You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul Penulis mencoba memilih judul KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SINIORA DALAM MENGATASI KONFLIK POLITIK LEBANON PASCA AGRESI ISRAEL 2006 dengan alasan : Pertama, penulis tertarik dengan krisis politik yang terjadi di Lebanon pasca agresi Israel 2006, Yang pada hakekatnya ialah tentang pembagian kembali hak politik untuk melindungi kepentingan berbagai fraksi. Partai politik golongan mayoritas yang mendominasi pemerintahan Siniora -terutama terdiri dari golongan Sunni- tidak akan memberi konsesi begitu mudah bagi kelompok oposisi untuk berbagi kekuasaan, sedangkan partai oposisi yang terutama terdiri dari faksi Syiah ialah untuk menghindari tekanan dan paksaan melucuti persenjataan Hizbullah, pembentukan pengadilan khusus atas terbunuhnya mantan Perdana Menteri Rafik Hariri serta tidak bersedia melepaskan hak partisipasi dan hak veto dalam pengambilan kebijakan penting pemerintah. Oleh karena itu momentum seperti ini patut untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan studi yang sedang ditekuni penulis yaitu tentang Ilmu Hubungan Internasional. Kedua, penulis mengambil objek penelitian pada kebijakan

pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel 2006. Ketiga, penulis melihat bahwa judul yang penulis ajukan belum pernah ditulis oleh penulis lain.

Dengan ketiga alasan diatas itulah penulis tertarik untuk meneliti tentang Kebijakan Pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik Politik Lebanon Pasca Agresi Israel 2006.

B. Tujuan penulisan 1. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap permasalahan yang ada guna memperoleh jawaban sekaligus membuktikan hipotesa yang disusun oleh penulis. 2. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang konflik politik di Lebanon pasca agresi Israel 2006. 3. Penulisan ini bertujuan agar dapat memberikan gambaran tentang tentang kebijakan pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel 2006. 4. Selain itu penulisan ini dimaksudkan sebagai manifestasi dari penerapan teori-teori yang pernah penulis dapatkan selama kuliah. 5. Penulisan ini merupakan suatu syarat memperoleh gelar sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

C. Latar Belakang Masalah Pasca agresi Israel pada pertengahan 2006 Lebanon mengalami konflik politik yang sangat kritis. Posisi pemerintah pimpinan Perdana Menteri Fuad Siniora mendapat tekanan dengan tujuan untuk dijatuhkan oleh kelompok oposisi

pimpinan Hizbullah. Krisis politik ini bemuara pada tuntutan Aliansi 14 Maret1 kelompok berkuasa di Lebanon- terhadap Hizbullah agar bersedia melucuti persenjataannya serta pembentukan pengadilan internasional atas terbunuhnya mantan Perdana Menteri Rafik Hariri. Lebanon memiliki sistem politik yang sangat kompleks dan sensitif, hal itu disebabkan oleh adanya berbagai komunitas-komunitas religius seperti kelompok Sunni, Syiah, Kristen, dan Druze yang memiliki orientasi politik untuk mendominasi pemerintahan Lebanon. Oleh sebab itu, sistem politik Lebanon didasarkan pada pemikiran bahwa harus ada sebuah keseimbangan dalam semua aspek kehidupan politik diantara komunitas-komunitas religius. Apabila keseimbangan ini terganggu, harmoni kehidupan di Lebanon, dan bahkan keutuhan Lebanon sebagai sebuah entitas negara pun terganggu. Sistem politik di Lebanon terutama mengamanatkan agar perimbangan antara komunitas-komunitas konfesional di pertahankan di pemerintah, parlemen, dan seluruh jajaran pemerintahan. Hal ini kemudian diformulasikan dan disahkan dalam Pakta Nasional (Al-Mithaq al-Watani) pada tahun 1943, sebuah kesepakatan tidak tertulis antara Presiden pertama Lebanon dan Perdana Menteri pertamanya. Pakta Nasional tersebut merupakan sebuah usaha pragmatik untuk meredakan ketegangan diantara sekte-sekte religius yang ada. Dalam pakta tersebut dinyatakan bahwa Presiden Lebanon harus dari kelompok Kristen Maronit, Perdana Menteri seorang Sunni, Ketua Parlemen
1 Pembunuhan terhadap Hariri telah melahirkan (mempertegas) pengelompokan politik: antiSuriah dan pro-Suriah. Yang anti-Suriah tergabung dalam Koalisi 14 Maret (mengacu pada demonstrasi besar-besaran di Martyrs Square, Beirut, 14 Maret 2005, yang diikuti sejuta orang dari berbagai spektrum politik dan agama). Yang pro-Suriah tergabung dengan Koalisi 8 Maret (mengacu pada demonstrasi Hizbullah pada tanggal 8 Maret yang diikuti sekitar satu juta orang).

