You are on page 1of 4

MENGENAL

SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI,


PENDIRI HIZBUT TAHRIR
BAGIAN 2 HABIS

Syaikh Taqiyuddin pernah maju dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota
parlemen. Karena sikap beliau yang lurus, kegiatan politis dan aktivitas beliau yang
penuh kesungguhan untuk mendirikan partai politik yang berideologi Islam, karena
sikap beliau yang berpegang secara kuat pada Islam, serta karena intervensi negara
terhadap hasil Pemilu, maka hasil Pemilu tidak berpihak pada kemenangan beliau.

Kegiatan politik Syaikh Taqiyuddin tidak berhenti. Tekad beliau juga tidak padam.
Beliau terus menjalin kontak dan berdiskusi sampai beliau mampu meyakinkan
sejumlah orang—para ulama, qadhi terkemuka, serta mereka yang memiliki politik
dan pemikiran yang menonjol—tentang pendirian partai politik berasaskan Islam.
Lalu beliau mulai mengajukan kepada mereka kerangka kepartaian dan pemikiran-
pemikiran yang mungkin dijadikan bekal tsaqâfiyah bagi partai itu. Pemikiran-
pemikiran beliau itu mendapatkan ridha dan penerimaan dari para ulama tersebut.
Puncak aktivitas politik beliau adalah dengan mendirikan Hizbut Tahrir.

Syaikh mulai beraktivitas untuk membentuk partai di kota al-Quds. Pada saat itu
beliau bekerja di Mahkamah al-Istinaf asy-Syar‘iyah (Mahkamah Banding Syariah) di
kota tersebut. Beliau menjalin kontak dengan beberapa tokoh di sana, di antaranya
Syaikh Ahmad ad-Daur dari Qalqiliyah, Nimr al-Mishri dari al-Lad, Dawud Hamdan
dari Ramalah, Syaikh Abdul Qadim Zallum dari kota al-Khalil, Dr. ’Adil an-Nablusi,
Ghanim Abduh, Munir Syaqir, Syaikh As’ad Bayoudh at-Tamimi, dan lain-lain.

Pada awalnya, pertemuan di antara para pendiri Hizbut Tahrir itu berlangsung secara
acak dan tidak teratur. Mayoritasnya dilakukan di al-Quds atau di al-Khalil.
Pertemuan itu dilakukan untuk saling bertukar pendapat dan untuk menarik orang-
orang baru. Diskusi yang berlangsung terfokus pada masalah-masalah keislaman
yang mempengaruhi kebangkitan umat. Kondisi ini terus berlangsung seperti itu
hingga akhir tahun 1952 M.

Pada tanggal 17 November 1952 M, lima orang anggota pendiri Hizb menyampaikan
permintaan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania dengan maksud untuk
mendapatkan izin pendirian partai politik. Kelima orang itu adalah:

1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pemimpin Partai.

2. Dawud Hamdan, Wakil Ketua merangkap Sekretaris Partai.

3. Ghanim Abduh, Bendahara Partai.


4. Dr. Adil an-Nablusi, anggota.

5. Munir Syaqir, anggota.

Kemudian Hizb melengkapi syarat-syarat perundang-undangan yang dituntut oleh


Undang-Undang Jam’iyah Utsmani. Hizb berpusat di al-Quds. Hizb mulai
menyampaikan informasi dan pemberitahuan sesuai dengan undang-undang. Hizb
menyampaikan penjelasan pendirian partainya kepada pemerintah dan melampirkan
Anggaran Dasar Partai. Hizb juga menyiarkan status pendiriannya di Koran Ash-
Sharîh no. 176, tanggal 14 Maret 1952 M. Dengan semua itu, Hizbut Tahrir telah
menjadi partai resmi menurut undang-undang terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada
ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14 Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb
memiliki wewenang untuk langsung melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan
berhak melaksanakan semua aktivitas kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran
dasarnya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih
berlaku saat itu.

