You are on page 1of 41

Pengertian Bidah, Macam-Macam Bidah Dan Hukum-Hukumnya Muslim category Pengertian Bidah, Macam-Macam Bidah Dan Hukum-Hukumnya ketegori

Muslim. Pengertian Bidah, Macam-Macam Bidah Dan Hukum-Hukumnya

Kategori Bidah Rabu, 10 Maret 2004 16:49:28 WIB PENGERTIAN BIDAH MACAM-MACAM BIDAH DAN HUKUM-HUKUMNYA Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan PENGERTIAN BIDAH Bidah menurut bahasa, diambil dari bida yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelum Allah berfirman. Badiiu as-samaawaati wal ardli Arti : Allah pencipta langit dan bumi [Al-Baqarah : 117] Arti ialah Allah yg mengadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Juga firman Allah. Qul maa kuntu bidan min ar-rusuli Arti : Katakanlah : Aku bukanlah rasul yg pertama di antara rasul-rasul. [Al-Ahqaf : 9]. Maksud ialah : Aku bukanlah orang yg pertama kali datang dgn risalah ini dari Allah Taala kpd hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yg telah mendahuluiku. Dan dikatakan juga : Fulan mengada-adakan bidah, maksud : memulai satu cara yg belum ada sebelumnya. Dan peruntukan bidah itu ada dua bagian : [1] Peruntukan bidah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti ada penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalam penyingkapan-penyingkapan ilmu dgn berbagai macam-macamnya). Ini ialah mubah (diperbolehkan) ; krn asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) ialah mubah.

[2] Peruntukan bidah di dalam Ad-Dien (Islam) hukum haram, krn yg ada dalam dien itu ialah tauqifi (tdk bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Arti : Barangsiapa yg mengadakan hal yg baru (beruntuk yg baru) di dalam urusan kami ini yg bukan dari urusan tersebut, maka peruntukan di tolak (tdk diterima). Dan di dalam riwayat lain disebutkan : Arti : Barangsiapa yg beruntuk suatu amalan yg bukan didasarkan urusan kami, maka peruntukan di tolak. MACAM-MACAM BIDAH Bidah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam : [1] Bidah qauliyah itiqadiyah : Bidah perkataan yg keluar dari keyakinan, seperti ucapanucapan orang Jahmiyah, Mutazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompokkelompok) yg sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka. [2] Bidah fil ibadah : Bidah dalam ibadah : seperti beribadah kpd Allah dgn apa yg tdk disyariatkan oleh Allah : dan bidah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu : [a]. Bidah yg berhubungan dgn pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yg tdk ada dasar dalam syariat Allah Taala, seperti mengerjakan shalat yg tdk disyariatkan, shiyam yg tdk disyariatkan, atau mengadakan hari-hari besar yg tdk disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya. [b]. Bidah yg bentuk menambah-nambah terhadap ibadah yg disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar. [c]. Bidah yg terdpt pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yg sifat tdk disyariatkan seperti membaca dzikir-dzikir yg disyariatkan dgn cara berjamaah dan suara yg keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batasbatas sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam [d]. Bidah yg bentuk menghususkan suatu ibadah yg disariatkan, tapi tdk dikhususkan oleh syariat yg ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Syaban (tanggal 15 bulan Syaban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasar shiyam dan qiyamullail itu di syariatkan, akan tetapi pengkhususan dgn pembatasan waktu memerlukan suatu dalil. HUKUM BIDAH DALAM AD-DIEN Segala bentuk bidah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bidah, dan setiap bidah ialah sesat. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. Dan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak. Dan dalam riwayat lain disebutkan : Arti : Barangsiapa beramal suatu amalan yg tdk didasari oleh urusan kami maka amalan tertolak. Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yg diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) ialah bidah, dan setiap bidah ialah sesat dan tertolak. Arti bahwa bidah di dalam ibadah dan aqidah itu hukum haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bidahnya, ada diantara yg menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kpd ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kpd kuburan-kuburan itu, berdoa kpd ahli kubur dan minta pertolongan kpd mereka, dan seterusnya. Begitu juga bidah seperti bidah perkataan-perkataan orang-orang yg melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mutazilah. Ada juga bidah yg mrpk sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdoa disisinya. Ada juga bidah yg mrpk fasiq secara aqidah sebagaimana hal bidah Khawarij, Qadariyah dan Murjiah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Quran dan As-Sunnah. Dan ada juga bidah yg mrpk maksiat seperti bidah orang yg beribadah yg keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan shiyam yg dgn berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dgn tujuan menghentikan syahwat jima (bersetubuh). Catatan : Orang yg membagi bidah menjadi bidah hasanah (baik) dan bidah syayyiah (jelek) ialah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Arti : Sesungguh setiap bentuk bidah ialah sesat. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bidah itu ialah sesat ; dan orang ini (yg membagi bidah) mengatakan tdk setiap bidah itu sesat, tapi ada bidah yg baik ! Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab Syarh Arbain mengenai sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Setiap bidah ialah sesat, mrpk (perkataan yg mencakup keseluruhan) tdk ada sesuatupun yg keluar dari kalimat tersebut dan itu mrpk dasar dari dasar Ad-Dien, yg senada dgn sabda : Arti : Barangsiapa mengadakan hal baru yg bukan dari urusan kami, maka peruntukan ditolak. Jadi setiap orang yg mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkan kpd Ad-Dien, padahal tdk ada dasar dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri dari ; baik pada masalah-masalah aqidah, peruntukan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin. Dan mereka itu tdk mempunyai dalil atas apa yg mereka katakan bahwa bidah itu ada yg baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu anhu pada shalat Tarawih : Sebaik-baik bidah

