You are on page 1of 3

Cyber TOKOH

Tradisi Midang
Senin, 08 Februari 2010

Terune di Ujung Kiri Rumah Dedare di Bawah Pintu. Gemuruh tabuhan Gendang Beleq yang mengantar rombongan pengantin, mengundang perhatian masyarakat untuk beranjak mendekati sumber suara. Peristiwa ini oleh masyarakat suku Sasak Lombok dikenal dengan nyongkol. Tradisi nyongkol di Lombok, hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak. Baik di kota maupun di pelosok desa di Lombok, nyongkol dapat ditemui. Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Minggu, bisa ditemui banyak rombongan nyongkol di desa-desa yang dilalui. Di Lombok Utara, beberapa waktu lalu, sepanjang perjalanan menuju Desa Santong, ada enam rombongan nyongkol ditemui di beberapa desa yang dilewati. Tradisi ini masih sangat lekat dengan masyarakat Lombok. Nyongkol merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak yang disebut merariq. Merariq merupakan salah satu tradisi yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Sasak secara turun temurun. Masyarakat suku Sasak memiliki tata cara perkawinan khas yang penuh dengan nilai dan norma-norma. Proses perkenalan dalam masyarakat adat Sasak lahir dari proses sosial yang berawal dari sebuah acara adat. Menurut L. Agus Faturrahman, salah seorang budayawan Sasak, jarang masyarakat adat Sasak menaruh ketertarikan khusus pada seseorang karena sebuah perjumpaan yang tidak disengaja, pertemuan sepintas atau lainnya. “Acara perkenalan ini biasanya menjadi bagian juga dari acara adat Sasak, misalnya dalam persiapan perhelatan perkawinan adat Sasak atau pun pada saat ada yang meninggal. Saat inilah rowah atau begawe itu dilakukan. Pada bagian tertentu dari begawe inilah, diselipkan kegiatan pendekatan bagi para teruna dan dedare, baik yang sudah saling kenal maupun yang belum sama sekali,” ungkapnya. Agus Faturrahman menambahkan di Lombok Selatan, dalam rowah pada saat ada yang meninggal, ada acara yang dikenal dengan ngamarin atau ngamer-ngamer (meramaikan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan). Saat inilah pendekatan itu dilakukan. Sedangkan dalam rowah/begawe perkawinan, acara khusus pendekatan ini dilakukan pada acara jelo jait menjelang puncak acara. Di saat ini ada acara masak nasi, yang disebut biso beras (cuci beras). ”Saling mendekati dalam masyarakat Sasak, merupakan proses sosial yang dilembaga secara adat,” kata Kepala Taman Budaya NTB ini. Saat rowah, terune dan dedare dengan sendirinya berkumpul untuk ikut membantu yang punya hajatan sekaligus datang meramaikan. Terune biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan lain yang dibutuhkan selama kegiatan, sedangkan dedare datang untuk ngedang (persiapan untuk acara besok) di dapur. Pada saat inilah subandar (perantara) mulai berperan untuk menjodohkan satu dengan yang lain. Proses ini dikawal oleh orang dewasa yang berfungsi sebagai subandar tadi. Jika ada yang saling tertarik, maka subandarlah yang membuka pembicaraan. Tidak resmi memang, melainkan mengikuti irama kegiatan tersebut. Saat ada yang mulai saling tertarik, maka selanjutnya mulai saling menyapa yang dikenal dengan nama endeng api (minta api). Para gadis Sasak datang dalam kegiatan ini dengan berdandan rapi. Saat dedare memasak, maka terune akan datang ke dapur untuk sekedar meminta api baik untuk membakar rokok maupun kebutuhan lain. Saat bertemu dengan yang membuatnya tertarik, maka akan ada komunikasi berupa bahasa simbol yang secara umum dalam masyarakat adat Sasak sudah dipahami bahwa mereka saling tertarik satu sama lain. Saat inilah mereka melanjutkan saling melempar pantun di antara hiruk-pikuk dan kesibukan orang menyiapkan konsumsi perhelatan. Akan terlihat kegiatan saling kenal ini seperti sambil lalu saja, padahal hal ini merupakan pranata budaya yang sengaja diciptakan oleh masyarakatnya. Dalam berbalas pantun inilah, dedare akan menguji kecerdasan, ketepatan, kecepatan terune dalam menjawab pantun si dedare. Dimulai dengan satu bait pantun berlanjut hingga bahkan lima bait. ”Terune diuji sejauh mana ia cepat dan tepat berpikir untuk menyampaikan maksudnya pada si dedare,” kata Agus. Proses penyatuan dua insan untuk berumah tangga dalam kaca mata adat Sasak, sungguhlah sebuah proses yang agung dan bernilai budaya tinggi. Perempuan Sasak dalam konteks ini berada pada posisi yang sangat terhormat dan mulia dengan posisi tawar yang baik. Tingginya nilai perempuan Sasak dalam hal ini justru sejak proses pendekatan dan saling menjajaki dimulai. Yang kemudian berlanjut pada acara yang disebut midang (secara umum dikenal ngapel). Jika dilihat dalam konsep awal perkenalan laki-laki dan perempuan Sasak, dalam hal midang, posisi tawar perempuan Sasak sebelum menikah cukup baik untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Midang substansinya mencoba saling mengenal satu sama lain ini menempatkan posisi tawar perempuan pada tempat yang baik di mana perempuan yang akan menentukan proses midang tersebut. Selama pengenalan awal, bahasa simbol selalu menyertainya misalkan berupa pantun. Dan dalam pantun tersebut, akan ada sinyal bagi si terune apakah ia diterima untuk midang oleh si dedare. Dalam hal ini, perempuan Sasak memiliki nilai tawar tinggi karena ia bisa menentukan siapa laki-laki yang diperkenankannya untuk datang berkenalan lebih jauh dengan dirinya.
http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 1 April, 2010, 01:36