Namun, pemerintah memanggil lima orang pendiri Hizb dan menangkap empat orang
dari mereka. Kemudian pemerintah mengeluarkan penjelasan bertanggal 7 Rajab
1372 H – 22 Maret 1953 M yang menganggap Hizbut Tahrir adalah tidak legal dan
melarang para aktivis Hizb untuk melakukan kegiatan kepartaian apapun. Pada
tanggal 1 April 1953 M, penguasa memerintahkan pencopotan papan nama Hizbut
Tahrir yang digantungkan di kantor Hizb di al-Quds, kemudian pemerintah benar-
benar menanggalkannya.

Hanya saja, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak memperhitungkan larangan itu


sama sekali. Beliau terus melangkahkan kaki dalam mengemban misi yang untuk itu
Hizbut Tahrir didirikan. Ketika Dawud Hamdan dan Nimr al-Mishri keluar dari
kepemimpinan (Qiyadah) Hizb pada tahun 1956 M, posisinya digantikan oleh Syaikh
Abdul Qadim Zalum dan Syaikh Ahmad ad-Daur. Akhirnya, kepemimpinan Hizb terdiri
dari para ulama besar itu di bawah kepemimpinan Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani. Qiyadah Hizb itu telah melaksanakan tugas-tugas dakwah dengan sebaik-
baiknya. Semua itu berkat karunia dan keridhaan dari Allah Swt.

Dari wilayah al-Aqsha, Hizbut Tahrir mulai melakukan pembinaan umum (tatsqîf
jamâ‘i) untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Hizb memperlihatkan kegiatan
yang luas sehingga memaksa penguasa mengambil langkah-langkah yang kuat
untuk melarang (menghalangi) Hizb membentuk dirinya dan memperkuat
organisasinya. Syaikh an-Nabhani terpaksa harus meninggalkan al-Quds pada akhir
tahun 1953 secara suka rela. Namun, Beliau dilarang kembali lagi (ke al-Quds).
Pada bulan November 1953 M, Syaikh an-Nabhani terpaksa melakukan perjalanan ke
Damaskus. Beliau tinggal di sana hanya sebentar. Pemerintah Suriah menangkap
beliau dan mendeportasi beliau di perbatasan Suriah-Lebanon. Namun, pemerintah
Lebanon juga melarang beliau untuk memasuki tanah Lebanon. Beliau lalu meminta
kepada pejabat kantor kepolisian Lebanon di Wadi al-Harir agar mengizinkan beliau
melakukan kontak dengan seseorang di Lebanon yang beliau kenal. Lalu pejabat
keamanan Lebanon itu mengizinkan Syaikh an-Nabhani melakukan kontak dengan
sejawat beliau. Syaikh an-Nabhani meminta sejawat beliau itu agar menghubungi
Mufti Syaikh Hasan al-’Alaya, mufti Lebanon. Ketika berita itu sampai kepada Syaikh
al-’Alaya, maka beliau segera pergi kepada pejabat Lebanon dan memerintahkannya
untuk langsung memasukkan Syaikh an-Nabhani ke tanah Lebanon. Jika tidak,
Syaikh al-’Alaya akan menyebarkan berita itu di seluruh penjuru negeri yang
mengklaim demokratis tetapi melarang seorang ulama agama Islam untuk
menginjakkan kedua kakinya di tanah Lebanon. Tidak ada pilihan bagi penguasa
Lebanon kecuali tunduk dan menerima perintah mufti Lebanon tersebut.

Sejak Syaikh Taqiyuddin berada di Lebanon, beliau mulai menyebarkan pemikiran-


pemikiran beliau di sana. Beliau terus melakukan hal itu tanpa gangguan hingga
kira-kira tahun 1958 katika penguasa Lebanon mulai menekan beliau setelah
mereka menyadari bahaya pemikiran-pemikiran beliau terhadap mereka. Akibatnya,
Syaikh terpaksa berpindah dari Beirut ke Tripoli/Tarablus (Lebanon) secara
sembunyi-sembunyi. Salah seorang yang dekat dengan beliau dan dapat dipercaya
mengatakan, “Syaikh menghabiskan sebagian besar waktu beliau untuk membaca
dan menulis. Radio sering berada di hadapan beliau dan beliau mendengarkan
berita-berita dunia agar beliau bisa menuliskan leaflet-leaflet politik yang kuat.
Syaikh adalah seorang yang takwa dalam seluruh maknanya, lembut dalam
pandangan dan lisannya. Saya belum pernah mendengar satu hari pun beliau
mencaci, mencela atau melecehkan seorang pun dari kaum Muslim; khususnya
pengemban dakwah Islam meski mereka berbeda ijtihad (pendapat) dengan beliau.”

