You are on page 1of 34

1

MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN SISTEM


PERBANKAN ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester (UAS)
Pada Mata Kuliah Fiqih Muamalah









Nama : Abdul Malik
Nim : 208 800 100
Kelas/Smster : Manajemen A / VI




JURUSAN MANAJEN FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BNDUNG
2011
2

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Shalawat beserta
salam semoga dicurahkan kepada Rasullah Saw, keluarganya, sahabatnya, serta para
pengikutnya
Atas pertolongan Allah Swt, dan dengan kerja keras akhirnya penulis bias
menyelesaikan makalaha yang berjudul MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FIQH
DAN SISTEM PERBANKAN ISLAM, dimana makalah ini dibuat untuk memenuhui tugas
akhir smester pada mata kuliah fiqih muamalah, terimakasih juga penulis samapaikan
kepada dosen matakuliah yaitu Bapak Sarip Muslim, M,ag karena beliau telah
membimbing perkuliahan dari awal sampai akhir.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saranya untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya
hanya kepada Allah-lah segala sesuatu kembali. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
yang membacanya, amin.






Bandung, 05 Juni 2011

Penulis


3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar belakang ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Pengertian Murabahah .................................................................................... 2
B. Syarat Murabahah ........................................................................................... 2
C. Jenis Murabahah ............................................................................................. 3
D. Rukun Murabahah .......................................................................................... 3
E. Murabahah Dalam Perspektif Fiqih ................................................................. 4
F. Pendapat Ulama Tentang Aplikasi Konsep Murabahah Di Perbankan
Islam/Syari'ah ............................................................................................... 12
G. Murabahah Dalam Perbankan Syariah ........................................................... 13
H. Sistem Murabahah ...................................................................................... 14
I. Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah ............................................ 17
J. Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah .......................................... 21
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 28
KESIMPULAN ................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30





4

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Para pakar perbankan Islam pada awal terbentuknya perbankan Islam di kancah
perbankan global menyepakati bahwa perbankan Islam dalam kegiatan operasional yang
dijalankannya harus didasarkan pada sistem Profit and Loss Sharing (PLS) dan bukan
berdasarkan sistem bunga (interest rate). Namun dalam prakteknya, sebagian besar
bank-bank Islam mengalami kesulitan untuk menerapkan sistem ini dalam produk-
produk pembiayaan yang ditawarkan yang menggunakan sistem PLS murni, dengan
kendala yang penuh resiko dan ketidak-pastian. Masalah-masalah praktis yang terkait
dengan pembiayaan ini di satu sisi mengakibatkan adanya penurunan dalam
penggunaannya di dunia perbankan Islam, dan pada akhirnya pada sisi lain
menyebabkan adanya peningkatan yang cukup drastis pada penggunaan mekanisme
pembiayaan yang secara tidak langsung mirip dengan pembiayaan sistem bunga, yaitu
mekanisme pembiayaan murabahah.
Dalam lembaga keuangan atau perbankan Islam produk pembiayaan yang
menggunakana mekanisme murabahah mendominasi sekitar 80 sampai dengan 95
persen dari transaksi keuangan yang ada. Namun, kondisi ini tidak terjadi di beberapa
negara Islam seperti Sudan dan Iran, di mana mekanisme pembiayaan bagi hasil-rugi
tetap atau sebagian besar digunakan. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh adanya faktor-
faktor yang mendukungnya, seperti pemahaman masyarakat muslimnya yang tinggi
akan pentingnya aplikasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya, termasuk dalam
kegiatan perekonomiannya seharai-hari, di samping adanya peran tokoh agama yang
sangat besar dalam kehidupan mereka. Oleh karenanya, dalam makalah ini penulis akan
mencoba mengkaji mekanisme pembiayaan murabahah sebagai salah satu mekanisme
pembiayaan terpenting dan terpopuler pada perbankan Islam, dengan memaparkan
bagaimana konsep murabahah itu sendiri menurut kajian fiqih, penerapannya dalam
perbankan Islam, perbandingannya dengan mekanisme pembiayaan yang berbasis bunga
tetap pada perbankan konvensional dan suatu analisa terhadap praktik murabahah jika
dikaitkan dengan permasalahan bunga dan riba.


