You are on page 1of 28

Sistem Pemerintahan Indonesia SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA Berdasarkan undang undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik

k Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. 2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) 3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat. 4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden. 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara. 6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. 7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh sungguh usaha DPR. Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undangundang dasar 1 sampai dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah: 1. Kekuasaan menjalan perundang undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah. 2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA. 3. Kekuasaan membentuk perundang undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR. 4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK. 5. Kekuasaan mempertahankan perundang undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA. Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut. 1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil

presiden untuk melaksanakan garis garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR. 2. Lembaga lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24). a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang. b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden. c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara. d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR. e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga lembaga tinggi Negara. Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.: EKSEKUTIF Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha usaha Negara. Aperatur pemrintah pusat terdiri dari : a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi : 1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif). 2) Wakil presiden 3) Menteri menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan

prsiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya. 4) Kejaksaan agung 5) Sekretariat Negara 6) Dewan dewan nasional 7) Lembaga lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain lain.

merika Serikat adalah negara yang unik dan sangat terdesentralisasi. Sebagai negara, AS semacam perserikatan negara-negara bagian yang mandiri seperti yang tergambar pada namanya, United States of America atau dalam terjemahan bebas Persatuan NegaraNegara di Amerika. Pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif (Presiden), legislatif (House of Representative dan Senat) dan yudikatif (Supreme Court) tidak hanya pada pemerintah nasional atau Federal, tetapi juga di negara bagian. Tiap negara bagian (states) memiliki pemisahan tiga pilar kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti halnya di tingkat nasional (federal). Sama seperti di tingkat federal, di tingkat states lembaga legislatif juga terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan House of Representative. Hanya negara bagian Nebraska yang hanya menggunakan sistem satu kamar saja. Di tiap states juga terdapat lembaga peradilan mandiri mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding hingga Mahkamah Agung negara bagian. Tidak heran bila hukum antar states bisa berbeda-beda. Seperti kontroversi hukuman mati, sebagian negara bagian sudah menghapus hukuman mati sementara negara bagian yang lain masih mengadopsinya. Demikian juga halnya dengan penegak hukum dan pertahanan. Setiap negara bagian juga memiliki pasukan sendiri, yaitu yang dikenal dengan National Guard. Bila pemerintah

federal membutuhkan tambahan pasukan, maka Presiden juga bisa meminta bantuan dari national guard untuk berbagai penugasan, baik operasi militer maupun operasi militer di luar perang seperti bantuan untuk bencana alam. Sama halnya dengan Kepolisian, setiap states memiliki unit polisi sendiri. Seperti dapat dilihat pada film-film Amerika, ada Los Angeles Police Department (LAPD) atau New York Police Department (NYPD) adalah kesatuan polisi di tingkat kota. Masing-masing memiliki unit-unit sendiri seperti detektif hingga SWAT. Bahkan sebagai respon terhadap terorisme dan pasca serangan ke WTC 9/11, NYPD memiliki unit anti teroris yang terpisah dengan FBI! Parlemen Amerika terdiri dari House of Representative dan Senat. House of Representative terdiri dari 435 anggota dipilih setiap enam tahun menggunakan sistem distrik. Akan tetapi pemilihan dilakukan tidak serentak, hanya 1/3 anggota yang dipilih ulang setiap 2 tahun. Sedangkan Senat mewakili negara bagian, tiap negara bagian memiliki 2 senator sehingga anggota senat sebanyak 100 mewakili 50 negara bagian. Baik HR maupun Senat memiliki kewenangan yang sama, hanya untuk anggaran harus diusulkan oleh HR sementara persetujuan terhadap setiap usulan Presiden diusulkan oleh Senat. Untuk mengangkat menteri, duta besar dan pejabat negara lain seperti Gubernur Bank Sentral, Presiden harus mendapatkan persetujuan dari legislatif yang diusulkan oleh Senat. Yang unik dalam sistem politik di Amerika adalah partai politik. Di Amerika partai politik bisa berjumlah banyak, berbeda-beda di setiap negara bagian. Terutama karena Pemilu sesungguhnya dilakukan di tingkat negara bagian. Republik dan Demokrat juga bukan partai politik dengan struktur dan mesin politik yang ketat. Republik dan Demokrat bisa dikatakan sekedar merupakan pembagian kecenderungan politik saja karena pada dasarnya setiap anggota HR bebas mengambil keputusan. Meskipun sebagai anggota Demokrat, tetapi sah-sah saja bila kemudian tidak setuju dengan keputusan Presiden Obama yang berasal dari Partai Demokrat. Karena setiap anggota legislatif bebas mengambil keputusan maka setiap voting dilakukan dengan terbuka sehingga konstituen mengetahui setiap pilihan anggota legislatif. Kandidat pada dasarnya adalah independen. Seseorang bisa mencalonkan diri menjadi kandidat meskipun tidak mendapatkan dukungan dari partai politik. Pernah terjadi, ada anggota House yang tidak dicalonkan lagi oleh partai tetapi kemudian yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai calon independen dan ternyata kemudian menang. Salah satu fenomena menarik dalam politik Amerika adalah lobbyist. Mereka ini adalah organisasi profit yang melobby anggota Kongres untuk kepentingan kliennya. Tujuannya tentu agar ada kebijakan yang memberikan keuntungan bagi kliennya. Oleh karena itu berbagai kelompok kepentingan seperti asosiasi petani, asosiasi industri dan seluruh kelompok kepentingan menyewa lobbyist ini. Akan tetapi dalam perkembangannya lobbyist kerap dipandang miring. Terutama karena mereka melakukan apa pun untuk memperjuangkan kliennya, bahkan terkadang