ialah ini, juga mereka berkata : Sesungguh telah ada hal-hal baru (pada Islam ini), yg tdk diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Quran menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya. Adapun jawaban terhadap mereka ialah : bahwa sesungguh masalah-masalah ini ada rujukan dalam syariat, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu anhu : Sebaik-baik bidah ialah ini, maksud ialah bidah menurut bahasa dan bukan bidah menurut syariat. Apa saja yg ada dalil dalam syariat sebagai rujukan jika dikatakan itu bidah maksud ialah bidah menurut arti bahasa bukan menurut syariat, krn bidah menurut syariat itu tdk ada dasar dalam syariat sebagai rujukannya. Dan pengumpulan Al-Quran dalam satu kitab, ada rujukan dalam syariat krn Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Quran, tapi penulisan masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya. Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat secara berjamaah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhir tdk bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu anhu menjadikan mereka satu jamaah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan mrpk bidah dalam Ad-Dien. Begitu juga hal penulisan hadits itu ada rujukan dalam syariat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kpd sebagian sahabat krn ada permintaan kpd beliau dan yg dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam secara umum ialah ditakutkan tercampur dgn penulisan Al-Quran. Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab AlQuran sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tdk hilang ; semoga Allah Taala memberi balasan yg baik kpd mereka semua, krn mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam agar tdk kehilangan dan tdk rancu akibat ulah peruntukan orang-orang yg selalu tdk bertanggung jawab. [Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang hrs Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=439&bagian=0 Mengenal Seluk Beluk BIDAH (1): Pengertian Bidah Kategori Manhaj | 14-10-2008 | 105 Komentar

[Bagian Pertama dari 4 Tulisan] Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bidah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bidah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bidah kadang dinyatakan bidah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bidah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bidah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada. Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Taala, Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al Maidah [5] : 3) Seorang ahli tafsir terkemuka Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, Inilah nikmat Allah azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam haramkan. (Tafsir Al Quran Al Azhim, pada tafsir surat Al Maidah ayat 3) SYARAT DITERIMANYA AMAL Saudaraku yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun. (QS. Al Kahfi [18] : 110) Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak. (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim no. 1718) Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal amalu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan RasulNya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali. (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh) Beliau rahimahullah juga mengatakan, Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syariat maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syariat maka amalan tersebut tidak tertolak. Jika suatu amalan keluar dari koriodor syariat, maka amalan tersebut tertolak. Dalam sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang bukan ajaran kami mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syariat. Oleh karena itu, syariatlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syariat dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syariat, maka amalan tersebut tertolak. (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 77-78)

Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak. PENGERTIAN BIDAH [Definisi Secara Bahasa] Bidah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mujam Al Wasith, 1/91, Majma Al Lugoh Al Arobiyah-Asy Syamilah) Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Taala, Allah Pencipta langit dan bumi. (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al Anam [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya. Juga firman-Nya, Katakanlah: Aku bukanlah yang membuat bidah di antara rasul-rasul. (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah) [Definisi Secara Istilah] Definisi bidah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al Itishom. Beliau mengatakan bahwa bidah adalah: Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syariat (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Taala. Definisi di atas adalah untuk definisi bidah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bidah, mereka mendefinisikan bahwa bidah adalah

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syariat (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syariat (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al Itishom, 1/26, Asy Syamilah) Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, : Bidah adalah itiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma (kesepakatan) salaf. (Majmu Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah) Ringkasnya pengertian bidah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Bashoiru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida, hal. 26, Dar Ar Royah) Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bidah secara istilah. Ada yang memakai definisi bidah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bidah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafii, Al Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bidah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com) Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bidah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bidah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan apakah setiap bidah itu sesat?. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah. Mengenal Seluk Beluk BIDAH (2): Adakah BIDAH HASANAH? Kategori Manhaj | 14-10-2008 | 93 Komentar [Bagian Kedua dari 4 Tulisan] Setiap bidah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bidah itu sesat, ada pula bidah yang baik (bidah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini. [Dalil dari As Sunnah]

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, beliau berkata, Jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Amma badu. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bidah) dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An Nasai dikatakan, Setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. An Nasai no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dhoif Sunan An Nasai) Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, beliau berkata, Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut). Lalu ada yang mengatakan, Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami? Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dhoif Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dhoif Sunan Tirmidzi) [Dalil dari Perkataan Sahabat]

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Setiap tahun ada saja orang yang membuat bidah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bidah dan sunnah pun mati. (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mujam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma Zawaid bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya) Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata, Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bidah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bidah adalah sesat. (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mujam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma Zawaid bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih) Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bidah itu sesat. KERANCUAN: BIDAH ADA YANG TERPUJI ? Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bidah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bidah hasanah. Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bidah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bidah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bidah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafii dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata, : Bidah itu ada dua macam yaitu bidah yang terpuji dan bidah yang tercela. (Lihat Hilyatul Awliya, 9/113, Darul Kitab Al Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah) Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata, Sebaik-baik bidah adalah ini. (HR. Bukhari no. 2010)

Pembagian bidah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bidah itu ada yang baik (bidah hasanah) dan ada yang tercela (bidah sayyiah). Sehingga untuk sebagian perkara bidah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Syaban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bidah mereka ini dengan mengatakan Ini kan bidah yang baik (bidah hasanah). Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bidah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bidah yang sebenarnya. SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN: KETAHUILAH SEMUA BIDAH ITU SESAT Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam sesungguhnya sejelekjeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen), setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bidah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/88, Taliq Dr. Nashir Abdul Karim Al Aql) Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bidah adalah sesat, lalu mengatakan tidak semua bidah itu sesat. (Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/93) Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh kullu (artinya: semua) pada hadits, Setiap bidah adalah sesat, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum. Asy Syatibhi mengatakan, Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bidah yang baik. (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida, hal. 91, Darul Ar Royah) Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bidah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata, Setiap bidah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik. (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Masud mengingkari mereka dengan mengatakan, - - . Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bidah)? : . : Mereka menjawab, Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Masud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan. Ibnu Masud berkata, Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya. (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid) Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Masud- memaknai bidah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bidah yang baik (hasanah) dan bidah yang jelek (sayyiah). BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR [Sanggahan pertama] Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bidah secara syari. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjamaah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjamaah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bidah secara syari. Sehingga yang dimaksudkan bidah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bidah adalah ini yaitu bidah secara bahasa dan bukan bidah secara syari. Bidah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya. Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya

secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bidah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bidah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bidah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/93-96) [Sanggahan Kedua] Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bidah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bidah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bidah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mencela bidah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho Shirotil Mustaqim) [Sanggahan Ketiga] Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bidah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bidah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bidah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Quran, As Sunnah atau ijma kaum muslimin. Karena ingatlah berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum. Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bidah hasanah maka harus ada dalil dari Al Quran, As Sunnah atau ijma. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bidah) adalah sesat dan tertolak. Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits setiap bidah adalah sesat adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (aam baqiya ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bidah. Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar? Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bidah (tanpa memahamkan apa bidah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-

tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bidah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut. Misalnya HP ini termasuk bidah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bidah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bidah itu sesat. Tidak ada bidah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bidah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. HUKUM BIDAH DALAM ISLAM Hukum semua bidah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat. Tingkatan Pertama: Bidah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bidah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Quran. Contohnya adalah pada ayat, Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami. (QS. Al Anam [6]: 36) Tingkatan Kedua : Bidah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bidah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murjiah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah). Tingkatan Ketiga: Bidah yang termasuk maksiat seperti bidah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari. Tingkatan Keempat: Bidah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdoa pada sore hari saat hari Arofah. Jadi setiap bidah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bidah yang besar dan ada bidah yang kecil (ringan). Namun bidah itu dikatakan bidah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu: Tidak dilakukan terus menerus. Orang yang berbuat bidah (mubtadi) tidak mengajak pada bidahnya. Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya. Tidak menganggap remeh bidah yang dilakukan.

Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bidah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bidah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com) Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bidah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah. Mengenal Seluk Beluk BIDAH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bidah Kategori Manhaj | 14-10-2008 | 70 Komentar [Bagian Ketiga dari 4 Tulisan] Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bidah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bidah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bidah dan jawabannya. [1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bidah Setelah kita mengetahui definisi bidah dan mengetahui bahwa setiap bidah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bidah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, Kalau memang bidah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bidah dengan benar. Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bidah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bidah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat. Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya. Asy Syatibi juga mengatakan, Perkara non ibadah (adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bidah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bidah. (Al Itishom, 1/348) Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku. (HR. Ahmad. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan) Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bidah yang tercela. Kalau mau kita katakan bidah, itu hanyalah bidah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya. [2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bidah dengan Mengumpulkan Al Quran Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bidahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bidah. Mereka mengumpulkan Al Quran dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bidah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet. Ingatlah bahwa bidah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bidah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa-nya berikut. Bidah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syari maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syariatkan, baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam. (Majmu Fatawa, 4/107-108, Mawqi Al Islam-Asy Syamilah) Pengumpulan Al Quran dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syariat karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Quran, namun penulisannya masih terpisah-pisah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Quran adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Quran itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Quran dan syariat telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu alaihi wa sallam; begitu pula Al Quran tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Quran termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut

bidah, maka yang dimaksudkan adalah bidah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen). Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Quran dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah? Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syariat, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Quran dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama. Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat. Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bidah dan meninggalkannya adalah sunnah. Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Quran. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Quran dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Quran pada saat itu adalah suatu maslahat. Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bidah dengan benar[3] Yang Penting Kan Niatnya! Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bidah yang dia lakukan, Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing. Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada

pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat rakaat walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al Fudhail bin Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah, Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Lalu Al Fudhail berkata, Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 19) Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Masud, . Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Masud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan. Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Masud menyanggah perkataan mereka sembari berkata, Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya. (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid) Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar Niat baik semata belum cukup. [4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami

Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bidah yang dia lakukan. Ketika ditanya, Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian? Dia menjawab, Ini kan sudah jadi tradisi kami Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan, Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (QS. Az Zukhruf [43] : 22) Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syariat dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syariat. Namun, jika ada tradisi dzikir atau doa tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bidah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil. Jadi, bidah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, Perkara non ibadah (adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bidah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bidah. (Al Itishom, 1/348) Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syariat sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bidah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya. [5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini Ada juga yang berargumen ketika ritual bidah seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!

Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bidah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok? Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bidah wa Atsaruha Asy Syai fil Ummah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh) Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Taala, Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS. Al Anam [6] : 116) Semoga Allah Taala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang. [6] Baca Al Quran kok dilarang?! Ini juga di antara argumen dari pelaku bidah ketika diberitahu mengenai bidah yang dilakukan, Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bidah. Lalu dia bergumam, Masa baca Al Quran saja dilarang?! Atau ada pula yang berkata, Masa baca dzikir saja dilarang?! Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bidah yaitu bidah hakikiyah dan idhofiyah. Bidah hakikiyah adalah setiap bidah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Quran, As Sunnah, ijma kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al Itishom, 1/219)

Di antara contoh bidah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syariat. Bidah idhofiyah adalah setiap bidah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bidah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bidah hakikiyah. (Al Itishom, 1/219) Jadi bidah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyariatkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bidah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis. Contohnya bidah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjamaah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru (disyariatkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyariatkan dan termasuk bidah yang menyelisihi sunnah. Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Syaban (pertengahan bulan Syaban). Begitu pula shalat roghoib pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bidah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyariatkan, namun terdapat bidah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi. Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyariatkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjamaah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Quran hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu. Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Quran maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini? Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus Mengenal Seluk Beluk BIDAH (4): Dampak Buruk BIDAH