5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murabahah
Murabahah didefinisikan oleh para Fugaha sebagai penjualan seharga
biaya/harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan
yang disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus member tahu
pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambah pada biaya (cost) tersebut.
Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah (DSN, 2003:311) adalah menjual
suatu barang dengan menegaskan belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
dengan lebih sebagai laba. Sedangkann dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah paragraph 52 dijelaskan bahwa murabahah adalah jual beli barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah
membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang
bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang
disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang
membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam
murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang
tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut.
Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
B. Syarat Murabahah
Dalam murabahah dibutuhkan beberapa syarat, antara lain:
1. Mengetahui harga pertama (Harga Pembelian)
Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu adlah syarat
sahnya transaksi jual beli.
2. Mengetahui besarnya keuntungan
Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena ia merupakan bagian dari
harga (tsaman), sedangkan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli.
6

3. Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti
benda-benda yang ditakar, ditimbang dan dihitung
Syarat ini diperlukan dalam murabahah dan tauliyah, baik ketika jual beli
dilakukan dengan penjual pertama atau orang lain. Serta baik keuntungan dari jenis
harga pertama atau bukan, setelah jenis keuntungan disepakati berupa sesuatu yang
diketahui ketentuannya, misalkan dirham atau yang lainnya.
4. Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut
terhadap harga pertama
Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang sejenis dengan
takaran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan system murabahah.
1


C. Jenis Murabahah
Murabahah dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Murabahah tanpa pesanan
Maksudnya adalah ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, Bank
Syariah menyediakan dagangannya, penyediaan barang pada murabahah ini tidak
terpengaruh atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
2. Murabahah berdasarkan pesanan
Bank Syariah baru akan melakukan transaksi murabahah apabila ada nasabah yang
memesan barang, sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan.
Murabahah ini dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, maksudnya apabila
telah dipesan harus dibeli.
b) Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat tidakmengikat , maksudnya
walaupun nasabah sudah memesan, nasabah bias menerima atau
membatalkan barang tersebut.
Cara pembayaran murabahah dapat dilakukan dengan cara tunai atau dengan
pembayaran tangguh.
D. Rukun Murabahah
1. Pihak yang berakad
a. Penjual

1
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005
7

b. Pembeli
2. Objek yang diakadkan
a. Barang yang diperjualbelikan
b. Harga
3. Akad/sighat
a. Serah (ijab)
b. Terima (qabul)

E. Murabahah Dalam Perspektif Fiqih
Ibnu Rusyid mendefinisikan murabahah sebagai berikut :



Murabahah tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran
maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual
beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i
mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah
Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari
Hadis. Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para
fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal
abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-Quran atau dalam
Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah
berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek
orang-orang Madinah. Ia berkata "Penduduk Medinah telah berkonsensus akan
legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain
untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati.

Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan
sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: "Belikan sesuatu untukku dan aku akan
memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu
untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah.

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu
disyaratkan beberapa hal, yaitu :

8

1. Mengetahui harga pokok
Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga
asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. Syarat ini juga
diperuntukan bagi jual beli at-tauliyyah dan al-wadhi'ah.
2. Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli, karena margin
keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga. Sedangkan mengetahui harga
merupakan syarat sah jual beli.
3. Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik
pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau
setelahnya.
Jual beli murabahah merupakan jual beli amanah, karena pembeli memberikan
amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis.
Atau dengan kata lain dalam jual beli tidak diperbolehkan berkhianat. Allah SWT
berfirman dalam surah al-Anfal 27:
!!., _, `.. , .> < _.l .> >..... .. .l-. __
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi jual beli murabahah dan terdapat
cacat pada barang, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama fiqh, yaitu: menurut
ulama Hanafiyyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang, karena
cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut Sementara Jumhur ulama tidak
membolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk
khianat.
Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan
Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan
sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Dalam makalah ini,
penulis akan mencoba melakukan perbandingan untuk menemukan apakah terdapat
perbedaan yang signifikan di antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan
menfokuskan perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :
9


1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan
Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional memberikan
pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu,
maka bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan
waktu jatuh tempo pinjaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah
menjadi urusan bagi bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang
akan dibeli oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh
suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun tidak
tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah memperoleh pinjaman
dengan suku bunga tertentu untuk membeli barang-barang yang diperlukan
berapapun harganya.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah melalui
pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan bahwa
nasabah mengetahui total harga barang yang dibutuhkan sebelumnya. Artinya,
pinjaman yang diberikan atau disalurkan kepada nasabah tetap memperhatikan
apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli
atau tidak.
Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan dianalisa
lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional,
suku bunga yang diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk
mendapatkan keuntungan riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan
terjadinya inflasi di masa mendatan, preferensi likuiditas, jumlah permintaan
pinjaman, kebijakan moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri. Dan hal
itu sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan
murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktor-faktor yang
melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam untuk memperoleh
keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk kemungkinan inflasi yang akan
terjadi, perkembangan moneter, marketabilitas barang-barang yang dijual melalui
pembiayaan ini serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.