menggunakan cara-cara yang kolutif. Banyak anggota Kongres yang diongkosi perjalanannnya atau mendapatkan fasilitas dari para lobbyist ini. Untuk mencegah konflik kepentingan, ada aturan ketat tentang lobbyist. Mereka harus mendaftarkan diri dan mendeklarasikan siapa klien yang diwakilinya, serta sumber dana yang didapat. Kontroversi tentang lobbyist sempat mengemuka di Indonesia ketika Taufik Kiemas, suami Presiden RI waktu itu, Megawati Soekarnoputri menyewa lobbyist untuk membuka kerja sama militer Indonesia AS. Kerja sama militer dibekukan pada jaman Presiden Clinton karena pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Leste. Yang menjadi kontroversi, dari mana asal uangnya? Andreas Harsono, seorang jurnalis freelance pernah menulis soal ini (http://andreasharsono.blogspot.com/2007/05/lobbyingbonanza.html). Tidak jelas apakah uang untuk membayar lobbyist berasal dari anggaran negara atau uang pribadi Taufik Kiemas. Untuk mencegah konflik kepentingan, di Amerika ada aturan yang sangat ketat yang mengatur anggota Kongres untuk mendeklarasikan setiap penerimaan dan fasilitas yang didapat, terutama dari lobbyist.

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik. Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undanag-Undang Dasar. Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan presidensial? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dibahas mengenai sistem pemerintahan. I. Pengertian Sistem Pemerintahan Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti: a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara. c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka

mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia. Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabile semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial. a. Kabinet Presidensial Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial adalah Amarika Serikat dan Indonesia b. Kabinet Ministrial Kabinet ministrial adalah suatu kabinet yang dalam menjalankan kebijaksaan pemerintan, baik seorang menteri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seluruh anggota kebinet bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet ini adalah negara-negara di Eropa Barat. Apabila dilihat dari cara pembentukannya, cabinet ministrial dapat dibagi menjadi dua, yaitu cabinet parlementer dan cabinet ekstraparlementer. Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), cabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai. Kabinet Ekstraparlementer adalah kebinet yang pembentukannya tidak memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara serta keadaan dalam parlemen/DPR.

II. Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu: 1. sistem pemerintahan presidensial; 2. sistem pemerintahan parlementer. Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia. Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut : 1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif. 2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen. 3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen. 4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktuwaktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet. 5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara

republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara. 6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru. Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:

Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :


Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial. Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut. 1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis. 2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.

3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen. 4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. 5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat. 6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen. Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :

Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :


Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

III. Pengaruh Sistem Pemerintahan Satu Negara Terhadap Negara-negara Lain Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya. Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina. Dan contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlemen: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia. Meskipun sama-sama menggunakan sistem presidensial atau parlementer, terdapat variasi-variasi disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Misalnya, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya,

negara Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem pemerintahan suatu negara berguna bagi negara lain. Salah satu kegunaan penting sistem pemerintahan adalah sistem pemerintahan suatu negara menjadi dapat mengadakan perbandingan oleh negara lain. Suatu negara dapat mengadakan perbandingan sistem pemerintahan yang dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dilaksakan negara lain. Negara-negara dapat mencari dan menemukan beberapa persamaan dan perbedaan antarsistem pemerintahan. Tujuan selanjutnya adalah negara dapat mengembangkan suatu sistem pemerintahan yang dianggap lebih baik dari sebelumnya setelah melakukan perbandingan dengan negara-negara lain. Mereka bisa pula mengadopsi sistem pemerintahan negara lain sebagai sistem pemerintahan negara yang bersangkutan. Para pejabat negara, politisi, dan para anggota parlemen negara sering mengadakan kunjungan ke luar negeri atau antarnegara. Mereka melakukan pengamatan, pengkajian, perbandingan sistem pemerintahan negara yang dikunjungi dengan sistem pemerintahan negaranya. Seusai kunjungan para anggota parlemen tersebut memiliki pengetahuan dan wawasan yang semakin luas untuk dapat mengembangkan sistem pemerintahan negaranya. Pembangunan sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak lepas dari hasil mengadakan perbandingan sistem pemerintahan antarnegara. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme cheks and balance. Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat. Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu. Dengan demikian, sistem pemerintahan suatu negara dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau model yang dapat diadopsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara lain. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing telah mampu membuktikan diri sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer seara ideal. Sistem pemerintahan dari kedua negara tersebut selanjutnya banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia yang tentunya disesuaikan dengan negara yang bersangkutan. IV. Sistem Pemerintahan Indonesia a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen. Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Sistem Konstitusional. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya. Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi 1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, 2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini. b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004. Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.

2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. 3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. 4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. 5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsure-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi presiden meskipun secara tidak langsung. 2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. 3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. 4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undangundang dan hak budget (anggaran) Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Kesimpulan Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri. Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengwasan langsung dari legislatif. Sebaliknya,

apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial. Dalam sistem pemerintahan negara republik, lebaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda. Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antarsistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama. Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Perubahan pemerintahan di Indonesia terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Hal itu bermula dari adanya krisis moneter dan krisis ekonomi.

