You are on page 1of 18

Filsafat

Di tengah gencarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam mana Dunia Islam tertinggal sekian kali lipat dibandingkan Dunia yang dihuni pemeluk agama lain, masih ada kalangan Muslim yang menawarkan spiritualitas. Relevankah? Bagi para advokatnya, hal itu sangatlah relevan, karena ketertinggalan Dunia Islam dikarena.kan mengabaikan sisi spiritualitas itu, sedangkan bagi lawan mereka, tawaran kaum tradisionalis tersebut tidaklah relevan bahkan terkesan absurd. Hal itu dikarenakan spiritualitas itu hanyalah bersifat kuratif terhadap akses penguasaan ilmu dan teknologi. Usaha dari masing-masing kalangan perlu diapresiasi, karena bertujuan menjadikan Ialam sebagai ajaran yang zamkaniy. Yang berbeda di antara mereka hanyalah metodenya

Tradisionalisme Spiritualitas Tradisionalisme Vis A Vis Nalar Modernisme


Oleh Yusuf Suyono*
Kata Kunci: zamkaniy, empiris, perenialisme, filsafat

Pendahuluan
Garis besarnya, pembagian era sejarah kebudayaan Islam yang sudah lazim dimaklumi ada tiga, yaitu era klasik (sejak era Rasulullah sampai dengan abad tiga belas tepatnya tahun 1258 M ditandai dengan pencaplokan Baghdad oleh Hulaku), era pertengahan sejak tahun itu sampai tahun seribu delapan ratusan, dan era modern yaitu sejak tahuntahun delapan ratusan sampai dengan sekarang. Dilihat dari klasifikasi tersebut, maka dunia Islam sekarang ini termasuk dunia pemikirannya ada di era modern. Suka atau tidak, lazimnya sikap dunia Islam termasuk para pemikir Muslim secara realistis- harus menerima modernitas yang menjadi ruh era modern. Apakah jalan pikiran sederhana itu menemukan muara jawaban positifnya?. Jawaban terhadap pertanyaan sederhana tersebut ternyata tidak, karena ada tipe pemikir Muslim yang selalu berdiri dengan sikap pasang kuda-kuda terhadap modernisme, Seyyed Hossein Nasr untuk menyebut salah satu contohnya. Menurut Osman Bakar pakar filsafat Islam dari Malaysia- trend filsafat Islam kontemporer terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama , filsafat

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Islam tradisionalisme yakni filsafat klasik yang dihidupkan kembali dalam konteks zaman modern. Filsafat ini sangat memperhatikan masalahmasalah perubahan zaman dan perkembangan-perkembangan kontemporer. Di antara tokoh-tokoh utamanya adalah Seyyed Hossein Nasr dan Seyyed Naquib al-Atas. Kedua tokoh ini dikenal luas formulasinya menghidupkan filsafat Islam kontemporer yang berlandaskan ilham utama filsafat Islam klasik. Filafat ini lebih banyak dipengaruhi pemikiran tasawuf. Keduanya menulis dalam bahasa Inggris karena sasaran utamanya adalah pembaca Muslim yang datang dari latar belakang pendidikan sekuler. Masuk ke dalam kelompok ini adalah para pemikir Iran seperti Muthahari, Baqir Sadr bahkan sangat mungkin juga Imam Khomeini. Kedua adalah aliran filsafat yang diwakili oleh pemikir-pemikir modernis. Tokoh utamanya adalah Fazlur Rahman yang tesis utamanya adalah metode modern seperti di Barat, walaupun ia juga memakai beberapa metode klasik untuk menjawab beberapa persoalan modern yang dihadapinya. Dimensi tasawuf kurang mewarnai pemikiran Rahman. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah al-marhum Ismail Raji al-Faruqi. Ketiga adalah aliran yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran modern tetapi tetap menghubungkan pemikiran tersebut dengan Islam. Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemahaman Marxisme dan Sosialisme. Tokoh aliran ini adalah mengharmonisasikan Islam dengan Marxisme khususnya setelah pengaruh Marxisme merosot. Mereka beruaha mencari jalan bagaimana pemikiran Marxisme bisa mendapat justifikasi Islam, dan bagaimana Islam dapat mengantisipasi ide-ide Marxisme.1 Dalam tulisan ini, fokus perhatian diarahkan pada model pertama yaitu tradionslisme yang tokoh utamanya adalah Seyyed Hossein Nasr.

Tradisionalisme
Diskursus tradisionalisme di tulisan ini adalah tradsionalisme ala Seyyed Hossein Nasr dimana dia adalah advokatnya yang paling menonjol. Tradisi menurut Nasr- berarti al-Dn dalam pengertian seluasluasnya, yang mencakup semua aspek agama dan cabang-cabangnya; bisa juga disebut al-Sunnah yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana dipahami secara umum kata-kata tersebut; bisa juga diartikan al-Silsilah yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada Sumber, sebagaimana tampak pada Sufisme. Oleh karena itu, tradisi mirip sebuah

