You are on page 1of 2

Assalaamu 'alaikum. Wr. Wb. Ustadz, saya adalah mahasiswa Teknik Geodesi UGM.

Dalam materi kuliah dijelaskan kalau bentuk bumi itu bulat. Saya kemudian mencari dalilnya dalam Al quran yang saya dapat dari Harun Yahya tapi alasannya cuma satu ayat, pada ayat yang lain disebutkan jika bumi itu "dihamparkan", bukankan berarti datar? Apakah Al Quran masih relevan untuk setiap zaman? Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb. ACB Jawaban: Assalamualaikum 'Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. Alhamdulilahi Rabbil 'alamin, wash-shalatu was-salamu 'alaa Sayyidina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shahbihihi ajma'in, wa ba'du Pada hakikatnya tidak masalah yang perlu dipertentangkan antara ungkapan "bumi dihamparkan" dengan kebulatan bentuk bumi seutuhnya. Keduanya tidak saling bertentangan. Ungkapan "bumi dihamparkan" tidak berarti bumi itu rata seluruhnya, sebab ternyata bumi itu tidak rata, melainkan ada gunung, jurang, lembah, ngarai, laut yang dalam dan seterusnya. Bagian bumi ada yang sampai menjulang ke "langit" bahkan menembus awan. Sampai terjadi salju abadi karena tingginya mencapai 8.000-an meter dari permukaan laut. Tapi ada juga yang sedemikian dalam di tengah dasar lautan hingga kedalama beberapa ribu meter, seakan menjadi tempat gelap abadi. Sejak ayat Al-Qur'an ini diturunkan, para shahat pun sudah tahu adanya beragam bentuk permukaan bumi tersebut. Dan tidak ada yang mempertentangkannya, sebab makna "bumi dihamparkan" tidak berarti harus rata seluruhnya seperti permukaan air laut. Demikian juga ayat tersebut tidak bertentangan bila ternyata bentuk utuh bumi itu bukan rata seperti permukaan meja. Sebab dibentangkannya bumi tidak harus bentuknya rata seperti meja. Mungkin saja permukaan bumi itu melengkung hingga membentuk bulatan. Di dalam Al-Qur'an Al-Kariem ada banyak ungkapan yang tidak harus mengungkap fenomena ilmiyah, melainkan ungkapan dengan sudut pandang subjektif tertentu. Dan ungkapan demikian bukan hal yang asing, apalagi mengingat Al-Quran itu memang bukan buku tentang antariksa. Sebaliknya, Al-Qur'an lebih dikenal dengan ungkapan sastra dan prosanya yang sangat mendalam maknanya. Dalam bahasa sehari-hari kita pun tidak asing dengan ungkapan "beratapkan langit". Padahal secara ilmiyah, langit itu tidak berbentuk atap bukan? Orang-orang sain akan berkata bahwa langit adalah antariksa yang membentang luas. Sementara ungkapan "beratapkan langit" bagi sebagian orang yang kurang paham gaya bahasa akan sangat membingungkan, mungkin

mereka akan bertanya, "Apakah langit itu seperti atap?" Tentu saja tidak. Maka jangan terlalu terpaku dengan ungkapan "bumi dihamparkan", sebab maknanya cukup luas. Bisa saja bermakna bahwa bumi itu di-"gelar" atau dipersiapkan untuk manusia, sebagaimana istilah di dalam Al-Qur'an: "firash". Firasy adalah sesuatu yang digelar, sehingga bisa juga bermakna sebagai tanah tempat manusia hidup itu digelar. Bahkan ada ungkapan di dalam Al-Quran yang diterjemahkan dengan "hamparan" di mana istilah aslinya adalah "bisatha". Bisath dalam bahasa arab maknanya adalah alas yang bisa digunakan untuk duduk, semacam karpet atau tikar. Dan secara ilmiyah, kita menemukan bahwa memang manusia hidup di bumi ini bagai berdiri di atas "selembar" alas yaitu lapisan kerak bumi. Sementara di bawah lapisan kerak bumi ada isi perut bumi yang berupa magma cair yang panas. Dan masih banyak lagi makna yang harus dipahami dengan baik dan dengan catatan harus merujuk kepada istilah yang dipakai oleh Al-Qur'an langsung. Bukan istilah terjemahan seperti "hamparan" yang ternyata kurang tepat ketika dipahami secara terburu-buru. Mungkin dalam bahasa Indonesia, kata "hamparan" seolah bisa diartikan sesuatu yang rata. Padahal kata itu hanya terjemahan dari bahasa arab yang justru maknanya tidak harus sesuatu yang rata. Inilah salah satu sebab mengapa Al-Qur'an itu tidak boleh diterjemahkan tanpa menyertakan lafaz aslinya dalam bahasa Arab. Dan sekedar terjemahannya saja, tidaklah termasuk AlQur'an. Wallahu A'lam Bish-Showab, Wassalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. Ahmad Sarwat, Lc.

You might also like