Sistem Politih Amerika Serikat Amerika Serikat adalah negara federal ( negara serikat ) yang terdiri dari negara-negara bagian yang sama sekali terpisah dengan negara induknya, kecuali dalam keamanan bersama. Bahkan negara-negara bagian mempunyai undang-undang sendiri. Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang melaksanakan teori Trias Politica secara konsekuen, yaitu pemisahan kekuasaan dengan tegas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Badan legislatif terdiri dari dua kamar (bicameral), yaitu Senate yang beranggotakan wakil-wakil negara bagian, masing-masing 2 (dua) orang senator, dan House of Representative beranggotakan wakil-wakil dari negara bagian yang jumlahnya tergantung dari jumlah penduduk masing-masing negara bagian. Presiden melakukan kekuasaan eksekutif, dan dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Congress (Senate dan House of Representative), sedangkan kekuasaan yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme Court of Justice). Setelah Congress menyusun sebuah rancangan undang-undang, kemudian rancangan itu diserahkan kepada presiden untuk mendapatkan pengesahan. Apabila presiden tidak menyetujui isi rancangan undang-undang itu, presiden berhak untuk menolaknya dan tidak mengesahkannya (hak veto). Rancangan undang-undang yang diveto oleh presiden diserahkan kembali kepada Congress, Congress akan meninjaunya kembali dengan memerhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh presiden. Apabila dari hasil peninjauan Congress itu ternyata bahwa sedikitnya 2/3 dari seluruh anggota Congress tetap menyetujui rancangan undang-undang itu maka rancangan undang-undang itu harus disahkan oleh presiden. Dengan sistem pemisahan kekuasaan ini, akan terjadi check and balance yang benar-benar sempurna antarlembaga-lembaga kekuasaan tersebut.

Semua negara bagian harus berbentuk republik dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Di negara ini, hanya ada dua partai politik yang memperebutkan jabatan politik, yaitu Partai Demokrasi dan Partai Republik. Hampir setiap saat rakyat Amerika Serikat melakukan pemilihan umum dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, walikota, dewan kota, anggota Senat, anggota House of Representative, dan pejabat-pejabat politik di negara bagian. Sistem pemerintahan yang dijalankan di Amerika Serikat adalah sistem presidensial. Indonesia juga menerapkan sistem pemerintahan presidensial, namun tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan, melainkan sistem pembagian kekuasaan, artinya antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak benar-benar terpisah tetapi masih ada hubungan kerja sama antara lembaga satu dan lembaga lainnya.

Sistem Pemerintahan Indonesia


May13 by retnodn <![if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } >

Sistem Pemerintahan
Sistem berarti suatu keseluruhan mempunyai hubungan fungsional. yang terdiri atas beberapa bagian yang Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif. # Pengelompokkan system pemerintahan:

1. system pemerintahan Presidensial


merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia. Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial: 1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan. 2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif. 3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden. 4. eksekutif dipilih melalui pemilu.

1. system pemerintahan Parlementer


merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia. Ciri-ciri dan syarat system pemerintahan Parlementer: 1. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan. 2. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet. 3. Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.

1. system pemerintahan Campuran


dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan system pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Contoh Negara: Perancis. # Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia 1. Tahun 1945 1949

Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 45 antara lain:

1.

a. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR. b. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP KNIP.

1. Tahun 1949 1950


Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

1. Tahun 1950 1959


Landasannya adalah UUD 50 pengganti konstitusi RIS 49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:

1.

a. b. c. d.

presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan. Presiden berhak membubarkan DPR. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.

1. Tahun 1959 1966 (Demokrasi Terpimpin)


Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat. 1. Tahun 1966 1998 Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei 98.

1. Tahun 1998 Sekarang (Reformasi)


Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa. # Sistem Pemerintahan menurut UUD 45 sebelum diamandemen:

Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR. DPR sebagai pembuat UU. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan. DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan. MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan. BPK pengaudit keuangan. # Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 2002) MPR bukan lembaga tertinggi lagi. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Kekuasaan Legislatif lebih dominan. # Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain Berdasarkan penjelasan UUD 45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer. # kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR. Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet. Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR. # Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden. Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.

Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh. Pengaruh rakyat perhatian. terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat

# Perbedaan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan Malaysia 1. Badan Eksekutif a. Badan Eksekutif Malaysia terletak pada Perdana Menteri sebagai penggerak pemerintahan negara. b. Badan Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai 2 kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. 1. Badan Legislatif a. Di Malaysia ada 2 Dewan Utama dalam badan perundangan yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat yang perannyan membuat undangundang. b. Di Indonesia berada di tangan DPR yang perannya membuat undangundang dengan persetujuan Presiden

Federal Benarkah format bentuk negara kesatuan yang dirumuskan para founding fathers kita di