244

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


pohon yangt akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama,dan saripatinya terdiri dari barakah yang, karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.2 Mengenai tradisi ini, Schoun, dalam Understanding Islam yang dikutip Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa tradisi bukanlah sebuah mitologi yang sudah kuno dan hanya untuk dan hanya untuk mereka yang masih kanak-kanak sehingga tradisi menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar riel.3 Dengan melihat muatan tradisi tersebut di atas, maka bisa dirinci tiga ciri pemikiran tradisionalis sebagai berikut. Pertama, kaum tradisionalis percaya pada tingkat tertinggi atau tingkat transendaldapat melihat suatu hakekat kebenaran dalam berbagai bentuk agama dan tradisi yang diturunkan pada zaman yang berbeda, pada masyarakat yang berbeda dan dalam bentuk bahasa yang berbeda pula. Walaupun demikian, terdapat satu hakekat di balik agama-agama atau tradisi-tradisi otentik yang dapat menyatukan pemahaman di tingkat transcendental. Kedua, dalam setiap bentuk seni (art form), dalam tradisi ada prinsipprinsip kebenaran dan keindahan. Setiap keindahan dalam masyarakat tradisional atau agama-agama tradisional merujuk pada hakekat yang sama. Ketiga, kaum tradisionalis percaya bahwa kebudayaan, pemikiran dan peradaban modern adalah sudah tercemar, karena tidak berasaskan prinsip kegamaan dan kerohanian, dan akhirnya memperlihatkan ciriciri kejatuhan manusia.4 Ketercemaran modernisme sebagaiamana tergambar pada ciri ketiga di atas, apalagi isme-isme yang dilahirkan , semunya menjadikan manusia hanya sebagai basyar bukan insan. Isma-isme tersebut antara lain adalah sekularisme, reduksionisme, saintisme, dan sebagainya. Kejelekan sekularisme, menurut Nasr, karena negasi dan penyangkalannya terhadap yang sakral5 yang berasal dari ilahi serta pemisahan antara manusia dan Tuhan (ontological separation between man and God)6. Selain sekularisme, gagasan reduksionisme yang juga merupakan salah satu dari sekian karakteristik modernisme juga sangat bertentangan

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

245

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


dengan tradisionalisme tersebut di atas. Gagasan reduksionisme yang menjadi sifat sains modern tergambar pada pereduksian ruh menjadi jiwa, jiwa menjadi kegiatan biologis, kehidupan menjadi persoalan yang tidak hidup, dan persoalan yang tidak hidup menjadi partikel-partikel kuantitatif murni atau segumpal energi yang semua gerakannya dapat diukur dan dihitung7. Sementara saintisme menolak mempertimbangkan pandangan apapun kecuali keilmuan sebagai pertimbangan serius dan menolak menerima kemungkinan cara pengenalan lain apapun, seperti yang diterima melalui wahyu misalnya. Saintismelah yang membuat pandangan agamais tentang alam semesta sebagai hal yang tidak relevan secara intelektual, yang pada gilirannya agama tereduksi hanya sebuah etika yang sangat disubjektifkan dan persoalan saja. Saintismelah yang merusak realitas spiritual yang senantiasa ada di sekeliling manusia dan telah menggeser dari alam apa yang disebut sunatullahserta merusak gagasan dasar Islam tentang fenomena alam sebagai tanda-tanda (ayat) kekuasaan Allah.8 Di tengah-tengah tumpukan distruksi-distruksi modernisme seperti tersebut di atas, kaum tradisionalis dalam tulian ini adalah Nasr- terus tegar menawarkan ilmu-ilmu tradisional yang tetap terkait dengan asalusul Ilahiyah ( Devine Origin ). Bagi mereka, sains modern ( Barat ) semenjak Renaissance telah mengalami proses sekulariasi yang jelas bertentangan dengan seruan Islam tentang al-ilm secara tradisional. Dengan demikian, watak dan karakter sains modern berbeda dengan watak dan karakter sains Islam.9 Kata sains yang beratributkan modern masih berkonotasi pada pengertian kata dalam bahasa Inggrisnya science, sebagaimana dikatakan Nasr :
Science is understood as an ever-changing knowledge of the physical world based on rationation and empiricism whereas tradition, as understood by contemporary masters of the exposition of traditional doctrinesimplies immutability, permanence and knowledge of a principal and methaphysical order.10

Dari kutipan itu bisa dilihat bahwa kata sains dari kata Inggris berbeda dengan sains dalam pengertian tradisionalnya, yakni ketidak berubahan,permanensi dan pengetahuan tentang tatanan prinsip dan metapisikal. Disamping itu ada cirri-ciri lain and ilmu tradisional antara lain adalah sakralitas, satu hal yang tidak dimiliki oleh sains modern.