10

Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang perta bahwa faktor-faktor
yang melatarbelakangi penetapan suku bunga pada perbankan konvensional juga
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan mark-up dalam pembiayan
murabahah. Oleh karenanya konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku
bunga dan mark-up dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan
sama.
Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses pembiayaan,
memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih tinggi atau lebih rendah
dari suku bunga dominan, namun perbedaan antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman
sejenis umumnya tidak terlalu jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat
terjadi jika dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara
borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari penyalur untuk
barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian ditransfer kepada para nasabah
murabahah dalam bentuk mark-up yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya
pembiayaan nasabah. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian
barang dilakukan secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika
masing-masing nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. dan kondisi
inilah yang paling sering dan mungkin terjadi.

Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah dengan sistem
mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang berdasarkan bunga atau bahkan dapat
terjadi lebih besar (mahal). Di mana dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku
bunga tertentu dalam pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan
memberikan pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk
menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan untuk dibiayai.
Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir atau personil bank perlu
untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan ini, di mana dibutuhkan adanya
penelitian pasar yang memakan biaya, kertas kerja yang dihasilkan dari proses
permintaan pembiayaan, melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen
ataupun melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan penjualan
barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para nasabahnya.

11

2. Resiko Dalam Pembiayaan
Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan
seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan
menyertainya. Demikian jua halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan
skim murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan
menjadi alasan untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini,
pembahasan mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan
pada resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :
a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait
dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang
dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh
nasabah murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau
kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan
kepada nasabah. Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan
baik sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi
ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah
menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barang-barang yang rusak atau
kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan.
Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan dengan
kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik (lokal). Akan tetapi
dalam level perdagangan yang lebih luas (internasional), resiko-resiko semacam
itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya
untuk menghindari timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam
mengantisipasinya dengan menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul-
klausul kontrak yang dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam
setiap kontrak transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya
yang harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada
pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga barang dan
sebagai dasar bagai penentapan jumlah mark-upnya.
Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar dari
penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh bank
12

konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman murni semata.
Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam pembiayaan murabahah ini
markr-up yang ada ataupun total pengembalian yang harus dikeluarkan oleh
nasabah murabahah bisa lebih besar dari suku bungan pinjaman bank
konvensional.
b. Resiko yang tekait dengan pembayaran
Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko
yang terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk
menghindari resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank
Islam mengharuskan adanya jaminan.
Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini atau
kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar kewajibannya, bank Islam
membedakannya sebagai berikut :
Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang nasabah dalam
membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor di luar kemampuan nasabah
untuk mengontrolnya, maka bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal
ulang pembayaran hutang tersebut.
Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu dan tidak
melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem
denda kepada nasabahnya, yang jumlahnya disesuaikan dengan tingkat
laba yang wajar pada dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost
(biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut.
Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank Islam dalam
sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan yang diberikan beserta barang-barang
yang diserahkan kepada nasabah. Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank
Islam dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman murabahah yang
diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh bank
konvensional ketika debiturnya tidak mampu mengembalikan atau melunasi
pinjamannya sesuai kontrak yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun
semacam denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan jaminan
dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh
tempo.
13

3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli
Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan
mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang
terjadi.
Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam
hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah hubungan kemitraan yang
berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat
hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank konvensional, yaitu hubungan antara
kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi yang terjadi sulit untuk
membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya peranan transaksi
murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan
melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.
Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi
membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di
mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah
jumlah mark-up secara angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang
ditentukan dalam kontrak. Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah
menyepakati kontark jual beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan
hutang nasabah kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah
hubungan antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan
hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.
4. Penyelesaian Hutang
Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah
yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda dengan
suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan
konvensional.
Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai
hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau
laba serta jangka waktu pembayarannya pun ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas
adalah hanya terletak pada kondisi ketika seorang debitu gagal melunasi hutangnya
sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga
14

pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak
dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak.
Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi
ketidak-mampuan debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang
debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi
kelonggaran (toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Quran dalam
surat al-Baqarah ayat 280. Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus
diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti adanya denda
dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk pembayaran tersebut. Hanya saja
dalam praktek yang terjadi, sebagian besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan
syariah mereka telah mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut.
Menurut mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan celah
kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka
mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka
kemudian mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi
hutangnya tepat waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan
mereka adalah untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya
hutang tepat pada waktunya. Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep
denda yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan
praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika hutang tidak
dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya tingkat laba normal atau
opportunity cost dari modal yang diinvestasikan). Itu semua adalah tidak lain untuk
menjamin dana-dana yang diberikan kepada para nasabahnya.
Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba
Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank Islam
tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan ajaran hukum Islam
secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan dalam praktik pembiayaan
murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di dalam al-Quran perdagangan untuk
mendapatkan laba diperbolehkan, kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual
beli dengan keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan
yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu kegiatan
penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan besar mark-up untuk
15

suatu kontrak murabahah.
Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk
menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi
finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan
tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya juga berargumen bahwa al-Quran
ataupun Sunnah tidak ada yang secara khusus menegaskan bahwa setiap tambahan
karena adanya tenggang waktu yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang
terjadi dalam kasus murabahah adalah riba.
Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa bank-bank
Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya mengatakan bahwa
pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah ekonomi, tetapi pengharamannya
adalah yang utama berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Yang diharamkan adalah
semua keuntungan positif yang ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam
suatu transaksi finansial murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up
untuk menentukan keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni.
Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu transaksi
perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang asumsi ini jika
dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara
keduanya. Perbedaannya adalah hanya terletak pada permasalahan hukum dimana bunga
adalah terkait dengan kontrak utang piutang, sementara mark-up adalah identik dengan
kontrak jual beli atau penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak
membuat batasan laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki
perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi pembiayaan yang
berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih
baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman yang berbasis bunga kecuali jika dalam
pembiayaan murabahah harga yang disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran
tidak bisa dilakukan pada waktu yang ditentukan (tepat waktu)

F. Pendapat Ulama Tentang Aplikasi Konsep Murabahah Di Perbankan
Islam/Syari'ah
Ada beberapa pendapat ulama mengenai praktek murabahah di perbankan
yari'ah, antara lain :
16

1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba.
2. Murabahah merupakan jual beli 'inah yang diharamkan Islam.
3. Murabahah merupakan bai' atani fi bai'ah.
4. Murabahah merupakan jual beli barang yang belum dimiliki.
Pendapat pertama: murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan tujuan
untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah
adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan
oleh bank-bank konvensional. Gambarannya sebagai berikut: Secara hakiki, pembeli
datang ke bank untuk mendapatkan uang pinjaman dan bank tidak membeli barang
(asset) kecuali dengan maksud untuk menjual kepada pembeli secara kredit. Yang
demikian itu bukanlah tujuan jual beli.
Term hilah dalam fiqh diidentifikasikan sebagai upaya mencari legitimasi hukum
untuk suatu kepentingan dengan tujuan-tujuan ekstra. Tujuan ekstra dalam konteks
tersebut diartikan sebagai kepentingan khusus yang tidak memiliki kaitan langsung
dengan hakikat aturan yang ditentukan oleh hukum syari'at.
Dalam kasus murabahah ini kadang pembeli membeli barang atau sesuatu untuk
memanfaatkannya dan kadang membeli barang untuk menjualnya kembali (seperti Bank
Islam), kedua hal ini dibolehkan, namun kadang pembeli bermaksud untuk mengambil
riba.
Dengan demikian tergantung niat dari pembeli tersebut, sebagaimana ditegaskan
dalam Hadis Nabi saw :

"Sesungguhnya amal perbuatan itu berdasarkan niyatnya"

G. Murabahah dalam Perbankan Syariah
Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset
yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan
kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up
atau margin keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah
dilakukan atas dasar cost-plus profit.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah, pada
prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang
17

terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah
sebagai berikut:
1. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok
barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga
plus biaya-biayanya;
2. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang;
3. Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus
mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli;
4. Pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank syariah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan
pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun
mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk
menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah, antara
lain
16
:
1. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan
dengan sistem (PLS), cukup memudahkan;
2. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan
bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan
bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam;
3. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS;
4. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen
bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam
murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
H. Sistem Murabahah
Menurut pendapat Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin yang penulis
kutip dari Syariah Kajian Utama 14 - April - 2007 03:10:33, bahwa system murabahah
bahwa sanya Di antara sistem akad jual beli yg cukup banyak ditemukan pada bank-
bank adl apa yg mereka sebut dgn istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering
dijumpai di bank-bank yg mengatasnamakan diri Bank Islam. Banyak kaum muslimin
yg terlena dgn embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-
18