Kategori Manhaj | 15-10-2008 | 42 Komentar [Bagian Keempat dari 4 Tulisan] Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bidah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bidah. [Pertama, amalan bid'ah tertolak] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak. (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718) Orang yang berbuat bidah inilah yang amalannya merugi. Allah Taala berfirman, Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi [18] : 103104) [Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah] Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bidah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bidahnya. (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54) [Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, . Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka

dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, Wahai Rabbku, ini adalah umatku. Lalu Allah berfirman, Engkau sebenarnya tidak mengetahui bidah yang mereka buat sesudahmu. (HR. Bukhari no. 7049) Dalam riwayat lain dikatakan, . (Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu. Kemudian aku (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) mengatakan, Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku. (HR. Bukhari no. 7051) Inilah doa laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berbuat bidah. Ibnu Baththol mengatakan, Demikianlah, seluruh perkara bidah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bidah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini. (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bidah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Dua[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun. (HR. Muslim no. 1017) Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bidah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syariat. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bidah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syariat? Jika

melestarikan ajaran beliau shallallahu alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh. Marilah Bersatu di Atas Kebenaran Saudaraku, kami menyinggung masalah bidah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syuaib, Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS. Hud [11] : 88) Inilah sedikit pembahasan mengenai bidah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bidah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair, Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sailin. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu samiun qoriibum mujibud daawaat. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)

*** Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T. Dimurojaah oleh: Ustadz Aris Munandar Artikel www.muslim.or.id Bidah Dalam Timbangan Islam Kategori Manhaj | 04-09-2008 | 48 Komentar Para pembaca yang di muliakan oleh Allah taala, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah meninggalkan kita di atas tuntunan yang jelas, tuntunan yang terang berderang, di atas petunjuk yang sempurna. Hal ini telah di tegaskan oleh Allah taala dalam firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah: 3) Ayat yang mulia ini menunjukkan kesempurnaan syariat dan bahwasanya syariat ini telah mencukupi segala keperluan yang dibutuhkan oleh makhluk. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena itulah Allah taala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, dinukil dari Ilmu Usul Bida, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, 17) Begitu pula Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka. (HR. Ahmad) Juga sabdanya, Tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian. (HR. Thabrani)

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari berkata: Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami. (HR. Thabrani) Bahkan hal ini juga dipersaksikan oleh musuh-musuh islam yakni akan kebenaran dan kesempurnaan agama islam ini. Seorang yahudi berkata kepada Salman Al Farisi (dengan nada mengejek): Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga cara buang hajat!. Salman menjawab (dengan penuh bangga): Benar, beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, dan beliau melarang kami untuk istinja dengan menggunakan tangan kanan dan istinja dengan kurang dari tiga batu atau istinja dengan kotoran atau tulang. (HR. Muslim) Begitu pula yang menjadi akidah para ulama ahlussunnah, Imam Malik berkata, Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru (bidah) di dalam agama ini sedangkan ia menganggap baik perbuatan tersebut maka sungguh ia telah menuduh Nabi Muhammad telah berbuat khianat, karena Allah taala telah berfirman, Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah: 3). Maka perkara yang pada hari ayat ini diturunkan bukan agama maka sekarang juga bukan merupakan agama. (Al-Itishom, 1/49, dinukil dari Ilmu Usul Bida, 20) Maka berdasarkan keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan betapa sempurnanya syariat islam, sehingga penambahan atau pengurangan atas syariat islam tanpa dalil dari al-Quran atau as-Sunnah menunjukkan pelecehan terhadap syariat, tindakan kriminal agama dari pelakunya yang secara tidak langsung pelakunya menganggap bahwa syariat islam ini belum sempurna, waliyaudzu billah. Perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam syariat islam dikenal dengan nama bidah. Makna Bidah Secara bahasa, bidah berarti segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya, hal ini sebagaimana Firman Allah taala: Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (QS. Al Ahqaf: 9) Yakni, tidaklah aku adalah orang yang pertama kali diutus, namun sebelumku telah di utus beberapa rasul.

Adapun definisi bidah secara istilah syari adalah sebagaimana di jelaskan oleh Imam AsySyatibi, Bidah adalah suatu metode di dalam beragama yang di ada-adakan menyerupai syariat, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa taala sedangkan tidak ada padanya dalil syari yang shahih dalam asal atau tata cara pelaksanaannya. (Al Itisham: 1/37, dinukil dari ilmu Usul Bida, 24) Hukum Bidah Setiap bidah adalah kesesatan, setiap bidah membawa pelakunya kepada perbuatan dosa, perbuatan kesesatan dan menodai syariat islam yang mulia dan sempurna ini. Bukankah sesuatu yang sempurna jika ditambah atau dikurangi akan merusak kesempurnaannya? Bukankah sebuah bola yang sudah bulat sempurna jika kita tambahi atau kurangi malah akan merusak keindahannya?? Perbuatan bidah adalah kesesatan walaupun orang-orang menganggap perbuatan tersebut adalah kebaikan, sebagaimana perkataan sahabat Abdullah Ibnu Umar, Setiap bidah adalah kesesatan meskipun manusia menganggap perbuatan tersebut adalah kebaikan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam agama ini tanpa ada tuntunannya maka amalannya tersebut tertolak. (HR. Bukhari Muslim) Juga dalam sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam, Setiap bidah adalah kesesatn. (HR. Tirmidzi) Faedah Bidah yang tercela dalam islam adalah perbuatan bidah dalam syariat islam, yaitu melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan alasan ibadah padahal tidak ada dalil atas hal tersebut atau dalil yang menjadi sandarannya adalah hadits yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Sehingga apabila ada seseorang melakukan suatu perbuatan yang baru akan tetapi tidak dalam rangka beribadah kepada Allah taala maka perbuatan tersebut bukanlah disebut sebagai bidah yang tercela akan tetapi disebut bidah secara bahasa, dan perbuatan tersebut boleh.