awal kemerdekaan itu sudah final? Padahal bentuk negara tandingannya yakni bentuk negara federal mendapat tempat dan diskursus publik yang tidak fair. Benturan wacana di masyarakat bahwa bentuk negara kesatuan yang dianggap menyatukan bangsa Indonesia, sedangkan bentuk negara federal dianggap membagi-bagi/memecah belah bangsa. Kemudian dengan alasan yang dianggap cukup kuat di masa awal kemerdekaan yakni mengkonsolidasikan kekuasaan ke pusat, wacana negara kesatuan memenangkan tempat untuk digunakan sebagai format bentuk negara. Akan tetapi, layakkah kita menjustifikasi bahwa negara federal itu memecah belah bangsa? Memang bentuk federal akan membagi Indonesia menjadi negara-negara bagian, dan negara federal, tetapi tidak serta-merta memecah belah bangsa. Sebenarnya anggapan federal akan memecah belah bangsa ini muncul karena yang mensosialisasikan ide federasi itu adalah Van Mook yang orang Belanda di tahun 1949. Penerapan ini terkait dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Sedangkan Indonesia masih secara mencurigai dan menganggap buruk Belanda termasuk gagasan Belanda. Ada indikasi bahwa spirit anti-belanda yang cukup kuat di Indonesia, barangkali hingga sekarang. Lain halnya jika bukan Van Mook yang mensosialisasikan format federal ini, tentu saja format ini mendapat tempat yang fair untuk dikaji dan dibandingkan secara obyektif. Tanpa bermaksud menafikan upaya konsolidasi kekuasaan yang dilakukan pada saat wacana bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara Indonesia. Tetapi kita cenderung melihat perkembangan bangsa yang terancam disintegrasi ini sebagai alasan kuat pertimbangan terhadap bentuk federal. Kita memahami bahwa kekuasaan itu tersebar dalam berbagai aktor. Indonesia yang dari sisi aktor memiliki keragaman, jika dipilah secara wilayah, ada aktor pusat dan aktor daerah, aktor daerah tentu saja tidak menghendaki pemusatan kekuasaan. Kejenuhan mereka pun akhirnya booming, salah satunya melalui separatisme. Dulu di jaman pemerintahan Soeharto dianggap hanya ekses politik di daerah yang kurang diperhatikan, tetapi akumulasi ekses ini malah menimbulkan masalah yang lebih besar bagi keutuhan bangsa. Maka dari itu, bentuk federal patut dipertimbangkan sebagai jalan tengah antara mengurangi ketidak-adilan dengan upaya menjauhkan disintegrasi bangsa. Pertimbangan Romo Mangun Wijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat, memberikan ide Bhineka tunggal ika dengan pernyataan, demi ke-tunggal-an RI itulah, ke-bhineka-an federal dalam abad 21 harus dibentuk. Hanya saja dari sisi substansi, sesungguhnya wacana otonomi daerah seluas-luasnya pun banyak dibaca hampir sama dengan federal. Sebagainya pendapat Prof. Ryass Rasyid dan Prof. Dr Ichlasul Amal. Dengan kata lain, bentuk negara kesatuan dengan prinsip wewenang ditransfer ke daerah. Tetapi pendapat ini menjadi bias karena transfer kewenangan daerah dalam negara kesatuan itu dilimpahkan dari pusat ke daerah. Sedangkan dalam negara federal pelimpahan itu dari daerah ke pusat. Jadi kemudian, tidak mengherankan terjadi ambiguitas di daerah terkait wewenangnya yang seolah dibatasi dengan perumusan dari pusat (DAU,DAK,dsb), atau multi interpretasi yang terjadi karena batasan wewenang tidak jelas. Singkatnya, Diberikan batasan oleh pusat akan membatasi daerah, tetapi jika tak dibuat patokan akan diinterpretasi berbeda-beda.

Maka dapat dipastikan fenomena seperti ini masih akan terus terjadi. Sistem Presidensiil Dalam hal sistem pemerintahan, saya berpendapat bahwa sistem presidensiil masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengacu pada sejarah parlementarian di Indonesia yang malah menimbulkan ketidak-stabilan sistem politik. Representasi dalam lembaga parlemen (legislatif) di Indonesia begitu proporsional dengan basis kemajemukan yang beragam. Sehingga dalam mengagregasikan kepentingan di lembaga legislatif sangat ditentukan oleh kompromi-kompromi yang berimbas pada kekurangefektifan sistem pemerintahan (sistem parlementer). Selain itu, secara empirik kekuasaan presiden cukup kuat di Indonesia. Dapat kita lihat pada Soekarno yang memiliki basis dukungan menyeluruh dari seluruh masyarakat, beliau sempat merasakan parlementer yang membatasi gerak kekuasaanya. Tetapi kemudian, secara menakjubkan namun mungkin terjadi Beliau dapat membentuk lembaga perwakilan. Meskipun akhirnya, terlalu kuat pun menimbulkan masalah bagi bangsa. Begitu juga Soeharto yang tak diragukan lagi kekuasaannya selama 32 tahun. Dengan catatan yang sama, terlalu kuat menimbulkan masalah yang sama yakni otoriter. Namun, pemerintahan SBY di era transisi demokrasi sekarang ini pun patut menjadi catatan. Bahwa ada kecenderungan parlemen (DPR) lebih kuat dari presiden yang diekspresikan dengan sikap peragu, dan cenderung kompromistis dari SBY dalam membuat kebijakan. Yang perlu digaris bawahi pula, basis dukungan SBY di parlemen memang tidak terlalu besar, menjadi wajar bila terdapat rongrongan politik dari pesaing politiknya di legislatif,utamanya. Sebagai akhir, bahwasanya signifikansi dan relevansi sistem presidensiil di Indonesia secara empirik menguatkan keyakinan kita akan penerapan sistem tersebut. Walaupun kita mesti mencermati catatan tersebut dengan baik melalui regulasi yang dapat membatasi meluapnya kekuasaan presiden. Idealnya, presiden pun seharusnya memiliki basis dukungan yang kuat di masyarakat dan lembaga perwakilan. Sumber : http://soodhy.wordpress.com/2007/09/17/format-bentuk-negara-dan-sistempemerintahan-yang-cocok-untuk-indonesia/ 9 Maret 2009 Sumber Gambar : http://akbartandjung.com/gambar/article/content

