seringkali menunjukkan adegan dan kata-kata yang vulgar, mengeksploitasi anak, tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan serta tidak mencantumkan klasifikasi acara. Dengan adanya serangkaian aturan legal yang diiringi dengan sanksi hukum, maka manfaat yang diperoleh ialah adanya legitimasi untuk menguatkan tuntutan dan sebagai kontrol demokratis agar media tidak melakukan penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya (abuse of power). Sementara itu, merujuk pada McQuail (2005), dikatakan bahwa kerangka hukum seringkali tidak efektif, sulit diselenggarakan secara ideal, tidak dapat diprediksi dampak jangka panjangnya, serta tidak fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat12. Oleh karena itu, kerugian yang mungkin timbul adalah benturan kepentingan antara melindungi kebebasan pers dan menjamin akuntabilitas media karena kekhawatiran akan pelanggaran hukum dapat menimbulkan censorship media. Selain itu, kerangka hukum juga dapat menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan pemegang kekuasaan. The Market Frame Kendali pasar tidak dipandang sebagai mekanisme signifikan dalam akuntabilitas media, namun pasar merupakan alat yang penting dalam menyeimbangkan kepentingan media dan pemiliknya dengan kepentingan konsumen maupun pihak-pihak lain. Mekanisme demand dan supply yang terdapat dalam pasar yang bebas dan kompetitif akan mendorong kinerja media. Konsumen akan memperhitungkan kualitas pelaksanaan komunikasi yang terdapat dalam suatu media, baik kualitas konten pemberitaan maupun teknis penyampaian berita tersebut. Perbaikan kualitas media akan didorong oleh persaingan yang terdapat di pasar. Hukum permintaan dan penawaran akan memastikan bahwa kepentingan produsen media dan konsumen akan seimbang. Hal-hal di atas
11 12

McQuail, D. (2005). McQuail's Mass Communication Theory. New York: SAGE Publication. Ibid., 212.

merupakan manfaat yang muncul dari kerangka pasar. Sedngkan kritik terhadap kerangka psar ini ialah pendapat bahwa dalam kerangka pasar, media menjadi terlalu komersial dan profit-oriented, yaitu semata-mata hanya mengejar profit daripada mengejar standar kualitas media. Pemikiran yang market-based cenderung berorientasi pada keuntungan dan kebebasan pemilik media dengan menjadikan kebebasan dan kualitas informasi sebagai alasan dan pembenaran13. Contoh yang dapat dikemukakan dalam market frame ini adalah kualitas isi dan kualitas teknis yang dimiliki oleh Program Termehek-mehek Trans TV dengan tayangan Kick Andy Metro TV misalnya. Perbandingan dalam konteks ini adalah bagaimana program termehek-mehek sangat komersial dan berorientasi pada keuntungan semata, dan sangat mengikuti kemauan dan trend pasar, tanpa fokus pada masalah bagaimana proses komunikasi itu berjalan dan berakibat, bagaimana kualitas program bisa mempengaruhi masyarakat secara negatif, yang sangat memanipulasi isi dan informasi terhadap kesadaran masyarakat. Sedangkan pada program Kick Andy Metro TV, sebaliknya, dimana program ini sama sekali tidak berorientasi pada keuntungan semata dan tidak terlihat komersial, walaupun kadang-kadang masih terlihat sisi advetorialnya, bagaimana program ini berusaha mengangkat nilai-nilai moral dan universal dari peradaban, bagaimana program ini berusaha untuk menceritakan berbagai sisi nyata kehidupan dan potret masyarakat Indonesia dengan konsep interaktif antara pembawa acara dengan narasumbernya. Jadi, walaupun kedua program tayangan ini sama-sama memiliki pasar, yang mungkin secara strategis berbeda, namun jika dilihat dari prinsip dan kerangka pasar ini, akan terlihat pembagian pasar yang cukup signifikan, antara khalayak yang melihat tayangan dari sisi isi dan kualitas informasi, dengan khalayak yang tidak mementingkan isi dan kualitas informasi. The Frame of Public Responsibility Sesuai dengan perspektif normatif media, organisasi media merupakan bagian dari institusi sosial yang diharapkan dapat melayani kepentingan publik dalam hal informasi, publisitas dan budaya karena informasi dan wacana merupakan sebuah public goods. Mekanisme dan prosedur yang terdapat dalam kerangka ini berfokus pada aktivitas pressure groups, ternasuk di dalamnya organisasi konsumen media dan survei opini publik. Kelebihan kerangka ini ialah, menekankan pada fungsi media sebagai wahana yang mempertemukan aspirasi dan tuntutan publik, yaitu dalam bentuk debat publik, penilaian dan kriteria yang disajikan secara langsung dalam media sehingga diperlukan hubungan yang berlangsung secara interaktif dan terus menerus antara media dan masyarakat. Publik dapat menyampaikan jawaban secara langsung kepada media dalam peranan mereka sebagai warga
13