Misalnya seseorang ingin melaksanakan puasa khusus pada hari selasa saja tanpa hari lainnya, sedangkan puasa adalah ibadah, ia melaksanakan puasa tersebut tanpa ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabatnya, maka puasa yang ia lakukan adalah bidah yang diharamkan oleh islam. Adapun jika seseorang melakukan perbuatan yang berkaitan dengan dunia seperti membuat kendaraan tipe baru yang belum ada contoh sebelumnya, atau membuat kebiasaan baru, maraton setiap hari Rabu pagi dan seterusnya maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatanperbuatan tersebut adalah boleh. Semoga bermanfaat *** Penulis: Abu Said Satria Buana Murojaah: Ustadz Aris Munandar Artikel www.muslim.or.id TENTANG NISFU SYAABAN; ANTARA AMALAN SUNNAH DAN BID'AH Posted by ukhti salimah at 8:11 PM TENTANG NISFU SYAABAN; ANTARA SUNNAH DAN BID'AH by Dassiah Sidek on Sunday, July 17, 2011 at 10:36am Assalaamualaikum w.b.t.. Sebagaimana telah kita ketahui apabila tibanya malam 15 Syaaban, ramai yang akan ke masjid untuk solat jemaah dan membaca yasin sebanyak 3 kali. Tetapi tahukah kita dari mana amalan itu berasal? Sedangkan kita tahu, bahawa sesuatu ibadah khusus yang dilakukan jika tiada amalan atau dalil dari nabi Muhammad S.a.w maka dikira bidah. Persoalannya mengapa perlu dilakukan sebanyak 3 kali dan dikhususkan pada malam tersebut? Sedangkan bacaan Yasin boleh dilakukan pada bila-bila masa dan tidak terhad kepada berapa kali. Seperti yang selalu saya lihat, bacaan Yasin yang dibuat sebanyak 3 kali itu dilakukan dengan pantas dan terkejar-kejar. Mungkin ianya sesuai dengan orang yang sudah mahir membaca Qasar, tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mahir dengan bacaan Qasar lebih-lebih lagi bagi yang tidak mahir membaca AlQuran bertajwid. Tidakkah itu sudah menjadi tungganglanggang dan tidak berlaku dalam keadaan yang tenang. Apakah bagus membaca AlQuran dalam keadaan tergesa-gesa dan salah tajwidnya? Apakah hikmah di sebalik tergesa-gesa dan tidak faham apa yang dibaca itu? Sebenarnya tiada hadith yang sahih yang memberitahu tentang bacaan yasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban ini dan jika ada pun, ianya adalah hadith berkenaan kelebihan malam nisfu Syaaban yang dhaif dan juga terdapat dalam hadith maudhu (palsu). Walau bagaimanapun ada sebahagian ulama berpendapat hadis dhaif boleh dipegang dalam amalan sunat secara perseorangan. Tetapi tidak sekali-kali dengan hadith maudhu. Ingat, hadith maudhu maknanya hadith PALSU, dan hadith PALSU hanyalah hadith yang direka-reka oleh golongan tertentu.

Dengan kerana itu, adalah penting agar kita berhati-hati dalam memahami martabat sesuatu hadith itu. Namun , dalam soal bacaan Yasin sebanyak 3 kali dalam nisfu Syaaban tetap tidak ada hadith yang sahih berkenaannya dan amalan tersebut tiada ditunjukkan contoh langsung oleh nabi dan sahabat. Maka mengapa kita sekarang ini mengadakan majlis tersebut di masjid-masjid apabila tibanya malam nisfu Syaaban sahaja? Mengapa perlu menetapkan malam itu untuk membaca Yasin 3 kali dan berduyun-duyun menuju ke masjid sedangkan malam lain tidak? Itu yang perlu diperhati bersama. Dan saya tidak berani mengatakan amalan tersebut haram. tetapi kita perlu ingat, amalan ibadah khusus yang bukannya berasal dari nabi sudah dikira bidah dan dibimbangi amalan itu akan menjadi penat dan lelah semata-mata kerana tidak berasas atau menambah dosa sahaja. Tetapi menurut fatwa dari Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, amalan itu dikira bidah dan penjelasannya ada saya sertakan di bawah nanti. Maka sebaiknya adalah kita lakukan sahaja amalan membaca Yasin atau apa-apa sahaja bacaan AlQuran , tanpa perlu dikhususkan 3 kali dan seumpamanya. Dan yang penting, bacaan itu biarlah TERTIB, TENANG dan memberi keinsafan kepada kita dan bukannya semata-mata mahu mengejar pahala sehingga membaca AlQuran dengan tergopoh dan salah tajwid dan mengatakan sepatutnya melakukan bacaan Yasin 3 kali itu. Pengertian nisfu Syaaban Nisfu dalam bahasa arab bererti setengah. Nisfu Syaaban bererti setengah bulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban adalah malam lima-belas Syaaban iaitu siangnya empat-belas haribulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban merupakan malam yang penuh berkat dan rahmat selepas malam Lailatul qadr. Saiyidatina Aisyah r.a. meriwayatkan bahawa Nabi saw tidak tidur pada malam itu sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi r.a: Rasulullah saw telah bangun pada malam (Nisfu Syaaban) dan bersembahyang dan sungguh lama sujudnya sehingga aku fikir beliau telah wafat. Apabila aku melihat demikian aku mencuit ibu jari kaki Baginda saw dan bergerak. Kemudian aku kembali dan aku dengar Baginda saw berkata dlm sujudnya, Ya Allah aku pohonkan kemaafanMu daripada apa yg akan diturunkan dan aku pohonkan keredhaanMu daripada kemurkaanMu dan aku berlindung kpdMu daripadaMu. Aku tidak dpt menghitung pujian terhadapMu seperti kamu memuji diriMu sendiri. Setelah Baginda saw selesai sembahyang, Baginda berkata kpd Saiyidatina Aisyah r.a. Malam ini adalan malam Nisfu syaaban. Sesungguhnya Allah Azzawajjala telah dtg kpd hambanya pada malam Nisfu syaaban dan memberi keampunan kpd mereka yg beristighfar, memberi rahmat ke atas mereka yg memberi rahmat dan melambatkan rahmat dan keampunan terhadap orang2 yg dengki.