seorang Syiah, dan Panglima Angkatan Bersenjata berasal dari Maronit. Pakta Nasional juga menegaskan bahwa kursi-kursi di parlemen harus dialokasikan berdasarkan agama dan wilayah dengan perbandingan 6 Kristen dan 5 Muslim. Perbandingan ini ditentukan berdasarkan sensus tahun 1932 yang dilakukan saat jumlah Kristen sedikit lebih besar.2 Sistem politik semacam inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu pemicu pecahnya perang saudara pada kurun waktu 1975-1990. Meskipun apa yang terjadi di Lebanon bukan perang saudara murni karena banyak pihak yang terlibat diantaranya Israel, Suriah, dan PLO. Akhir perang saudara itu ditandai dengan disepakatinya Perjanjian Taif (Taif Agreement) pada 22 Oktober 1989 yang dimaksudkan antara lain untuk kembali mengatur pembagian kekuasaan. Perjanjian Taif menciptakan sebuah sistem yang mengatur Presiden, Perdana Menteri, dan Ketua Parlemen untuk menjalankan pemerintah dengan kekuasaan yang hampir sama meskipun kapasitas ketiganya berbeda. Pengaturan hubungan diantara para troika ini bertujuan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih peranan dalam institusi pemerintahan.3 Namun, akhir-akhir ini Lebanon kembali mengalami konflik politik yang sangat kritis. Posisi pemerintah pimpinan Perdana Menteri Fuad Siniora mendapat tekanan dengan tujuan untuk dijatuhkan oleh kelompok oposisi pimpinan Hizbullah. Krisis politik ini bemuara pada tuntutan Aliansi 14 Maret-

Trias Kuncahyono, artikel Lebanon dan Warisan "Confessionalism" dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/18/lapakhirtahun/3174318.htm,. akses tanggal 22 januari 2007.
3

Ibid.,

kelompok berkuasa di Lebanon- terhadap Hizbullah agar bersedia melucuti persenjataannya. Hizbullah menentang tuntutan tersebut dan memutuskan untuk menarik enam menterinya dari kabinet Lebanon. Sesuai UUD Lebanon, keputusan pemerintah tidak sah tanpa partisipasi seluruh faksi dalam kabinet. Hizbullah juga menuntut pembentukan pemerintahan persatuan nasional. Adanya tuntutan ini mengindikasikan bahwa Hizbullah menganggap pemerintahan sekarang dinilai mewakili kebijakan Barat dan Israel. Aliansi 14 Maret sebagai kelompok pendukung pemerintah Siniora dituding Hizbullah sebagai penyebab krisis politik di Lebanon. Hizbullah menyebut Aliansi 14 Maret berupaya mendominasi pemerintahan. Bahkan, kelompok tersebut menentang mediasi Sekjen Liga Arab, Amr Mousa, untuk menyelesaikan krisis negara tersebut. Sementara itu, usulan Amr Mousa mendapat sambutan baik dari kelompok oposisi. Poin-poin yang diusulkan Amr Mousa antara lain, menghindari saling tuduh, menghentikan demo jalanan, menghindari konflik partisan dan membentuk pemerintahan nasional bersatu. Prakarsa tersebut ditolak oleh Aliansi 14 Maret dimana poin yang mendapat pertentangan paling kuat adalah usulan untuk mengubah komposisi kabinet Lebanon dengan ketentuan 19 jabatan menteri akan diserahkan kepada partai berkuasa, 10 menteri dari kelompok oposisi, dan satu menteri dari kelompok independen.4 Muncul kekhawatiran tentang prospek Lebanon pasca agresi Israel. Pasalnya, di negara yang baru menundukkan militer rezim Zionis Israel itu, terdapat upaya gencar untuk memecah belah persatuan bangsa didalamnya.

Indonesian.irib.ir/POLITIK/2006/desember06/lebanon2.htm, akses tanggal 23 Februari 2007.