Pengantar

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya dalam hati, dalam merumuskan konstitusi untuk suatu negara Indonesia yang merdeka pada tahun 1945, setelah memilih bentuk negara kesatuan dan menolak bentuk negara federal, pertimbangan apa yang menyebabkan para Pendiri Negara ---yang umumnya memperoleh pendidikan tingginya di negeri Belanda ataupun di Indonesia yang dijajah negeri Belanda--- sampai memilih sistem pemerintahan presidensial dan menolak sistem pemerintahan parlementer. Secara retrospektif dapat dikatakan, bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan akan mengandung risiko berganda, yaitu kekuasaan pemerintahan yang teramat besar di tingkat nasional dengan sistem pengambilan keputusan yang sangat sentralistik. Latar belakang penolakan sistem pemerintahan parlementer pernah diutarakan dalam kesempatan lain oleh Ir. Soekarno, yang antara lain menyatakan bahwa seorang wakil buruh yang dapat menjatuhkan seorang menteri di parlemen bisa saja keesokan harinya diberhentikan oleh majikannya. Saya percaya bahwa para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia yang lain juga mempunyai pandangan yang sama. Tetapi mengapa memilih sistem pemerintahan presidensial menurut model negara federal Amerika Serikat, yang besar kemungkinan tidak demikian difahami oleh para Pendiri Negara ini? Seperti kita ketahui bersama, walaupun mungkin terlihat wah, namun kekuasaan dan pengaruh seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam negara federal seperti di Amerika Serikat tidaklah demikian besar. Sebabnya ialah oleh karena kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam negara federal tersebut hanyalah merupakan residual power dari kekuasaan dasar yang dimiliki baik oleh countries maupun states. Tidak demikian halnya dengan kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan, yang secara implisit berarti bahwa seluruh kekuasaan pemerintahan, sejak dari pusat sampai ke daerah, akan berasal dari sang presiden, oleh karena dalam sistem ini presiden adalah pemerintah dan pemerintah adalah presiden.

Pemilihan Sistem Presidensial


Ada empat dugaan saya mengenai latar belakang pemilihan sistem pemerintahan presidensial dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini. Pertama , karena secara konseptual sistem pemerintahan presidensial memang satu-satunya alternatif terhadap sistem pemerintahan parlementer. Seperti kita ketahui, hampir seluruh Pendiri Negara menyadari kelemahan sistem parlementer seperti yang mereka saksikan di Eropa Barat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, kalau menolak sistem pemerintahan parlementer, pilihannya otomatis ya sistem pemerintahan presidensial. Kedua , oleh karena sistem pemerintahan presidensial ini dirasa mampu mewadahi konsep tradisional manunggaling kawulo lan gusti' serta gagasan democratie met leiderschap yang sudah lama ditimang-timang oleh sebagian pemimpin pergerakan Indonesia sejak sebelum Perang Dunia Kedua, antara lain oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Ki Hajar Dewantara. Tidak mustahil ada penjelasan ketiga , yaitu oleh karena sistem pemerintahan presidensial bisa dioperasikan sebagai suatu updated version dari

pemerintahan monarki absolut yang sering terdapat di kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia sendiri, yang wujud konkritnya dalam konteks sejarah Mataram sudah dijelaskan demikian jernih oleh Soemarsaid Murtono. Dan penjelasan keempat , yaitu belum disadarinya secara penuh akibat yang mungkin timbul dari kombinasi sistem pemerintahan presidensial dalam suatu negara kesatuan, seperti yang kita alami dalam dasawarsa-dasawarsa sesudahnya. Namun ada suatu teka teki lain, yaitu mengapa Drs. Mohammad Hatta, yang sejak mudanya memperjuangkan konsep daulat rakyat , tidak begitu gigih menolak sistem pemerintahan yang berpotensi mereduksi kedaulatan rakyat yang demikian dekat di hati beliau? Perkiraan saya, selain beliau juga menolak sistem pemerintahan parlementer yang beliau saksikan sendiri sewaktu studi di negeri Belanda antara tahun 1921-1932, juga oleh karena beliau merasa berhasil memperjuangkan suatu klausul pengamanan terhadap sistem pemerintahan presidensial ini, yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakui hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan. Beliau nampaknya yakin bahwa hak rakyat untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan ini akan dapat mencegah suatu hal yang sangat dikhawatirkan beliau, yaitu penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan. Dengan kata lain, Hatta memandang sistem pemerintahan presidensial sebagai the lesser evil, yang masih bisa dikendalikan melalui kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat. Bagaimana pengalaman sejarah kita mengenai sistem pemerintahan ini sejak tahun 1945? Pengalaman kita memang menunjukkan dengan sangat meyakinkan betapa tidak andalnya suatu sistem pemerintahan parlementer bagi Indonesia yang bermasyarakat majemuk, dan sedang berjuang untuk membangun kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, penolakan para Pendiri Negara terhadap sistem pemerintahan parlementer ada benarnya. Kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat akibat sengketa partai-partai yang berkoalisi, yang selalu berujung pada penarikan menteri-menterinya. Jatuh bangunnya kabinet berarti tidak dapat dilaksanakannya dengan mantap program-program yang telah ditetapkan. Namun, juga sangat jelas bahwa sistem pemerintahan presidensial yang diharapkan akan dapat memberikan stabilitas pemerintahan, ternyata juga mempunyai kelemahan seperti yang dikhawatirkan Hatta, yaitu kecenderungan sentralisme yang nyaris mematikan kreativitas dan prakarsa penduduk, yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, antara tahun 1959 1998. Demikianlah, sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 pra-amandemen 1999-2002 telah melahirkan' dua orang presiden Indonesia yang amat besar kekuasaannya dan karena itu telah mengambil keputusan-keputusan yang nyaris tidak dapat dikoreksi siapapun juga, baik di tingkat pusat, juga ---atau apalagi--- di tingkat daerah. Kedua presiden ini naik dan jatuh dalam situasi krisis nasional, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Gerakan Reformasi sejak tahun 1998 memungkinkan ditatanya kembali sistem pemerintahan melalui empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Dewasa ini kita masih menganut sistem pemerintahan presidensial dalam suatu bentuk negara kesatuan, tetapi bersamaan dengan itu titik berat