roduk sehingga jarang di antara mereka yg memperhatikan atau mempertanyakan dgn
seksama sistem transaksi yg terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lbh wajib daripada system-
sistem riba yg berlaku di bank-bank konvensional sebab amat sedikit kaum muslimin yg
mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguh telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak
dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai utk sebuah hakekat permasalahan yg tdk
sama dgn apa yg dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi
dgn istilah jual beli amanah. Disebut demikian krn seorang penjual wajib jujur dlm
menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli
Transaksi ini ada 3 jenis:
1. Murabahah Gambaran adl Amr misalkan membeli HP seharga Rp. 500 ribu
lalu dia jual dgn keuntungan Rp. 100 ribu misalkan.
2. Wadhiah Gambaran adl seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000-
kemudian krn terdesak kebutuhan mk dijual dgn harga Rp. 900.000-
3. Tauliyah Gambaran adl seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000- lalu
dijual dgn harga yg sama. Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dgn
kesepakatan para ulama kecuali poin satu di mana sebagian kecil ulama
memakruhkannya. Namun yg rajih adl boleh dan ini adl pendapat mayoritas
ulama. Adapun sistem murabahah yg terjadi di bank-bank Islami gambaran
sebagai berikut:
a. Calon pembeli datang ke bank dia berkata kepada pihak bank: Saya
bermaksud membeli mobil X yg dijual di dealer A dgn harga Rp. 90 juta.
Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dgn pemohon dgn
mengatakan: Kami jual mobil tersebut kepada anda dgn harga Rp. 100 juta
dgn tempo 3 tahun. Selanjut bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada
pemohon dan berkata: Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
19

b. Sama dgn gambaran pertama hanya saja pihak bank menelpon showroom dan
berkata Kami membeli mobil X dari anda. Selanjut pembayaran dilakukan
via transfer lalu pihak bank berkata kepada pemohon: Silahkan anda datang
ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.Hukum dua jenis transaksi di
atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yg belum dia terima.
c. Sama dgn gambaran sebelum hanya saja pihak bank datang langsung ke
showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom:
Berikan mobil ini kepada si fulan . Sementara akad jual beli dgn tambahan
keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank
berangkat ke showroom. Hukum transaksi inipun haram sebab pihak bank
menjual sesuatu yg tdk dia miliki. Hakikat akad ini adl pihak bank menjual
nominal harga barang dibayar dgn nominal harga jual dgn formalitas sebuah
mobil dan ini adalah riba fadhl.
d. Sama dgn yg sebelum hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli
mobil tersebut dan berkata: Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan. Lalu
pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: Pergi dan ambil mobil
tersebut di showroom. Hukum akad ini juga haram sebab Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang
tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. mk
transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yg belum diterima.
e. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang mk pihak
bank mengatakan: Kami akan mengusahakan barang tersebut. Bisa jadi
sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank mungkin pula
belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke took dan membeli barang selanjut
dibawa ke halaman bank kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan
pihak bank. Pada akad di atas pihak bank telah memiliki barang tersebut dan
tdk dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum
transaksi ini dirinci:
a) bila akad dlm bentuk keharusan mk haram krn termasuk menjual sesuatu
yg tdk dia miliki.
20

b) bila akad tdk dlm bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak
penjual atau pembeli mk masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa
kini:
Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut sebab tdk mengandung
pelanggaran-pelanggaran syari. Ini adl fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin melarang transaksi
ini dgn alasan bahwa akad tersebut adl tipu daya menuju riba dan beliau memasukkan
akad ini ke dlm sistem inah bahkan lbh parah lagi. Hakikat adalah pinjam meminjam
uang degan bunga di tengah-tengah ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yg
ada pihak bank sendiri tdk akan mau dgn cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-
perjanjian saksi-saksi dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tdk bisa dijumpai di bank-bank yg ada kecuali dgn
bentuk keharusan . Maka transaksi di atas juga tdk diperbolehkan dan kita harus berhati-
hati dari sistem-sistem yg diberlakukan oleh bank manapun.
I. Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan
dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank
syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam Berikut ini uraian
sekaligus tinjauan syari terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus
seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya. Sistem atau
teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang
ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi
formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain
sebagainya. Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan
anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo
pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi
21

hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa
langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank.
Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan
pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan
tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat
diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair
saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan
deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer
Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu.
Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.
Tinjauan hukum syari
Secara hukum syari, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak
bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah. Adapun perbedaan sistem
deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syariah.
Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung
pada:
Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
Nominal deposito nasabah
Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk
menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah
penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba
pada bank konvensional.
22

c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional
terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram. Namun demikian, ada
beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan
bank syariah, di antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut
Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian dana
simpanan para nasabah?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh
sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada
lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi
kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana
simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan
Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).
Hakikat akad dengan kondisi di atas
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka
hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh)
yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan
alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil
yang dicapai. Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak
bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba
jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama
Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank) Ini menyalahi prinsip mudharabah yang
syari seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada
usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.
23

3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat
makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol.
III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24.
2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam Pada umumnya banyak bank
syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah
dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam
akad
b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk
murabahah. Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan
masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:
a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha
b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya
seperti:
- mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk
memenuhi kebutuhan karyawannya.
- mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer.
c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya, seringkalinya
dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank bertindak
sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil) Saat
akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang :
Biaya yang dikeluarkan
Nisbah (persentase) bagi hasil Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan
pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50.
Tenggang waktu mudharabah
pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia, pendapatan
usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank
setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank keuntungan usaha
dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD)
24

Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank
hanya terlibat dalam pembiayaan
Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.

J. Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepaki.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip
menjadi milik bank.
Sedangkan perlakuan akuntansi murabahah adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan dan pengukuran urbun ( uang muka)
a. Urbun diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima bank
pada saat diterima
b. Jika transaksi murabahah dilaksanakan, maka urbun diakui sebagai pembayaran
piutang (bagian angsuran pembelian)
c. Jika transaksi murabahah tidak dilaksanakan, maka urbun dikembalikan kepada
nasabah setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan bank
25

2. Pengakuan piutang Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati
3. Pengakuan keuntungan
Keuntungan murabahah, diakui:
a. Pada periode terjadinya, apabila akad berakhir pada periode laporan keuangan
yang sama, atau
b. Selain periode akad secara proposional, apabila akad melampui satu periode
laporan keuangan
4. Pengakuan potongan (muqasah) pelunasan dini diakui dengan menggunakan salah
satu metode:
a. Pada saat penyelesaian, bank mengurangi piutang murabahah dan keuntungan
murabahah
b. Setelah penyelesaian, bank terlebih dulu menerima pelunasan murabahah dari
nasabah, kemudian bank membayar muqasah kepada nasabah dengan
mengurangi keuntungan murabahah
5. Pengakuan denda
6. Pada akhir periode, piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersihyang dapat
direalisasikan
7. Pada akhir periode, margin murabahah tanguhan disajikan sebagai pos lawan
piutang murabahah.
2


Jurnal Standar
1. Pada saat pembayaran uang muka kepada supplier (penjual membeli dari supplier)
(Dr) Uang muka kepada supplier XX
(Cr) Kas XX

2. Pada saat perolehan barang murabahah
(Dr) Persediaan/aktiva murabahah XX
(Cr) Uang muka kepada supplier XX
(Cr) Kas XX

2
Rifki Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah (Konsep dan Implementasi PSAK Syariah), Yogyakarta:
P3EI Press, 2008
26


3. Pada saat dibatalkan, sebagian uang muka diterima kembali
(Dr) Kas XX
(Dr) Beban operasional lain XX
(Cr) Uang muka kepada supplier XX

4. Bila terjadi penurunan nilali aktiva karena usang, rusak, atau kondisi lainnya
(Dr) Kas XX
(Dr) Beban operasional lain XX
(Cr) Uang muka kepada supplier XX

5. Bila terjadi kenaikan nilai wajar persediaan melebihi harga perolehan maka keuntungan
hanya boleh diakui pada saat direalisasi
(Dr) Kerugian penurunan nilai aktiva murabahah XX
(Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX

6. Bila dalam murabahah tanpa pesanan atau murabahah dengan pesanan tidakmengikat
terjadi penurunan nilai wajar persediaan dibawah harga perolehannya
(Dr) Beban penurunan nilai aktiva murabahah XX
(Cr) Selisih penilaian persdiaan nlai
murabahah
XX

7. Pada saat penjualan kepada pembeli
a. Pembayaran secara tunai
(Dr) Kas XX
(Cr) Pendapatan margin murabahah XX
(Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX

b. Pembayaran secara angsuran
(Dr) Piutang murabahah XX
(Cr) Margin murabahah tangguhan XX
27