Aktivitas thalab an-nushrah (penggalangan dukungan) Syaikh yang pertama adalah


di Irak dan beliau sangat menaruh perhatian terhadapnya. Syaikh melakukan
perjalanan ke Irak beberapa kali untuk tujuan tersebut. Bersama Syaikh Abdul
Qadim Zallum (Abu Yusuf) yang saat itu ditugaskan di sana, Syaikh Taqiyuddin
melakukan beberapa kontak penting, di antaranya kontak dengan almarhum Abdus
Salam Arif dan yang lain. Perjalanan beliau yang lain adalah perjalanan beliau
sebelum beliau wafat. Saat itu beliau ditangkap di Irak. Beliau banyak disiksa di
sana, namun berbagai siksaan yang ditimpakan interogator itu tidak mendapatkan
hasil. Semua yang Syaikh katakan adalah perkataan mengenalkan dirinya sendiri:
“seorang syaikh yang sedang mencari solusi”. Lalu mereka merasa iba kepada
Syaikh. Kemudian mereka mendeportasi beliau melalui perbatasan Suriah dalam
keadaan tangan beliau lumpuh. Beliau sangat lemah akibat keras dan jahatnya
siksaan yang dilakukan para thâghût itu kepada beliau. Pendeportasian beliau
melalui perbatasan Suriah itu terjadi sebelum intelijen Yordania mendatangi pihak
keamanan Irak dan mengatakan kepada mereka, “Orang yang kalian tangkap adalah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang sedang kalian cari-cari.” Akan tetapi,
kesempatan itu telah hilang. Segenap pujian hanya milik Allah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah mendirikan Hizbut Tahrir di atas kaki-kaki yang
kokoh. Jarak ke arah tercapainya tujuan tinggal sejauh dua anak panah atau lebih
dekat. Akan tetapi, bagi setiap sesuatu telah ditentukan batas waktunya (ajalnya).

Pada awal Muharram 1398 H, pada saat fajar hari Ahad bertepatan dengan tanggal
11 Desember 1977 M, umat Islam seluruhnya telah kehilangan seorang ulama di
antara ulama mereka yang paling menonjol. Ia bagaikan samudera ilmu; orang yang
paling terkenal di antara para fukaha pada masanya, seorang mujadid (pembaharu)
pemikiran Islam abad XX, seorang fakih, mujtahid. Ia adalah al-Alim al-Allamah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, amir Hizbut Tahrir, sekaligus pendirinya. Jenazah
beliau dimakamkan di pemakaman al-Awza’i di Beirut. Allah mewafatkan beliau,
sementara beliau belum mencicipi buah aktivitas beliau—yang untuk itulah beliau
mencurahkan seluruh umurnya—yaitu berdirinya Daulah Khilafah Rasyidah yang
berjalan berdasarkan metode kenabian. Beliau meninggalkan amanah bagi
pengganti sekaligus rekan seperjuangan beliau, yaitu Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul
Qadim Yusuf Zallum. Beliau pun tidak menyaksikan tujuan yang telah beliau
perjuangkan dengan segenap daya untuk merealisasikannya. Namun, seluruh
kesungguhan upaya beliau telah membuahkan hasil: jutaan orang telah bergabung di
dalam Hizbut Tahrir dan mengemban pemikiran-pemikirannya, di samping adanya
jutaan lainnya yang mendukung Hizb. Para aktivis Hizb telah tersebar di seluruh
penjuru dunia dan di banyak penjara para penguasa kufur, para thâghût, dan para
penguasa zalim

You might also like