You are on page 1of 12

Reboisasi Hutan Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Global Warming Kerusakan hutan tropis yang terjadi di berbagai

negara di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan dalam dua atau tiga decade yang akan datang diperkirakan akan mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan karena penebangan liar (illegal logging), pengalihan fungsi lahan, eksploitasi hutan yang berlebihan, dan lain-lain. Sehingga pada awal tahun 1990-an para ahli lingkungan dari seluruh dunia mengadakan pertemuan di Rio de Jenero, Brasil yang pada intinya membahas mengenai langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk melestarikan alam termasuk juga upaya mengurangi laju kerusakan atau penyelamatan hutan tropis tersebut. Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi (Mangrove Information Center, 2006). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006). Penebangan hutan baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia

untuk kelangsungan hidupnya. Kebanyakan orang (khususnya para pengusaha yang memperjualbelikan hasil kayu hutan, investor yang mengembangkan usahanya dengan menebang hutan dan digantikan dengan tanaman lainnya seperti kelapa sawit atau menggantinya denganusaha lain seperti tambak, dan oknum pejabat yang mengeluarkan ijin untuk penebangan kayu di hutan) menutup mata dan sama sekali tidak merasa bersalah dan berdosa terhadap bencana-bencana alam yang sudah, sedang dan akan terjadi sehubungan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Miskinnya keperdulian dan kesadaran terhadap lingkungan bagi orang-orang tersebut harus ditingkatkan secara khusus di era yang sedang gencar-gencar membicarakan tentang global warming karena model pendidikan lingkungan yang biasanya dilakukan sudah tidak mampu lagi untuk menyadarkan manusia-manusia serakah tersebut yang cendrung mengkorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Dapat diyakini bahwa orang tersebut memiliki kontribusi yang banyak terhadap global warming yang terjadi sekarang ini sehingga mereka sepantasnya mendapatkan ganjaran yang setimpat atas perbuatannya. Berani dan mampukah aparat penegak hukum di Indonesia untuk menindak tegas para oknum ini demi keselamatan dan keberlangsungan alam serta kepentingan dan kelangsungan hidup manusia di Indonesia dan dunia?. Fakta kerusakan hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang dilakukan sebelum tahun 1990an yang dilakukan oleh investor yang bergerak dalam bidang usaha tambak udang telah mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakt lokal. Tetapi, setelah beberapa tahun beroperasi, tambaktambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Hengkangnya para investor tambak udang tersebut meninggalkan bekas dan luka yang mendalam dan berkepanjangan bagi lingkungan di tempat tersebut sampai sekarang. Pohon mangrovepun tidak bisa tumbuh lagi khususnya ditempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membersarkan udang secara instant. Sedangkan investor-investor tersebut sudah menghilang entah kemana?.

Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan (policy) yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah tentang upaya penyelamatan hutan mangrove yang selanjutnya pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA). Proyek kerjasama ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai pada tahun 1992 dan berakhir tahun 1997. Pada tahapan ini, Pemerintah Jepang mengirim team untuk melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan dan dilakukan. Dari hasil identifikasi ini, dibentukalan team bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang dan selanjutnya sepakat untuk membangun Proyek Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Selain itu, diterbitkan juga buku panduan penanaman mangrove. Hasil yang dicapai pada tahap ini adalah penentuan model pengelolaan hutan mangrove lestari, penerbitan beberapa buku seperti; buku panduan (guide book) persemaian bibit dan penanaman mangrove, buku-buku yang berkaitan dengan mangrove, dan reboisasi atau penanaman mangrove seluas 253 hektar di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Usaha reboisasi hutan mangrove yang telah dilakukan oleh The Mangrove Information Center memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena persediaan untuk konsumsi oksigen sudah tersedia di tempat ini dan meningkatkan rasa aman dari bencana tsunami bagi masyarakat yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan mangrove semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah (dari sekolah

dasar sampai perguruan tinggi) dan industri pariwisata dengan secara sukarela untuk ikut serta menanam pohon mangrove di beberapa tempat seperti di kawasan konservasi The Mangrove Information Center dan Pulau Serangan yang bibit-bibit pohon mangrovenya disediakan oleh pihak The Mangrove Information Center. Usaha lain yang dilakukan oleh The Mangrove Information Center untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan adalah dengan membuka kegiatan wisata alam (ecotourism) sehingga masyarakat dapat melihat, menikmati dan berinteraksi dengan lingkungan secara langsung di kawasan hutan mangrove tersebut.