kekuasaan telah beralih dari presiden ke parlemen, yang pada saat ini mempunyai kekuasaan yang amat besar, bukan hanya dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan pemerintahan, tetapi juga bidang-bidang yang tradisional termasuk dalam executive privilege, seperti pengangkatan duta-duta besar. Suatu masalah baru ternyata telah timbul sewaktu seorang tokoh nasional yang populer terpilih sebagai presiden dengan mayoritas suara yang meyakinkan, tetapi partainya sendiri tidak memperoleh dukungan suara yang memadai di parlemen, yang kini mempunyai kekuasaan demikian besar. Mau tidak mau, presiden harus memperhitungkan kekuatan parlemen ini, walau sesungguhnya jika perlu, presiden bisa meng- appeal langsung kepada rakyat. Namun hal itu jelas tidak mudah dilakukan, sehingga sistem pemerintahan presidensial Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bisa disifatkan sebagai suatu sistem pemerintahan presidensial dengan rasa parlementer'. Demikianlah, kelihatannya kita masih tetap bagaikan terombang-ambing antara sistem pemerintahan parlementer yang secara formal telah ditolak, dengan sistem pemerintahan presidensial yang kelihatan masih belum memperoleh formatnya yang tepat. Baru tiga bulan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku, pada bulan Oktober 1945 telah keluar Maklumat Wakil Presiden yang mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, semacam parlemen, yang secara efektif telah mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Selama sepuluh tahun berikutnya, antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, baik Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 maupun Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer ini. Seperti dapat diduga, walau bisa diacungi jempol dalam memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan demokratis, namun pemerintahan parlementer ini selain tidak mampu menyejahterakan rakyat, juga tidak berhasil memadamkan rangkaian pemberontakan yang terjadi berlarut-larut hampir di seluruh daerah di Indonesia. Seluruh gonjang ganjing itu diharapkan berakhir mulai tahun 1959, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sewaktu Republik Indonesia menganut kembali sistem pemerintahan presidensial. Sejarah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan presidensial berdasar Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan secara murni dan konsekwen' ini bisa menyajikan pemerintahan yang lebih stabil ---kendati semu--- dan jika dikelola dengan baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dapat memberikan dasar-dasar kesejahteraan rakyat. Hal itu terlihat antara tahun 1969-1983. Namun sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini juga mengandung time bomb yang berbahaya, yaitu jika integritas the incumbent president serta lingkungannya dapat dikompromikan oleh demikian banyak godaan kekuasaan. Hal itu terjadi antara tahun 1984 1997. Demikian banyak keputusan-keputusan strategis telah dibuat oleh presiden yang mempunyai kekuasaan yang teramat besar tersebut, yang dalam jangka pendek dan menengah memberi kesan mampu memenuhi aspirasi dan kepentingan orang banyak, tetapi bersamaan dengan itu tanpa dapat dihambat juga memberikan lebih banyak kepada aspirasi dan kepentingan' lingkaran dalam kepresidenan. Sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk yang merosot ini mempunyai akibat yang fatal bagi bangsa dan negara dalam

perspektif jangka panjang. Beberapa contoh yang dapat dikutip dalam hal ini adalah kebijakan melakukan pinjaman luar negeri dalam jumlah yang amat besar, serta eksploitasi sumber daya alam yang habis-habisan, diiringi oleh tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai akibatnya, sejak tahun 1997 sampai sekarang, Indonesia terjerat dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang belum terlihat tanda-tanda kapan akan berakhirnya. Seluruhnya itu berlangsung pada saat negara-negara Asia lainnya bukan saja sudah pulih tetapi juga sudah mulai melejit. Ringkasnya, kita menganut sistem pemerintahan parlementer selama 14 tahun, baik bentuk negara federal maupun dalam bentuk negara kesatuan, yang disusul oleh sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan selama 47 tahun berikutnya. Sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan ini berlangsung baik dengan format lama yang memberikan kekuasaan penuh hampir tanpa batas kepada presiden, maupun dalam format baru yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada parlemen. Ternyata seluruhnya belum berhasil mewujudkan dua tujuan nasional dan empat tugas pemerintahan yang tercantum demikian lugas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak akan diubah lagi.

Posisi Sekretariat Negara


Lantas dimana posisi Sekretariat Negara, suatu lembaga pemerintahan yang secara sistemik dan secara struktural paling dekat dengan seorang presiden, yang membantu dan melayaninya dalam segala kegiatannya sehari-hari ? Sepintas lalu ---dan pada awal terbentuknya--- peranan Sekretariat Negara dan Sekretaris Kabinet memang tidaklah terlalu menonjol, seperti terlihat dalam masa jabatan Sekretaris Negara pertama di tahun 1945. Kegiatan beliau nampaknya tidak lebih dari kegiatan seorang office manager. Namun, Sekretariat Negara juga bisa mempunyai posisi yang amat strategis, sewaktu jabatan Menteri Sekretaris Negara dijabat oleh Soedharmono, S.H. yang selain menjadi Menteri, juga menjabat sebagai Ketua Umum Golongan Karya dan ketua dari tim pembelian barang-barang pemerintah. Sungguh menarik untuk memperhatikan bahwa Menteri Sekretaris Negara berikutnya, Dr. (h.c) Moerdiono yang ingin berkonsentrasi dalam tugas khusus sebagai Menteri Sekretaris Negara dan memohon kepada Presiden agar dibebaskan dari tugas sebagai ketua tim pembelian barang-barang pemerintah. Dari sejarah politik Indonesia akan sangat menarik untuk diketahui jika pada suatu saat dapat ditulis secara lengkap dan dikaji secara mendalam sejarah peran Sekretariat Negara ini dalam mendukung para presiden dalam melaksanakan tugasnya baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Penulis yakin bahwa banyak yang bisa dikisahkan oleh Menteri Sekretaris Negara maupun para mantan Menteri Sekretaris Negara ini tentang bagaimana suatu kebijakan kepresidenan disiapkan, dibahas, serta diputuskan. Sekedar catatan, di Amerika Serikat telah cukup lama dibentuk sebuah Center for the Study of the Presidency, yang mulanya berkantor di New York kemudian memindahkannya ke Washington , D.C.