246

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Kata Nasr , one can also speak of sacred and profan science in distinguishing between traditional and modern science 11. Di tempat lain, Nasr mengatakan, The secularization of the cosmos was .related to the secularization of reason atau The desacralization of knowledge was related directly to the desacraliztion of cosmos .12 Salah satu mazhab sains tradisional adalah sains Islam. Mengenai yang satu ini, Nasr -seperti yang dikutip Ziauddin Sardr- menyebut ciricirinya sebagai berikut13 : 1. Untuk memikat hakekat ilmu Islam, adalah penting pertamatama membedakan apa yang disebut ilmu Islam dengan aplikasinya yang berbentuk teknologi bahkan dengan implikasi etis dari ilmu Islam. 2. Ilmu bisa disebut Islami harus merefleksikan dan mengacu kepada keesaan (unitas) ; Ilmu Islam tidak boleh menyembunyikan hubungan antara benda-benda di mana hubungan ini merupakan refleksi tingkat keberagaman (multiplicity) dari keesan (unity) bahkan harus menyingkapnya. Units juga hrus terrefleksikan dalam ilmu Islam apapun melalui kesadarannya akan unitas sebagai prinsip Ilahi bukan saja sebagai prinsip integrasi dan interrelasi. 3. Perhatian para pakar matematika abad ini pada simetri dan keindahan matematis, yang hampir merupakan argumen saintifik, adalah merupakan sebuah filsafat yang menyerupai aspek ilmu Islam ini kalau ilmu Islam tidak selalu mengandung makna keselarasan dan keindahan matematis dengan keindahan Tuhan dan melihat dalam keselarasan ini adanya kesan kebijaksanaan yang didasarkan pada kesatuan (unitas) dan keselarasan dengan demikian sangat dekat dengan perspektif Islam walaupun bukan merupakan sumbernya. 4. Dalam Ilmu Islam, harus ada kesesuaian antara ilmu dan realitas. Ilmu harus sesuai dengan satu atau beberapa aspek ontologism dari apa yang digelutinya. Dia tidak boleh puas dengan model matematis yang dapat memprediksi peristiwa-peristiwa dan menggambarkan fenomena tetapi tidak sesuai dengan realitas fisiknya. 5. Ilmu yang berciri Islam haruslah bertujuan mempelajari hakekat segala sesuatu atau tingkat realitas dalam arti ontologinya bukan hanya aksiden dan fenomenanya yang terlepas dari substansi dan nomenanya. 6. hipotesa tidak pernah boleh salah karena ilmu dalam konteks Islam- selalu berarti kepastian. Dalam Islam, ada satu tempat bagi suatu ilmu tentang tatanan pisik yang tumbuh dari strata yang kurang pasti

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

247

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


kepada yang lebih pasti, akan tetapi tipe ilmu yang tumbuh dari subjek yang mengetahui kepada yang tidak diketahui ini, harus diletakkan lebih rendah di bawah ilmu yang tertinggi, yakni ilmu yang berdasar kepastian dan permanensi. 7. Tidak satupun ilmu bisa mengklaim dirinya ilmu Islam, bila hanya mencari dan menyelidiki alam materi bebas dari tingkat eksistensi yang lebih tinggi erta seolah-olah merupakan tatanan realitas yang bebas tersendiri. Suatu ilmu juga tidak bisa disebut ilmu Islam, kalau tidak lagi menyadari tingkat-tingkat kesadaran dan mode-mode pengetahuan. 8. Akhirnya, tanpa adanya hirarki, tidak ada yang bisa ilmu Islam, betapapun pernyataan-pernyataan yang bagus telah dibuat untuk mempelajari alam sebagai ciptan Tuhan. Demikianlah ciri-ciri sains Islam menurut perspektif tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr yang memposisikan diri berseberangan secara diametral dengan modernisme terutama aspek epistemologinya. Memang tidaklah mengherankan kalau visi Nasr demikian, karena paradigma beliau adalah paradigma varian pemikir Muslim yang menganggap Barat dan modernisme di sana sebagai tantangan (challenge). Bahkan apa yang dinamakan globalisasi -menurut dia- tidak ada, itu hanya permainan Barat untuk memngukuhkan hegemoninya. Menurutnya, the colonial period is supposed to be over, but there is a new form of colonialism which always speaks in the name of global order, but which really does not mean global order at all, because all of the globe has not been consulted 15 (masa penjajahan diperkiraan udah berakhir, tetapi terdapat bentuk kolonialisme baru yang selalu berbicara atas nama tatanan global, padahal tidak berarti demikian sama sekali, karena seluruh dunia belum diajak konsultasi). Lebih dari itu, tatanan global malah menghadirkan beberapa persoalan yang pada gilirannya menjadi tantangan yang harus ditatap oleh Dunia Islam. Tantangan-tantangan tersebut menurut Nasr- adalah berikut ini.

Krisis Lingkungan ( Environmental Crisis )


Meskipun tidak sepenting spiritualitas, tetapi sepenting yang lain dari perspektif kelangsungan hidup adalah krisis lingkungan. Menurut keyakinan Nasr, krisis lingkungan ini merupakan tantangan besar bagi Duni Islam dan Islam sebagai agama. Tantangan-tantangan itu sebagiannya pasti akan dihadapi oleh agama Islam, sebagiannya yang

248

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


lain akan dihadapi oleh kebudayaan Islam, sebagiannya oleh tanah dimana kaum Muslimin hidup. Tantangan-tantangan itu bisa berbentuk ekonomi, politik, social, dan juga spiritualitas maupun agama. Perlu disampaikan menurut Nasr lagi- bahwa sudah banyak konferensi-konferensi dimana orang telah membicarakan tentang Hindu dan Lingkungan, Budha dan Lingkungan, Kong Hu Chu dan Lingkungan, sudah barang tentu Kristen dan Lingkungan dan sebagaimana, tetapi Dunia Islam masih adhemadhem saja. Para pemikir Islam belum sepenuhnya menyadari tantangan lingkungan bagi masa depan global, dan masa depan Dunia Islam sendiri.15

Tatanan Global ( Global Order )


Tantangan lain yang dihadapi Islam adalah pengatasnamaan tatanan Barat menjadi tatanan Global. Itulah permaina paling licik dan penting yang terjadi sekarang di dunia. Bagaimana diatasnamakan tatanan global, sedangkan seluruh dunia (globe) belum pernah diajak berkonsultasi. Coba lihat ide tentang global village. Siapa yang menentukan bahwa dunia ini sebagai a single village (sebuah desa tunggal)?. Bukan orang Malaisia, Persia, Arab, China, atau India; tetapi seseorang di Barat yang menemukan bahwa seluruh dunia sudah diambil alih. Ide pengatasnamaan pandangan dunia tertentu sebagai pandangan dunia seluruhnya adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi tidak hanya oleh Dunia Islam saja tetapi juga oleh Dunia non-Barat lainnya. Kata Nasr selanjutnya bahwa kita semua ingin memiliki benar-benar Tatanan Dunia (Global Order) -bukan Tatanan Barat yang diatasnamakan Tatanan Duania- dimana semua kebudayaan besar dunia saling berkawan, bercinta kasih yang akan menciptakan tatanan yang global (mendunia). Tatanan itu menurut Nasr- tidak dan tidak akan pernah ada sampai al-Mahdi nampak. Dalam tatanan dunia sesuai obsesi Nasr tersebut terdapat intervensi Tuhan dalam sejarah.16

