You are on page 1of 5

Pendahuluan

Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat. Kebenaran filsafat untuk dicapai masih banyak membutuhkan seperangkat aturan atau cara yang menjadi syarat untuk mencapai tujuan, dengan menggunakan perabot-perabot metodologi filsafat logika, induksi, deduksi, analogi dan komparasi. Perabot itu hanya berperan sebagai alat menuju kepada sebuah kebenaran, terutama mengenai pemahaman tentang filsafat. Pembahasan tentang kebenaran menjelaskan sesungguhnya apa yang disebut kebenaran serta syarat-syarat apa yang menyebabkan suatu pengetahuan dikatakan benar. Kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai tersendiri. Dengan adanya berbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saaatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda tentang suatu kebenaran antara satu dengan yang lainnya. Jadi, pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarangan saja. Lalu timbulah masalah, bgaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?Dalam makalah ini, akan coba kami sajikan tentang keterkaitan antara makna, kebenaran dan cara memperoleh kebenaran. Ada hal-hal yang merupakan permasalahan hakiki dalam filsafat, yaitu pertanyaan tentang ada yang benar tetapi tidak bermakna, ada yang bermakna tetapi tidak benar, dan segalanya banyak tergantung dari cara memperoleh kebenaran, yang akan memperoleh makna yang benar dan kebenaran yang bermakna. Pertanyaan berikutnya kalau kebenaran hakiki hanya ada pada Tuhan, bagaimana kedudukan kebenaran yang diperoleh oleh manusia?Dan apakah makna hanya di dalam konteks kehidupan.

Tujuan
Mengkaji keterkaitan antara makna-kebenaran-cara memperoleh kebenaran.

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; Kebenaran itu adalah kenyataan, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafii, 1995). Dalam bahasan ini, makna kebenaran dibatasi pada kekhususan makna kebenaran keilmuan (ilmiah). Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235). Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

PEMBAHASAN
1. MAKNA Makna merupakan salah satu unsur sarana ilmiah yang harus dikuasai oleh seorang ilmuwan. Supaya dalam ilmiahnya mudah dipahami oleh seorang yang menerima dan tidak timbul kesalahpahaman, dalam komunikasi ilmiah harus jelas dan objektif. Oleh karena itu, istilah-istilah yang digunakan harus dimaknai untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh istilah-istilah tersebut. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang dimaksudkan, lebih-lebih istilah-istilah yang diangkat dari bahasa biasa ke bahasa ilmiah. Untuk memberikan makna yang baik harus jelas dan singkat serta mudah dipahami, tidak menggunakan bahasa yang berbelit-belit. Makna hanya ada dalam konteks kehidupan manusia, karena hanya manusia yang dapat memaknai kebenaran. 2. KEBENARAN Kata kebenaran dapat digunakans ebagai suatu kata benda yang konkret maupun absatrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proporsinya benar. Proporsi maksudnya adalah makna yang terkandung dalam suatu pernyataan atau

statemen dan jika subjek menyatakan kebenaran bahwa proporsi yang diuji pasati memiliki kualitas, sifat atau karakteristik hubungan dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri. Kriteria kebenaran berkaitan dengan: 1. Kualitas pengetahuan Artinya bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui objek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau pengetahuan agama. 2. Sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu. Apakah ia membangunnya dengan pemikiran (thinking), penginderaan (sense experience), perasaan (feeling) dan keyakinan atau kepercayaan (believing). Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan (a) pengetahuan indrawi, (b) pengetahuan akal budi, (c) pengetahuan intuitif, (d) pengetahuan kepercayaan (otoritif) sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu. 3. Nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu, subjekkah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan, maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam. Teori-teori kebenaran: Teori-teori kebenaran selalu parallel dengan teori-teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori kebenaran telah terlembaga itu antara lain: 1. Teori kebenaran koherensi Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelum dianggap benar. 2. Teori kebenaran korespondensi Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh penyataan tersebut. 3. Teori kebenaran pragmatis Penganut teori kebenaran pragmatis meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman, pernyataan adalah benar. 4. Teori kebenaran sintaksis