Ibid., 213

Negara atau anggota dari kelompok kepentingan atau kelompok minoritas. Model akuntabilitas ini sangatlah terbuka dan demokratis karena dapat menjamin bahwa kepentingan publik dapat terakomodasi sepenuhnya, akan tetapi muncul sejumlah kritik terhadap kerangka ini. Media dalam menjalankan kerangka ini seharusnya terbebas dari kepentingan politik pihak yang berkuasa secara politis dan kepentingan sempit pemilik modal, sehingga pemberitaan dan informasi yang ingin disajikan benar-benar bebas dan tidak terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan tersebut, yang memang bertujuan untuk memanipulasi informasi dan opini masyarakat sesuai dengan kepentingannya dengan mengorbankan kebenaran dan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi kondisi tersebut dinilai utopis dan tidak mungkin terjadi kecuali dalam stasiun TV publik seperti BBC (milik Inggris) atau CBS (milik Kanada), telebih lagi di masa globalisasi seperti sekarang di mana media menjadi sebuah organisasi bisnis transnasional. Dalam hal ini pernah terjadi pada masa orde baru tahun 1990-an, dimana TVRI menggambarkan kondisi negara yang selalu baik-baik saja dengan menayangkan program-program pembangunan pemerintah. Dalam konteks ini, terjadi juga pada masa sekarang, contohnya pada saat kampanye pemilihan ketua umum Partai Golkar, dimana kepentingan para pemilik modal TVOne dan MetroTV pada kegiatan pemilihan ketua umum Partai Golkar tersebut, sangat mendistorsi isi dan informasi tayangan kedua stasiun televisi ini, sebagai alat kampanye, dengan cara melebih-lebihkan keunggulan masing-masing pemilik modal stasiun TV tersebut (yang menjadi kandidat ketua umum) dengan menjelek-jelekkan pihak yang lain. The Frame of Professional Responsibility Dalam kerangka ini, akuntabilitas media didasarkan pada etika professional pekerja media dan self-respect yang dikembangkan oleh masing-masing organisasi media yang bertujuan untuk melindungi kepentingan media serta publik melalui self-regulation. Oleh karena itu, prosedur dan mekanisme dalam kerangka ini terutama berkaitan dengan proses self-regulation media atau serangkaian kode-kode etik, standar kinerja, dan standar prilaku yang biasanya ditetapkan oleh institusi media masing-masing, atau bisa pula berasal dari pihak-pihak lain seperti pemerintah dan orgnaisasi prosefional. Di Indonesia, contoh kerangka ini tertuang dalam Kode Etik Wartawan Indonesia yang menjelaskan bahwaa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, seperti menunjukan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, menampilkan berita secara berimbang dari kedua belah pihak, menghormati pengalaman traumatik narasumber

dalam penyajian gambar, foto, dan suara, tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. Sedangkan contoh peraturan internal media misalnya kode etik yang ditetapkan oleh Majalah Tempo kepada seluruh awak jurnalisnya, yang menerapkan secara ketat masalah penerimaan hadiah dari narasumber ataupun pemberian cinderamata kepada mereka, baik secara personal maupun institusional dengan sanki pemberhentian secara tidak hormat awak jurnalis mereka yang kedapatan menerima hadiah ataupun cinderamata dalam bentuk apapun dari narasumber ataupun dari pihak luar, karena dikhawatirkan bisa mempengaruhi dan mendistorsi informasi. Kelebihan kerangka ini ialah mendukung sistem akuntabilitas yang efektif karena sifatnya yang voluntary, berdasarkan pada self-regulation dan self-mechanism sehingga mendorong terciptanya akuntabilitas media secara otomatis dan tanpa melalui upaya koersif dan memaksa. Akan tetapi, dalam tataran praktisnya, penerapan kerangka ini menemui keterbatasan dan kekurangan yaitu aplikasinya masih dalam lingkup yang sempit dan tidak cukup kuat untuk mempengaruhi media yang powerful. Terlebih lagi, independendi dan profesionalisme individu pekerja media selalu saja masih diintervensi oleh otonomi pemilik modal dan pemangku kekuasaan di media itu sendiri. b.) Dalam pandangan saya, kerangka yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk diperhatikan oleh kalangan pengelola media masa di Indonesia adalah The Frame of Public Responsibility. Argumen saya ini didasarkan pada pandangan Teori Social Responsibilty dalam perspektif normatif yang menggambarkan cara paling ideal untuk mengatur dan menjalankan sistem media dengan mengedepankan pada bagaimana media seharusnya bekerja, pengelolaannya, dan pelaksanaannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan publik. Dengan berdasarkan pada pemahaman bahwa sejatinya informasi merupakan public goods atau barang publik, maka media sebagai agen penyampai informasi haruslah menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama dalam menjalankan kegiatan komunikasi massa tersebut. Dalam artian bahwa melayani kepentingan publik tidak hanya memperhatikan kondisi saat ini saja, melainkan juga memperhatikan kepentingan publik untuk jangka waktu panjang. Selain itu, perpektif normatif dalam pengelolaan media massa juga bersifat holistic dan mencakup kerangka-kerangka akuntabilitas lainnya, antara lain isu-isu utama mengenai diversity of content dan plurality of ownership yang berupaya menghindarkan media dari monopoli yang timbul akibat kerangka pasar, serta self-regulation mechanism dalam kerangka professional responsibility dengan mengingat kepemilikan media sebagai bentuk public trust. Selain itu, kerangka ini juga menekankan pada pentingnya intervensi negara pada tahap tertentu dalam bentuk penetapan regulasi (frame of law and regulation) untuk menjamin bahwa seluruh aspirasi publik, termasuk kelompok minoritas dan kelompok marjinal, terakomodasi dengan baik.