Menjelang tersusun dan terbitnya buku sejarah Sekretariat Negara tersebut, berikut ini adalah sekedar renungan penulis yang pernah memperoleh kehormatan berdinas di lembaga negara ini selama satu dasa warsa, 1989 1999, baik sebagai Staf Ahli maupun sebagai Asisten Menteri Sekretaris Negara Bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa di bawah tiga orang Menteri Sekretaris Negara, Dr. (h.c.) Moerdiono, Prof. Dr Muladi, S.H, dan Ir. Akbar Tanjung, mencakup kurun kepresidenan Jenderal Soeharto dan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Menurut pandangan penulis, pada dasarnya ada dua peran penting Sekretariat Negara dalam sistem pemerintahan presidensial dalam bentuk negara kesatuan, yang dapat disebut sebagai fungsi pelayanan atau service functions dan fungsi politik atau political functions. Ke dalam fungsi pelayanan bisa dimasukkan antara lain kegiatan penyelenggaraan teknis sidang kabinet, pelayanan rumah tangga kepresidenan dan protokoler, serta pengamanan presiden dan keluarganya; sedangkan ke dalam fungsifungsi politik antara lain termasuk penyaringan usul inisiatif rancangan undang-undang serta produk legislatif kepresidenan lainnya, pelayanan koordinasi pemerintahan, serta penyiapan draft pidato kenegaraan serta pidato-pidato kepresidenan lainnya. Tanpa mengecilkan peranan fungsi pelayanan, berikut ini penulis mencoba untuk menelaah fungsi politik, yang langsung atau tidak langsung akan memberikan posisi strategis kepada Sekretariat Negara. Adalah jelas bahwa sebelum suatu rancangan undang-undang yang dirancang oleh departemen-departemen pemerintahan memperoleh persetujuan Presiden untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat RI , rancangan tersebut akan dikaji oleh Sekretariat Negara. Fungsi pengkajian Sekretariat Negara ini jelas sangat strategis, dan tidak jarang selain memerlukan wawasan yang luas serta keahlian yang mendalam dari setiap pejabatnya, juga tidak jarang akan memakan waktu jika suatu rancangan undang-undang tersebut benar-benar diinginkan mempunyai keandalan filosofis, sosiologis, dan yuridis ( filosofische, sociologische, en juridische gelding ). Fungsi ini semakin penting jika diingat bahwa tidak jarang terlihat bahwa suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen terasa demikian terpaku dalam visi dan kepentingan sektornya sendiri belaka. Lebih dari itu, tidak mustahil bahwa secara tidak sadar suatu rancangan undang-undang yang diusulkan suatu departemen bukan saja abai terhadap kepentingan orang banyak tetapi juga bisa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Contoh dari jenis yang terakhir ini adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, yang bukan saja telah meniadakan eksistensi demikian banyak masyarakat hukum adat yang ada di luar Jawa, tetapi juga telah meniadakan hak masyarakat hukum adat tersebut terhadap tanah ulayatnya. Pelayanan koordinasi pemerintahan jelas tidak kalah pentingnya dari kajian terhadap demikian banyak rancangan undang-undang dan produk legislatif kepresidenan lainnya. Jika kita jumlah seluruh lembaga pemerintahan yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat melapor kepada Presiden, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui menterinya masing-masing, kita akan kaget sendiri sembari bertanya dalam hati, bagaimana caranya Presiden dapat melakukan koordinasi terhadap semua kegiatan kelembagaan tersebut. Jika kita ingat pada saat ini ada 35 orang menteri, 25 buah