Melalui tangan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan Hizbullah, AS dan Israel berupaya mengacaukan negara itu. Resolusi DK PBB 1701 yang berhasil menghentikan perang dijadikan alat untuk menekan Lebanon. Resolusi ini menyebutkan PBB akan menempatkan 15 ribu tentara penjaga perdamaian di Lebanon selatan. Pasukan yang dikenal dengan nama UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) ini bertugas mengawasi gencatan senjata serta menjaga keamanan di perbatasan antara Lebanon dan Israel. Amerika Serikat dan Israel berusaha memanfaatkan pasukan itu untuk melucuti senjata Hizbullah. Namun, di internal Lebanon sendiri terdapat kelompokkelompok yang berjalan seiring dengan langkah AS, terutama kelompok Aliansi 14 Maret. Sejak tercetusnya konflik kekerasan antara Lebanon-Israel pada pertengahan tahun 2006 lalu, oposisi yang dipimpin oleh Partai Hizbullah golongan Syiah Lebanon menuntut adanya upaya reorganisasi pemerintah dan memperoleh sepertiga jabatan menteri, agar memiliki hak partisipasi dan hak veto dalam pengambilan kebijakan penting pemerintah. Tuntutan tersebut ditolak partai-partai politik golongan mayoritas Lebanon terutama dari golongan Sunni pimpinan Siniora. Hizbullah menuntut dibentuknya sebuah pemerintah persatuan nasional sebagai pengganti pemerintah Perdana Menteri Fuad Siniora yang didominasi oleh golongan mayoritas untuk memperoleh lebih banyak kursi menteri dan memberi pengaruh kepada keputusan pemerintah. Akan tetapi, tuntutan itu diboikot oleh fraksi pro-pemerintah dalam parlemen.

Kegagalan perundingan pemerintah Siniora dan kubu 14 Maret di satu pihak dan Hizbullah bersama Gerakan Amal Syiah dan Sayap Kebebasan Nasional pimpinan Michel Aoun di pihak lain menyebabkan Lebanon berada dalam kemelut politik. Kelompok oposisi menarik mundur enam menterinya dari kabinet Siniora setelah mengalami kegagalan dalam perundingan tersebut, dan ini berarti komposisi kabinet sudah tidak lagi mewakili semua kelompok seperti yang tertuang dalam kesepakatan Taif sehingga desakan kepada Siniora untuk mundur kian meningkat. Polarisasi yang terjadi pada peta politik Lebanon juga menjadi pemicu terjadinya krisis politik. Polarisasi mutakhir di Lebanon adalah adanya dua kubu yang mengusung proyek politik berbeda yang sesungguhnya merupakan bagian dari pertarungan regional dan internasional. Hasilnya, persoalan Lebanon menjadi sangat rumit, jauh melebihi kapasitas negeri yang hanya berpenduduk sekitar 4 juta jiwa itu. Dua kubu tersebut tidak hanya terlibat koalisi di dalam negeri, tetapi juga di tingkat regional dan internasional. Dua kubu itu berbeda pendapat dalam semua isu, seperti isu perlucutan senjata Hizbullah, hubungan Lebanon-Suriah, hubungan Lebanon-Barat, soal posisi Presiden Emile Lahoud, dan terakhir masalah pembentukan Mahkamah Internasional atas pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik Hariri. Terdapat dua elemen politik yang saling berseberangan yaitu antara kelompok pro-Suriah serta kelompok anti-Suriah. Kubu pro-Suriah terdiri dari Hizbullah, kelompok Syiah, dan kelompok Kristen pimpinan Michel Aoun. Kubu anti-Suriah terdiri dari kelompok Sunni, Druze, dan kelompok Kristen dari Partai

Phalangis. Saat ini, kubu anti-Suriah menjalankan kekuasaan di bawah pimpinan Siniora. Perseteruan kedua kubu memanas menyusul terbunuhnya mantan Perdana Menteri Rafik Hariri pada tahun 2005. Kubu anti-Suriah menuduh Pemerintah Suriah dan kubu pro-Suriah di Lebanon terlibat dalam pembunuhan itu.5 Pembunuhan yang terjadi pada Pierre Gemayel pada 21 November 2006, semakin memperparah krisis politik internal Lebanon. Pembunuhan ini semakin mempertegas perbedaan antara faksi-faksi Kristen, sekaligus