Post-Modernisme (Post-Modernism)
Yang disebut Post-Modernisme di Barat adalah dalam pengertian perceraian, pemutusan dengan Modernisme. Itu menurut Nasr- sebagai pemecahan masalah dari bawah bukan dari atas. Yang ditentang kaum tradisionalis di antaranya Nasr bukan seperti yang dipahami Barat. Modernisme bukan hanya hidup dengan gaya, atau cara kontemporer. Yang dimaksud modernisme atau moerna (dalam sebagian bahasa Eropa)

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

249

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


adalah memandang manusia sebagai makhluk bebas dari segala sesuatu termasuk bebas dari Tuhan. Manusia adalah makhluk yang bebas berbuat, tidak bertanggung jawab kepada otoritas apa dan siapa pun termasuk Tuhan. Hal itu didasarkan pada humanisme tapi bukan humanisme Islam atau Kristen, pada rasio dan rasionalisme sebagai criteria pengetahuan yang tertinggi bukan wahyu. Modernisme model begitulah yang telah berkembang sejak Descartes sampai Kiekergaard dan NeoHegelians. Filsafat dan pandangan dunia seperti itu terus dikritik dari dalam. lewat orang seperti Derrida yang berusaha mendekonstruksi secara filosofis struktur-struktur pemikiran Barat modern, itulah postmodernisme. Kata Nasr, memang ada segi positif dari postmodernisme ini yaitu terkuaknya secara pertahap totalitarianisme modernisme di Barat dan pada gilirannya membuka ruang baru dimana suatu hal lain bias masuk.situ juga postmodernisme menguak doktrin-doktrin lain, credocredo lain, bentuk-bentuk lain, dan juga ingin mengaplikasikan diri pada sivilisasi lain di luar Barat, termasuk Dunia Islam.17

Sekularisasi Kehidupan ( The Secularisation of Life )


Sekularisasi agama Kristen di Barat berdampak negative juga pada Dunia Islam. Hal itu dikarenakan sejak beberapa abad yang lalu dimana Barat menguasai dan menjajah Dunia Islam, copy sekularisasi kehidupan orang Kristen di Barat langsung menyebar di Dunia Islam.Ada hubungan yang misterius dan harmonis antar berbagai agama. Ketika suatu agama tumbang, maka akan terjadi suatu pengaruh pada agama lain. Ketika terjadi sekularisasi etika Kristen seperti perkawinan dua orang sejenis (lesbi ataupun homo) atau sodomi menjadi alternatif gaya hidup padahal dulu-dulunya merupakan dosa terbesar dalam agama Kristen dan Yahudi, maka akan berpengaruh pula pada pola hidup orang Islam di negaranya yang dikuasai Barat, meskipun hegemoni Barat sekarang dalam bentuk budaya tidak politik lagi.18

Krisis Sain dan Teknologi ( The Crisis of Science and Technology )


Melalui aplikasi sains dalam bentuk teknologi inilah Dunia Barat bisa mendominasi dunia di berbagai bidang militer, ekonomi dan -sekarang melalui media global tentunya- budaya. Untuk itu, kaum Muslimin tidak seharusnya hanya mempelajari dan mendalami ilmu dan teknologi Barat saja tetapi juga harus mempelajari dan mendalami kritisisme terhadap

250

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


ilmu dan teknologi tersebut dari kalangan Barat sendiri. Universitasuniversitas Islam harus berusaha menjawab tantangan-tantangan yang datang dari sain dan teknologi Barat tersebut dan demikian juga harus memakai dan mempergunakan sumber-sumber tradisi Islam.19

Prenetrasi Nilai-Nilai non-Islam (Penetration of Non-Islamic Values)


Penetrasi itu terjadi melalui mega-media Barat. Dunia Islam menerima informasi tentang hal-hal yang terjadi di dunia melalui media Barat. Tempat-tempat kulakan berita yang disebarluaskan oleh media-media di Dunia Islam semuanya berada di Barat. Reuters yang merupakan kantor berita berpengaruh dalam membentuk pola pikir orang Islam mengenai apa yang terjadi di dunia ini adalah ada di Inggris. Dia lebih berpengaruh ketimbang agen-agen berita local. Almarhum Saddam Hussein untuk melihat apa yang terjadi di negaranya mesti melihat CNN saluran berita yang ada di negara George W. Bush sang penghancur Iraq.20 Hal tersebut di atas pada gilirannya akan membawa dampak-dampak lain seperti terbentuknya image dan citra Islam dan kaum Muslimin yang tidak menguntungkan.21 Bahkan timbulnya stigma negatif setiap kata Islam dan Umat Islam karena berpengaruhnya sumber-sumber berita Barat yang menguasai dunia itu. Itulah sebagian tantangan-tantangan yang diakibatkan modernisme Barat yang harus ditatap umat Islam. Masih ada tantangan-tantangan lain seperti feminisme dan sikap terhadap budaya-budaya lain seperti China, Jepang dan India serta budaya Afrika hitam non-Islam. Bagi Nasr, pemikiran reaktif Dunia Islam terhadap Barat Modern ada empat tipe : modernis, revivalis (fundamentalis), millenialis dan tradisionalis.22 Tipe modernis berusaha menyajikan interpretasi dan pemikiran Islam yang modernistik sehingga mampu mengakomodasi gagasan dan ideologi Barat. Kelompok revivalis atau fundamentalis (versi Barat penulis), garis besar usahanya adalah peduli pada pemeliharaan dan penghidupan kembali syariah, kemerdekaan sosial dan politik kaum Muslimin serta menentang norma-norma sosial barat dan di sisi lain menunujukkan sikap positif dan tidak peduli terhadap penetrasi sains dan teknologi Barat, berbagai lembaga administrasi dan managerialnya serta cara berpikir yang menyertai adopsi teknologi Barat. Pada tradisi intelektual Islam, mereka juga mengabaikan kecuali jika hal itu berkaitan langsung dengan keimanan, persoalan yuridis dan praktek ritual.