5.

Penerapan teknologi media baru yang mulai jamak pada abad 20-an telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Salah satu media baru yang berdampak paling besar dalam kehidupan manusia tentu saja internet. Kemunculan internet bisa jadi menggeser interaksi dinamis antara teknologi dan budaya masyarakat yang awalnya cenderung pada cultural deterministic atau kebutuhan dan budaya manusia yang menciptakan teknologi menjadi lebih ke sisi technological deterministic atau teknologilah yang menciptkan budaya mausia. Berbagai budaya yang diciptakan dan dipengaruhi oleh teknologi internet mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, salas satu pengaruh internet paling signifikan adalah pada aspek politik dan kehidupan demokrasi masyarakat. Kemunculan internet yang jamak di masyarakat memunculkan istilah-istilah baru dalam konteks kehidupan politik, misalnya saja istilah-istilah seperti new politics, online democracy, atau egovernment. Semua istilah yang berbau teknokrat tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah istilahistilah yang didasarkan pada kemunculan media baru. Penerapan teknologi media baru dalam kehidupan politik ini dirumuskan oleh Dahlberg (2001, dalam Coleman 2001) dalam tiga model dasar new politics. Yang pertama yaitu model cyberlibertarianism, yang pendekatannya berdasarkan model consumer market atau berorientasi pada konsumen politik. Sehingga yang ditekankan dalam model ini adalah penggunaan online survey atau online polling, serta pengemasan pesan-pesan politik dalam bentuk plebisit atau televoting. Sedangkan model kedua disebut model communitarian, yang menekankan pada keuntungan yang akan didapat dari partisipasi grassroot yang lebih besar dan pemberdayaan komunitas politik lokal untuk menggalang dukungan. Dalam model ini, yang ditekankan adalah kampanye-kampanye melalui media-media sosial yang telah banyak dikenal oleh masyarakat. Model yang terakhir adalah model deliberative democracy, yang menekankan pada peningkatan interaksi dan pertukaran pemikiran, pendapat, dan aspirasi dalam ruang publik melalui penggunaan media dan teknologi baru. Penerapan teknologi media baru dalam kehidupan politik yang teridentifikasi dalam berbagai model tersebut tak ayal menimbulkan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak negatif. Bentivegna (2002, dalam McQuail 2005) merumuskan 6 dampak positif dari penerapan teknologi media baru terhadap kehidupan politik dan demokrasi dalam masyarakat. Yang pertama ialah interactivity yaitu perubahan dari one-way flow menjadi interactive flow. Internet menyebabkan proses penyampaian pesan-pesan politik yang awalnya cenderung hanya satu arah dari pemegang kekuasaan ke rakyat (top-down) menjadi interaksi dua arah yang memungkinkan rakyat juga menyampaikan aspirasi nya dan aspirasi tersebut dapat ditanggapi dan diakomodasi oleh para pemegang kekuasaan (bottom-up). Manfaat yang kedua adalah equality. Adanya komunikasi secara vertikal antara rakyat dan pemerintah serta komunikasi secara horizontal antara rakyat dengan

