You are on page 1of 8

DERMATITIS STASIS

Pendahuluan

Dermatitis stasis merupakan penyakit inflamasi kulit yang sering terjadi di ekstremitas bawah (tungkai) pada pasien dengan insufisiensi dan hipertensi vena. Penyakit ini umumnya menyerang pada usia pertengahan dan usia lanjut serta jarang terjadi sebelum dekade kelima kehidupan, kecuali pada keadaan di mana insufisiensi vena disebabkan oleh pembedahan (surgery), trauma, atau trombosis. Dermatitis stasis dapat merupakan prekursor dari keadaan lain seperti ulkus vena tungkai atau lipodermatiosklerosis.

Insufisiensi vena merupakan suatu keadaan di mana aliran darah vena tidak cukup kuat untuk kembali ke jantung, sehingga cenderung menumpuk dan bahkan kembali ke jaringan. Penyebabnya antara lain oleh inkompetensi katup vena oleh suatu sebab yang belum diketahui. Keadaan ini dapat diperparah oleh kondisi jika tubuh sedang berdiri dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga semakin mempersulit naiknya darah dari vena di ekstremitas menuju jantung. Hal ini ditandai antara lain dengan pelebaran pembuluh vena secara abnormal, disebut sebagai varises (varicose vein).

Selain oleh inkompetensi katup, insufisiensi vena bisa juga disebabkan oleh kondisi tertentu seperti kehamilan (peningkatan tekanan di daerah abdomen). Hal ini disebut juga sebagai varises vena sekunder.[1]

Etiopatogenesis

Mekanisme terjadinya penyakit dermatitis stasis belum sepenuhnya dipahami. Terdapat beberapa teori (hipotesis) yang menerangkan proses terjadinya penyakit ini.

Teori pertama mengatakan bahwa terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada vena sehingga terjadi kebocoran fibrinogen ke dalam dermis. Fibrinogen ini akan berpolimerasi membentuk selubung fibrinogen perikapiler dan interstisial sehingga menghalangi difusi oksigen dan nutrisi menuju kulit. Akhirnya terjadi kematian sel. Tetapi terdapat data yang kurang mendukung hipotesis tersebut, antara lain (1) Derajat endapan fibrin tidak berhubungan dengan luasnya insufisiensi vena dan tekanan oksigen transkutan dan (2) selubung fibrin yang terbentuk tidak kontinu dan tidak teratur sehingga sulit berperan sebagai suatu sawar mekanik terutama untuk molekul kecil seperti oksigen dan nutrien.

Ada teori lain yang mengatakan bahwa inflamasi pada dermatitis stasis terjadi akibat adanya hubungan antara arteri-vena, menyebabkan terjadinya hipoksia dan kekurangan bahan makanan di kulit yang mengalami gangguan.

Hipotesis lain, yaitu hipotesis perangkap faktor pertumbuhan (growth factor trap hypothesis) mengemukakan bahwa hipertensi vena/kerusakan kapiler akan menyebabkan keluarnya molekul makro seperti fibrinogen dan 2-makroglobulin ke dalam dermis sehingga akan membentuk semacam perangkap terhadap growth factor dan substansi stimulator lain atau homeostatik. Dengan demikian jika terjadi kerusakan jaringan maka integritas dan proses penyembuhan sulit untuk terjadi.

Selain itu, terdapat hipotesis lain yaitu karena terperangkapnya sel darah putih (white cell trapping hypothesis). Hal tersebut terjadi sebagai akibat hipertensi vena dan perbedaan tekanan antara arteri dan vena sehingga kecepatan aliran kapiler berkurang, terjadi agregasi eritrosit dan sumbatan leukosit. Agregasi eritrosit akan menimbulkan hipoksia, sedangkan sumbatan leukosit membentuk sawar fisis dan memicu pelepasan mediator-mediator tertentu (seperti enzim proteolitik; sitokin, radikal bebas dan faktor kemotaktik) yang dapat mengubah permeabilitas kapiler. Akibatnya molekul besar seperti fibrinogen keluar menuju jaringan perikapiler.

Gambaran klinis

Peningkatan tekanan vena akan menyebabkan pelebaran vena, varises, dan edema. Lama kelamaan kulit berwarna kehitaman dan timbul purpura (warna kemerahan akibat ekstravasasi sel darah merah ke dalam dermis) serta hemosiderosis (peningkatan cadangan besi jaringan). Edema dan varises mudah terlihat jika penderita berdiri dalam jangka waktu yang lama. Kelainan ini dimulai dari permukaan tungkai bawah sisi medial/lateral di atas malleolus, lalu meluas hingga ke bawah lutut dan bagian dorsal kaki. Selanjutnya terjadi tanda-tanda dermatitis yaitu eritema, skuama, gatal dan terkadang ada eksudasi cairan.