(Cr) Persediaan/aktiva murabahah XX

8. Urbun
a. Penerimaan urbun dari pembeli
(Dr) Kas XX
(Cr) Titipan uang muka pembeli
(urbun)
XX

b. Pembatalan pesanan, pengembalian urbun kepada pembeli setelah dikurangi beban
atau kerugian (jika ada), dan urbun lebih besar daripada beban atau kerugian
(Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX
(Cr) Beban/kerugian XX
(Cr) Kas XX

c. Pembatalan pesanan, pengembalian urbun kepada pembeli setelah dikurangi beban
atau kerugian (jika ada ), dan urbun lebih kecil daripada beban atau kerugian
(Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX
(Dr) Piutang kepada pembeli XX
(Cr) Beban/kerugian XX
d. Apabila murabahah jadi dilaksanakan
(Dr) Titipan uang muka pembeli (urbun) XX
(Cr) Piutang murabahah XX


9. Pada saat penerimaan angsuran dari pembeli
(Dr) Kas XX
(Dr) Margin murabahah tangguhan XX
(Cr) Piutang murabahah XX
(Cr) Pendapatan margin murabahah XX

10. Pada saat terjadi tunggakan angsuran
a. Pada saat pengakuan pendapatan
28

(Dr) Piutang murabahah jatuh tempo XX
(Dr) Margin murabahah tangguhan XX
(Cr) Piutang murabahah XX
(Cr) Pendapatan margin murabahah XX

b. Pada saat penerimaan angsuran tunggakan
(Dr) Kas XX
(Cr) Piutangm murabahah jatuh tempo XX

11. Pemberian potongan pelunasan dini dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu
dari 2 metode berikut:
a. Jika pada saat penyelesaian, bank mengurangi piutang murabahah dan keuntungan
murabahah
(Dr) Margin murabahah tangguhan XX
(Cr) Piutang murabahah (sebesar
potongan)
XX

(Dr) Kas XX
(Dr) Margin murabahah tangguhan XX
(Cr) Pendapatan margin murabahah XX
(Cr) Piutang murabahah
(sebesar sisa jumlah yang tdk
dipotong)
XX


b. Jika setelah penyelesaian, bank terlebih dulu menerima pelunasan piutang murabahah
dari nasabah, kemudian bank membayar muqasah kepada nasabah dengan
mengurangi keuntungan murabahah
(Dr) Kas XX
(Dr) Margin murabahah tangguhan XX
(Cr) Pendapatan margin murabahah XX
29

(Cr) Piutangm murabahah XX

(Dr) Kas XX
(Cr) Kas (sebesar potongan) XX

12. Penerimaan denda, apabila nasabah melanggar perjanjian dengan sengaja
(Dr) Kas XX
(Cr) Rekening dana kebajikan XX


CONTOH: UANG MUKA MURABAHAH
Tuan Abdullah sepakat u ntuk membeli mobil antik dengan Bank Syariah:
- Harga perolehan sebesar Rp. 130.000.000,00
- Keuntungan yang disepakati sebesar Rp. 20.000.000,00
- Harga jual yang disepakati sebesar Rp. 150.000.000,00
Sebagai tanda keseriusan Tuan Abdullah menyerahkan uang muka kepada Bank Syariah
sebesar Rp. 30.000.000,00
Atas pesanan Tuan Abdullah tersebut Bank Syariah memesan kepada sebuah dealer
mobil antik dan disepakati dengan harga jual dealer sebesar Rp. 130.000.000,00 dan
sebagai tanda keseriusan atas pesanan tersebut Bank Syariah memberikan uang muak
kepada dealer mobil sebesar Rp. 25.000.000,00 dengan aturan apabila pesanan
dibatalkan, maka uang muka tersebut dipotong oleh dealer sebesar 50%. Atas mobil
antik tersebut, oleh Bnak Syariah diberitahukan kepada Tuan Abdullah, termasuk harga
barang atau mobil antik tersebut. Diperkenankan sebagai pembayaran angsuran). Bagi
nasabah uang muka tersebut akan mengurangi hutangnya kepada bank syariah dan bagi
bank syariah uang muka tersebut sebagai pengurang piutang murabahah pada porsi
harga pokok barang (bagi bank syariah piutang murabahah terkandung unsur harga
pokok dan unsur keuntungan yang disepakati).
Dalam ilustrasi diatas, apabila pembayaran dilakukan secara tangguh atau
angsuran, maka hutang Tuan Abdullah adalah:
- Harga barang sebesar Rp. 130.000.000,00
- Keuntungan yang disepakati Rp. 20.000.000,00
30