Hari nisfu syaaban adalah hari dimana buku catatan amalan kita selama setahun diangkat ke langit dan diganti dengan buku catatan yang baru. Catatan pertama yang akan dicatatkan dibuku yang baru akan bermula sebaik sahaja masuk waktu maghrib, (15 Syaaban bermula pada 14 hb syaaban sebaik sahaja masuk maghrib) Fatwa tentang merayakan malam Nisfu Syaaban Bacaan yasin Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam nisfu Syaaban ( 15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celahcelah bacaan Yasin ini diselitkan dengan bacaan doa seperti , selepas bacaan Yasin pertama dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal. Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama muktabar dunia masa kini tentang sahih batilnya amalan ini. Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat pahala dan kebaikan . Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari alQuran dan as-sunnah . Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan memenatkan badan. Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan kepada malam nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di malam nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah s.w.t. Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan membaca Yasin dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan khusus untuk amalan penduduk nusantara ini! Solat Sunat Nisfu Syaaban Firman Allah (mafhumnya): Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu. [al-Maaidah 5:3]. Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan

mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah? [al-Syur.a 42:21] Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak. Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a, Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: Tetaplah kamu dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Rasyidun, serta berpegang teguhlah padanya Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana setiap perkara baru adalah bidah dan setiap perkara bidah itu adalah sesat. Terdapat banyak lagi ayat Quran dan hadis yang seumpamanya. Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka. Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik. Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini, begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bidah dan menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang menyanjung Sunnah dan mengecam bidah, ditulis oleh bin Waddah, al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain. Antara amalan bidah yang direka manusia ialah menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan. Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena nisfu Syaaban kesemuanya adalah maudhu (rekaan semata-mata), sebagaimana telah diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa petikan dari ulasan para alim ulama ini. Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur ulama, menyambut nisfu Syaaban adalah bidah, dan hadis-hadis tentang fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah), sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu (rekaan). Antara ulama yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam kitabnya Lataaif al-Maaarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi sambutan nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat digunapakai. Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh Imam Abul-Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila

wujud perselisihan di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa yang didapati bercanggah dengan keduaduanya mestilah ditolak. Oleh itu sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam keduadua (Quran dan Sunnah) adalah bidah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya. Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada Ulil-Amri (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya. [al-Nisa 4:59] Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).[al-Shura 42:10]. Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [Aal Imr.an 3:31] Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya. [al-Nisa 4:65] Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang perselisihan wajib dirujuk kepada Quran dan Sunnah, seterusnya wajib mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia dan di akhirat: Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya [al-Nisa 4:59 mafhumnya] maksudnya ialah Hari Akhirat. Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya Lataaif al-Maaarif tentang isu ini setelah membincangkannya secara panjang lebar Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan Tabiin di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Midan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah Ata dan Ibnu Abi Malikah. Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha (Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bidah

Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa pun tentang (adanya sambutan) Malam Nisfu Syaaban Tentang amalan berdoa sepanjang Malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada Nabi (s.a.w) ataupun daripada Para Sahabat Baginda Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada Sahabatsahabat Baginda (R.A) mengenai Malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban). Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shari bahawa apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi Umat Islam untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w: Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak. Banyak lagi dalil yang menegaskan bahawa bidah mesti ditegah dan memerintahkan agar menjauhinya. Imam Abu Bakr al-Tartushi (R.A) menyebut dalam kitabnya al-Hawadith wal-Bida: Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan ulama dan and fuqaha kami yang memberi perhatian lebih kepada Malam Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di Malam Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab, Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang pereka cerita. Al-Shaukani (R.A) berkata dalam al-Fawaid al-Majmuah: Hadith yang berbunyi: Wahai Ali, barangsiapa bersolat seratus rakaat di Malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat Ummul Kitab [Surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali, Allah akan memenuhi segala keperluannya Hadis ini maudhu (rekaan semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras yang boleh meragui bahawa hadis ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi, perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). Hadis ini juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah direka dan kesemua perawinya adalah are majhul (tidak diketahui asal-usulnya). Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan: Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban Apabila tiba malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan berpuasalah di siang harinya adalah dhaif (lemah). Di dalam kitab al-Laaali beliau berkata, Seratus rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (Surah) al-Ikhlas sepuluh kali di setiap rakaat (hadis ini) adalah maudhu (direka), dan kesemua perawi dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah). Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali setiap rakaat, ini juga adalah maudhu; dan empat belas (rakaat), juga adalah maudhu.

Beberapa orang fuqaha telah tertipu oleh hadis palsu ini, antaranya pengarang al-Ihya dan lainlain, dan juga sebahagian ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini di pertengahan bulan Syaaban telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah palsu dan direka-reka. Al-Hafiz al-Iraqi berkata: Hadith tentang solat di malam pertengahan Syaaban adalah maudhu, dan disandarkan secara palsu terhadap Rasulullah s.a.w. Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu: Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaaib, didirikan sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan Isyak pada malam Jumaat pertama di bulan Rejab, dan sembahyang sunat Malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus rakaat kedua-dua sembahyang ini adalah bidah yang tercela. Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya Ulum al-Din, atau oleh hadishadis yang disebutkan dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru dalam hal ini dan menulis beberapa helaian yang menyebut bahawa sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka tersilap. Sheikh al-Imam Abu Muhammad Abd al-Rahman bin Ismail al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah memadai bagi anda yang mencari kebenaran. Daripada ayat-ayat Quran, hadis-hadis dan pendapat ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, adalah bidah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas berakhirnya zaman Sahabat (radhiallahu `anhum). Ulasan dan terjemahan fatwa : www.darulkautsar.com [Dipetik daripada Majmu Fatawa Samahat al-Sheikh Abdul-Aziz bin Baz, Petikan ini diambil dari SURAU AL MIZAN KOMPLEKS KEDIAMAN DUTAMAS, untuk tatapan dan renungan bersama. Mudah-mudahan kita sentiasa melakukan apa yang Allah dan Rasul suruh dan meninggalkan apa yang dilarang. InsyaAllah. 0 comments on "TENTANG NISFU SYAABAN; ANTARA AMALAN SUNNAH DAN BID'AH" Post a Comment Newer Post Older Post Home