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

251

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Sedangkan tipe millenialis keyakini bahwa ketertaklukan Dunia Islam oelh Barat adalah menandakan datangnya peristiwa alam yang bersifat eskatologis yang dalam hal ini hanya dapat dipecahkan oleh pertolongan Allah melalui intervensi-Nya dalam sejarah. Tipe tradisionalis. Nasr sendiri adalah terbilang kepada kelompok tradisionalis ini bahkan tokoh parexcellence nya. Baginya, kelompok lain tidak akan memadai untuk menatap tantangan-tantangan nalar modernisme Barat. Nasr menunjukkan kelebihan kelompok tradisionalis dalam usahanya mencari jawab terhadap tantangan nalar modernisme berdasar pada perspektif intelektual Islam yang sesungguhnya. Mereka berusaha mengembalikan kehidupan menurut prinsip-prinsip Islam untuk diterapkan pada kondisi-kondisi kemanusiaan kontemporer tanpa reaksi emosional. Kelompok ini juga berusaha memikirkan kembali fondasi-fondasi sains dan teknologi Barat dan menghadapi tantangannya secara lebih mendalam. Mereka juga berusaha mempertahankan dan menghidupkan kembali seni Islam beserta prinsipprinsipnya yang telah tergerogoti akibat serangan modernisme Barat.23 Dalam karya-karyanya, Nasr berusaha menunjukkan betapa warisan tradisi Islam bermakna sangat penting di dunia modern dan utamanya dalam konfrontasinya melawan budaya Barat. Dia juga mencoba menunjukkan bahwa betapa orang bisa menemukan keberuntungannya dalam pengalaman kedekatannya dengan Tuhan (spiritualitas-penulis). Gerakan-gerakan sufi berusaha menolong orang untuk mencapai pengalaman ini.24 Penekanan dasar dalam Islam lanjut Nasr- kesatuan Tuhan, kesatuan kehidupan manusia, dan kemitraan antara Tuhan dan manusia. Islam adalah agama komprehensif yang mencakup segala aspek hidup. also a socio-political order, a world view and a way of life in which all aspects of mans physical, mental, and spiritual needs are considered and fulfilled 25 ( Islam juga tatanan sosial politik, pandangan hidup dan cara hidup dimana semua aspek kebutuhan manusia baik pisik, mental dan spiritual diperhitungkan dan dipenuhi ). Nasr sangat menekankan sisi pengalaman (experiential) dari agama. Tidak mengherankan apabila dia sangat tidak mengakui subjectivism Barat sebagaimana dikatakannya berikut ini :
Islam is a religion which rejects individualistic subjectivism. The most intelligible material symbol of Islam, the mosque, is a building with a space in whichelements of subjectivism have been eliminated. It is an objective determination of the Truth, a crystal through which radiates the light of the Spirit. The spiritual ideal

252

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


of Islam itself is to transform the soul of the Muslim, like a mosque, into a crystal refelectingthe Divine Light.26 (Islam adalah agama yang menolak subjectivisme individualistik. Simbol materi terbesar yang bisa dipikirkan dalam Islam, masjid, adalah sebuah bangunan yang memiliki ruang dimana unsur-unsur subjektivisme tereliminasi. Dia adalah determinasi objektif dari Kebenaran, sebuah kaca yang mana melalui dia cahaya Maha Jiwa dipancarkan. Cita-cita spiritual Islam sendiri bertujuan mentransformasikan jiwa orang Muslim, seperti masjid, menuju atau masuk sebuah kaca yang merefleksikan Cahaya Tuhan).