Cyber TOKOH

Pada saat midang berlangsung, perempuan Sasak diperkenankan menerima tamu laki-laki lebih dari satu yang tujuannya untuk melakukan pendekatan dan menjajaki kemungkinan untuk menyatukan maksud dalam sebuah ikatan perkawinan. Kebudayaan Sasak mengatur acara midang ini berlangsung secara bermartabat dan menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, kesopanan, hukum dan agama. ”Masyarakat Sasak tunduk pada ”krama adat” tentang tata cara, waktu dan tempat midang,” kata Agus. Selama midang, laki-laki harus ”mlinggih” duduk dengan sopan dan menjaga jarak dengan perempuan, bertutur sapa yang santun penuh dengan aturan adat istiadat. Di awal kedatangannya untuk midang, terune berpakaian adat Sasak, minimal memakai sapuq (ikat kepala khas Sasak) atau bebat kain pengikat pinggang. Setelah itu, pada pertemuan selanjutnya bisa pakaian lainnya. Posisi duduk antara laki-laki dan perempuan ketika midang sangat berjauhan, tidak berdekatan, secara otomatis bahasa isyarat, bahasa simbol ataupun bahasa tanda yang lebih banyak difungsikan waktu ini berlangsung. Saat midang, terune diterima di Bale Tangi (rumah berarsitektur khas Sasak). Selama midang, terune duduk di ujung kiri rumah dan dedare duduk di bawah pintu, tidak boleh berpindah tempat hingga kegiatan midang usai. Biasanya saat midang, akan ada beberapa laki-laki yang menanti giliran. Mereka menanti di luar rumah, jika yang satu sudah lebih dulu masuk untuk bertemu dedare, maka yang lain harus menanti giliran di luar tidak boleh masuk. Antara yang di luar dan di dalam, dua-duanya sudah sama-sama mengerti bahwa ada yang menanti, jadi yang di dalam harus memberikan waktu untuk yang di luar demikian sebaliknya, yang di luar tidak boleh mengganggu (masuk) sebelum yang di dalam keluar. Semacam ada kesepakatan tidak resmi namun sangat dipatuhi. Ada kode khusus yang diberikan ketika pergantian itu berlangsung, berupa bahasa-bahasa simbolik untuk meminta yang di dalam keluar atau yang di luar masuk. ”Persaingan yang terjadi sangat fair dan beretika,” kata Agus. Setiap laki-laki Sasak berhak melakukan kompetisi untuk mendapatkan perempuan tersebut. Selama midang inilah, terune dan dedare saling mengenal dan menjajaki lebih jauh satu sama lain. Dalam proses ini, perempuanlah yang menentukan siapa laki-laki yang dipilihnya nanti. Jika ketertarikan itu telah ada, laki-laki belum sepenuhnya tau apakah ia diterima oleh si dedare, karena bahasa-bahasa yang digunakan selama midang adalah bahasa simbolik saja. Maka untuk memastikan dirinya diterima atau ditolak, pada saat ada acara-acara penting seperti Lebaran atau Maulud Nabi Muhammad SAW yang di Lombok dirayakan besar-besaran, terune akan bertandang ke rumah dedare dengan membawa pengumbuk/pereweh (oleh-oleh). Oleh-oleh ini tidak dilihat dari nilai materinya melainkan sebagai simbol saja. Jika oleh-oleh diterima, maka si terune memiliki peluang untuk terus bersama si dedare alias diterima. Jika tidak diterima, si dedare akan menyampaikannya juga dengan baik tentang penolakannya itu. Lagi-lagi perempuan Sasak, berhak menentukan siapa yang dipilihnya dari banyak laki-laki yang midang. Saat proses midang, orang tua juga mulai melihat laki-laki yang mendekati anak gadisnya. Jika ada terune yang juga disukai oleh orang tua, biasanya orang tua mulai mencari tahu tentang si terune tersebut. Salah satunya orang tua memberi isyarat pada laki-laki tersebut dengan menyuruhnya melakukan sesuatu yang bersifat membantu orang tua. Restu orang tua pun dikatakan dengan cara simbolik. Pada masyarakat pendukung Bau Nyale, restu orang tua dari dedare pada si terune ini diwujudkan dengan mengajaknya ke acara Bau Nyale ini. Bau Nyale adalah tradisi masyarakat Sasak menangkap nyale-cacing yang keluar pada pesisir pantai di Lombok pada saat tertentu yang dipercaya sebagai jelmaan Puteri Mandalika dalam legenda masyarakat Sasak. Kalau sudah diajak ke Bau Nyale, maka ini berarti pengumuman pada publik bahwa si terune telah dipilih oleh orang tua si dedare. Ini dikenal dengan istilah Mangan Besedi. Namun, bukan berarti si dedare juga sepakat dengan orang tua. Dedare memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya. Jika pilihan si dedare tidak disetujui orang tua maka bisa saja terjadi hubungan rahasia. Setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai antara dua pihak dari perkenalan ini, maka penyatuan dalam sebuah ikatan pernikahan bisa berlanjut. Keunikan konsep pernikahan adat Sasak yang dikenal Merariq dimulai. Menurut Agus Faturrahman, Merariq jangan dilihat sebagai sebuah kata tetapi istilah merariq diartikan sebagai sebuah sistem dan tidak bisa diterjemahkan. Dalam merariq, segala proses yang terjadi dilakukan dengan tata cara adat. Setelah kedua belah pihak yang saling mengenal itu sepakat untuk menikah, maka merariq akan dilakukan. Kesepakatan merariq itu akan diwujudkan dengan membawa si calon pengantin perempuan dengan cara ”mencuri” diam-diam, sembunyi-sembunyi atau dipalingkan dari orang tuanya. Benar-benar tanpa sepengetahuan orang tua. Bagi dua orang yang sepakat merariq, bisa telah diketahui oleh orang tua si perempuan sebelumnya, bisa juga tidak. Merariq terwujud dengan kesepakatan waktu mbait (mengambil perempuan dari rumah orang tuanya). Waktu mbait juga ditentukan dengan adat, yakni antara waktu Magrib dan Isya, tidak sembarang waktu. Waktu ini dinilai sebagai waktu yang paling baik untuk mbait. Bagi mereka yang merariq tanpa persetujuan orang tua, maka waktu mbait pun menjadi
http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 1 April, 2010, 01:36