Mengatasi Global Warming dengan REDD Fenomena pemanasan global (global warming) salah satunya disebabkan karena laju perusakan hutan (deforestasi) yang sangat cepat. Gejala tersebut menimbulkan efek rumah kaca yang menjadi penyebab utama global warming. Negara-negara yang memiliki hutan tropis yang besar di dunia, termasuk Indonesia, mengusulkan skema untuk mengurangi laju deforestasi tersebut yaitu dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD).Skema ini mulai digulirkan pada Conference of the Parties (COP) Perubahan Iklim di Montreal, Kanada, tahun 2005 lalu. Pengusulnya adalah negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis di dunia. Antara lain Indonesia, Papua Nugini, Gabon, Columbia, Republic Congo, Brazil, Cameroon, Republic Demokratic Congo, Costa Rica, Mexico, dan Peru. Kesebelas negara ini memiliki 50 persen hutan tropis dunia. Isu REDD ini terus bergulir di forum-forum internasional. Pada COP ketiga belas yang dibingkai dalam UNFCCC di Bali 3 - 14 Desember, isu ini juga akan dibicarakan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi global warming dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman kembali, baik di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi). Selain itu juga memperluas kawasan konservasi dan hutan lindung serta menghindari aktivitas pemanfaatan hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi. Sebagai tuan rumah, Indonesia akan berupaya memperjuangkan REDD sehingga bisa diterima negara-negara maju. Indonesia memang sangat berkepentingan terhadap skema REDD. Sebab kita memiliki kawasan hutan seluas 120,35 juta hektar atau 60 persen dari luas daratan negara. Menteri Kehutanan, MS Ka'ban, mengungkapkan, Indonesia bersama negaranegara lain memang sudah bersama-sama menyusun gagasan baru untuk mengatasi global warming yaitu dengan menyusun skema REDD. Negara-negara yang menggagas konsep ini berharap gagasan tersebut bisa diterima negara-negara lain sebagi peserta konferensi. "Pada konferensi di Bali Indonesia akan mengusulkan

REDD untuk mengatasi fenomena global warming. Kita berharap negara-negara seperti China, Amerika Serikat, dan Australia bisa menerima gagasan ini. Sehingga nanti kita tawarkan di konferensi 2012 mendatang," ujarnya kepada wartawan, di Jakarta pekan lalu. Khusus untuk mengatasi laju deforestasi di Indonesia, Ka'ban menyatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai kebijakan. Antara lain melakukan gerakan penanaman pohon. "Tahun depan kami akan melakukan gerakan tanam pohon ini lebih massif lagi," tuturnya. Sementara itu, Director WWF Indonesia Climate Change Programme, Fitrian Ardiansyah, mengatakan, REDD merupakan salah satu opsi untuk mengatasi global warming. Namun ini tidak akan efektif jika negara-negara maju penghasil emisi tidak melakukan upaya untuk menguranginya. Karena itu diperlukan opsi lain. Misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak batubara yang merupakan penghasil terbesar emisi gas buang. Di negara maju, 80 persen emisi berasal dari penggunaan BBM. Sedangkan 20 persen sisanya dari perubahan peruntukan lahan. Kondisi ini terbalik dengan negara berkembang termasuk Indonesia. Di sini, 80 persen emisi dihasilkan dari perubahan lahan dan 20 persen dari pemakaian BBM. "Karena itu, maka REDD sangat penting artinya bagi Indonesia dan negara-negara berkembang. Sebab perubahan peruntukkan lahan menjadi penyumbang terbesar emisi," jelas Fitrian. Insentif Negara-negara berkembang, lanjut Fitrian, dalam proposal yang diajukan meminta kepada negara maju untuk memberikan insentif bagi upaya mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sebab negara berkembang memiliki sejumlah kendala, terutama masalah ekonomi. Jika negara maju memberikan insentif, maka masalah ekonomi tersebut bisa teratasi. "Indonesia memiliki kepentingan agar REDD bisa gol pada konferensi di Bali. Sebab jika tidak, maka akan sulit bagi Indonesia untuk berperan dalam pengurangan emisi pada masa-masa mendatang," katanya menambahkan. Lebih lanjut dia menyatakan, dampak yang ditimbulkan akibat global warming saat ini sudah begitu terlihat. Misalnya musim berganti secara tidak teratur, angka

kejadian bencana alam meningkat dan sebagainya. Karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya adaptasi secara terintegrasi dalam berbagai sektor. Misalnya dengan memprioritaskan sektor-sektor yang terkena dampak langsung, seperti pertanian. Saat ini petani banyak yang terkena akibat secara langsung karena musim tanam yang tidak teratur. Jadi perlu ada upaya untuk memberikan pengetahuan kepada para petani tentang perubahan musim tanam. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membentuk sekolah lapangan tentang iklim bagi para petani. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adaptasi kebijakan secara integrasi dalam hal infrastruktur pedesaan. Misalnya saluran irigasi. Karena musim tanam tidak teratur, maka kebijakan irigasi harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga tepat sasaran.

Penyebab pemanasan global


Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 C (59 F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 C (59 F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balik


Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut

dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer. Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950. Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 2535% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca. Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya

memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Frhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis

*)Penulis, dosen di AKPAR Triatmajaya-Dalung, Alumni PPS Kajian Pariwisata Universitas Udayana. http://keyblog-okeblog.blogspot.com/2009/02/reboisasi-hutan-sebagai-salahsatu.html. http://redd-indonesia.org/berita/detail/read/mengatasi-global-warming-dengan-redd/ http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=315974&kat_id=438. http://muharniarsyad.blogspot.com/2008/01/mengatasi-global-warming-denganredd.html

You might also like