Apabila sudah berlangsung lama maka kulit menjadi tebal dan fibrotik meliputi sepertiga tungkai bawah, keadaan ini disebut lipodermatosklerosis.

Dermatitis stasis bisa mengalami komplikasi berupa ulkus di atas malleolus, disebut ulkus venosum/ulkus varikosum. Dapat juga mengalami infeksi sekunder, misalnya selulitis. Dermatitis

stasis dapat diperberat karena mudah teriritasi oleh bahan kontaktan, atau mengalami autosensitisasi.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan radiologi/Doppler untuk melihat adanya perubahan (dilatasi) vena yang dalam, trombosis atau gangguan katup. Pada pemeriksaan histologis akan ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi, agregasi hemosiderin di dermis atau penebalan arteriol/venula.[2]

Diagnosis banding antara lain dermatitis kontak (dapat terjadi bersamaan dengan dermatitis stasis), dermatitis numularis, dan penyakit Schamberg.

Tatalaksana

Untuk mengatasi edema akibat varises, maka tungkai dinaikkan (elevasi) sewaktu tidur atau duduk. Bila tidur kaki diusahakan agar terangkat melebihi permukaan jantung selama 30 menit dilakukan 34 kali sehari untuk memperbaiki mikrosirkulasi dan menghilangkan edema. Dapat pula kaki tempat tidur disangga balok setinggi 15-20 cm (sedikit lebih tinggi dibanding letak jantung). Apabila sedang menjalankan aktivitas, memakai kaos kaki penyangga varises atau pembalut elastis.

Eksudat yang ada dapat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid potensi rendah sampai sedang. Apabila terdapat infeksi sekunder maka dapat ditangani dengan pemberian antibiotika sistemik.[3]

DERMATITIS DISHIDROSIS/POMPHOLYX

Pendahuluan

Dermatitis dishidrosis merupakan dermatitis vesikular palmoplantar yang bersifat rekuren atau kronik, di mana etiologinya belum diketahui secara pasti. Dermatitis dishidrosis disebut juga pompholyx, yang diambil dari istilah Yunani cheiropompholyx yang artinya tangan dan gelembung. Etiologi dermatitis dishidrosis belum diketahui dan diduga bersifat multifaktorial melibatkan faktor eksogen dan endogen.

Etiopatogenesis

Mekanisme mengenai terjadinya dermatitis dishidrosis sendiri masih belum jelas. Hipotesis paling awal mengemukakan bahwa lesi-lesi vesikel yang timbul pada dermatitis dishidrosis disebabkan oleh ekskresi keringat yang berlebihan (excessive sweating). Namun sekarang hipotesis ini sudah tidak digunakan lagi karena lesi-lesi vesikular yang timbul pada dermatitis dishidrosis tidak berkaitan dengan saluran kelenjar keringat. Walaupun demikian, hiperhidrosis (keringat berlebihan) merupakan salah satu tanda yang terlihat secara khas pada 40% penderita dermatitis dishidrosis (istilah dishidrosis datang dari gejala berkeringat banyak/salah berkeringat).

Dermatitis dishidrosis dikaitkan dengan riwayat atopia, di mana sekitar 50% penderita dermatitis dishidrosis juga menderita dermatisis atopik.

Faktor-faktor eksogen seperti (1) kontak terhadap nikel, balsam, kobalt, (2) sensitivitas terhadap besi yang teringesti, (3) infeksi oleh dermatofita dan (4) infeksi bakteri juga dapat memicu dermatitis dishidrosis. Antigen-antigen ini dapat bertidak sebagai hapten dengan afinitas spesifik terhadap protein di stratum lucidum daerah palmar dan plantar. Ingesti ion metal seperti kobalt akan menginduksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4, serta mengaktivasi limfosit T melalui jalur independen antigen leukosit. Pengikatan hapten tersebut terhadap reseptor jaringan dapat menginisiasi munculnya vesikel-vesikel di daerah palmar/plantar.

Faktor lain, seperti stres emosional dan faktor lingkungan (pergantian musim, temperatur dan kelembaban) juga dapat memperburuk dermatitis dishidrosis. Pemberian imunoglobulin intravena dilaporkan dapat memicu dermatitis dishidrosis (dyshidrotic-like eczematous).

Pada beberapa pasien, infeksi jamur dapat menyebabkan dermatitis dishidrosis di daerah palmar. Sebuah studi mengungkapkan sepertiga kasus dermatitis dishidrosis dapat diatasi setelah penanganan untuk penyakit tinea pedis (kutu air), suatu penyakit di sela jari dan telapak kaki akibat infeksi jamur.

Gambaran klinis

Gambaran klinis berupa keluhan gatal-gatal (pruritus) disertai munculnya vesikel/bula secara mendadak di telapak tangan dan kaki. Biasanya rasa nyeri dan gatal terjadi sebelum munculnya vesikel.