meningkatkan ketegangan antara masyarakat Syiah dan Sunni dan peristiwa ini dapat menimbulkan kekacauan politik yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat mengakibatkan perang saudara. Namun, politik Lebanon tidak hanya dipengaruhi faktor dalam negeri, faktor luar negeri juga ikut mendominasi. Kubu pro-Suriah membentuk poros Suriah dan Iran, sedangkan kubu anti-Suriah membentuk poros Amerika Serikat dan Perancis. Kubu pro-Suriah sangat membutuhkan dukungan Suriah dan Iran untuk menghadapi agresi Israel. Sebaliknya, kubu anti-Suriah membutuhkan AS dan Perancis untuk mempertahankan kekuatan politik dalam negeri mereka. Faktor luar negeri ini terbukti ampuh memanaskan suhu politik di Lebanon. Amerika Serikat melontarkan isu bahwa Iran dan Suriah mencoba menjatuhkan pemerintahan Lebanon dengan membantu Hizbullah. Isu ini kemudian dilanjutkan Siniora dengan memperingatkan adanya kekuatan yang ingin menjadi tirani minoritas di Lebanon. Pernyataan tersebut tampaknya ditujukan Siniora kepada Hizbullah dan sekutunya.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/02/ln/3136976.htm, akses tanggal 03 Maret 2007.

Keputusan kabinet Siniora untuk menyetujui Mahkamah Internasional atas pelaku pembunuhan Hariri juga tidak terlepas dari pengaruh Barat. Bagi Barat, pengadilan ini amat strategis untuk menghilangkan kekuatan Hizbullah dan Suriah. Bagi Siniora, pengadilan ini juga tampaknya akan memberikan keuntungan politik karena sasarannya adalah lawan politiknya yaitu pihak oposisi. Ketegangan politik di Lebanon sangat mengkhawatirkan ketika mulai menjalar menjadi kekerasan dijalanan. Ini disebabkan karena pihak oposisi menggelar demonstrasi besar-besaran dijalanan. Demonstrasi yang dilakukan dan direncanakan oleh pihak oposisi merupakan awal dari aksi eskalasi dalam upayanya menggulingkan pemerintahan Siniora. Para pendukung oposisi memblokade jalan bebas hambatan yang utama dan jalan lingkar di distrik kota menuju ibukota Beirut, serta memblokade jalan menuju Bandara Internasional Beirut. Para pengunjuk rasa membakar pula banban bekas sehingga mengakibatkan banyak orang tidak dapat masuk kerja, sejumlah sekolah terpaksa berhenti kuliah, dan sejumlah penerbangan di bandara Beirut dibatalkan. Lebanon terjerumus dalam keadaan setengah lumpuh. Berhubung pihak oposisi telah memberitahukan sebelumnya tanggal pemogokan, maka pemerintah telah mengatur ribuan tentara dan polisi di berbagai tempat. Meski pemimpin kedua pihak mengimbau agar menghindari kekerasan, namun para pendukung pemerintah dan oposisi terlibat dalam bentrokan langsung di banyak daerah dengan mengakibatkan 6 orang tewas dan hampir seratus orang cedera.

10

D. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut : Bagaimana kebijakan Pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel 2006?

E. Kerangka Pemikiran Untuk memahami suatu fenomena yang menjadi pusat perhatian, seorang peneliti biasanya menggunakan alat bantu dalam kerangka dasar pemikiran. Kebijakan pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel 2006 dapat diamati dengan pendekatan Manajemen Konflik dalam Teori Pluralisme Konsosiasional. Pluralisme konsosiasional berarti pengasosiasian kelompok-kelompok sedemikian rupa sehingga ciri-ciri tersendiri setiap unsur pembentuk tetap terpelihara tanpa menghambat usaha pencapaian tujuan-tujuan kolektif.6 Konsosiasi-konsosiasi modern dapat mencakup dari konfederasi kelompok-kelompok dan negara-negara yang relatif longgar hingga sistem federal atau pengaturan parlementer. Namun, apapun bentuknya, mereka harus menjamin konsensus sebagai suatu kerangka acuan dari kepentingan bersama dimana kelompok-kelompok akan bersedia untuk saling berhubungan, berkompromi dan saling menyesuaikan. Politik kedalam sistem seperti ini harus luwes dan karena politik konsosiasional tidak memiliki, atau tidak membutuhkan suatu komitmen

David. E Apter, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta, 1996, hlm 311.