rakyat lainnya atau organisasi kemasyarakatan akan menciptakan persamaan status politik (political equality) karena meratanya arus informasi. Manfaat yang ketiga yaitu disintermediation, yang berarti minimalisasi peran jurnalisme media dalam memediasi interaksi antara politikus dan citizens. Hal ini terjadi karena media baru memungkinkan terciptanya interaksi personal antara warga negara biasa dengan para politikus melalui media-media seperti Facebook atau Twitter. Selain itu, pemanfaatan teknologi media baru juga dapat memotong biaya komunikasi secara signifikan. Proses komunikasi politik melalui media konvensional seperti misalnya iklan-iklan politik dalam televisi atau koran membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu, komunikasi politik melalui media-media lama juga tidak memungkinkan citizens untuk memberikan feedback pada pesan yang disampaikan si politikus. Jika menggunakan sarana seperti website, atau situs-situs jejaring sosial, para politikus dapat menciptakan komunitas pendukungnya dan berinteraksi intens dengan mereka tanpa membutuhkan biaya besar. Dampak positif lain yang dapat diperoleh ketika menggunakan media baru dalam kehidupan politik ialah proses penyampaian pesan yang lebih cepat dibandingkan dengan media lama. Jika politikus melakukan komunikasi politik dengan cara beriklan di televisi atau koran, delay penyampaian pesan yang cukup lama tidak dapat dihindari sehingga pesan tidak bisa langsung diterima oleh citizens. Penggunaan media baru memungkinkan khalayak menerima pesan secara live dan real-time bahkan dapat memberikan feedback pada saat itu juga. Dampak positif yang terkahir yaitu no boundaries atau tidak adanya batasan antara pengirim dan penerima pesan. Batasan di sini mencakup batasan ruang dan waktu, karena ketika kita menggunakan media baru maka seolah-olah kita berada dalam suatu tempat yang sama, yaitu dunia maya. Contoh-contoh kasus mengenai dampak positif penggunaan internet dalam kehidupan demokrasi diulas dengan baik oleh majalah Time pada edisi Person of The Year 2007 14. Majalah Time pada edisi ini mengulas masalah dampak perkembangan teknologi komunikasi, terutama web 2.0 seperti YouTube, Facebook, MySpace, Twitter, dan sebagainya sebagai alat baru dalam berdemokrasi, yakni demokrasi digital baru (new digital democracy). Fenomena menarik yang dikupas oleh Time antara lain fenomena penting dalam sejarah kontemporer demokrasi dunia dan media yaitu tentu saja kampanye Barack Obama yang menggunakan web 2.0, seperti YouTube, MySpace dan terutama Facebook untuk menarik donasi dari pendukungnya. Obama mendapatkan

14

Contoh disadur dari Fauzi, M. (2010, April 27). Kliping Berita : Demokrasi Digital dan Partisipasi Politik. Retrieved Oktober 25, 2010, from Women Research Institute Library: http://library.wri.or.id/index.php?p=show_detail&id=2711

dana kampanye sebesar 454 juta dollar Amerika Serikat (AS) dan menghabiskan 377 juta dollar AS, tertinggi dalam sejarah Amerika dan dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 95 persen dari situs jejaring sosial (Kompas, 1 November 2007). Dalam sejarah demokrasi Indonesia, fenomena facebookers adalah yang pertama dan yang sangat signifikan, khususnya sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat. Ada dua contoh kasus yang mengemuka yaitu dukungan facebookers terhadap Prita Mulyasari terkait masalah dengan RS Omni Tengerang dan Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung Bibit-Chandra yang mencapai lebih dari 1 juta pendukung. Sementara itu, selain dampak positif, Bentivegna juga mendeskripsikan keterbatasan dan dampak negative yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi media baru dalam demokrasi. Keterbatasan yang paling besar ialah berkaitan dengan tidak meratanya akses informasi di tataran citizens. Tidak menyebarnya akses internet di kalangan rakyat banyak membuat online democracy menjadi hal yang sulit dilakukan. Pernyataan berikutnya yang muncul ialah mengenai seberapa efektif partisipasi politik masyarakat demokrasi digital melalui dunia maya itu. Hal ini mengacu pada fenomena bahwa partisipasi politik yang digerakkan oleh internet biasanya hanya bersifat ingarbingar dan bertahan sesaat. Kritik lain yang mengemuka adalah mengenai fkata bahwa media baru memiliki kecenderungan untuk digunakan sebagai alat bagi kelompok-kelompok minoritas yang memiliki kepentingan politis tertentu (Davis, 1999; Norris, 2000 dalam McQuail, 2005). Scheufele dan Nisbet (2002) mengajukan pandanga kritis bahwa internet justru memiliki peran yang sangat minim dalam membentuk poilitcal efficacy atau suatu kesadaran bahwa tindakan seorang individu dapat mempengaruhi proses-proses politik secara keseluruhan, karena internet justru digunakan sebagai alat propaganda kelompok-kelompok tertentu. Yang bisa dikatakan di sini adalah semua dampak baik positif maupun negative tersebut berinterkasi secara secara simultan dan dinamis. Setiap satuan penyebab saling memengaruhi dan menjadi pemicu-penyebab. Yang jelas partisipasi masyarakat demokrasi digital juga ikut membentuk arus opini publik dalam ruang publik yang bersifat cyber.

You might also like