Dalam teori kebenaran sintaksis suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang berlaku. 5. Teori kebenaran semantis Teori kebenaran semantis menyatakan proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukkan makna sesungguhnya dengan menunjukkan pada referensi atau kenyataan. 6. Teori kebenaran non deskripsi Pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan seharihari 7. Teori kebenaran logik yang berlebihan Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya suatu pemborosan. Karena pada dasarnya apa pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing salain melingkupinya. Segala sesuatu harus diragukan namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu. Misalnya meragukan bahwa bintang-bintang itu api, meragukan baha bintang-bintan itu bergerak. Karena adanya keraguan yang demikian itu maka kita harus mencari kebenaran dari apa yang kita ragukan. 3. CARA MEMPEROLEH KEBENARAN Kebenaran dapat dicari dengan menggunakan seluruh panca indera manusia tentang apa yang dia pikirkan mengenai hal itu. Itupun harus diselaraskan dengan apa yang dirasakan oleh hatinya dan sampai dia akhirnya dapat menemukan bahwa akhir dari semua kebenaran itu adalah selalu kembali kepada Tuhan. Kebenaran mutlak sebenarnya adalah kebenaran mutlak dalam suatu pendapat. Pada dasarnya kebenaran mutlak tidak terdapat pada manusia tetapi pada yang memiliki seluruh hidup manusia. Ada yang mengatakan bawha Saya inilah satu-satunya kebenaran. Mengapa demikian, adalah karena dia menginginkan semua pendapat itu harus dipatuhi tanpa boleh disangkal lagi. Namun, mengapa kita ini mengatakan masih mencari kebenaran?Ini karena dalam hati kita ingin membuktikan benarkah ucapanucapan yang demikian patut dibenarkan atau dinobatkan sebagai kebenaran mutlak. Keinginan kita untuk membuktikan hal-hal di atas inilah yang dapat dikatakan sebagai mencari kebenaran. Kegunaannya adalah jika kita telah mempunyai tujuan hidup. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita menjadi punya tujuan dan arah yang pasti. Bgaimana memulainya dalam mencari kebenaran adalah kita tentukan dulu hal manakah yang akan kita cari kebenarannya. Dalam tahap ini kita menghadapi pernyataan what dan when (apa dan kapan). Kemudian jalan pembuktiannya kita lakukan. Dalam pembuktian ini kita masuk tahap why dan how (mengapa dan bagaimana). Dan perlu dicatat pula bahwa kebenaran yang kita temukan sering bersifat

subjektif. Apa yang kita nilai benar, belum tentu dinilai benar oleh orang lain. Demikian pula kebenaran yang akan kita buktikan belum tentu sama dengan kebenaran yang dicari orang lain. Karena pencarian kebenaran sampai pada tahap why dan how maka merupakan bagian dari filsafat. Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran harus memakai alur pemikiran filsafati seperti rasio kita (alur thinking), kemudian menggunakan seluruh panca indera yang kita miliki (alur sensing), menggunakan perasaan (alur feeling) sampai batas mereka menemukan satu kebenaran dan pembenaran yang hakiki (alur believing). Dan kesimpulannya memang kebenaran itu sifatnya reltif atau tergantung masingmasing individu, karena masing-masing individu memiliki cara atau proses dalam mencari kebenaran yang berbeda. 4. KETERKAITAN ANTARA MAKNA-KEBENARAN-CARA MEMPEROLEH KEBENARAN Seperti yang telah dijelaskan bahwa kebenaran bersifat relatif, maka suatu kebenaran yang diperoleh individu harus disertai dengan suatu makna yang jelas sehingga orang lain dapat memahami dan menerima arti kebenaran yang disampaikan individu tersebut sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Tetapi perlu diingat bahwasannya ada kebenaran yang benar tapi tidak bermakna, ada yang bermakna tetapi tidak benar. Hal ini dikarenakan tidak adanya keterkaitan antara makna dan kebenaran itu sendiri. Dan segalanya banyak tergantung dari cara memperoleh kebenaran Dalam memperoleh kebenaran yang bermakna dan makna yang benar setiap individu harus menggunakan cara memperoleh kebenaran dengan menggunakan empat alur pemikiran filsafati yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, kebenaran yang diperoleh manusia bersifat relatif, tergantung cara memperoleh kebenaran yang dipakai, sedangkan kebenaran yang berasal dari Tuhan bersifat hakiki.

You might also like