11

total di pihak para anggotanya, maka persetujuan bersama dibutuhkan sebelum tindakan dimungkinkan. Dalam konsosiasi yang tidak mantap krisis, pemecahan, dan penggabungan kembali, membatasi kemungkinan berulangnya tindakan pada harapan-harapan pluralitas yang surut dan mengalir dengan argumen-argumen berkesinambungan mengenai nilai-nilai, kepentingan, sasaran, dan taktik-taktik.7 Kunci untuk penyesuaian konsosiasi adalah tawar-menawar di kalangan elit. Kunci untuk tawar-menawar di kalangan elit adalah pimpinan yang sangat bertanggung jawab kepada komunitasnya. Tetapi eksistensi berbagai komunitas tidak seharusnya terancam oleh konsosiasi.8 Ciri-ciri utama pemerintahan konsosiasional adalah sebagai berikut: 1. Otoritas piramida didasarkan pada kekuasaan yang tersebar dan dibagi dikalangan satuan-satuan pembentuk dan badan sentral. 2. Loyalitas ganda diantara satuan-satuan yang dibentuk berdasarkan kriteria yang berlainan (ras, agama, bahasa). Individu dapat masuk dalam beberapa satuan yang semuanya menuruti satu garis pemisah tunggal, atau afiliasi-afiliasi ini mungkin menjadi kabur. Parti-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan tidak menuntut kesetiaan tunggal individu-individu. Partai-partai tidak dapat mendisiplinkan angota-anggota mereka. 3. Kebutuhan untuk kompromi dibangun dalam sistem seperti itu karena sifat kesukarelaannya.

7 8

Ibid, hlm 312. David. E Apter, hlm 314.

12

4. Persaingan antara berbagai kelompok untuk memeperoleh dukungan diluar kepentingan mereka sendiri adalah perlu untuk membentuk koalisi-koalisi dan membuat para pemimpin bertanggung jawab. 5. Ideologi dapat inklusif ketimbang eksklusif, dan dapat

melambangkan tujuan-tujuan yang lebih luas daripada konsosiasi (seperti kelangsungan historis).9 Sistem politik Lebanon merupakan sistem politik yang unik dibanding dengan sistem politik di negara-negara lain khususnya yang berada di kawasan Timur Tengah. Sistem politik ini mengandung prinsip confessionalism yaitu sebuah sistem pemerintahan yang secara proporsional mengalokasikan kekuasaan politik di antara komunitas-komunitas yang ada di sebuah negaraapakah religius atau etnikmenurut persentase populasi mereka di masyarakat.10 Sistem politik Lebanon yang ditegaskan dengan confessionalism, mengamanatkan agar perimbangan antara komunitas-komunitas konfesional dipertahankan di

pemerintah, parlemen, dan seluruh jajaran pemerintahan. Sistem ini muncul sesuai dengan populasi di Lebanon yang terdiri dari berbagai macam kelompok keagamaan diantaranya, kelompok Muslim yang terdiri dari Sunni, Syiah, Druze dan Alawi. Sementara kelompok Kristen yang terdiri dari Katolik Maronit, Ortodoks Yunani, Katolik yunani, Ortodoks Armenia, katolik Armenia, Khaldea,

David. E Apter, hlm 312-313. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/18/lapakhirtahun/3174318.htm, akses tanggal 24 Oktober 2007.


10

13

Koptik dan minoritas protestan.11Masing-masing kelompok tersebut saling bersaing untuk mendominasi pemerintahan. Latar belakang sistem politik Lebanon yang menganut faham confessionalism yaitu menjunjung tinggi adanya pluralitas dengan diakuinya berbagai komunitas religius serta berbagai macam sekte mengharuskan adanya sebuah perimbangan politik dalam sistem pemerintahannya. Perimbangan politik ini merupakan sebuah keharusan mengingat dengan sistem politik yang demikian, diperlukan adanya sebuah konsensus dari seluruh komunitas maupun sekte untuk dapat menghasilkan sebuah kebijakan. Namun jika tidak adanya persetujuan bersama dari seluruh komunitas maka keseluruhan dari sistem tersebut tidak akan berjalan dan akan menimbulkan fragmentasi. Dengan kecenderungan tertentu ke arah fragmentasi maupun kearah kohesi, secara keseluruhan teori pluralisme konsosiasional mengajukan

pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi yang dapat mencegah fragmentasi dan mendukung kohesi. Hal ini memberikan tekanan pada pengaturan konflik atau dengan menjamin bahwa kelompok-kelompok yang sangat menaruh perhatian kepada dipertahankannya identitas-identitas mereka sendiri tidak akan menempuh jalan kekerasan. Salah satu teori manajemen konflik mengenai hal ini diajukan oleh Eric Nordlinger, yaitu: 1. Ketika konflik-konflik hebat berhasil diatur, satu atau lebih di antara enam praktek untuk mengatur-konflik selalu dipakai. Keenam praktek itu adalah

11

http://WikipediaIndonesia.com, akses tanggal 24 Oktober 2007.