TENTANG NISFU SYAABAN; ANTARA AMALAN SUNNAH DAN BID'AH Posted by ukhti salimah at 8:11 PM TENTANG NISFU SYAABAN; ANTARA SUNNAH DAN BID'AH by Dassiah Sidek on Sunday, July 17, 2011 at 10:36am Assalaamualaikum w.b.t.. Sebagaimana telah kita ketahui apabila tibanya malam 15 Syaaban, ramai yang akan ke masjid untuk solat jemaah dan membaca yasin sebanyak 3 kali. Tetapi tahukah kita dari mana amalan itu berasal? Sedangkan kita tahu, bahawa sesuatu ibadah khusus yang dilakukan jika tiada amalan atau dalil dari nabi Muhammad S.a.w maka dikira bidah. Persoalannya mengapa perlu dilakukan sebanyak 3 kali dan dikhususkan pada malam tersebut? Sedangkan bacaan Yasin boleh dilakukan pada bila-bila masa dan tidak terhad kepada berapa kali. Seperti yang selalu saya lihat, bacaan Yasin yang dibuat sebanyak 3 kali itu dilakukan dengan pantas dan terkejar-kejar. Mungkin ianya sesuai dengan orang yang sudah mahir membaca Qasar, tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mahir dengan bacaan Qasar lebih-lebih lagi bagi yang tidak mahir membaca AlQuran bertajwid. Tidakkah itu sudah menjadi tungganglanggang dan tidak berlaku dalam keadaan yang tenang. Apakah bagus membaca AlQuran dalam keadaan tergesa-gesa dan salah tajwidnya? Apakah hikmah di sebalik tergesa-gesa dan tidak faham apa yang dibaca itu? Sebenarnya tiada hadith yang sahih yang memberitahu tentang bacaan yasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban ini dan jika ada pun, ianya adalah hadith berkenaan kelebihan malam nisfu Syaaban yang dhaif dan juga terdapat dalam hadith maudhu (palsu). Walau bagaimanapun ada sebahagian ulama berpendapat hadis dhaif boleh dipegang dalam amalan sunat secara perseorangan. Tetapi tidak sekali-kali dengan hadith maudhu. Ingat, hadith maudhu maknanya hadith PALSU, dan hadith PALSU hanyalah hadith yang direka-reka oleh golongan tertentu. Dengan kerana itu, adalah penting agar kita berhati-hati dalam memahami martabat sesuatu hadith itu. Namun , dalam soal bacaan Yasin sebanyak 3 kali dalam nisfu Syaaban tetap tidak ada hadith yang sahih berkenaannya dan amalan tersebut tiada ditunjukkan contoh langsung oleh nabi dan sahabat. Maka mengapa kita sekarang ini mengadakan majlis tersebut di masjid-masjid apabila tibanya malam nisfu Syaaban sahaja? Mengapa perlu menetapkan malam itu untuk membaca Yasin 3 kali dan berduyun-duyun menuju ke masjid sedangkan malam lain tidak? Itu yang perlu diperhati bersama. Dan saya tidak berani mengatakan amalan tersebut haram. tetapi kita perlu ingat, amalan ibadah khusus yang bukannya berasal dari nabi sudah dikira bidah dan dibimbangi amalan itu akan menjadi penat dan lelah semata-mata kerana tidak berasas atau menambah dosa sahaja. Tetapi menurut fatwa dari Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, amalan itu dikira bidah dan penjelasannya ada saya sertakan di bawah nanti.

Maka sebaiknya adalah kita lakukan sahaja amalan membaca Yasin atau apa-apa sahaja bacaan AlQuran , tanpa perlu dikhususkan 3 kali dan seumpamanya. Dan yang penting, bacaan itu biarlah TERTIB, TENANG dan memberi keinsafan kepada kita dan bukannya semata-mata mahu mengejar pahala sehingga membaca AlQuran dengan tergopoh dan salah tajwid dan mengatakan sepatutnya melakukan bacaan Yasin 3 kali itu. Pengertian nisfu Syaaban Nisfu dalam bahasa arab bererti setengah. Nisfu Syaaban bererti setengah bulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban adalah malam lima-belas Syaaban iaitu siangnya empat-belas haribulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban merupakan malam yang penuh berkat dan rahmat selepas malam Lailatul qadr. Saiyidatina Aisyah r.a. meriwayatkan bahawa Nabi saw tidak tidur pada malam itu sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi r.a: Rasulullah saw telah bangun pada malam (Nisfu Syaaban) dan bersembahyang dan sungguh lama sujudnya sehingga aku fikir beliau telah wafat. Apabila aku melihat demikian aku mencuit ibu jari kaki Baginda saw dan bergerak. Kemudian aku kembali dan aku dengar Baginda saw berkata dlm sujudnya, Ya Allah aku pohonkan kemaafanMu daripada apa yg akan diturunkan dan aku pohonkan keredhaanMu daripada kemurkaanMu dan aku berlindung kpdMu daripadaMu. Aku tidak dpt menghitung pujian terhadapMu seperti kamu memuji diriMu sendiri. Setelah Baginda saw selesai sembahyang, Baginda berkata kpd Saiyidatina Aisyah r.a. Malam ini adalan malam Nisfu syaaban. Sesungguhnya Allah Azzawajjala telah dtg kpd hambanya pada malam Nisfu syaaban dan memberi keampunan kpd mereka yg beristighfar, memberi rahmat ke atas mereka yg memberi rahmat dan melambatkan rahmat dan keampunan terhadap orang2 yg dengki. Hari nisfu syaaban adalah hari dimana buku catatan amalan kita selama setahun diangkat ke langit dan diganti dengan buku catatan yang baru. Catatan pertama yang akan dicatatkan dibuku yang baru akan bermula sebaik sahaja masuk waktu maghrib, (15 Syaaban bermula pada 14 hb syaaban sebaik sahaja masuk maghrib) Fatwa tentang merayakan malam Nisfu Syaaban Bacaan yasin Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam nisfu Syaaban ( 15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celahcelah bacaan Yasin ini diselitkan dengan bacaan doa seperti , selepas bacaan Yasin pertama dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal.

Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama muktabar dunia masa kini tentang sahih batilnya amalan ini. Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat pahala dan kebaikan . Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari alQuran dan as-sunnah . Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan memenatkan badan. Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan kepada malam nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di malam nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah s.w.t. Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan membaca Yasin dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan khusus untuk amalan penduduk nusantara ini! Solat Sunat Nisfu Syaaban Firman Allah (mafhumnya): Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu. [al-Maaidah 5:3]. Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah? [al-Syur.a 42:21] Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak. Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a, Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: Tetaplah kamu dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Rasyidun, serta berpegang teguhlah padanya Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana setiap perkara baru adalah bidah dan setiap perkara bidah itu adalah sesat. Terdapat banyak lagi ayat Quran dan hadis yang seumpamanya. Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka. Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada

ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik. Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini, begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bidah dan menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang menyanjung Sunnah dan mengecam bidah, ditulis oleh bin Waddah, al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain. Antara amalan bidah yang direka manusia ialah menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan. Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena nisfu Syaaban kesemuanya adalah maudhu (rekaan semata-mata), sebagaimana telah diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa petikan dari ulasan para alim ulama ini. Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur ulama, menyambut nisfu Syaaban adalah bidah, dan hadis-hadis tentang fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah), sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu (rekaan). Antara ulama yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam kitabnya Lataaif al-Maaarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi sambutan nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat digunapakai. Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh Imam Abul-Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila wujud perselisihan di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa yang didapati bercanggah dengan keduaduanya mestilah ditolak. Oleh itu sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam keduadua (Quran dan Sunnah) adalah bidah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya. Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada Ulil-Amri (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya. [al-Nisa 4:59] Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang

demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).[al-Shura 42:10]. Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [Aal Imr.an 3:31] Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya. [al-Nisa 4:65] Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang perselisihan wajib dirujuk kepada Quran dan Sunnah, seterusnya wajib mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia dan di akhirat: Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya [al-Nisa 4:59 mafhumnya] maksudnya ialah Hari Akhirat. Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya Lataaif al-Maaarif tentang isu ini setelah membincangkannya secara panjang lebar Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan Tabiin di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Midan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah Ata dan Ibnu Abi Malikah. Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha (Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bidah Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa pun tentang (adanya sambutan) Malam Nisfu Syaaban Tentang amalan berdoa sepanjang Malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada Nabi (s.a.w) ataupun daripada Para Sahabat Baginda Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada Sahabatsahabat Baginda (R.A) mengenai Malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban). Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shari bahawa apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi Umat Islam untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w: Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak. Banyak lagi dalil yang menegaskan bahawa bidah mesti ditegah dan memerintahkan agar menjauhinya.

Imam Abu Bakr al-Tartushi (R.A) menyebut dalam kitabnya al-Hawadith wal-Bida: Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan ulama dan and fuqaha kami yang memberi perhatian lebih kepada Malam Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di Malam Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab, Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang pereka cerita. Al-Shaukani (R.A) berkata dalam al-Fawaid al-Majmuah: Hadith yang berbunyi: Wahai Ali, barangsiapa bersolat seratus rakaat di Malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat Ummul Kitab [Surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali, Allah akan memenuhi segala keperluannya Hadis ini maudhu (rekaan semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras yang boleh meragui bahawa hadis ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi, perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). Hadis ini juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah direka dan kesemua perawinya adalah are majhul (tidak diketahui asal-usulnya). Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan: Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban Apabila tiba malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan berpuasalah di siang harinya adalah dhaif (lemah). Di dalam kitab al-Laaali beliau berkata, Seratus rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (Surah) al-Ikhlas sepuluh kali di setiap rakaat (hadis ini) adalah maudhu (direka), dan kesemua perawi dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah). Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali setiap rakaat, ini juga adalah maudhu; dan empat belas (rakaat), juga adalah maudhu. Beberapa orang fuqaha telah tertipu oleh hadis palsu ini, antaranya pengarang al-Ihya dan lainlain, dan juga sebahagian ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini di pertengahan bulan Syaaban telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah palsu dan direka-reka. Al-Hafiz al-Iraqi berkata: Hadith tentang solat di malam pertengahan Syaaban adalah maudhu, dan disandarkan secara palsu terhadap Rasulullah s.a.w. Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu: Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaaib, didirikan sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan Isyak pada malam Jumaat pertama di bulan Rejab, dan sembahyang sunat Malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus rakaat kedua-dua sembahyang ini adalah bidah yang tercela. Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya Ulum al-Din, atau oleh hadishadis yang disebutkan dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru dalam hal ini dan menulis

beberapa helaian yang menyebut bahawa sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka tersilap. Sheikh al-Imam Abu Muhammad Abd al-Rahman bin Ismail al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah memadai bagi anda yang mencari kebenaran. Daripada ayat-ayat Quran, hadis-hadis dan pendapat ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, adalah bidah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas berakhirnya zaman Sahabat (radhiallahu `anhum). Ulasan dan terjemahan fatwa : www.darulkautsar.com [Dipetik daripada Majmu Fatawa Samahat al-Sheikh Abdul-Aziz bin Baz, Petikan ini diambil dari SURAU AL MIZAN KOMPLEKS KEDIAMAN DUTAMAS, untuk tatapan dan renungan bersama. Mudah-mudahan kita sentiasa melakukan apa yang Allah dan Rasul suruh dan meninggalkan apa yang dilarang. InsyaAllah

You might also like