Cyber TOKOH

tantangan tersendiri bagi calon mempelai terutama pihak laki-laki. Si perempuan harus pandai-pandai mengalihkan perhatian orang tua dan keluarga di rumah itu agar ia bisa dengan mudah keluar di waktu yang telah disepakati bersama si laki-laki. Demikian pula dengan pihak laki-laki yang biasanya membawa rombongan untuk ”mencuri” sang gadis. Bagaimana tidak, rombongan pihak laki-laki harus pandai membaca situasi rumah si perempuan agar dengan ”aman” bisa menjemput si calon pengantin perempuan. Sama juga dengan midang, mbait juga punya tata cara dan aturan adat serta menjunjung nilai kesopanan. Saat mbait, dalam rombongan si laki-laki, ada sekelompok perempuan yang sudah dewasa yang bertugas menjemput si perempuan dari dalam rumah atau pun halaman rumahnya. “Yang menjemput, harus dewasa dan telah menikah tidak boleh yang belum menikah,” kata Agus. Si laki-laki dan rombongan lainnya berjaga-jaga di luar halaman rumah. Saat mbait, ada yang sekali langsung berhasil, ada pula yang harus berkali-kali datang selalu gagal. Namun, bagi rombongan pihak laki-laki, ini bukanlah masalah. Di sinilah letak seninya merariq dalam adat Sasak, bagaimana bisa membawa si pujaan hati namun sebelumnya melewati rintangan yang berat. Setelah si calon pengantin perempuan berhasil dibawa, maka tidak diperbolehkan membawanya ke rumah si laki-laki calon pengantin. Melainkan dibawa ke rumah keluarga atau kerabat atau kawan dari calon pengantin laki-laki. Di sanalah si perempuan ini dititipkan sambil menanti proses berikutnya yakni menanti kesepakatan antara dua keluarga, baik keluarga si perempuan maupun laki-laki. Semua aturan adat dalam proses berumah tangga ala Sasak, sarat dengan nilai dan norma yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Hal inilah yang dikatakan Agus, menikah menggunakan adat Sasak sesungguhnya sangatlah berat jika segala aturan adat diikuti. Ia menjawab ironi yang terjadi di Lombok belakangan ini, bahwa begitu mudahnya orang melakukan kawincerai, dan menikah usia dini. Menurutnya, telah terjadi pergeseran nilai adat istiadat dalam hal perkawinan di Lombok sehingga menimbulkan banyak masalah. Para oknum yang tidak memahami aturan adat itulah yang kemudian melakukan tata cara adat setengah-setengah tidak sepenuhnya. Karena jika sepenuhnya melakukan aturan adat dalam merariq, maka hal tersebut bisa diminimalisir. Hal ini diungkapkannya, karena beberapa waktu terakhir banyak persoalan merariq yang sampai ke meja hijau, karena urusannya akhirnya menjadi urusan hukum bukan lagi urusan adat karena tidak dilakukan berdasarkan tata cara adat semestinya. --nik

http://www.cybertokoh.com

Powered by: Joomla!

Generated: 1 April, 2010, 01:36

You might also like