Beberapa faktor yang digali dari anamnesis dapat terkait dengan dermatitis dishidrosis, antara lain stress emosional, riwayat atopik diri sendiri atau keluarga, pajanan terhadap antigen tertentu (seperti kobalt, nikel, balsam, krom, dll), riwayat pengobatan dengan terapi imunoglobulin intravena, atau riwayat penyakit HIV.[4]

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan, kultur bakteri dan sensitivitas, uji tempel, dan histopatologi (adanya spongiosis disertai infiltrasi limfosit dan/atau bula/vesikel intraepidermal). Diagnosis banding antara lain pemfigus bulosa, dermatitis kontak, epidermolisis bulosa.

Tatalaksana

Tatalaksana dapat berupa kompres basah untuk bula dan pemberian kortikosteroid sistemik dan topikal yang berfungsi sebagai antiinflamatorik dan mempengaruhi sistem imun tubuh.[5]

DEFINISI Kulit Kering (Xerosis, Asteatosis) adalah suatu keadaan dimana kulit kehilangan kelembabannya sehingga tampak pecah-pecah. Kulit kering sering terjadi, terutama pada usia diatas setengah baya. PENYEBAB Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kulit kering adalah: Faktor keturunan Kadang kulit kering yang parah (iktiosis) merupakan akibat dari penyakit keturunan, seperti iktiosis vulgaris atau hiperkeratosis epidermolitik. Faktor metabolisme Kulit kering lebih banyak ditemukan pada tiroid yang kurang aktif atau penurunan berat badan yang berlebihan. Penuaan Penambahan umur menyebabkan berkurangnya pelumasan kulit secara alami. Cuaca dingin dengan tingkat kelembaban yang rendah Penyejuk ruangan, pemanas ruangan atau duduk dekat perapian atau kipas pemanas Terlalu sering mandi atau berenang (terutama jika airnya terlalu banyak mengandung klorin) Kontak dengan sabun, deterjen atau bahan pelarut Gesekan yang menyebabkan iritasi atau kulit pecah-pecah. Iktiosis juga bisa merupakan akibat dari kelainan yang tidak diturunkan, yaitu: Lepra Tiroid yang kurang aktif Limfoma AIDS Sarkoidosis. GEJALA Kulit kering bisa mengalami iritasi dan sering menimbulkan gatal, kadang kulit terkelupas dalam serpihan-serpihan kecil dan sisik-sisik kecil. Pembentukan sisik paling sering terjadi pada tungkai bawah. Penderita iktiosis vulgaris kulitnya bersisik tanpa disertai lepuhan. Penderita hiperkeratosis epidermolitik memiliki lepuhan yang tebal dan berbau busuk, dengan kutil yang bersisik dan terasa nyeri. Menggosok atau menggaruk kulit yang kering bisa menyebabkan infeksi dan pembentukan jaringan parut. Kulit kering juga bisa menyebabkan dermatitis, dimana kulit tampak merah dan gatal.

DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik PENGOBATAN Untuk mengobati kulit kering kuncinya adalah menjaga kelembaban kulit. Jangan terlalu sering mandi atau berenang; gunakan air hangat suam-suam kuku. Lebih jarang mandi memungkinkan minyak pelindung tetap berada di kulit. Salep atau krim seperti jeli minyak (vaselin), minyak mineral atau pelembab tanpa wewangian, juga bisa menahan air dalam kulit. Sabun yang keras, detergen dan wewangian dalam beberapa pelembab bisa mengiritasi kulit dan membuat kulit kering. Untuk membuang sisik pada kulit, bisa digunakan larutan atau krim yang mengandung asam salisilat. Setelah pengolesan obat tersebut, pada dewasa bisa dilakukan pembungkusan kulit dengan perban yang terbuat dari filem plastik atau selofan; tetapi pada anak-anak tidak dilakukan hal seperti ini. Untuk iktiosis berat, bisa digunakan krim yang mengandung vitamin A (tretinoin). Campuran vitamin A membantu merontokkan sisik-sisik di kulit. Etretinat merupakan obat yang berhubungan dengan vitamin A dan digunakan pada beberapa bentuk iktiosis. Antibiotik dan beberapa sabun desinfektan yang kuat bisa digunakan pada hiperkeratosis epidermolitik. PENCEGAHAN Pencegahan bisa dilakukan dengan mengoleskan pelembab secara teratur pada kulit seluruh tubuh. Kurangi penurunan kelembaban kulit dengan mengubah kebiasaan mandi; mandi lebih

singkat dan menggunakan air hangat. Kurangi pemakaian sabun, batasi penggunaannya di daerah wajah, ketiak maupun alat kelamin; keringkan kulit secara perlahan.

You might also like