Dalam kutipan tersebut, didapatkan penekanan pada objektifitas (objectivity), pengalaman (experience), pemurnian (purification) dan transformasi seseorang, dan refleksi (reflection) murni dari Cahaya Tuhan. Pertama, objektifitas (objectivity). Ini dijelaskan oleh Nasr ketika dia menekankan bahwa sisi batin adalah merupakan sisi hakiki dari agama. Agama memiliki aspek luar dan aspek dalam. Yang termasuk aspek luar adalah doktrin, organisasi, dan tingkah laku. Doktrin telah diberikan Tuhan dalam wahyu. Sisi luar agama bisa diketemukan dalam organisasi umpamanya masjid dan seni. Islam tidak hanya melalui cara pengetahuan untuk mendekat Tuhan, tetapi juga melalui cara seni yang dibuat seseorang. Dengan demikian, orang bisa bisa memberi ekspresi pada kesatuan materi dan kesatuan Tuhan dalam seni dan gedung bangunan yang mereka buat. Tingkah laku adalah aspek lain yang bisa dilihat dari agama. Syariat membantu manusia untuk hidup sesuai dengan kehendak Ilahi. Karena hukum mencakup semua aspek kehidupan, maka kehidupan yang menyesuaikan diri dengan hukum berarti telah memberi tingkat kesatuan hidup tertentu. Kedua, Pengalaman. Karena tujuan Nasr yang utama adalah untuk menunjukkan dari sisi luar agama ke sisi dalamnya, maka perhatian utamanya adalah pengalaman (experience). Integrasi kehidupan yang bisa dicapai dengan melaksanakan hukum harus diperdalam. Berdiri sepanjang Syariat adalah Thariqah, jalan kontemplatif, dimana bisa dilalui seseorang untuk mendekat pada Tuhan dalam hidupnya. Da;lam Islam, tidak ada pertentangan antara kehidupan aktif dan kehidupan kontemplatif; kontemplasi juga merupakan cara orang bertahan hidup dalam kehidupan ini. Perbuatan dan kontemplasi berjalam bersama, ilmu dan amal sangat berhubungan karena Islam mencakup seluruh eksistensi. Nasr sangat konsern pada bagian dalam kepercayaan, bagaiamana dia

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

253

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


dialami. Dia pergunaan kata mistisisme dalam makana orisinilnya yakni dalam hubungannya dengan misteri ilahi. Atau ilmu dikombinasikan dengan cinta yang jauh dari sifat irrasional; mistisisme menyinggung aspek dalam dari agama wahyu dan ortodoks. Ia selalu menjamin jalan yang ditunjukkan oleh agama itu. Ketiga, tiap orang memerlukan jalan-jalan yang demikian untuk memurnikan (to purify ) dan menstransformasikan ( to transform ) dirinya. Keadaan manusia tidak harus seperti yang seharusnya. Yaitu tidak sempurna. Kesalahan dasar manusia adalah memisahkan diri dari Tuhan; manuisa telah jatuh ke keadaan disintegrasi dan jarak jauh dari asalnya yang merupakan kesatuan dengan Tuhan. Untuk diyakini, bahwa sebetulnya manusia tidak pernah bisa berpisah dari Tuhan, tetapi dia menyadarinya. Itulah sebabnya, mengapa manusia tidak bisa mengalami adanya kesatuan penuh dengan Tuhan.27 Dengan melihat paparan Nasr tentang spiritualitas tardisionalisme yang mencakup bagaimana hubungan Tuhan, manusia dan alam ini, dapat disimpulkan bahwa kesatuan hubungan ketiganya sangat kental sekali. Alam dan manusia adalah dua entitas suci yang dinaungi keberkahan ilahi, sehingga karir perjalanannya sakral tidak boleh sembarangan. Berbeda dengan manusia Barat modern. Menurut Nasr, hampir semua manusia Barat hidup di dalam alam dimana mereka jarang sekali bertemu dengan orang-orang yang menempati level kesadaran yang lebih tinggi atau lapisan yang lebih dekat kepada pusat eksistensi (Tuhan - penulis). Oleh karena itu, hampir semua manusia Barat hanya menyadari tipetipe tertentu dari tingkah laku manusia.28 Secara demikian, terlihat posisi masing-masing manusia di alam ini. Manusia dalam pandangan tradisionalisme adalah berbuat dan bekerja di alam ini dalam suasana sakralitas kesatuan dengan ilahi. Karena, tradisi yang dimaksud dalam tradisionalisme Nasr bukanlah kebiasaan, adat istiadat, atau penyampaian ide-ide serta motif-motif secara otomatis dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya. Tradisi adalah serangkaian prinsip yang telah diturunkan dari langit, yang ketika diturunkan itu ditandai dengan sesuatu manifestasi ilahi, beserta dengan penyerapan dan penyiaran prinsip-prinsip tersebut pada masa-masa yang berbeda dan kondisi-kondisi yang berbeda bagi masyarakat tertentu. Jadi tradisi dengan sendirinya bersifat suci dan sering disebut dengan istilah tradisi suci.29

254

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Siapakah penjaga tradisi suci tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu melihat bagaimana Nasr membagi masyarakat di Dunia Islam dalam dua kelas yang berkepentingan dengan masalah-masalah religius, intelektual dan filosof. Pertama adalah para ulama beserta ahliahli agama dan tradisional lainnya secara umum termasuk para sufi, dan yang kedua adalah modernis-modernis yang masih tertarik kepada agama. Di akhir-akhir ini muncul kelompok ketiga yang disamping bersifat tradisional seperti ulama juga mengenal dunia modern. Mengenai para ulama dan ahli-ahli spiritual tradisional lainnya, biasanya mereka tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia modern beserta problem dan kompleks-kompleksnya. Walaupun demikian, mereka ini adalah para penjaga dan pelindung tradisi Islam. Tanpa adanya mereka ini, kelanggengan tradisi Islam akan terancam bahaya. Sedangkan kedua adalah para modernis yang masih tertarik pada agama. Mereka adalah produk universitas-universitas Barat atau universitas di Dunia Islam yang sedikit banyak telah menjiplak sistem pendidikan Barat. Ciri-ciri bersama mereka adalah lebih menyukai hal-hal yang berbau Barat dan emnganggap rendah hal-hal yang berbau Islam. Mereka memiliki mentalitas yang di abad yang lampau bertanggung jawab terhadap karya-karya para penulis Islam yang bersifat apologetik, berkenaan dengan perbenturan Islam dengan Barat. Pendekatan modern yang apologetik terhadap krisis yang ditimbulkan oleh perbenturan antara Islam dengan Barat ini, telah mencoba menjawab tantangan-tantangan Barat bahwa unsur-unsur Islam tertentu adalah sesuai dengan unsur-unsur Barat yang sedang populer, sedangkan unsur-unsur Islam lainnya, yang betapapun juga tidak dapat diketemukan ekivalennya di antara unsur-unsur Barat, telah dikesampingkan sebagai unsur yang tidak penting, bahkan dianggap sebagai unsur-unsur asing yang masuk ke dalam Islam.30 Setelah itu, Nasr kembali menegaskan bahwa problem-problem modernisme hanya bisa dipecahkan oleh kebijaksanaan tradisional, yang diketemukan sejak zaman Babylonia kuno hingga China pada zaman pertengahan, di dalam bentuknya yang paling universal dan yang paling beraneka-ragam di dalam Islam dan di dalam kekayaan tradisi tradisi intelektual yang telah diciptakan Islam selama lima belas abad dari eksistensinya.31 Dari paparan Nasr di atas, sebetulnya sumbangan nyata yang bisa dipetik dari tradisionalisme Nasr adalah sisi spiritualitas atau moralitas Islam dalam berkipraah memakmurkan alam ini. Belum terlihat dengan