14

koalisi mantap, prinsip kesebandingan, depolitisasi, veto bersama, kompromi dan konsesi. 2. Mengandalkan sepenuhnya kepada institusi dan praktek mayoritas tidak membantu pengaturan konflik, dan malahan dapat memperhebat konflik. 3. Usaha-usaha untuk mengatur konflik dengan menciptakan suatu identitas nasional dalam jangka waktu pendek tidak hanya tidak akan berhasil, malahan akan semakin menjurus kepada penyebarluasan kekerasan dan penindasan pemerintah. 4. Para pemimpin kelompok yang berkonflik memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pengaturan konflik. Mereka, dan hanya mereka yang dapat memberikan sumbangan langsung dan positif. Sedangkan para anggota kelompok konflik, dampak mereka pada hasilhasil pengaturan hanya mungkin langsung negatif atau tidak langsung positif atau negatif 5. Motif mengatur konflik merupakan kondisi yang harus jika para elit terlibat dalam tingkah laku mengatur konflik. Secara lebih khusus, satu atau lebih diantara keempat motivasi harus ada jika para elit ingin melakukan usaha-usaha mengatur yaitu hasrat kuat untuk menangkis tekanan dari keadaan-keadaan luar, untuk memelihara atau menaikan tingkat kesejahteraan ekonomi, memperoleh atau mempertahankan jabatan-jabatan dan kekuasaan pemerintah, atau menghindari pertumpahan darah di kalangan segmen-segmen dari para pemimpin itu sendiri.12

12

Ibid, hlm 315.

15

Pasca agresi Israel pada pertengahan tahun 2006 lalu, oposisi yang dipimpin oleh Partai Hizbullah golongan Syiah Lebanon menuntut adanya upaya reorganisasi pemerintah dengan dibentuknya pemerintahan nasional, memperoleh sepertiga jabatan menteri, agar memiliki hak partisipasi dan hak veto dalam pengambilan kebijakan penting pemerintah. Tuntutan tersebut ditolak partai-partai politik golongan mayoritas Lebanon terutama dari golongan Sunni pimpinan Siniora. Pemerintahan Siniora berasumsi bahwa tuntutan yang diajukan oleh pihak oposisi mengenai reorganisasi pemerintah dengan memperoleh sepertiga jabatan menteri sama dengan menyerahkan pemerintahan Lebanon kepada pihak oposisi. Adanya pertentangan antara kelompok pemerintah pimpinan Siniora dengan kelompok oposisi pimpinan Hizbullah menimbulkan krisis politik yang sangat kompleks. Ketegangan politik di Lebanon sangat mengkhawatirkan ketika mulai menjalar menjadi kekerasan dijalanan. Ini disebabkan karena pihak oposisi menggelar demonstrasi besar-besaran dijalanan. Demonstrasi yang dilakukan dan direncanakan oleh pihak oposisi merupakan awal dari aksi eskalasi dalam upayanya menggulingkan pemerintahan Siniora. Kecenderungan krisis politik yang semakin mengarah menjadi kekerasan diantara rakyat Lebanon membuat pemerintahan Siniora mengambil kebijakan pengaturan konflik dengan langkah memantapkan koalisi yang dibangun di Lebanon. Pemerintahan Siniora membangun koalisi diantara kelompok mayoritas dan kelompok oposisi yang ditandai dengan pembentukan pemerintahan baru Lebanon yang terdiri dari 30 orang. Diantara anggota pemerintah baru, 16 orang