- Harga jual barang Rp. 150.000.000,00
- Pembayaran uang muka sebesar Rp. 30.000.000,00
(disetor ke bank syariah)
Hutang Tuan Abdullah Rp. 120.000.000,00
Bagi Tuan Abdullah hutang tersebut sudah tidak kenal lagi hutang pokok atau hutan
gmargin, dalam melakukan pembayaran hutangnya, berapapun besarnya yang berkurang
adalah jumlah hutangnya, tidak dikenal berkurang hutang pokok atau yang berkurang
hutang margin.
Sedangkan perhitungan uang muka tersebut oleh bank syariah adalah:
- Harga brang sebesar Rp. 130.000.000,00
- Pembayaran uang muka sebesar Rp. (30.000.000,00
(disetor ke bank syariah)
Porsi harga pokok Rp. 100.000.000,00
- Keuntungan yang disepakati Rp. 20.000.000,00
Hutang Tuan Abdullah Rp. 120.000.000,00

















31

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori
penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan
Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank
Islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka
dimana barang-barang dilibatkan dan bank telah memperluas cakupan dan tingkat
penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh
puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan
keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan
keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.

Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas
menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah yang
mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu pada uang.
Gambpang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada uang secara logika
menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam
transaksi-transaksi murabahah dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi-
transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.
Bentuk khusus kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk
menggantikan sistem bunga dan transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil
merupakan core product bagi bisnis syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang
penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya bentuk bisnis yang
berdasarkan syariah dapat dikembangkan dengan mengacu pada konsep syariah yaitu
murabahah.
Murabahah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak
mempunyai bebrapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka meningkat jalinan
kerja sama dimana bank membiayai pembelian yang diperlukan nasabah dengan sistem
pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah ini miri[ dengan kredit modal kerja
pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun
32

dan seringnya untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti rumah, tanah, toko,
mobil, motor dan sebagainya.




















33

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Rifki, Akuntansi Keuangan Syariah (Konsep dan Implementasi PSAK
Syariah), Yogyakarta: P3EI Press, 2008
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005
Antonio, M. Syafii, (2001) Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani.
Arifin,Zainul, (2005) Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: AlvaBet.
----------------, (1999), Memahami Bank Syariah, Jakarta: AlvaBet.
Arif Hoetoro, (2007), Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi,
Malang: BPFE Unibraw.
Chapra, M. Umer, (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam: Sebuah Tinjauan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press.
Heri Sudarsono, (2004), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia.
Ibn Rusyd, (t,t), bidayah al-mujtahid wa nihyah al-muqtashid, beirut: Dar al-Fikr.
Jaziri, Abdurrahman, (1990), kitab al-Fiqih 'ala al-Madhzhahib al-Arba'ah, Beriut:Dar
al-Kutub al-Ilmiah.
Jusmaliani, dkk., (2005), Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Karim, Adiwarman, (2003), Bank islam Analisis Fiqih dan keuangan, jakarta: IIIT
Indonesia
-------------, (2004), Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia. Qardhawi,
Yusuf, (1987), Bai al-Murabahah li al-Aamir bi asy-Syira Kama Tajriyah al-Masharif
al-Ilmiyah, t.tp: Maktabah Wahbah.
Muhamad, (2005), Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMPYKPN.
--------------, (2004) Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank
Syariah, Yogyakarta: UII Pers
Rafi Yunus al-Misri, (1991),Al-Jami'fi Ushul ar-Riba, Damaskus: Dar al-Qalam.
Robbyanto,(2007),"Ekonomi Syari'ah Rahmat Bagi Sektor Usaha","Makalah dalam
seminar Nasional dan Launching Jurnal LEBI 2007,Yogyakarta, 17 Desember 2007
Schacht, Joseph, (1982), An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press.
Slamet Wiyono, (2005), Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: PT. Grasindo.
Tazkia Institute, (1999), Murabahah, makalah disampaikan pada Lokakarya Perbankan
Syariah, 14 Mei 1999
Sutan Remy Sjahdeini, (1999), Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
34

Hukum Perbankan Indonesia Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Zulfikar Nazara, (2007), "Perkembangan Bank Syariah",Makalah Nasional dan
Launching Jurnal LEBI 2007,Yogyakarta, 17 Desember 2007.

You might also like