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

255

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


jelas sisi praksis tradisionalisme dalam kiprah manusia memakmurkan alam ini bersama berputarnya zaman dengan segala keunikannya, termasuk dalam menatap tantangan-tantangan modernisme. Alam hanya dianggap sebagai pendukung dalam kehidupan spiritual (Nature as Support in the Spiritual Life). Manusia suci atau spiritual adalah manusia yang kehendaknya integral dan sesuai sepenuhnya dengan Kehendak Tuhan dan untuk itu kemitraan seluruh makhluk dalam hidupnya di alam ini sesuai dengan Kehendak-Nya. The saint is the person whose will is perfectly integrated into and in harmony with the Devine Will and is therefore, in a sense, the counterpart of creatures of nature whose very life is accordance with His Will . 32 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tujuan akhir dari kosmologi Islam ( Islamic Cosmology ),adalah untuk menyediakan suatu ilmu yang bisa memperlihatkan hubungan antar benda dan hubungan antar hirarki kosmik satu sama lain dan akhirnya dengan Prinsip Utama (Supreme Principle).33 Kalau penjelasan itu diafirmasikan, kemudian diintrogasikan dengan kalimat tetapi bagaimana caranya , bagaimana konkritnya, jawabannya sulit sekali ditemukan dalam diskursus-diskursus yang tersebar dalam tulisan-tulisannya. Dalam pandangannya, Islam dan tradisinya yang harus menjadi penentu, sedangkan zaman yang harus menyesuaikannya. Berbeda dengan kelompok tradisionalis diatas, adalah kelompok modernis atau reoformis meminjam istilah A. Luthfi Asysyaukani, yang berusaha melakukan reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Bagi kelompok ini, tradisi masa lalu tidak ditinggalkan. Namun agar dapat diterima, perlu dibangun kembali secara baru dengan kerangka modern dan prasyarat rasional.34 Tidak mengherankan apabila John Obert Voll menyebut kelompok ini dengan kelompok adaptationis, karena kelompok ini berusaha mengadaptasikan Islam dan tradisinya dengan perkembangan kontemporer. Abduh dan Iqbal dimasukkan oleh Voll ke dalam kelompok ini. Komentarnya mengenai Abduh adalah His goal became the reformulation of Islamic Thought and the revitalization of Islamic society through intergrating modern and Islamic ideas and techniques .35 Sedang komentarnya tentang Iqbal adalah Muhammad Iqbal (1875-1938) was the leading intellectual figure in the emerging adaptationist modernism .36 Kiprah kelompok modernis ini seperti tergambar dalam komentar-komentar tersebut, terlihat lebih konkrit dan empirik, ketimbang kelompok

256

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


tradisionalis yang hanya menekankan sisi spiritualitas manusia dengan pendekatan filsafat perenialisme dalam menatap kehidupan nyata ini. Nasr menganggap usaha kaum modernis hanyalah dangkal dan emosional tidak sampai ke akar permasalahan.

Penutup
Dalam menghadapi penetrasi budaya Barat, para tokoh pemikir Muslim di Dunia Islam, selain dua tipe tersebut, terbagi lagi kepada tipetipe lain seperti tipe mellenialis, fundamentalis, serta transformatif. Semua tipe pemikir tersebut, hanya berbeda metodologinya tetapi sama tujuannya yaitu bahwa Islam sebagai agama terakhir adalah bersifat zamkaniy yakni shalih likulli zaman wa makan. Memang kadar kental tidaknya kedekatannya dengan budaya Barat serta fanatik tidaknya meyakini kesempurnaan Islam sebagai way of life itulah yang membedakan masingmasing tipe tersebut. Apapun usaha Nasr dengan spiritualitas tradisionalismenya akan menimbulkan pro-kontra sehubungan dengan tantangan Barat yang semakin kompleks. Sedemikian rupa sehingga sebagian ada yang memujinya dan sebagian yang lain mengkritiknya. Hendrik N. Vroom memujinya sebagai pre-eminent Islamic thinkers in Iran dan satu-satunya pemikir Muslim kontemporer yang dijadikan referensi dalam bahasannya tentang konsep kebenaran dalam tradisi Islam.37 Sementara Ziauddin Sardar dalam karyanya Exploration in Islamic Science menyebutnya sebagai Nowhere man.38 Sedangkan Pervez Hoodbhoy dalam bukunya Islamic and Science : Religious Ortodoxy and the Battle for Rationality menyebutnya sebagai the most influential and also the most sophistecated and Articulate.39[]