16

berasal dari mayoritas dalam perlemen, 11 orang dari golongan oposisi, sedangkan 3 orang lainnya ditujuk oleh Presiden. Pada posisi kunci, Perdana Menteri dan Menteri Keuangan dijabat oleh anggota mayoritas, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri dijabat oleh anggota golongan oposisi, Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri dijabat oleh tokoh netral pilihan Presiden Dengan koalisi yang mantap di pemerintahan maka kondisi politik dalam negeri Lebanon akan menjadi stabil sehingga pemerintah memiliki kekuasaan yang legitimate. Kompromi politik merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Siniora untuk pengaturan konflik yang terjadi di Lebanon. Pemerintah Siniora mengadakan pembicaraan dengan pihak oposisi untuk membahas cara mengakhiri krisis politik yang telah menimbulkan kekhawatiran mengenai perang saudara. Upaya kompromi yang fasilitasi oleh Liga Arab ini menghasilkan kesepakatan bersama antara kelompok mayoritas dan kelompok oposisi. Kesepakatan tersebut antara lain mengenai pemilihan presiden, pembentukan kabinet persatuan nasional, serta pemberian hak veto bagi kelompok oposisi atas keputusankeputusan penting pemerintah. Keinginan kuat untuk menolak tekanan dari kondisi eksternal Lebanon merupakan langkah yang diambil oleh pemerintah Siniora dalam rangka pengaturan konflik Lebanon. Langkah yang diambil ini adalah dengan cara menolak internasionalisasi konflik politik Lebanon. Pada dasarnya konflik politik Lebanon merupakan masalah dalam negeri Lebanon yang harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang bertikai di Lebanon sendiri. Namun muncul intervensi yang

17

dilakukan oleh Amerika Serikat, Israel dan perancis yang menghendaki konflik Lebanon diinternasionalisasikan dengan dalih untuk melucuti persenjataan Hizbullah. Rekonstruksi dan Reformasi Ekonomi Lebanon dilakukan oleh

pemerintahan Siniora untuk mengatasi konflik politik yang terjadi di Lebanon. Pasca Agresi Israel tahun 2006, sejumlah sarana infrastruktur Lebanon hancur akibat gempuran Israel. Lebanon menderita kerugian miliaran dolar AS karena serangan Israel selama 34 hari. Kerugian lainnya ditimbulkan sebagai dampak hancurnya perekonomian Lebanon selama perang berlangsung yaitu Hilangnya GDP, pekerjaan, dan akibat jangka panjang bidang ekonomi secara langung dan tidak langsung menyebabkan jumlah kerugian semakin besar. Oleh sebab itu Siniora mengambil langkah dengan cara menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk membantu upaya rekonstruksi Lebanon. Hasil dari dukungan dana ini terutama digunakan untuk menempatkan kaum tunawisma karena perang, pembangunan kembali infrastruktur, penghapusan bom yang belum meledak, membersihkan polusi akibat kebocoran minyak mentah serta masalah lainnya yang perlu diselesaikan pada masa awal rekonstruksi Lebanon pasca Agresi Israel 2006. Secara umum hasil dari rekonsiliasi nasional yang dilaksanakan di Doha, Qatar pada Mei 2008 memperlihatkan adanya suatu perubahan komposisi pemerintahan Lebanon. Pada awalnya, kabinet pemerintahan Lebanon terdiri dari 24 menteri, 18 posisi menteri dikuasai oleh kelompok mayoritas parlemen antiSuriah sedangkan 6 menteri dijabat oleh kelompok oposisi pro-Suriah. Namun

18

pasca rekonsiliasi nasional Lebanon di doha, Qatar, komposisi kabinet berubah menjadi 30 menteri, dengan pembagian jabatan 16 orang berasal dari mayoritas dalam perlemen, 11 orang dari golongan oposisi, sedangkan 3 orang lainnya ditujuk oleh Presiden. Namun rekonsiliasi tersebut tidak mengubah posisi elit yang ada di Lebanon. Karena pihak-pihak yang berkepentingan di Lebanon tetap berpegang kepada keputusan yang sesuai dengan Pakta Nasional serta Kesepakatan Taif yang menyatakan bahwa posisi presiden dari kelompok Kristen Maronit, perdana menteri dari kelompok Sunni, serta ketua parlemen dari Syiah.

F. Hipotesa Kebijakan Pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel tahun 2006 adalah: 1. Meningkatkan kapasitas pemerintah Siniora melalui koalisi. 2. Kompromi terhadap akses kelompok oposisi di pemerintahan. 3. Meningkatkan kapasitas pemerintahan Siniora untuk menolak tekanan dari kondisi eksternal Lebanon. 4. Rekonstruksi dan reformasi ekonomi Lebanon.