lembaga pemerintahan non departemen, 34 orang gubernur, dan 87 orang duta besar dan duta, 2 orang wakil tetap Pemerintah RI di PBB. 30 orang konsul jenderal dan konsul, maka ada 183 orang pejabat yang secara teoretikal dapat ---dan ada kalanya harus--melapor langsung kepada Presiden! Jika kita mengingat bahwa salah satu kritik terbesar terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah demikian susahnya melakukan koordinasi, yang berakibat setiap lembaga pemerintahan terpaksa melakukan kegiatannya secara sendirisendiri dengan visi sektoralnya masing-masing. Mau tidak mau, resmi atau tidak resmi, siap tidak siap, Sekretariat Negara-lah yang harus melakukan semacam koordinasi de facto terhadap keseluruhan kegiatan pemerintahan yang demikian luas. Sebagai konsekuensinya, juga mau tidak mau, resmi atau tidak resmi, siap tidak siap, Sekretariat Negara menempati posisi yang sangat strategis dalam sistem pemerintahan presidensial. Tidaklah mengherankan bahwa mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan Sekretariat Negara sebagai suatu negara dalam negara'. Penyiapan pidato kenegaraan serta pidato-pidato kepresidenan lainnya jelas merupakan suatu tugas Sekretariat Negara yang tidak bisa dipandang enteng, khususnya jika presiden sadar bahwa setiap ucapannya ---baik yang benar maupun apalagi yang salah--- akan mempunyai dampak politik yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sehubungan dengan demikian padatnya agenda kepresidenan, adalah merupakan suatu kemustahilan bagi seorang presiden untuk menyusun sendiri pidato-pidatonya. Bahkan seorang orator yang piawai seperti Ir. Soekarno ada kalanya harus menyerahkan penyiapan pidatonya kepada orang lain yang dipercayanya baik secara pribadi maupun secara politik. Dahulu Ir. Soekarno pernah mempercayakan penyusunan naskah pidatonya kepada seorang tokoh Partai Komunis Indonesia , Nyoto (atau Nyono? ), sudah barang tentu dengan memperhitungkan konsekuensi politiknya. Mungkin oleh karena itulah di Amerika Serikat dalam jajaran The Executive Office of the President diangkat seorang pejabat khusus untuk tugas ini, yaitu seorang Presidential Speechwriter. Perlu kita sadari bahwa setiap pidato presiden sesungguhnya adalah suatu policy statement , yang akan menjadi rujukan dan catatan sejarah pemerintahannya. Oleh karena itu setiap pidato presiden selain harus mencerminkan visi pribadi presiden tentang setiap masalah, juga harus memperkirakan, merespons, dan membangun feedback masyarakat yang positif terhadap visinya itu. Oleh karena itu pula, Sekretariat Negara perlu menyiapkan sekelompok pejabat staf yang mahir menyiapkan initial drafts dari pidato-pidato presiden untuk akhirnya diserut final oleh Menteri Sekretaris Negara. Ada sedikit catatan tentang manajemen Sekretariat Negara di negeri lain. Sekitar tahun 1994 Prof Dr. Soerjanto Poespowardojo dan saya ditugaskan untuk mengadakan semacam studi banding ke tiga negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, yaitu Korea Selatan, Amerika Serikat dan Perancis. Dengan menyadari sistem pemerintahan presidensial di Korea Selatan secara teknis masih berlangsung dalam kedaan perang dengan Korea Utara ---sehingga agak sukar dijadikan contoh untuk keadaan di Indonesia--- berikut ini penulis mencoba untuk menguraikan The Executive Office of the President di Amerika Serikat dan Secretaire General du Gouvernment di Perancis.

Struktur dasar dari The Executive Office of The President yang dipergunakan sekarang dengan segala modifikasinya, bermula pada tahun 1939, sewaktu disadari bahwa Presiden memerlukan bantuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya, yang sesungguhnya dalam sistem pemerintahan federal tidaklah demikian berat. The President needs help, demikian semboyan yang dicanangkan saat itu untuk mendorong disusunnya suatu kantor kepresiden yang lebih efektif. Sesuai dengan bentuk negara federal, maka kantor kepresidenan Amerika Serikat ini hanya mengelola fungsi-fungsi pemerintahan federal yang bersifat residual itu saja. Suatu cara bekerja yang amat menarik bagi Prof. Soerjanto Poespowardojo dan saya adalah bahwa rapat kabinet' berlangsung setiap minggu, yang didahului dengan pengiriman suatu laporan mingguan para menteri ( secretaries) yang masing-masingnya hanya boleh mengirimkan paling banyak dua halaman saja, memuat masalah-masalah pokok dalam bidangnya. Seluruh laporan mingguan menteri tersebut diberi kata pengantar dan penutup oleh The White House Chief of Staff. Presiden kemudian membubuhkan disposisi ringkas pada laporan mingguan gabungan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan oleh para secretaries tersebut. Semuanya kelihatan koq berjalan mulus-mulus saja. Menurut penglihatan kami berdua pada saat itu, bagian paling penting dari Gedung Putih adalah National Security Council yang mempunyai mengikuti, menganalisis, memberikan rekomendasi kebijakan, dan jika perlu mengendalikan seluruh masalah keamanan dan pertahanan Amerika Serikat, terutama masalah hubungan luar negeri, dimana secara tradisional terletak peran dan kekuasaan terbesar dari seorang Presiden Amerika Serikat. Sekedar selingan, mengingat berkepanjangannya bencana alam di Indonesia, mungkin bermanfaat untuk membentuk semacam National Security Council Indonesia yang selain mengemban fungsi-fungsi komando pertahahan keamanan juga didiberi fungsi tambahan deteksi dini dan reaksi cepat terhadap setiap bencana alam yang dapat mengancam setiap waktu. Secretaire General du Gouvernement di Perancis pada dasarnya berfungsi seperti The Executive Office of the President di Amerika Serikat, termasuk dengan format laporan mingguan para menteri dan disposisi singkat presiden yang berbunyi: oui ( setuju), non ( tidak setuju), dan vu ( sudah saya baca), Itu saja. Ada suatu ciri khas dari Secretaire General du Gouvernement Perancis ini, yaitu hanya para lulusan terbaik dari perguruan tinggi yang bisa diterima menjadi pegawai di kantor kepresidenan tersebut. Dengan kualitas pegawai setinggi itu, maka proses penyusunan suatu rancangan undang-undang dapat ditugaskan kepada seorang --- ulangi seorang --pejabat staf saja, di bawah supervisi seorang pejabat senior. Kelihatannya tidak ada kesulitan bagi pejabat staf yang piawai untuk melakukan tugasnya tersebut, termasuk untuk mempertahankan rancangannya itu di depan parlemen, oleh karena bahan-bahan referensi hukum dan peraturan perundang-undangan tersedia dengan lengkap, baik dalam bentuk perpustakaan maupun akses elektronik terhadap bank data.

You might also like