Catatan Akhir:
Dosen Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Sekarang menjabat Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Osman Bakar, Filsafat Islam Kontemporer , Ummat No. 14/ Thn. I/ 8 Januari 1996, h. 76-7 2 Seyyed Hosein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), h. 3
1 *

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

257

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995 ), h. x 4 Tradisionalisme Islam : Percakapan dengan Baharuddin Ahmad , ULUMUL QURAN. Vol. 111 No 3 Th.1992, h. 64 5 Seyyed Hosein Nasr, Traditional Islamop. cit, h. 110 6 Seyyed Hosein Nasr, Islamic Studies (Beirut : Librairie Du Liban, 1967), h. 15 7 Seyyed Hosein Nasr, A Young Muslims Guide to the Modern World, terj. Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), h. 191-2 8 Ibid., h. 192-3 9 Seyyed Hossein Nasr, Tradtional Islam., op. cit., h. 10 10 Seyyed Hossein Nasr, The role of Tradional Science in the Encounter of Religion and Science An Oriental Perspectif , dalam Jurnal Religious Studies, ReIst : 1984 (o20:000) 0519-0541, h. 522 11 Ibid., h. 523 12 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (State University of The New York Press, 1989), h. 451 13 Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (London and New York: Mansell Publishing Limited, 1989), h. 125-7 14 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Challenge of the 21st Century (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Ministry of Education Malaysia, 1993), h. 6-7 15 Ibid., h. 3-6 16 Ibid., h. 6-8. Disisni terlihat sekali ide tipikal Syiah dimana figur al-Mahdi menjadi sentral untuk terwujudnya Dunia Idaman. 17 Ibid., h. 8-10 18 Ibid., h. 10- 13 19 Ibid., h. 13-16 20 Ibid., h. 16- 18 21 Ibid., h. 18-28 22 Yusuf Suyono, Reformasi Teologi Muhammad Abduh vis a vis Muhammad Iqbal ( Semarang: Rasail Media Group, 2008 ), h. 187 23 Ibid., h. 188 24 Hendrik M. Vroom, Religions and the Truth : Philosophical Reflections and Perspectives (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, 1989), h. 285 25 Ibid., h. 286
3

258

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


Ibid. Ibid., h. 287 28 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dan Nestapa Dunia Modern (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 9-10 29 Ibid., h. 79 30 Ibid., h. 217-9 31 Ibid., h.227 32 Seyyed Hossein Nasr, The Cosmos and the Natural Order, dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality (New York: The Crossroad Publishing Company, 1987 ), h. 348 33 Seyyed Hossein, Islan Dan.., op.cit., h. 350 34 A. luthfi Asysyaukani, Tipologi Dan Wacana Pemikiran Kontemporer (Jakarta: Paramadina, Vol. 1, No. 1, 1988), h. 58. Menurutnya, istilah kontemporer dibedakan dengan modern. Yang pertama menunjuk pada era sekarang atau yang berlaku kini dan merupakan kelanjutan modernitas serta pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri; sementara yang kedua menunjuk pada era modernisasi secara umum yang menurut sejarahnya pemikiran modern dimulai tahun 1798 sampai sekarang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila pemikiran Arab abad 19 dimasukkan ke dalamnya. 35 John Obert Voll, Islam : Continuity And Change in the Modern World (England: Longman Group, 1982), h. 97 36 Ibid., h. 224 37 Hendrik M. Vroom, Religious and the Truth., op. cit., h. 285 38 Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (London and New York: Mansell Publishing Limited, 1989), h. 114 39 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science : Religious orthodoxy and the Battle for Rationality ( Malaysia: National library, 1992 ), h. 69
27 26

DAFTAR PUSTAKA
A. Luthfi Asysyaukani, Tipologi Dan Wacana Pemikiran Kontemporer, Jakarta: Paramadina, Vol. 1, No. 1, Th. 1988. Hendrik M. Vroom, Religious And the Truth : Philosophical Reflections and Perspectives, Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company.

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

259

Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono


John Obert Voll, Islam : Continuity and Change in the Modern World, England: Longman Group, 1982. Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama masa Depan Perspektif Filsafat Perenialisme, Jakarta: Paramadina, 1995. Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality, Malaysia: National Library, 1992. Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994. , Islamic Studies, Beirut: Librairie Du Liban, 1996. , A Young Muslims Guide to the Modern World, terj. Hesti Tarekat, Bandung : Mizan, 1995. , Knowledge and The Sacred, State University of the New York Press, 1989. , Islam and The Challenge of 21 st Century, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Ministry of Education Malaisia, 1993. , Islam dan Petaka Dunia Modern, Bandung : Pustaka, 1983. , The Cosmos and the Natural Order, dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality, New York : The Crossroad publishing Company, 1987. , The Role of The Traditional Science in the Encounter of Religion and Science an Oriental Perspectives Dalam Jurnal Islamic Studies, ReIst: 1984. Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh vis a vis Muhammad Iqbal ( Semarang : Rasail Media Group, 2008. Ulumul Quran, Vol. 111, No. 3, Th. 1992. Ummat, No. 14, Th. 1, 8 Januari 1996. Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science, London and New York: Mansell Publishing limited, 1989.

260

Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

You might also like