19

G. Ruang Lingkup Penelitian Dalam konteks skripsi ini penelitian difokuskan pada obyek upaya Pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik di Lebanon dengan batasan kurun waktu antara bulan Agustus 2006 yaitu pasca agresi Israel di Lebanon sampai pada bulan Juli 2008 yaitu pasca kesepakatan rekonsiliasi di Doha, ibukota Qatar yang ditandai dengan pembentukan kabinet pemerintahan nasional Lebanon. Tapi tidak menutup kemungkinan mengambil data tahun-tahun sebelumnya sebagai tinjauan historis. Fokus analisa dalam konteks skripsi ini adalah kebijakan pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik politik Lebanon pasca agresi Israel 2006.

H. Metode Penulisan Keberadaan metode merupakan salah satu syarat diakuinya sesuatu menjadi ilmu pengetahuan, disamping syarat-syarat yang lain yakni mempunyai obyek, sudut pandang terhadap metode serta hasil-hasil pandangannya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat atau sistematis. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu mengumpulkan data melalui literatur, jurnal, buku-buku, koran dan beberapa pendukung lainnya yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti, termasuk dengan akses berbagai sumber data dari internet. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptik analitik dengan menelaah dan memperjelas masalah yang ada dalam pokok

20

pembahasan, kemudian

menganalisa permasalahan

sehingga

menemukan

jawaban dari hipotesa yang diajukan. Untuk menganalisis data yang terkumpul penyusun menggunakan cara berfikir induktif dan deduktif. Cara berfikir induktif digunakan untuk menganalisa fakta-fakta khusus sementara yang deduktif digunakan untuk memperoleh penjelasan mengenai fakta-fakta umum yang didapat.

I. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab dan pembahasan dalam tiap bab akan dijabarkan lebih rinci ke dalam sub-sub bab. Pembahasan yang terkandung dalam bab satu dengan yang lainnya saling berhubungan sehingga pada akhirnya nanti akan membentuk karya tulis yang runtut dan sistematis. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut : Bab Pertama berisi Pendahuluan, meliputi Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penelitian, Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Kerangka Pemikiran, Hipotesa, Ruang Lingkup Penelitian, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua membahas tentang pemerintahan Fuad Siniora di Lebanon. Pada sub bab pertama menjelaskan tentang Sistem Politik Lebanon. Kemudian pada sub bab kedua menjelaskan tentang Dinamika Politik Lebanon Pra Pemerintahan Siniora. Pada sub bab ketiga membahas tentang Pembentukan Pemerintahan Siniora. Sub bab keempat akan menjelaskan tentang Kelompok Pendukung Pemerintahan Siniora yang didalamnya dijelaskan tentang kelompok

21

pendukung pemerintah Siniora yang terdiri dari Sunni, Druze, serta Kelompok Kristen Anti-Suriah. Pada sub bab kelima menjelaskan tentang Dukungan Barat Terhadap Pemerintahan Siniora. Pada bab keenam akan menjelaskan tentang Donor Dana Bagi Lebanon pasca Agresi Israel. Bab Ketiga membahas tentang Konflik Politik Lebanon Pasca Agresi Israel 2006. Pada sub bab pertama menjelaskan Latar Belakang Konflik. Kemudian pada sub bab kedua membahas tentang Pihak-pihak yang bertikai yang didalamnya menjelaskan tentang polarisasi di Lebanon yaitu antara kelompok 14 Maret sebagai pihak yang berkuasa dengan kelompok 8 Maret sebagai pihak oposisi. Pada sub bab ketiga membahas tentang Pengaruh eksternal di Lebanon yang membahas tentang Pengaruh Iran dan Suriah serta pengaruh Barat di Lebanon. Pada sub bab keempat menjelaskan tentang Upaya Mediasi Pihak ketiga dalam upayanya untuk mengatasi konflik politik Lebanon. Pada sub bab kelima membahas tentang Peran PBB Dalam Konstelasi Politik Di Lebanon. Bab Keempat berisi Kebijakan Pemerintahan Siniora dalam mengatasi konflik Politik Lebanon Pasca Agresi Israel 2006 meliputi, Meningkatkan kapasitas pemerintah Siniora melalui koalisi, Kompromi terhadap akses kelompok oposisi di pemerintahan, Meningkatkan kapasitas pemerintahan Siniora untuk menolak tekanan dari kondisi eksternal Lebanon serta Rekonstruksi dan reformasi ekonomi Lebanon. Bab Kelima berisi kesimpulan meliputi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.

You might also like